Anda di halaman 1dari 96

PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI

DALAM AKAD NIKAH

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL NU

DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Skripsi
Dijukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sajana Hukum Islam (S.H)

Oleh :

MUHAMMAD ARIF PUTRA


NIM: 1112043100003

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Muhammad Arif Putra
NIM : 1112043100003
Konsentrasi : Perbandinga Mazhab Fikih
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syariah dan Hukum
Alamat : jl. Karangan No. 32 komplek. UNTAN. Pontianak
No. Telepon : 089693706640
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 Juni 2017 M

MUHAMMAD ARIF PUTRA


NIM: 1112043100003

iii
ABSTRAK

Muhammad Arif Putra, NIM: 1112043100003, Penggunaan Media


Telekonferensi dalam Akad Nikah Studi Komparatif Lembaga Bahtsul Masa’il NU
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Program Studi Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1437H/2017M. 78
halaman.

Skripsi ini membicarakan tentang hukum penggunaan media


telekonferensi yang dikeluarkan dua lembaga fatwa yaitu Lembaga Bahtsul
Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kedua lembaga fatwa ini
mengeluarkan fatwa hukum yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU menghukumi tidak sah akad nikah sepperti itu, sedangkan
Majelis Tarjih Muhammadiyah menghukumi akad nikah seperti itu sah.
Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan dengan mengomparasi
pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majeis Tarjih Muhamadiyah.
Sumber primer dalam kajian ini adalah pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam bentuk fatwa., sedangkan sumber
sekunder dikutip dari berbagai kitab-kitab yang digunakan kedua lembaga fatwa
tersebut untuk dijadikan rujukan dalam mengeluarkan sebuah pendapat atau
fatwa. Dalam pengumpulan data langkah yang diambil adalah mencari literatur
yang ada hubungannya dengan pokok masalah.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Lembaga Bahtsul
Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah memiliki kesamaan dan
perbedaan. Persamaannya sama-sama bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadist,
kedua fatwa tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan masyarakat, kedua
lembaga fatwa merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih, dan sama-sama
menyepakati syarat ittihad Al-Majlis dalam akad nikah. Perbedaannya, Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU merujuk kepada mazhab Syafi‟i, menggunakan metode qiyas,
menerima ijma’ ulama terdahulu, dan fatwa tidak berlaku secara kolektif, berbeda
dari Majelis Tarjih Muhammadiyah yang merujuk kepada mazhab Hanafi, tidak
menyepakati metode qiyas, tidak menerima ijma’ ulama terdahulu, dan fatwa
berlaku secara kolektif.
Kata Kunci : Akad Nikah, Telekonferensi, Lembaga Bahtsul Masa‟il
Nahdlatuul Ulama, Majeis Tarjih Muhamadiyah
Pembimbing : 1. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A
2. Ummu Hanah Yusuf Saumin, LC, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1980sampai dengan tahun 2017

v
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
KATA PENGANTAR

Segala puji dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan

kenikmatan tiada tara kepada sekalian makhluk-Nya, yang telah memberikan

anugerah akal kepada manusia sehingga dapat merasakan keagungan-Nya.

Sungguh hanya dengan limpahan pertolongan-Nya akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam dicurahkan kepada

Baginda Nabî Besar Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para handai

tolan, sahabat, dan umatnya, terkhusus para Ulama yang meneruskan estafet

keilmuan sehingga ilmu Islam terus berjaya. Aamiin.

Dengan segala kerendahan hati penulis sadar bahwa skripsi yang

dihadirkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis meyakini

skripsi ini didalamnya terkandung informasi cukup penting, dan mengingatkan

tentang relevansi fikih dalam menghadapi kemajuan zaman dengan berbagai

teknologi yang semakin canggih dan penuh problematika yang berbeda dengan

masa sebelumnya. Penulis bersyukur dengan mendalami pengetahuan melalui

pengkajian referensi-referensi banyak hikmah yang penulis dapatkan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang dapat dihadirkan ini

bukan sebatas hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syarî‟ah dan

Hukum dan para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan

vi
Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., M.A., Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab;

3. Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik Penulis;

4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., dan Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin,

LC, M.A,. dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan arahan, saran

dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;

5. Seluruh dosen Fakultas Syarîah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan Ilmu dan

Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi di Fakultas Syarîah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarîf

Hidayatullah Jakarta;

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri

Syarîf Hidayatullah Jakarta;

7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Jamaluddin M. Yusuf, S.H, dan

Ibunda Hj. Siti Khadijah, yang telah memberikan do‟a selama penulis

menjalani kehidupan ini;

8. Abang Subli dan kakak-kakak penulis Hj. Hidayah, S.E., M.M., dan Hj. Siti

Zulaiha A.Md., S.H., yang selalu menuntut penulis agar segera

menyelesaikan skripsi ini.

9. Ririn Purnama Dewi yang selalu ada di kala susah maupun senang, dan selalu

memberikan semangat untuk segera menyelesaikan perkuliahan penulis.

10. Seluruh keluarga besar GGX yang tidak henti-hentinya menurunkan

semangat penulis dan berusaha mencegah selesainya skripsi ini

11. Sahabat-sahabat seperjuangan, khususnya teman-teman Mahasiswa/i

Perbandingan Mazhab Fakultas Syarîah dan Hukum UIN Jakarta angkatan

2012, dan Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Angkatan 2012

vii
Komisariat Fakultas Syarîah dan Hukum UIN Jakarta.

12. Syariah Junior F.C dan Terlambat Lulus F.C yang telah memberikan

kenangan indah Hat-Trick juara futsal selama menjadi mahasiswa di Fakultas

Syarî‟ah dan Hukum UIN Jakarta.

Berkat rahmat Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini. Semoga para pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun

materil dalam penulisan skripsi ini mendapat ganjaran pahala dari Allah

SWT. berlipat ganda. Amin ya Rabb.

Jakarta, 2 Juni 2017 M

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 7

C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 7

D. Rumusan Masalah ................................................................................... 8

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian .............................................................. 8

F. Metode Penelitian ................................................................................... 9

G. Review Studi Terdahulu .......................................................................... 12

H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13

BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG PERNIKAHAN, AKAD

NIKAH DAN TELEKONFERENSI ................................................. 15

A. Kajian Teoretis Tentang Nikah ............................................................... 15

ix
1. Pengertian ............................................................................................... 15

2. Hukum..................................................................................................... 17

3. Rukun dan Syarat .................................................................................... 20

4. Tujuan ..................................................................................................... 24

B. Kajian Teoretis Tentang Akad ................................................................ 25

1. Pengertian ............................................................................................... 25

2. Rukun dan Syarat .................................................................................... 26

C. Kajian Teoretis Tentang Telekonferensi ................................................. 27

1. Pengertian ............................................................................................... 27

2. Prosedur Pererapan ................................................................................. 29

BAB III PROSEDUR PENETAPAN HUKUM LEMBAGA BAHTSUL

MASA’IL NU DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

TENTANG PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI

DALAM AKAD NIKAH ...................................................................... 32

A. Lembaga Bahtsul Masa‟il Nahdlatul Ulama ........................................... 32

1. Sejarah ............................................................................................. 32

2. Metode istinbat ................................................................................ 35

3. Fatwa ................................................................................................ 40

B. Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 48

1. Sejarah ............................................................................................. 48

2. Metode istinbat ................................................................................ 53

3. Fatwa ................................................................................................ 57

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ................................................................ 63

x
A. Persamaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi

dalam Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan

Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 63

B. Perbedaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi

dalam Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan

Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 65

C. Analisis Penulis....................................................................................... 67

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 77

A. Kesimpulan ............................................................................................. 77

B. Saran-saran .............................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI1

1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis

(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.

Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai

berikut:

ARAB LATIN

Kons. Nama Kons. Nama

‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba b Be

‫ت‬ Ta t Te

‫ث‬ Tsa ts Te dan es

‫ج‬ Jim j Je

‫ح‬ Cha h Ha dengan dengan bawah

‫خ‬ Kha kh Ka dan ha

‫د‬ Dal d De

‫ذ‬ Dzal dz De dan zet

‫ر‬ Ra r Er

‫ز‬ Zay z Zet

‫س‬ Sin s Es

‫ش‬ Syin sy Es dan ye

‫ص‬ Shad s Es dengan garis bawah

1
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSH-
UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.

xii
‫ض‬ Dhat d De dengan garis bawah

‫ط‬ Tha t Te dengan garis bawah

‫ظ‬ Dzha z Zet dengan garis bawah

Koma terbalik di atas hadap


‫ع‬ „Ain „
kanan

‫غ‬ Ghain gh Ge dan ha

‫ف‬ Fa f Ef

‫ق‬ Qaf q ki

‫ك‬ Kaf k Ka

‫ل‬ Lam l El

‫م‬ Mim m Em

‫ن‬ Nun n En

‫و‬ Wawu w We

‫هـ‬ Ha h Ha

‫ء‬ Hamzah ‟ Apostrof

‫ي‬ Ya y Ye

2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab

yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi

vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan

‫ؘ‬
‒ a fathah

xiii

‫ؘ‬ i Kasrah


‫ؘ‬ i dammah

Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan


dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan

‫ؘ‒ ي‬ ai A dan I

‫ؘ‒ و‬ au A dan U

3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat

dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf

dan tanda macron (coretan horisontal):

‫ﺂ‬ â A dengan topi di atas

‫‒ؘ‬
‫ى‬ î I dengan topi di atas

‫ؘ‒و‬ û U dengan topi di atas

4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qomariyyah, Misalnya:

‫اإلجتهاد‬ = al-ijtihad

‫الرخصة‬ = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

5. Ta’ marbutah mati atau yang dibaca seperti ber-harakat sukun

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,

xiv
sedangkan ta’ marbûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya

( ‫ = ر ُْؤيَةُ ْال ِهالل‬ru’yah al-hilâl atau ru’yatul hilâl ).

6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

‫ال ّشفعة‬ = al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-Syuf‟ah

xv
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

“Nikah” atau “Zawaj” berasal dari bahasa Arab ) ‫ ( َِ َكا ُغ‬atau ) ‫( َؤَّا ُض‬,

menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamus Al-Munawwir artinya

nikah, kawin1. Sedangkan menurut Mahmud Yunus berarti nikah2. Secara

syara‟ berarti aqad pernikahan. Secara terminologi (istilah) “nikah” atau

“zawaj” adalah :

1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis

dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan, dan bersetubuh.

2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis

antara keduanya3

Para Ulama‟ Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah

jika dilakukukan dengan akad yang mencakup ijab dab qabul antara

wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak

yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah

hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad4

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Progressif,
hal. 1461
2
Mahmud Yunus,Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyat,
2010, hal. 468
3
Ahmad Sudirman Abbas. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Mazhab,
Jakarta, PT PrIma Heza Lestari, 2005, hal. 1
4
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, PT lentera basritama,
1996, hal. 309

1
2

Akad merupakan inti dan puncak dari prosesi pernikahan. Karena

dalam akad itulah apa yang diniatkan dari awal menjadi kenyataan dan

memiliki kepastian hukum. Akad menjadi suatu perjanjian yang kuat atau

mitsaqan ghalizan. Dan oleh karena akadlah seorang pria dan wanita

menjadi pasangan suami istri yang sah.

Dalam undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada

pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawian adalah ikatan

lahir batin antara seoerang pria dan seorang wanita sebaagai suami istri

dengan tujuan membentu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa5.

Namun, menikah bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus

diperhatikan dalam penikahan. Memenuhi rukun dan syarat merupakan

kewajiban yang harus dilakukan seseorang yang akan menikah. Dalam 4

Mazhab Fikih terbesar sepakat menjadikan akad atau Sighat (ijab dan

qabul) sebagai salah satu rukun nikah. Akad adalah perjanjian yang

berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam

bentuk ijab dan qabul.6

Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh pihak mempelai wanita

baik dilakukan oleh wali atau yang mewakili yang berisi menyerahkan

sang mempelai wanita kepada mempelai pria. Dan qabul adalah lafaz yang

5
Undang-undangn No. 1 1974 : Tentang Perkawinan.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2007. Hal.
61
3

diucapkan mempelai pria yang berisi tentang keridhoan atau penerimaan

dalam hal ini mempelai wanita yang ia nikahi.

Para ulama mazhab sepakat bahwa ijab qabul itu sah jika dilakukan

dengan redaksi zawajtuka (aku mengawinkan engkau) atau ankahtuka (aku

menikahkan engkau) dari pihak yang dilamar atau orang yang

mewakilinya dan redaksi qabiltu ( aku terima) atau radhitu (aku setuju)

dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya. 7

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk keabsahan

ijab kabul, di antaranya adalah ittihad al-Majlis atau bersatu majelis dalam

melakukan akad. Abdurrahman al-Jaziri menukil kesepakatan ulama

mujtahid yang mensyaratkan bersatunya majelis bagi ijab kabul. Dengan

demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan

majelis mengucapkan kabulnya, akad nikah dianggap tidak sah8

Selanjutya dalam hal ittihad al-Majlis ini, timbul pertanyaan

apakah yang dimaksud dengan ittihad al-Majlis ini? Dalam hal ini terjadi

perbedaan pendapat dikalangan ulama‟ dalam menafsirkan konsep ittihad

al-Majlis. Yang paling mencolok disini adalah perbedaan pendapat antara

Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i.

7
Muhammad Jawad Mughniyah, hal. 309
8
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
Jilid 4, hal. 24
4

Menurut Ulama‟ Mazhab Hanafi, ittihad al-Majlis diartikan

dengan “kesinambungan waktu”. Ibnu Abidin mengungkapkan dalam

kitabnya :

ْٕ َ‫ف ْان ًَعْ هًُِ نَ ْى ىَ ُْ َؼمِ ْك فَه‬


َ َ‫ فَهَ ْٕ اِ ْـرَه‬: ‫ انْثَؽْ ِه‬ِٙ‫ال ف‬ ِ ِ‫ْاْلذِّ َؽا ُق ْان ًَعْ ه‬
َ َ‫ً ل‬

ِ ْ ‫ـَه تَطَ َم‬


ُ‫ َعاب‬ْٚ ‫اْل‬ َ َ‫ال ْاْلَـَ ُه اَ ِٔا ْشرَغ ََم تِ َؼ ًَ ٍم ا‬
َ َ‫ة اَ َؼ ُكُْ ًَا فَم‬
َ ‫اَ ْٔ َظ‬
9

Artinya : dalam masalah bersatunya majelis berkata dalam kitab Al-Bahr :


maka apabila berbeda majelis maka tidak akan menjadi akad jika salah
satu pihak mengucapkan akad dan pihak yang lain mengucapkan hal lain
(selain kabul), atau pihak lain sedang melakukan hal lain, maka batal
ijabnya.
Sehingga bila ijab dan kabul diucapkan dalam satu acara, lantas setelah

acara tersebut selesai kabul diucapkan pula pada acara berikutnya, maka

hal ini tidak sah walaupun dua acara tersebut dilakukan dalam satu tempat

yang sama berturut-turut, namun karena kesinambungan waktu antara

keduanya tidak terwujud maka tidak sah. Namun sebaliknya, Ibnu Nujaim

yang beliau itu adalah salah seorang ulama‟ Hanafi mencontohkan kasus

dimana salah satu pihak mengucapkan ijab di suatu tempat, kemudian

pihak lain mengucapkan kabul dilantai atas tempat yang tadi digunakan

untuk berijab maka akadnya sah selama kedua belah pihak dapat melihat

mitranya dan mendengar dengan jelas suaranya. Sekalipun kedua belah

9
Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 3,
hal. 14
5

pihak masing masing memiliki jarak yang jauh. Atau kedua belah pihak

berada berseberangan sungai, bahkan sungai yang luas sekalipun. 10

Sedangkan Ulama‟ Mazhab Syafi‟i menafsirkan ittihad al-Majlis

dengan berkesinambungan. Namun, menurut Mazhab Syafi‟i

berkesinambungannya ijab dan kabul hanya bisa dilakukan dengan satu

jalan. Yaitu kedua belah pihak berada di tempat yang sama. Sehingga

esensi dari bersatunya majelis dalam akad menyangkut kesatuan tempat

secara fisik, bukan kesatuan waktu pengucapan ijab kabul antara kedua

belah pihak. Maka dari itu, dalam Mazhab Syafi‟i tidak sah ijab kabul

yang dilaukan dengan surat menyurat dan lain lain yang menunjukan

terpisahnya tempat kedua belah pihak. Selain dengan perwalian.

Imam An-nawawi mengemukakan dalam kitabnya

ِّ ‫انهُّ ْك ٍُ ْانفَا ِيًُ ان‬


ٍَْ َٛ‫َرَ َفه َّ َم ت‬ٚ ‫َ ْشر ََهغُ اَ ٌْ َْل‬ٚ َٔ ‫ َغحُ َٔ َْلتُ َّك ِي َُْٓا‬ْٛ ‫ص‬

ُ َٚ ‫ ُه نَ ْى‬ْٛ ٍِ َٚ ‫ فَاِ ٌْ ذَفَ هَّ َم َك ََل ٌو‬ُّٙ ‫ب َٔ ْانمَث ُْٕ ِل َك ََل ٌو اَظْ َُ ِث‬
َٗ‫ع َّه َػه‬ ِْ
ِ ‫ َْعا‬ٚ‫اْل‬
11
‫ْػ‬
ِ ٛ‫انص َِّؽ‬

Artinya : rukun yang kelima adalah Sighat, dan Sighat tersebut harus tidak
terselip diantara ijab dan kabul kata-kata lain diluar akad, apabila terselip
kata sangat sedikit maka itu tidak membahayakan akad menurut pendapat
yang shahih.

10
Zainuddin Ibnu Nujaim al-Hanafi, Al-Bahr al-Raiq: Syarah Kanz al-Daqa’iq, Beirut,
Dar al-Fikr, 1993, Jilid 5, Cet. 3, h. 294
11
Abi Zakaria al-Nawawi al-Syafi‟i, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muttaqin,
Beirut, Dar al-Fikr, 1996, Juz 7, h. 395
6

Apabila dalam ijab kabul tersusup kalimat lain saja ijab kabul tersebut

dianggap tidak sah oleh Imam An-nawawi. Apalagi jika ijab kabul tersebut

dilakukan saat kedua belah pihak tidak berada di satu tempat yang sama.

Maka dari itu dalamMazhab Syafi‟i kesatuan tempat mutlak diperlukan

untuk sahnya suatu akad nikah

Keberadaan dunia yang semakin mengglobal dibantu dengan

berkembang pesatnya teknologi, menjadikan cara seseorang bertatap muka

tidak seperti dulu lagi. Teknologi yang disebut video call, net meeting, dan

telekonfrence, memudahkan manusia untuk bertatap muka satu sama lain.

Mereka tetap bisa bertatap muka walaupun sedang dalam ruang yang

berbeda.

Di Indonesia terdapat dua organisasi islam besar yaitu Nahdatul

Ulama‟ (NU) dan Muhammadiyah. Masing-masing organisasi memiliki

lembaga fatwa sendiri. Nahdatul Ulama‟ dengan Bahtsul Masa‟il-nya dan

Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya. Sehingga menarik untuk

diteliti keputusan mengenai hukum penggunaan media Telekonferensi

dalam akad nikah yang dikeluarkan kedua lembaga fatwa ini mengingat

kedua lembaga ftawa ini pasti memiliki metode istinbath yang berbeda

satu dengan yang lainnya.

Penulis tertarik untuk mengangkat masalah akad nikah via

Telekonfrensi menurut Lembaga Bahtsul Masa‟il dan Majelis Tarjih

Muhammadiyah. Karena dalam hal akad nikah, syarat “bertatap muka”


7

sudah dapat dipenuhi dengan dibantu berbagai teknologi tersebut.

Selanjutnya muncul pertanyaan bagaimana hukum akad nikah melalui

Telekonfrensi menurut Bahtsul Masa‟il dan Majelis Tarjih.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengidentifikasi

beberapa masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Konsep ittihad al-Majlis memiliki banyak tafsiran di kalangan

para ulama‟ mazhab

2. Kemajuan teknologi menimbulkan masalah baru dalam

beribadah di kalangan masyarakat

3. Kemampuan agama beradaptasi dengan kemajuan teknologi

dipertanyakan

4. Hukum Islam dipertanyakan fleksibilitasnya dalam hal

penyesuaian dengan kemajuan teknologi.

C. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan efisien, maka

penulis membatasi pembahasan skripsi ini sebegai berikut :

1. Penggunaan Media Telekonferensi yang akan dibahas dalam

skripsi ini hanya penggunaan Telekonferensi yang digunakan

untuk akad nikah

2. Lembaga fatwa yang diteliti di dalam skripsi ini hanya

Lembaga Bahtsul Masa‟il Nahdlatul Ulama‟ dan Majelis

Tarjih Muhammadiyah
8

3. Data yang diteliti dibatasi pada adalah data pada tahun 2008

sampai dengan tahun 2010

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang maslah di atas, maka

setidaknya penulis mendapatkan beberapa rumusan masalah dalam

penelitian yang akan dilakukan ini. Yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan

Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Penggunaan Media

Telekonferensi dalam Akad Nikah?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat antara kedua

lembaga fatwa tersebut?

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk Membandingkan

Pendapat Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih

Muhammadiyah tentang Penggunaan Media Telekonferensi

dalam Akad Nikah

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk:

a. Memberikan kontribusi positif bagi pembaca pada

umunya dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah pada

khususnya tentang Penggunaan Media Telekonferensi

dalam Akad Nikah.


9

b. Memberikan informasi tentang perbandingan Pendapat

Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah

mengenai Penggunaan Media Telekonferensi dalam

Akad Nikah

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research)

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum

doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 12.

Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu

hukum Islam (fiqh) yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits yang

kemudian diinterpretasikan oleh para ulama‟ sehingga muncul

beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Yang

menjadi objek penelitian pustaka ini adalah status hukum pernikahan

dengan media Telekonferensi serta melihat pendapat-pendapat para

ulama dan melihat dalil-dalil yang digunakan dalam mengeluarkan

argument dan fatwa dalam menyikapi permasalah ini.

2. Kriteria dan Sumber Data

12
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama, hal. 118
10

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri menjadi dua,

yaitu data primer, dan data sekunder.

a. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh

langsung dari sumber pertama13, dalam hal ini adalah

pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih

Muhammadiyah dalam bentuk fatwa.

b. Data sekunder, adalah data yang dapat menjelaskan data-

data primer, dalam hal ini adalah kitab-kitab yang

digunakan kedua lembaga fatwa tersebut untuk dijadikan

rujukan dalam mengeuarkan sebuah pendapat atau fatwa

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dab faktual, teknik

pengumpulan data yang dilakukan dalam skripsi ini dengan cara:

a. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah upaya pengidentifikasian secara

sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-

dokumen yang memuat informasi yang berkaitan erat

dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan

di lakukan14 Sumber data studi pustaka ini dengan

mengkaji kitab-itab fiqh klasik, kitab undang-undang,

13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2014, hal 12
14
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Cipta
Karya Mandiri, 2010 hal. 17
11

buku, jurnal, artikel, dan situ situs resmi yang berkaitan

dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini.

b. Studi Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara

mencatat dokumen-dokumen atau catatan-catatan

tentang penggunaan media Telekonferensi dalam akad

nikah pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap

apa yang telah ditemukan15

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis komparatif, yaitu

menganalisa pendapat dari kedua lembaga fatwa antara Lembaga

Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang

hukum penggunaan media Telekonferensi dalam akad nikah.

Kemudian membandingkan antara keduanya sehingga dapat

menemukan persamaan dan perbedaan untuk dijadikan kesimpulan

yang akurat16.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN

Jakarta tahun 2012.”

15
Soerjono Soekanto dan Sri Majmud, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat), Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 241
16
Suharsmi, arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Adi
Mahasatya, cet ke-12, hal. 236
12

G. Review Studi Terdahulu

Demi mendukung lancanya penelitian ini, peneliti mencari refrensi

yang memuat informasi tentang penggunaan media Teleokoferensi dalam

akad nikah baik berupa kitab-kitab fikih maupun skripsi yang telah ada.

Beberapa pembahasan telah dilakukan mengenai status hukum

nikah via Telekonferensi ini. Seperti pada skripsi yang berjudulu

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Net Meeting

Telekonferensi Studi Atas Pemikiran Islam K.H. M.A. Sahal Mahfudh)”

karya Fatah Zukhrufi mahasiswa Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga

ini sama pokok pembahasannya dengan penelitian ini. Namun

perbedaannya adalah perspektif yang digunakan dalam penelitian ini

adalah perspektif Bahtsul Masa‟il dan Lembaga Tarjih. Berbeda dengan

skripsi tersebut yang mengunakan perspektif K.H. M.A. Sahal Mahfudh.

Kedua, adalah skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Akad Nikah Via Net Meeting Telekonferensi” karya mahasiswa

Al-Ahwal Asy-Syahkshiyya Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga

Mizanul Jihad. Dalam penelitian tersebut, masih menggambarkan

perspektif hukum islam secara umum. Dan tidak konsen membahas pada

perbedaan pendapat ulama‟ yang tentu saja berbeda dengan penilitian ini.

Ketiga, adalah skripsi yang berjudul “Hukum Akad Nikah Melalui

Telekomunikasi (Net Meeting Telekonferensi) Studi Komparasi Mazhab

Hanafi dan Syafi‟i” karya Rohmat seorang mahasiswa jurusan Al-Ahwal


13

Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini

membahas perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam

Syafi‟i. Terkait perbedaanya dengan skripsi ini adalah perspektif yang

digunakan, yakni perspektif Bahtsul Masa‟il dan Lembaga Tarjih.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab

terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, review terdahulu,

kerangka berpikir, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II : Membahas tentang kajian teori pernikahan, akad nikah, dan

Telekonferensi

BAB III : Membahas tentang sejarah, metode istinbat yang

digunakan, dan pendapat Bahtsul Masa‟il dan Lembaga

Tarjih tentang penggunaan media Telekonferensi dalam

akad nikah

BAB IV : Merupakan uraian analisa yang memberikan gambaran hasil

telaah mendalam terhadap objek penelitian sekaligus

memberikan jawaban masalah yang diteliti tentang


14

perbandingan pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il

NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam akad nikah.

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran

saran.
15

BAB II

KAJIAN TEORETIS TENTANG NIKAH, AKAD, DAN


TELECONFRENCE
A. Kajian Teoretis Tetang Pernikahan

1. Pengertian

Pernikahan berasal dari kata nikah, bersumber dari bahasa Arab

yaitu nakaha – yankihu – nikahan (‫َ ُْ ِك ُػ – َِ َكاؼًا‬ٚ – ‫ (ََ َك َػ‬yang artinya nikah

atau kawin17. kata nikah (‫ )َكاؼا‬juga bisa memiliki arti mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata

“nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga

untuk arti akad nikah18. Pernikahan sering juga disebut perkawinan yang

berasal dari kata “kawin”, dan dalam KBBI kawin memiliki arti

membangun keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin

atau bersetubuh19

Fuqaha juga memiliki pendapat berbeda-beda mengenai definisi

nikah. Muhammad Syata Ad-Dimyati dalam kitabnya i’anah At-Thalibin

menjelaskan sebagai berikut

20
‫ع‬ َّ ‫ اَ ْن‬: ً‫اَ ْنُِّ َكا ُغ نُ َغح‬
ُ ‫ع ُى َٔ ْاْلظْ رِ ًَا‬

Artinya : Nikah menurut bahasa adalah berhimpun atau berkumpul

17
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990,
hal. 467
18
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal 7
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi kedua
hal. 456
20
Muhammad Syata Ad-Dimyati, I’anah At-Thalibin, juz 3, Beirut: Dar Al-Ihya‟ Al-
Kutub Al-Arabiyah, hal. 254

15
16

Pendapat yang lain juga datang dari Abdurrahman Al-Jaziri dalam

kitabnya Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahil Al-Arba’ah. Ia mengemukakan sebagai

berikut:

21
‫ع ُى‬ ْ َٕ ‫ اَ ْن‬: ً‫اَنُِّ َكا ُغ نُ َغح‬
َّ ‫غ ُء َٔ ان‬

Artinya : Nikah menurut bahasa artinya wathi (hubungan seksual) dan


berhimpun.
Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri ala

Syarh Ibnu Qasim Al-Ghazi berpendapat

22
‫غ ُء َٔ ْان َؼ ْم ُك‬
ْ َٕ ‫ع ُى َٔ ْان‬
َّ ‫ َػهَٗ ان‬: ً‫ك نُ َغح‬ ْ َٚ ‫اَنُِّ َكا ُغ‬
ُ ُ ‫طه‬

Artinya : nikah secara bahasa berarti berhimpun, wathi (hubungan seksual)


dan akad.
Masih banyak lagi pendapat ulama‟ lainnya mengenai definisi secara

bahasa dari nikah ini. Namun, kesemua pendapat tersebut bermuara disatu

makna, yaitu bersetubuh, berkumpul, dan akad.

Pengertian nikah secara istilah ini juga banyak pendapat yang

datang dari para ulama‟. Di antaranya Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, dalam

kitabnya beliau menulis :

23
ِ ‫ك شَهْ ػًا َػهَٗ َػ ْم ٍك ُي ْشرَ ًِ ٍم َػهَٗ ْاْلَنْ َك‬
‫اٌ َٔان ُّشه ُْٔ ِغ‬ ْ َٚ َٔ
ُ ُ ‫طه‬

21
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahibil Arbaah, juz 4, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2003,hal 7
22
Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarhi Ibnu Qasim Al-Gazi, cet kedua,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999, hal.111
17

Artinya : Dan menurut syara‟ (istilah) nikah adalah akad yang termasuk di
dalamnya rukun-rukun dan syarat-syarat.
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan 3 pendapat mengenai definisi

nikah menurut istilah ini. Pendapat pertama yaitu nikah adalah secara

hakiki untuk wath’ yaitu berhubungan badan. Ini merupakan pendapat

ulama‟ Mazhab Hanafi. Pendapat kedua yaitu nikah menurut istilah adalah

akad yang dilakukan untuk kebolehan wath’. Pendapat ini merujuk kepada

pendapat ulama‟ Mazhab Malaki dan Mazhab Syafi‟i. Pendapat terakhir

adalah lafaz umum yang menjelaskan tentang akad dan wath’. Pendapat

ini disepakat oleh para imam Mazhab24.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 berbunyi :

“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau Mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah25.

Dari banyaknya pendapat ulama‟ tentang definisi nikah, semua

pendapat itu memiliki kesimpulan bahwa nikah berarti bersetubuh,

berkumpul, dan akad. Selain pendapat ulama, hukum positif juga sudah

mengatur masalah nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi

Hukum Islam (KHI) mengartikan nikah dengan akad yang sangat kuat.

2. Hukum

23
Ibrahim Al-Bajuri, hal. 111
24
Abdurrahman Al-Jaziri, hal. 8
25
Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 , Hukum Perkawinan, pasal 2
18

Dalam Islam, nikah disyari‟atkan berdasarkan pada Al-Qur‟an,

sunnah, dan ijma‟. Adapun ayat yang menunjukkan disyari‟atkannya nikah

dalam islam adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisa (4) ayat 3

berikut :

٤ : ‫ (انٍُآء‬        


)٣ /
Artinya : maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua,
tiga, empat.
Selain ayat di atas, dalam surah An-Nur (24) ayat 32 Allah SWT

berfirman :

      


)٣۴ / ۲٤ : ‫(انُٕن‬
Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Sedangkan dasar hukum nikah yang berasal dari Hadits Nabi SAW adalah

Hadits yang datang dari Abdullah bin Mas‟ud ra sebagai berikut :

‫ هللاُ َػ ُُّْ لَا َل لَا َل‬َٙ ‫ظ‬


ِ ‫ ِك َػ ٍْ َػ ْث ِك اهللاِ ت ٍِْ َي ٍْؼ ُْٕ ِق َن‬ْٚ ‫َ ِى‬ٚ ٍِْ ‫َػ ٍْ َػ ْث ِك انهَّؼْ ًَ ٍِ ت‬

ِ ‫َا َي ْؼ َش َه ان َّشثَا‬ٚ : ‫ ِّ َٔ ٌَهّ ِى‬ْٛ َ‫صهَّٗ هللاُ َػه‬


‫ب َي ٍِ ا ٌْرَطَا َع ٍيُْ ُك ُى‬ ِ ‫نََُا َنٌ ُْٕ ُل‬
َ ‫هللا‬

ِّ ْٛ َ‫َ ٍْرَ ِط ُغ فَ َؼه‬ٚ ‫ض َٔ َي ٍْ نَ ْى‬ ْ َ ْ‫ص ِه َٔ اَؼ‬


َ َ‫َرَ َى َّٔ ُض فَإََُّّ اَ َغطُّ نِ ْهث‬ْٛ‫ْانثَا َءجَ فَه‬
ِ ْ‫ص ٍُ ِنهفَه‬
26
)‫ص ْٕ ِو فَاََُِّّ نَُّ ِٔ َظا ٌء (نِٔ يٍهى‬
َّ ‫تِان‬

26
Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 2,
Beirut: Daarul Kutub al-„Ilmiah, 1992, hal. 1018-1019
19

Artinya : Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah bin Mas‟ud r.a (dia)
berkata, berkata Rasulullah Sallallahu „alaihi wa sallam : “wahai para
pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.
Karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan (dari pebuatan zina) dan barang siapa yang tidak
mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu adalah sebuah
penawar”27. (H.R Muslim)

Dari segi ijma’, para ulama‟ sepakat bahwa nikah itu disyari‟atkan28.

Mengenai hukumnya, Abdurrahman Al-Jaziri menyebutkan dalam

kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, bahwa menurut ulama‟

Syafi‟iyah hukum dasar dari menikah adalah ibahah atau kebolehan29.

Namun bisa saja hukum asal tersebut berubah menjadi wajib, sunnah,

makruh atau haram. Tergantung kondisi dan tujuan pelaku nikah tersebut.

a. Wajib

Menurut jumhur ulama‟, nikah menjadi wajib hukumya bagi orang

yang mampu untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan

zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya dari perbuatan haram30

b. Haram

Nikah menjadi haram hukumnya bagi orang yang yakin akan

menzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya karena

ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir maupun batin31

c. Sunnah

27
Ahmad Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz II, Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1980, hal. 164
28
Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, Al-Mughniy, Riyadh: Dar Al-„Alim Al-Kutub, 1417 H/
1997 M, Juz 9, hal, 340
29
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 12
30
Ibnu Qudamah, hal, 340-341
31
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
eLSAS, 2008, hal. 6
20

Jumhur ulama‟ berpendapat, bagi orang yang apabila ia tidak menikah

ia sanggup menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan haram,

dan apabila ia menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa

mudarat kepada istrinya, maka hukum nikah baginya adalah sunnah32.

d. Makruh

Nikah dihukumi makruh bagi orang yang khawatir akan berbuat nista

dan membawa mudarat kepada istrinya dan tidak merasa yakin dapat

menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya merasa tidak mampu

memberi nafkah, memberi perlakuan tidak baik kepada istri, serta

merasa tidak terlalu berminat kepada perempuan33.

3. Rukun dan Syarat

Mengenai masalah rukun pernikahan, ulama‟ berbeda pedapat

mengenai jumlah rukun nikah tersebut. Menurut jumhur ulama‟ rukun niah

itu ada empat, yaitu sighat (ijab dan qabul), calon istri, calon suami, dan

wali. Berbeda dengan pendapat ulama‟ mazhab Hanafi yang mengatakan

bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul saja, tak ada

yang lain34.

Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut

kalangan Malikiyah rukun nikah ada lima, yaitu wali, mahar yang harus

ada namun tidak disyaratkan untuk menyebutkannya saat akad, suami, istri

32
Ibnu Qudamah, hal, 340-341
33
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 9
34
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 14
21

(suami istri ini harus bebas dari hal-hal yang menghalangi pernikahan),

dan yang terakhir sighat35.

Al-Jaziri juga menyebutkan dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala

Mazahibil Arba’ah bahwa para ulama‟ Syafi‟iyah juga mengatakan bahwa

rukun nikah ada lima, namun sedikit berbeda dengan mazhab Maliki, lima

rukun nikah tersebut terdiri dari suami, istri, wali, dua orang saksi, dan

sighah36.

Dari banyaknya pendapat ulama mazhab mengenai rukun-rukun

pernikahan, terdapat empat rukun yang disepakati para ulama‟ yaitu

suami, istri, wali dan sighah atau ijab dan qabul. Sedangkan rukun yang

tidak disepakati adalah adanya dua orang saksi menurut ulama Syafi‟iyah,

dan mahar menurut mazhab Maliki.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 disebutkan bahwa

untuk melaksanakan pernikahan harus ada37 :

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan kabul

Syarat pernikahan adalah syarat-syarat yang menghendaki sebuah

akad diakui keabsahannya dan keberadaannya oleh hukum islam, dan tidak

35
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 16
36
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 17
37
Kompilasi HuKum Islam Pasal 14
22

akan memiliki kekuatan huum tetap sebelum syarat-syarat tersebut

dipenuhi. Seperti keharusan menghadirkan dua orang saksi di tempat akad

dan kelayakan serta kepantasan si calon istri untuk menjalani akad berupa

status hukum muhrim dan lain-lain38. Adapun syarat tersebut dibagi

menjadi dua syarat secara garis besar. Yaitu :

a. Syarat Nafaz (Pelaksanaan)

Maksudnya adalah syarat-syarat yang menghendaki rentetan hukum

yang berkaitan dengan akad, dimana akad tidak diberlakukan kepada

kedua belah pihak calon suami istri tanpa adanya syarat-syarat itu, dan

akad tidak akan dilangsungkan sebelum syarat-syarat tersebut

terpenuhi. Misalnya, orang yang hendak melakukan akad harus

mempunyai kapasitas untuk itu, bahwa syarat seorang calon suami atau

yang mewakilinya harus baligh dan berakal39.

b. Syarat Luzum (Kelayakan)

Maksudnya adalah syarat-syarat yang menghendaki suatu akad tidak

layak dilagsungkan tanpa keberadaan syarat itu, dan tanpa memenuhi

syarat tersebut, kedua pihak atau salah satu dari kedua belah pihak

berhak membatalkan akad40.

Dari penjelasan di atas mengenai rukun dan syarat pernikahan, akan lebih

mudah dipahami bahwasanya pernikahan dianggap sah apabila rukun dan

38
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29
39
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29
40
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29
23

syarat nikahnya terpenuhi. Rincian mengenai rukun dan syarat pernikahan

lebih mudahnya dijelaskan seperti di bawah ini :

a. Calon suami, Syarat suami:

1. Muslim

2. Merdeka

3. Berakal

4. Benar-benar laki-laki

5. Adil

6. Tidak beristri empat

7. Tidak memiliki hubungan mahram (haram dinikahi dengan calon

istri

8. Tidak sedang beribadah haji dan umrah

b. Caoln istri, Syarat istri

1. Muslimah

2. Benar-benar perempuan

3. Telah mendapat izin dari walinya

4. Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah

5. Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suami

6. Tidak sedang berhaji atau umrah

c. Sighah (ijab dan qabul) dan syaratnya :

1. Lafaz ijab dan qabul harus lafaz nikah atau tazwij

2. Lafaz ijab qabul bukan kata-kata kinayah (kiasan)


24

3. Lafaz ijab qabul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu yang

dilarang agama

4. Lafaz ijab qabul harus terjadi pada satu majelis, dan harus segera

diucapkan setelah ijab.

d. Wali, Syarat wali :

1. Muslim

2. Berakal

3. Tidak fasik

4. Laki-laki

5. Mempunyai hak untuk menjadi wali

e. Dua orang saksi, Syarat saksi

1. Muslim

2. Baligh

3. Berakal

4. Merdeka

5. Laki-laki

6. Adil

7. Pendengaran dan pengelihatannya sempurna

8. Memahami bahasa yang diucakan dalam ijab qabul

9. Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah41.

4. Tujuan

41
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 30-32
25

Tujuan nikah menurut agama Islam adalah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,

sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban

anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin

disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya. Sehingga

timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga42.

Tujuan nikah diuraikan menjadi lima yaitu43 :

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan

dan kerusankan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab

menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh

untuk memperoleh hartakekayaan yang halal

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa

perkawinan atau pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah mawaddah, wa rahmah44.

42
Abdurrahman A-Ghazali, hal 22
43
Abdurrahman A-Ghazali, hal 24
26

B. Kajian Teoretis Tentang Akad

1. Pengertian

Akad berasal dari bahasa arab yaitu Aqada (‫ ) َػمَ َك‬yang artinya

membagun, atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran,

menyatukan45. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As-Sunnah-nya,

beliau mengartikan akad adalah ikatan atau kesepakatan46. Akad secara

bahasa adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun

maknaqi, dari satu segi maupun dua segi47.

Akad menuurut istilah dibagi oleh Wahbah Az-Zuhaili menjadi dua

bagian. Yaitu akad secara umum dan akad secara khusus. Akad secara

umum ini bersumber dari ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabilah.

Yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang didasari oleh

keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau segalla

sesuatu yang membentuknya dibutuhukan keinginan dua orang, seperti

jual-beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan akad secara khusus adalah

ucapan seseorang yang berakad dengan yang lainnya secara Syara‟ dan

berdampak pada objeknya. Yang dimaksud disini adalah ijab dan kabul48.

2. Rukun dan Syarat

44
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3
45
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-‘Alam, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986, hal.
518
46
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, jilid ke-3 hal. 127
47
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Dimsyiq: Dar Al-Fikr, 1985, cet ke-2,
hal. 80
48
Wahbah Az-Zuhaili, hal. 80-81
27

Mengenai rukun akad, ulama‟ berbeda pendapat tentang rukun-

rukunnya. Namun jumhur ulama sepakat bahwa rukun akad terdiri atas49 :

a. Aqid atau Orang yang berakad

b. Ma’qud atau objek akad

c. Sighat atau ijab dan kabul

Syarat-syarat akad adalah sebagai berikut50:

1. Kedua orang yang berakad ini cakap untuk berbuat akad.

2. Objek dari akad tersebut dapat menerima hukumnya

3. Akad tersebut diizinkan oleh syari‟at.

4. Akad tersebut bukan merupakan akad yang dilarang syari‟at

5. Akad tersebut memberikan manfaat atau faedah

6. Ijab tersebut masih berlaku atau tidak dicabut sebelum

terjadinya kabul

7. Akad dilaksanakan di dalam satu majelis

C. Kajian Teoretis tentang Telekonferensi

1. Pengertian

Telekonferensi dalam bidang telekomunikasi, merupakan

pertemuan berbasis elektronik secara langsung (live) di antara dua atau

lebih partisipan manusia atau mesin yang dihubungkan dengan

suatu sistem telekomunikasi yang biasanya berupa saluran telepon.

49
Wahbah Az-Zuhaili, hal. 92
50
Tengku Muhammad Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009, hal. 29-30
28

Penggunaan telekonferensi memiliki kelebihan efektivitas biaya dan

waktu. Telekonferensi dapat berbentuk konferensi audio atau

konferensi video. Konferensi audio merupakan salah satu jenis

telekonferensi di mana seseorang dapat melakukan percakapan

interaktif didalamnya. Dengan audio-konferensi ini, seseorang dapat

berbicara dengan lebih dari satu orang melalui speaker. Dalam

konferensi video51, para partisipannya dapat saling melihat gambar

video dan saling mendengar, melalui peralatan kamera, monitor, atau

pengeras suara masing masing.

Jadi, Telekonferensi memungkinkan manusia terhubung secara

berkesinambungan meskipun terpisah jarak yang jauh sekalipun,

namun tetap dalam waktu yang bersamaan atau real time.

Telekonferensi audio atau suara bisa dikatakan sama dengan telepon

yang sudah sering kita gunakan. Berbeda dengan Telekonferensi video

yang memungkinkan kita untuk melihat secara visual lawan bicara kita

di lokasi berbeda.

Telekonferensi dapat terlaksana karena adanya jaringan ISDN

(Integrated Services Digital Network) adalah suatu jaringan yang secaa

umum berevolusi dari suatu jaringan terpadu digital telepon (IDN –

Integrated Digital Network), yang menyediakan konektivitas digital

ujung ke ujung untuk menunjang suatu ruang lingkup pelayanan yang

luas (wide range), mencakup pelayanan suara dan nonsuara, dimana

51
Michael M.A Mirabito dan Barbara L Morgenstern, The New Communication
Technology, USA: Elsevier, 2004, hal, 219
29

para pemakai mempunyai akses melalui satu set antarmuka (interface)

pemakai jaringan multiguna standar52.

Selain dengan jaringan ISDN, jaringan internet yang

menggunakan protokol TCP/IP juga dapat digunakan untuk melakukan

Telekonferensi. Namun tentunya dengan hasil gambar dan suar yang

berbeda kualitas, hasil berbeda tersebut terjadi karena keterbatasan

bandwidth yang tersedia. Karena mengirim gambar (video) dan suara

(audio) secara bersamaan membutuhkan bandwidth yang lebar. Akan

tetapi keterbatasan ini dapat diatasi dengan teknik kompresi.

Pengiriman gambar dan suara dilakukan dengan fasilitas VOIP (voice

over internet protocol)53

Telekonferensi ini dapat dilakukan untuk kegiatan bisnis,

pendidikan, monitoring, kesaksian dalam persidangan, dll. Bahkan

yang sekarang menarik perhatian penulis adalah penggunaan media

Telekonferensi ini dalam prosesi akad nikah. Lebih tepatnya saat ijab

dan kabulnya. Karena kemajuan teknologi ini manusia dapat

dimudahkan urusannya. Semakin membantu karena kemajuan

teknologi tersebut dapat membantu manusia dalam beribadah dan

mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Prosedur Penerapan

52
Uke Kurniawan Usman, Pengantar Ilmu Telekomunikasi, Bandung: Informatika, 2008,
hal. 215
53
Erwadi Bakar, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R & B, 4
(1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017 pukul 01.54 AM
30

Sebelum melakukan Telekonferensi, pembicara harus

menyiapkan beberapa komponen yang dipelukan untuk melakukan

Telekonferensi, diantaranya 54 :

a. Terminal Pengirim / Penerima

Komputer atau terminal pengirim dan penerima data atau

informasi. Pada sisi terminal harus ada kamera atau

webcam yang berguna untuk menangkap gambar yang akan

dikirim ke lawan bicara, baik kamera statis atau yang

dinamis. Untuk mengirim suara dibutuhkan juga

microphone atau sistem audio PC dan kemudian dikirimkan

kepada lawan bicara. Selanjutnya untuk menerima gambar

dan suara dari lawan bicara diperlukan monitor dan

speaker.

b. Media Transmisi

Media transmisi atau kanal transmisi (Trans-mision chanel)

diperlukan untuk mengirim data dari sumber pengirim

kepada penerima.

c. Pemroses Komunikasi (Comunication Processor)

Pemroses komunikasi merupakan peralatan pendukung

transmisi. Peralatan ini dapat berupa modem, multiplexer,

swiching, dan front-end processor

d. Perangkat Lunak (Software)

54
Erwadi Bakar, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R & B, 4
(1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017 pukul 01.54 AM
31

Perangkat lunak yang digunakan dalam Telekonferensi

dengan menggunakan PC bisa dengan software net meeting,

skype, Gno meeting,dan aplikasi lainnya. Sedangkan pada

smartphone sudah banyak aplikasi messenger yang dapat

melakukan Telekonferensi. Seperti Blacberry Messenger,

Line, WhatsApp, dan lain sebagainya.

Setelah semua komponen lengkap, barulah pembicara dapat

melakukan telekonferensi dengan melakukan panggilan kepada lawan

bicara di tempat yang berbeda. Bahkan tidak hanya bisa mendengar

suara, tapi juga dapat melihat secara fisik lawan bicara yang berada

jauh dari tempat dia berada dengan konferensi video.


32

BAB III

PROSEDUR PENETAPAN HUKUM LEMBAGA BAHTSUL


MASA’IL NI DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI
DALAM AKAD NIKAH

A. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama


1. Sejarah Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
Sebelum membahas tentang Lembaga Bahtsul Masa‟il, terlebih

dahulu kita harus mengenali organisasi dibalik lembaga tersebut yaitu

Nahdlatul Ulama‟ yang sering juga disebut NU. Nahdlatul Ulama‟

didirikan oleh ulama pengasuh pondok pesantren yang di dalam komunitas

islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap, dan pengamalan

ajaran islam Ahussunnah wal Jama‟ah. Kesamaan yang telah membudaya

dan menjadi watak (karakter) itu dilembagakan dalam Nahdlatul Ulama‟

sebagai wadah perjuangan bersama dan sebagai pengejawantahan rasa

tanggung jawab yang mendalam atas kelestarian Izzul Islam wal

Muslimin55.

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh

K.H. Hasyim Asy‟ari di Surabaya. Latarbelakang berdirinya NU berkaitan

erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam

kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya yang pertama (1927), dinyatakan

bahwa Nahdlatul Ulama bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum

muslimin pada salah satu madzhab empat

55
Kata Pengantar Wakil Rois Aam PBNU, Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah
kembali ke Khittah 1926, (Jakarta, Erlangga, 1992)

32
33

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyyah sekaligus gerakan

Dinniyah Islamiyah dan Ijtima’iyyah, sejak awal berdirinya telah

menjadikan faham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai basis Teologi (dasar

berakidah dan menganut salah satu darim empat mazhab; Hanafi, Maliki,

Syafi‟i, dan Hambali sebagai pegangan dalam berfikih. Dengan mengikuti

empat mazhab fiqih ini, menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus

memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam

beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) meskipun

kenyataan keseharian para ulama NU menggunakan fikih masyarakat

Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi‟i. Hampir daat dipastikan

fatwa, petunjuk, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan

kalangan persantren bersumber dari mazhab Syafi‟i. Hanya kadang-

kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya

konvensional berpaling ke mazhab lain56.

Nahdlatul Ulama dalam stuktur organisasinya memiliki suatu

Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, Bahtsul Masail,

yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi

sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah

keagamaan.

Secara historis, forum Bahtsul Masa’il sudah ada sebelum NU

berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang

melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO
56
Kata Pengantar MA.Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista, 2011
34

(Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO , selain memuat

hasil Bahtsul Masa’il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar

para ulama. Seorang kyai menulis ditanggapi kyai lain, begitu

seterusnya57. Pada dasarnya bahtsul masail muncul karena latar belakang

kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis („amali) bagi

kehidupan sehari-hari masyarakat58.

Sebelum dilembagakan seperti sekarang, forum bahtsul masa’il

dikenal dengan nama lajnah bahtsul masa’il dinniyah sebagai lembaga

permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan59. Dibentuknya

lajnah bahtsul masa’il dinniyah pada tahun 1990 berdasarkan keputusan

PBNU nomor:30/A/I/05/5/1990 dengan harapan dapat menghimpun para

ulama‟ dan intelekual NU untuk menghasilkan istinbath jama’i

(penggalian dan penetapan hukum secara kolektif)60.

Sejak terbentuknaya Lajnah bahtsul masail menjadi forum resmi

yang memiliki wewenang menjawab segala permasalahan keagamaan

yang dihadapi warga NU. Di dalam forum inilah para intelektual pesantren

beradu argumen dalam pembahasan persoalan keagamaan. Lajnah Bahtsul

57
Kata Pengantar MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista, 2011
58
Solusi Hukum Islam, Keputusan Mukatamar , Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004 M), Surabaya: Diantama, 2006, hlm. 9
59
Vivin Baharu Sururi, Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU, Jurnal
Bimas Islam, vol. 6. Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Jakarta, 2013, hal. 428
60
Vivin Baharu Sururi, hal. 428-429
35

masail menurut kiai Makruf adalah taswirul afkar61-nya kaum pesantren

setelah dibentuknya NU. Dalam pergulatan bahtsul masail, tidak bisa

dilepaskan dari empat mazhab yang dijadikan referensi pemikiran dan

gagasan dalam pembahasan62.

Lajnah Bahtsul Masail sebagai sebuah institusi akhirnya dirubah

dengan nama Lembaga Bahtsul Masail yang kemudian disingkat LBM.

Lembaga ini sebagaimana dalam AD-ART pasal 18 ayat 6 (l) bertugas

membahas masalah masalah maudlu‟iyah (tematik) dan waqi‟iyah (aktual)

yang akan menjadi keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama63.

2. Metode istinbat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dalam menetapkan


hukum
Sebagai lembaga fatwa, Lembaga Bahtsul Masa‟il NU menyadari

bahwa tidak seluruh hukum syari‟at Islam dapat diketahui secara langsung

dari nash Al-Qur‟an. Melainkan banyak aturan-aturan syari‟at yang

membutuhkan daya nalar kritis melalui istinbath hukum. Tidak sedikit

ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istinbath hukum baik

dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang dikandungnya64.

Dalam kalangan NU, metode penetapan hukum diartikan bukan

mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yaitu Al-

Quran dan As-Sunnah, tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara


61
Tashwirul afkar merupakan kelompok diskusi keislaman di perkotaan untuk merambah
kalangan yang lebih luas dalam rangka mengembangkan pemikiran Islam di Nusantara. Didirikan
tahun 1918 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah yang bermarkas di Suarabaya, Jawa Timur
62
Vivin Baharu Sururi, hal. 429
63
Sekretariat Jendral PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama, Jakarta,
2011, hal. 40
64
Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth al-masail nahdlatul Ulama (NU) Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Cet. 1. Yogyakarta: Teras, 2012, hal. 76
36

dinamis nash-nash yang telah dielaborasi fuqaha pada persoalan waqi’iyah

yang dicari hukumnya 65.

Mekanisme pemecahan masalah yang ditempuh Lembaga Bahtsul

Masa‟il NU sebagian besar adalah langsung merujuk kitab-kitab

mu’tabarah dari kalangan empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan

Hanbali), terutama mazhab Syafi‟i. Metode yang digunakan dalam sistem

bathsul masa‟il ada tiga macam. Ketiga metode tersebut diterapkan secara

berjenjang, yaitu:

1. Metode Qauli

Metode ini adalah cara istinbath hukum dengan mempelajari

masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab

fiqh dari mazhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung

pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat

yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu66.

Prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai

berikut:

a. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab

(tekstual) dan disana hanya terdap satu qoul/wajh67 maka

dipakailah qoul/wajh sebagaimana diterangkan dalam teks itu.

b. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan

disana ada lebih dari satu qoul/wajh maka dilakukan taqrir


65
Imam Yahya, Metode Ijtihad NU, Semarang: Walisongo Press, 2009, hal. 39.
66
Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahth al-Masail 1926-1999,
Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 118
67
Qaul adalah pendapat Imam Mazhab. Wajh adalah pendapat Ulama‟ Mazhab
37

jama’i (upaya kolektif untuk menetapkan pilihan) untuk

memilih satu qoul/wajh.

2. Metode Ilhaqi

Metode ilhaqi biasa disebut juga ilhaq almasail bi nazairiha.

Metode ini adalah cara istinbath hukum dengan menyamakan hukum suatu

kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan

hukumnya) dengan kasus/ masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab

(telah ada ketetapan hukumnya, atau menyamakan yang sudah jadi).

Metode ini dipakai apabila metode qouli tidak dapat dilaksanakan karena

tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu’tabar.

Prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan ketentuan sebagai

berikut:

a. Mulhaq bih yaitu sesuatu yang belum ada ketentuan

hukumnya)

b. Mulhaq alaih yaitu sesuatu yang sudah ada ketentuan

hukumnya.

c. Wajh Al-Ilhaq yaitu faktor keserupaan antara mulhaq bih

dengan mulhaq alaih.

Metode ilhaqi ini dalam prakteknya mirip qiyas, oleh karena itu

dinamakan metode qiyas versi NU. Ada perbedaan mengenai qiyas dan

ilhaq. Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada

ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapannya berdasarkan

nash Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan ilhaqi adalah menyamakan


38

hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah

ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab mu’tabar68.

3. Metode Manhaji

Metode Manhaji atau bermazhab adalah Metode istinbath hukum

dengan cara mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang

telah disusun oleh imam madzhab69. Jawaban terhadap permasalahan yang

dikaji dalam bahtsul masail yang tidak terdapat dalam teks kitab mu’tabar

setelah dilaukannya metode qauli, serta tidak juga ditemukan hukumnya

dengan metode /ilhaqi, maka digunakanlah metode manhaji dengan

mendasarkan jawaban mula-mula pada Al-Qur‟an, setelah tidak ditemukan

jawabannya dalam Al-Qur‟an lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang

akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah70.

Langkah-langkah Proses pengambilan hukum yang biasa dilakukan

oleh Lembaga Bahtsul Masa‟il NUdapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, penetapan hukum yang dilakukan oleh bahtsul masail itu adalah

respon terhadap pertanyaan-pertanyaan riil pada berbagai daerah dari

semua tingkatan organisasi, baik yang diajukan oleh perseorangan atau

masyarakat.

Kedua, sebelum diajukan ketingkat bahtsul masail pusat (PBNU)

pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dibahas dalam bahtsul masail sesuai

tingkat jajarannya, tetapi tidak mendapat jawaban/solusi yang memuaskan.

68
Ahmad Muhtadi Anshor, hal. 84-89
69
Ahmad Zahro, hal. 122
70
Ahmad Zahro, hal. 126
39

Ketiga, melakukan identifikasi masalah untuk dipersiapkan

jawabannya di pra-sidang bahtsul masail.

Keempat, mencari jawabannya dalam kitab-kitab klasik hingga

modern atau artikel/majalah yang ditulis oleh para ulama yang diakui

kredibilitas keilmuannya. Di sinilah terjadi penilaian yang menjadi ukuran

tertinggi adalah komitmen seorang penulis terhadap pola bermazhab,

utamanya mazhab Syafi‟i, ke-wira’i-an dan kejelasan argumen yang

ditampilkan dalam redaksi kitab atau teks rujukan yang dipilih. Biasanya,

pemilihan dilakukan secara alami, apakah kitab itu diterima oleh kalangan

pesantren yang secara kultural terkait dengan NU atau tidak? Jika

diterima, kitab ini dapat dijadikan rujukan.

Kelima, setelah mendengar argumen dari para peserta Lembaga

Bahtsul Masa‟il dengan landasan redaksional (teks) kitab yang menjadi

pegangannya, pimpinan sidang membuat kesimpulan, dan ditawarkan

kembali kepada peserta bahstul masail untuk ditetapkan ketentuan

hukumnya secara kolektif atau taqrir jama’i.

Keenam, kesimpulan ketetapan hukum atau yang dikenal di

kalangan warga NU dengan ahkam al-fuqaha.

Untuk lebih jelasnya format keputusan hukum bahtsul masail

disusun secara sistematis sebagai berikut:

a. Setiap masalah dikemukakan deskripsi masalahnya.

b. Pertimbangan hukum (tidak selalu ada)


40

c. Rumusan soal (pertanyaan) yang dibahas

d. Jawaban (dengan kalimat yang singkat dan jelas)

e. Dasar pengambilan (ma‟khadh), yakni kitab-kitab fiqh mazhab

yang menjadi rujukan (refrensi).Uraian teks/redaksi dalilnya71.

4. Fatwa Lembaga Bahtsul Masa‟il NU tentang Penggunaan Media

Telekonferensi dalam Akad Nikah72

KEPUTUSAN KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH

WAQI‟IYYAH MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA XXXII

2010 23 SAMPAI 27 MARET 2010

1. Transaksi Via Alat Elektronik

A. Deskripsi

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan

pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga

merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era

teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang

dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik

berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma

bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal.

Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilah Electronic

Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.

Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang

dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak


71
Ahmad Muhtadi Anshor, hal. 92-93
72
Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar,
munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011, hal. 714
41

elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata,

tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili,

telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal

yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang

mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul,

dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum.

Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui

tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang

berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan.

Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan

fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab

Saudi.

B. Pertanyaan:

1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media

telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad

nikah?

2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang

berada di majelis terpisah?

3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara

pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan

pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang

hadir di majelis tersebut?

C. Jawaban:
42

1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila

sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat

memenuhi mabi‟ (barang yang diperjualbelikan) atau telah

dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi

syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.

Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat

elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat

dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi

tidak hadir di majelis akad; (c) di dalam akad nikah

disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad

melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).

2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majelis terpisah

tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah yang berada

di majelis terpisah tidak sah.

3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman

SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah

(pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di

majelis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan

sesuai dengan nafs al-amri (sesuai dengan kenyataan).

D. Dasar pengambilan hukum

Aqwal Al-Ulama’

1. Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj


43

ْ ْ ‫(ٔ ْاْل‬
ِ َّ‫ ِْه ََؽْ ِٕ انفُم‬ٛ‫ َغ‬ٙ‫صػُّ ) ِف‬
‫اع َك ًَا َي َّه‬ ِ َٚ ‫ظَٓ ُه اَََُّّ َْل‬ َ

ِ ‫َ َهُِ ْان ًُرَ َؼا لِ َك‬ٚ ‫ة) َْٔ ُ َٕ نَ ْى‬


ْٔ َ‫اٌ اَ ْٔ اَ َؼ ُكُْ ًَا شَ ًًَُا ا‬ ِ ِ‫ ُغ انْغَا ئ‬ْٛ َ‫(ت‬

ِٙ‫ ِْغ َٔ تَانِ ًغا ف‬َٛ‫ً ْانث‬


ِ ِ‫ َيعْ ه‬ِٙ‫اظهً ا ف‬ َ ‫ُيصَ ًًَُّا َٔنَ ْٕ َك‬
ِ ‫اٌ َؼ‬

ِٙ‫ أَ َنأَُِ ف‬ِٙ‫َؤْذ‬ٚ ‫ك انر َّ َٕاذُ ِه َك ًَا‬


ٍ ْٚ‫َٔصْ فِ ِّ اَ ْٔ ٌَ ًْ ِؼ ِّ ِتطَ ِه‬
ْ َٚ ‫ ًَا‬ْٛ ‫ط ِف‬
‫ظَٓ ُه‬ َ َْٛ‫ق اَت‬
ٍ ‫ظ ْٕ ٍء ِا ٌْ ٌَر ََه انع َّْٕ ُء نَ ََُّْٕ َك َٕ ِن‬
َ
(dan menurut qaul Al-Azhar, sungguh tida sah) selain
masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan
rapat/tidak terlihat (jual-beli barang ghaib), yakni
barang yang tidak terlihat oleh kedua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut
berstatus sebagai alat pembayar ataupun barang tersebut
sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang
tersebut ada dalam majelis akad dan telah disebutkan
kriterianya secara detail atau sudah dikenal secara luas
–mutawatir-, seperti keterangan yag akan datang. Atau
terlihat dibawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi
warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut
kajian yang kuat.
2. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib

‫ ِْغ ِي ٍْ َٔ َنا ِء‬ِٛ‫َ ِح انْ ًَث‬ٚ‫ال ؾ ض َٔ ِي ٍْ ََظَا ِئ ِه انْ ًَ ٍْؤَنَ ِح ن ُْإ‬


َ َ‫ل‬

ْ ًَ ‫ ِْلَ ٌَّ ْان‬ٙ‫ َْل ذَ ْك ِف‬َٙ ِْ َٔ ‫انى َظاض‬


َ ْٕ ُ ‫طه‬
ُ ‫ب ََ ْف‬
َٕ َُْٔ ‫ انع ََّه ِن‬ٙ ِ ُّ

‫ َُهٖ غَانِثًا‬ٚ ‫اض‬


ِ ‫انى َظ‬ ِ ‫ ُء ِي ٍْ َٔ َن‬ْٙ ‫ص ُم تَِٓا إِ ِل ان َّش‬
ُّ ‫اء‬ ُ ْ‫َؽ‬ٚ ‫َْل‬

‫ ِّ شَهْ ُغ و ن‬ْٛ َ‫ف َيا ُْ َٕا َػه‬


ِ ‫َػهَٗ ِـ ََل‬
Muhammad Syaubari Al-Khudriy berkata: “Termasuk
padanan kasus tercegah melihat mabi‟-barang yang
dijual- adalah melihat mabi‟ dari balik kaca. Cara
demikian tidak mencukupi syarat jual beli. Sebab,
standarnya adalah menghindari bahaya ketidakjelasan
mabi‟, yang tidak bisa dipenuhi dengan cara tersebut.
Sebab, secara umum barang yang terlihat dari balik
44

kaca terlihat beda dengan aslinya. Demikian keterangan


dari syarh Ar-Ramli.
3. Futuhat Al-Wahhab bi Syarh Manhaj At-Thullab

ُِ‫ َي ْؼَُا‬ٙ‫ ِّ ِي ٍَ انهَّفْ ِع) اَْ٘ اَ ْٔ َيا ِف‬ْٛ َ‫َ ُكلُّ َػه‬ٚ ‫(لَ ْٕ نُُّ فَا ْػرُ ِث َه َيا‬

َ ‫انجٌ َػ ُُّْ َك ْانفَ ػِّ اَ ْٔ لَا ِئ ٍى َيمَا َيُّ َكإ ِ َش‬


‫ان ِج‬ َ َ‫ِي ًَّا ُْ َٕ ِػث‬

ِ ‫ْاْل ْـ َه‬
ِ ‫ي اِ تَهْ َي‬
ُّ٘ٔ‫ا‬

(ungkapan Syaikh Zakaria Al-Anshari: “maka -dalam


jual beli- diperhitungkan ungkapan yang menunjukan
kerelaan.”), atau yang bersubtansi sama dari ungkapan
yang memanifestasikan kerelaan, seperti tulisan atau
sesamanya, seperti isyarat orang bisu. Demikian
penjelsan Barmawi
4. Syarh Al-Yaqut Al-nafis

ِ َ‫َٓا َْل ِنص َُٕ ِن ْاْلَ ْنف‬ْٛ َِ‫ ْان ُؼم ُ ْٕ ِق نِ ًَ َؼا‬ٙ‫َٔ انْ ِؼ ْث َهجُ ِف‬
ٍِ ‫اظ َٔ َػ‬

ِ ‫َا‬ِٛ‫ً َٔ انْثَهْ ل‬
‫خ‬ ِ ‫فُ ْٕ ٌِ َٔانرَّهَ ْك‬ْٛ ِ‫اٌطَ ِح انرِّه‬ ِ ‫ ِْغ َٔ ان َّش َه‬َٛ‫ْانث‬
ِ َٕ ِ‫اء ت‬

‫َٓا ْان َؼ ًَ ُم‬ْٛ َ‫َ ْٕ ِو َٔ َػه‬ْٛ‫ُكمُّ َْ ِم ِِ انْ َٕ ٌَائِ ِم َٔ اَ ْيصَانَِٓا ُي ْؼرَ ًَ َكجُ ان‬

Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah


subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via
telpon, teleks, dan telegram dan semisalnya telah
menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.
5. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib

ِ َ‫عثْػُ) اَ٘ ِْلَ ْنف‬


ِ ْٔ ‫ ان َّى ْٔ َظ ِح َٔ ان َّى‬ِّٙ ِ‫اظ َٔن‬
‫ض فَ ََل‬ َّ ‫لَ ْٕنُُّ (ان‬

َٔ ُّ‫ ظُ ْه ًَ ِح ِْلَ ٌَّ ْاْلَصْ َٕاخَ ذَ ْشرَ ِث‬ِٙ‫اظ ِٓ ًَا ف‬


ِ َ‫ع اَ ْنف‬
ُ ‫ ٌَ ًَا‬ِٙ‫َ ْكف‬ٚ

‫ق ْان َٕنَ ِك‬


ِ ُْٕ ‫ظثْػُ ٌَا َػ ِح ْان َؼ ْم ِك ِْلَظْ ِم نُؽ‬
َ ٍِْ ٚ‫ نِه َّشا ِْ َك‬ٙ‫َ ُْثَ ِغ‬ٚ

ٍِْ ٚ‫ ُكمٍّ ِي ٍْ ان َّشا ِْ َك‬ٙ‫َ ْشرَ َهغُ ِف‬ٚ َٔ ... )‫لَ ْٕنُُّ (تَمْ اِنَٗ اَ ْكصَ َه‬
45

ِ ‫ع ْثػُ َٔ َيؼ‬
ِ ٍَ ‫ْهفَحُ ِن‬
ٌ‫ا‬ َ َ‫ْعًا ان ٍَّ ًْ ُغ َٔ ْانث‬َٚ‫ا‬
َّ ‫ص ُه َٔ ان‬

ٍِْ ٚ‫ْان ًُرَ َؼالِ َك‬

Ungkapan Al-Khatib Al-Syirbini (dan hafal),


maksudnya hafal ucapan wali istri dan suami. Maka
tidak cukup hanya mendengar ucapan mereka dalam
tempat gelap. Sebab, suara yang satu dengan yang
lainnya itu mirip. Bagi dua orang saksi nikah sebaiknya
juga menghafal jam akad untuk menentukan nasab anak
(dari pasangan tersebut). Ungkapan Al-Khatib As-
Syirbini (bahkan lebih dari enam syarat) ... dan bagi
masing-masing dari dua saksi nikah disyaratkan untuk
mampu mendengar, melihat, menghafal, dan
mengetahui bahasa dua orang yang berakad.
6. Hawasyai Al-Syarwani wa Al-‘Abbadi ‘ala Al-Tuhfah

ِ ‫ ِْه ان ٍَّ ْك َه‬ٛ‫ ُغ ِيٍ َغ‬ْٛ َ‫َ ُْ َؼمِ ُك) انْث‬ٚٔ(


َََُّّ‫َ ْك ِن٘ ِْل‬ٚ َ‫اٌ انَّ ِمٖ ْل‬ َ

ِ ‫ انطَّ ََل‬ِٙ‫ ِّ ف‬ِٛ‫ ف‬ِٙ‫َؤذ‬ٚ ‫ َك ََل ِو‬َٙ‫َّ ِح َػه‬ُِّٛ‫ًْ ِي ٍْ اَْْ ِم ان‬


‫ق‬ َ َٛ‫ن‬

ٍ َٕ َْ ْٔ َ‫ َيائِ ٍغ ا‬َٙ‫ َٔ ْان ِكرَاتَحُ َْل َػه‬... ‫َّ ِح‬ُِّٛ‫َ ِح) َي َغ ان‬ٚ‫( ِت ْان ِكَُا‬
‫اء‬

‫َ ْمثَمْ فَ ْٕنً ا ِػ ُْ َك‬ٛ‫اظ ٍه فَ ْه‬


ِ ‫َّ ِح َٔنَ ْٕ ِن َؽ‬ُِّٛ‫َ ُْ َؼ ِم ُك ِتَٓا َي َغ ان‬َٛ‫َحٌ ف‬ٚ‫ِكَُا‬

َٔ ُُّ‫ً لَث ُْٕنِ ِّ (لَ ْٕن‬


ِ ِ‫اء َيعْ ه‬
ِ ‫ع‬َ ِ‫َا ُنُْ ًَا ِْل َْم‬ٛ‫َ ًْرَ ُّك ِـ‬ٚ َٔ ِّ ًِ ‫ِػ ْه‬

ِ ‫َحُ اِنَ ْؿ) َٔ ِيصْهَُٓا ـَ ثَ ُه انٍ ِّْه ِك ْان ًُؽْ َك‬ٚ‫ْان ِكَُا‬
‫ َْ ِم ِِ ْاْلَ ْو ِيَُ ِح‬ِٙ‫ز ف‬

ْ َٚ ‫ ًَا‬ْٛ ِ‫َحٌ ف‬ٚ‫فَ ْان َؼ ْم ُك ِت ِّ ِكَُا‬


‫ظَٓ ُه‬

(dan sah) jual beli dari selain orang yang mabuk, yang
tidak mengerti. Sebab ia tidak termasuk orang yang sah
niatnya, seperti keterangan dalam bab Talak yang akan
datang. (dengan sighat kinayah) beserta niat ... menulis
pada yang tidak zat cair dan udara termasuk kinayah.
Maka jual beli dengannya disertai niat hukumnya sah.
Meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam
majelis akad. Maka ia harus segera menerima akad
tersebut ketika mengetahuinya, dan khiyar mereka
46

berlaku sampai bubarnya majelis penerimaan –qabul-


akad. (ungkapan Ibnu Hajar “dan menulis ...”) dan sama
dengannya, berita via teknologi kabel –telpon- yang
dikembangkan pada zaman sekarang ini. Maka akad
dengannya termasuk kinayah menurut kajian yang kuat.
7. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib

‫خ‬ َ ٌَ ِِ ‫ ِْه‬ٛ‫انجُ ع َ اَ َّيا اِ َلا فَْٓ ًَِٓا ْانفَ ِط ٍُ ُق ْٔ ٌَ َغ‬


ْ ٔ‫ا‬ َ َ‫َٔ ِػث‬

َٔ ُُّ‫ه‬ْٛ ‫ْس ذَ َؼ َّم َن ذ َْٕ ِك‬ ِ ََٛ‫َحَ ف‬ٚ‫ْان ِكَُا‬


ُ ٛ‫صػُّ َِ َكا ُؼُّ ِت ُكمٍّ ِي ُْٓ ُ ًَا َؼ‬

‫خ‬ َ ‫َ ِح اِ َّْل ِت ْان ِكرَاتَ ِح َٔ اِ َش‬ٚ‫َُْ َؼمِ ُك ِتانْ ِكَُا‬ٚ ‫ًْ نََُا َِ َكا ٌغ‬
ِ ‫ان‬ َ َٛ‫ن‬

ْٕ َ‫ي ِا َلا اؼْ رَصَّ ِتفَْٓ ًَِٓا ْانفَ ِط ٍُ َٔ َي ْفٓ ُْٕ ُيُّ اَََُّّ ن‬
ِ ‫ْاْلَ ْـ َه‬

‫َفَ رَصُّ ِتفَْٓ ًَِٓا‬ٚ ٙ‫ان ِج انَّ ِر‬ ِ ْ ِٔ َ‫ ُم ِت ْان ِكرَاتَ ِح ا‬ْٛ ‫اَ ْي َكَُُّ انر َّ ْٕ ِك‬
َ ‫اْل َش‬

َ ِ‫هُُّ ِْلَ ٌَّ َلن‬ْٛ ‫اؼ ِّ ذ َْٕ ِك‬


َ ‫ك َٔ اِ ٌْ َك‬
ٌ‫ا‬ ِ ِ‫ ٍََّ ن‬ٛ‫ْانفَ ِط ٍُ ذَ َؼ‬
ِ ‫ص َّؽ ِح َِ َك‬

ِ‫َ ِح ا‬ٚ‫َُْ َؼمِ ُك ِتانْ ِكَُا‬ٚ َٕ َُْٔ ‫ ِْم‬ٛ‫ انرَّٕ ِك‬ِٙ‫ ف‬َٙ ِٓ َ‫ْعًا ف‬َٚ‫َحً ا‬ٚ‫ِكَُا‬

Dan ungkapan Ali Sibramalisi, “sementara bila isyarat


orang buta hanya dipahami oleh orang pintar saja,
bukan selainnya, maka dengan kinayah. Maka
pernikahan orang buta tersebut sah dengan isyarat atau
tulisannya, ketika udzur mewakilinya. Bagi kita, tidak
ada nikah yang sah dengan kinayah melainkan dengan
tulisan dan isyarat orang buta ketika hanya orang pintar
saja yang mampu memahaminya. Mafhumnya, andaikan
ia mampi mewakilkan akad dengan penulisan atau
isyarat yang hanya dipahami oleh orang pintar saja,
maka akad nikanya harus diwaklkan. Sebab, meskipun
hal itu termasuk kinayah, namun pada hakikatnya
adalah kinayah dalam mewakilkan. Sementara akad
mewakilkan bisa sah dengan kinayah. Demikian
penjelasan Ali Sibramalisi
8. Sunan Al-Daruquthni
47

ٙ‫ ِّ َٔ ٌَهَى َْلتُ َّك ِف‬ْٛ َ‫صهَّٗ ََّّللُ َػه‬ ْ َ‫َػ ٍْ َػا ِئ َشحَ لَان‬
َ َ‫د ل‬
َ ‫ال‬

ُٕ ‫ ٍِْ اّت‬ٚ‫ض َٔ ان َّشا ِْ َك‬ ْ


ِ ْٔ ‫ َٔ ان َّى‬ِّٙ ِ‫اغ ِي ٍْ اَنْ تَ َؼ ٍح ان َٕن‬
ِ ‫انُِّ َك‬

َ َ‫ ٍَ َهج‬ْٛ ‫ة َيعْ ُٕٓ ٌل َٔا ٌْ ًُُّ ََافِ ُغ ت ٍُْ َي‬


ُِ‫(ن َٔا‬ ِ َ‫ْانف‬
ِ ْٛ ‫ص‬
ْ ُ‫َقا ُنل‬
)ُِٗ ‫ط‬

“Dari A‟isyah, ia berkata: Nabi bersabda: “Dalam nikah


harus ada empat orang, yaitu wali, calon suami, dan dua
orang saksi.” Abu Al-Khasib tidak diketahui. Namanya
adalah Nafi‟ bin Maysarah. (HR. Daruquthni)
9. Referensi lain

a) Hasyiyah Al-Bujaraimi ‘ala Al-Manhaji, Juz XI, h.

476

b) Al-Fawaid Al-Mukhtarah li Salik Thariq Al-Akhirah

Al-Mustafadah min Kalam Al-‘Allamah Al-habib

Zain bin Ibtahim bin Smith, edisi Ali bin Hasan

Baharun, h. 246

c) Syarh Al-Yaqut Al-Nafis, h. 356, karya Muhammad

bin Ahmad bin Umar Asy-Syatiri

d) Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh Al-Minhaj,

Juz III, h. 186

e) Hasyiyah Al-Bujaraimi ‘ala Al-Khatib, karya

Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Juz III h.

398

f) Baths li Ba’dh Al-Nawazil Al-Fiqhiyah, Juz XII, h.

1-3
48

g) Al-Majmu’, Juz IX, h. 167-169

h) I’anah At-Thalibin, Juz III,h. 103

i) Hasyiyah Al-Jamal, Juz XIII, h. 259

B. Majelis Tarjih Muhammadiyah


1. Sejarah Majelis Tarjih Muhammadiyah

Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan

munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang

pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari

serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari

Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di

Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya

Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan

pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses

Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus

berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses

dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada,

termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya

sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam,

dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai

standard Islam yang benar

Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-

pikiran abstrak tapi diungkapkan secara nyata dalam bentuk organisasi-

organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di


49

Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan

pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912

M.

Ahmad Dahlan yang pada masa kecilnya bernama Muhammad

Darwis lahir di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah yang bernama

Abu Bakar, beliau adalah Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan

Ibu yang bernama Siti Aminah binti Ibrahim penghulu besar di

Yogyakarta. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya

menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah beliau melihat praktek-

praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton,

sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan pada

mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di

kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli

berbunyi (dengan ejaan baru):

Maka perhimpunan itu maksudnya:

a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad

Sallallahu „Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di

dalam residentie Yogyakarta.

b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya

Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin

organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami


50

perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi

Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930

telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa. Misi utama yang dibawa oleh

Muhammadiyah adalah tajdid atau pembaharuan pemahaman agama.

Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah

adalah yang seperti yang dikemukakan oleeh M. Djindar Tamimy: Maksud

dari kata-kata tajdid dalam bahasa Arab yang artinya “pembaharuan”

adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :

a. Pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada

keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya

mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak

berubah ubah.

b. Pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu

sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik,

strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu,

yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan

kondisi/ruang dan waktu

Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak

daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya. Dapat disimpulkan

bahwa embaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan

tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.

Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan

mengakkan agama islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga dapat


51

terwujud masyarakat islam yang sesungguhnya.islam sebagai agama

terakhir tidaklah memisakan masalah ronahi dan persoalan dunia, tapi

mencakup kedua segi kehidupan manusia ini. Sehingga islam yang

memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu

keutuhan. Pembaharuan islam sebagai ksatuan inilah yang ditampilkan

Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini

Muhammdiyah menampakkan diri sebaga pengembangan dari peikiran

perluasan gerakan yang dilahirka Ahmad Dahlan sebagai amal jariyah.

Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas

dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu :

a. Bidang Keagamaan

Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali

ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu,

lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar

tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran

tambahan lain.

b. bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial,

Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah

pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang

berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam,


52

pendidikan mempunyai arti penting karena melalui inilah pemahaman

tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.

c. bidang Kemasyarakatan

Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis

oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah

yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara

individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam

memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di

dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan

yang ada kaitannya dengan bidang sosial.

Dalam usaha pembaharuan ini tidak sedikit rintangan yang dialami

Muhammdiyah, beberapa tafsir yang dilakukan ulama‟ Muhammdiyah

tentang Al-Qur‟an dan Hadits menimbulka perdebatan Theologis. Namun

kemudian untuk mengatasi perdebatan tersebut dalam Muhammdiyah

dibicaran oleh suatu lembaga yang bernama “lajnah tarjih”. Lembaga ini

merupakan realisasi dari prinsip bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.

Majelis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres

Muhammadiyah ke-XVI pada tahun 1927 atas usulan Mas Mansyur.

Fungsi dari majelis ini adalah untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan

hukum tentang masalah tertentu. Masalah yang dimaksud disini tidak

semata masalah keagamaan dalam arti sempit, mungkin juga terletak pada

masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidag agama.
53

Pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas

syariat yaitu Al-Qur‟an dan Hadits yang dalam proses pengambilan

hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majelis ini berusaha untuk

mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, baik masalah semula

sudah ada hukumnya dan bejalan di masyarakat tetapi masih ada perdeatan

di kalangan umat islam, ataupun merupakan masalah-masalah

kontemporer yang belum ada penjelasan mengenai hukumnya di dalam

Al-Qur‟an dan Hadits73.

2. Metode istinbat Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan


hukum

Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam

islam adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah (As-shahihat). Kemudian untuk

menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak

berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat nash sharih dalam

Al-Qur‟an dan Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada

melalui persamaan illat. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi

Muhammadiyah ijtihad bukan merupakan sumber hukum, melainkan

sebagai metode penetapan hukum dalam islam74.

Diantara sumber itu, Al-Qur‟an merupakan “sumber dari segala

sumber”. Artinya, Al-Qur‟an merupakan rujukan pertama dalam

menetapkan hukum. Sedangkan Hadits berfungsi sebagai penjelas

73
Sejarah Mjalis Tarjih Muhammdiyah, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-
sejarah.html, diakses pada tanggal 23 April 2017 pukul 02.40 AM
74
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammdiyah, Jakarta, Logos,
1995, hal. 70
54

terhadap Al-Qur‟an. Tentu penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan

dengan apa yang dijelaskannya Al-Qur‟an. Karena itu, menurut sebagian

ahli Hadits, salah satu tolak ukur untuk menyeleksi Hadits adalah harus

“diuji” dengan Al-Qur‟an. Kalau Hadits itu sejalan dengan dengan Al-

Qur‟an, maka Hadits itu dapat diterima. Tetapi kalau Hadits itu tidak

sejalan, mapalagi bertentangan, dengan Al-Qur‟an, maka Hadits itu tidak

dapat diterima75.

Bagaimana dengan metode ijtihad Muhammadiyah?

Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah metode

penetapan hukum76. Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode

ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fikih terdahulu, namun

di sana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepatnya disebut kombinasi

seperlunya.

Ijma’ yang dibahas dalam ushul fikih kelihatannya tidak dalam

setiap periode diterima oleh Muhammadiyah, organisasi ini hanya

menerima ijma’ yang terjadi di kalangan sahabat Nabi SAW. Hal ini

menunjukan bahwa menurut Muhammdiyah, tidak mungkin ijma’ terjadi

lagi setelah masa sahabat. Ijma’ dimungkinkan terjadi pada masa sahabat

karena umat islam masih sedikit jumlahnya 77.

Qiyas yang juga merupakan metode penetapan hukum pada

dasarnya tidak diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak

75
Fathurrahman Djamil, hal. 71
76
Djuwaini, Keterjihan, Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis PPK, hal. 20
77
Fathurrahman Djamil, hal. 73
55

mengenai masalah ibadah mahdah. Saat Muhammadiyah membahas

masalah qiyas sebegai metode penetapan hukum dalam islam, ternyata

banya dari peserta muktamar tarjih yang tidak setuju mengenai

penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum, namun tidak sedikit

pula perserta yang setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan

hukum. Dengan kata lain, warga Muhammadiyah tidak sepakat tentang

penggunaan qiyas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum78.

Muhammadiyah tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai

penggunaan metode istihsan sebagai metode penetapan hukum yang

digunakan oleh imam Abu Hanifah, namun dari rumusan yang terdapat

dalam manhaj Mahlis Tarjih dapat difahami bahwa Muhammadiyah

menerima metode istihsan sebagai metode penetapan hukum. Seiring

dengan adanya konsep istihsan yang diungkapkan oleh Imam Abu

Hanifah, Imam Malik juga mengemukakan konsep istishlah atau maslahah

mursalah. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah dalam

menetapkan sebuah hukum79.

Metode lain yang digunnakan oleh Muhammadiyah dalam

menetapkan sebuah hukum adalah saddu al-zari’at. Tujuan digunakannya

metode ini oleh Muhammadiyah adalah “untuk menghindari terjadinya

78
Fathurrahman Djamil, hal. 75
79
Fathurrahman Djamil, hal. 76
56

fitnah dan mafsadah”. Jika diambli pengertian sebaliknya maka tujuan

digunakannya metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia80.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Muhammdiyah dalam

berijtihad menempuh tiga jalur81, yaitu :

a. Al-Ijtihad Al-Bayani

Yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam

Nash Al-Qur‟an dan Hadits

b. Al-Ijtihad Al-Qiyasi

Yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara

menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur

dalam Al-Qur‟an dan Hadits.

c. Al-Ijtihad Al-Istislahi

Yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat

dalam kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan

penalaran yang didasarkan pada kemaslahatan.

Pada dasarnya seluruh jalur di atas selalu berorientasi pada

maslahat yang merupakan tujuan disyari‟atkannya hukum dalam islam.

Namun bila diurut secara rinci jalur yang terakhir menggunakan konsep

maslahat yang lebih banyak daripada jalur sebelumnya. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa metode ijtihad yang digunakan oleh

Muhammadiyah dalam masalah-masalah mu’amalah dunyawiyyat selalu

80
Fathurrahman Djamil, hal. 78
81
Fathurrahman Djamil, hal. 78
57

bertumpu pada maqashid syari’at, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan

manusia dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat daruriyyat,

hajjiyyat, dan tahsiniyyat. Setiap peringkat memperhatikan lima unsur

utama yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta82.

3. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Penggunaan Media

Telekonferensi dalam Akad Nikah83

AKAD NIKAH VIA VIDEO CALL

(disidangkan pada Jum‟at, 16 Jumadats-Tsaniyah 1429 H / 20 Juni

2008)

Pertanyaan:

Dewasa ini, seiring dengan kemajuan teknologi, antara dua

pihak dapat berkomunikasi secara mudah melalui suara dan

gambar menggunakan hand phone yang mempunyai fasilitas video

call dalam jaringan 3G. Berkenaan dengan itu, apakah hukumnya

melakukan akad ijab qabul (pernikahan) antara wali dengan pihak

mempelai pria yang jaraknya berjauhan melalui video call ?

Mohon jawabannya dan terima kasih

Jawab:

Akad nikah sah secara syar’i jika memenuhi rukun-rukun

dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun nikah menurut jumhur ulama

82
Fathurrahman Djamil, hal. 78
83
Akad Nikah via Video Call, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-
vidieo-call.html diakases pada tanggal 23 April 2017 pukul 03.07 AM
58

ada lima, yaitu adanya mempelai pria, adanya mempelai wanita,

adanya wali nikah, hadirnya dua orang saksi, dan akad ijab-qabul.

Masing-masing rukun tersebut ada syaratnya. Khusus tentang ijab

qabul, ada 4 syarat, yaitu:

1. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.

2. Kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali

mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya

Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya

terima nikahnya Fatimah ...”, maka nikahnya tidak sah,

karena antara ijab dan qabul tidak sesuai.

3. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali

ijabnya sebelum kabul dari pihak lain (calon suami).

Jika sebelum calon suami menjawab wali telah menarik

ijabnya, maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.

4. Berlaku seketika, maksudnya nikah tidak boleh

dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali

mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya

Khadijah besok atau besok lusa”, maka ijab dan qabul

seperti ini tidak sah.

Yang dimaksud dengan ijab qabul dilakukan dalam satu

majelis pada syarat pertama, adalah ijab dan kabul terjadi dalam

satu waktu. Suatu akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika

setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera


59

mengucapkan kabul. Antara ijab dan qabul tidak boleh ada jeda

waktu yang lama. Sebab jika ada jeda waktu lama antara ijab dan

qabul, qabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran

jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon

suami menolak untuk menyatakan qabul. Antara ijab dan qabul

tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan

nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tidak berpisah dari tempat

akad.

Berdasarkan pengertian tersebut, ijab dan qabul tidak harus

dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat. Para ulama imam

madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan qabul yang

dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau

utusan. Misalnya ijab dan qabul dilakukan melalui surat atau

utusan dari wali yang dikirimkan kepada calon suami. Jika akad

ijab dan qabul melalui surat, yang dimaksud dengan majelis akad

yaitu tempat suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di

hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat

yang berisi ijab dari wali segera mengucapkan qabul, maka akad

dipandang dilakukan dalam satu majelis. Jika akad ijab dan qabul

melalui utusan, yang dimaksud dengan majelis akad yaitu tempat

utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di hadapan

para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali,
60

calon suami segera mengucapkan qabul, maka akad dipandang

telah dilakuakn dalam saut majelis.

Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan

hanya terbatas melalui alat komunikasi surat atau utusan. Dewasa

ini, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih canggih.

Seseorang dapat berkomunikasi melalui internet, telepon, atau

melalui Telekonferensi secara langsung dari dua tempat yang

berjauhan. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu

hanya bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara

(berbicara) dan Short Massage Service (SMS: pesan singkat

tertulis). Saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya

adalah fasilitas jaringan 3G. 3G atau third generation adalah istilah

yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone)

generasi selanjutnya. Sistem ini akan memberikan pelayanan yang

lebih baik dari apa yang ada sekarang, yaitu pelayanan suara, teks

dan data. Jasa layanan yang diberikan oleh 3G ini adalah jasa

pelayanan video, akses ke multimedia dan lain-lain. Dengan

fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat

berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan

bicara.

Oleh sebab itulah, jika akad ijab dan qabul melalui surat

atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka

akad ijab dan qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G, yakni


61

melalui video call lebih layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau

utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan

qabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat

dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majelis). Sedangkan

melalui video call, akad ijab dan qabul benar-benar dilakukan

dalam satu waktu. Dalam akad ijab qabul melalui surat atau utusan,

pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap

pernyataan qabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video

call, lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara

langsung (baik mendengar suara maupun melihat gambar)

pernyataan qabul dari pihak calon suami, demikian pula

sebaliknya. Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali

dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan

akad ijab dan qabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan

melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.

Dengan demikian akad ijab dan qabul melalui video call

sah secara syar‟i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab

dan qabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat

sah nikah yang lain. Apabila akad ijab dan qabul melalui video call

sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad

tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali

mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab

dan qabul melalui video call antara wakil dengan mempelai pria.
62

Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab dan qabul

dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak

secara langsung. Ijab dan qabul dilakukan via video call apabila

memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak

memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu secara

langsung.
63

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF

A. Persamaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi dalam

Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan Majelis Tarjih

Muhammadiyah

1. Kedua lembaga fatwa ini memiliki sumber hukum yang sama yaitu Al-

Qur‟an dan Al-Hadits.

Seperti yang dibahas pada bab III, lembaga Bahtsul Masa‟il NU

menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur‟an dan alHadits. Begitu pula

Majelis Tarjih Muhammadiyah yang sumber penetapan hukumnya adalah

Al-Qur‟an dan alHadits. Karena bagi umat islam memang keduanya inilah

pegangan dalam hidup.

2. Fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga fatwa ini merupakan jawaban atas

pertanyaan dari masyarakat.

Di zaman yang sangat modern ini kita tak lagi bisa bisa

menghindari kemajuan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang

apapun kita pasti akan bersentuhan dengan teknologi itu sendiri. Kemajuan

teknologi ini menjadi masalah tersendiri bagi umat islam dalam segala

aspek kehidupan baik ibadah ataupun mu‟ammalah. Karena di dalam Al-

Qur‟an dan alHadits tidak dijelaskan hukum penggunaanya. Dari sinilah

timbul keinginan masyarakat untuk bertanya bagaimana hukum ibadah

atau mu‟ammalah yang dilakukan dengan menggunakan teknologi dan

63
64

diajukan kepada dua lembaga fatwa ini agar tidak terjadi kegaduhan

diantara masyarakat.

3. Kedua lembaga fatwa ini merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih

yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali.

Setelah Al-Qur‟an dan alHadits, kedua lembaga fatwa ini

menjadikan pendapat para imam Mazhab yaitu Abu Hanifah, Maliki,

Syafi‟i, dan Ahmad bin Hanbal sebagai sumber rujukan. Seperti yang telah

dibahas pada bab iii yang lalu, metode yang digunakan dalam menetapkan

suatu hukum baik oleh Lembaga Bahtsul Masa‟il NU maupun Majelis

Tarjih Muhammadiyah, keduanya merujuk kepada pendapat empat imam

mazhab besar ini.

4. Syarat Ittihad Al-Majlis (bersatunya majelis) disepakati oleh kedua lembaga

fatwa ini

Pada bab sebelumnya juga telah dibahas bahwa menurut Lembaga

Bahtsul Masa‟il NU syarat akad nikah salah satunya adalah Ittihad Al-

Majlis atau bersatunya majelis, begitu pula dengan Majelis Tarjih

Muhammadiyah yang juga mensyaratkan akad nikah berlangsung di dalam

satu majelis. Namun perbedaan dalam menafsirkan makna Ittihad Al-

Majlis-lah yang membuat hasil fatwa kedua lembaga ini berbeda.

Perbedaan tersebut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.


65

B. Perbedaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi dalam

Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan Majelis Tarjih

Muhammadiyah

1. Lembaga Bahtsul Masa‟il NU

a. Merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟i

Dari banyaknya pendapat mengenai hukum penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah, lembaga Bahtsul Masa‟il NU memilih

merujuk kepada pendapat imam Syafi‟i yang terkenal sangat detail dan

berhati-hati dalam menetapkan sebuah hukum. Mazhab Syafi‟i sendiri

merupakan mazhab yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

b. Menggunakan metode Qiyas

Tentu saja pada masa hidup imam Syafi‟i belum ada yang namanya

telekonferensi, bahkan alat komunikasi pun belum ditemukan pada saat

itu. Jika ingin berkomunikasi jarak jauh satu-satunya cara adalah dengan

berkirim surat. Karena imam Syafi‟i tidak pernah menetapkan hukum

penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah, maka dari itu

Lembaga Bahtsul Masa‟il NU menggunakan qiyas antara pengunaan

media telekonferensi dan penggunaan surat dalam akad nikah.

c. Menerima Ijma’ Ulama‟ terdahulu

Sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, hasil dari kajian Lembaga

Bahtsul Masa‟il ini dapat dijadikan sebagai fatwa, dan boleh di fatwakan

secara parsial tanpa memohon persetujuan kepada pengurus pusat

(PBNU) hal ini yang terkadang sering berbenturan dengan kepengurusan


66

di pusat. Karena dianggap telah mewakili ulama dengan produk

hukumnya, karena telah memenuhi standar kapasitas dan kredibilitas

keluasan ilmu yang dimilikinya, walaupun, secara structural berada di

tingkatbawah (suriyah ranting NU)

d. Fatwa yang dihasilkan dimungkinkan berbeda-beda antara cabang satu

dan cabang lainnya

Bahtsul Masa‟il secara kelembagaan baik ranting, wilayah, wakil cabang,

cabang, dan pusat, mereka diberikan kewenangan untuk menghasilkan

produk hukum yang nantinya produk hukum tersebut akan dipatuhi oleh

seluruh umat pengikutnya dan hasilnya akan langsung difatwakan

kemudian dijadikan sumber hukum yang sah.

2. Majelis Tarjih Muhammadiyah

a. Merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah

Berbeda dengan Lembaga Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih

Muhammadiyah lebih cenderung meggunakan mendapat Imam Abu

Hanifah dalam menetapkan hukum mengenai penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah. Imam Abu Hanifah dikenal sangat

fleksibel dalam menetapkan suatu hukum.

b. Tidak menerima secara kolektif metode Qiyas

Pada dasarnya Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak menerima

penggunaan metode qiyas sebagai metode penetapan hukum, terlihat dari

banyaknya peserta Muktamar Tarjih yang menolak penggunaan metode

qiyas ini. Namun tidak sedikit pula peserta yang menerima metode ini.
67

Sehingga dapat disimpulkan bahwa warga Muhammadiyah tidak sepakat

dengan penggunaan metode qiyas ini sebagai metode penetapan hukum

c. Tidak menerima Ijma’ Ulama‟ terdahulu

Ijma’ yang biasa digunakan oleh para ahli ushul fiqh dalam menetapkan

sebuah hukum tidak selalu digunakan oleh Majelis Tarjih

Muhammadiyah dalam istinbath hukum, karena Muhammadiyah hanya

mengakui ijma’ yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAW, selain dari itu

Muhammadiyah tidak mengakui hasil ijma’nya. Menurut

Muhammadiyah tidak mungkin ada lagi ijma’ setelah masa sahabat, hal

itu dikarenakan pada masa sahabat umat islam masih sedikit, jadi

dimungkikan untuk melaksanakan ijma’.

d. Hasil fatwa ini disepakati secara kolektif oleh seluruh warga

Muhammadiyah.

Berbeda dengan Lembaga Bahtsul Masa‟il NU yang di setiap cabangnya

bisa terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu hukum, pada Majelis

Tarjih Muhammadiyah itu Mustahil.karena fatwa yang dikeluarkan oleh

Majelis Tarjih Muhammadiyah ini bersifat kolektif. Oleh sebab itu hasil

fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah harus

dipatuhi oleh seluruh warga Muhammadiyah.

C. Analisis Penulis

Fikih adalah ilmu yang berasal dari pemikiran-pemikiran ulama

dalam mengambil hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an dan alHadits.

Fikih dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu klasik yang memiliki


68

konotasi dengan aturan-aturan hidup sehari-hari yang dijalani umat islam,

mulai dari ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll, hingga masalah

mu’ammalah umat islam. Jadi di dalam fikih telah diatur seluruh aturan-

aturan tentang hablu min Allah dan hablu min An-Nas yang berintisari dari

Al-Qur‟an dan Al-Hadits.

Ulama‟-ulama‟ tersebut merumuskan masalah yang dihadapi pada

saat itu, bisa merupakan masalah yang ia temukan sendiri, ataupun

masalah yang dipertanyakan oleh masyarakat. Kemudian setelah

merumuskan hukum dengan cara masing-masing, mereka mengumpulkan

cara tersebut dan meghimpunya. Itulah yang disebut mazhab.

Cara-cara perumusan Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai sumber

hukum memiliki perbedaan pada tiap ulama‟. Perbedaan tersebut wajar

saja adanya dikarenakan perbedaan latar belakang, tempat tinggal, ataupun

yang lainnya. Dan perbedaan tersebut bukanlah masalah besar sejauh

perbedaan tersebut dalam hal furu’iyyah atau cabang. Yang menjadi

masalah adalah ketika perbedaan tersebut dalam hal ushuliyyah atau

pokok, seperti akidah.

Seiring dengan semakin pesatnya kemajuan zaman, masalah yang

dihadapi umat manusia juga semakin dinamis, dikarenakan persentuhan

dengan teknologi tidak lagi dapat terelakkan oleh umat manusia, bahkan

bisa dikatakan memudahkan hidup manusia zaman modern ini. Hal ini

menyebabkan banyaknya problematika kontemporer yang dihadapi oleh

umat.
69

Diantara problematika umat saat ini yang berkaitan dengan

teknologi adalah penggunaan media telekonferensi dalam prosesi akad

nikah. Tentu saja jika kita cari dalam kitab-kitab terdahulu karya ima-

imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi‟i,

dan Imam Ahmad, pasti kita tidak menemukan keterangan yang jelas

tentang status hukum permasalahan ini. Hal itu wajar karena pada zaman

itu belum ada teknologi yang namanya telekonferensi. Telepon saja belum

ditemukan pada saat itu. Masalah yang dapat kita temukan pada kitab-

kitab fikih klasik hanyalah masalah akad nikah dengan surat dan akad

nikah dengan tawkil atau perwalian. Yang menjadi pertanyaan apakah sah

jika prosesi akad nikah dilakukan dengan media telekonferensi?

Inti dari masalah ini sebenarnya ialah salah satu syarat sah akad

nikah ialah ittihad Al-Majlis atau bersatunya majelis. Baik akad nikah

yang dilakukan dengan surat, perwalaian, atau telekonferensi terdapat illat

yang sama yaitu akad nikah dengan cara seperti ini tidak dilakukan di

dalam satu majelis yang mana beberapa ulama‟ menganggapnya tidak sah.

Pada skripsi ini yang dibahas adalah fatwa yang dikeluarkan oleh

lembaga fatwa dari dua organisasi islam di Indonesia yaitu Lembaga

Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Masing-masing

lembaga ini mengeluarakan fatwa yang berbeda tentang status hukum

penggunaan media telekonferensi dalam prosesi akad nikah, bahkan

keduanya bertolak belakang. Ini yang membuat penulis tertarik membahas

keduanya.
70

Pertama Lembaga Bahtsul Masa‟il NU yang memutuskan bahwa

penggunnan media telekonferensi dalam akad nikah hukumnya tidak sah.

Tentu saja keputusan ini diambil berdasarkan argumen yang kuat tentang

tidak sahnya akad nikah yang dilakukan tidak dalam satu majelis. Karena

lembaga ini menganggap pengertian dari satu majelis itu menyangkut

kesatuan tempat secara fisik sehingga dalam akad nikah seluruh rukun dan

syarat akad nikah harus berada di tempat yang sama.

Berbeda dari Lembaga Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih

Muhammadiyah memutuskan penggunaan media telekonferensi dalam

akad nikah hukumnya sah, yang pastinya diikuti dengan dasar argumen

yang kuat pula. Dari keputusan ini dapat dilihat bahwa menurut lembaga

ini makna kesatuan majelis bukanlah merupakan kesatuan tempat,

melainkan kesinambungan waktu.

Dari dua pendapat di atas, bisa dikatakan kedua lembaga fatwa ini

merujuk kepada dua imam mazhab yang berbeda. Lembaga Bahtsul

Masa‟il merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟i, sedangkan Majelis Tarjih

Muhammadiyah merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah yang

memang berbeda pendapat tentang makna dari ittihad Al-Majlis ini.

Dari keputusan dua lembaga fatwa ini, penulis cenderung lebih

setuju kepada fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah

ysng merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah yang mengartikan

bersatunya majelis dengan berkesinambungannya waktu. Dengan begitu


71

penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah dapat dikatakan sah

karena telah memenuhi seluruh rukun dan syarat sah nikah.

Apalagi penggunaan media telekonferensi ini dapat meminimalisir

unsur keraguan dari kedua belah pihak yang menikah, karena tidak hanya

dapat berkomunikasi secara audio, namun juga dapat berkomunikasi

secara visual. Sehingga keduanya dapat melihat satu sama lain pada

monitor atau layar besar secara real time, dan dapat mendengar apa yang

dibicarakan dari pengeras suara. Kedua pihak yang berakad juga tentunya

harus sudah mengenal dengan baik satu sama lain, sehingga dapat dengan

yakin bahwa wajah yang ada pada layar dan suara yang terdengar dari

pengeras suara merupakan wajah dan suara dari pihak yang satu dalam hal

ini mempelai yang tidak berada di majelis tersebut.

Landasan hukum yang mengatakan sahnya penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah juga bisa dipertanggungjawabkan, karena

argumen ini berdasarkan kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah yang ada.

Sehingga pendapat ini juga memiliki argumen yang kuat dalam

mengambil keputusan hukum.

Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan :

84
‫الح ْك ُم يَد ُْو ُر َم َع ا ْل ِعلَّ ِة ُو ُج ْو ًدا َو َع َد ًما‬
ُ

Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidaknya illat (alasan/sebab-sebab


tertentu)

84
Muchtar Yahya dan Fathur Rachman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam,
Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1993. hal.550
72

Pada kasus kali ini, illat-nya adalah tidak bersatunya majelis dalam

artian bersatunya tempat secara fisik, namun bagi Majelis Tarjih

Muhammadiyah akad nikah seperti ini dapat dikategorikan sebagai akad

yang berlangsung satu majelis karena dilaksanakan dalam waktu yang

berkesinambungan. Sehingga sah saja jika penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah ini dilakukan.

Tentu saja pada masa hidup imam mazhab belum terpikirkan

masalah kontemporer seperti ini dikarenakan belum ditemukannya

teknologi yang mutakhir seperti saat ini. Yang jika konsep fikih terdahulu

diaplikasikan pada masalah kontemporer dewasa ini, dan konsep fikih

terdahulu terkesan sempit jika dihadapkan dengan masalah ini. Dalam hal

ini ditemukan penyataan Imam Syafi‟i yang dituangkan oleh Imam Jalal

Ad-Din As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nazho’ir :

85
‫َ ْي ُه اذَّ ٍَ َغ‬ٜ‫ق ْا‬ َ ‫اٍ َلا‬
َ ‫ظا‬

Sesuatu (masalah) itu apabila sempit, maka perluaslah (pembahasannya)


Imam Syafi‟i sendiri memerintahkan kepada kita agar memperluas

pembahasan masalah yang kita dapat. Karena saat ini sudah tidak mungkin

masyarakat tidak bersentuhan dengan teknologi dan hal ini menuntut agar

fikih juga dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada saat ini.

Dikatakan dalam kitab Syarh Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya

Syeikh Ahmad bin Musthafa Al-Zarqa sebagai berikut :

85
Jalal Al-Din Abu Bakr al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazha'ir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, 2005, Tahqiq: Muhammad Hasan Ismail al-Syafi'I, Jilid 1, hal. 165
73

ِ ‫ ْو َي‬ٜ‫ُّ ُه ْا‬ٛ‫ؼْ َك ِاو تِرَ َغ‬ٜ‫ُّ ُه ْا‬ٛ‫ُُْ َك ُه ذَ َغ‬ٚ ‫َْل‬


86
ٌ‫ا‬

Tidak dapat dipungkiri perubahan hukum terjadi disebabkan oleh


perubahan zaman.
Dari kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perubahan zaman bisa

mempengaruhi perubahan hukum. Zaman dahulu tidak sahnya akad nikah

via surat atau sejenisnya yang dikarenakan tidak bersatunya majelis secara

fisik atau kesatuan tempat menurut mazhab Syafi‟i disebabkan oleh

adanya kemungkinan untuk salah satu pihak berbohong dalam akad

tersebut. Wajar saja ditakutkan terjadi kebohongan karena kedua belah

pihak yang berakad tidak melihat satu sama lain, dan akad nikah yang

dilakukan tersebut bersifat kinayah atau samar, sedangkan menurut

Syafi‟iyyah akad itu harus bersifat Sharih atau jelas.

Dalam kasus penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah

ini, memang syarat ittihad Al-Majlis yang didefinisikan oleh Ulama‟

Syafi‟iyyah tidak terpenuhi yaitu kesatuan tempat secara fisik, namun

kemungkinan untuk berbohong dalam akad nikah dengan cara ini sangat

kecil sekali, karena kedua belah pihak dapat melihat secara jelas pihak

lainnya dan dapat mendengar secara jelas juga apa yang dikatakan oleh

pihak lainnya secara real time atau saat itu juga. Sehingga jika ada

kebohongan tentu akan langsung disadari oleh pihak lainnya.

86
Ahmad ibn Mushtafa Al-Zarqa', Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-
Qalam, 1989, hal. 227
74

Selain kaidah-kaidah di atas, ada juga ayat Al-Qur‟an dan Hadits

yang menjadi dasar dari analisis penulis, diantaranya Allah SWT

berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :

)۵۸۱ / ۲ : ‫ (انثمهج‬        
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (Q.S Al-Baqarah : 185)
Dalam ayat lain Alah SWT berfirman :

) ٨۸ )۲۲( : ‫(انؽط‬        


Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Q.S Al-Hajj : 78)
Selain firman Allah SWT, Sabda Nabi Muhammad SAW juga ada

yang menguatkan pendapat ini. Diantaranya Hadits Nabi yang berbunyi :

: ‫ ِّ َٔ ٌَهَ َى‬ْٛ َ‫صهَٗ هللاُ َػه‬


َ ُّٙ ‫ال انَُّ ِث‬ َ َ‫ هللاُ َػ ُُّْ ل‬َٙ ‫ظ‬
َ َ‫ ل‬: ‫ال‬ َ ََ‫َػ ٍْ ا‬
ِ ‫ًَ ت ٍَْ َيانِ ٍك َن‬
87
‫َ ٍِّهُٔا َٔ َْل ذ ُ َؼ ٍِّ ُهٔا َٔ ٌَ ِّكُُٕا َٔ َْل ذَُُفِّهُٔا‬ٚ

dari Anas bin Malik ra berkata : bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah mereka ketenangan dan
jangan buat mereka lari. (H.R Al-Bukhari)
dalam Hadits lainnya Nabi SAW bersabda :

ُ‫ هللا‬َّٙ‫صه‬ ْ َ‫ هللاُ َػ َُْٓا آََََّا لَان‬َٙ ‫ظ‬


َ ِ‫ َِّه َنٌُٕ ُل هللا‬ٛ‫ َيا ُـ‬: ‫د‬ ِ ‫َػ ٍْ َػائِ َشحَ َن‬

َ ‫اٌ ِا ْش ًًا َك‬


ٌ‫ا‬ َ ‫َ ُك ٍْ ِاشْ ًًا فَاِ ٌْ َك‬ٚ ‫ ٍَ َهُْ ًَا َيا نَى‬ْٚ َ‫ ٍِْ ِا َّْل اَـَ َم ا‬ٚ‫ ٍَْ اَ ْي َه‬َٛ‫ ِّ َٔ ٌَهَّ َى ت‬ْٛ َ‫َػه‬
88
ُُّْ ‫اي ِي‬
ِ َُّ‫اَ ْت َؼ َك ان‬

87
Abu 'Abdullah Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Katsir, 1987,
Jilid. 5, hal. 2269
75

Dari 'Aisyah .ra mengatakan, "Tidaklah Rasulullah saw. diberi kesempatan


memilih di antara dua perkara melainkan beliau akan mengambil yang
paling ringan antara keduanya selama itu tidak terjatuh kepada suatu dosa.
Akan tetapi jika hal itu berupa dosa, maka beliaulah orang paling
menjauhinya". (HR. Al-Bukhari).
Dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazha’ir juga terdapat kaidah yang

berbunyi :

89
‫ َه‬ْٛ ٍِْ َّٛ‫ْان ًَ َشمَّح ُ ذَعْ هِةُ انر‬

Kesulitan itu menuntut adanya kemudahan.

Dari ayat, Hadits, dan kaidah diatas, dapat kita pahami bahwa

islam menghendaki adanya kemudahan untuk umatnya. Hal ini berkaitan

dengan masalah penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah,

dengan sahnya hukum penggunaan media telekonferensi dalam akad

nikah, kita telah menghadirkan kemaslahatan umat. Dengan

menghilangkan kesulitan dan mewujudkan kemudahan untuk umat.

Karena pada dasarnya penggunaan media telekonferensi dalam

akad nikah telah memenuhi seluruh rukun dan syarat sah pernikahan,

konsep ittihad Al-Majlis yang berarti bekesinambungan waktu telah

terpenuhi. Selain itu, teknologi telekonferensi ini juga dapat

menghilangkan keraguan akan adanya kebohongan. Sebab selain dapat

mendengar suara pihak lain, kedua belah pihak juga dapat saling melihat

pada monitor atau layar yang tersedia saat dilaksakannya akad nikah

88
Abu 'Abdullah Isma'il Al-Bukhari, hal. 2269
89
Jalal Al-Din Abu Bakr Al-Suyuti, hal. 157
76

dengan meggunakan media telekonferensi yang sifatnya real time atau

pada waktu yang bersamaan.

Kendati demikian, akad nikah merupakan prosesi sakral yang akan

lebih baik jika dilakukan dalam satu majelis atau pada tempat yang sama.

Momen yang diinginkan untuk dilakukan hanya sekali seumur hidup tentu

akan lebih baik jika seluruh pihak yang berakad baik mempelai maupun

keluarga besar mempelai dapat berada dalam majelis yang sama.


77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penulis tentang penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah studi komparatif Lembaga Bahtsul Masa‟il NU

dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Lembaga Bahtsul Masa‟il berpendapat bahwa penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah hukumnya tidak sah, karena akad

nikah dengan cara seperti itu dilakukan tidak dalam satu majelis,

sehingga syarat ittihad al-Majlis tidak terpenuhi. Sedangkan Majelis

Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa penggunaan media

telekonferensi dalam akad nikah hukumnya sah, karena konsep ittihad

al-Majlis dianggap terpenuhi, meskipun berbeda tempat namun tetap

dalam waktu yang berkesinambungan.

2. Persamaan pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis

Tarjih Muhammadiyah tentang penggunaan media telekonferensi

dalam akad nikah adalah kedua-duanya memiliki sumber hukum yang

sama yaitu Al-Quran dan Al-Hadits, fatwa yang dikeluarkan dua

lembaga ini meruakan jawaban dari pertanyaan masyarakat, keduanya

merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih, dan keduanya

menyepakati syarat ittihad Al-Majlis dalam akad nikah. Adapun

perbedaannya, Lembaga Bahtsul Masa‟il NU merujuk kepada mazhab

Syafi‟i, menggunakan metode Qiyas, menerima Ijma’ ulama‟

77
78

terdahulu, dan fatwa yang dikeluarkan tidak bersifat kolektif.

Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah merujuk kepada mazhab

Hanafi, tidak sepakat dengan penggunaan metode qiyas, tidak

menerima ijma’ ulama‟ terdahulu, dan fatwa bersifat kolektif.

B. Saran-saran

Sebagai salah satu masalah kontemporer yang timbul akibat

perkembangan zaman, hendaknya penggunaan media telekonferensi dalam akad

nikah tetap mengikuti kaidah-kaidah yang sudah ada tentang pelaksanaan akad

nikah pada umumnya dan perlu pemahaman mendalam agar pelaksaan akad nikah

tersebut dilaksanakan tanpa menyalahi syari‟at yang sudah ditetapkan Allah SWT

Penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah merupakan metode

baru yang muncul setelah ditemukannya teknologi telekonferensi ini. Tentunya

belum ada hukum yang jelas mengenai pelaksanaannya baik hukum islam maupun

hukum positif indonesia. Meskipun sudah memiliki undang-undang perkawinan,

tapi undang-undang tersebut sudah saatnya direvisi. Tidak menutup kemungkinan

di masa depan akan banyak terjadi proses akad nikah yang seperti ini.

Penelitian ini hanyalah kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu

yang telah dilakukan oleh para pencinta ilmu di bidang kajian perbandingan

mazhab untuk diaplikasikan dalam era kekinian. Maka dari itu, penelitian ini

tidaklah lepas dari tergelincirnya tulisan yang kadang berakibat fatal, ditambah

dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan kemungkinan

ditemukannya data-data baru sehingga diperlukan penelitian lanjutan.


79

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazha'ir, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyyah, 2005, Tahqiq: Muhammad Hasan Ismail al-Syafi'I,
Jilid 1, hal. 165

Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan


Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista

Amin, Muhammad Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-
Fikr), Jilid 3, h. 14

Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004


(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada)

Baharu, Vivin sururi, Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU,
Jurnal Bimas Islam, vol. 6. Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Jakarta, 2013

Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarhi Ibnu Qasim Al-Gazi, cet kedua,
Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999

Bakar, Erwadi, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R &


B, 4 (1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017
pukul 01.54 AM

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammdiyah, Jakarta,


Logos, 1995

Djuwaini, H.M., Keterjihan Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis PPK

Ghazali, Abdurrahman A-, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003

Ibnu, Zainuddin Nujaim al-Hanafi, Al-Bahr al-Raiq: Syarah Kanz al-Daqa’iq,


(Beirut : Dar al-Fikr, 1993), Jilid 5, Cet. 3, h. 294

Isma'il, Abu 'Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Katsir,


1987, Jilid. 5, hal. 2269

Jawad Muhammad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,1996 (Jakarta, PT lentera


Basritama)

Jaziri Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-
Fikr), Jilid 4, h. 24

79
80

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi
kedua

Kata Pengantar DR. KH. MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes
Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011

Kata Pengantar DR. KH. MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes
Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011

Kata Pengantar Wakil Rois Aam PBNU, Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah
kembali ke Khittah 1926, Jakarta, Erlangga, 1992

Kompilasi Hukum Islam

Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-‘Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1986

Mirabito, Michael, Barbara L Morgenstern, The New Communication Technology,


USA: Elsevier, 2004

Muhammad, Fahmi Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, 2010


(Jakarta, Cipta Karya Mandiri)

Muhammad, Tengku Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang,


Pustaka Rizki Putra, 2009,

Muhtadi, Ahmad Anshor, Bahth al-masail nahdlatul Ulama (NU) Melacak


Dinamika Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Cet. 1. Yogyakarta:
Teras, 2012

Mushtafa, Ahmad ibn al-Zarqa', Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar


al-Qalam, 1989, hal. 227

Ni’am, Asrorun Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,


Jakarta, eLSAS, 2008

Qudamah, Ibnu Al-Mughniy, Al-Mughniy, Riyadh, Dar Al-‘Alim Al-Kutub, 1417


H/ 1997 M, Juz 9, hal, 340-341

Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Beirut, Dar Al-Fikr, 1983, jilid ke-3

Sekretariat Jendral PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama,


Jakarta, 2011
81

Solusi Hukum Islam, Keputusan Mukatamar , Munas, dan Konbes Nahdlatul


Ulama (1926-2004 M), Surabaya: Diantama, 2006

Sudirman, Ahmad Abbas, Penganntar Pernikahan Analisa Perbandingan


Mazhab, 2005 (Jakarta, PT PrIma Heza Lestari)

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2007 (Jakarta,


Kencana)

Syata, Muhammad Ad-Dimyati, I’anah Atthalibin, juz 3, Dar Al-Ihya’ Al-Kutub


Al-Arabiyah

Usman, Uke Kurniawan, Pengantar Ilmu Telekomunikasi, Bandung: Informatika,


2008

Warson, Ahmad Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Pustaka


Progressif, hal. 1461

Yahya, Imam, Metode Ijtihad NU, Semarang: Walisongo Press, 2009

Yahya, Muchtar,Fathur Rachman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam,


Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1993. hal.550

Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung,


1990

Zahro, Ahmad, Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahth al-Masail 1926-1999,


Yogyakarta: LKiS, 2004

Zakaria, Abi al-Nawawi al-Syafi’i, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muttaqin,


Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Juz 7, h. 395

Zuhaili, Wahbah, Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Dimsyiq, Dar Al-Fikr, 1985, cet
ke-2,

Rujukan dari Website:

Akad Nikah via Video Call, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-


vidieo-call.html diakases pada tanggal 23 April 2017 pukul 03.07 AM

Sejarah Mjalis Tarjih Muhammdiyah, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-


3-sdet-sejarah.html, diakses pada tanggal 23 April 2017 pukul 02.40 AM

Anda mungkin juga menyukai