Anda di halaman 1dari 20

Pengecualian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Persaingan

Usaha Tidak Sehat

Oleh :
Nama : Sakhiyatu Sova
NIM : 11010113140480
Kapita Selekta Dagang Kelas B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era modern, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan
komunikasi, keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut
HKI) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri
dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting
yang eksistensinya telah diakui secara global. Pada sisi lain, rezim hukum persaingan
usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna
terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.
Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak eksklusif bagi
pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk
mengekploitasi objek HKI yang dimilikinya. Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh
sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum
persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.
Pengertian tersebut berbeda dengan praktek monopoli yang harus diartikan
sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan
monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Terdapat keterhubungan antara Hukum Persaingan Usaha dengan Hak Kekayaan
Intelektual. Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan Hukum
Persaingan Usaha seakan-akan saling bertentangan satu sama lain, namun kedua domain
hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan
sistem hukum itu sendiri, yakni meningkatkan efisiensi sistem perekonomian. Untuk
memperkuat posisi pengawasan persaingan usaha dan sebagai pintu harmonisasi antara
rezim lisensi hak atas kekayaan intelektual (HKI) dan hukum persaingan usaha,
ditetapkanlah Pasal 50 b UU No. 5 Tahun 1999. Pada pasal tersebut, dijelaskan bahwa
2

perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek, dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba dikecualikan dari
ketentuan UU No.5 Tahun 1999.
Secara tersurat Undang - undang memang mengatur pengecualian larangan
monopoli berkaitan perjanjian hak kekayaan intelektual tersebut namun detail serta teknis
perjanjian Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang dikecualikan dalam
Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat. Oleh Karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai
suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang No. 5
Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang -undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual yang bertujuan
memberikan pedoman yang jelas tentang perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas
kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang-undang No.5
Tahun 1999.
B. Permasalahan
1. Bagaimana Pengecualian Dalam UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
2. Bagaimana Pengecualian Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) ?
3. Bagaimana batasan Pemberlakuan Pengecualian terhadap Hak Kekayaaan Intelektual
(HKI) ?

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual


Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik
Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights
(IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah
Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada
bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku
dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan,
dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli,
maupun dijual.
Hak Kekayaan Intelektual, disingkat HKI atau akronim Hki, digunakan untuk
Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang
menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI
adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.
Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia.
Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi
kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya
tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Objek yang diatur dalam HKI
adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan
permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang
diberikan negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan
sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)
nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi,
sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar.
Disamping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang
baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya
teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan
dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan

maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk


memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John
Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari
seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir.
Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang
abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan
hasil dari intelektualitas manusia.
Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian,yaitu:
1. Hak Cipta (copyright);
2. Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
Paten (patent);
Desain industri (industrial design);
Merek (trademark);
Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition);
Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);
Rahasia dagang (trade secret).
B. Pengertian Persaingan Usaha
Saat ini dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, banyak terjadi persaingan usaha.
Persaingan usaha yang kita ketahui ada dua macam, yaitu persaingan sempurna dan
persaingan usaha tidak sehat. Persaingan sempurna adalah struktur pasar atau industri
dimana terdapat banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual ataupun pembeli tidak
dapat mempengaruhi keadaan di pasar. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Dalam persaingan usaha terdapat para pelaku persaingan usaha tersebut yang
dapat dikatakan sebagai subjek dan objek dalam persaingan usaha. Yang dikatakan subjek
dalam persaingan adalah para penjual atau para produsen yangd alah hal ini memproduksi
atau mengedarkan suatu barang. Sedangkan yang dimaksud objek dalam persaingan
usaha adalah konsumen dalam hal ni orang menggunakan atau membeli suatu barang.
Persaingan usaha akan tercipta apabila terdapat penjual dan pembeli yang jumlahnya
hampir berimbang.

Persaingan usaha memiliki cirri-ciri tersendiri, tentu saja berbeda antara


persaingan sempurna dengan persaingan tidak sehat. Ciri persaingan sempurna antara
lain, jumlah pembeli banyak, jumlah penjual banyak, barang yang diperjual belikan
homogeny dalam anggapan konsumen, ada kebebasan untuk mendirikan dan
membubarkan perusahaan, sumber produksi bebas bergerak kemanapun, pembeli dan
penjual mengetahui satu sama lain dan mengetahui barang-barang

yang diperjual

belikan. Sedangkan persaingan tidak sehat memiliki cirri antara lain, jumlah pembeli
sedikit, jumlah penjual sedikit, barang yang diperjualbelikan heterogen dalam anggapan
konsumen, tidak ada kebebasan untuk mendirikan dan membubarkan perusahaan, sumber
produksi tidak bebas bergerak kemanapun, pembeli dan penjual tidak mengetahui satu
sama lain dan tidak mengetahui barang-barang yang diperjual belikan.
Terdapat macam-macam persaingan usaha, yaitu persaingan usaha sempurna dan
persaingn usaha tidak sehat. Persaingan usaha sempurna ini merupakan struktur pasar
atau industri dimana terdapat banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual atau pun
pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar, sedangkan persaingan usaha seperti
ini banyak sekali terjadi di Indonesia pada masa sekarang, sedangkan persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha. Perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5
Tahun 1999 yaitu :
a. oligopoli (pasal 4);
perjanjian antara dua atau lebih pelaku usaha membuat perjanjian untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi & atau pemasaran barang & atau jasa.
b. penetapan harga (pasal 5 - 8);
Perjanjian antara pelaku & pesaing untuk menetapkan harga yg harus dibayar
pelanggan/ konsumen pada pasar relevan yg sama (Per se Illegal), jenisnya yaitu
Price Fixing, price discrimination, Predatory Pricing, Resale Price Maintenance.
c. pembagian wilayah (pasal 9);
Pembagian wilayah ini membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan
mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya, tetapi hal ini
dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap
konsumen.
d. pemboikotan (pasal 10);

Perjanjian antara pelaku usaha pelaku usaha saingan yangg dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yg sama baik untuk pasar dalam / luar negeri.
e. kartel (pasal 11);
Perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha saingan untuk mempengaruhi
harga dengan cara mengatur produksi / pemasaran.
f. trust (pasal 12);
Perjanjian antara pelaku usaha dg pelaku usaha lainnya untuk melakukan kerjasama
dengan cara membentuk gabungan perusahaan yg lebih besar atau tetap
mempertahankan kelangsungan perusahaan-perusahaan anggotanya
g. oligopsoni (pasal 13);
Perjanjian antara sesama pelaku usaha untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian / penerimaan pasokan dengan tujuan mengendalikan harga barang / jasa
dalam pasar bersangkutan.
h. integrasi vertikal (pasal 14);
Perjanjian antara para pelaku usaha dengan tujuan menguasai sejumlah produk yg
termasuk dalam rangkaian produksi barang/jasa tertentu
i. perjanjian tertutup (pasal 15);
j. perjanjian dg pihak luar negeri (pasal 16).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengecualian Dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pengecualian
adalah penyimpangan dari kaidah (tidak mengikuti kaidah). Pada dasarnya
pengecualian adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum yang
berlaku tapi dibenarkan, atau perbuatan yang secara tegas tidak diklasifikasikan
sebagai suatu pelanggaran dalam aturan hukum tertentu.
Dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha, maka sangatlah penting untuk
meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, baik melalui kesepahaman atas hukum persaingan usaha maupun melalui
harmonisasi kebijakan persaingan dengan kebijakan pemerintah lainnya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa ketentuan antara lain yang
berkaitan dengan:
a.
b.
c.
d.

Perjanjian yang dilarang;


Kegiatan yang dilarang;
Posisi dominan; dan
Sanksi terhadap pelanggar ketentuan yang diatur.
Lebih lanjut dalam Pasal 50 BAB IX, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

secara general dijelaskan tentang pengecualian terhadap larangan praktek monopoli


dan persaingan usaha tidak sehat (UU No.5/1999), yakni sebagai berikut :
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
Pemberian pengecualian dalam Hukum Persaingan umumnya didasarkan pada beberapa
pertimbangan, antara lain:
a. Adanya instruksi atau perintah dari UUD;
b. Adanya instruksi atau perintah dari UU ataupun peraturan perundangan lainnya;
8

c. Instruksi atau pengaturan berdasarkan regulasi suatu badan administrasi.


Pada umumnya pengeculian yang diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu:
a. Industri atau badan yang dikecualikan telah diatur oleh peraturan perundang atau
diregulasi badan pemerintah yang lain dengan tujuan memberikan perlindungan
khusus berdasarkan kepentingan umum (public interests), misalnya: transportasi,
air minum, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain.
b. Suatu industri memang membutuhkan adanya perlindungan khusus karena
praktek kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan dan dengan pertimbangan ini
maka akan jauh lebih baik memberikan proteksi yang jelas kepada suatu pihak
daripada menegakkan undang-undang Hukum Persaingan itu sendiri.
Berdasarkan pertimbangan dan alasan ini maka umumnya berbagai Negara memberikan
atau mengatur tentang pengecualian di dalam undang-undang Hukum Persaingan mereka.
Dengan kata lain, pengecualian merupakan hal yang umum dalam undang-undang
Hukum Persaingan dan tidak dianggap sebagai hal yang dirasa dapat menghambat
persaingan usaha itu sendiri.

B. Pengecualian Hak Kekayaaan Intelektual (HKI)


HKI merupakan insentif dan alasan diberikan hak memonopoli dan proteksi
karena HKI membutuhkan sumber daya dan waktu dalam upaya mendapatkannya.
Undang-undang HKI sendiri menjamin bahwa penemuan paten dan lain-lain akan
diberikan perlindungan sebelum dapat menjadi milik public (public domain). Faktor
ini menjadi penentu bagi perusahaan karena insentif ini dianggap sebagai jalan
menguasai pasar tetapi tidak merupakan pelanggaran undang-undang Sejauh ini,
negara dan hukum telah memberikan hak istimewa yang sangat besar pada pemegang
hak cipta. Namun banyak orang yang salah kaprah, menyangka bahwa lahirnya hak
eksklusif dalam lingkup HKI seolah-olah secara otomatis melahirkan pula praktek
9

monopoli dan perilaku persaingan usaha tidak sehat. Padahal, seharusnya keberadaan
hak eksklusif tersebut dipisahkan terlebih dahulu dari tindakan pengeksploitasiannya.
Hak eksklusif hanya memberikan landasan hukum untuk memonopoli, tetapi sifatnya
fakultatif atau optional. Artinya, kalau pemegang hak cipta memutuskan untuk tidak
mengeksploitasi secara komersial ciptaannya, misalnya dengan memberikan sharealike license, maka tidak akan terjadi suatu kondisi persaingan usaha tidak sehat.
Hukum hak cipta mengatur tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang
hak cipta dalam suatu kegiatan perdagangan. Sedangkan, hukum persaingan usaha
dan perlindungan konsumen mengatur tentang batasan-batasan agar pemegang hak
cipta dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan tidak merugikan konsumen. Oleh karena itu pemegang hak cipta
diharap mampu menjaga persaiangan usaha secara sehat dan tidak merugikan
konsumen.
Pasal 50 b dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengecualikan perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, disain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia
dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
Perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi yang dirumuskan dalam Pasal 1
angka 7 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dalam pasal pengecualian ini ada dua perjanjian yang harus
diperhatikan untuk dikecualikan, satu berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HKI) serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise). Dalam
Hukum Persaingan HKI maupun waralaba sering dianggap bersifat paradoks karena
memberikan hak untuk memonopoli secara eksklusif yang bahkan dilindungi pula
oleh undang-undang. Sementara itu undang-undang Hukum Persaingan berupaya
mengatur agar monopoli yang diijinkan haruslah seimbang dan tidak dieksploitasi.
Prinsip dasarnya adalah HKI bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan
manusia dan untuk mendapatkannya harus melalui penelitian, waktu dan biaya yang
tidak murah. Sehingga wajar memberikan insentif untuk menikmati hasil temuannya
10

dan mendapatkan keuntungan secara ekonomi melalui pemberian monopoli dalam


kurun waktu tertentu sebelum menjadi milik publik (public domain). Pada intinya
HKI mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain yang berguna bagi
masyarakat banyak. Ini merupakan titik awal dari pengembangan lingkungan yang
kondusif untuk pengembangan inovasi, kreasi, desain dan berbagai bentuk karya
intelektual lainnya. HKI bersifat privat, namun HKI hanya akan bermakna jika
diwujudkan dalam bentuk produk di pasaran, digunakan dalam siklus permintaan,
penawaran dan sesudahnyalah barulah akan berperan penting dalam ekonomi yang
memberikan insentif kepada pelaku usaha yang mewujudkannya untuk menikmati
hasilnya.
Pengecualian berkaitan HKI tersebut dalam Undang - undang No.5 Tahun 1999
tidak diatur secara jelas, mengingat dalam penjelasannya diterangkan sudah cukup
jelas. Bagaimana ketentuan secara teknisnya pun tidak diuraikan secara detail oleh
peraturan-peraturan dibawahnya. Sehingga tampak perjanjian HKI sebagaimana
disebutkan adalah dikecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999. Dengan
Pemahaman tersebut, maka pengecualian HKI dari aturan Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seperti dalam Undang - undang Nomor
5 Tahun 1999, pada dasarnya hanya tepat sejauh terbatas pada kodrat HKI itu
sendiri, dan kegiatan tertentu dalam perjanjian pemanfaatan HKI yang tidak
menimbulkan hambatan atau gangguan terhadap iklim persaingan.
Oleh Karena kekurang jelasan ketentuan Undang - undang, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) sebagai suatu lembaga independen
yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tersebut,
mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No.
2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang - undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap
Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, yang digunakan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 huruf b.

11

Adapun Pedoman yang disusun oleh KPPU tersebut dimaksudkan agar terdapat
kesamaan penafsiran terhadap masing - masing unsur dalam Pasal 50 huruf b,
sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau
sengketa dalam penerapannya. Selain itu dengan adanya pedoman diharapkan pula
bahwa Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat dan adil
dalam sengketa yang berkaitan dengan Pasal tersebut.
Di dalam pedoman yang dibuatnya, KPPU berusaha menjelaskan hal-hal yang
memungkinkan adanya perbedaan interpretasi, yakni dalam hal hubungannya dengan
penyebutan istilah lisensi yang diikuti istilah paten, merek dagang dan sebagainya,
dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan hak
kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi
yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak
desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Di dalam pedomannya
KPPU juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah tidak
hanya merek dagang saja tetapi termasuk juga merek jasa. Selain itu dijelaskan pula
bahwa istilah rangkaian elektronik terpadu hendaknya dimaknai sebagai desain tata
letak sirkuit. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya pedoman tersebut
dijelaskan juga mengenai hubungan keberadaan rezim hukum HKI dan hukum
persaingan usaha yang sering dipandang sebagai hal yang bertolak belakang. KPPU
dengan pedomannya menjelaskan bahwa keberadaan keduanya hendaknya dipandang
sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk
keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua rezim hukum tersebut
mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional
di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pedoman yang dibuat oleh KPPU juga menjelaskan bahwa adanya suatu hak
eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli pasar. Adapun
pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya
dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan sebagaimana

12

disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kemudian


dibagian penjelasan diungkapkan konteks dapat dilakukannya pengecualian yakni :
Bahwa perjanjian lisensi tidak secara otomatis melahirkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat
pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum
persaingan usaha.
Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan
perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian lisensi HKI tersebut telah
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2)
adanya kondisi yang secara nyata menunjukan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian
lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan
tidak menampakan secara jelas sifat anti persaingan usaha.
Selain itu Pedoman yang dibuat oleh KPPU berusaha menjelaskan secara detail
apa yang berkaitan dengan pengecualian atas perjanjian lisensi Hak Kekayaan
Intelektual, meskipun hal tersebut menimbulkan pemikiran lain bagi orang awam.
Namun bagaimanapun banyak sedikit adanya pedoman tersebut telah berusaha
menjelaskan atau membuat makna sebagaimana yang diungkapkan dalam Pasal 50
huruf b menjadi semakin jelas, meskipun pada akhirnya KPPU pula lah yang
berkompetensi untuk menilainya. Adapun kejelasan pedoman tersebut ditambah pula
dengan diberikan contoh-contoh berkenaan kasus yang berhubungan dengan konteks
pengecualian tersebut.

C. Batasan Pemberlakuan Pengecualian terhadap Hak Kekayaaan Intelektual


13

Secara harfiah makna dari pengecualian adalah tidak memberlakukan suatu


aturan yang seharusnya diberlakukan. Dalam konteks hukum persaingan usaha yang
pada intinya mengatur mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam
kaitannya dengan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan, ketentuan pengecualian
seolah-olah berarti tidak memberlakukan secara mutlak ketentuan tentang laranganlarangan tersebut terhadap para pihak yang bersangkutan.
Sesungguhnya hal tersebut tidaklah tepat, karena jika larangan-larangan tersebut
tidak diberlakukan maka pelaksanaan persaingan usaha yang terjadi kelak dapat
merupakan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat yang
sesungguhnya sesuatu yang hendak dicegah dan diberantas dengan adanyaundangundangpersainganusaha.
Oleh karena itu, agar ketentuan pengecualiantersebut selaras dengan asas dan
tujuan pembentukan undang-undang persaingan usaha, maka setiap orang hendaknya
memandang ketentuan pengecualian tersebut tidak secara harfiah atau sebagai
pembebasan mutlak dari segenap larangan yang ada. Setiap orang hendaknya
memandang pengecualian tersebut dalam konteks sebagai berikut:
a. Bahwa perjanjian lisensi HKI tidak secara otomatis melahirkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
b. Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul
akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah
melalui hukum persaingan usaha;
c. Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap
pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian
lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi yang secara
nyata

menunjukkan

terjadinya

persainganusahatidaksehat;

14

praktek

monopoli

dan

d. Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap


perjanjian

lisensi

HKI

hanya

diberlakukan

dalam

hal

perjanjianlisensiHKIyangbersangkutantidakmenampakkansecara
jelassifatantipersainganusaha.
Dalam

konteks

tersebut

maka

langkah-langkah

yang

dilakukan

untuk

menganalisis apakah suatu perjanjian lisensi merupakan pengecualian yang


dikecualikan adalah sebagai berikut:
Pertama,sebelum diperiksa lebih lanjut perlu diperjelas mengenai hal yang akan
dianalisa mengenai kemungkinan penerapan pengecualian Pasal 50 huruf b. Apabila
yang menjadi masalah ialah penolakan untuk memberikan lisensi dan bukan lisensi
itu sendiri maka perlu dianalisa HKI yang dimintakan lisensinya dapat dikategorikan
merupakan prasarana yang sangat penting (essential facilities). Apabila tidak
termasuk kategori essential facilities maka pengecualian dapat diberikan, namun
sebaliknya apabila termasuk kategori essential facilities maka tidak dapat diberikan
pengeculian sehingga ditindaklanjuti mengenai kemungkinan pelanggaran Undangundang Nomor 5 Tahun 1999.
Kedua, hal yang perlu diperiksa adalah apakah perjanjian yang menjadi pokok
permasalahan adalah perjanjian lisensi HKI. Apabila perjanjian tersebut bukan
perjanjianlisensiHKI,makapengecualiantidakberlaku.
Ketiga, perlu diperiksa apakah perjanjian lisensi HKI tersebut telah memenuhi
persyaratan menurut Undang-Undang, yaitu berupa pencatatan di Direktorat Jenderal
Hak

Kekayaan

Intelektual.

Apabila

perjanjian

lisensi

HKI

tersebut

belumdicatatkan,makapengecualiantidakberlaku.
Keempat, perlu diperiksa apakah dalam perjanjian lisensi HKI tersebut terdapat
klausul-klausul yang secara jelas mengandung sifat anti persaingan. Apabila indikasi
yang jelas tidak ditemukan, maka terhadap perjanjian lisensi HKI tersebut berlaku
pengecualian dari ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha.

15

Hal yang perlu dianalisis dari suatu perjanjian lisensi HKI untuk mendapat
kejelasan mengenai ada tidaknya sifat anti persaingan adalah klausul yang terkait
dengan kesepakatan eksklusif (exclusive dealing) . Dalam pedoman ini, perjanjian
lisensi HKI yang dipandang mengandung unsur kesepakatan eksklusif adalah yang di
antaranya mengandung klausul mengenai: 1) Penghimpunan Lisensi (Pooling
Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing); 2) Pengikatan Produk (Tying
Arrangement); 3) Pembatasan dalam bahan baku; 4) Pembatasan dalam produksi dan
penjualan; 5) Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali; 6) Lisensi
Kembali (Grant Back).
Adalah penting untuk diperhatikan, bahwa adanya satu atau lebih dari satu unsur
di atas dalam suatu perjanjian lisensi HKI tidaklah menunjukkan bahwa perjanjian
lisensi HKI tersebut secara serta merta memiliki sifat anti persaingan. Harus ada
kondisi tertentu yang harus diperiksa dari masing-masing klausul tersebut untuk
menentukan apakah klausul tersebut mengandung sifat anti persaingan. Lebih lanjut,
di bawah ini diuraikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa suatu
klausul kesepakatan eksklusif, sebagai berikut:
1) Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing)
Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) merupakan tindakan para pelaku usaha
untuk saling bekerjasama dengan para mitra usahanya untuk menghimpun lisensi HKI
terkait komponen produk tertentu. Sedangkan, Lisensi Silang(Cross Licensing)
merupakan tindakan saling melisensikan HKI antar para pelaku usaha dengan
mitranya, biasanya hal tersebut dilakukan dalam kegiatan Research and Development
(R&D). Dengan melakukan Penghimpunan Lisensi dan/atau Lisensi Silang para
pelaku usaha dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost) hak eksklusif yang
pada akhirnya membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah.
2) Pengikatan Produk (Tying Arrangement)
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pengikatan produk bersifat anti
persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor
16

pada prinsipnya dapat menggabungkan dua atau lebih produknya yang telah
dilindungi HKI untuk diperdagangkan kepada masyarakat. Namun demikian,
konsumen tetaplah harus diberikan pilihan untuk membeli salah satu produk saja.
3) Pembatasan dalam bahan baku
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan bahan baku bersifat
anti persaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa
pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat memberikan pembatasan kepada
penerima lisensi (licensee) mengenai kualitas bahan baku yang digunakan. Hal ini
dipandang perlu untuk memaksimalkan fungsi teknologi, menjaga keselamatan, dan
untuk mencegah bocornya rahasia. Walaupun demikian, setiap pihakpun hendaknya
memahami bahwa pembatasan terhadap sumber penyedia bahan baku dapat
mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi untuk memilih kualitas bahan baku dan
pemasok (supplier) bahan baku; yang pada akhirnya dapat membuat pelaksanaan
perjanjian lisensi tersebut justru tidak efisien secara ekonomi.
4)Pembatasan dalam produksi dan penjualan
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam penjualan
bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa
pada prinsipnya dapat menetapkan pembatasan terhadap wilayah atau jumlah produk
yang diproduksi dengan menggunakan teknologi milik yang boleh dipasarkan.
Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa apabila
pembatasan tersebut membuat licensee tidak dapat melakukan inovasi teknologi,
maka hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien. Oleh
karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan wilayah dan
jumlah produk yang dapat dipasarkan yang terbukti menghambat dalam melakukan
inovasi teknologi, sehingga pengembangan produk menjadi tidak efisien, dapat
dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.
5) Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali

17

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan harga jual dan harga
jual kembali bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya
memandang bahwa dapat menentukan pada tingkat harga berapa produknya dapat
dipasarkan sesuai dengan rasionalitas investasi dari produk yang bersangkutan.
Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan
harga tersebut dapat mengakibatkan pembatasan persaingan kegiatan bisnis antara
dan distributor yang akan berdampak pada berkurangnya persaingan, yang pada
akhirnya hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien.
6) Lisensi Kembali (Grant-back).
Lisensi kembali (Grant-back). merupakan salah satu ketentuan dalam suatu
perjanjian lisensi dimana penerima lisensi (licensee) disyaratkan untuk selalu
membuka dan mentransferinformasi kepada pemberi lisensi (licensor) mengenai
seluruh perbaikan dan pengembangan yang dibuat terhadap produk yang dilisensikan,
termasuk didalamnya know-how terkait pengembangan tersebut.

BAB IV
KESIMPULAN
Tidak semua monopoli dilarang oleh ketentuan undang-undang No 5 tahun 1999, dalam
Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan dari
ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana
diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang
No 5 Tahun 1999 adalah: Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual

18

seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
Terdapat hubungan antara Hukum Persaingan Usaha dengan Hak atas Kekayaan Intelektual,
kedua domain hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk
keharmonisan sistem hukum itu sendiri yakni meningkatkan efisiensi sistem perekonomian.
Hukum hak cipta mengatur tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang hak cipta
dalam suatu kegiatan perdagangan. Sedangkan, hukum persaingan usaha dan perlindungan
konsumen mengatur tentang batasan-batasan agar pemegang hak cipta dalam menjalankan
kegiatan usahanya tidak menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan tidak merugikan
konsumen. Oleh karena itu pemegang hak cipta diharap mampu menjaga persaiangan usaha
secara sehat dan tidak merugikan konsumen.

Daftar Pustaka
Buku :
Hermansyah. 2008. Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta :
Kencana Perdana Media Grup.
Siswanto, Ari. 2004. Hukum Persaingan Usaha. Bogor : Gahlia Indonesia.
Undang Undang :
Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009
tentang Pengecualian penerapan Undang -undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

19

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan
dengan Hak atas Kekayaan Intelektual.

20

Anda mungkin juga menyukai