Anda di halaman 1dari 2

Definisi atau Pengertian Ujaran Kebencian

Pakar komunikasi, Bleich Erik, mengatakan bahwa ujaran kebencian ( hate speech )
merupakan sebuah ujaran yang didalamnya mengandung kekererasan dan prasangka terhadap
berbagai kelompok tertentu. Bagian yang mewakili dari kelompok yang dimaksud yaitu berdasarkan
kelompok ras, etnis, gender, dan agama.

Definisi ujaran kebencian yang seperti itu bisa saja berbeda pengertiannya di negara lain. Namun,
kita dapat menelaah dengan cermat, bahwa ada salah satu perjanjian internasional yang memuat
beberapa kesepakatan terkait dengan difinisi ujaran kebencian.

Menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) misalnya, ujaran kebencian
didefinisikan sebagai berikut. Segala propaganda perang dilarang secara hukum.

Ujar kebencian adalah segala jenis advokasi terhadap kebencian yang berlandaskan kebangsaan, ras,
atau agama yang menghasut diskriminasi, kebencian, atau kekerasan dilarang secara hukum.

Dari pengertian seperti itu. Ujaran kebencian merupakan berikatan erat dengan konsep kebebasan
berbicara yang dibatasi dengan norma – norma setempat. Artinya, untuk memahami sebuah ujaran,
kita perlu memahami norma sosial kemasyarakatan yang ada pada masyarakat tuturnya.

Kebebasan Berbicara dan Batas-Batasnya


Sejak era pencerahan, kebebasan berbicara dianggap penting dalam demokrasi. Demi sebuah sistem
pemerintahan dimana rakyat memerintah diri mereka sendiri, rakyat harus terinformasi dengan
baik.

Maka, arus informasi dan pemikiran tidak boleh dikekang oleh kekuasaan. Jika kekuasaan
menentukan apa yang boleh dibicarakan dan apa yang tidak, tirani akan lahir.

Apakah Ini Berarti Bahwa Kebebasan Berbicara Tidak Memiliki Batas?

Dalam On Liberty (1859), John Stuart Mill berargumen bahwa diskusi dan argumen apapun harus
diberi kebebasan dan didorong hingga batas-batas nalar logika, bukan batas-batas emosional atau
moral. Suatu argumen tidak boleh dihentikan hanya karena ia menyinggung atau kontroversial
selama ia mungkin mengandung kebenaran.

Namun, Mill juga memperkenalkan “prinsip kerusakan” (harm principle), sebuah bentuk pembatasan
atas kebebasan berbicara yang berbunyi: “satu-satunya saat dimana kekuasaan boleh digunakan
untuk menekan suatu individu, adalah untuk mencegah kerusakan pada individu-individu lain.”

Prinsip kerusakan inilah yang menjadi dasar logika ICCPR. Diskusi rasional tanpa kekangan memang
menjadi tulang punggung demokrasi, namun ketika ujaran tertentu ternyata dianggap menimbulkan
lebih banyak kerusakan daripada manfaat, ia tidak lagi perlu dilindungi.

Hak berbicara juga berhenti berlaku ketika ia melanggar hak dan reputasi orang lain tanpa justifikasi,
yang diwujudkan dalam konsep pencemaran nama baik. Contoh nyatanya: jika saya mengucapkan
fitnah atau perkataan yang merusak reputasi Anda tanpa dasar yang kuat, saya dapat diserang
dengan pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian. Sedangkan pada dunia jurnalistik,
ujaran kebencian di media dikaitkan dengan kalimat SARA. Media-media jurnalistik di Indonesia
sangat menghindari ujaran-ujaran, kritik-kritik sosial berbasis sara.

Penjelasan dan Jerat Pasal


1. Penghinaan sebagai ujaran kebencian.Penghinaan yang tercantum di dalam KUHP BAB XVI
dari buku II KUHP tentang penghinaan dijelaskan bahwa “menghina” yaitu menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang dan yang diserang itu biasanya merasa “malu”.
Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan
kehormatan perihal seksuil.

Penghinaan yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang dengan
disabilitas, orientasi seksual, ekspresi, gender.

2. Pencemaran nama baik sebagai ujaran kebencian.

Secara umum pencemaran nama baik (Defamation) adalah tindakan mencermarkan nama baik
seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik melaui lisan ataupun tulisan. Pencemaran nama
baik terbagi ke dalam beberapa bagian:

1. Secara lisan, yaitu pencemaran nama baik yang diucapkan.

2. Secara tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan melalui tulisan.

3. Penistaan sebagai ujaran kebencian.

Penistaan adalah ucapan atau perkataan yang disengaja dan tidak disengaja atau tindakan
komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan,
ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras,
warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Penistaan dilakukan di depan umum dengan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
merendahkan satu atau beberapa golongan dari warga negara Indonesia.

4. Perbuatan tidak menyenangkan “TIDAK” sebagai ujaran kebencian!!!

Perbuatan tidak menyenangkan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi sudah tidak lagi termasuk
dalam KUHP. Keputusan ini tertuang dalam putusan perkara Nomor: 1/PUU-XI/2013 pada tanggal
16 Januari 2014 menyatakan bahwa frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

5. Perbuatan provokasi dan menghasut sebagai ujaran kebencian

Menghasut, artinya mendorong, mengajak, mebangkitkan atau membakar semangat untuk


melakukan sesuatu yang tidak benar menurut segi hukum. Sedangkan Provokasi merupakan
perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan, dan pancingan.

6. Penyebaran berita bohong (Hoax) sebagai ujaran kebencian

Berita hoax atau bohong adalah adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat
seolah-olah benar adanya. Berita bohong yang disampaikan dapat menimbulkan rasa benci dan
permusuhan di masayarakat terkait SARA dapat dijerat dengan pasal terkait ujaran kebencian.

Anda mungkin juga menyukai