Anda di halaman 1dari 32

Cedera Kepala

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau
tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).

Pada saat ini klasifikasi cedera kepala secara luas berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
karena kriterianya bisa dielavuasi dan mudah diterima dalam berbagai kondisi, cukup
obyektif, sederhana dan dapat dipercaya. Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Easdale dan
Jennet di tahun 1974 dengan menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis
yaitu respon membuka mata, motorik, dan verbal.

Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai 3 berarti penderita
tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun sedangkan nilai 15 berarti penderita
sadar penuh. Penilain GCS dilakukan pasca resusitasi setelah trauma.

Definisi Cedera Kepala Sedang

Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi
akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan
kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Cedera kepala sedang
adalah cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas
dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999).

Epidemiologi Cedera Kepala Sedang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan
bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh
cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).

Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan
orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat menjadi faktor penyebab
peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Yang sampai di rumah sakit, 80% 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR),
10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).

Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan
industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan. Angka
kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang
belum benar dan rujukan yang terlambat.

Pathofisiologi Cedera Kepala

Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses
patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin
(2002) membagi cedera kepala menjadi dua :

1. Cedera otak primer


Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari
efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim
otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi
akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial
dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak
secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh
banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
(ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis.
Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan
tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan
mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan
sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut
proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang
tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan
oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/subdural/Intracerebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi
substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran
darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi
cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan
dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear
(PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila
penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam
akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini
membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis.
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam
terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi
perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular
Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan
merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu,
netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu terjadinya 15
cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang
predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).

Morfologi Cedera Kepala


Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (Peter, 2009)
1. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala
scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective
tissue, apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium. Diantara galea
16 aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini.
2. Faktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur
dibagi menjadi:
- Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
- Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.
Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum
menyatu dengan erat.
- Fraktur kominutif
Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
- Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula 17
eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.
- Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign (Fraktur
basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii
fossa media).

Cedera Otak Fokal dan Difus


Tobing (2011) mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak difus.
Cedera otak fokal meliputi:
1. Perdarahan Epidural atau epidural hematom (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat
menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa
hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH).
Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik.
SDH kronik adalah terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma. SDH kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit-sedikit.
4. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematomn (ICH).
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan
deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh
darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau
pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
5. Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH).
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma
dapat memasuki ruang subarahnoid.

Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang menunjukkan kondisi
parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan 19 translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas
pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas,
edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai
cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus
dikelompokkan menjadi:

1. Cedera akson difus ( Difuse aksonal injury )


Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan.
2. Kontusio Cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontusio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercup, dimana hal tersebut menunjukkan
besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu
kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.
3. Edema Cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan
hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
4. Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degenerative pembuluh darah otak.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Cedera Kepala

Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan
cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran
abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada CT scan
kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X ray foto kepala untuk melihat adanya patah
tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).

CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat
melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi
oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto
CT-Scan akan tampak sebagai penampangpenampang melintang dari objeknya. Dengan CT-
Scan isi kepala secara anatomis 21 akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya
(Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah
seperti berikut:

1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat. 6.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).

Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika
dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan hasil CT Scan tersebut
juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall maupun secara tradisional.
Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu deibedakan menjadi enam
kategori,pembagiannya dapat dilihat pada tabel 1.1.

Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari
gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH
maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly, 2007).
Tabel 1.1 Klasifikasi Marshall berdasarkan CT Scan pada Cedera Kepala

Category Definition

Diffuse Injury I (no visible pathology) No visible intra-cranial pathology seen on CT


Scan
Diffuse Injury II Cisterns are present with midline shift < 5
mm and or lesion densities present
No high or mixed density lesion > 25 ml, may
include bone fragments and foreign bodies
Diffuse Injury III Cisterns compressed or absent with midline
shift 0-5 mm No high or mixed density lesion
> 25 ml
Diffuse Injury IV Midline shift > 5 mm
No high or mixed density lesion > 25 ml
Evacuated mass lesion Any lesion surgically evacuated
Non-Evacuated mass lesion High or mixed density > 25 ml,
not surgically evacuated

Faktor Risiko Klinis Pada Cedera Kepala

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai GCS
rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan sistemik lain yang
memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain menunjukkan, 30-60 % pasien cedera
kepala dengan Intra Cranial Pressure (ICP) tidak terkontrol 23 meninggal dan berbeda
dengan penelitian besar lainnya dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat
sedang (Moulton, 2005).

Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan penilaian klinis
terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor terhadap faktor lain
dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga masih diperdebatkan. Hal
ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis tidak bisa digunakan sebagai
satu-satunya variabel dalam keberhasilan menentukan keputusan pengobatan. Namun,
tidak bisa tidak, faktor- faktor tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan penanganan pasien (Bahloul, 2009; Kan, 2009).
1. Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya
kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan hubungan yang
bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi
lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada usia tua
(Narayan, 2000).
2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor
utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi merupakan faktor
yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome
pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi 24 berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala
(Chessnut, 2000; Demetriades, 2004).Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama
yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90
mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30 % dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala,
hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian
kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di medula
oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderitapenderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi
sistemik.
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera iskemik
sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan mulai dari
awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor utama yang
menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-satunya faktor
penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode
hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh
karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospectivenya menemukan bahwa hipotensi
intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga
kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan 25
peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien
cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat ischemic (Stieffel,
2005)

Hypoxia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat dalam
keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51% mempunyai
perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih
dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada awalnya
sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola
pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang belakang
atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga karena
cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi
pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan efek
hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan didalam
memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Van Putten (2005) pada sekolompok tikus menjelaskan
bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian edema otak
bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan oleh karena
gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis ion.

Skor Glasgow Coma Scale


Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974.
Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya
cedera pada cedera kepala. Glasgow coma scale seharusnya telah diperiksa pada
penderita – penderita pada awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat
paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut, 2000;
Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Glasgow coma scale juga
meupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS
yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis
dan Cunningham, 1984).
Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan
bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau lebih, dalam waktu 24
jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately disabled dan hanya
12% yang meninggal atau mendapat severe disability. Outcome secara progresif
akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara penderita– penderita dengan
skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah cedera hanya 7% yang
mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara penderita– penderita
dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome
yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber dari hasil penelitian
Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan 27 fungsional dari
134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya
mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari – hari dan 20%
yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita yang sembuh
adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik.

Diameter Pupil Dan Reaksi Cahaya


Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung
terhadap adanya herniasi dan cedera brainstem. Secara umum, dilatasi dan fiksasi
dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan
terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera brainstem yang irreversible.
Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami dilatasi dan
terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga
intrakranial atau disertai cedera brainstem (Chessnut, 2000).
Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah
dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran
dan reaksi pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada
tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons
motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya
memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews, 1989;
Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone
dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil
yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi
28 terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas,
biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153
penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai
penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk
dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang
baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral,
secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan
baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks – refleks batang otak bagian atas
yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu
pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu subdural hematoma (SDH) mencapai
penyembuhan fungsional. Seelig dkk, melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita
dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan
demikian, gangguam gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga
berhubungan dengan prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2006).
Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak
diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma
orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi
pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma
intraserebral (Pascual, 2008; Moulton, 2005; Volmerr, 1991).

ILUSTRASI KASUS

DATA DASAR & DATA DEMOGRAFI


 No. RM : 979899
 Nama : Yuhendri
 Tanggal dirawat : 28 Mei 2017
 Ruangan dirawat : Trauma Centre
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Umur : 39 tahun
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Swasta

KELUHAN UTAMA
Cedera kepala post kecelakaan lalu lintas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


 Nyeri kepala post kecelakaan lalu lintas 7 jam sebelum masuk RS
 Awalnya pasien bersepeda motor, lalu bertabrakan dengan motor lain, mekanisme
trauma tidak jelas
 Pasien tetap sadar setelah
 Mual (-) Muntah (-) Kejang (-)
 Keluar darah dari telinga (-), hidung (+)
 Trauma ditempat lain (+) fraktur digiti II pedis (D)
 Luka lecet pada tengah bawah kanan dan punggung kaki kanan
 Luka yang sudah dijahit pada bibir bawah
 Patah tulang ruas 2 jari 2 kaki kanan

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada
DIAGNOSA :
Cedera kepala GCS 14

DIAGNOSA SEKUNDER :
Arcus Zygomaticus (D) + os Supra orbita (D)

PEMERIKSAAN UMUM
Umum Kesadaran: GCS 13
TD: 110/70 mmHg
Nadi: 98x/i
Suhu: 37,8°C
Nafas: 22x/i
Keadaan umum: sedang
Keadaan gizi: sedang
Tinggi: - cm
Berat badan: - kg
Edema (-), Anemis (-), Ikteris (-)
Kulit Tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening Tidak teraba pembesaran KGB
Kepala R capitis hematon (+), edema (-)
Rambut Tidak ada kelainan
Mata RC +/+ pupil isokor
Telinga Tidak ada kelainan

Hidung Tidak ada kelainan

Tenggorokan Tidak ada kelainan

Gigi dan Mulut Tidak ada kelainan

Leher JUP 5-2 cm H2O


Dada Paru : simetris ki=ka
Jantung :
Regular
Punggung Tidak ada kelainan
Alat kelamin Tidak ada kelainan
Anus Tidak diperiksa
Anggota gerak Fraktur digiti II pedis (D)
Darah
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Parameter
28/05
Hemoglobin 13,2 g/dl 13 – 16
Hematokrit 40 % 40 - 48
Leukosit 7680 /mm3 5000 – 10000
Basofil - % 0,5-1
Eosinofil - % 1-4
Netrofil batang - % 0-3
Netrofil segmen - % 40-60
Limfosit - % 20-40
Monosit - Per mil 0,5-2
Eritrosit - /mm3 4x106-5x106
Trombosit 359.000 /mm3 150.000–400.000
MCH - pg 27-31
MCV - μm3 82-92
MCHC - g/dl 32-36
APTT (K= 36,8) 39,9 detik 28,2 – 38,2
PTT (k=11,2) 9,5 detik 9,2 – 12,4
INR - INR < 1,2
LED 42 mm/jam 0-15

Follow up pasien
Tanggal 29/05/2017 Penatalaksanaan
S/ nyeri kepala post kll sejak 7 SMRS P/ rawat Trauma centre
Awalnya pasien bersepeda motor - IVFD NaCl 0,9% 20tts/i
lalu bertabrakan dengan motor lain, - Inj ceftriaxon 2x1 gr
mekanisme trauma tidak jelas. - Inj ketorolac 2x1
Pasien tetap sadar setelah kejadian - Inj ranitidine 2x1
Mual (-), muntah (-), kejang (-) - Head op 300
Keluar darah darin hidung (+), telinga - O2 3 l
(-)
Trauma ditempat lain : fraktur digiti II
pedis (D)
O/ KU: sedang
Kes: GCS 13
TD: 110/70
Nd: 98x/i
Nfs: 22x/i
T: 36,9°
R capitis : hematoma (-), udem (-)
RC +/+, pupil isokor
A/ CKG 14 + traumatic amputation
digiti II pedis (D)

Tanggal 30/05/2017 Penatalaksanaan


S/ pasien sadar penuh P/ terapi dilanjutkan
Kejang (-)
Muntah (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD: 130/80
Nd: 85x/i
Nfs: 24x/i
T: 36,8 °C
GCS : 15

A/ CKG 14 + traumatic amputation


digiti II pedis (D)
Tanggal 31/05/2017 P/ terapi dilanjutkan
S/ pasien sadar penuh CT scan 3D
Kejang (-) PCT 3x500 mg
Muntah (-)
Demam (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 110/70
A/ CKG 14 + traumatic amputation
digiti II pedis (D)

Tanggal 02/06/2017 P/ terapi dilanjutkan


S/ pasien sadar penuh
Kejang (-)
Muntah (-)
Demam (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
Edema (+)
A/ CKG 14 + traumatic amputation
digiti II pedis (D)

Tanggal 30/05/2017 Penatalaksanaan


S/ pasien sadar penuh P/ terapi dilanjutkan
Kejang (-)
Muntah (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD: 130/80
Nd: 85x/i
Nfs: 24x/i
T: 36,8 °C
GCS : 15

A/ CKG 14 + traumatic amputation


digiti II pedis (D)
Tanggal 31/05/2017 P/ terapi dilanjutkan
S/ pasien sadar penuh CT scan 3D
Kejang (-) PCT 3x500 mg
Muntah (-)
Demam (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 110/70
A/ CKG 14 + traumatic amputation
digiti II pedis (D)

Tanggal 02/06/2017 P/ terapi dilanjutkan


S/ pasien sadar penuh
Kejang (-)
Muntah (-)
Demam (-)
O/ KU : sedang
A/ CKG 15 + maksilofasial

Tanggal 05/06/2017 P/ terapi lanjut


S/ pasien sadar penuh
Demam (+)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ CKG 14 + maksilofasial
Tanggal 06/06/2017 P/ terapi lanjut
S/ pasien sadar penuh
Demam (+)
Nyeri (+)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ CKG 14 + maksilofasial

Tanggal 07/06/2017 P/ terapi dilanjutkan


S/ pasien sadar penuh
Demam (+)
Nyeri (+)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ CKG 14 + maksilofasial
Tanggal 08/06/2017 P/ rencana op jumat 9/06/2017
S/ pasien sadar penuh
Demam (+)
Nyeri (+)
Tes oklusi (+)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ CK GCS 15 + maksilofasial
Tanggal 09/06/2017 P/ IVFD RL 28 gtt/i
S/ telah dilakukan operasi ORIF Inj ceftriaxon 2x1gr
Screw & plate + IDW archbart dalam Inj ranitidine 2x1
GA
PCT 3x500mg
O/ KU : sedang

Kesadaran : CMC

A/ CK GCS 15 + maksilofasial
Tanggal 12/06/2017 P/ pasien boleh pulang
S/ Demam (+) PCT 3x500mg
Nyeri (+) Ciprofloxacin 2x500mg
Tes oklusi (+) Ranitidin 2x1 tab
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
A/ Maksilofasial post IDW Archbac
DISKUSI

Pasien diberikan terapi RL. Tujuan pemberian terapi ini diindikasikan sebagai asupan
air dan elektrolit terutama pada pasca operasi.Keunggulan terpenting dari larutan Ringer
Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik.Klorida merupakan anion utama di plasma darah.Kalium
merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.

Pasien diberikan ranitidin inj sebagai perlindungan terhadap lambung dari efek pemakaian
obat obat lain seperti analgesik yang dapat mengiritasi lambung.Ketorolak inj digunakan
sebagai penanganan jangka pendek untuk nyeri pasca bedah yang sedang (tablet);
penanganan jangka pendek untuk nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat
(injeksi).Mekanisme kerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang
menyebabkan inflamasi, sehingga dapat mengurangi bengkak, nyeri atau demam.

Pemberian Ceftriakson inj adalah sebagai antibiotik pada operasi.Ceftriaxone efektif


terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif.Ceftriaxone juga sangat stabil
terhadap enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh bakteri.Ceftriakson merupakan
antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang bekerja menghambat sintesa dinding
sel bakteri dengan mengganggu cross-linking akhir peptidoglikan dan mengaktifkan enzim
otolitik dinding sel

Paracetamol tab sebagai analgesic oral.


TINJAUAN OBAT

1. Ceftriaxon

Ceftriaxon adalah antibiotik golongan sefalosporin.

Indikasi

- Membantu mengobati meningitis.


- Mengatasi pneumonia. Membantu mengatasi keracunan darah.
- Mengobati gonore (kencing nanah). Infeksi kulit dan jaringan lunak.
- Infeksi pada pasien neutropenia (kelainan darah). Mengatasi sepsis.
- Peradangan pelvis.
- Infeksi saluran kemih.
- infeksi saluran pernafasan bawah.
- Infeksi intra-abdomen.
- Mengatasi flu dan pilek.
- Otitis media bakterial akut (infeksi telinga bagian tengah).
- Profilaksis bedah

Kontra Indikasi

- Memiliki hipersensitif atau alergi terhadap Ceftriaxone dan obat antibiotik


cephalosporin lainnya, seperti cefadroxil dan cefalexin.
- Memiliki hipersensitif atau alergi terhadap Penicilin dan obat antibakteri beta
laktam lainnya. Neonatus (bayi baru lahir sampai usia 28 hari) yang
mengalami hiperbilirubinemia.
- Tidak digunakan dengan larutan atau produk yang mengandung kalsium pada bayi.

Dosis dan Cara Pemakaian


injeksi:

- 1 gram/50 ml)
- 2 gram/50 ml

injeksi bubuk :

- 250 mg
- 500 mg
- 1 gram
- 2 gram
- 10 gram
- dan 100 gram.

Adapun dosis Ceftriaxone yang dianjurkan sebagai berikut: Dosis Ceftriaxone untuk


orang dewasa:

- Bagi penderita infeksi intra-abdomen, dosis yang dianjurkan adalah 1 gram


sampai 2 gram melalui infus IV atau suntikan IM per hari yang digunakan
selama 4-7 hari (dikombinasikan dengan metronidazol).
- Bagi penderita otitis media bakterial akut, dosis yang dianjurkan adalah 50
mg/ kg melalui suntikan IM satu kali sehari.
- Bagi penderita inflamasi panggul, dosis yang dianjurkan adalah 250 mg
melalui suntikan IM per hari yang dikombinasikan dengan doxycycline selama
14 hari.
- Bagi penderita sepsis, dosis yang dianjurkan adalah 2 gram melalui infus IV
per hari yang dikombinasikan dengan clindamycin.
- Bagi penderita infeksi kulit, dosis yang dianjurkan adalah 1 gram sampai 2
gram melalui infus IV yang dikombinasikan dengan doxycycline.
- Bagi penderita infeksi sendi, dosis yang dianjurkan adalah 2 gram melalui
infus IV per hari yang digunakan selama 2-6 minggu.
- Bagi penderita meningitis, dosis yang dianjurkan adalah 2 gram melalui infus
IV yang diberikan setiap 12 jam sekali selama 1-2 minggu.
- Bagi penderita gonore, dosis yang dianjurkan adalah 250 mg per hari.
- Untuk profilaksis bedah, dosis yang dianjurkan adalah 1 gram melalui infus IV
yang diberikan 30 menit atau 2 jam sebelum operasi.

Dosis Ceftriaxone untuk anak-anak:

- Bayi berusia kurang dari 1 minggu, dosis yang dianjurkan adalah 50 mg/kg melalui
infus IV atau suntikan IM per hari.
- Bayi berusia 1-4 minggu, dosis yang dianjurkan 50 mg/kg sampai 75mg/kg melalui
infus IV atau suntikan IM per hari.
- Usia lebih dari 1 bulan, dosis yang dianjurkan 2 g sampai 4 g melalui infus IV atau
suntikan IM per hari.
- Bagi penderita meningitis usia < 1 bulan, dosis yang dianjurkan adalah 50 mg sampai
75 mg per hari.
- Bagi penderita meningitis usia > 1 bulan, dosis yang dianjurkan adalah 100 mg
sampai 75 mg per hari selama 1-2 minggu.
- Bagi penderita otitis media bakterial akut, dosis yang dianjurkan adalah 50mg/kg
melalui suntikan IM satu kali sehari.

Efek Samping 

Efek samping yang biasanya terjadi diantaranya:

- Tempat bekas suntikan membengkak.


- Mual, muntah, dan sakit perut.
- Pusing dan sakit kepala.
- Lidah bengkak.
- Berkeringat.
- Demam, menggigil, dan kelenjar bengkak.
- Terasa gatal pada kulit, kemudian ruam merah atau ungu yang menyebar (terutama
ke wajah atau tubuh bagian atas) sehingga kulit melepuh dan mengelupas.
- Nyeri otot.
- Sariawan.
- Pendarahan pada hidung, mulut, vagina, atau rektum.
- Terdapat bintik ungu atau merah di bawah kulit.
- Kulit terlihat pucat atau kuning, Air seni berwarna lebih gelap dari biasanya.
- Kebingungan atau tubuh menjadi lemah.
- Jarang buang air kecil atau tidak sama sekali.
- Kejang-kejang.
- Terjadi iritasi di tempat suntikan.
- Feses berwarna pucat, seperti kapur.
- Bengkak pada wajah atau lidah Mata terasa panas.

Peringatan dan Perhatian

Hati-hati penggunaan obat ini bagi penderita gangguan fungsi hati, ginjal, dan saluran
pencernaan. Bagi pasien yang menjalani diet rendah untuk berhati-hati menggunakan
obat ini. Tidak disarankan bagi wanita hamil dan ibu menyusui. Jika Anda penderita
anemia berat, harap berhati-hati menggunakan Ceftriaxone. Jangan hentikan
penggunaan sebelum proses penyembuhan selesai, dikhawatirkan dapat membuat
resistensi bakteri terhadap antibiotik.

2. PARACETAMOL

Indikasi : demam, nyeri, nyeri kepala, sakit gigi, nyeri otot.


Dosis : dewasa 0-5-1 g 3-4 kali/hari maksimal 4g/hari. Anak 7-12 tahun 250 mg
maksimal 1 g/hari.Anak 1-6 tahun 125 mg maksimal 750 mg/hari.Kecil 1 tahun
60 mg. diberikan 3-4 kali/hari.
Pemberian : sesudah atau sebelum makan.
Kontraindikasi : gangguan fungsi hati, hipersensitif terhadap paraaminofenol.
Peringatan : penggunaan bersama obat lain yang mempengaruhi hati, ginjal.
ESO : hipersensitivitas, gangguan hematologic, pancreatitis akut. Dosis tinggi
atau pemakaian lama dapat menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi obat : absorbsi melambat dengan obat antikoagulan atau analgesic opioid.
Toksisitas meningkat bila digunakan bersama alcohol atau obat
antiepilepsi.Meningkatkan respon antikoagulan kumarin dan
kloramfenikol konsentrat.
Mekanisme : bekerja langsung pada pusat pengaturan panas di hipotalamus dan
menghambat sintesa prostaglandin di system saraf pusat.

3. CIPROFLOXACIN

Mekanisme kerja: mengganggu sintesa DNA mikroba

Indikasi: Infeksi saluran nafas, saluran kemih, gastrointestinal, THT, kulit dan jaringan
lunak, tulang dan sendi, infeksi oleh bakteri yang peka.

Kontra indikasi: Hiperseneitifitas terhadap fluoroquinolon atau quinolon.


Anak <18 tahun.

Efek samping: mual, muntah, diare, gangguan pencernaan, dyspepsia, anoreksia, pusing,
sakit kepala, lelah, insomnia, agitasi, tremor, kulit kemerahan, demam
akibat obat, reaksi anafilaksis, gagal ginjal.

Perhatian: gangguan ginjal, diketahui atau diduga mengalami gangguan SSP yang dapat
mempermudah kejang atau membuat ambang kejang lebih rendah.
Mempengaruhi kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.

Interaksi obat: Antacid, garam besi, garam zink, sukralfat, didanosin: dapat menghambat
absorbs oral fluoroquinolon, bedakan waktu pemberian. Antikoagulan:
dapat meningkatkan efek warfarin, monitor waktu protombin.
Antineoplastic agents: kadar serum fluoroquinolon diturunkan oleh
cyclophosphamid, cytarabine, daunorubicin, doxorubicin, mitoxantrone,
dan vincristine. Azlocillin: menurunkan klirens ciprofloxacin. Caffeine:
mengurangu klirens caffeine. Cimetidine: dapat mempengaruhi
eliminasi fluoroquinolon dan meningkatkan efek. Cyclosporine: efek
nefrotoksik cyclosphorin dapat ditngkatkan, monitor fungsi ginjal.
Probenecid: menurunkan klirens ginjal ciprofloxacin. Theophyliin:
menurunkan klirens dan meningkatkan kadar plasma theophyllin dapat
menyebabkan toksisitas, monitor kadar theophyllin.

Farmakokinetika: cepat dan diserap dengan baik melalui saluran cerna. Bioavailabilitas
oral sekitar 70% dan kadar puncak plasma sekitar 2,5 mcg dicapai 1-2
jam setelah pemberian oral 500mg. absorbs dapat diperlambat oleh
makanan, tapi tidah begitu nyata secara keseluruhan. Waktu paroh
plasma sekitar 3,5-4,5 jam. Waktu paroh diperpanjang pada gagal
ginjal.Ikatan protein plasma berkisar antara 20-40%. Ciprofloksasin
didistribusikan secara luas dalam tubuh dan jaringan. Ciprofloksasin
dapat melintasi plasenta dan didistribusikan ke ASI.Ciprofloksasin
diekskresikan melalui ginjal.Setidaknya ada 4 metabolit yang sudah
teridentifikasi.Sekitar 40-50% dosis oral diekskresikan dalam bentuk
tidak berubah dalam urin dan 15% sebagai metabolit, dalam 24
jam.Dosis parentral diekskresikan dalam bentuk tidak berubah
mencapai 70% dan 10% sebagai metabolit, dalam 24 jam. Ekskresi
melalui feses selama 5 hari sekitar 20-30% dosis oral dan 15% dosis iv

4. KETOROLAK INJ

 Indikasi: 
penanganan jangka pendek untuk nyeri pasca bedah yang sedang (tablet);
penanganan jangka pendek untuk nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat
(injeksi).
 Peringatan: 
dapat menyebabkan iritasi saluran cerna, tukak, perforasi atau perdarahan dengan
atau tanpa didahului oleh gejala; asma (dapat menyebabkan bronkospasme); kurangi
dosis dan lakukan monitoring pada gangguan fungsi ginjal ringan (dosis maksimum
60 mg/hari secara intravena atau intramuskular); dapat menghambat agregasi
platelet dan memperlama waktu perdarahan; pasien dengan gangguan koagulasi
atau menerima terapi obat yang dapat mempengaruhi hemostasis; tidak dianjurkan
digunakan sebagai pengobatan pra-bedah, anestesi tambahan, maupun analgesik
obstetrik; tidak dianjurkan digunakan bersama dengan AINS lain; dekompensasi
jantung, hipertensi atau kondisi sejenis (pernah dilaporkan retensi cairan dan
edema); hamil; menyusui; gunakan dosis efektif terkecil pada lansia.
 Kontraindikasi: 
anak usia di bawah 16 tahun; gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat (kreatinin
serum < 160µmol/L).
 Efek Samping: 
perut tidak enak, konstipasi, diare, dispepsia, kembung, gastritis, perdarahan saluran
cerna, nyeri saluran cerna, mual, pankreatitis, tukak lambung, perforasi, stomatitis,
muntah, melena, perdarahan anus, esofagitis, mimpi yang tidak normal, kemampuan
penglihatan dan perasa tidak normal, meningitis aseptik, konvulsi, depresi, mulut
kering, eforia, rasa sangat haus, pusing, mengantuk, halusinasi, sakit kepala,
gangguan pendengaran, hiperkinesia, ketidakmampuan berkonsentrasi, insomnia,
mialgia, berkeringat, cemas, vertigo, reaksi psikotik, gagal ginjal akut, hiperkalemia,
hiponatremia, naiknya urea darah dan kreatinin, retensi urin, bradikardi, flushing,
hipertensi, purpura, trombositopenia, palpitasi, nyeri dada, asma, dispnea, udem
paru.

 Dosis: 
oral, 10 mg setiap 4-6 jam (lansia setiap 6-8 jam); untuk pasien yang juga
memperoleh terapi ketorolak trometamin injeksi atau perubahan terapi dari injeksi
menjadi oral dosis maksimum 90 mg (maksimum 60 mg untuk lansia, pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan berat badan kurang dari 50 kg) dan dosis oral maksimum
40mgpada hari perubahan terapi.Dengan injeksi intramuskuler atau injeksi
intravena, injeksi intravena sebaiknya diberikan dalam waktu tidak kurang dari 15
detik. Dosis awal, 10 mg, kemudian 10-30 mg setiap 4-6 jam apabila diperlukan.
Dosis maksimum 90 mg sehari (Pasien LANSIA, gangguan fungsi ginjal dan berat
badan kurang dari 50 kg dosis maksimum 50 kg). Lama pengobatan maksimum
2 hari.Sebaiknya gunakan dosis terkecil yang paling efektif dengan lama pengobatan
paling pendek yang dapat diberikan.

Mekanisme kerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi, sehingga dapat mengurangi bengkak, nyeri atau demam

5. RANITIDIN

 Indikasi:
1. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak lambung, tukak duodenum,
tukak ringan aktif

2. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk refluks gastroesofagus dan


esofagitis erosif.

3. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan kondisi hipersekresi patologis.

4. Sebagai bagian regimen multiterapi eradikasi H. Pylorin untuk mengurangi risiko


kekambuhan tukak.
5. Meringankan heartburn, acid indigestion dan lambung asam.

 Dosis: Tukak lambung dan duodenum:anak (1 bulan-16 tahun) oral:2-4 mg/kg/hari


dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis terapi maksimum:300 mg/hari. Dosis
pemeliharaan:2-4 mg/kg sekali sehari; dosis pemeliharaan maksimum:150 mg/hari.
IV:2-4 mg/kg/hari dibagi setiap 6-8 jam, maksimum 150 mg/hari. Refluks
gastroesofagus dan esofagitis erosif:anak 1 bulan-16 tahun:oral:5-10 mg/kg/hari
dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis maksimum:refluks gastroesofagus:300 mg/hari,
esofagitis erosif:600 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi tiap 6-8 jam, maksimum:150
mg/hari atau sebagai suatu alternatif infus kontinu:dosis awal:1 mg/kg/dosis untuk
satu dosis diikuti oleh infus 0,08-0,17 mg/kg /jam atau 2-4 mg/kg/hari.
 Efek samping: Terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing, halusinasi,
sakit kepala, confusion, mengantuk, vertigo, eritema multiforme, kemerahan,
pankreatitis, anemia haemolitic acquired, agranulositosis, anemia aplastik,
granulositopenia, leukopenia, trombositopenia, pansitopenia, gagal hati, anafilaksis,
reaksi hipersensitivitas
 Kontra indikasi: Hipersensitivitas terhadap ranitidin atau bahan-bahan lain dalam
formulasi.
 Interaksi obat: Meningkatkan efek/toksisitas siklosporin (meningkatkan serum
kreatinin), gentamisin (blokade neuromuskuler), glipizid, glibenklamid, midazolam
(meningkatkan konsentrasi), metoprolol, pentoksifilin, fenitoin, kuinidin, triazolam.
Antasida dapat mengurangi absorpsi ranitidin. Absorpsi ketokonazol dan itrakonazol
berkurang; dapat mengubah kadar prokainamid dan ferro sulfat dalam serum,
mengurangi efek nondepolarisasi relaksan otot, cefpodoksim, sianoklobalamin
(absorpsi berkurang), diazepam dan oksaprozin, mengurangi toksisitas atropin.
 Mekanisme aksi: Menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel
parietal lambung, yang menghambat sekresi asam lambung; volume lambung dan
konsentrasi ion hidrogen berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Martindale, 34th edition, 2005. Hal. 919-3

Lexi-Comp′s Drug Information Handbook - 14th edition, 2006. Hal. 712-713.

MIMS 105th edition Annual Indonesia 2006/2007.

Drug Information Handbook International, Lexi-Comp′s, 2005

Sukandar, E,Y, dkk. Iso Farmakoterapi. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. PT. ISFI
Penerbitan, Jakarta. 2008

Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. (7th ed.). US :


McGraw-Hill Companies.
TUGAS

PRAKTEK KEPANITERAAN KLINIK

DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

BAGIAN ILMU BEDAH

CEDERA KEPALA

OLEH :

MARISSA PRATIWI

NIM:1621012008

PERSEPTOR:

Dr. Raflis Rustam, SpB(K)V

PROGRAM PASCA SARJANA FARMASI KLINIS

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2017

Anda mungkin juga menyukai