Anda di halaman 1dari 13

BIODATA

Nama : Rusdavina Romauli Siregar


TTL : Pontianak, 20 April 2001
Alamat : Jl. Purnama komp. Pinangsia no. C 12
Hobi : Membaca dan mendengarkan musik
No HP : 081350401521

Nama : Glorie Hosiana Maria Simangunsong


TTL : Pontianak, 28 September 2001
Alamat : Jl. Ilham No. 52
Hobi : Membaca novel
No HP : 082153971454
KATA PENGANTAR
Kami sebagai penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas kehendak-Nya tugas portofolio ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya dan diberi kemudahan serta kelancaran dalam menulis tugas ini. Dalam
hal ini, penulisan buku fiksi ini bertujuan untuk menganalisis cerita fiksi dalam
novel “Azab dan Sengsara”.
Dalam penulisan portofolio ini, kami banyak mengalami kendala, namun
karena dukungan dan bimbingan dari beberapa pihak, kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik dan tepat waktu. Terima kasih kepada Ibu Wis selaku guru
Bahasa Indonesia kami yang sudah membimbing serta memberikan arahan selama
pengerjaan portofolio ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik. Ucapan terima kasih kami haturkan pula kepada penulis buku sastra “Azab
dan Sengsara”, Merari Siregar, karena beliau telah menulis buku ini dengan
sangat baik dan menarik.
Penulisan analisis ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan kata, oleh karena itu kami mengharapkan adanya masukan, kritikan, dan
saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini bermanfaat bagi pembaca
dan peneliti lain dalam menambah wawasan.

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 IDENTITAS BUKU
Judul buku : Azab dan Sengsara
Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit dan cetakan : 1920, ke-10
Jumlah halaman : 163 hal

1.2 SINOPSIS
Mariamin dulunya berasal dari keluarga yang dibilang
berkecukupan karena ayahnya dahulu memiliki sawah yang lebar dan
selalu menerima keuntungan yang bersih setiap tahunnya. Tetapi semua
berubah semenjak ayahnya selalu mendapatkan masalah dalam pembagian
warisan dengan saudaranya sehingga uangnya habis untuk menutupi
kerugian yang ditimbulkan akibat ulahnya sendiri. Ayahnya yang bernama
Sutan Baringin itu meninggal akibat sakit keras yang ia derita. Mariamin
kini hidup dengan sangat sederhana. Ia hidup penuh kekurangan bersama
dengan adik laki-lakinya dan ibunya. Mereka tinggal disebuah gubuk kecil
di pinggir Sipirok yang tidak layak huni.
Mariamin memiliki seorang sahabat sekaligus orang yang sangat
dikasihinya bernama Aminu’ddin, mereka tetap menjalin hubungan
dengan baik meskipun keluarga Mariamin telah d pandang hina oleh
masyarakat sekitar. Meskipun begitu, Mariamin tetap sangat terkenal
karena kecantikannya. Namun, hatinya hanya tertuju pada Aminu’ddin.
Saat umur mereka sudah beranjak dewasa, Aminu’ddin
memutuskan untuk merantau ke Medan dengan tujuan untuk mencari
pekerjaan sekaligus menghindari perjodohan yang hendak dilakukan oleh
kedua orang tuanya. Perpisahan antara kedua anak itu bukanlah hal yang
mudah. Mereka harus melewati siksaan rindu yang diakibatkan oleh jarak
di antara mereka. Namun demikian, mereka tidak pernah memutuskan tali
silaturahmi yang ada pada mereka.
Suatu hari, Aminu’ddin memutuskan untuk menyampaikan pada
orang tuanya bahwa ia siap untuk meminang seorang gadis untuk
pendamping hidupnya, dan gadis yang dimaksud adalah Mariamin.
Namun, ayah Aminu’ddin tidak setuju akan permintaan anaknya itu,
sehingga ia mengirimkan gadis lain ke Medan. Gadis pilihan orang tua
Aminu’ddin adalah perempuan dari kalangan terpandang. Ayah gadis
tersebut adalah seorang kepala kampung, sama seperti ayah Aminu’ddin.
Aminu’ddin adalah anak yang penurut, ia tak pernah sekalipun
berniat untuk melanggar perintah ayahnya. Ia menyetujui kehendak
ayahnya untulk menikahi gadis pilihan ayahnya dan meminta maaf kepada
Mariamin. Awalnya, Mariamin sangat terpukul mendengar kabar tersebut,
namun dengan jiwa yang lapang, ia berhasil mengikhlaskan Aminu’ddin
bersama gadis lain.
Aminu’ddin membangun rumah tangga dengan gadis itu, begitu
pula dengan Mariamin. Ia menikah dengan seorang perantau dari Medan
bernama Kasibun. Kasibun membawa Mariamin bersamanya ke Medan
untuk menetap di sana. Dalam rumah tangganya, Mariamin mendapat
banyak sekali masalah. Banyak hal yang membuat Mariamin dibenci oleh
suaminya. Siksaan dan aniaya diterima oleh perempuan itu dengan lapang
dada. Hingga padas suatu hari batas kesabarannya sudah habis. Ia pun
kabur ke kantor polisi untuk melaporkan hal buruk yang telah
menimpanya. Seorang polisi yang juga orang Batak membantu Mariamin
untuk menyelesaikan perkaranya, sehingga perceraian Mariamin pun dapat
terlaksana dengan baik.
Mariamin kembali ke Sipirok dengan membawa julukan yang
kurang baik bagi keluarganya. Hal itu semakin memperjelas gelar
kehinaan yang telah tersemat dalam keluarga mereka. Akhir cerita
Mariamin hidup dalam kesengsaraan dan meninggal dunia karena sakit
keras.

BAB II
ISI
2.1 ANALISIS UNSUR INTRINSIK
Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang
berasal dari dalam karya itu sendiri. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur,
tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
1. Tema
Tema yang digunakan dalam buku ini adalah adat istiadat. Novel
“Azab dan Sengsara” lebih menonjolkan konflik dari sisi adat yang
berlaku dalam suku batak. Satu di antaranya yakni kedua orang tua berhak
mencarikan jodoh untuk anak mereka, meskipun tanpa persetujuan sang
anak. “Kedua laki-istri itu mupakat akan mencarikan jodoh anak mereka
itu”. Dari kutipan ini dapat disimpulkan bahwa pada zaman dahulu banyak
perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, meskipun ia
belum mengenal sama sekali jodohnya tersebut.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Mariamin (tokoh protagonis)
- Patuh dan Berbakti Kepada Orang Tua
“Sedapat-dapatnya anakanda akan menurut perkataan
bunda itu”, sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia
merasa bala yang akan menimpanya.
Dari kutipan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
Mariam adalah anak yang penurut karena ia mau mematuhi
perintah ibunya meskipun hatinya sedikit tidak yakin
dengan kemauan ibunya tersebut.
- Lemah lembut
“Apakah sebabnya angkang termenung?Adakah yang
angkang pikirkan?” ujar Mariamin serta meletakkan
tangannya yang halus itu perlahan-lahan ke atas bahu
Aminu’ddin.
Kutipan di atas menunjukkan betapa lembutnya sikap
Mariamin kepada Aminu’ddin.
- Perhatian
“Sudahlah berkurang sesaknya dada ibuku itu?” tanyanya
sambil dirabanya muka ibunya yang sakit itu.
Pernyataan Mariamin di atas menunjukkan bahwa ia sangat
perhatian terhadap ibunya yang sedang sakit.
- Penyabar
Ia telah mengerti, bahwa hidupnya di dunia ini tiada lain
daripada menanggung dan menderita bermacam-macam
sengsara.
Kutipan ini menunjukkan bahwa Mariamin tidak pernaqh
mengeluh atau menyalahkan Tuhan akan penderitaan yang
dialaminya di dunia ini. Justru ia bersikap sabar dan
senantiasa menerima segala cobaan itu dengan lapang dada.
- Pemaaf
“Permintaanmu itu, Aminu’ddin, kukabulkan dengan
segala suci hati. Lagi pula seharusnyalah kita bermaaf-
maafan. Tetapi sungguhpun perhubungan kita sudah putus,
adinda ini harap juga, supaya kita sebagai orang yang
bersaudara.”
Kutipan di atas merupakan kutipan surat yang dikirimkan
kepada Aminu’ddin sebagai surat balasan atas surat lelaki
itu yang berisi permintamaafan. Dalam kutipan itu,
Mariamin menunjukkan sikapnya yang sangat pemaaf dan
dewasa meskipun hatinya sudah diremukredamkan oleh
situasi saat itu.
- Tidak suka menunda pekerjaan
“Lama lagi hujan akan turun, barangkali nanti malam.
Bagaimanapun lekasnya, saya sempat lagi menyiapkan
pekerjaanku yang terbengkalai ini, tak banyak lagi,” jawab
Mariamin.
Kutipan di atas menceritakan bahwa Mariamin yang tidak
ingin pulang sebelum menyelesaikan pekerjaannya
meskipun hujan lebat sebentar lagi akan turun.
- Jujur
Dengan tidak disembunyi-sembunyikan Mariamin
menceritakan sekalian perkaat Aminu’ddin itu.
Kutipan itu memperlihatkan sikap jujurnya kepada sang ibu.
Ia menceritakan segala keluh kesahnya pada malam itu
tanpa ada yang ia sembunyikan dari ibunya.
b. Aminu’ddin (tokoh protagonis)
- Pandai
Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk aak yang
terpandai di kelasnya.
Kutipan ini menjelaskan bagaimana keadaan Aminu’ddin
saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia menjadi
murid terpintar di kelasnya.
- Rendah hati
Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya,
nampak benar-benar, bahwa ia tidak mempunyai hati yang
ninggi.
Meskipun Aminu’ddin adalah murid terpintar, tapi ia tidak
prtnsh sekalipun menyombongka diri atas kepintarannya
tersebut. Hal inilah yang membuat dirinya semakin
disenangi oleh teman-temannya.
- Rajin
Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya,
akan tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di
rumah, sehingga gurunya amat menyayangi dia.
Menjadi yang terkecil di antara temanya tidak membuatnya
merasa kecil hati dan minder. Melainkan Aminu’ddin bisa
menjadi contoh teladan dalam bersikap rajin di mana pun ia
berada.
- Suka menolong
Sudah tentu gurunya gusar oleh karena itu, dan Aminu’ddin
menahan juga dalam hatinya, akan tetapi kadang-kadang
ia tiada dapat menahan hati dan nafsunya, yakni nafsu
yang selalu hendak memberi pertolongan kepada
kawannya.
Beberapa kali Aminu’ddin dimarahi oleh gurunya, tetapi
guru itu tidak pernah membencinya. Kemarahan gurunya
timbul hanya karena Aminu’ddin tidak pernah tahan untuk
tidak menolong temannya berhitung.
- Penurut dan berbakti kepada orang tua
Meskipun Aminu’ddin mula-mula menolak perkataan itu,
tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan
paksaan orang itu semua.
Kutipan ini menunjukkan sikap penurut Aminu’ddin yang
awalnya menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang
tuanya kepada gadis asing tersebut. Namun pada akhirnya,
ia menerima hal itu meskipun rasanya sangat menyakitkan.
c. Nuria (tokoh protagonis)
- Tabah dan saleh
Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengsara,
hatinya oun makin tetap juga dan imannya bertambah
teguh.
Kutipan di atas menggambarkan keteguhan iman ibu
Mariamin yang dilanda oleh berbagai macam masalah. Ia
tidak pernah marah atau menyesal, melainkan ia hanya
tabah dan semakin menguatkan imannya kepada Tuhan
yang Maha Esa.
- Lemah lembut
“Wah, enak benar sayur yang Riam bawa tadi, anakanda
pun pandai benar merebusnya, nasi yang sepiring itu sudah
habis olehku,” kata si ibu dengan suara lembut dan riang
akan menghiburkan hati anaknya itu.
Nuria adalah sosok yang lemah lembut dalam bertutur kata
dan bertingkah laku di hadapan anaknya seperti pada
kutipan di atas.
- Penyayang
tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-
ulang.
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana besarnya kasih
sayang yang Nuria berikan kepada anak perempuannya itu.
- Penyabar
Akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan
keras hati
Pada kutipan ini, telah sangat jelas dinyatakan bahwa tabiat
Nuria yang sabar dalam menghadapi segala pencobaan yang
dialaminya di dunia ini.
d. Sutan Baringin (tokoh antagonis)
- Licik
Utangku, yaitu bagiannya yang kuhabiskan, haruslah pula
kubayar, karena tiada dapat disembunyikan lagi. Tapi
siapa tahu, aku harus mencari akal.
Dari kutipan di atas, novel ini menunjukkan kelicikan Sutan
Baringin yang tidak ingin memberikan harta warisan yang
menjadi hak saudaranya, meskipun sebagian dari harta
tersebut memang milik saudaranya.
- Kasar
“Diam! Perempuan apakah engkau?” sahut suaminya
dengan muka yang merah, seraya ia berdiri lalu pergi ke
luar.
Kutipan di atas menunjukkan tabiat kasar sang suami
kepada istrinya. Saat itu, Nuriah hanya bermaksud untuk
menasihati suaminya saja, namun perlakuan Sutan Baringin
sungguh di luar daripada perlakuan yang baik pada istrinya.
- Pemarah
Tutur yang lemah lembut itu tiada berguna lagi. Bukanlah
dia akan melembutkan hati Sutan Baringin, tetapi
menerbitkan nafsu marah saja.
Meskipun istrinya mencoba untuk bertutur kata dengan
lemah lembut, hal itu tidak membuat kekerasan hati Sutan
Baringin menjadi lunak. Perkataan istrinya justru selalu
membangkitkan amarahnya.
- Buruk sangka
“Si Togam itu tiada dapat dipercayai. Tiadakah engkau
tahu orang yang biasa di negeri ramai amat pintarnya;
tetapi pintar dalam kejehatan...”
Kutipan di atas menunjukkan sikap Sutan baringin yang
suka berburuk sangka terhadap orang lain, bahkan pada
saudara sepupunya sendiri. Ia menduga bahwa seluruh harta
warisannya akan diambil alih oleh saudaranya yang datang
jauh dari tanah perantauan.
e. Alur
Pembahasan selanjutnya adalah alur. Alur yang digunakan dalam
novel ini merupakan alur campuran. “Sebelum kisah persahabatan
Aminu’ddin dengan Mariamin diteruskan, baiklah kita kembali dahulu
sebentar kepada kematian Sutan Baringin dan bagaimana jalannya
kehidupan orang anak-beranak itu jatuh melarat, sebagai tersebut pada
awal cerita ini”. Dari kutipan ini, kita dapat melihat jalan cerita yang
sedang berlangsung kembali ke masa lampau, atau kita kenal sebagai
flashback. “Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang
tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah,
sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak beranak”. Pada kutipan ini
pula, novel ini menunjukkan alur dari masa lampau telah kembali ke masa
sekarang. Dari dua kutipan yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa alur yang digunakan novel “Azab dan Sengsara”
merupakan alur gabungan dari alur maju dan mundur. Alur terdiri dari
lima tahapan berikut:
a. Penyituasian
Tahap ini berisi pengenalan akan situasi dan tokoh-tokoh
dalam cerita. Tahap ini diawali dengan pengenalan keadaan
Mariamin dan keluarganya yang hidup di gubuk kecil di
pinggiran Sipirok. Tahap ini juga menceritakan awal dari
perpisahan Mariamin dan Aminu’ddin, kekasihnya.
b. Konflik
Pada tahap ini, konflik dalam cerita mulai dimunculkan.
Konflik yang bermula dari perangai buruk Sutan Baringin, ayah
Mariamin membuat keluarga mereka menjadi kurang harmonis.
Sikap Sutan Baringin yang suka berfoya-foya tanpa
memikirkan kesejahteraan anak istrinya membuat Nuria harus
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, meskipun harta
yang ditinggalkan orang tua mereka sangat banyak. Tidak
sampai di situ saja, mereka harus mengalami kerugian besar
ketika Sutan Baringin memperkarakan harta warisan dengan
Baginda Mulia, saudara sepupunya.
c. Peningkatan Konflik
Tahap ini menunjukkan konflik yang muncul pada awal
cerita telah berkembang dan menjadi semakin rumit. Pada
tahap ini, keluarga Mariamin yang sudah jatuh miskin menjadi
semakin menderita karena kematian Sutan Baringin. Hari-hari
yang dijalani oleh Mariamin menjadi semakin menyesakkan
ketika ia mengetahui bahwa Aminu’ddin, kekasih sekaligus
sabahat masa kecilnya, harus pergi merantau ke Medan dan
meninggalkannya.
d. Klimaks
Klimaks sebuah cerita akan ditandai dengan masalah yang
semakin pelik dan mencapai titik puncaknya. Pada bagian ini,
novel ini menceritakan penderitaan Mariamin yang semakin
parah ketika ia mengetahui kabar bahwa Aminu’ddin telah
dijodohkan dengan gadis lain yang lebih cerdas dan terpandang
darinya. Awalnya ia sedih dan tidak bisa mengikhlaskan hal itu.
Namun, pada akhirnya ia perlahan bisa menutup luka itu dan
memilih untuk menikah dengan seorang perantau dari Medan.
Tetapi siapa yang dapat menyangka bahwa Kasibun, suami
Mariamin, justru melengkapi penderitaan Mariamin selama ini.
Rumah tangga yang mereka arungi jauh dari kata baik-baik
saja. Kasibun setiap harinya menganiaya dan menyiksa
Mariamin dengan tamparan dan tendangan yang sungguh
tragis.
e. Penyelesaian
Tahap penyelesaian pada buku ini terjadi ketika Mariamin
yang tidak tahan dengan perlakuan Kasibun dan akhirnya
melaporkan kasus tersebut kepada polisi terdekat. Polisi
berhasil menyelesaikan perkara Mariamin dan mengurus
perceraian Mariamin dan Kasibun. Mariamin kembali ke
Sipirok dengan menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Di
akhir cerita, Mariamin diketahui telah meninggal dunia karena
sakit keras yang dideritanya. Dengan berakhirnya hidup
Mariamin, berakhir pula azab dan sengsara yang ia derita di
dunia ini.
3. Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel “Azab dan
Sengsara” adalah sudut pandang orang ketiga pengarang
sebagai pengamat. Pengarang banyak menyebutkan kata ‘ia’
dan hanya melukiskan segala sesuatu yang dilihat, didengar,
dialami, dipikir, dan dirasakan oleh setiap tokoh dalam cerita.
Perhatikan kutipan berikut : “Masih disini rupanya kau, Riam,”
tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk
gadis itu. Yang di tanya terkejut seraya memandang kepada
orang yang datang tadi. Dari kutipan ini, pengarang
menggunakan kata ganti orang ketiga atau menyebutkan nama
seorang tokoh dalam melukiskan ceria dalam novel.

Setelah alur, kita akan membahas unsur intrinsik selanjutnya


yaitu penokohan. Tokoh protagonis yang berperan pada buku
ini adalah Mariamin.
2.2 UNSUR EKSTRINSIK

BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai