Dibuat oleh:
Nim : 11010110401009
Kelas : Reguler II
Globalisasi ekonomi tidak pelak lagi telah masuk dalam kehidupan Nasional
Indonesia. Hal ini akan menimbulkan kolonialisasi ekonomi dengan konsentrasi pada
kekuatan korporasi internasional, oleh karena itu hukum diharapkan mampu
mengakomodasi untuk memperkuat perekonomian nasional untuk mengakses pasar
internasional.
Proses globalisasi menimbulkan tolok ukur utama hubungan antar bangsa yaitu
perihal economic oriented yakni keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperoleh
dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesia
sebagai implikasi terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Salah satu aspek dari
sistem ekonomi adalah pada produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada skala
nasional tetapi juga internasional. Hal ini berakibat pada kompetisi standar kualitas dan
persaingan yang fair, serta terhindarnya produk industri palsu, berdasarkan pada
kesepakatan-kesepakatan dunia internasional.
Dalam keletihan mengatasi deraan krisis ekonomi, hak atas kekayaan intelektual
(HaKI) kembali digugat perannya dalam proses pemulihan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Sejauh ini, HaKI memang mempunyai insentif strategis untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi meski juga berkarakter monopoli yang mengundang resistensi
Globalisasi saat ini telah menciptakan aspek aspek dalam bentuk format
interdependensi. Demikian pula rezim HaKI yang sarat dengan tatanan regulasi. Dalam
kegiatan ekonomi dan perdagangan, HaKI telah sedemikian terkait dengan artikulasi
pasar global. Pasar bebas yang mestinya steril dari berbagai intervensi, nyatanya
memiliki kalkulasi sendiri. Ia terbukti tidak sepi dari kepentingan politik. Sanksi ekonomi,
dan embargo adalah sebagian contoh hukuman bagi tindak pencederaan terhadap
HaKI.
Betapapun HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata,
HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan
moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah
diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industri
dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untuk
memberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu menggerakkan
seluruh potensi ekonomi yang dimiliki.
2
Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang Berhubungan dengan
HAKI. 1999.
HaKI berkaitan dengan produk. Suatu produk pada hakikatnya merupakan karya
seni atau sastra atau karya tulisan termasuk karya ilmiah yang pada dasarnya
merupakan karya intelektual yang dilindungi hak cipta (sebagai bagian dari HaKI), dan
diperdagangkan secara global, pada gilirannya akan memerlukan pula perlindungan
hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran. Demikian pula halnya dengan
produk industri atau manufaktur lainnya. Keterlibatan pilihan teknologi (termasuk
teknologi proses) baik yang dipatenkan maupun yang berupa rahasia dagang, yang
berlangsung sejak tahap perencanaan dan berlanjut hingga tahap pembuatannya,
ataupun penggunaan merek pada saat produk yang bersangkutan dipasarkan,
menunjukkan keterlibatan HaKI sejak awal hingga akhir produksi. Dapat dikatakan HaKI
telah hadir sejak awal produksi hingga saat pemasarannya. Karenanya, memang tidak
berlebihan untuk mengatakan bahwa globalisasi produk pada akhirnya juga berarti
globalisasi HaKI3.
3
Bambang Kesowo, Implementasi Persetujuan TRIPs Dalam Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual
Nasional, Bandung, 1997,hal. 22.
terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan.
Yang pasti, permintaan pendaftaran merek ditolak bila didasari iktikad tidak baik.
Memasuki tahun 2000 HaKI telah bergulir secara resmi dalam koridor globalisasi,
artinya pengakuan hukum disatu negara secara konseptual tidak berbeda dari yang ada
di negara lain. Begitu juga dengan ruang lingkup HaKI mengalami perkembangan, HaKI
tidak lagi hanya mengurusi hak atas cipta, paten dan merek tapi sekarang telah meliputi
hak atas desain industri, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Hal ini sejalan
dengan penataan HaKI dalam wadah World Trade Organization ( WTO ), yang
didalamnya juga terlampir Agreement ontrade Related of Intelectual Property ( TRIPs ).
Kenyataan ini yang nantinya mendorong untuk perlu melakukan ratifikasi terhadap
perundang-undangan HaKI (UU hak cipta, UU paten dan merek) di Indonesia 4.
HaKI sebagai satu sistem perlindungan hukum juga mempunyai kedua jenis
perlindungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hadjon. HaKI mengenal adanya
sistem pendaftaran yang cenderung kepada perlindungan hukum secara preventif dan
sistem pidana untuk perlindungan secara represif, mengingat memang pidana pada
asasnya adalah satu tindakan terakhir untuk menegakkan hukum.
HaKI memberikan pencipta dua hak ekslusif yaitu hak moral dan hak ekonomi;
hak moral adalah hak hak yang melindungi kepentingan pribadi sang pencipta sehingga
5
Ridwan H.R Hukum Administrasi Negara UII Press Yogyakarta 2002 hlm 74-76
memberikan pencipta hak untuk tetap disebut pencipta karya tersebut 6. Sedangkan,
Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan
intelektual7.
Kasus yang sering terjadi adalah harga produk HKI cenderung sangat mahal. Hal
ini dikarenakan terkadang pencipta tidak hanya mengambil hak ekonominya akan tetapi
melipat gandakan apa yang menjadi haknya. Padahal bisa saja untuk menjadikan
barang tersebut murah pencipta atau penemu melepas hak ekonominya tersebut
sehingga bisa jadi harga dari produk HaKI menjadi lebih terjangkau. Akan tetapi
melepaskan hak ekonomi dikalangan pencipta atau penemu tampaknya masih sangat
jarang.
Dunia usaha saat pada masa globalisasi sekarang ini menghadapi banyak tantangan
seiring cepatnya perubahan perubahan dalam teknologi dan banyaknya kreasi atau ide
yang tercipta dari tenaga kerja yang kreatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan akan
pentingnya HaKI dalam tiap tiap bidang industri.
Disini terdapat perbedaan antara hak paten dengan copyright dalam konteks
industri perangkat lunak. Hak paten terletak pada algoritma, sedangkan penerapan dari
algoritma adalah copyright. Oleh karena itu algoritma dapat dipatenkan sedangkan
penerapan dari algoritma (copyright) tidak bisa. Sebagai contoh pengembangan pada
microsoft, microsoft tidak dapat disebut copyright tapi berhak atas paten.
Kerumitan menetapkan suatu hasil karya pada industri perangkat lunak ini
berhak memiliki copyright atau tidak sejalan dengan cepat dan panjangnya proses
pengembangan pada industri perangkat lunak itu sendiri. Akibatnya copyright sering
dipertentangkan dan ketika memasuki proses hukum kembali terganjal kepada proses
6
Prof. Dr. Etty Susilowati , Bunga rampai hak kekayaan intelektual, MIH Undip, 2010.
7
Muhammad Abdul Kadir Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya bakti, Bandung,
2001 hlm 19.
itu kembali. Oleh karena itu perlindungan hukum dalam industri perangkat lunak yang
dinaungi oleh UU No 19 Tahun 2002 tentang hak cipta (copyright) dan UU No.14 tahun
2001 tentang paten masih tumpang tindih. Hal ini dikarenakan, algoritma sebuah
perangkat lunak yang menjadi mesin dari sebuah perangkat lunak masih dapat dibajak
dan dibuat kembali dengan mudah tanpa bisa dilacak (reverse engineering). Untuk
menjelaskan perkembangan industri perangkat lunak di Indonesia terlihat masih
terfokus pada proses aplikasi atau integrasi. Pengembangan itu sendiri masih banyak
mengabaikan HaKI. Persoalannya disini adalah UU HaKI masih banyak berpihak pada
dan menguntungkan orang lain.
Industri farmasi di Indonesia pada era globalisasi terdiri dari sebagian besar
merupakan industri manufaktur farmasi yang berorientasi pada formula obat jadi, dan
untuk kebutuhan tersebut masih tergantung pada bahan baku impor. Lemahnya industri
pengembangan farmasi di Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya untuk melakukan
penelitian. Adapun peluang untuk bersaing dengan pihak luar yang memang padat
modal adalah pada pengembangan obat tradisional yang bahan bakunya tersedia di
Indonesia. Dilihat dari sisi perspektif perlindungan hukum HaKI tampaknya masih
berjalan kurang baik dikarenakan situasi industri farmasi Indonesia saja yang masih
menggantungkan obat obatan dari luar negeri. Lebih jauh lagi tampaknya, perlindungan
HaKI terhadap obat-obatan luar negeri masih lemah dengan banyaknya obat obatan
palsu yang beredar di masyarakat.Contoh kasusnya adalah, Tempe yang secara
tradisional adalah produk asli Indonesia, namun paten tempe telah dilakukan di Jepang
(Masuki Tokuda, Kyoso Hiroya, Nishi dan Inoue) untuk kepentingan obat dan kosmetik 8.
8
Info HAKI vol. 1, no. 1, Agustus 1998
semua pihak. Akan tetapi, sebaliknya, perlindungan hukum terhadap hasil karya
pemusik masih lemah. Masyarakat lebih bangga membeli kaset banjakan dibandingkan
yang original, dan memang harganya lebih murah. Perdagangan kaset bajakan
belakangan ini justru semakin banyak dan terang-terangan. Aparat keamanan serta
perangkat penegak hukum lainnya terlihat masih lamban dalam mengatasi kasus-kasus
pembajakan. Kebanyakan kasus diantaranya hanya diberi hukum percobaan. Pada hal
menurut undang-undang setiap pembajak akan diberi hukuman 7 bulan penjara serta
denda 100 juta. Tidak jauh berbeda dengan kedua elemen di atas para pencipta lagu
pun banyak yang tidak paham dan mengerti dengan hak yang dimilikinya. Contoh di
Jepang royalty atas karya Gesang dari tahun 1950 sampai 1974 saja sudah terkumpul
sebanyak 500 US dollar, tapi itu tidak bisa diambil karena Gesang tidak tercatat sebagai
anggota asosiasi tersebut. Contoh konkrit lain adalah royalti lagu Lilin-Lilin Kecil yang
menjadi lagu abadi hingga kini sejak dipopulerkan Chrisye pada 1977 yang diciptakan
oleh James F. Sondah. Pendapatan royalti yang diperoleh dari lagu tersebut ternyata
hanya Rp 35 ribu. Selanjutnya lagu Api Asmara milik Ali Yahya, saat pertama lagu itu
dipublikasikan, Yahya hanya disodori secarik surat perjanjian Rp 15 ribu untuk sekali
merekam lagu ciptaannya9
9
Kompas, Indonesia Masih di cap pembajak, 2008.
Dalam masyarakat masih sering beredar barang-barang bermerek palsu, dan
ironisnya barang tersebut laku dipasaran yang sebetulnya ini merugikan konsumen dari
segi kualitas barang. Disamping itu, juga berkonsekuensi Indonesia ditempatkan
sebagai kelompok negara ”priority watch list”. Bagi para pengusaha, khususnya
pengusaha kecil dan menengah tidak mendaftarkan merek produk ataupun jasanya,
karena selain kesadaran ekonomisnya lemah, juga biaya pendaftaran dianggap masih
mahal. Disamping merek, produk-produk dari hasil karya seni juga tidak didaftarkan hak
ciptanya.
Penutup
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu
payung pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan
inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi
kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi
dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan
nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip
pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional.
Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma
internasional. Dengan adanya sistem yang demikian menunjukkan bahwasanya HaKI
pada dasarnya bukanlah satu sistem monopoli kapitalis, akan tetapi ketika di telaah
lebih jauh sistem HKI adalah satu sistem yang bisa saja bernuansa sosial dengan tetap
mengusung pada semangat awal munculnya HKI yakni memberikan perlindungan atas
ide pencipta.
Daftar Pustaka
A. Zen Umar Purba. 1999. ”Proses Pendaftaran HAKI di Indonesia”. Makalah Seminar
Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas, 16 September.
Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah.
Bambang Kesowo. 1997. ”Implementasi Persetujuan TRIPs Dalam Hukum Hak Atas
Kekayaan Intelektual Nasional”. Makalah Penataran Lembaga dan
Hukum Internasional. Bandung : Universitas Padjadjaran.
Prof. Dr. Etty Susilowati , Bunga rampai hak kekayaan intelektual, MIH Undip, 2010.
Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang
Berhubungan dengan HAKI. 1999.