Di susun oleh :
KELOMPOK 2:
FAKULTAS TEKNIK
B. Latar Belakang
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus berkembang baik
dalam segi kehidupan masyarakatnya maupun segi tata ruangnya. Kota Yogyakarta pernah
berperan sebagai kota pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang
berlangsung terus sampai 17 Agustus 1945. Dalam catatan sejarah, pada saat itu Negara
Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan dan kemudian diikuti pernyataan Sultan
Hamengku Buwono IX untuk menyatukan diri dengan negara yang baru berdiri ini.
Selanjutnya Kota Yogyakarta sementara berganti status dari kota pusat pemerintahan dan
menjadi ibukota Republik Indonesia, selain sebagai pusat revolusi Indonesia pada saat itu.
C. Pariwisata
Pariwisata merupakan sektor utama bagi pusat kota yogyakarta. Banyaknya objek, dan
daya tarik wisata di yogyakarta telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan
mancanegara maupun wisatawan nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan
sebanyak 1.456.980 orang, dengan rincian 152.843 dari mancanegara, dan 1.304.137 orang
dari nusantara. Bentuk wisata di yogyakarta meliputi wisata MICE
(Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam, wisata minat
khusus, dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran. Tercatat
ada 37 hotel berbintang, dan 1.011 hotel melati di seluruh yogyakarta pada 2010. Adapun
penyelenggaraan MICE sebanyak 4.509 kali per tahun atau sekitar 12 kali per
hari. Keanekaragaman upacara keagamaan, dan budaya dari berbagai agama serta
didukung oleh kreativitas seni, dan keramahtamahan masyarakat, membuat yogyakarta
mampu menciptakan produk-produk budaya, dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun
2010 tedapat 91 desa wisata dengan 51 di antaranya yang layak dikunjungi. Tiga desa
wisata di kabupaten Sleman hancur terkena erupsi gunung Merapi sedang 14 lainnya rusak
ringan. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Yogyakarta pada September 2014, angka
kunjungan mencapai 2,4 juta wisatawan domestik dan 1,8 juta wisatawan manca negara.
Secara geografis, pusat kota yogyakarta juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi objek
wisata yang terjangkau, dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi
motor kegiatan perekonomian yogyakarta yang secara umum bertumpu pada tiga sektor
andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel, dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini
pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan
disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja, dan
sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.
E. Wisata Kebudayaan
Pusat kota yogyakarta mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya
yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara
lain kawasan cagar budaya, dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya
yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau
perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan
Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau
tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari
keberadaannya, merupakan embrio, dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika
masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya, dan beradat
tradisi. Selain itu, DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya yaitu Museum
Ullen Sentalu, dan Museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional.
Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar
41,55%, sedangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%.
Beberapa museum yang terletak di DIY, antara lain:
KECAMATAN PAKUALAMAN
KECAMATAN DANUREJAN
KECAMATAN GONDOMANAN
KECAMATAN GEDONGTENGEN
KECAMATAN NGAMPILAN
KECAMATAN KRATON
A. PURA PAKUALAMAN
Puro Paku Alaman (bahasa Jawa: Hanacaraka,ꦦꦸꦫꦦꦑꦸꦲꦭꦩ꧀ꦩꦟ꧀, Purå
Pakualaman) adalah bekas istana kecil Kadipaten Paku Alaman. Istana ini menjadi
tempat tinggal resmi para Pangeran Paku Alam mulai tahun 1813 sampai dengan
tahun 1950, ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan
Kadipaten Paku Alaman (bersama-sama Kesultanan Yogyakarta) sebagai sebuah
daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah Istimewa
Yogyakarta .
2. Pemangku Adat
Semula Puro Paku Alaman merupakan Lembaga Istana yang mengurusi raja dan
keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Paku Alaman.
Setelah Kadipaten Paku Alaman bersama-sama Kesultanan Yogyakarta diubah
statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi
pada 1950, Puro Paku Alaman mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa
dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa
khususnya garis/gaya Paku Alaman Yogyakarta. Fungsi Puro Paku Alaman berubah
menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Paku
Alaman Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Paku Alaman ini kurang begitu terlihat dan
berpengaruh di Yogyakarta mengingat wilayah Kadipaten Paku Alam yang kecil dan
terletak jauh di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.
Namun ada perbedaan antara Puro Paku Alaman Yogyakarta dengan Istana
kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sri Paduka Paku Alam selain sebagai Yang
Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Puro Paku Alaman juga memiliki
kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan
daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950)
sampai tahun 1998 Sri Paduka Paku Alam secara otomatis diangkat sebagai Wakil
Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa
jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah
lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara
1988-1998 Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa ditunjuk sebagai penjabat
jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Setelah 1999 keturunan Sri Paduka
Paku Alam tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat
menjadi Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004).
Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Paduka Paku
Alam IX.
B. JALAN MALIOBORO
1. Jalan Malioboro (bahasa Jawa: ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ, translit. Dalan Maliabara)
adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang
membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos
Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan
Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner
Kraton Yogyakarta.
Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu
Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng
Vredeburg, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang
menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari
yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat
berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka
seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di
sepanjang jalan ini.
2. Sejarah
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan
(Pantai Parangkusumo) - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai
pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun benteng
Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.
Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822,
The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak
lama setelahnya. Setelah itu Malioboro berkembang kian pesat karena
perdagangan antara orang belanda dengan pedagang Tionghoa. Tahun 1887
Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian
kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya.
Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit
antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin
menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni keberhasilan pasukan merah putih
menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa
angkatan perang Indonesia tetap ada.
Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi
satu arah saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke selatan - ke pasar
Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar, tertua di Belanda, Hotel
Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur
kereta api. Ini memiliki bekas kompleks Perdana Menteri Belanda, kepatihan, di
sisi timur.
Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok
ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api - atau
secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan
rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang
asing yang akan melihat kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing
sedang diiklankan.
Tidak sampai ke tembok atau halaman Keraton Yogyakarta, karena Malioboro
berhenti bersebelahan dengan pasar Beringharjo yang sangat besar (di sisi
timur juga). Dari titik ini nama jalan berubah menjadi Jalan Ahmad Yani (Jalan
Ahmad Yani) dan memiliki bekas kediaman Gubernur di sisi barat, dan Benteng
Vredeburg Belanda tua di sisi timur.
2. Sejarah
2. Fasilitas Pendukung
Sosrowijayan memimiliki semua fasilitas yang dibutuhkan baik
oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik, diantaranya adalah
hotel, rumah makan, cafe, biro perjalanan, dan informasi turis.
Selain berbagai macam fasilitas yang ada, Sosrowijayan Wetan memiliki ciri khusus
yang sangat jarang dimiliki olah kampung atau tempat yang lainnya, untuk tinggal di
hotel ataupun penginapan dan transportasi di wilayah Sosrowijayan sangat murah,
bahkan untuk ukuran orang Indonesia sendiri.
3. Kultur
Sebagai kampung turis Sosrowijayan wetan memiliki kultur yang sangat unik, di
mana kondisi budaya maupun faktor pendukung jasa perhotelan akan sangat
berubah sesuai dengan "jadwal kedatangan turis", maksudnya; apabila waktu
kunjungan turis dari eropa, maka segala sarana pendukung akan lebih banyak
mengikuti kultur eropa, terutama makanan. Sedangkan pada saat turis dari eropa
atau Amerika selesai berlibur, akan digantikan turis "lokal" di mana kultur
makanannya akan menyesuaikan dengan masakan Indonesia, atau masakan asia.
E. KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
1. Sejarah
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan
pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas
sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan
untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta)
yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam
di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Gamping Kabupaten Sleman.[3]
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan),
dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).[4][5] Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno
dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk
itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan
untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
2. Arsitektur dan Tata Ruang
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh
ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono
II Surakarta".[6] Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut
desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta[7] diselesaikan antara tahun 1755-1756.
Bangunan lain ditambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya.
Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil
pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono
VIII (bertahta tahun 1921-1939).