Anda di halaman 1dari 31

ISI DAN SIFAT KAIDAH HUKUM

Isi kaidah hukum ada 3 macam yaitu :

1. Suruhan (gebod)

2. larangan (verbod)

3. kebolehan (mogen)

sedangkan sifat kaidah hukum ada 2 macam :

1. imperatif yaitu suatu kaidah hukum dalam keadaan berbuat tidak dapat dikesampingkan. Sifat :
mengikat atau memaksa

2. facultative yaitu suatu kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan dengan
perjanjian oleh para pihak. Sifatnya mengatur/menambah

PERUMUSAN KAIDAH HUKUM

Perumusan kaidah hokum ada 2 macam, yaitu :

1. hipotetis/ bersyarat : yaitu yang menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dengan
konsekwensi (akibat) tertentu.

2. kategori : yaitu suatu keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan
antara kondisi(sebab) dengan konsekwensi(akibat).

TUGAS DAN TUJUAN KAIDAH HUKUM

Tujuan kaidah hukum adalah kedamaian. Yang dimaksud kedamaian adalah suatu keadaan dimana
terdapat keserasian antara (nilai) ketertiban ekstren antar pribadi dengan nilai ketentraman/
ketenangan intern pribadi.

Sedangkan tugas kaidah hukum adalah untuk mencapai keadilan. Yang dimaksud keadilan adalah
keserasian antara(nilai) kepastian hukum dengan (nilai) kesebandingan hukum.

Hubungan antara tugas dan tujuan hukum adalah bahwa pemberian nilai kepastian hokum akan
mengarah kepada ketertiban ekstren pribadi sedangkan pemberian kesebandingan hukum akan
mengarah kepada ketentraman/ketenangan intern pribadi.

PENYIMPANGAN TERHADAP KAIDAH HUKUM

Penyimpangan terhadap kaidah hukum dapat berupa:

1. Pengecualian/dispensasi, yaitu penyimpangan dari kaidah hukum dengan adanya dasar yang sah.

Pembenaran(Rechtsvaardigingsgrond)
Contoh: - Noodtoertand, misalnya dua orang terapung dilaut dengan sebilah papan.

-Wettelijkvoorschrift( menjalankan perintah UU, misalnya algojo melaksanakan hukuman mati).

Bebas kesalahan( schldopheffingsgrond)

Contoh: - overmacht/berat lawan, vide pasal 48 KUHP. Misalnya kasir bank yang ditodong dengan
senjata api.

2 Penyelewengan/delik, yaitu penyimpangan dengan tanpa adanya dasar yang sah.

Contoh : - Hukum perdata

a. Hukum pidana

b. HTN

c. HAN

ESSENSIALIA KAIDAH HUKUM

Esensialia kaidah hukum adalah membatasi atau mematoki bukan memaksa, sebab hukum itu
sendiri dapat dilanggar dan tidak dapat melakukan paksaan. Yang mengadakan paksaan itu adalah
diri sendiri ( karena adanya kesadaran hukum) dan orang lain ( petugas hukum).

Tidak ada kaidah hukum yang memaksa. Melainkan kaidah hukum tersebut dapat menimbulkan
adanya paksaan, dengan kata lain sifat memaksa bukan esensil dari kaidah hukum.

PERNYATAAN KAIDAH HUKUM

Kaidah hukum merupakan pandangan hukum tentang bagaimana seharusnya orang berprilaku
dan bersikap tindak menurut hukum. Jadi sifatnya abstrak dan ideal.( das sollen = apa yang
seharusnya)

Pernyataan kaidah hukum telah menyangkur kaidah hukum didalam kenyataan riel, yang merupakan
perwujudan hukum. Disini kita berbicara masalah kenyataan hukum jadi sifatnya riel ( das sein = apa
yang senyatanya).

Tentang hubungan antara kedua macam pernyataan kaidah hukum ( saat terjadinya pernyataan
kaidah hukum).

a. HANS KELSEN : Penyataan kaidah hukum umum mendahului pernyataan kaidah hukum individual.

b. TER HAAR : Penyataan kaidah individuil menyimpulkan penyataan kaidah hukum umum.
Tentang hubungan antara penyataan kaidah hukum dengan kebiasaan.

a. LOGEMAN : Penyataan kaidah hukum diikuti oleh kebiasaan.

b. TER HAAR : kebiasaan mendahului penyataan kaidah hukum

Tentang sifat penyataan kaidah hukum, ada 2 yaitu:

a. konstruktif/ kreatif, yaitu penyataan kaidah hukum yang langsung maupun tidak langsung,
merupakan penyataan kaidah hukum individuil sekaligus penyataan kaidah hukum umum

b. Eksekutif, yaitu penyataan kaidah hukum dimana pentataan kaidah hukum individual yang
berdasarkan kaidah hukum umum.

TANDA-TANDA PENYATAAN KAIDAH HUKUM

1. Berwujud :

a. Bahan-bahan resmi tertulis ( Per-UU-an, vonis, akta/surat otentik,dsb)

b. Rambu-rambu lalu lintas

c. Benda-benda

d. Kebiasaan ( kebiasaan memberi tip)

2. Tidak berwujud :

a. bunyi suara

b. hikmat kata-kata

c. perintah-perintah lisan

KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM

HANS KELSEN : hukum itu keberlakuan suatu kaidah.

Teori keberlakuan suatu hukum :

1. filosofis

2. sosiologis
3. yuridis

Essensial : yang bersifat mendasar

Hukum essensial : hokum yang bersifat mematoki, jadi bukanya memaksa karena hukum itu sendiri
tidak dapat memaksa dan ia dapat dilanggar. Yang menyebabkan terjadinya paksaan adalah diri
sendiri maupun orang lain (Negara)

Hukum merupakan gabungan dari :

d. das sein ( kenyataan/ fakta)

e. das sollen( cita-cita)

hokum yang baik : hukum yang menggambarkan keinginan-keinginan masyarakatnya.

Menurut ZEVEN BARGEN: Berlakunya kaidah hukum secara yuridis apabila kaidah hukum itu
terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku

Menurut LOGEMANN : Berpendapat suatu kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila didalam
kaidah hukum tersebut terdapat hubungan sebab-akibat atau kondisi dan konsekwensi.

Menurut GUSTAF RADERUCH : Berpendapat di dalam mencari dasar dari keberlakuan hendaklah
dilihat dari kewenangan-kewenangan pembentuk undang-undang.

Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum
tersebut diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah
hukum apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.

Berlakunya kaidah hukum secara filosofis apabila kaidah hukum tersebut dipandang sesuai
dengan cita-cita masyarakat.

Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung 3 aspek tersebut, yaitu jika kaidah hukum berlaku
secara yuridis saja maka hanya merupakan hukum mati sedang apabila hanya berlaku dari aspek
sosiologis saja dalam artian paksaan maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar alat
pemaksa. Apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filososfis saja, maka kaidah hukum
tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.
PENDEKATAN INTERDISIPLINER TERHADAP HUKUM

Dalam kepustakaan hukum, ada yang mengatakan bahwa hukum harus dipandang secara murni
sebagai hukum. Artinya harus dipisahkan dari unsur-unsur non hukum, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, politik,ekonomi. Namun dalam kenyataannya, pandangan ini sangatlah sukar untuk diikuti
karena dalam praktek hukum selalu bersinggungan dengan unsur-unsur non hukum tadi.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam mempelajari ilmu hukum kita harus mengkaitkan dengan hal-
hal lainnya diluar ilmu hokum. Untuk itu perlu diketahui pendekatan indisipliner terhadap hukum.

Disiplin diartikan sebagi system ajaran tentang kenyataan gejala yang dihadapi. Macam-macam
disiplin ada 4, yaitu:

1. Nomotetis adalah system ajaran yang menentukan/ bermaksud menemukan


generalisasi/abstraksi dari kenyataan/ gejala social yang dihadapi.

2. filsafat adalah system ajaran yang menguraikan dan merangkum serta menyerasikan nilai-nilai
manusia dalam pelbagi kontesnya.

3. sejarah adalah system ajaran yang bertujuan merekonstruksikan kenyataan/ gejala pada masa lalu

4. hukum.

Sedangkan ditinjau dari sifatnya, disiplin terbagi atas :

1. sifat analitis dari suatu disiplin merupakan suatu system ajaran yang memahami, menguraikan dan
menganalitis gejala/ kenyataan yang dihadapi.

2. sifat preskriptif yaitu system ajaran yang menemukan apkah yang seharusnya/ seyogyanya
dilakukan dalam menghadapi kenyataan/ gejala.

3. sifat deskriptif adalah system ajaran yang menentukan apakah yang senyatanya dilakukan dalam
menghadapi kenyataan/gejala

SEGI UMUM DISIPLIN HUKUM

Disiplin hukum lazimnya diartikan sebagi suatu system ajaran tentang hukum baik sebagai
norma/kaidah maupun sebagai kenyataan/ realitas. Artinya, disiplin hukum menyoroti hukum
sebagai sesuatu yang dicita-citakan maupun yang realitas/kenyataan ( das sein/ apa yang
senyatanya). Sebagai norma/ kaidah disiplin hukum bersifat preskriptif sedangkan sebagai
kenyataan/ realitas disiplin hukum bersifat deskriptif.

Ilmu tentang kaidah hukum dan ilmu tentang pengertian cenderung membatasi diri pada kaidah-
kaidah hukum sebagai suatu pandangan yang dicita-citakan. Sedangkan ilmu tentang kenyataan
menelaah hukum sebagai kenyataan yang biasanya dinamai hukum yang hidup.
Gabungan antara ilmu yang mengenai kaidah dan ilmu tentang pengertian disebut Dogmatik hukum.
Karena dalam kajiannya semata-mata bersifat Dogma. Jadi Dogmatik hukum bersifat Theoritis
Rasional, sehingga pengungkapanya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika
deduktif.

ILMU TENTANG PENGERTIAN

Pengertian dasar dalam hukum terdiri dari :

Masyarakat hukum

Jika masyarakat diartikan sebagai suatu system hubungan yang teratur dapat dirumuskan pengertian
masyrakat hukum sebagai system hubungan teratur dengan hukumya sendiri. Adapun yang
dimaksud dengan “ hukumya sendiri” adalah hukum yang dibuat oleh dan untuk masyarakat itu
sendiri dalam system hubungan tadi.

Subyek hukum

Pengertian tentang hubungan yang teratur menyimpulkan berbagai pihak yang berhubungan dalam
system itu. Masing-masing pihak tersebut disebut subyek hukum. Subyek hukum adalah setiap
pihak sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dilihat dari sifatnya subyek hukum terdiri dari :

1. mandiri, karena berkemampuan penuh untuk bersikap tindak.

2. terlindungi, karena dianggap tidak mampu bersikap tindak

3. perantara, yang meskipun berkemampuan tetapi sikap tindak dibatasi sebatas kepentingan pihak
yang diantarai.

Dilihat dari hakekatnya, subyek hukum dibedakan

1. pribadi kodrati

2. pribadi hukum

3. tokoh/ pejabat, dalam hal ini dikaitkan dengan status.

Hak dan kewajiban

Hak adalah peranan yang boleh tidak dikerjakan/dilaksanakan. Jadi sifatnya fakultatif, sedangkan
kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan ( bersifat imperative)

Hak dan kewajiban dapat dibedakan antara lain:

1. hak dan kewajiban yang relative/ searah

2. hak dan kewajiban absolute/jamak arah.


Peristiwa hukum

Adalah setiap peristiwa yang akibatnya diatur oleh hukum / setiap peristiwa yang mempunyai
akibat hukum. Ada 3 kelompok peristiwa hukum, yaitu

1. keadaan, yang terdiri dari

f. alamiah, siang malam

g. kejiwaan, normal atau abnormal

h. social, keadaan darurat/perang

2. kejadian, kelahiran-kematian

3. perilaku/sikap tindak

i. sikap tindak menurut hukum

j. sikap tindak melawan hukum

k. sikap tindak lainnya

Hubungan hukum

Hubungan hukum dibedakan :

1. hubungan yang sederajat dan hubungan beda derajat.

2. hubungan timbal balik, dan hubungan timpang

hubungan timbal balik, disebut demikian karena para pihak yang berhubungan sama-sama
mempunyai hak dan kewajiban.

Objek hukum

Adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam hubungan hukum yang pada dasarnya
dapat dinilai/dilandasi oleh adanya kepentingan bagi subyek hukum.objek hukum dapat berupa
barang/benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud/immaterial, misalnya hak cipta,hak
paten,dsb.

Dalam mempelajari ilmu tentang pengertian hendaknya harus dibedakan dengan arti hukum dalam
masyarakat. Arti hukum dalam masyarakat adalah pemberian arti(bukan definisi) oleh masyarakat
terhadap hukum.
UNSUR-UNSUR HUKUM

Unsur-unsur hukum terdiri dari unsur ideal dan riel. Dikatakan unsur ideal karena unsur tersebut
terletak dalam bidang yang sangat abstrak yang tidak dapat diraba dengan panca indera manusia,
namun kehadirannyanya dapat diramalkan

Unsur riel, manusia,alam dan kebudayaan itu nanti akan melahirkan ilmu tentang kenyataan.
Gabungan filsafat hukum,dogmatic hukum dan ilmu tentang kenyataan hasilnya adalah politik
hukum.

BAHAN-BAHAN HUKUM

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :

a. norma dasar : pembukaan UUD 1945

b. aturan-aturan dasar : batang tubuh UUD 1945 sertatap MPR

c. perundang-undangan yang terdiri dari :

- UU dan peraturan yang setaraf

- Peraturan pemerintah dan peraturan yang setaraf

-Keputusan presiden dan peraturan yang setaraf

- Keputusan mentri dan peraturan yang setaraf

- Peraturan-peraturan daerah

d. bahan hukum yang tidak dikodifikasikan

e. yurisprudensi/ hukum yurisprudensi

f. traktat/ perjanjian (hukum perjanjian)

Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti misalnya,
rancangan UU, hasil penelitian, hasil karya dibidang hukum, dsb.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder

SUMBER-SUMBER HUKUM

Sumber-sumber hukum adalah kenyataan-kenyataan yang menimbulkan hukum berlaku dan


mengikat setiap orang. Sumber-sumber hukum dapat dibedakan menjadi :
a. sumber hukum dalam arti formal

mengkaji kepada prosedur atau tata cara pembentukan suatu hukum atau melihat kepada bentuk
lahiriah dari hukum yang bersangkutan.

b. sumber hukum dalam arti material

yaitu factor-faktor/ kenyataan-kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum.

Isi hukum ditentukan oleh 2 faktor :

1. factor idiel, yaitu factor yang berdasarkan kepada cita-cita masyarakat akan keadilan

2. factor social kemasyarakatan , antara lain :

- struktur masyarakat

- kebiasaan-kebiasaan

- Tata hukum Negara lain

- Agama dan kesusilaan

- Kesadaran hukum

ANEKA CARA PEMBEDAAN HUKUM

Dalam kepustakaan hukum yang klasik biasnya dikenal adanya 2 cara membedakan hukum secara
ekstren, yaitu pembedaan antara lain :

a. hukum public, diasosiasikan kepada adanya campur tangan Negara yang dominan yang tujuannya
dalah untuk kepentingan umum.

b. Hukum privat/perdata, diasosiasikan kepada adanya kebebasan berkontak dari para pihak yang
melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.

Dilihat dari berbagi aspek maka hukum dapat dibedakan kedalam klasifikasi :

a. Segi bentuk, hukum dibedakan menjadi : hukum tertulis dan hukum tidak tertulis

b. Segi isi/hubungan hukum/ kepentingan yang diatur : hukum public dan hukum privat.

c. Segi kebedaan eksitensi : ius constitutum dan ius constitendum.

d. Segi perbedaan wilayah keberlakuan :

- hukum alam : secara sederhana dapat dirumuskan sebagai hukum yang berlaku dimana saja, kapan
saja, siapa saja, yang bersifat universal.

- Hukum positif
e. segi sifatnya :

- kaku (rigia) : hukum positif/ imperative

- luwes ( fleksibel) : hukum fakultatif

f. perbedaan antara hukum substantive dan hukum adjektif

- hukum substantive : hukum yang dilihat dari isinya berisikan pengaturan hak dan kewajiban

- hukum adjektif : hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan
hukum substantive

ILMU TENTANG KENYATAAN

Sosiologi hukum

Istilah sosiologi hukum pertama kali diperkenalkan oleh Anzilolti (1882). Ruang lingkup sosiologi
hukum :

a. mempelajari dasar social dari hukum

b. mempelajari efek atau pengaruh hukum terhadap gejala social lainnya, ditinjau dari perspektif
penelitiannya maka sosiologi hukum dapat dogolongkan ke dalam 2 golongan yaitu :

- sosiologi hukum teoritis : bertujuan untuk menghasilkan generalisasi atau abstraksi setelah
pengumpulan data, penelitian terhadap keteraturan social dan pengembangan hipotesis, dimana di
dalam hipotetis selalu terdapat sebab akibat

- sosiologi hukum praktis

- bertujuan untuk menguji hipotetis tersebut.

PENDEKATAN TERHADAP SOSIOLOGI HUKUM

1. Instrumentalik

Lebih menekankan pada fungsi hukum sebagai sarana pengambilan keputusan oleh penguasa.
Kelemahan pendekatan ini adalah para sosiolog berperan sebagai seorang teknis, akibatnya aspek-
aspek struktur social lainnya sering terabaikan.

2. pendekatan hukum alam dan positivstik

hukum alam dan positivstik lebih menitik beratkan pada adanya proses legislasi, bahkan cenderung
untuk bersifat legisme. Pendekatan ini memandang hukum itu undang-undang.
3. pendekatan paradimatil

dikatakan paradigna sosiologi hukum apabila sosiologi hukum diartikan sebagai cabang ilmu hukum
yang mempelajari hukum gejala social.

ANTROPOLOGI HUKUM

Antropologi hukum adalah ilmu hukum yang mempelajari pola-pola sengketa dan cara
penyelesaiannya baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang mengalami
modernisasi.hukum, dalam proses konkritisasi antropologi bermanfaat untuk mengetahui pola
prilaku masyarakat guna mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai dalam masyarakat.
Dalam mempelajari hukum seorang antropologi harus mengetahui :

1. anggapan masyarakat tentang pedoman perihal perilaku yang pantas dan ajeg

2. mengadakan identifikasi terhadap perilaku suatu warga yang berupa meyimpang dari norma-
norma.

PSIKOLOGI HUKUM

Psikologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang menyoroti hukum sebagai perwujudan dari
perkembangan jiwa manusia. Ruang lingkup psikologi hukum mengkaji:

1. perwujudan dari gejala-gejala tertentu

2. landasan kejiwaan sikap tindak tersebut

psikologi hukum meneliti mengapa orang mematuhi hukum. Ada beberapa factor yang
menyebabkan seseorang patuh kepada hukum

1. compliance

seseorang patuh kepada hukum karena ada harapan atau suatu imbalan tertentu dan untuk
menghidari diri dari hukuman

2. identification

orang patuh kepada hukum karena untuk menjaga keanggotaan kelompok agar utuh serta adanya
hubungan baik dengan penguasa agar mendapat keuntungan tertentu

3. internalization

orang patuh kepada hukum karena adanya kesadaran bahwa nilai-nilai hukum dianggap sesuai
dengan nilai intrinsic warga masyarakat.

4. kepentingan-kepentingan yang terjamin

orang patuh pada hukum apabila kepentingan-kepentingan yang terjamin.

Sikap tindak dan prilaku hukum yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar hukum. Ada
beberapa contoh yang menunjukkan adanya gejala psikologi yang menyebabkan orang melanggar
hukum antara lain :
1. neurosis

yaitu perasaan khawatir yang berlebihan yang menyebabkan orang selalu panic dan tegang.

2. psikosis

3. gejala sosiopetrik yang mencangkup :

1. reaksi anti social (psykopat)

dengan cirri-ciri orang yang hampir tidak mempunyai etika moral

2. reaksi diasosial

yaitu orang yang selalu berurusan dengan hukum karena adanya kekurangan-kekurangan di dalam
kepribadiannya

3. deviasi sexual

4. addication/ketergantungan

PERBANDINGAN HUKUM

Perbandingan disini diartikan sebagai suatu tindakan untuk mengadakan identifikasi terhadap
persamaan atau perbedaan antara 2 atau lebih gejala tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan
perbandingan hukum adalah “ cabang ilmu pengetahuan hukum yang menyoroti dan
memperbandingkan system-sisten hukum yang berlaku didalam satu/beberapa masyarakat”.

Didalam ilmu hukum perbandingan hukum sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan mempunyai
ruang lingkup :

1. isi kaidah hukum

2. dasar kemasyarakatannya

3. sebab-sebabnya

dari ke-3 hal tersebut akan diketahui persamaan dan perbedaannya.

Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup perbandinagan hukum meliputi system hukum,fungsi
hukum,pola penanggulangan masalah-masalah hukum.

Ada 3 cabang perbandinagn hukum yaitu :

1. descriptive comparative law

adalah cabang perbandingan hukum yang bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang
sisten hukum masyarakat dengan menyajikan perbandinagn mengenai lembaga-lembaga hukum
tertentu kaidah-kaidah hukum tertentu yang merupakan bagian dari lembaga hukum tersebut.
2. comparative history law

adalah cabang perbandingan hukum yang bertujuan memantapkan sejarah universal hukum sebagai
suatu gejala social yang merupakan evolusi dari lembaga-lembaga hukum tersebut.

3. comparative legislation

adalah cabang perbandingan hukum yang bertujuan untuk menentukan tempat bagi ilmu hukum
nasional baik sebagai hasil pengembangan studi hukum maupun sebagai hasil dari kesadaran akan
perasaan hukum secara internasional jadi bertujuan untuk menyususn adanya azas-azas hukum yang
universal

kegunaan-kegunaan perbandingan hukum adalah :

1. untuk unifikasi hukum/penyatuan hukum

2. untuk harmonisasi hukum

3. untuk pembaharuan hukum

4. penelitian azas-azas hukum yang universal

SISTEM HUKUM

Internal eksternal

(tata hukum) (aspek kemasyarakatan)

Hukum Negara

* HTN politik

*HAN administrasi

Hukum pribadi antropologi,psikologi

Hukum harta kekayaan ekonomi

Hukum keluarga agama,sosiologi,psikologi

Hukum waris agama,sosiologi,psikologi

Hukum pidana kriminologi,victimologi

Hukum acara administrasi

Hukum internasional
SEJARAH HUKUM

Sejarah hukum adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang menyoroti perkembangan dan asal
usul system hukum dalam 1 atau beberapa masyarakat. Disamping itu pula dipelajari factor-faktor
non hukum yang mempengaruhi perkembangan dan asal-usul tersebut. Perkembangan yang
ditelaah meliputi struktur hukum, substansi hukum maupun budaya hukum yang senantiasa
dikaitkan dengan bidang hukum sebagai kerangka dasarnya. Dilihat dari bentuknya sejarah hukum
dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu: 1. sejarah hukum ekstern

2. sejarah hukum intern

Sejarah hukum ekstern ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari suatu
hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan hukum/pengaruh sumber-
sumber hukum dalam arti formal pada periode-periode tertentu.

Sedangkan sejarah hukum intern ruang lingkupnya adalah lembaga-lembaga hukum dan pengertian-
pengertian hukum dari suatu bidang hukum tertentu menurut periodesasi tertentu pula.

A. Tujuan hukum menurut teori

1. Teori etis (etische theorie)

Teori ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut
teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil
dan apa yang tidak adil. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam
bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci
yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”. Selanjutnya Aristoteles membagi
keadilan dalam 2 jenis, yaitu :

Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya.
Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya
atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.

Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama
banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan
dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.

Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian
yg sama.

2. Teori utilitas (utiliteis theorie)

Menurut teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemamfaatan atau kebahagiaan sebanyak-
banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah Jeremy Betham. Dalam
bukunya yang berjudul “introduction to the morals and legislation” berpendapat bahwa hukum
bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/manfaat bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah memperhatikan hal-hal yang berfaedah
dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk menerima anggapan
Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu
memenuhi nilai keadilan atau dengan kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia
akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan
utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.

3. Teori campuran

Teori ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum
adalah ketertiban. Di samping itu tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-
beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.

4.Teori normatif-dogmatif, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum
(John Austin dan van Kan). Arti kepastian hukum disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan
kewajiban.

Van Kan berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak
diganggu dan terjaminnya kepastiannya.

5. Teori Peace (damai sejahtera)

Menurut teori ini dalam keadaan damai sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak
menindas yang lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan
bagi rakyat. Hukum harus dapat menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban.

Subyek hukum dan obyek hukum

Pengertian subyek hukum

- segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum

- sesuatu pendukung hak/kewajiban, jadi memiliki wewenang hukum

Pembagian subyek hukum :

a. Manusia (natuurlijke persoon)

b. Badan hukum (rechtspersoon)

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum)
dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum, karena hal itu dapat dikuasai oleh
subyek hukum. Biasanya obyek hukum disebut benda.

Hak
Hak adalah izin dan wewenang yang diberikan oleh hukum terhadap setiap subyek hukum.

Hak itu dapat dibedakan antara :

a. Hak mutlak (hak absolut) dan,

b. Hak nisbi (hak relatif)

Kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual (asas
pact sunt servanda)

Bellefroid, menyebutkan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif
dan yang ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum itu
merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Pada dasarnya apa yang disebut dengan asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung
dalam peraturan hukum dan dasar-dasar umum tersebut adalah merupakan sesuatu yang
mengandung nilai-nilai etis. Peraturan hukum adalah ketentuan konkrit tentang cara berperilaku di
dalam masyarakat. Ia merupakan konkritisasi dari asas hukum.

Contoh asas-asas hukum :

a. Asas legalitas “tiada suatu perbuatanpun dapat dihukum, kecuali atas kekuatan undang-undang
yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 ayat 1 KUHPidana = asas undang-undang
tidak berlaku surut) = Nullum delictum sine praevia lege poenali”Asas Presumption Of Innocence
(asas praduga tidak bersalah), bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan
hakim yang menyatakan bahwa ia bersalah dan keputusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (inkracht)

b. Asas In Dubio Pro Reo ialah dalam keraguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan
bagi si terdakwa.

c. Asas Similia Similibus ialah bahwa perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa).

d. Asas Pact Sunt Servanda yaitu bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang bersangkutan.

e. Asas Geen Straft Zonder Schuld ialah asas tiada hukuman tanpa kesalahan.

f. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu asas undang-undang yang berlaku kemudian
membatalkan undnag-undang terdahulu, sejauh undnag-undang itu mengatur objek yang sama.

g. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori yakni suatu asas undang-undang dimana jika ada 2
undang-undang yang mengatur objek yang sama maka undang-undang yang lebih tinggi yang
berlaku sedangaka undang-undang yang lebih rendah tidak mengikat.

h. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yakni undang-undang yang khusus
mengenyampingkan yang umum.
Hukum materiil, yaitu segala kaidah yang menjadi patokan manusia untuk bersikap tindak,
misalnys tidak boleh membunuh, harus melunasi hutang dan lain sebagainya.

Hukum formil, yaitu aturan main penegakkan hukum materiil tersebut, misalnya dalam
mengajukan gugatan seorang penggugat(orang yang menggugat) harus mengajukan surat
gugatan ke pengadilan tempat kediaman tergugat (orang yang digugat) sesuai asas actor
sequitur forum rei, atau dalam menanggapi surat gugatan penggugat tergugat harus membuat
surat jawaban dan lain sebagainya.

Peristiwa hukum atau kejadian hukum atau rechtsfeit adalah semua kejadian atau fakta yang
terjadi didalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum, atau peristiwa yang
menimbulkan akibat hukum. Peristiwa hukum terjadi karena perbuatan subyek hukum atau
bukan perbuatan subyek hukum.

Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subyek hukum yang mempunyai
akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subyek hukum. Perbuatan hukum
dibagi menjadi Perbuatan menurut hukum dan Perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam
berbagai literatur, Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum dibagi lagi menjadi :
karena keadaan (omstandingheid), misalnya kejadian alamiah siang malam, dan karena
kejadian (gebeurtenis), misalnya kelahiran, kematian, atau daluarsa.

Teori-teori Tujuan Negara


1) Teori Kekuasaan

 Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan
negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia,
perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak
people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country,
which has the right way, is concerned with weakening the people.” Sepintas ajaran Shang
Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan,
kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten
evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan
(yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk
kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
 Niccolo Machiavelli, dalam bukunya Il Principe menganjurkan agar raja tidak menghiraukan
kesusilaan maupun agama. Untuk meraih, mempertahankan dan meningkatkan
kekuasaannya, raja harus licik, tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti rakyat. Di
sebalik kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa
penggunaan kekuasaan yang sebesar-besarnya itu bertujuan luhur, yakni kebebasan,
kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.
penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan dengan dua metode (menurut Sudikno), yakni:
a.      Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat
untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam
hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
 
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:
1)     Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari.
2)     Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.
3)     Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan.
4)     Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan.
5)     Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah
hukum di tempat laen.
6)     Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum.
b.      Konstruksi hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam
mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa
yang terjadi.
 
Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara:
1)     Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa yang
berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan
sama.
2)     Penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau
konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
3)     Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa
konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

A. Pengertian Asas Hukum Pidana

Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita
membicarakan unsur penting dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila
dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Ini berarti, bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan
hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis
kekuatannya dengan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.
Menurut van Elkema Hommes, asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma
hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-
petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-
asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif.

Sedangkan menurut P. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang


disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan
segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.

Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya,
maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah
sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada
kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.

Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum sifatnya
atau merupakan latar belakang dari peraturan-peraturan yang konkrit pada hukum pidana.

B. Asas-Asas Hukum Pidana

Ilmu pengetahuan tent ang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat
penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan
dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis, dan
harmonis. Pada hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam
hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis
sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.

Asas-asas hukum pidana itu dapat digolongkan:

a. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya;

b. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis, dan dianut di
dalam yurisprudensi.

1. Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli di dalam
bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada
suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang mendahuluinya”.

Asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin:
“Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa
Indonesia kata demi kata dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: “Nullum crimen sine lege stricta”, yang
dapat disalin kata demi kata pula dengan: “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.

Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege berasal dari von Feuerbach, sarjana
hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi
dalam bukunya: “Lehrbnuch des pein leichen recht” 1801.

Hal ini oleh Anselm von Feuerbach dirumuskan sebagai berikut:

“Nulla poena sine lege

Nulla poena sine Crimine

Nullum Crimen sine poena legali”.

Artinya:

“Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,

Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan

Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang .

Perumusan asas legalitas dari von Feuerbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung
dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologian zwang”, yaitu yang
menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi
juga tentang macamnya pidana yang diancamkan.

Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. (kiyas)

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam pasal 1
ayat 1 KUHP dibatasi dengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat 2 pasal itu. Ayat 2 itu
berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.
Mengenai perubahan dalam perundang-undangan, ada tiga macam teori:

a. Teori formil (formale leer)

b. Teori materiel terbatas (beperkte materiele leer)

c. Teori materiel yang tidak terbatas (onbeperkte materiele leer)

Menurut teori formil, dikatakan ada perubahan dalam undang-undang kalau redaksi (teks)
undang-undang diubah. Menurut teori materiel bahwa perubahan dalam perundang-undangan
terbatas dalam arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yaitu tiap perubahan sesuai dengan suatu
perubahan perasaan (keyakinan) hukum para pembuat undang-undang. Adapun menurut teori
materiel yang tidak terbatas, tiap perubahan adalah mencakup perasaan hukum dari pembuat
undang-undang maupun dalam keadaan boleh diterimanya sebagai suatu perubahan dalam
undang-undang menurut arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana.

2. Asas Keberlakuan Hukum Pidana

Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi negatif dan segi positif.
Segi negatif dikaitkan berlakunya KUHP dengan waktu terjadinya perbuatan pidana.
Artinya bahwa KUHP tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 1
ayat 1 KUHP. Bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan.

Kekuasaan berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa kekuatan berlakunya
KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat terjadinya perbuatan pidana. Kekuasaan
berlakunya KUHP yang dikaitkan dengan tempat diatur dalam pasal 1 sampai 9 KUHP.

Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dapat dibedakan menjadi
empat asas, yaitu territorial (territorialiteitsbeginsel), asas personal
(personaliteitsbeginsel), asas perlindungan atau nasional yang pasif
(bescermingsbeginsel atau passief nationaliteitbeginsel), dan asas universal
(universaliteitsbeginsel).

3. Asas Territorial atau Wilayah

Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah negara tempat
berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua negara
menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah
sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.

Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP:
Pasal 2 yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.”

Pasal 3 yang berbunyi: “Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.”

Pasal 3 KUHP ini sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2.

Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan sesuatu
pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi bukan
hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia sendiri saja, namun juga berlaku terhadap
orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan Indonesia.

Yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu terjadi, dan karena itu
dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini dinamakan asas Daerah atau asas Territorial.
Yang termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang Pidana itu, selain daerah (territoir), lautan
dan udara territorial, juga kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia)
yang berada di luar perairan Indonesia.

Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi atau mempunyai kekecualian
yaitu hukum internasional. Hal ini tercantum di dalam pasal 9 KUHP, yang berbunyi pasal-pasal
2 – 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.

Apakah kecualian-kecualian itu umumnya diakui ada 4 hal:

a. Kepala negara beserta keluarga dari negeri sahabat. Mereka mempunyai hak ekteritorial.
Hukum nasional tidak berlaku bagi mereka.

b. Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Mereka ini juga mempunyai hak tersebut.
Apakah konsul-konsul juga mempunyai hak ini tergantung dari traktaat.

c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoir negara yang mempunyainya.

d. Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu.

4. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif

Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia
mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada
punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam pasal 5
KUHP.

Pasal 5 KUHP itu berbunyi:


Ayat 1: “ Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang
di luar Indonesia melakukan:

ke-1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal: 160, 161,
240, 279, 450, dan 451.

ke-2. salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara di
mana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.

Ayat 2: “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam ke-2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

Pasal 5 ayat 1 ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar
negeri maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum di dalam
Bab I dan II Buku Kedua KUHP (kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan terhadap
martabat Presiden dan Wakil Presiden) dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.

Tidak menjadi soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam pidana oleh negara tempat
perbuatan itu dilakukan. Dipandang perlu kejahatan yang membahayakan kepentingan negara
Indonesia dipidana, sedangkan hal itu tidak tercantum di dalam hukum pidana di luar negeri.

Ketentuan di dalam pasal 5 ayat 1 ke-2 bermaksud agar orang Indonesia yang melakukan
kejahatan di luar negeri lalu kembali ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri, jangan sampai
lolos 479a sampai dengan 479b.

Pasal 5 ke-2: ini jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warganegara tidak
diserahkan kepada pemerintah asing. Apa yang mungkin dipidana menurut pasal ini adalah lebih
luas daripada apa yang mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan
warganegara. Sebagai ternyara dalam pasal 2 Peraturan Penyerahan (uitleveringsbesluit) S.
1883-188, yang mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan warganegara
adalah terbatas pada kejahatan-kejahatan yang tersebut di situ saja.

Beberapa ketentuan-ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan itu adalah:

Pasal 1: Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat-syarat tersebut dalam
peraturan ini.

Pasal 2: Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana memungkinkan penyerahan.

Pasal 4: Penyerahan tidak dilakukan, selama orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau
sesudahnya diadili atau sesudahnya diadili dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan.

Pasal 8: Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik.


Pasal 6 KUHP “membatasi” ketentuan pasal 5 ayat (1) kedua agar tidak memberikan keputusan
pidana mati terhadap terdakwa apabila undang-undang hukum pidana negara asing tidak
mengancam pidana mati, sebagai asas keseimbangan politik hukum. Bunyi pasal 6 KUHP yaitu:
“Berlakunya pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana
mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak
diancam dengan pidana mati.

Ayat ke-2 diadakan untuk mencegah, bukan warganegara yang sesudah melakukan perbuatan
pidana di negeri asing, melarikan diri ke Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai
warganegara Indonesia, sehingga dengan demikian tidak bisa diserahkan dan terluput dari
penuntutan pidana. Dengan adanya ayat tersebut, dalam hal demikian, mereka dapat dituntut di
sini karena perbuatannya di negeri asing.

5. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif

Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun juga
baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi
yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama
kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam
pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP.

Di sini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang Indonesia, tetapi kepentingan
nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di
wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak
berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya
sendiri.

Pasal 4 ke-1 mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu
kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 110, 111 bis pada ke-1, 127,
dan 131.

Pasal 4 ke-2 mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan kejahatan
tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materei atau merk
yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 4 ke-3 mengenai orang Indonesia yang melakukan pemalsuan tentang surat-surat utang
atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung oleh Pemerintah Republik Indonesia , daerah
atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (dividen) atau surat-surat
bunga uang yang termasuk surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu
atau yang dipalsukan seperti itu, seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.

Mengenai yang tercantum pada pasal 4 ke-2, pada kalimat yang pertama yang berbunyi
“melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank”, tidak
termasuk asas nasionalitas pasif, melainkan asas universalitas, yang akan diuraikan di belakang.
Yang termasuk asas perlindungan ialah kejahatan terhadap materei atau merk yang dikeluarkan
atau yang dipergunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Ketentuan yang tercantum di dalam pasal 8 juga termasuk asas perlindungan. Pasal itu
berbunyi: “Peraturan hukum pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku
bagi nahkoda dan orang yang berlayar dengan alat pelayar Indonesia di luar Indonesia, juga
pada waktu mereka tidak berada di atas alat pelayar, melakukan salah satu perbuatan yang
dapat dipidana, yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian
juga tersebut dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di
Indonesia dan yang tersebut dalam undang-undang (ordonansi) kapal 1935.”

Pasal 8 ini memperluas berlakunya pasal 3. Dasar pemikiran sehingga ketentuan ini diciptakan,
ialah untuk melindungi kepentingan hukum negara Indonesia di bidang perkapalan.

6. Asas Universalitas

Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan
pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan
kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak
termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah
keselamatan internasional. Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang
negara tertentu bukan negara Indonesia.

Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak
termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan terbuka, atau di daerah kutub.

Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana
menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga
kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis kejahatan ini
dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang Jerman menamakan
asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak
karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas
atau domisili terdakwa.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan atas pertimbangan, seolah-olah di
seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.

7. Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana

Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam hukum
pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau tiada pidana tanpa kesalahan. Di samping itu
juga dikenal beberapa asas yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pidana, tetapi dalam
beberapa hal telah ada yang dirumuskan terbatas dalam undang-undang:

a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan


hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar;

b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat kesalahan dari


terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum tetapi tidak pidana;

c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak menuntut


karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik
kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut.

Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana yang sebagian besar masih
berkembang di dalam doktrin ilmu pengetahuan itu, apabila banyak para sarjana yang
menganjurkan untuk dirumuskan secara tertulis di dalam undang-undang hukum pidana, akan
mengalami kesulitan untuk membuat batasan berhubung dengan sifatnya asas-asas itu terus
menyesuaikan (fleksibel) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua asas hukum pidana
tentang kesalahan dan penghapusan pidana itu mempunyai arti penting untuk menentukan
dipidana atau tidak dipidananya seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan tetapi
tidak terpenuhi unsur dari asas-asas tersebut di atas.

Dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) hukuman


dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman
tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Yang
termasuk dalam hukuman pokok yaitu:
1. hukuman mati,
2. hukuman penjara,
3. hukuman kurungan,
4. hukuman denda.
 
Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:
1. pencabutan beberapa hak tertentu,
2. perampasan barang yang tertentu,
3. pengumuman keputusan hakim.
Delneming adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada
orang lain dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu
melakukan agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu
orang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus cari
pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa pidana tersebut.

Tujuan deelneming adalah untuk minta pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang ikut
ambil bagian sehingga terjadinya suatu tindak pidana.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :

1. Bersama-sama melakukan kejahatan.

2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia


mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.

3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu
melaksanakan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :

1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan
tindak pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala
perbuatan yang dilakukan.

2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk
melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada
perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:

1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP, yaitu:

a. yang melakukan (plegen)

b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)

c. yang turut serta melakukan (mede plegen)

d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)

2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) 56 KUHP


Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:

a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan.

b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
(sebelum kejahatan dilakukan)

Dengan demikian dapat diketahui siapa saja orang yang dapat membuat tindak pidana dan
siapa pula yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana :

1. Pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada
keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah
memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam undang-undang.

2. Para pembuat, ada 4 bentuk

3. Pembuat Pembantu.

Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat
(mededader) secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat
pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan
tindak pidana.

Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindap pidana
secara pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak
pidana. Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi
sebagian unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh
perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.

Apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang, maka pertanggungjawaban
masing-masing orang yang melakukannya adalah tidak sama, tergantung pada hubungan
peserta tsb terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam suatu tindak pidana tsb.

Berdasarkan pendapat dari para ahli, deelneming terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Zelfstandige deelneming (Deelneming yang berdiri sendiri)

Artinya orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb diminta pertanggungjawabannya
secara sendiri.

2. On Zelfstanddige deelneming (Deelneming yang tidak berdiri sendiri)


Artinya pertangungjawaban orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb digantungkan
kepada orang lain yang turut melakukannya juga.

Orang-orang yang melakukannya dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :

1. Pleger (Orang yang melakukan).

Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya
sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah
mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik
pidana dalam setiap pasal.

2. Doen Pleger (Orang yang menyuruh untuk melakukan)

Untuk dapat dikategorikan sebagai doen pleger sedikitnya harus ada dua orang, yaitu ada yang
menyuruh (Doen Pleger) dan yang disuruh (Pleger).

Sebab Doen Pleger adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak
melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang
dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh
melakukan. Dalam posisi yang demikian, Orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya
sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang
yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana
langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang
lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan
secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang
disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUH Pidana.

Contoh kasus :

Seorang Perwira Polisi bernama A ingin membalas dendam kepada seorang musuhnya
bernama B, untuk melakukan keinginannya tsb ia memerintahkan bawahannya, seorang Bintara
Polisi bernama C untuk menangkap B atas tuduhan telah melakukan suatu tindak pidana
pencurian.

Dalam hal ini C tidak dapat dihukum atas perampasan kemerdekaan seseorang karena ia
berada dibawah perintah dan ia menyangka perintah itu ialah perintah syah. Sedangkan yang
dapat dihukum atas tuduhan perampasan kemerdekaan ialah sang Perwira Polisi bernama A.
3. Medepleger (Orang yang turut melakukan).

Turut melakukan berarti bersama-sama melakukan suatu tindak pidana. Sedikitnya harus ada 2
orang, ialah yang melakukan (Pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) tindak
pidana tsb. Kedua orang ini kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan suatu tindak pidana
tsb.

Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana :

1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku atau dalam kata lain suatu kehendak bersama
antara mereka.

2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik).

Contoh kasus :

A dan B berniat mencuri dirumah C. A masuk dari atap rumah lalu membuka pintu untuk B dapat
masuk, Kedua-duanya masuk kedalam rumah dan mengambil barang milik C.

Disini C dihukum sebagai “Medepleger” karena melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian


tsb.

4. Uitlokker (orang yang membujuk untuk melakukan)

Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang
lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan
cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan.
Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum,
karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan
kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan
dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana,
sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur
mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana
(medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak
pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana
tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang
yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa
berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan
hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan
harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri
sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh
menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan,
sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam
golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Seseorang dengan sengaja membujuk seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
memakai bujuk rayu, pemberian, salah memakai kekuasaan, dsb. Sedikitnya harus ada 2 orang,
yaitu yang membujuk dan yang dibujuk.

Anda mungkin juga menyukai