Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat baik

dibidang sosial, ekonomi maupun budaya semakin mendorong laju

perkembangan perekonomian masyarakat, disamping itu dengan semakin

meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan sarana transfortasi

telah menjadikan kegiatan disektor bidang perdagangan barang dan

jasa tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan perkembangan

ekonomi nasional yang semakin membaik.

Sejak indutrialisasi berkembang, merek menjadi faktor kunci dunia

perdagangan dalam era perdagangan global, peranan merek menjadi penting

terutama untuk persaingan bisnis yang sehat.1 Merek menjadi bagian yang

sangat penting dalam suatu perdagangan, hal ini disebebkan diperlukan adanya

ciri khas baik berupa logo/gambar, kemasan, bentuk, ataupun warna yang

menjadi pengingat atau pengenal suatu brand tertentu sehingga menjadi mudah

diingat atau dikenal masyarakat luas sebagai pangsa pasar. Sehingga para

produsen di dunia ekonomi berlomba-lomba untuk menciptakan suatu brand

1
Gloria Gita Putri Ginting, Perlindungan Hukum Merek Terkenal Tidak Terdaftar Di Indonesia,
(Jurnal Gloria Juris, Vol. 6, No.2, Mei-Agustus 2006), hlm. 157
identity dalam bentuk karya intelektual dalam berbagai wujud sebagai daya jual

mereka.

Dalam dunia persaingan bisnis merek ternama biasanya akan menjadi

contoh bagi produsen ekonomi serupa untuk bisa menciptakan barang yang bisa

laku dipasaran, disinilah menjadi awal mula plagiat atau peniruan dalam gambar/

logo sehingga jika konsumen lain melihat barang tersebut seolah-olah seperti

barang dari sebuah merek ternama yang asli. Tentu bagi pemilik merek ternama

pemalsuan atau plagiat gambar/logo merupakan masalah besar, dikarenakan

dapat mengurangi omset penjualan atau bahkan bisa menurunkan nilai dari suatu

merek ternama tersebut. Menyikapi permasalahan tersebut negara - negara

yang perkembangan ekonominya maju, pranata-pranata hukum bisnis telah

disiapkan jauh ke depan untuk mengantisipasi proses dan perilaku ekonomi

yang sebagai pedoman hukum untuk mencegah terjadinya berbagai

penyimpangan atau kecurangan yang terjadi. Sementara itu, fenomena yang

terjadi di Negara yang sedang berkembang, pranata hukum di bidang

ekonomi atau perdagangan belum mampu mengakomodir aktivitas dan

proses ekonomi yang terjadi.2 Oleh sebab itu merek merupakan salah satu bentuk

kekayaan intelektual yang pranata hukumnya sejak dahulu diatur secara khusus

dan masuk kedalam obyek dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

2
Erma Wahyuni, dkk, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, (Yogyakarta: YPAPI, 2011),
hlm. 1
Dalam perkembangangnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual

pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan

kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi

perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya.

Sesuai dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai milik perorangan

yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).

Pengenalan HKI sebagai hak milik tidak berwujud dan penjabarannya secara

lugas ada dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi

merupaan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HKI, aturan tersebut

diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan

tidak saja akan memberikan akan memberikan rasa aman, tetapi juga

mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk

menghasilkan karya-karya inovatif, inventif dan produktif.

Jika dilihat dari latar belakang historis mengenai HKI terlihat bahwa negara

barat (western) penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun hasil olah

pikir individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya mereka yang

kemudian diterjemahkan dalam perundang-undangan.

HKI bagi masyarakat barat bukanlah sekedar perangkat hukum yang

digunakan hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang

akan tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan

dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau penemu


tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/ penemuannya secara ekonomi. Hasil dari

komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intelektual

untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi

individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga

dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.

HKI adalah kekayaan manusia yang tidak berwujud nyata, tetapi

berperan besar dalam memajukan peradaban umat manusia, sehingga

perlindungan HKI diberikan oleh negara untuk merangsang minat para pencipta,

penemu, pendesain dan pemulia, agar mereka dapat lebih bersemangat dalam

menghasilkan karya-karya intelektual yang baru demi kemajuan masyarakat.3

Adapun konsep HKI dari istilah Hak Kekayaan Intelektual, paling tidak ada

3 kata kunci dari istilah tersebut yaitu: Hak, kekayaan dan intelektual. Hak

adalah benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu

(karena telah ditentukan oleh Undang-Undang), atau wewenang menurut hukum.

Kekayaan adalah prihal yang bersifat, ciri, kaya, harta yang menjadi milik orang,

kekuasaan Intelektual adalah  Cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan

ilmu pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan, atau

totalitas pengertian atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan

pemahaman. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul dari

kemampuan Intelektual manusia yang dapat berupa karya dibidang teknologi,

3
Haryani Iswi, Prosedur Mengurus HKI yang Benar, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010),
hlm. 6.
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas kemampuan

intelektual melalui pemikiran, daya cipta dan rasa yang memerlukan curahan

tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh "produk" baru dengan landasan

kegiatan penelitian atau yang sejenis.

HKI atau di Malaysia disebut dengan Harta Intelek merupakan padanan

dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata "intelektual" tercermin

bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau

produk pemikiran manusia (the creations of the human mind). Secara substantif

pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau

lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Menurut Bambang Kesowo HKI pada intinya HKI terdiri dari beberapa

jenis yang secara tradisional dipilih dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: Hak

Cipta (Copyright), dan Hak Atas Kekayaan Industri (Industrial Property)

yang berisikan: Paten, Merek, Desain Produk Industri, Persaingan Tidak

Sehat, Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang.4

Pengaturan Merek dalam ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual

(HKI), diuraikan bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek

menggantikan UU No.21 Tahun 1961 yang dianggap sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan di bidang perdagangan, yang sebetulnya

sudah disempurnakan melalui UU No. 14 tahun 1997. Sejauh menyangkut

4
Bambang Kesowo, Kebijakan Di Bidang Hak Milik Intelektual Dalam Hubungannya
Dengan Dunia Internasional Khususnya GATT, (Panel Diskusi Bidang Hukum Hak Milik
Intelektual DPP Golkar, Jakarta), hlm. 7
prinsip-prinsip pokok dan pengertian-pengertian, ternyata UU No.14 Tahun

1997tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan UU No. 19 Tahun

1992yang secara substansial telah menyesuaikan diri dengan ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam perjanjian TRIPs (TRIPs

Agreement).Demikian pula UU No. 15 Tahun 2001, jika dibandingkan

dengan UU No. 14 Tahun 1997 terdapat beberapa penyempurnaan

yang disesuaikan dengan perjanjian TRIPs serta perjanjian-perjanjian

internasional lainnya serta pengalaman Kantor Merek (Dirjen HKI,Depkeh

HAM RI) yang saat ini telah menjadi Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Dirjen Kekayaan Intelektual.5

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang

dimaksud dengan merek, yaitu:

"Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf -huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa"

Sedangkan pengertian Merek pada UU Merek baru yaitu UU No.20 tahun

2016 lebih detail menguaraikan pengertian tentang merek, yakni:

"Merek adalah tanda yang ditampilkan secara grafis berupa gambar,


logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua)
dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram atau kombinasi
dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/
jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan
perdagangan barang dan/ atau jasa"

5
Erma Wahyuni, dkk, Op.Cit., hlm. 2.
Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa fungsi utama merek

adalah untuk membedakan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang

sejenis. Dengan demikian merek merupakan tanda pengenal asal barang atau

jasa yang bersangkutan dengan produsennya.6

Dalam Merek, setiap pemilik merek diberikan oleh pemerintah berupa hak

khusus atau hak merek dimana hak tersebut memberikan hak kepada pemilik

merek untuk menggunakan merek tersebut atau memberikan izin untuk

menggunakannya kepada orang lain.

Untuk mendapatkan hak tersebut, pemilik merek harus terlebiih dahulu

mendaftarkan terlebih dahulu merek tersebut dalam Daftar Umum Merek di

Kementerian Hukum dan Ham Negara Republik Indonesia.7 Pasal 1 UU No. 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan:

"Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak
lain untuk menggunakannya"

Menurut Rahayu Hartini, merek memiliki fungsi yang sangat penting

dan strategis di dalam perdagangan, karena tidak hanya berfungsi untuk

membedakan suatu produk dengan produk lainnya, melainkan juga berfungsi

sebagai aset perusahaan yang tidak ternilai, terutama untuk merek-merek

yang berpredikat terkenal (Well-Known Marks).8 Selain itu, Merek juga

6
Ibid., hlm, 2-3.
7
Tim Lindsey dkk., Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2011),
hlm. 131
8
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang: Universitas Muhamadiyah, 2006), hlm. 336.
sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering

mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek

tertentu sehingga sebuah Merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga

secara komersial. Bagi konsumen, jika sebuah perusahaan menggunakan merek

perusahaan lain, para konsumen mungkin merasa tertipu karena telah

membeli produk dengan kualitas yang lebih rendah.9 Dengan pentingnya

fungsi Merek tersebut, maka dibutuhkan suatu pengaturan yang memadai

sehingga dapat memberikan suatu kepastian dan perlindungan hukum yang

kuat bagi para pihak yang terkait.

Dalam hal perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal tersebut, menurut

Soedjono Dirdjosisworo, hal tersebut berkaitan erat dengan prinsip “itikad baik”,

dimana Soedjono juga menjelaskan bahwa yang berhak atas sesuatu merek, yaitu

seseorang yang telah mendaftarkannya di Indonesia, tetapi dengan iktikad baik

dan apabila pendaftaran ini telah dilakukan dengan itikad buruk, maka tidak akan

diberi perlindungan tentunya pendapat tersebut menandakan bahwa apabila

pemakaian suatu Merek tersebut memiliki iktikad buruk, maka dapat diadakan

permintaan pembatalan.10

Di dalam ruang lingkup Merek tersebut, terdapat pengaturan yang bersifat

khusus, yaitu mengenai Merek Terkenal. Perlindungan Merek Terkenal

merupakan salah satu aspek penting dari hukum Merek. Kepentingan ekonomi

9
Tim Lindsey dkk, Op. Cit., hlm. 131-132
10
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (Hak
Cipta, Hak Paten, Hak Merek), (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2000), hlm. 222
dari merek-merek terkenal diakui dalam perjanjian internasional World

Intellectual Property Organization (BAB XX). Selain itu, merek-merek terkenal

juga diakui di berbagai negara, termasuk Indonesia. Adapun perlindungan

hukum terhadap Merek Terkenal diberikan dalam hubungan pemakaian secara

umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang - barang dimana

Merek tersebut didaftarkan.11

Di dalam Pasal 21 Ayat (1) UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis, menyatakan:

“Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada


pokoknya atau keseluruhannya dengan:
a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu
oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.”

Berdasarkan Pasal tersebut, dapat dilihat bahwa adanya perlindungan

hukum bagi Merek Terkenal di Indonesia, yaitu pada Pasal 21 Ayat (1) huruf b

dan c UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Namun, pendaftaran tetap menjadi permasalahan utama dalam

pelanggaran terhadap Merek Terkenal di Indonesia. Kerap terjadi, manakala

Merek Terkenal lalai atau belum didaftarkan oleh pemiliknya, Merek

bersangkutan telah didaftarkan terlebih dahulu oleh pihak lain sehingga pihak

lain tersebut memperoleh hak atas Merek. Pendaftaran suatu Merek dapat

11
Tim Lindsey dkk, Op. Cit., hlm. 149-150.
diterima, karena hasil dari pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) tidak

menunjukkan Merek yang akan didaftarkan memiliki persamaan dengan

Merek lain. Namun sebaliknya, ketika terjadi sengketa di Pengadilan,

ternyata diketahui bahwa Merek yang didaftarkan tersebut mempunyai

persamaan dengan Merek lain, sehingga pendaftaran terhadap

Merek bersangkutan dibatalkan.12 Hal ini dapat terjadi karena belum

memadainya pengaturan mengenai Merek Terkenal tersebut. Tidak terdapat

ketentuan Pasal - Pasal dalam UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis yang secara khusus dan jelas mengatur tentang Merek

Terkenal. Adapun Pasal 21 Ayat (1) huruf b dan c UU No 20 Tahun 2016

tentang Merek dan Indikasi Geografis tersebut hanya mengatur bahwa

permohonan terhadap Merek harus ditolak apabila memiliki persamaan pada

pokok atau keseluruhannya dengan Merek Terkenal sementara kriteria-

kriteria mengenai Merek Terkenal tidak dicantumkan dengan jelas baik

dalam Pasal tersebut maupun dalam Penjelasan dari Pasal tersebut.

Dengan adanya Merek, maka persaingan usaha yang tidak sehat

seharusnya dapat dicegah. Hal ini dikarenakan dengan Merek, produk

barang atau jasa yang sejenis dapat dibedakan asal mulanya, kualitasnya,

serta keterjaminan bahwa produk itu original. Era perdagangan global hanya

12
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), hlm.48.
dapat dipertahankan apabila terdapat iklim persaingan usaha yang sehat.13

Namun, hal ini justru cenderung dimanfaatkan oleh para pihak yang

ingin memperoleh keuntungan dari Merek yang sudah terkenal, sehingga dalam

prakteknya sering terjadi penggunaan Merek Terkenal tanpa izin dari

pemilik Merek tersebut sehingga terjadi pelanggaran Merek. Hal ini

sangat merugikan konsumen dimana konsumen tidak mendapatkan produk

dengan kualitas yang seharusnya dan juga sangat merugikan pemegang Merek

Terkenal tersebut karena reputasinya yang menurun akibat kekecewaan

konsumen. Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi Merek Terkenal sangat

dibutuhkan.

Salah satu contoh dari pelanggaran terhadap merek terkenal dari luar

negeri, dimana DC Comics penerbit buku komik asal Amerika Serikat yang

menggugat PT. Marxing Fam Makmur (PT. MFM) berdomisili di Surabaya

untuk membatalkan merek Superman di Pengadilan Niaga pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat. PT. MFM dalam melakukan pendaftarannya merek nama

dan logo "Superman" di Kemenkumham tidak memiliki itikad baik karena merek

yang didaftarkan tersebut memiliki persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan merek terkenal milik DC Comics yaitu Superman.

Gugatan tersebut tercata dalam nomor registrasi 17/ Pdt.Sus-HKI/ Merek/

2018/PN Jkt Pst yang terdaftar pada 3 April 2018. Pihak DC Comic meminta

PT . MFM untuk membatalkan merek Superman dan membatalkan nomor


13
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Intelektual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 330
daftar IDM000374438 dan IDM000374439 dari daftar umum merek di

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

DC Comics telah mengklaim bahwa memiliki hak eksklusif terhadap

merek-merek tersebut di wilayah Indonesia. Penggugat meminta pengadilan

untuk menyatakan merek Superman dengan nomor daftar

IDM000374438 dan IDM000374439 atas nama PT Marxing Fam Makmur

telah didaftarkan dengan itikad tidak baik. Dalam hal ini, penggungat juga

meminta untuk pembatalan merek Superman dengan nomor daftar

IDM000374438 dan IDM000374439 atas nama tergugat dengan akibat hukum

yang berlaku.

Oleh karena itu, penulis ingin meninjau kasus pelanggaran Merek Terkenal

diatas, dimana merek nama/logo "Superman" yang didaftarkan oleh PT. MFM

memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal

"Superman" yang dimiliki oleh DC Comic. Sehingga menjadi latar belakang

penulisan penelitian hukum ini serta menjadi alasan penulis untuk menulis judul

penelitian hukum, yaitu: "SENGKETA LOGO MEREK PADA WAFER

SUPERMEN ANTARA DC COMICS MELAWAN PT. MARXING FAM

MAKMUR (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 1105 K/PDT.SUS-HKI/2018)”.

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan

kepada ilmu hukum keperdataan, dengan memberikan hasil penelitian


mengenai perlindungan hukum terhadap Merek Terkenal pada prakteknya

dan mengaitkannya dengan sistem hukum yang telah ada. Dan dengan hasil

penelitian ini, diharapkan agar perlindungan hukum bagi Hak Kekayaan

Intelektual, khususnya Merek Terkenal, dapat ditingkatkan sehingga kepentingan

para pihak yang terkait dapat dipertahankan. Bagi pemegang Merek Terkenal,

reputasi serta keuntungan yang didapatkan dapat dipertahankan atau bahkan

ditingkatkan kembali. Bagi pelaku usaha, daya kompetisi usaha yang sehat

dapat dibangun. Bagi masyarakat luas, dapat memperoleh produk yang

lebih berkualitas dan lebih kompetitif. 14 Serta Bagi pemerintah, dapat

memberikan perlindungan hukum yang lebih jelas dan pasti bagi

masyarakat dunia sehingga kerja sama internasional dapat ditingkatkan

14
Helianti Hilman, Manfaat Perlindungan Terhadap Karya Intelektual Pada Sistem HaKI,
(Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 5.
B. RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis menemukan

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut:

1. Bagaimana benntuk pengaturan Merek Terkenal di Indonesia menurut UU

No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis?

2. Bagaimana perlindungan hukum Merek Terkenal yang diterapkan di

Indonesia dalam Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 1105

K/PDT.SUS-HKI/2018?

C. TujuanPenelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka dapat ditarik tujuan

penulisan penelitian ini ialah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk pengaturan Merek Terkenal di Indonesia menurut

UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis;

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum Merek Terkenal yang diterapkan di

Indonesia dalam Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 1105

K/PDT.SUS-HKI/2018.

D. ManfaatPenelitian

1. Kegunaan Secara Teoritis dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat

mengembangkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan serta bagi


penulis sendiri, sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan terutama

dalam pemahaman bidang ilmu hukum, khususnya dalam hukum merek.

Disamping itu diharapakan pula dalam perkembangan ilmu pengetahuan

pada umumnya, khususnya dalam bidang hukum perdata dan kenotariatan.

2. Kegunaan Secara Praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran secara umum dan berguna sebagai bahan masukkan

pemikiran dalam bidang hukum khususnya dalam bidang hukum merek,

Sumber bacaan, referensi dan informasi bagi pihak-pihak yang

membutuhkan. Dan syarat untuk menyelesaikan jenjang pascasarjana pada

notaris dan para calon notaris.

E. MetodePenelitian

Metode penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka, seperti penelitian terhadap: asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf

sinkronisasi vertical horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.15

Menurut Soerjono Soekanto, “metodologi pada hakekatnya memberiakan

pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa,

dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya”.16


15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2010), hlm. 13.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6.
Penelitian merupakan, “suatu sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu hukum, karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
secara sistimatis, metodologis dan konsistensi, sesuai dengan hasil
analisanya”.17

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud metode penelitian

adalah prosedur mengenai cara-cara melaksanakan penelitian (yaitu meliputi

kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis, sampai

menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala ilmiah. Dalam

penulisan ini, secara umum digunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan menelaah norma hukum tertulis

atau menarik asas-asas hukum terhadap hukum positif tertulis, antara lain dengan

memilih dan menganalisis pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan sengketa merek logo/nama dari “Superman” antara DC

COMICS melawan PT. MFM.

Deskriptif analisis dalam hal ini berkaitan dengan permasalahan sengketa

logo merek pada wafer supermen antara DC COMICS melawan PT. MFM yang

sama artinya dianalisis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yaitu

penjabaran deskriptif analisis dengan cara menjelaskan melalui analisis.

Sehingga penulis menggunakan metode penelitian normatif dalam tesis ini.

Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui

studi kepustakaan meliputi :18

17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Cet. Ke-15, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 1.
18
Ibid, hlm. 32.
1. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan, seperti Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1105 K/Pdt.Sus-Hki/2018, Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami

bahan hukum primer19, contohnya adalah buku yang ditulis oleh para ahli

dibidang hukum yang dapat dijadikan sebagai pendapat dari para ahli, jurnal,

skripsi, artikel, dan penulisan ilmiah lainnya. Dalam penulisan ini, bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah hasil karya dari kalangan hukum.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum Primer dan/atau bahan hukum

Sekunder. Dalam penulisan ini bahan hukum tertier yang digunakan adalah

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Abstrak, Kamus Hukum, dan Jenis-jenis

sumber tertier lainnya.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara menggali

kerangka normatif menggunakan bahan hukum yang membahas tentang teori-

teori hukum terhadap HKI dan Merek baik itu Nasional maupun Internasional.

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan

berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem dan

diklasifikasi menurut sumber dan hierarkhinya untuk dikaji secara kompeherensif.

19
Yamin dan Utji Sri Wulan Wuryandari, Nukilan: Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Universitas Pancasila, 2014), hlm. 29.
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis

kualitatif yang dapat menghasilkan data penelitian yang bersifat deskriptif yaitu

memberikan gambaran mengenai persoalan-persoalan apa yang terjadi terhadap

objek penelitian dengan menghadirkan fakta kasus, fakta hukum, dan penegakan

hukumnya itu sendiri pada penelitian20 tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor

1105 K/Pdt.Sus-Hki/2018.

20
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007), hlm. 33.

Anda mungkin juga menyukai