Oleh :
Nama : Sakhiyatu Sova
NIM : 11010113140480
Kapita Selekta Dagang Kelas B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era modern, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan
komunikasi, keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut
HKI) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri
dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting
yang eksistensinya telah diakui secara global. Pada sisi lain, rezim hukum persaingan
usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna
terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.
Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak eksklusif bagi
pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk
mengekploitasi objek HKI yang dimilikinya. Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh
sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum
persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.
Pengertian tersebut berbeda dengan praktek monopoli yang harus diartikan
sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan
monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Terdapat keterhubungan antara Hukum Persaingan Usaha dengan Hak Kekayaan
Intelektual. Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan Hukum
Persaingan Usaha seakan-akan saling bertentangan satu sama lain, namun kedua domain
hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan
sistem hukum itu sendiri, yakni meningkatkan efisiensi sistem perekonomian. Untuk
memperkuat posisi pengawasan persaingan usaha dan sebagai pintu harmonisasi antara
rezim lisensi hak atas kekayaan intelektual (HKI) dan hukum persaingan usaha,
ditetapkanlah Pasal 50 b UU No. 5 Tahun 1999. Pada pasal tersebut, dijelaskan bahwa
2
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek, dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba dikecualikan dari
ketentuan UU No.5 Tahun 1999.
Secara tersurat Undang - undang memang mengatur pengecualian larangan
monopoli berkaitan perjanjian hak kekayaan intelektual tersebut namun detail serta teknis
perjanjian Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang dikecualikan dalam
Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat. Oleh Karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai
suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang No. 5
Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang -undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual yang bertujuan
memberikan pedoman yang jelas tentang perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas
kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang-undang No.5
Tahun 1999.
B. Permasalahan
1. Bagaimana Pengecualian Dalam UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
2. Bagaimana Pengecualian Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) ?
3. Bagaimana batasan Pemberlakuan Pengecualian terhadap Hak Kekayaaan Intelektual
(HKI) ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
yang diperjual
belikan. Sedangkan persaingan tidak sehat memiliki cirri antara lain, jumlah pembeli
sedikit, jumlah penjual sedikit, barang yang diperjualbelikan heterogen dalam anggapan
konsumen, tidak ada kebebasan untuk mendirikan dan membubarkan perusahaan, sumber
produksi tidak bebas bergerak kemanapun, pembeli dan penjual tidak mengetahui satu
sama lain dan tidak mengetahui barang-barang yang diperjual belikan.
Terdapat macam-macam persaingan usaha, yaitu persaingan usaha sempurna dan
persaingn usaha tidak sehat. Persaingan usaha sempurna ini merupakan struktur pasar
atau industri dimana terdapat banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual atau pun
pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar, sedangkan persaingan usaha seperti
ini banyak sekali terjadi di Indonesia pada masa sekarang, sedangkan persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha. Perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5
Tahun 1999 yaitu :
a. oligopoli (pasal 4);
perjanjian antara dua atau lebih pelaku usaha membuat perjanjian untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi & atau pemasaran barang & atau jasa.
b. penetapan harga (pasal 5 - 8);
Perjanjian antara pelaku & pesaing untuk menetapkan harga yg harus dibayar
pelanggan/ konsumen pada pasar relevan yg sama (Per se Illegal), jenisnya yaitu
Price Fixing, price discrimination, Predatory Pricing, Resale Price Maintenance.
c. pembagian wilayah (pasal 9);
Pembagian wilayah ini membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan
mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya, tetapi hal ini
dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap
konsumen.
d. pemboikotan (pasal 10);
Perjanjian antara pelaku usaha pelaku usaha saingan yangg dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yg sama baik untuk pasar dalam / luar negeri.
e. kartel (pasal 11);
Perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha saingan untuk mempengaruhi
harga dengan cara mengatur produksi / pemasaran.
f. trust (pasal 12);
Perjanjian antara pelaku usaha dg pelaku usaha lainnya untuk melakukan kerjasama
dengan cara membentuk gabungan perusahaan yg lebih besar atau tetap
mempertahankan kelangsungan perusahaan-perusahaan anggotanya
g. oligopsoni (pasal 13);
Perjanjian antara sesama pelaku usaha untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian / penerimaan pasokan dengan tujuan mengendalikan harga barang / jasa
dalam pasar bersangkutan.
h. integrasi vertikal (pasal 14);
Perjanjian antara para pelaku usaha dengan tujuan menguasai sejumlah produk yg
termasuk dalam rangkaian produksi barang/jasa tertentu
i. perjanjian tertutup (pasal 15);
j. perjanjian dg pihak luar negeri (pasal 16).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengecualian Dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pengecualian
adalah penyimpangan dari kaidah (tidak mengikuti kaidah). Pada dasarnya
pengecualian adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum yang
berlaku tapi dibenarkan, atau perbuatan yang secara tegas tidak diklasifikasikan
sebagai suatu pelanggaran dalam aturan hukum tertentu.
Dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha, maka sangatlah penting untuk
meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, baik melalui kesepahaman atas hukum persaingan usaha maupun melalui
harmonisasi kebijakan persaingan dengan kebijakan pemerintah lainnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa ketentuan antara lain yang
berkaitan dengan:
a.
b.
c.
d.
monopoli dan perilaku persaingan usaha tidak sehat. Padahal, seharusnya keberadaan
hak eksklusif tersebut dipisahkan terlebih dahulu dari tindakan pengeksploitasiannya.
Hak eksklusif hanya memberikan landasan hukum untuk memonopoli, tetapi sifatnya
fakultatif atau optional. Artinya, kalau pemegang hak cipta memutuskan untuk tidak
mengeksploitasi secara komersial ciptaannya, misalnya dengan memberikan sharealike license, maka tidak akan terjadi suatu kondisi persaingan usaha tidak sehat.
Hukum hak cipta mengatur tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang
hak cipta dalam suatu kegiatan perdagangan. Sedangkan, hukum persaingan usaha
dan perlindungan konsumen mengatur tentang batasan-batasan agar pemegang hak
cipta dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan tidak merugikan konsumen. Oleh karena itu pemegang hak cipta
diharap mampu menjaga persaiangan usaha secara sehat dan tidak merugikan
konsumen.
Pasal 50 b dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengecualikan perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, disain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia
dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
Perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi yang dirumuskan dalam Pasal 1
angka 7 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dalam pasal pengecualian ini ada dua perjanjian yang harus
diperhatikan untuk dikecualikan, satu berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HKI) serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise). Dalam
Hukum Persaingan HKI maupun waralaba sering dianggap bersifat paradoks karena
memberikan hak untuk memonopoli secara eksklusif yang bahkan dilindungi pula
oleh undang-undang. Sementara itu undang-undang Hukum Persaingan berupaya
mengatur agar monopoli yang diijinkan haruslah seimbang dan tidak dieksploitasi.
Prinsip dasarnya adalah HKI bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan
manusia dan untuk mendapatkannya harus melalui penelitian, waktu dan biaya yang
tidak murah. Sehingga wajar memberikan insentif untuk menikmati hasil temuannya
10
11
Adapun Pedoman yang disusun oleh KPPU tersebut dimaksudkan agar terdapat
kesamaan penafsiran terhadap masing - masing unsur dalam Pasal 50 huruf b,
sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau
sengketa dalam penerapannya. Selain itu dengan adanya pedoman diharapkan pula
bahwa Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat dan adil
dalam sengketa yang berkaitan dengan Pasal tersebut.
Di dalam pedoman yang dibuatnya, KPPU berusaha menjelaskan hal-hal yang
memungkinkan adanya perbedaan interpretasi, yakni dalam hal hubungannya dengan
penyebutan istilah lisensi yang diikuti istilah paten, merek dagang dan sebagainya,
dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan hak
kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi
yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak
desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Di dalam pedomannya
KPPU juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah tidak
hanya merek dagang saja tetapi termasuk juga merek jasa. Selain itu dijelaskan pula
bahwa istilah rangkaian elektronik terpadu hendaknya dimaknai sebagai desain tata
letak sirkuit. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya pedoman tersebut
dijelaskan juga mengenai hubungan keberadaan rezim hukum HKI dan hukum
persaingan usaha yang sering dipandang sebagai hal yang bertolak belakang. KPPU
dengan pedomannya menjelaskan bahwa keberadaan keduanya hendaknya dipandang
sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk
keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua rezim hukum tersebut
mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional
di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pedoman yang dibuat oleh KPPU juga menjelaskan bahwa adanya suatu hak
eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli pasar. Adapun
pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya
dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan sebagaimana
12
menunjukkan
terjadinya
persainganusahatidaksehat;
14
praktek
monopoli
dan
lisensi
HKI
hanya
diberlakukan
dalam
hal
perjanjianlisensiHKIyangbersangkutantidakmenampakkansecara
jelassifatantipersainganusaha.
Dalam
konteks
tersebut
maka
langkah-langkah
yang
dilakukan
untuk
Kekayaan
Intelektual.
Apabila
perjanjian
lisensi
HKI
tersebut
belumdicatatkan,makapengecualiantidakberlaku.
Keempat, perlu diperiksa apakah dalam perjanjian lisensi HKI tersebut terdapat
klausul-klausul yang secara jelas mengandung sifat anti persaingan. Apabila indikasi
yang jelas tidak ditemukan, maka terhadap perjanjian lisensi HKI tersebut berlaku
pengecualian dari ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha.
15
Hal yang perlu dianalisis dari suatu perjanjian lisensi HKI untuk mendapat
kejelasan mengenai ada tidaknya sifat anti persaingan adalah klausul yang terkait
dengan kesepakatan eksklusif (exclusive dealing) . Dalam pedoman ini, perjanjian
lisensi HKI yang dipandang mengandung unsur kesepakatan eksklusif adalah yang di
antaranya mengandung klausul mengenai: 1) Penghimpunan Lisensi (Pooling
Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing); 2) Pengikatan Produk (Tying
Arrangement); 3) Pembatasan dalam bahan baku; 4) Pembatasan dalam produksi dan
penjualan; 5) Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali; 6) Lisensi
Kembali (Grant Back).
Adalah penting untuk diperhatikan, bahwa adanya satu atau lebih dari satu unsur
di atas dalam suatu perjanjian lisensi HKI tidaklah menunjukkan bahwa perjanjian
lisensi HKI tersebut secara serta merta memiliki sifat anti persaingan. Harus ada
kondisi tertentu yang harus diperiksa dari masing-masing klausul tersebut untuk
menentukan apakah klausul tersebut mengandung sifat anti persaingan. Lebih lanjut,
di bawah ini diuraikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa suatu
klausul kesepakatan eksklusif, sebagai berikut:
1) Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing)
Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) merupakan tindakan para pelaku usaha
untuk saling bekerjasama dengan para mitra usahanya untuk menghimpun lisensi HKI
terkait komponen produk tertentu. Sedangkan, Lisensi Silang(Cross Licensing)
merupakan tindakan saling melisensikan HKI antar para pelaku usaha dengan
mitranya, biasanya hal tersebut dilakukan dalam kegiatan Research and Development
(R&D). Dengan melakukan Penghimpunan Lisensi dan/atau Lisensi Silang para
pelaku usaha dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost) hak eksklusif yang
pada akhirnya membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah.
2) Pengikatan Produk (Tying Arrangement)
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pengikatan produk bersifat anti
persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor
16
pada prinsipnya dapat menggabungkan dua atau lebih produknya yang telah
dilindungi HKI untuk diperdagangkan kepada masyarakat. Namun demikian,
konsumen tetaplah harus diberikan pilihan untuk membeli salah satu produk saja.
3) Pembatasan dalam bahan baku
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan bahan baku bersifat
anti persaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa
pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat memberikan pembatasan kepada
penerima lisensi (licensee) mengenai kualitas bahan baku yang digunakan. Hal ini
dipandang perlu untuk memaksimalkan fungsi teknologi, menjaga keselamatan, dan
untuk mencegah bocornya rahasia. Walaupun demikian, setiap pihakpun hendaknya
memahami bahwa pembatasan terhadap sumber penyedia bahan baku dapat
mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi untuk memilih kualitas bahan baku dan
pemasok (supplier) bahan baku; yang pada akhirnya dapat membuat pelaksanaan
perjanjian lisensi tersebut justru tidak efisien secara ekonomi.
4)Pembatasan dalam produksi dan penjualan
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam penjualan
bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa
pada prinsipnya dapat menetapkan pembatasan terhadap wilayah atau jumlah produk
yang diproduksi dengan menggunakan teknologi milik yang boleh dipasarkan.
Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa apabila
pembatasan tersebut membuat licensee tidak dapat melakukan inovasi teknologi,
maka hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien. Oleh
karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan wilayah dan
jumlah produk yang dapat dipasarkan yang terbukti menghambat dalam melakukan
inovasi teknologi, sehingga pengembangan produk menjadi tidak efisien, dapat
dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.
5) Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali
17
Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan harga jual dan harga
jual kembali bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya
memandang bahwa dapat menentukan pada tingkat harga berapa produknya dapat
dipasarkan sesuai dengan rasionalitas investasi dari produk yang bersangkutan.
Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan
harga tersebut dapat mengakibatkan pembatasan persaingan kegiatan bisnis antara
dan distributor yang akan berdampak pada berkurangnya persaingan, yang pada
akhirnya hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien.
6) Lisensi Kembali (Grant-back).
Lisensi kembali (Grant-back). merupakan salah satu ketentuan dalam suatu
perjanjian lisensi dimana penerima lisensi (licensee) disyaratkan untuk selalu
membuka dan mentransferinformasi kepada pemberi lisensi (licensor) mengenai
seluruh perbaikan dan pengembangan yang dibuat terhadap produk yang dilisensikan,
termasuk didalamnya know-how terkait pengembangan tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
Tidak semua monopoli dilarang oleh ketentuan undang-undang No 5 tahun 1999, dalam
Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan dari
ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana
diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang
No 5 Tahun 1999 adalah: Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
18
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
Terdapat hubungan antara Hukum Persaingan Usaha dengan Hak atas Kekayaan Intelektual,
kedua domain hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk
keharmonisan sistem hukum itu sendiri yakni meningkatkan efisiensi sistem perekonomian.
Hukum hak cipta mengatur tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang hak cipta
dalam suatu kegiatan perdagangan. Sedangkan, hukum persaingan usaha dan perlindungan
konsumen mengatur tentang batasan-batasan agar pemegang hak cipta dalam menjalankan
kegiatan usahanya tidak menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan tidak merugikan
konsumen. Oleh karena itu pemegang hak cipta diharap mampu menjaga persaiangan usaha
secara sehat dan tidak merugikan konsumen.
Daftar Pustaka
Buku :
Hermansyah. 2008. Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta :
Kencana Perdana Media Grup.
Siswanto, Ari. 2004. Hukum Persaingan Usaha. Bogor : Gahlia Indonesia.
Undang Undang :
Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009
tentang Pengecualian penerapan Undang -undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
19
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan
dengan Hak atas Kekayaan Intelektual.
20