Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau
tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).
Pada saat ini klasifikasi cedera kepala secara luas berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
karena kriterianya bisa dielavuasi dan mudah diterima dalam berbagai kondisi, cukup
obyektif, sederhana dan dapat dipercaya. Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Easdale dan
Jennet di tahun 1974 dengan menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis
yaitu respon membuka mata, motorik, dan verbal.
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai 3 berarti penderita
tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun sedangkan nilai 15 berarti penderita
sadar penuh. Penilain GCS dilakukan pasca resusitasi setelah trauma.
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi
akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan
kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Cedera kepala sedang
adalah cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas
dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan
bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh
cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan
orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat menjadi faktor penyebab
peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Yang sampai di rumah sakit, 80% 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR),
10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan
industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan. Angka
kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang
belum benar dan rujukan yang terlambat.
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses
patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin
(2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang menunjukkan kondisi
parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan 19 translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas
pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas,
edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai
cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus
dikelompokkan menjadi:
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan
cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran
abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada CT scan
kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X ray foto kepala untuk melihat adanya patah
tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat
melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi
oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto
CT-Scan akan tampak sebagai penampangpenampang melintang dari objeknya. Dengan CT-
Scan isi kepala secara anatomis 21 akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya
(Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah
seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat. 6.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika
dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan hasil CT Scan tersebut
juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall maupun secara tradisional.
Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu deibedakan menjadi enam
kategori,pembagiannya dapat dilihat pada tabel 1.1.
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari
gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH
maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly, 2007).
Tabel 1.1 Klasifikasi Marshall berdasarkan CT Scan pada Cedera Kepala
Category Definition
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai GCS
rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan sistemik lain yang
memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain menunjukkan, 30-60 % pasien cedera
kepala dengan Intra Cranial Pressure (ICP) tidak terkontrol 23 meninggal dan berbeda
dengan penelitian besar lainnya dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat
sedang (Moulton, 2005).
Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan penilaian klinis
terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor terhadap faktor lain
dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga masih diperdebatkan. Hal
ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis tidak bisa digunakan sebagai
satu-satunya variabel dalam keberhasilan menentukan keputusan pengobatan. Namun,
tidak bisa tidak, faktor- faktor tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan penanganan pasien (Bahloul, 2009; Kan, 2009).
1. Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya
kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan hubungan yang
bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi
lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada usia tua
(Narayan, 2000).
2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor
utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi merupakan faktor
yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome
pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi 24 berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala
(Chessnut, 2000; Demetriades, 2004).Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama
yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90
mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30 % dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala,
hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian
kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di medula
oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderitapenderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi
sistemik.
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera iskemik
sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan mulai dari
awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor utama yang
menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-satunya faktor
penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode
hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh
karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospectivenya menemukan bahwa hipotensi
intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga
kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan 25
peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien
cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat ischemic (Stieffel,
2005)
Hypoxia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat dalam
keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51% mempunyai
perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih
dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada awalnya
sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola
pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang belakang
atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga karena
cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi
pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan efek
hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan didalam
memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Van Putten (2005) pada sekolompok tikus menjelaskan
bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian edema otak
bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan oleh karena
gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis ion.
ILUSTRASI KASUS
KELUHAN UTAMA
Cedera kepala post kecelakaan lalu lintas
DIAGNOSA SEKUNDER :
Arcus Zygomaticus (D) + os Supra orbita (D)
PEMERIKSAAN UMUM
Umum Kesadaran: GCS 13
TD: 110/70 mmHg
Nadi: 98x/i
Suhu: 37,8°C
Nafas: 22x/i
Keadaan umum: sedang
Keadaan gizi: sedang
Tinggi: - cm
Berat badan: - kg
Edema (-), Anemis (-), Ikteris (-)
Kulit Tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening Tidak teraba pembesaran KGB
Kepala R capitis hematon (+), edema (-)
Rambut Tidak ada kelainan
Mata RC +/+ pupil isokor
Telinga Tidak ada kelainan
Follow up pasien
Tanggal 29/05/2017 Penatalaksanaan
S/ nyeri kepala post kll sejak 7 SMRS P/ rawat Trauma centre
Awalnya pasien bersepeda motor - IVFD NaCl 0,9% 20tts/i
lalu bertabrakan dengan motor lain, - Inj ceftriaxon 2x1 gr
mekanisme trauma tidak jelas. - Inj ketorolac 2x1
Pasien tetap sadar setelah kejadian - Inj ranitidine 2x1
Mual (-), muntah (-), kejang (-) - Head op 300
Keluar darah darin hidung (+), telinga - O2 3 l
(-)
Trauma ditempat lain : fraktur digiti II
pedis (D)
O/ KU: sedang
Kes: GCS 13
TD: 110/70
Nd: 98x/i
Nfs: 22x/i
T: 36,9°
R capitis : hematoma (-), udem (-)
RC +/+, pupil isokor
A/ CKG 14 + traumatic amputation
digiti II pedis (D)
Kesadaran : CMC
A/ CK GCS 15 + maksilofasial
Tanggal 12/06/2017 P/ pasien boleh pulang
S/ Demam (+) PCT 3x500mg
Nyeri (+) Ciprofloxacin 2x500mg
Tes oklusi (+) Ranitidin 2x1 tab
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ Maksilofasial post IDW Archbac
DISKUSI
Pasien diberikan terapi RL. Tujuan pemberian terapi ini diindikasikan sebagai asupan
air dan elektrolit terutama pada pasca operasi.Keunggulan terpenting dari larutan Ringer
Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik.Klorida merupakan anion utama di plasma darah.Kalium
merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.
Pasien diberikan ranitidin inj sebagai perlindungan terhadap lambung dari efek pemakaian
obat obat lain seperti analgesik yang dapat mengiritasi lambung.Ketorolak inj digunakan
sebagai penanganan jangka pendek untuk nyeri pasca bedah yang sedang (tablet);
penanganan jangka pendek untuk nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat
(injeksi).Mekanisme kerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang
menyebabkan inflamasi, sehingga dapat mengurangi bengkak, nyeri atau demam.
1. Ceftriaxon
Indikasi
Kontra Indikasi
- 1 gram/50 ml)
- 2 gram/50 ml
injeksi bubuk :
- 250 mg
- 500 mg
- 1 gram
- 2 gram
- 10 gram
- dan 100 gram.
- Bayi berusia kurang dari 1 minggu, dosis yang dianjurkan adalah 50 mg/kg melalui
infus IV atau suntikan IM per hari.
- Bayi berusia 1-4 minggu, dosis yang dianjurkan 50 mg/kg sampai 75mg/kg melalui
infus IV atau suntikan IM per hari.
- Usia lebih dari 1 bulan, dosis yang dianjurkan 2 g sampai 4 g melalui infus IV atau
suntikan IM per hari.
- Bagi penderita meningitis usia < 1 bulan, dosis yang dianjurkan adalah 50 mg sampai
75 mg per hari.
- Bagi penderita meningitis usia > 1 bulan, dosis yang dianjurkan adalah 100 mg
sampai 75 mg per hari selama 1-2 minggu.
- Bagi penderita otitis media bakterial akut, dosis yang dianjurkan adalah 50mg/kg
melalui suntikan IM satu kali sehari.
Efek Samping
Hati-hati penggunaan obat ini bagi penderita gangguan fungsi hati, ginjal, dan saluran
pencernaan. Bagi pasien yang menjalani diet rendah untuk berhati-hati menggunakan
obat ini. Tidak disarankan bagi wanita hamil dan ibu menyusui. Jika Anda penderita
anemia berat, harap berhati-hati menggunakan Ceftriaxone. Jangan hentikan
penggunaan sebelum proses penyembuhan selesai, dikhawatirkan dapat membuat
resistensi bakteri terhadap antibiotik.
2. PARACETAMOL
3. CIPROFLOXACIN
Indikasi: Infeksi saluran nafas, saluran kemih, gastrointestinal, THT, kulit dan jaringan
lunak, tulang dan sendi, infeksi oleh bakteri yang peka.
Efek samping: mual, muntah, diare, gangguan pencernaan, dyspepsia, anoreksia, pusing,
sakit kepala, lelah, insomnia, agitasi, tremor, kulit kemerahan, demam
akibat obat, reaksi anafilaksis, gagal ginjal.
Perhatian: gangguan ginjal, diketahui atau diduga mengalami gangguan SSP yang dapat
mempermudah kejang atau membuat ambang kejang lebih rendah.
Mempengaruhi kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.
Interaksi obat: Antacid, garam besi, garam zink, sukralfat, didanosin: dapat menghambat
absorbs oral fluoroquinolon, bedakan waktu pemberian. Antikoagulan:
dapat meningkatkan efek warfarin, monitor waktu protombin.
Antineoplastic agents: kadar serum fluoroquinolon diturunkan oleh
cyclophosphamid, cytarabine, daunorubicin, doxorubicin, mitoxantrone,
dan vincristine. Azlocillin: menurunkan klirens ciprofloxacin. Caffeine:
mengurangu klirens caffeine. Cimetidine: dapat mempengaruhi
eliminasi fluoroquinolon dan meningkatkan efek. Cyclosporine: efek
nefrotoksik cyclosphorin dapat ditngkatkan, monitor fungsi ginjal.
Probenecid: menurunkan klirens ginjal ciprofloxacin. Theophyliin:
menurunkan klirens dan meningkatkan kadar plasma theophyllin dapat
menyebabkan toksisitas, monitor kadar theophyllin.
Farmakokinetika: cepat dan diserap dengan baik melalui saluran cerna. Bioavailabilitas
oral sekitar 70% dan kadar puncak plasma sekitar 2,5 mcg dicapai 1-2
jam setelah pemberian oral 500mg. absorbs dapat diperlambat oleh
makanan, tapi tidah begitu nyata secara keseluruhan. Waktu paroh
plasma sekitar 3,5-4,5 jam. Waktu paroh diperpanjang pada gagal
ginjal.Ikatan protein plasma berkisar antara 20-40%. Ciprofloksasin
didistribusikan secara luas dalam tubuh dan jaringan. Ciprofloksasin
dapat melintasi plasenta dan didistribusikan ke ASI.Ciprofloksasin
diekskresikan melalui ginjal.Setidaknya ada 4 metabolit yang sudah
teridentifikasi.Sekitar 40-50% dosis oral diekskresikan dalam bentuk
tidak berubah dalam urin dan 15% sebagai metabolit, dalam 24
jam.Dosis parentral diekskresikan dalam bentuk tidak berubah
mencapai 70% dan 10% sebagai metabolit, dalam 24 jam. Ekskresi
melalui feses selama 5 hari sekitar 20-30% dosis oral dan 15% dosis iv
4. KETOROLAK INJ
Indikasi:
penanganan jangka pendek untuk nyeri pasca bedah yang sedang (tablet);
penanganan jangka pendek untuk nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat
(injeksi).
Peringatan:
dapat menyebabkan iritasi saluran cerna, tukak, perforasi atau perdarahan dengan
atau tanpa didahului oleh gejala; asma (dapat menyebabkan bronkospasme); kurangi
dosis dan lakukan monitoring pada gangguan fungsi ginjal ringan (dosis maksimum
60 mg/hari secara intravena atau intramuskular); dapat menghambat agregasi
platelet dan memperlama waktu perdarahan; pasien dengan gangguan koagulasi
atau menerima terapi obat yang dapat mempengaruhi hemostasis; tidak dianjurkan
digunakan sebagai pengobatan pra-bedah, anestesi tambahan, maupun analgesik
obstetrik; tidak dianjurkan digunakan bersama dengan AINS lain; dekompensasi
jantung, hipertensi atau kondisi sejenis (pernah dilaporkan retensi cairan dan
edema); hamil; menyusui; gunakan dosis efektif terkecil pada lansia.
Kontraindikasi:
anak usia di bawah 16 tahun; gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat (kreatinin
serum < 160µmol/L).
Efek Samping:
perut tidak enak, konstipasi, diare, dispepsia, kembung, gastritis, perdarahan saluran
cerna, nyeri saluran cerna, mual, pankreatitis, tukak lambung, perforasi, stomatitis,
muntah, melena, perdarahan anus, esofagitis, mimpi yang tidak normal, kemampuan
penglihatan dan perasa tidak normal, meningitis aseptik, konvulsi, depresi, mulut
kering, eforia, rasa sangat haus, pusing, mengantuk, halusinasi, sakit kepala,
gangguan pendengaran, hiperkinesia, ketidakmampuan berkonsentrasi, insomnia,
mialgia, berkeringat, cemas, vertigo, reaksi psikotik, gagal ginjal akut, hiperkalemia,
hiponatremia, naiknya urea darah dan kreatinin, retensi urin, bradikardi, flushing,
hipertensi, purpura, trombositopenia, palpitasi, nyeri dada, asma, dispnea, udem
paru.
Dosis:
oral, 10 mg setiap 4-6 jam (lansia setiap 6-8 jam); untuk pasien yang juga
memperoleh terapi ketorolak trometamin injeksi atau perubahan terapi dari injeksi
menjadi oral dosis maksimum 90 mg (maksimum 60 mg untuk lansia, pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan berat badan kurang dari 50 kg) dan dosis oral maksimum
40mgpada hari perubahan terapi.Dengan injeksi intramuskuler atau injeksi
intravena, injeksi intravena sebaiknya diberikan dalam waktu tidak kurang dari 15
detik. Dosis awal, 10 mg, kemudian 10-30 mg setiap 4-6 jam apabila diperlukan.
Dosis maksimum 90 mg sehari (Pasien LANSIA, gangguan fungsi ginjal dan berat
badan kurang dari 50 kg dosis maksimum 50 kg). Lama pengobatan maksimum
2 hari.Sebaiknya gunakan dosis terkecil yang paling efektif dengan lama pengobatan
paling pendek yang dapat diberikan.
Mekanisme kerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi, sehingga dapat mengurangi bengkak, nyeri atau demam
5. RANITIDIN
Indikasi:
1. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak lambung, tukak duodenum,
tukak ringan aktif
Sukandar, E,Y, dkk. Iso Farmakoterapi. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. PT. ISFI
Penerbitan, Jakarta. 2008
CEDERA KEPALA
OLEH :
MARISSA PRATIWI
NIM:1621012008
PERSEPTOR:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017