Anda di halaman 1dari 7

1. We should discourage individuals from smoking.

2. Independent watch of national examination shoul maximize their work


3. There are too many politic parties in Indonesian Election.

Awan Sundiawan
Hatiku Berkata Tanganku Menulis

Ringkasan Novel: AZAB DAN SENGSARA


April 14, 2009 in Artikel
Tags: Apresasi Sastra, Azab Sengsara, Cerita Rekaan, Merari Siregar, Sastra Indonesia
AZAB DAN SENGSARA
(KISAH KEHIDUPAN SEORANG GADIS)
Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan sengsara
ini sebagai novel pertama di Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia
modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan pada
anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya
Balai Pustaka. 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun
sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal
pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya.
Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.
Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan dalam
hubungan nya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru.
Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa
Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar-juga banyak yang bertema demikian.
Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya
D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka, juga bertema
perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara
tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah secara tajam mempermasalahkan
perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Ini ringkasannya
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal
kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan
hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan
keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum,
sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya

terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan
demikian.
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap
bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil
dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun
tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah
tangga. Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah
bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat
pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia
akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang
selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat
melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama
sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak
kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin,
perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga
miskin itu.
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala
kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang
sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga
kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin,
perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya.
Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang
dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin.
Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu
sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan
rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin
akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak
dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi
kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang
menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya.
Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah
dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan
ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa
calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin
menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera
mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada
Mariamin akan segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan
membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar.
Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt
negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang
dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam
pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima
lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya.
Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut
pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi
penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan
Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya
karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan
wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya
yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah
sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim
dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah
tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan,
melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya
dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan,
Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin
menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun,
kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa
belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan
melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa
Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali
perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak
lama kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna
sudah dengan kematiannya. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi,
berkubur dengan jasad yang kasar itu. (hlm. 163).

Awan Sundiawan
Hatiku Berkata Tanganku Menulis

Ringkasan Novel: Siti Nurbaya


April 14, 2009 in Cerita Rekaan
Tags: Balai Pustaka, Kasih Tak Sampai, Marah Rusli, Novel, Sastra Indonesia, Siti
Nurbaya
SITTI NURBAYA
(Kasih Tak Sampai)
Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)
Penerbit : Balai Pustaka
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya ini
sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik,
seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko
Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar social lebih jelas,
tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adapt-istiadat dan tradisi kolot
yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan masalah
perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian banyak
diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari pemerintah
Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus- kini
Hadiah Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi.
Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak ditulis
oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri. Hingga kini,
ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah kesusastraan
Indonesia modern, maupun dalam konteks social dan emansipasi wanita.
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun 1963 saja,
di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11. Untuk pengajaran
sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah satu novel wajib.
Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran utamanya
Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai Samsulbahri).
Inilah ringkasannya.
Sutan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di
Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu,
mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku
baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar
kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak
tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan
Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula

hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka
menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di
sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan
cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke
Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha
untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman
sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat
harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. Aku sesungguhnya tidak senang melihat
perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia
bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan, demikian Datuk
Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar
dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda
Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun,
sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat
perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia
meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda
Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat Pucuk dicinta ulam
tiba, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan
licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat
harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk
Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk
Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila
Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban lelaki
hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia
sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring
polisi dan siap menjalsni hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari
kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya
tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada
penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti
Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja
ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan
diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya
pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun
bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih
yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah
melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak

melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu.
Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat
kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga
menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang
merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir
Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya,
sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan
patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah
seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun,
akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri
harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh
karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk
Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun
Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena
keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia
kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta.
Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri.
Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri.
Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan
telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan
pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas.
Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada
kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang
dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika
mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang
terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah
leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh
Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan
cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak
Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka
parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat
dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan
ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara Si anak yang hilang dan
ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu.
Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia
mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah,

begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun
lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia
pada keesokan harinya.
***

Anda mungkin juga menyukai