Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah
rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai
dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri
pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan (Chalik, 2008).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah rahim yang
dapat memberikan dampak yang sangat merugikan ibu maupun janin berupa
perdarahan, prematuritas dan peningkatan angka kesakitan dan kematian perinatal
(Romundstad et all, 2006).
Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan
paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga
dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit
Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai
dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu
kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil
dengan paritas tinggi. Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan,
insiden dapat meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu yang
paritas tinggi (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007).
Menurut Mochtar (1998) diagnosa dari plasenta previa bisa ditegakkan dengan
adanya gejala klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu:
1. Anamnesa, pada saat anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang berkaitan
dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya perdarahan,
apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan, frekuensi serta
banyaknya perdarahan (Wiknjosastro, 2007)
2. Inspeksi, dapat dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina, darah
beku, dan sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang banyak maka ibu akan
terlihat pucat (Mochtar, 1998).
3. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus uteri
yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian
terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih bergoyang,
terapung atau mengolak di atas pintu atas panggul (Mochtar, 1998).
4. Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati dilihat
dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat kelainan pada
serviks, vagina, varises pecah, dll (Mochtar, 1998).
5.Pemeriksaan radio-isotop
a. Plasentografi jaringan lunak
b. Sitografi
c. Plasentografi indirek
d. Arteriografi
e. Amniografi
f. Radio isotop plasentografi
6. Ultrasonografi, transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih
yang dikosongkan akan memberikan kepastian diagnosa plasenta previa Walaupun
transvaginal ultrasonografi lebih superior untuk mendeteksi keadaan ostium uteri
internum namun sangat jarang diperlukan, karena di tangan yang tidak ahli cara ini
dapat menimbulkan perdarahan yang lebih banyak (Chalik, 2008). Penentuan lokasi
plasenta secara ultrasonografis sangat tepat dan tidak menimbulkan bahaya radiasi
terhadap janin (Mochtar, 1998)
7. Pemeriksaan dalam, pemeriksaan ini merupakan senjata dan cara paling akhir
yang paling ampuh dalam bidang obstetrik untuk diagnosa plasenta previa.
Walaupun ampuh namun harus berhati-hati karena dapat menimbulkan perdarahan
yang lebih hebat, infeksi, juga menimbulkan his yang kemudian akan mengakibatkan
partus yang prematur. Indikasi pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum
yaitu jika terdapat perdarahan yang lebih dari 500 cc, perdarahan yang telah
berulang, his telah mulai dan janin sudah dapat hidup diluar janin (Mochtar, 1998).
Dan pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan jika dilakukan
dikamar operasi yang telah siap untuk melakukan operasi dengan segera (Mose,
2004).
Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fornises dengan hati-hati. Jika tulang
kepala teraba, maka kemungkinan plasenta previa kecil. Namun jika teraba bantalan
lunak maka, kemungkinan besar plasenta previa.
Menurut Mose (2004) penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi dalam 2
golongan, yaitu:
1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan hidup di
dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat dibenarkan jika
keadaan ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit sekali. Dahulu ada
anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus segera diakhiri untuk
menghindari perdarahan yang fatal.
Menurut Scearce, (2007) syarat terapi ekspektatif yaitu:
a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b. Belum ada tanda-tanda in partu.
c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
d. Janin masih hidup.
2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi
perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya: kehamilan telah cukup
bulan, perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. Terminasi ini dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu:
a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta, dengan
cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup kembali
(tamponade pada plasenta) ( Mose, 2003). Menurut Mochtar (1998) penekanan
tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
- Amniotomi ( pemecahan selaput ketuban)
Cara ini merupakan cara yang dipilih untuk melancarkan persalinan pervaginam.
Cara ini dilakukan apabila plasenta previa lateralis, plasenta previa marginalis, atau
plasenta letak rendah, namun bila ada pembukaan. Pada primigravida telah terjadi
pembukaan 4 cm atau lebih. Juga dapat dilakukan pada plasenta previa lateralis/
marginalis dengan janin yang sudah meninggal (Mochtar, 1998).
- Memasang cunam Willet Gausz
Pemasangan cunam Willet Gausz dapat dilakukan dengan mengklem kulit kepala
janin dengan cunam Willet Gausz. Kemudian cunam diikat dengan menggunakan
kain kasa atau tali yang diikatkan dengan beban kira-kira 50-100 gr atau sebuah batu
bata seperti katrol. Tindakan ini biasanya hanya dilakukan pada janin yang telah
meninggal dan perdarahan yang tidak aktif karena seringkali menimbulkan
perdarahan pada kulit kepala janin (Mochtar, 1998).
- Metreurynter
Cara ini dapat dilakukan dengan memasukkan kantong karet yang diisi udara dan air
sebagai tampon, namun cara ini sudah tidak dipakai lagi (Mochtar, 1998).
- Versi Braxton-Hicks
Cara ini dapat dilakukan pada janin letak kepala, untuk mencari kakinya sehingga
dapat ditarik keluar. Cara ini dilakukan dengan mengikatkan kaki dengan kain kasa,
dikatrol, dan juga diberikan beban seberat 50-100 gr (Mochtar, 1998).
b. Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim sehingga
rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu seksio sesarea
juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim yang
sering terjadi pada persalinan pervaginam (Mochtar, 1998). Persalinan seksio
sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta previa. Pada sebagian besar
kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal. Karena perdarahan janin dapat
terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior
(Cunningham et al, 2005).
Menurut Mochtar (1998) Indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea pada
plasenta previa adalah:
a. Dilakukan pada semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal, serta
semua plasenta previa lateralis, posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol.
b. Semua plasenta pevia dengan perdarahan yang banyak, berulang dan tidak
berhenti dengan tindakan yang ada.
c. Plasenta previa yang disertai dengan panggul sempit, letak lintang.
Menurut Winkjosastro (1997) dalam Sihaloho (2009) gawat janin maupun kematian
janin dan bukan merupakan halangan untuk dilakukannya persalinan seksio sesarea,
demi keselamatan ibu. Tetapi apabila dijumpai gawat ibu kemungkinan persalinan
seksio sesarea ditunda sampai keadaan ibunya dapat diperbaiki, apabila fasilitas
memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu, sebaiknya dilakukan seksio
sesarea jika itu merupakan satu-satunya tindakan yang terbaik untuk mengatasi
perdarahan yang banyak pada plasenta previa totalis.
Seksio Sesarea
Definisi Seksio Sesarea
Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya “memotong”.
Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia atau lex caesarea
yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur tersebut dilakukan di
akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan sekarat demi
menyelamatkan calon bayinya (Cunningham et al, 2005).
Seksio sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk
mengeluarkan janin (Dorland, 2002). Seksio sesarea merupakan prosedur operasi
yang dilakukan pada fetus pada akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau
pengirisan pada dinding perut dan dinding rahim (Dutta, 2004). Seksio sesarea adalah
suatu persalinan buatan, dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan
pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik
dan berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2005)
Indikasi Seksio Sesarea
Menurut Scott (2002) dalam Sinaga (2009), melahirkan dengan seksio sesarea
sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan
ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam keadaan gawat
darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea
dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya.
Menurut Cunningham, et al(2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea
disebabkan oleh:
1. Riwayat seksio sesarea
2. Distosia persalinan dan kemacetan persalinan
3. Gawat janin
4. Letak sungsang
Menurut Ricci (2001) indikasi persalinan seksio sesarea dibedakan berdasarkan
beberapa faktor yaitu :
a. Faktor ibu
Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-pelvik yang merupakan
ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul ibu
(Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Selain itu dapat juga disebabkan oleh
disfungsi uterus, ruptura uteri, partus tak maju yang merupakan, persalinan yang
berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara
yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat, janin tidak dapat turun
karena faktor mekanis (Mochtar,1998).
b.Faktor janin
1) Gawat janin
Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang kurang baik dianjurkan
untuk dilakukan persalinan seksio sesarea. Jika ibu mengalami tekanan darah tinggi,
kejang ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat mengakibatkan
gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak
yang bahkan dapat menimbulkan kematian janin dalam rahim (Oxorn, 2003).
2) Prolaps tali pusat
Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan jika plasenta letaknya
rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi keadaan ibu secara langsung tetapi dapat
sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan
anak dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma, 2004).
3) Malpresentasi janin
- Letak sungsang
Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang
letaknya paling rendah (Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan mletak
bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea. Hal ini karena risiko kematian
dan kecacatan yang timbul karena persalinan pervaginam jauh lebih tinggi. Secara
teori penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk
rahim, letak plasenta yang rendah ataupun tumor jinak yang terdapat dalam rahim
(Dewi, 2007).
- Letak Lintang
Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin menyilang sumbu
memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Dalam kedaan normal
yang cukup bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan secara spontan.
Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan jika janin prematur, sudah mati serta
bila panggul ibu lebar (Bratakoesuma, 1998).
c. Faktor plasenta
1) Plasenta previa
Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau implantasi plasenta yang tidak
normal yang dapat menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium internum
sehingga dapat menghambat keluarnya bayi melalui jalan lahir (Chalik, 2008).
3) Solusio plasenta
Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta
yang letaknya normal dari perlekatannya diatas 22 minggu dan sebelum anak lahir
(Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai dengan perdarahan yang
keluar melalui vagina, tetapi juga dapat menetap di dalam rahim, yang dapat
menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya dilakukan persalinan seksio
sesarea untuk menolong agar janin segera lahir sebelum mengalami kekurangan
oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat menghentikan perdarahan
yang dapat menyebabkan kematian ibu (Mochtar, 1998).
Menurut Dutta (2004), indikasi persalinan seksio sesarea dibagi atas dua kategori
yaitu:
a. Indikasi absolut
Apabila terjadi plasenta previa sentral, adanya Cephalopelvic Disproportion / CPD,
adanya massa pada pelvis sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan, adanya
kanker serviks, dan adanya obstruksi pada vaginal ( atresia, stenosis).
b. Indikasi relatif
Apabila ibu telah mengalami persalinan seksio sesarea sebelumnya, dijumpai adanya
fetal distress, distosia, perdarahan antepartum, malpresentasi, gangguan tekanan
darah ibu, serta adanya penyakit yang menyertai ibunya.