Anda di halaman 1dari 11

TUGAS REFLEKSI KASUS (RESUS)

PEDIATRI MENINGOENSEFALITIS
Nama : Winda Retno Ningrum
NIPP : 20204010232
Dokter pembimbing : dr. Yosephine Maria Christina, M. Sc, Sp. A

1. Identitas :
Nama : An. D
Lahir : 11 Juli 2021
Jenis kelamin : laki-laki
No. RM : 68-47-93
Alamat : Glodogan, Sidomulyo, Bambanglipuro

2. Keluhan utama :
OT mengatakan pasien panas sejak 7 hari yang lalu (14-9-21) dengan suhu naik-turun,
muntah 1x, perut kembung, bisa flatus, bisa BAB dan BAK, dan tidak batuk pilek.

3. Anamnesis :
a. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien bayi laki-laki dibawa oleh orangtua ke IGD RS APnembahan Senopati Bantul
pada tanggal 21 September 2021 pukul 06.54 WIB. Bayi datang dalam keadaan lemas,
menangis lemah, dan badan panas dari sejak 7 hari yang lalu, panas naik turun, muntah
1x, perut kembung, dan bisa flatus, BAB dan BAK.
b. Riwayat penyakit dahulu : -
c. Riwayat penyakit keluarga :
Dari semua anggota keluarga tidak ada penaykit diabetes melitus, asma, TB, hipertensi,
HIV dan Hepatitis B
d. Riwayat imunisasi :
Sudah dilakukan imunisasi Vit K, Hb 0, dan BCG.

4. Riwayat Kehamilan dan persalinan :


Pasien bayi laki-laki lahir secara spontan dari ibu G1P0A0 dengan umur kehamilan aterm
di Klinik Bidan dengan berat badan lahir 2900 gram, air ketuban jernih.

5. Skema Keluarga :

OBJEKTIF
1. Antropometri
BBL : 2900 gr
BBS : 5700 gr
PB : 56 cm
LK : 41 cm, LD : 42 cm, LLA : 14 cm

2. Tanda vital : suhu : 38 C, RR : 45 kpm, HR : 150 kpm, SpO2 : 99%

3. Pemeriksaan fisik bayi :


- Kesan umum : tampak lemah, nangis tidak kuat
- GCS : E4V5M6
- Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik(-)
- Leher : Pembesaran limfonodi (-)
- Dada : simetris (+/+), retraksi (-)
- Jantung : DBN S1 S2 reguler
- Paru : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Perut : supel, bising usus (+), turgor Kembali cepat
- Genital : laki-laki
- Esktremitas : edema (-), akral hangat (+/+), CRT <2 detik, ADP teraba kuat

4. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium (21-9-21) :
JENIS SATUAN HASIL RUJUKAN
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI

Darah Lengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG) g/dl 8,3* 10.00–17.00


Eritrosit (RBC) 10^6/uL 3.15 4.50–5.50
Leukosit (WBC) 10^3/uL 20.11 10.00–26.00
Hematokrit vol% 23.7* 42.0–52.0
Trombosit (PLT) 10^3/uL 892 150 – 450
HITUNG JENIS

Batang % 10 2–4
Limfosit % 26 45 – 65
Monosit % 3 2–8
Eosinofil % 0 2–4
Basofil % 0 0–1
Segmen % 61 40– 60
IT RATIO 0.14

SEROLOGIS
CRP kualitatif mg/L 112 <6

b. Rontgen Thorax PA anak (21-9-21) : Bronchopneumonia

c. Swab antigen (21-9-21) : negative

d. GDS (21-9-21) : 140

e. PCR I (21-9-21) dan PCR II (23-9-21) : negative

f. Laboratorium (24-9-21) :
Hematokrit vol% 36 42.0–52.0

g. Laboratorium (4-10-21)
JENIS SATUAN HASIL RUJUKAN
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI

Darah Lengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG) g/dl 13,2 10.00–17.00


Eritrosit (RBC) 10^6/uL 5.18 4.50–5.50
Leukosit (WBC) 10^3/uL 13.26 10.00–26.00
Hematokrit vol% 39.8 42.0–52.0
Trombosit (PLT) 10^3/uL 325 150 – 450
HITUNG JENIS

Batang % 2 2–4
Limfosit % 42 45 – 65
Monosit % 8 2–8
Eosinofil % 2 2–4
Basofil % 2 0–1
Segmen % 47 40– 60
IT RATIO 0.04

SEROLOGIS
CRP kualitatif mg/L 60 <6

5. Assesment (21-9-21) :
- Febris Hari ke 7
- Sepsis
- Pneumonia suspek COVID
- Anemia

6. Planning (21-9-21) :
- CPAP FiO2 40% PEEP 5
- Infus D5 ¼ NS 120 cc/kgBB/hari : 9 tpm makro
- Inj. Ampicillin 2 x 300 mg/hari
- Inj. Gentamisin 1 x 30 mg/hari
- Po. Apyalis 2 x 0,5 cc/hari
- Asi 8 x 5 cc
- Po. Paracetamol 0,6 cc k/p
- Transfusi PRC (jika febris teratasi)

7. Hari kedua RANAP (22-9-21) :


S : demam (+), kejang 1x seluruh tubuh +/- , muntah 1x tanpa residu
O : tampak lemas, gerak lemah, somnolen, suhu 39,6 C
A:
- Febris Hari ke 8
- Meningoensefalitis
- Sepsis
- Pneumonia suspek COVID
- Anemia
P:
- CPAP FiO2 40% PEEP 5
- Infus D5 ¼ NS 9 tpm makro
- Inj. cefotaxime 2 x 350 mg/hari
- Inj. amikasin 2 x 60 mg/hari
- Inj. dexametason 3 x 1,2 mg/hari
- Inj Fenitoin 114mg loading
- Po. Apyalis 2 x 0,5 cc/hari
- Asi 8 x 10 cc
- Po. Paracetamol 0,6 cc k/p
- Transfusi PRC (jika febris teratasi)
MENINGOENSEFALITIS

Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput meningen (selaput yang menutupi otak dan
medula spinalis). Meningitis yang paling sering terjadi biasanya disebabkan bakteri. Peradangan
tersebut mengenai araknoid, piamater, dan cairan serebrospinalis. Peradangan ini dapat meluas
melalui ruang subaraknoid sekitar otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantara pasien
meningitis mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.
Meningitis harus ditangani sebagai keadaan emergensi.

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Sebagian besar kasus tidak dapat
ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa
pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus.
Berbagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan
khas.

Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan otak.

Etiologi

1. bakteri

• Usia 0-2 bulan: Streptococcus group B, Escherichia coli.


• Usia 2 bulan-5 tahun: Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophillus
influenzae.
• Usia diatas 5 tahun: Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis.

2. Virus
Berbagai macam virus yang diduga dapat menyebabkan mengioencephalitis, seperti : Virus
polio, enterovirus, Herpes simpleks virus, Varisela zoster virus, Virus rabies,
Cytomegalovirus, Adenovirus, Virus campak, Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe
2, dan Parainfluenza virus.

3. Parasit
Berbagai macam parasit yang diduga dapat menyebabkan mengioencephalitis, seperti
Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii, Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis), Granulomatous amebic encephalitis

Patofisiologi Meningoensefaltis

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran
langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran
darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan
agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema,
perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian
melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling
abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke
dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis,
morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio
dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-
virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk.
Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus.
Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang
menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui
saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks,
rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau
melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan
ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.

Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit
penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi
melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.

Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus.
Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam
tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan
saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul
berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam
kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll.

Diagnosis Anamnesis

• Banyak gejala yang berkaitan dengan usia, pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel,
letargi, malas minum, dan high pitched-cry. Demam tinggi mendadak, sering ditemukan
hiperpireksia. Kadang bisa terdapat batuk, pilek, dan diare.
• Penurunan kesadaran dengan cepat, letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan
hal yang sangat sugestif tetapi tidak ada satu gejala pun yang khas. Anak kurang dari 3
tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala.
• Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat ditemukan sejak
awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
Pemeriksaan fisis

o Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas, seringkali


ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang. Kejang dapat berupa
status konvulsivus.
o Ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial. (sakit kepala, mual dan muntah,
penglihatan ganda, tekanan darah meningkat, merasa bingung, linglung, gelisah atau timbul
perubahan perilaku)
o Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang membonjol, kaku kuduk, atau tanda rangsang
meningeal lain (Bruzinski dan Kernig), kejang, dan defisit neurologis fokal. Tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun.
o Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron
(spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).
o Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia)

Pemeriksaan penunjang

• Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
• Pada meningitis, pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologic :

- Didapatkan cairan keruh atau opalesence dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
- Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa < 40 mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji
resistensi. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit.
- Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran CSS dapat tidak spesifik.

• Pada encephalitis, pungsi lumbal: pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal
atau menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang:
a. peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
b. hitung jenis didominasi sel limfosit
c. protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
d. glukosa normal.
• Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap dimulai pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali untuk
identifikasi kuman, itu pun jika antibiotiknya sensitif)
• Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-
hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
• Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan
tekanan intrakranial oleh karena lesi desak ruang.
• Pemeriksaan computed tomography (CT scan) dengan kontras atau magnetic resonance
imaging (MRI) kepala menunjukkan gambaran edema otak baik umum maupun fokal.
(pada kasus berat atau curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus,
dan abses otak)
• Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum maupun
fokal
Tata Laksana Medikamentosa

Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.

1. Terapi empirik antibiotik


• Usia1-3 bulan :
-Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 200-300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
• Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisislin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + kloramfenikol 100 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur
dan resistensi.

2. Antipiretik, saha suhu badan di atas 37,5 C.


3. Obat anti epilepsy (jika ada kejang) : diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard
terapi).
4. Diuretik osmotic : mengatasi peningkatan tekanan intrakranial : manitol 0,5 – 1 gram/kg/kali
atau furosemid 1 mg/kg/kali.
5. Kortikosteroid
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi
deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian antibiotik. Pada anak
dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2 minggu. Diberikan dosis
tinggi metil-prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3 – 5 hari dan dilanjutkan
prednison oral 1 – 2 mg/kg/hari selama 7 – 10 hari.

- Suportif : cairan intravena untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit


Lama pengobatan tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari.

- Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke Departemen
Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas, serta mencegah
kontraktur.

Bedah

Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema subdural,
abses otak, atau hidrosefalus.

Suportif
• Periode kritis pengobatan adalah hari ke-3 dan ke-4. Tanda vital dan evaluasi neurologis
harus dilakukan secara teratur. Guna mencegah muntah dan aspirasi sebaiknya pasien
dipuasakan lebih dahulu pada awal sakit.
• Lingkar kepala harus dimonitor setiap hari pada anak dengan ubun-ubun besar yang masih
terbuka.
• Peningkaan tekanan intrakranial, Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH),
kejang dan demam harus dikontrol dengan baik. Restriksi cairan atau posisi kepala lebih
tinggi tidak selalu dikerjakan pada setiap anak dengan meningitis bakterial.
• Perlu dipantau adanya komplikasi SIADH. Diagnosis SIADH ditegakkan jika terdapat
kadar natrium serum yang < 135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg,
osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa
adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli merekomendasikan
pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotoni, terutama jika natrium serum <
130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar
natrium serum kembali normal.

Pemantauan

Terapi
Untuk memantau efek samping penggunaan antibiotik dosis tinggi, dilakukan pemeriksaan darah
perifer secara serial, uji fungsi hati, dan uji fungsi ginjal bila ada indikasi.

Pemantauan pasca rawat

Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, palsi serebral, epilepsi, retardasi
mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh-kembang,
jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait (Rehabilitasi medik, mata dll)
sesuai indikasi.

Tumbuh Kembang

Gangguan pendengaran sebagai gejala sisa meningitis bakterialis terjadi pada 30% pasien,
karena itu uji fungsi pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang. Gejala sisa lain seperti
retardasi mental, epilepsi, kebutaan, spastisitas, dan hidrosefalus. Pemeriksaan penunjang dan
konsultasi ke departemen terkait disesuaikan dengan temuan klinis pada saat follow-up.

Anda mungkin juga menyukai