DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
AMRIZAL
NIM: 118101008/HK
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
AMRIZAL
NIM: 118101008/HK
ABSTRAK
Amrizal 1
Faisal Rani 2
Budiman Ginting 3
Pendastaren Tarigan 4
1
Mahasiswa Prograram Doktor pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
2
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
4
Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
ABSTRACT
Amrizal 5
Faisal Rani 6
Budiman Ginting 7
Pendastaren Tarigan 8
5
Doctoral Student of Legal Studies Program at Faculty of Law, University of Sumatera
Utara, Medan.
6
Professor Faculty of Law University of Syiah Kuala, Banda Aceh
7
Professor Faculty of Law University of Sumatera Utara, Medan
8
Lecturer Faculty of Law University of Sumatera Utara , Medan
Bismillahirrahmanirrahim.
kehadirat Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga
dapat meyelesaikan Disertasi ini sebagai tugas akhir guna memperoleh gelar
Doktor di bidang Ilmu Hukum pada Program Doktor Universitas Sumatera Utara.
diharapkan menemukan landasan atau dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam
desentralisasi asimetris.
Dr. Faisal Rani, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Promotor, Prof. Dr. Budiman
Ginting, S.H., M.Hum., dan Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., sebagai
sehinggga Disertasi ini dapat Penulis selesaikan. Selama proses bimbingan dan
penulisan Disertasi ini, Penulis banyak mendapatkan nasihat dan motivasi serta
hal-hal yang baru dari Tim Promotor, baik dalam berpikir dan bersikap serta
memaknai dunia keilmuan dan ilmu hukum, khususnya berkaitan dengan Hukum
kepada Tim Penguji yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk
memberikan saran dan masukan yang konstruktif serta hal-hal baru yang
berhubungan dengan substansi Disertasi ini, yang sangat bermanfaat dan berarti
bagi Penulis dalam menyusun Disertasi ini, baik pada saat, Kolokium, Seminar
Hasil Penelitian, Ujian Tertutup, dan Promosi yaitu Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.,
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., dan Dr. Faisal Akbar, S.H., M.H. Kemudian
Penulis juga ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua guru Penulis,
pengajar Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
4. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., sebagai Sekretaris Program Doktor
Hukum (S3).
Hukum (S3).
bantuan beasiswa.
10. Kakanda Dr. Ahmad Farhan Hamid, anggota DPR RI periode 1999-
11. Bapak Mawardi Ismail, SH., M.Hum, mantan Dekan pada Fakultas
Disertasi.
12. Bapak Setia Budi, M.Si, mantan Sekretaris Daerah Aceh, yang banyak
Mazwar, SH., M.Hum., Dr. Nurnaningsih Amriani, SH., MH., Dr. Feri
Tanjung, SH., MM, MKn., Dr. Tommy Leonard, SH., MKn., Dr.
Fuadi, SH., MH., Dr. Rudy Haposan Siahaan, SH., MKn., Dr. Rizkan
M.Hum.
Rasa hormat dan takzim yang tak terhingga Penulis persembahkan kepada
kedua orang tua Penulis, Ayahanda (Alm.) tercinta Muhammad Jafar Prang yang
tidak sempat melihat Penulis dalam menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
(S3) dan Ibunda tercinta Salbiah Ibrahim, yang tidak henti-hentinya selalu berdoa
dan memberi motivasi kepada Penulis agar selalu sabar, tawakal, dan berusaha
Haslinda, Edi Defrizal, Lidya, dan Lisa Iryani, S.Sos. Tidak lupa juga kepada
adik-adik ipar Penulis, Niki, Heni, dan Zaza, yang telah memotivisi Penulis untuk
tingginya, Penulis sampaikan kepada Istri tersayang dan tercinta Eka Agustina,
menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum (S3). Begitu juga, yang tidak bisa
Penulis lupakan kepada istriku tercinta yang penuh kasih sayang, tidak henti-
hentinya berdoa, memotivasi, dan memberi semangat kepada Penulis untuk segera
Bungong Ceudah Prang, dan Izza Faqiha Meurah Prang, yang masih kecil-kecil
Doktor Ilmu Hukum (S3). Maafkan Ayahandamu yang telah melewatkan hari-hari
Pada akhirnya, terima kasih Penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan motivasi serta doa yang tidak mungkin Penulis sebutkan
satu persatu. Sungguh tidak mampu Penulis membalasnya atas segala kebaikan
puji dan syukur yang dengan segala Rahman dan Rahimnya, telah memberi
serta Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad S.A.W., yang telah membuka
alam pikir dan ilmu serta mejadi rahmatan lil’alamin. Semoga segala kebaikan
yang telah diberikan kepada Penulis akan mendapakan balasan dan pahala yang
setimpal dan senantiasa mendapat rahmat dan sejahteranya bagi kita semua. Amin
Yarabbal’alamin.
Medan,………………………..2016
Amrizal
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
KOMISI PENGUJI
SURAT PERNYATAAN
ABSTRAK……………..…………………………………………………….. i
ABSTRACT………………………………………………………………...... iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xv
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………. xvi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………. xxi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..... 1
A. Latar Belakang …………………………………………...... 1
B. Rumusan Masalah………………………………………..... 18
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..... 19
1. Tujuan Penelitian……………………………………... 19
2. Manfaat Penelitian …………………………………… 20
D. Keaslian Penelitian………………………………………… 20
E. Kerangka Teori dan Konsepsi.…………………………….. 23
1. Kerangka Teori ……………………………………..... 23
1.1. Negara Hukum…………………………………… 25
1.2. Negara Kesatuan…………………………………. 33
1.2.1. Desentralisasi………..…….……………..... 34
1.2.2. Desentralisasi Asimetris…………………… 47
1.2.3. Asas Hukum Keberadaan UU No. 11 Tahun
2006………………………………………... 65
1.3. Kewenangan……………………………………… 78
2. Kerangka Konsepsi …………………………………... 83
F. Asumsi …………………………………………………….. 88
G. Metode Penelitian …………………………………………. 89
1. Jenis Penelitian……………..………………………… 89
2. Sifat Penelitian……………………............................... 89
3. Pendekatan Penelitian………………………………… 90
4. Sumber Data………………………………………….. 91
5. Alat Pengumpulan Data................................................. 92
6. Analisis Data……………………….............................. 92
H. Sistematika Penulisan…………………….......................... 93
BAB II DASAR PENGATURAN KONSULTASI DAN
PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT
YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH.......................................................... 95
A. Sejarah Kerajaan Aceh…………………………………….. 95
Halaman
Tabel 1. Skema: Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur terhadap
Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang Berkaitan
Langsung dengan Pemerintahan Aceh..................................... 86
Tabel 2. Pasal 18 sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945……………………. 296
Tabel 3. Pengaturan Keistimewaan dan Kekhususan Aceh menurut
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006….………………………… 327
AM : Aceh Merdeka
DM : Darurat Militer
DS : Darurat Sipil
KY : Komisi Yudisial
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
PP : Peraturan Pemerintah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Aceh salah satu daerah yang mempunyai latar belakang historis
sebagai daerah modal Indonesia. Di mana pada tahun 1949 disaat daerah-daerah
lainnya takluk pada kolonial Belanda, Provinsi Aceh malah membantu Indonesia
dalam bentuk bala bantuan para militer, politik, dan ekonomi menghadapi agresi
kolonial Belanda. 9
janji pemerintah terutama terhadap asas negara Islam dan peleburan provinsi Aceh
Lamteh”. 10
dari elemen rakyat Aceh, menuntut kemerdekaan dari NKRI. Perlawanan politik
reformasi, pada tahun 2003-2004 dengan status Darurat Militer (DM) dan Darurat
Sipil (DS). Selama tiga dekade konflik politik antara provinsi Aceh dengan
permusuhan, tahun 2002, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC),
kegagalan. 13
keterlibatan tim monitoring asing dari militer Thailand dan Filipina tanpa
11
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, Proses Pembentukan Undang-undang
Pemerintahan Aceh, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 6, No. 2 Tahun 2007, hlm. 193.
12
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 41.
13
Ibid, hlm. 48.
2004-19 Mei 2005. Selanjutnya, ketika kondisi keamanan Aceh mulai kondusif
Desember 2004. Dampak tsunami telah mengubah pola pikir Pemerintah dan
GAM terhadap konflik Aceh. Di mana bersepakat untuk duduk kembali dalam
Settlement). 15
tambahan bagi Aceh, yang disebut dana otonomi khusus terjadi perbedaan
mengusulkan 2% (dua persen) untuk masa 20 (dua puluh) tahun. 17 Begitu juga,
Khusus”. 18
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006), disepakati
Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan
rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya
setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan
untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara
16
Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
17
Amrizal J. Prang, 2006, Harap-harap Cemas Pengesahan RUU-PA, Opini, Serambi
Indonesia, 29 Juni 2006.
18
Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat
Aceh, Suara Bebas, Jakarta, hlm. 323.
tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006)” yang berlaku otonomi
Tahun 2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. 19 Salah satu materi UU No.11
Tahun 2006 yang berhubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh,
yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Jika melihat latar belakang adanya pasal ini tidak terlepas dari substansi
yang disepakati dalam MoU Helsinki, sebagaimana disebutkan dalam poin 1.1.2
19
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006,
TLN No. 4633.
persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”. Hanya saja, istilah yang digunakan berbeda
Persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”, sedangakan, dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11
sebagaimana Pasal 8 ayat (4), akan diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden
(Perpres). Dalam hal ini, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun
2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana
No.75 Tahun 2008), yang ditetapkan pada tanggal 24 Desember 2008. Pasca
penetapan Perpres No.75 Tahun 2008 ini, diantara bentuk kebijakan administratif
Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, yaitu pemekaran wilayah, pembentukan
Begitu juga, Pasal 269 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, menyebutkan: “Dalam hal
UU No.11 Tahun 2006 diatur lebih lanjut dengan beberapa peraturan pelaksana
dalam bentuk PP, Perpres dan Qanun Aceh, 20 maka cepat atau lambatnya
Tahun 2006, agenda yang segera harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan
bisa memahmi apa saja yang ada dalam undang-undang ini; dan, kedua,
pemerintahan Aceh dan sebagaimana Pasal 271 UU No.11 Tahun 2006 wajib
ditetapkan oleh pemerintah paling lambat 2 (dua) tahun sejak disahkan UU No.11
20
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
21
Taqwadin, dkk, 2009, Sejarah Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh, Perspektif
Partisipasi di Aceh, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 183-184.
2010;
Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (Lembaran Negara
5. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan
tentang Partai Politik Lokal di Aceh (PP No.20 Tahun 2007). 22 Meskipun,
dikarenakan saat itu belum adannya Perpres No. 75 Tahun 2008. Namun,
partai politik lokal ditetapkan paling lambat Februari 2007 dan mengingat
menjelang pemilihan umum (pemilu) pada tahun 2009, maka Pemerintah Pusat
271 UU No.11 Tahun 2006, yang sudah ditetapkan sejumlah 8 (delapan) peraturan
ada 3 (tiga) PP, yaitu: pertama, PP mengenai kedudukan keuangan Gubernur dan
22
Peraturan Pemerintah Partai Politik Lokal di Aceh, PP No.20 Tahun 2007, LN No.43
Tahun 2007, TLN No. 4708.
mengenai standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh
dan kabupaten/kota (Pasal 124); dan, ketiga, PP mengenai nama dan gelar Aceh,
(Pasal 251).
berlaku di Aceh dan sampai saat ini belum ditetapkan. Sebagaimana, Pasal 8 ayat
Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (PP No. 83 Tahun 2010), berbunyi:
tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (PP No.3 Tahun
23
Pasal 1 angka 14 PP Nomor 3 Tahun 2015: Kebijakan adalah kewenangan Pemerintah
untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan, pengawasan dan pelaksanaan urusan
pemerintahan yang bersifat nasional.
24
Pasal 1 angka 15 PP Nomor 3 Tahun 2015: Norma adalah aturan atau ketentuan yang
dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
25
Pasal 1 angka 16 PP Nomor 3 Tahun 2015: Standar adalah acuan yang dipakai sebagai
patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
26
Pasal 1 angka 17 PP Nomor 3 Tahun 2015: Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
27
Pasal 1 angka 18 PP Nomor 3 Tahun 2015: Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan
menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan.
terutama setelah penetapan PP No. 83 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor
11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau
Badan di Luar Negeri (Perpres No.11 Tahun 2010). Gubernur Aceh telah
investasi di Aceh kepada para pengusaha Arab, pada acara Indonesia Business
Luncheon di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Muzakir Manaf, mengatakan dalam
Pemerintah Aceh akan fokus pada beberapa langkah penting, yaitu pembentukan
investasi. 29
Kawasan Industri Aceh (KIA), serta Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas
negara yang tujuannya untuk mencari investor asing dan bekerjasama dengan
lembaga luar negeri, namun belum terlihat realisasi dalam bentuk kerjasama
tersebut.
tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat Sabang secara khusus dan Aceh secara
maksimalnya fungsi Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas (free port) Sabang
karena antara aturan yang ada dan pelaksanaan dalam membuat kebijakan
dianggap tidak sinkron. 31 Oleh karena itu, Gubernur Aceh menyarankan untuk
pengembangan free port Sabang agar memahami terhadap 4 (empat) hal, yaitu,
29
http://aceh.tribunnews.com/2013/05/01/wagub-promosikan-aceh-di-abu-dhabi, di akses
pada 30 Desember 2013.
30
Ibid.
31
http://aceh.tribunnews.com/2013/06/05/free-port-sabang-belum-bermanfaat, diakses pada
30 Desember 2013.
sistem pemindahan barang impor dari Sabang ke daratan Aceh atau kawasan
pabean; ketiga, mendorong agar lahirnya kebijakan yang standar dan baku dalam
(UUD RI 1945), baik secara implisit maupun eksplisit tidak disebutkan kebijakan
(yudikatif).
Sebagaimana, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945, disebutkan
dengan negara lain, serta menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan
Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945, bahwa Presiden
32
Ibid.
calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) harus melalui
Pusat. Sementara, yang diatur berkaitan Pemerintahan Daerah adalah dalam Pasal
18 ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-
Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan, negara mengakui dan menghormati
sebaliknya, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 18A ayat (1) UUD RI 1945,
Pemerintahan Daerah. 35
Daerah (UU No.23 Tahun 2014), 36 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
(UU No.2 Tahun 2015), 37 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
33
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 60,
TLN RI No. 3839.
34
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004, LN RI Tahun 2004 No. 125,
TLN RI No. 4437.
35
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 12 Tahun 2008, LN RI Tahun 2008 No. 59, TLN RI No. 4844.
36
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244,
TLN RI No. 5587.
37
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No.
5657.
yang bersifat umum, juga diatur dengan undang-undang khusus yang berlaku
Khusus bagi Provinsi Papua (UU No.21 Tahun 2001), 39 joncto Undang-Undang
38
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
39
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No.21 Tahun 2001, LN RI
No. 135 Tahun 2001, TLN RI No. 4151.
Sedangkan, bagi Provinsi Aceh yang berstatus sebagai daerah istimewa dan
No.44 Tahun 1999), 41 juga sebagai daerah khusus diatur dengan UU No.11 Tahun
2006. Sementara, Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota diatur dengan Undang-
biasa bagi sebagian besar daerah-daerah di NKRI, kedua otonomi khusus, bagi
daerah-daerah khusus, seperti Jakarta, Papua dan Aceh, dan ketiga, otonomi yang
40
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang., UU No.35 Tahun 2008, LN RI No. 112
Tahun 2008, TLN RI No. 4884.
41
Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU
No.44 Tahun 1999, LN RI No. 172 Tahun 1999, TLN RI No. 3893.
42
Undang-Undang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU No.29 Tahun 2007, LN RI No. 93 Tahun 2007, TLN RI
No. 4744.
43
Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No13 Tahun 2012,
LN No. 170 Tahun 2012, TLN No. 5339.
Tujuannya, agar kewenangan yang sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
desentralisasi serta otonomi daerah yang meliputi otonomi daerah biasa, lazim
disebut otonomi daerah saja, otonomi daerah istimewa, otonomi daerah khusus,
dan/atau otonomi daerah asli. 44 Oleh karena itu, ada beberapa kebijakan
Aceh, maka perlu melakukan penelitian lebih lanjut. Disini penulis akan
B. Rumusan Masalah
44
Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung, hlm. 202.
1. Tujuan Penelitian
Republik Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seperti Presiden, DPR RI,
D. Keaslian Penelitian
Sejauh yang diketahui belum banyak dan masih sangat kurang dilingkungan
Sementara, penelitian berkaitan otonomi khusus yang ada selama ini sebagian
masih bersifat umum dan substansi kekhususan belum menyentuh secara langsung
(3) UU No.11 Tahun 2006. Kewenangan ini berbeda dengan kewenangan pada
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Syari’yah dan hubungan Pemerintah Pusat dan Provinsi NAD dalam NKRI,
dari Konsep NKRI dan hubungan pemerintah pusat dan provinsi NAD.
adanya dana otonomi khusus; dan, dana tambahan bagi hasil minyak dan
gas bumi.
dengan Pemerintahan Aceh. Dalam penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis
gubernur sebagai kepala daerah, dan sinergitas hubungan Pemeritahan Aceh dan
Pemerintah Pusat.
Meskipun, dari semua penelitian di atas tidak terdapat kesamaan judul dan
permasalahan dengan disertasi ini. Namun, dapat digunakan sebagai referensi dan
sebagai bahan studi perbandingan guna menemukan sesuatu yang baru dan
Indonesia dan Aceh khususnya. Oleh krena itu, keaslian penelitian ini dapat
1. Kerangka Teori
berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, yang
adalah:
“Suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud
untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam
pengalaman (ialah alam yang tersimak bersaranakan indera manusia).
Sehingga, tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan
dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in
abstracto yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya
yang berupa realitas in concreto yang berada dalam pengalaman
inderawi”. 46
Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.
Kata teori mempunyai pelbagai arti. Pada umumnya, teori diartikan sebagai
pengetahuan yang hanya ada dalam alam pilikiran tanpa dihubungkan dengan
juga Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, yang dikutip Sudikno Mertokusumo,
mengatakan teori dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan
dikaji. 48
Untuk itu, sebagai pisau analisis penelitian, teori yang akan penulis gunakan
dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu dalam bentuk Grand Theory, yaitu teori Negara
Hukum, sebagai induk teori atau kerangka teori yang prima dengan sifat dan
45
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan,
dan Membuka Kembali, Cetakan Keempat, Refika Aditama, Bandung, hlm. 21.
46
Ibid.
47
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, hlm. 4.
48
Ibid, hlm. 5.
teori Kewenangan. 49
Sebagai Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini, kerangka pikir
law). Dalam NKRI, istilah negara hukum sudah sangat populer, istilah tersebut
dianggap sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law. Konsep
tersebut dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab tidak lepas dari
untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan di atas hukum
(above the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law), dengan
49
M. Solly Lubis, 2012, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Jakarta, hlm. 112.
50
Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makasar, hlm. 15.
Plato (427-347 SM) yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles (384-322 SM).
Plato dalam bukunya yang berjudul Politea memberikan respon terhadap kondisi
negara yang memprihatinkan karena saat itu dipimpin oleh orang-orang atas dasar
Dalam pandangannya, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah
despotis. Pemikiran tentang negara hukum ini dilatari oleh situasi dan kondisi
yang sama ketika era Plato dan Aristoteles mengemukakan idenya tentang negara
2. Pembagian kekuasaan.
51
Ibid.
52
Ibid.
berikut:
Selanjutnya, Albert Venn Dicey, yang lebih dikenal dengan panggilan A.V.
Dicey, menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang
Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan rule of law
tersebut, antara lain, dihasilkan oleh International Comission of Jurist yang pada
53
Dikutip dari Jimly Assiddiqie, Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004. Lihat juga, Notohamidjojo, 1970,
Makana Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Djakarta, hlm. 24-28.
54
Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil Kajian Pembentukan dan Ujian
Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara press, Malang, hlm. 16.
55
A.V. Dicey, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Terjemahan dari Introduction to
the Study of the Law of the Constitution, Nusamedia, Bandung, hlm. 254-259.
56
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES
Indonesia, Jakarta, hlm. 187.
57
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II,
November 2004, hlm.124-125.
“civil law” atau “modern Roman Law” sedangkan konsep “the rule of law”
bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil
“judicial”.
sebelumnya tidak dikenal namun dengan pengaruh pikiran barat, sehingga dikenal
istilah demokrasi dengan atribut tambahan, yang melalui Ketetapan MPRS Nomor
“Demokrasi Pancasila”. Begitu juga halnya dengan negara hukum yang dikenal
dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi
dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus
58
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hlm. 72-74.
negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945, maka prinsip-prinsip
UUD RI 1945 dan peraturan khusus, yaitu UU No.11 Tahun 2006 serta peraturan
keadilan rakyat Aceh secara khususnya, dan kepentingan NKRI secara umum
Aceh, menjadi forum fasilitasi hubungan yang selaras dan seimbang antara dua
59
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Pustaka LP3ES, hlm. 56.
(equality before the law) dan kepastian hukum. Keberadaan forum konsultasi dan
satu forum pengadilan, yang keberadaannya tidak seimbang yang satu sebagai
diperintah (masyarakat).
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.5 Tahun
1986), yang sudah diubah dengan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan
60
Lihat juga, Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 566.
sebagai negara hukum, yang mengakui keberadaan semua warga negara adalah
sama di depan hukum (equality before the law). Sehingga, keberadaan hukum
menjadi forum fasilitasi dua kompenen yang sebelumnya tidak seimbang menjadi
Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. Oleh karena itu, perlu juga menggunakan teori
Sementara, menurut Thorsten V. Klijarvi, istilah unitary state atau negara dengan
61
Astim Riyanto, 2010, Op., Cit., hlm. 6.
negara. Suatu bentukan modifikasi negara federal timbul negara konfederal. Atas
Sementara, menurut CF. Strong, unitary state adalah negara yang memiliki
Sedangkan, negara federal adalah ”suatu alat politik yang dimaksudkan untuk
kekuasaan pusat atau kekuasaan federal dengan unit-unit yang lebih kecil. 64
......, negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa
negara, seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya
tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara di dalam negara.
Jadi dengan demikian, di dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu
pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintahan
pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan
segala sesuatu dalam negara tersebut. 65
1.2.1. Desentralisasi
62
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Ke-10, Binacipta, Bandung, hlm. 202.
63
Ibid.
64
CF Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari Modern Political Constitution: An
Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung, hlm. 109.
65
Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 64-65.
adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara, tanpa kecuali,
...., salah satu perbedaan yang prinsipil dengan negara serikat (federal),
adalah di mana kewenangan pemerintah pusat disebutkan satu persatu dalam
Undang-Undang Dasar, dan bahwa susunan pemerintah daerah dalam
negara kesatuan diatur dari pusat, sedangkan susunan pemerintah daerah
yang disebut negara bagian dalam negara serikat, diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Bagian sendiri. Sehingga, berbeda dari negara
kesatuan, dimana campur tangan pemerintah pusat dalam negara serikat
(federal) lebih terbatas terhadap pemerintah daerah. 68
Oleh karena itu, dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire
66
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia,
hlm. 59-62.
67
Mahfud MD, Loc. Cit., hlm. 221.
68
Astim Riyanto, Loc., Cit., hlm. 45-46.
Parliament”. (Pemerintah daerah diwakili pada suatu bentuk awal dari lokalisasi
secara internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara
undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang dibuat
69
Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London:
Cavendish Limited, hlm. 496.
70
CF. Strong, Op. Cit., hlm. 109-110.
71
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General
Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.
suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus
menjadi urusan rumah tangga daerah terseebut harus selalu berorientasi pada
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian hubungan
berikut: 75
urusan daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terperinci secara
daerah tidak mengatur urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah
74
Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam
rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas
Sumatera Utara, Medan, hlm. 23.
75
Ibid, hlm. 24-25.
76
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 171-175.
Dari delapan patokan sistem rumah tangga diatas, dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Adanya partisipasi;
2. Urusan rumah tangga pada dasarnya milik asli dan bukan sesuatu yang
diberikan;
berprakarsa;
rumah tangga, baik bersifat asli maupun diberikan oleh pemerintahan atasan.
Selain itu, menunjukan bahwa desentralisasi yang ada dalam UUD RI 1945,
pelaksanaan urusan rumah tanggga daerah antara satu daerah dengan daerah
77
Ibid, hlm. 176.
78
Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from
India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International, hlm. 1.
otoritas daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu boleh saja dilakukan
menetapkan demikian. Pendelegasian kekuasaan ini bukan berarti tidak ada badan
dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat. Denga demikian, ada dua sifat
penting negara kesatuan, yaitu: (1) supremasi parlemen pusat, dan (2) tidak
pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan
gambaran umum tentang identitas negara kesatuan sebagai: (1) negara satu
negara, (2) negara satu kedaulatan, (3) negara satu wilayah/daerah, (4) negara satu
bangsa, (5) negara satu sistem hukum, dan (6) negara satu sistem pemerintahan. 81
79
CF. Strong, Op., Cit., hlm. 115.
80
Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 16-17.
81
Astim Riyanto, Op., Cit., hlm. 23.
kesatuan dibagi dua yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralistik dan
otonomi ini kekuasaan mutlak masih ada pada Pemerintah Pusat sehingga
hubungan antara pusat dan daerah terjelma dalam empat asas pokok sebagai
Pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi
hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dal;am permusyawaratan/perwakilan
atau dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara yang harus
terselenggara sampai ketingkat pemerintahan daerah. Kedua, bentuk
hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat)
daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengerus urusan-
urusan yang dinggap penting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara
pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang
lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Dan, keempat,
bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial daerah. 82
terhadap daerah, maka kekuasaan ini tidak dapat dijalankan oleh daerah secara
82
Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 170.
competence (otonomi luas) dan 2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola
Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pusat. 84
dalam kategori pola general competence, hal ini dapat dilihat pasca perubahan
Pasal 18 UUD RI 1945, yang sebelumnya hanya satu Pasal 18, kemudian
ditambah 2 (dua) pasal yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 UUD RI
1945, disebutkan:
83
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Yarsif
Watampone, hlm. 33.
84
Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-
suwandi-konsepsi-otda.pdf, hlm. 3, diakses pada 25 November 2013.
Dalam ayat (5) pasal tersebut jelas menunjukan negara Indonesia menganut
oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi
85
Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No.32 Tahun 2004, LN No.125 Tahun 2004,
TLN No. 4437.
Desa (UU No.6 Tahun 2014). 86 Kedua, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU No.22 Tahun 2014), 87
undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu No. 2 Tahun
86
Undang-Undang Desa, UU No.6 Tahun 2014, LN No.7 Tahun 2014, TLN No.5495.
87
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.22 Tahun 2014, LN
No.243 Tahun 2014, TLN No. 5586.
88
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
89
Undang-undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.1 Tahun 2015, LN No.23 Tahun 2015, TLN No. 5656.
90
Undang-undang Perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU
No.8 Tahun 2015, LN No.57 Tahun 2015, TLN No. 5678.
desentralisasi simetris. Berbeda, dengan substansi yang diatur dalam Pasal 18B
ayat (1) UUD RI 1945, yang mengakui adanya daerah istimewa atau khusus, yang
desentralisasi asimetris.
dikemukakan oleh Joachim Wehner, pemberian otonomi berbeda atas satu daerah
91
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Perpu No.2 Tahun 2014, LN No.246 Tahun
2014, TLN No. 5589.
92
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679.
negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang
ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut
arrangements. 93
tuntutan politik tertentu. Charles Tarlton, sebagai ahli politik yang pertama kali
desentralisasi simetris dengan asimetris adalah bahwa pola simetris ditandai oleh
political unit of the system to both to the system as a whole and to the other
unit politik yang terpisah dari sistem untuk kedua sistem secara keseluruhan dan
untuk unit komponen lainnya”). Adanya hubungan simetris antar setiap negara
93
dikutip dari, Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia,
Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10.
Sementara, dalam pola asimetris satu atau lebih unit pemerintahan lokal,
hubingan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit
menyimpulkan, yaitu:
”There are good reasons on both sides of the the asymmetry debate. Critics
are right to point out that a highly asymmetric federal division of powers
impeds democratic deliberation and participation, undermines federal
cohesion and violates a sense of shared and equal federal citezenship.
However, these arguments need to teke into account the specific context of
multinational democracies with a history of intercloking nation-building
projects. In such countries national identities can be neither fully shared
nor neutralized. The best explanation for the relative stability of
multinational federal democracies is not that national minorities have
eventually devoloped a second and overriding national identity that commits
them to respect the integrity of the larger polity, but that majorities and
minorities have developed common interest and identities as citizens of a
multilevel polity, in which all constituent units enjoy autonomy and in which
all citizens are directly represented in federal government”. (Kedua belah
pihak, [baik yang pro maupun yang kontra] terhadap [desentralisasi]
asimetris memiliki alasan-alasan yang kuat. Mereka yang kontra benar
ketika mengatakan bahwa pengalokasian kewenangan asimetris yang terlalu
tajam akan menghambat partisipasi demokratis, mengancam persatuan
94
Dikutip dari Robert Endi Jaweng, 2013, Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang
Menyisakan Sejumlah Catatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Desentralisasi Asimetris Solusi atau
Problem, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 107.
95
Ibid, hlm. 107-108.
tata kelola negara bangsa. Secara umum, realitas obyektif yang menjadi alasan
pertimbangan politis sebagai respon atas kebergaman atau tingkat perbedaan yang
96
Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat
Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 56-57.
otonomi khusus atau istimewa yang secara konstitusional didasarkan pada Pasal
Dalam konteks otonomi khusus Aceh dan juga sebagai daerah istimewa
daerah lain, namun secara umum dan prinsip pemberlakuan otonomi disebut
97
Robert Endi Jaweng, 2013, Op., Cit., hlm. 108-109.
98
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006,
TLN No. 4633.
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No.11 tahun 2006, berbunyi:
daerah antara daerah-daerah lain, yang berlaku otonomi biasa dan otonomi khusus
diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999 dan juga daerah khusus diatur dengan UU
dengan Provinsi Papua dan Papua Barat, serta DKI Jakarta yang hanya berstatus
diatur dalam UU No.11 Tahun 2006, antara lain: Pasal 7 ayat (2), yang memberi
oleh pemerintah dan pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan Aceh oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 9, berkaitan ikut serta pemerintah Aceh secara
langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. Pasal 75,
pembentukan partai politik lokal. Pasal 96, penduduk Aceh dapat membentuk
sama mengelola dan mengurus sumber daya alam minyak dan gas. Pasal 167,
pelabuhan bebas Sabang. Pasal 179 dan Pasal 183, pemerintahan Aceh mendapat
penerimaan dana otonomi khusus. Pasal 228 dan Pasal 229, pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan
menyatakan: 99
diatur melalui qanun. Sebagian lainnya, juga diatur dengan PP, 100 Perpres 101 dan
Keputusan Presiden (Keppres) 102 yaitu, sembilan PP, tiga Perpres dan dua
Keppres. Pengaturan dalam bentuk PP dan Perpres hal ini dikarenakan sebagian
maka dapat dibentuk oleh Pemerintahan Aceh tanpa menunggu PP atau Perpres
99
Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta, Perca,
hlm. 69.
100
Pasal 4 ayat (5), Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 53 ayat (4), Pasal 55 ayat (6), Pasal
95, Pasal 107, Pasal 124, Pasal 160, dan Pasal 251.
101
Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (4), dan Pasal 253 ayat (3).
102
Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 103 ayat (3).
untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan
bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya;
suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. 103
Menurut Peter Harris dan Ben Reilly, melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-
wilayah tertentu di dalam suatu negara diberikan kewenangan khusus yang tidak
adalah:
103
Ibid.
104
Dikutip dari Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat
Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga,
Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap
Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf,
diakses pada 25 Desember 2013.
otonomi, yaitu otonomi asimetris dan otonomi yang berlaku umum; ketiga,
definisi tersebut dikembangkan dari perspektif kelompok etnis atau wilayah yang
(otonomi asimetris), atau dalam NKRI dikenal dengan otonomi khusus atau
daerah istimewa tidak keluar dari prinsip dasar negara kesatuan dan tidak
105
Ibid, hlm. 53-54.
106
Ibid.
dan ekonomi.
diperhatikan. 107
Pasal 2 dan Pasal 143 konstitusinya (Spanish Constitution of 1978), yang sudah
memerintah dirinya sendiri, tekanan untuk pemisahan diri berkurang dan kegiatan
107
Ibid, hlm. 55.
108
Amrizal J. Prang, 2010, Jika Self-Government (Aceh) Diatur Konstitusi, Opini, Serambi
Indonesia, 4 Februari 2010.
perbedaan level kekuasaan dan tanggung jawab. Untuk Basque Country, Catalonia
nationalities”.110
Indonesia yaitu karena faktor konflik. Dalam hal ini sebagaimana diberikan
kepada provinsi Mindanao. Semenjak kejatuhan Presiden Marcos tahun 1986 dan
digantikan oleh rezim demokratis dibawah Presiden Arroyo, lahir konstitusi baru
lebih menguat lagi semenjak tahun 1991 dengan lahirnya Local Government Code
Smoke. 111
seperempat abad, berkurang setelah kesepakatan pada tahun 1996 antara Front
109
Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah
Pilihan untuk Negosiator, terjemahan, Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for
Negotiators, Ameepro, Jakarta, hlm. 160.
110
Amrizal J. Prang, 2010, Op., Cit.
111
Tri Widodo W. Utomo, 2014, Implementasi Dekonsentrasi di Negara Kesatuan:
Pengalaman internasional, Jurnal Borneo Administrator, Volume 10, No. 1 Tahun 2014, hlm.
101.
kaum muslim Filipina), diikuti plebisit dan otonomi regional tiga tahun
sesudahnya. 112
Provinsi Mindanao di Filipina ini, juga diberi kewenangan untuk boleh memiliki
bendera sendiri, bahasa, partai politik lokal, polisi lokal, dan bagi hasil sumber-
sumber pendapatan yang lebih besar. 113 Hukum adat dan hukum syariah juga
merupakan bagian dari sistem hukum Filipina. Hukum Syariah mengakui sistem
hukum dari masyarakat Muslim di Filipina sebagai bagian dari Hukum Tanah dan
Muslim. Pengadilan syariah juga telah didirikan untuk tujuan ini. 114
yang diberikan NKRI kepada Pemerintahan Aceh, baik yang diatur dalam Pasal 3
112
Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Op., Cit., hlm. 161.
113
Djohermasyah Djohan, 2010, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal Sekretariat
Negara RI, Nomor 15 Februari 2010, hlm. 122.
114
Marcus Colchester dan Sophie Chao, 2012, Beragam Jalur Menuju Keadilan:
Pluralisme Hukum dan Hak-hak Masyarakat Adat di Asia Tenggara, Ed., Epistema Institute,
Jakarta, hlm. 65-66.
lain: kewenangan pembentukan partai politik lokal [Pasal 75]; pendapatan dana
otonomi khusus [Pasal 179 ayat (2) huruf c]; pendapatan tambahan dana bagi hasil
minyak dan gas bumi di Aceh [Pasal 181 ayat (3)]; memiliki bendera [Pasal 246
ayat (2)], lambang [Pasal 247]; dan himne Aceh (Pasal 248 ayat (2)]’
nasional. 115
menyerupai substansi dalam Pasal 18B ayat (2) UUD RI 1945, yaitu: “Negara
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
115
Ibid, hlm.68
dengan Filipina yang memberikan otonomi luas kepada unit pemerintahan daerah,
baik pada level provinsi maupun level kabupaten dan kota. Proses amandemen
(Marcos di Filipina tahun 1986, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998). Hasilnya,
lahirlah konstitusi baru tahun 1987 di Filipina dan UUD RI 1945 hasil empat kali
secara total, termasuk menata ulang hubungan antara pusat dengan daerah. Itulah
tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada seluruh tingkatan. 116 Selain
merupakan bekas koloni China dan Inggris ini, dalam bentuk self government,
(SAR), yang menggunakan konsep “One Country, Two System”. Konsep yang
merupakan perwujudan dari kompromi politik antara China dan Inggris. Di mana
116
Tri Widodo W. Utomo, 2014, Op., Cit., hlm. 104.
China. 117
kehendak Beijing;
(China Airline);
adat-istiadat;
ketertiban;
China;
117
Dikutip dari Yusra Habib Abdul Gani, 2009, Self-Government, Studi Perbandingan
tentang Desain Administrasi Negara, Paramedia Press, Jakarta, hlm. 71-72
9. Mata uang yang beredar dan dipakai sebagai alat transaksi perdagangan
No.11 Tahun 2006, terdapat beberapa hal yang relatif sama. Misalnya, dasar
118
Ibid, hlm. 73-74
119
Ibid, hlm. 74.
NKRI. Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan. 120 Sementara,
pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil atau besar,
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”. 121 Artinya,
prinsip dasar hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah adalah adanya
Bahwa salah satu dasar hubungan antara pusat dengan daerah dalam
kerangka desentralisasi adalah permusyawaratan. Sebagaimana, sila ke-
empat Pancasila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawaratan/perwakilan. Salah satu ciri pokok paham kerakyatan
menurut UUD RI 1945, terdapat kemungkinan antara lain bahwa paham
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan tersebut dijalankan
atau dilaksanakan melalui “permusyawaratan” atau melalui “perwakilan”.
Sehingga, terdapat tiga unsur kerakyatan yang tercantum dalam dasar negara
120
Bagir Manan, Loc., Cit., hlm. 166.
121
Ibid. lihat juga, Kaelan, Problem Epistemologis, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara,
Paradigma, Yogyakarta, hlm. 231-232.
dengan Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006,
bukanlah suatu hal yang bertentangan dengan Pancasila, UUD RI 1945, maupun
gubernur Aceh”, yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006.
atas, bahwa merupakan kongkretisasi dari asas hukum. Dalam konteks ini, jika
mengacu pada Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, yang mengakui satuan daerah
khusus atau istimewa, maka asas hukum yang mendasari pembentukan UU No.11
Tahun 2006 adalah asas hukum, lex superiore derógate legi inferior (peraturan
yang tinggi dapat mengalahkan peraturan yang rendah) dan lex specialist derógate
legi generalis (peraturan yang khusus dapat mengalahkan peraturan yang umum).
122
Ibid, hlm. 161-162.
diawali dari asas hukum, yang bersifat abstrak, umum, dan mendasar, selanjutnya
peraturan hukum kongkret. Jadi hukum itu direalisasikan dalam empat tahap,
yurisprudensi. 123
bersifat umum dan mendasari atau yang terdapat di dalam atau belakang
aturan hukum (rechtsregel), di mana aturan hukum memiliki isi yang kongkret,
yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan hukum dapat diterapkan langsung.
Berbeda dengan asas hukum dalam penemuan hukum memiliki daya kerja secara
123
Sudikno Mertokusumo, 2012, Op., Cit., hlm. 45.
124
JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam
Teori Hukum, terjemahan Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm.119-120.
125
Ibid, hlm.125. Lihat juga, I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika
Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 82.
dalam kaidah-kaidah dari hukum positif dan penerapannya. 126 Mengutip pendapat
Asas hukum menurut Van der Vlies, dalam proses pembentukan dan
2006, mengacu pada asas-asas materiil dan asas otonomi dan taat asas, yaitu asas
peraturan yang rendah), maka masih sesuai atau sinkron dengan Pasal 18B ayat
(1) UUD RI 1945. Di mana mengakui adanya satuan daerah khusus atau istimewa.
Sementara, provinsi Aceh merupakan salah satu daerah khusus dan istimewa.
Pada umumnya, asas hukum memiliki ruang lingkup yang umum, yang
berarti bahwa asas hukum dapat berlaku dalam berbagai situasi, tidak hanya
berlaku atau ditujukan untuk peristiwa atau situasi tertentu atau khusus saja. 130
Akibat asas hukum yang bersifat umum yang berarti dapat berlaku dalam berbagai
1945 RI, berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
129
Ibid, hlm. 85.
130
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 46.
131
Ibid, hlm. 46-47
hukumnya luwes, fleksibel dan supel. Asas hukum juga tidak dapat diterapkan
aturan hukum adalah aturan yang selalu dapat atau tidak dapat dipatuhi…..”. 133
Begitu juga, berkaitan dengan isi (substansi) antara aturan hukum dan asas
Aturan hukum bukan saja memiliki isi yang kongkret dan dapat diterapkan
secara langsung, tetapi lebih dari tu, bahwa memiliki sifat “semua atau tidak
sama sekali” (alles of niets). Maksudnya, jika dalam suatu kejadian tertentu
telah menemukan aturan hukum yang dapat diterapkan atasnya, maka aturan
hukum itu memaksakan suatu keputusan tertentu. Aturan hukum tersebut
tidak membuka kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan terdapat
suatu aturan hukum lain yang dapat diterapkan terhadap kejadian itu. Untuk
setiap kejadian hanya terdapat suatu aturan hukum yang dapat diterapkan,
yang menutup bagi aturan hukum lainnya. Sementara, asas hukum tidak
memiliki sifat “semua atau tidak” (alles of niet). Seringkali terhadap
kejadian yang sama dapat diterapkan berbagai asas hukum, yang semuanya
memainkan peranan pada interpretasi aturan-aturan yang dapat diterapkan.
Dalam hal itu maka harus ditimbang-timbang asas hukum yang mana yang
memiliki bobot yang paling besar (relevan). Sejumlah asas hukum pada
waktu yang bersamaan masing-masing dengan bobot yang berbeda-beda
memberikan sumbangan pada petapan keputusan dalam suatu kejadian
132
. Ibid.
133
JJ. H. Bruggink, 2011, Op., Cit., hlm.121.
alles of niets, sebagaimana aturan hukum. Bahwa dalam hal suatu perkara
keberadaan asas hukum antara satu dengan yang lainnya memperoleh bobot lebih
banyak, dalam arti itu maka asas-asas hukum lainnya itu dikecualikan
bahwa peraturan hukum juga mengenal hierarki, berbeda dengan asas hukum
Sehingga, asas hukum tidak mengenal konflik satu sama lain. Walaupun berbeda
atau bertentangan satu sama lain, keduanya dapat eksis secara berdampingan,
tanpa mengalahkan atau meniadakan yang lain. Dua asas hukum yang berbeda
atau bahkan bertentangan satu sama lain, keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi
membutuhkan satu sama lain yang merupakan suatu antinomi. 136Asas pacta sunt
servanda dan asas kebebasan berkontrak, kemudian asas keadilan dan asas
legalitas pada dasarnya keduanya saling bertentangan, tetapi dapat eksis secara
berdampingan dan dapat berlaku dalam segala situasi. 137 Sedangkan, peraturan
membuka peluang terjadinya konflik. Kalau terjadi konflik antara antara peraturan
134
Ibid, hlm. 127.
135
Ibid, hlm. 128-129.
136
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Keempat, Antinomi didefinisikan,
yaitu kenyataan yang kontroversi; pertentangan antara dua ayat dalam undang-undang, hlm. 76.
137
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 48.
asas hukum yang bersifat umum jika diterapkan pada suatu perkara tertentu,
seperti keberlakuan UU No.11 Tahun 2006, pembentukan Qanun Aceh, dan juga
Aceh dapat diterapakan berbagai asas hukum, sesuai peranan dan bobotnya serta
asas yang berbeda atau bertentangan, namun dapat eksis berdampingan sebagai
Pemerintah Pusat di Aceh, dapat digunakan asas hukum lex specialist derógate
legi generalist (peraturan yang khusus dapat mengalahkan peraturan yang umum).
Asas ini berkaitan kepastian hukum, bila ada beberapa atau sekurang-
umum harus dikesampingkan. 139 Selain itu, juga ada asas lex posteriore derógate
138
Ibid, hlm. 50.
139
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 52.
Jika melihat kedua asas ini pada prinsipnya dapat juga saling bertentangan.
sebaliknya ada lex posteriore, tetapi bisa juga peraturannya bersifat umum.
Misalnya, UU No.11 Tahun 2006 sebagai lex specialist yang dibentuk pada 1
Agustus 2006 dan UU No.23 Tahun 2014 sebagai lex posteriore, dibentuk pada
30 September 2014 dan diubah pada 18 Maret 2015. Oleh karenanya, meskipun
antara UU No.11 Tahun 2006 dan UU No.23 Tahun 2014 substansinya saling
No.11 Tahun 2006 dan UU No.23 Tahun 2014, berdasarkan pandangan Dworkin
undangan yang berkaitan lainnya dapat eksis secara berdampingan dan dapat
diberlakukan di Aceh. Dalam hal yang sudah diatur secara khusus dalam UU
No.11 Tahun 2006 sebagai undang-undang khusus, maka yang berlaku substansi
Tahun 2006 maka berlaku substansi yang diatur UU No.23 Tahun 2014 atau
hukum juga bersifat alles of niets, maka yang berlaku asas-asas hukum yang
memiliki bobot yang lebih besar, maka di sini ada dua asas hukum yang memiliki
140
Ibid.
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945. Selanjutnya,
asas hukum lex specialist derogate legi generalist. Oleh karena itu, keberadaan
Berdasarkan asas hukum tersebut dalam Ketentuan Penutup, Pasal 269 ayat
Begitu juga, dalam Ketentuan Lain-lain, Pasal 399 UU No.23 Tahun 2014,
Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara
Daerah tersebut.
Mian Khursid A. Nasim yang dikutp Jimly Asshiddiqie, ada empat kategori
yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya, yaitu hanya
berlaku bagi subjek hukum tertentu. Artinya, UU No.11 Tahun 2006 mengatur
diatur dalam UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2006, tetapi
141
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 18.
142
Peraturan perundang-undang yang dimaksud meliputi Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Sementara, dalam konteks pengawasan Pasal 218 ayat (1) UU No.23 Tahun
akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Bila hal ini terjadi, pengawasan bukan
pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. 143
daerah. 144
Jika mengacu kepada pelaksanaan pengawasan, menurut Pasal 218 ayat (1)
substansi pasal tersebut dengan Pasal 24A Ayat (1) UUD RI 1945, disebutkan:
143
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 181.
144
Ibid, hlm. 182-191 dan Hanif Nurcholis, Op., Cit., hlm. 195-196.
145
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun
2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
materi atau substansi dalam UU No.32 Tahun 2004, sekarang diganti dengan UU
yaitu:
146
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 33.
147
Ibid, hlm. 34-35.
gezag) adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik,
berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan
bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
148
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008, Edisi Keempat, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm.1560.
149
Prajudi Atmosudirjo, 1983, Op., Cit., hlm. 73.
Negara dan Hukum Administrasi Negara. Sehingga, F.A.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
150
Dikutip dari Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan
Ketujuh. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 99.
151
Ibid.
152
Ibid.
pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau
secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. 153
Oleh sebab itu, pengertian atribusi dan delegasi adalah alat-alat membantu
untuk memeriksa apakah suatu badan berwenang atau tidak. Pemikiran negara
memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, maka
153
Ibid, hlm. 101
154
Ibid, hlm. 102.
155
Philipus M. Hadjon, et.al., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cetakan
ketujuh, Gajahmada University Press, Yogyakarta, hlm. 130.
yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus, berlaku desentralisasi asimetris maka
hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip
dalam negara hukum, tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. 156 Untuk
itu, perlu adanya kejelasan pengaturan peraturan hukum (kepastian hukum), dalam
peraturan pelaksanaan UU No.11 Tahun 2006, baik dalam bentuk PP, Perpres,
hak, kewajiban dan status seseorang atau badan hukum, yang mana dapat
kewajibannya.” 157
Sebaliknya, kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, jika: 158
156
Ridwan, HR, 2011,Op., Cit., hlm. 105.
157
M. Solly Lubis, 2011, Serba-serbi Politik dan Hukum, Edisi 2, Sofmedia, Jakarta, hlm.
54.
158
Ibid, hlm. 55.
Oleh karena itu, disini teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan
delegatif yang diperintahkan oleh UU No.11 Tahun 2006 kepada Gubernur Aceh.
2. Kerangka Konsepsi
tertentu. 159 Kerangka konsepsional akan menjadi batasan dan petunjuk dalam
berpengaruh pada bahan-bahan yang akan digunakan, data yang dicari, teori yang
dirujuk hingga metode yang akan digunakan. 160 Sementara, menurut Solly Lubis,
159
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan
Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 47-48.
160
Mukti Fajar daan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka pelajar, Yogyakarta, hlm. 74.
beberapa konsep dasar guna untuk menyamakan persepsi, akan dijelaskan dalam
161
Solly Lubis, 2012, Op., Cit., hlm. 129.
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, seperti
kekuasaan pemerintahan.
TABEL 1:
SKEMA: KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN
LANGSUNG DENGAN PEMERINTAHAN ACEH
1
PARADIGMA
Pancasila, UUD 1945, UU. No.44 Tahun 1999, UU No.
No.11 Tahun 2006, UU No.23 tahun 2014 dan Perpres
No.75 Tahun 2008
2 3
SIKON : INTERAKSI POTENSI :
1. Sistem Hukum berlaku 1. Memorandum of
secara nasional Understanding
2. Pemberlakuan sebagai Wawasan/Dasar pemikiran hubungan (MoU) Helsinki
daerah khusus dan pemerintah pusat dan daerah dalam 2. Adanya perangkat
istimewa 4 konteks otonomi khusus mengenai peraturan yang
3. Banyak perbedaan konsultasi Pemerintah pusat dengan bersifat nasional
substansi norma hukum Gubernur terhadap kebijakan dan khusus
antara UU Khusus administratif. 3. Kesadaran hukum
dengan UU Umum masyarakat.
4. Kurangnya pemahaman 4. Adanya dukungan
masyarakat, terhadap 5 politik Pemerintah
kekhususan Aceh. Kebijakan politik hukum sebagai terhadap
5. Kurangnya sosialisasi dasar politis untuk menampung kekhususan Aceh
terhadap eksistensi UU aspirasi daerah khusus
No.11 Tahun 2006.
VISI – TUJUAN :
9a 1. Terwujudnya kesepakatan dan keserasian antara Pemerintah pusat dengan 9b
Pemerintahan Aceh terhadap implementasi kebijakan administrasi di Aceh.
2. Terciptanya kepastian hukum, rasa keadilan dan memberi kemanfaatan
Umpan balik Umpan balik
(feedback) hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan Aceh, berdasarkan UUD RI (feedback)
1945 dan Pancasila
Interaksi antara tiga faktor, yaitu Pertama, Paradigma, [kotak 1], sebagai
landasan filosofis, sila keempat, yaitu “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
mempertimbangkan situasi dan kondisi (Sikon) [kotak 2], antara lain, sistem
yang bersifat nasional dan khusus, kesadaran hukum masyarakat, dan adanya
atau doktrin politik, yang akan mendasari perumusan garis politik hukum (legal
policy), hubungan Pemerintah Pusat dan daerah dalam konteks otonomi khusus
administratif [kotak 7]. Terakhir, dari interkasi ini akan menghasilkan suatu visi
dan tujuan [kotak 8], yaitu 1) Terwujudnya kesepakatan dan keserasian antara
akan dilakukan monitoring dan evaluasi sebagai umpan balik (feedback) dalam
F. Asumsi
informasi yang ada dan dapat diterima, sehingga tidak diragukan lagi
162
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Op., Cit., hlm. 41
Aceh.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan otonomi daerah dan
2. Sifat Penelitian.
praktek dari sistem pemerintahan daerah yang berkaitan dengan otonomi daerah
3. Pendekatan Penelitian
hubungan dengan orang yang akan diteliti atau metode-metode untuk mencapai
paut dengan isu hukum yang ditangani. 163 Dalam hal ini, meliputi asas-asas,
(otonomi daerah), antara lain, UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014,
UU No.11 Tahun 2006, Perpres No. 75 Tahun 2008, materi muatannya, dasar
ontologis, ratio legis adanya UU No.11 Tahun 2006 dan ketentuan mengenai
Aceh dan sinkronisasi UU No.11 Tahun 2006, UU No.23 Tahun 2014 dan UUD
RI 1945.
163
Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17-18. Lihat juga, Peter Mahmud
Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ketujuh, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm 96-104.
lembaga hukum dari waktu ke waktu, di mana juga dapat memahami perubahan
dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum. 165 Dalam hal ini
dan b) perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. 166 Dalam hal ini,
Tahun 2006 dan dasar konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan
Aceh.
4. Sumber Data
Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian disertasi ini
adalah data sekunder, dalam hal ini dibagi 3 (tiga) bagian yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu 1) norma atau kaedah dasar, yaitu pembukaan
UUD 1945; 2) peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945; 3) peraturan
164
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke-14, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 88., dan Salim, HS dan Erlies
Septiana Nurbani, 2013, Op., Cit., hlm. 18.
165
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Op., Cit, hlm. 126.
166
Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Op., Cit., hlm. 18.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang akan memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
diteliti, maka penelitian ini mengunakan studi dokumen yaitu mencakup: bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam studi
167
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Op., Cit., hlm. 31-32. Lihat juga Runtung, 2012,
Metode Penelusuran Literatur dan Penulisan Hukum, Bahan Kuliah pada Program Doktor
Universitas Sumatera Utara, 17 Februari 2012.
168
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Op., Cit., hlm.29.
169
Ibid., hlm. 33
Untuk menjelaskan suatu data yang tepat dan jelas maka perlu dilakukan
analisis dan ditafsirkan secara normatif, logis dan sistematis. Untuk menganalisis
data 170 dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, di analisis dengan metode
yang berkaitan dengan rumusan masalah yang diuraikan sebelumnya dan dapat
H. Sistematika Penulisan
masalah, asumsi, kerangka teori digunakan sebagai pisau analisis dan kerangka
170
Bambang Waluyo, mengatakan bahwa terhadap data yang sudah terkumpul dapat
dilakukan analisis kualitatif apabila : (1) data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang
dapat dilakukan pengukurannya, (2) data tersebut sukar diukur dengan angka, (3) hubungan antara
variabel tidak jelas, (4) sampel lebih bersifat non probabilitas, (5) pengumpulan data menggunakan
pedoman wawancara dan pengamatan, (6) penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan, Lebih
lanjut lihat Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 77-78.
dengan Pemerintahan Aceh, yang berisikan: sejarah masa kerajaan Aceh; Aceh
Pemerintahan Aceh.
BAB II
DASAR PENGATURAN KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN
GUBERNUR TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF
PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH
dengan masa kini dan menunjukkan jalan ke masa depan. Bila kita melihat ke
sejarah Aceh akan tampak kepada kita betapa agama amat berpengaruh dalam
kehidupan orang-orang Aceh. 171 Aceh termasuk dalam lingkungan rumpun bangsa
Melayu, yaitu bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut),
Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari Tanah
dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus
dan Gangga. Mungkin juga, orang Batak/Karo berhubungan erat dengan bangsa
171
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 267.
172
H.M. Zainuddin, 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan,
hlm. 15.
membagi golongan rakyat Aceh berdasarkan asal-usul dinamai kaum atau sukee.
Orang-orang suku Hindu yang datang, membentuk empat kesatuan dan berdiam
(bermukim) di wilayah Tanoh Abee, Lam Leu’ot, Pantja, Montasik dan Lam Nga.
(penulis: sekarang semua daerah tersebut masuk wilayah Aceh Besar). Orang-
orang yang berasal dari suku Batak/Karo membentuk kaum Lhee Reutoih (kaum
tiga ratus), dari suku Hindu Keling (Dagang) kaum Imeum peut (Imam empat) dan
orang-orang asing lain: Arab, Parsi, Turki, dan lain-lain, membentuk kaum Tok
Batee (cukup batu). Keluarga Sulthan termasuk dalam suku Tok Batee.
Selanjutnya, barulah terbentuk kaum Dja Sandang yang berasal dari campuran
(peranakan) suku Hindu dan Batak Karee. Pengikutnya, memeluk agama Islam,
dikepalai oleh 4 (empat) orang (panglima kaum), yang bergelar imam. Merekalah
yang menjadi penanggung jawab dari 4 (empat) kaum itu, yang pada akhir abad
173
Ibid, hlm. 20.
174
Ibid. lihat juga, Muhammad Said, 1981, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Waspada,
Medan, hlm. 175-179; Snouck Hurgronje, 1985, Aceh di Mata Kolonialis, Terjemahan The
Achehnese, jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta, hlm. 56-59; Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Aceh
Pasca Konflik Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, Bandar Publishing, Banda Aceh, hlm. 76.
Imeum Peut ini merupakan kaum yang berpengaruh besar, sesudah itu
diikuti oleh kaum Lhee reutoih. Masa perang Aceh dengan kolonialis Portugis
istilah-istilah, seperti Kaum Lhee Reutoih, Dja Sandang, Tok Batee, dan Imeum
Peut, tidak dikenal dan tidak digunakan lagi di Aceh. Saat ini, yang masih dikenal
dan istilah yang digunakan di Aceh, misalnya untuk pimpinan kelompok adat
Sebagaimana, UU No.11 Tahun 2006, Qanun Aceh 178 Nomor 9 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (Qanun No.9 Tahun 2008),
dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat (Qanun No.10
Tahun 2008), berbunyi: a) Majelis Adat Aceh; 179 b) Imeum Mukim; 180 c) Imeum
175
Ibid.
176
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum
mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
177
Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan
dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri.
178
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
179
Majelis Adat Aceh adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang
struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.
180
Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim
h) Keujruen Blang; 186 i) Panglima Laot; 187 j) Pawang Glee/Uteun; 188 k) Petua
Lhee Sagoe), yang disebut Atjeh Rajeuk (Aceh Besar). Keberadaan kerajaan di
Ramni, sekarang Kampung Pandee. 192 Bahkan, saat itu Aceh menjadi salah satu
kerajaan di Sumatra Utara, yang awal-awal memeluk agama Islam, yaitu tahun
601H/1204M, 193 selain Pasai dan Peureulak yang telah lebih dulu memeluk agama
Islam. Setelah mangkat, diganti oleh anaknya Sulthan Ahmad Dakjat Sjah (633-
181
Imeum Chik adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-
kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan
syari’at Islam.
182
Keuchik adalah merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta
menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
183
Tuha Peut Gampong adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan
permusyawaratan gampong dan Tuha Peut Mukim adalah alat kelengkapan mukim yang berfungsi
memberi pertimbangan kepada imeum mukim.
184
Tuha Lapan adalah lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong yang berfungsi
membantu imeum mukim dan keuchik atau nama lain.
185
Imeum Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan masyarakat di
gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam.
186
Keujruen Blang adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha
persawahan.
187
Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang
pesisir dan kelautan.
188
Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur
adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.
189
Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang
pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan.
190
Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban,
keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.
191
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang
tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang
tidak dikelola oleh Pemerintah.
192
H.M. Zainuddin, 1961, Op., Cit., hlm. 392. Lihat juga, Muhammad Said, 1981, Op., Cit.,
hlm. 147.
193
Tan Ta Sen, 2010, Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas,
Jakarta, hlm. 209.
770H/1325M, tahta dipegang sendiri oleh Sulthan dan kawin dengan anak
Meurah (raja), kemudian mendirikan satu pekan (wilayah) baru, dinamai “Peukan
811H/1345-1408M). 195
dari luar Aceh tiga segi (Lhee Sagoe). Setelah menjadi Sulthan mendirikan istana
dari Ramni (Kampong Pandee) ke Darul Kamal. Sulthan memiliki tiga putra, 1)
Sulthan membagi kerajaan Aceh menjadi dua. Pertama, Darul Kamal diperintah
oleh putra sulungnya, Sulthan Muzaffar Sjah. Kedua, seberang Kroeeng Tjedaih
(Sungai Aceh sekarang) diperintah oleh putra kedua, Sulthan Munawar Sjah,
194
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 392.
195
Ibid
Setelah mangkat Sulthan Alaadin Inajat Johan Sjah, kerajaan Aceh dipegang
Sulthan Munawar Sjah, yaitu Sulthan Samsu Sjah. Dari perkawinan ini
melahirkan dua orang putra, yaitu: 1) Radja Ali, yang bergelar Sulthan Ali
Sulthan Muzaffar Sjah, diganti oleh menantunya Sulthan Sjamsu Sjah (885-
bangsa Portugis datang dan berperang dengan Aceh, yang berakhir kekelahan
Portugis dan lari ke Pasai (sekarang Aceh Utara dan Lhokseumawe). 197
Kemudian, kerajaan Aceh dipegang oleh putra Sulthan Sjamsu Sjah, yaitu
Kerajaan Aru (1525M). 198 Bahkan, pada bulan Mei 1521M, mengalahkan armada
Portugis, dipimpin Jorge de Brito di laut lepas. Ali Mughajat Sjah, dianggap
dari Sulthan Ali Mughajat Sjah. Tidak banyak perkembangan kerajaan masa
196
Ibid, hlm. 392-393.
197
Ibid, hlm. 393-394.
198
ibid
kerajaan direbut oleh adiknya, Sulthan Alaadin Riajat Sjah al-Qahhar. 199
(Pedir), Pasai (Pasee), Daja, dan Aru. Selanjutnya, membagi suku-suku (sukee) di
Islam dan politik dengan Sulthan Turki (Sulthan Salim), sehingga mendapat
bantuan alat-alat perang, seperti meriam, ahli-ahli membuat senjata, dan prajurit-
Pulau Kampai (Aru) dan Raja Muqal di Pariaman (Sumatera Barat). Kemudian,
menyerang negeri Semenanjung Malaka dari tahun 1537, 1541, dan 1551 M. 200
Kerajaan Aceh di bawah Sulthan Husen yang bergelar ‘Ali Riajat Sjah”
tidak berhasil. Dalam “Bustanus Salatin”, diceritakan masa ini datang seorang
ulama dari Mesir bermazhab Syafi’i bernama Syekh Mohammad Azahari atau
Syekh Nuruddin mengajarkan ilmu metafisika dan fiqah. Dilanjutkan oleh Sulthan
199
Anthony Reid, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra
hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Terjemahan, The Contest for North Sumatra Acheh, the
Nedherlands and Britain !858-1898, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 2. Lihat juga, Denys
Lombard, 2008, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terjemahan, Le
Sultanat d’Atjeh au Temps d’Iskandar Muda (1607-1636), Cetakan Ketiga, Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, hlm. 65; Lihat juga, M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 394-397; Lihat juga,
Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 157-172.
200
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 397-398. Lihat juga, Denys Lombard, 2008, Op.,
Cit., hlm. 65-67; Lihat juga, Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Op. Cit., hlm.77-78.
(dua) bulan, karena perilaku kejam dan tidak disukai oleh para ulama. Sulthan ke-
putra Sultan Abdullah, putra dari Sulthan Alaadin Riajat Sjah Al-Qahar. 201
Dilanjutkan oleh Sulthan Alauddin Mansjur Sjah ibnu Sulthan Ahmad dari
keturunan Aceh atau orang asing, yaitu bekas tawanan dan putera dari Sulthan
Ahmad dari negeri Perak (pen: Malaysia), meninggal dalam penyerangan Aceh ke
Perak. Dari perkawinan dengan putri Sulthan Aceh bernama Ghana, Sulthan
Mansjur diangkat menjadi raja di Aceh, beliau merupakan seorang alim dan
mengembangkan agama Islam. Pada 1582M datang dua orang ulama dari
Mekkah, Syekh Abdulchair (Abul-Kahhar) bin Syekh Ibnu Hajar, pengarang kitab
Syaiful-Qati’ yang berisi ajaran dogmatik, mistik, badi’, tauhid, dan ilmu fiqh.
Setelah mangkat, terjadi perebutan kerajaan oleh keturunan Mughajat Sjah yang
mengambil kembali haknya. Diambil alih oleh anak Raja Munawar Sjah yang
Belanda. Dilanjutkan oleh Sulthan Mahmud Sjah yang bergelar Sulthan Ali Riajat
Portugis kalah melawan Perkasa Alam dan mangkatnya Sulthan Ali Riajat
Syah, diangkatlah Perkasa Alam menjadi Raja dengan gelar Sulthan Iskandar
Syah hasil perkawinan dengan anak Raja Saidil Kamil, bernama Putri Ratna
kolonialis Portugis dari Sumatera dan Malaka. Menaklukkan negeri Aru (1612-
Melayu/Malaka. 205 Dalam penegakan hukum Sulthan Iskandar Muda dikenal adil,
sehingga membunuh anaknya sendiri yang bersalah secara hukum dan adat.
Sulthan Iskandar Muda. Pada masa Sulthan Iskandar Sani terjadi konflik antara
dua ulama besar Hamzah Fansuri, dituduh sebagai kaum Salik (mystic) dengan
203
Ibid., hlm. 401-404.
204
Ibid., 404-405; Lihat juga, Denys Lombard, 2008, Loc., Cit., hlm. 229-231.
205
Ibid; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 264-273; Denys Lombard, 2008, Loc.,
Cit., hlm. 134-138.
Selanjutnya, kerajaan Aceh di rebut oleh Puteri Seri Alam binti Iskandar
dan Abdul Rauf dari Singkil, yang sekarang bernama Teungku Syiah Kuala. Ratu
yang kedua memerintah kerajaan Aceh bernama Ratu Nurul Alam Nakiathuddin
Ratu Nurul Alam, mesjid Baitul Rahman dan istana beserta harta kerajaan
terbakar. Wilayah Aceh Besar dibagi dalam 3 (tiga) wilayah (sagoe), yaitu XXII
mukim, XXV mukim, dan XXVI mukim. 207 Selanjutnya, dipimpin Ratu
Berasal dari keturunan bangsa Arab dan masa kepemimpinan beliau tidak lama
dan mengundurkan diri karena desakan rakyat. Selama tiga bulan pasca
berasal dari Arab dan Ibunya saudara Ratu Kamalat Sjah. Tidak lama memerintah
206
Ibid.
207
Maksudnya adalah mukim tersebut dipimpin oleh Panglima dengan anggotanya
berjumlah 22 orang, 25 orang dan 26 orang,
208
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 406-408
Polem dari XXII mukim, sehingga Sulthan lari ke negeri Pidie. 209
berasal dari kampong Pahang, selama 20 (dua puluh) hari dan mangkat dalam
Syah, juga memerintah hanya beberapa minggu lalu diusir dari Aceh. Kemudian,
dipegang oleh Sulthan Alaadin Ahmad Sjah [Maharaja Lela Melayu] (1146-
merupakan keturunan Bugis, yang ada di Aceh, bernama Daeng Hadjie Ahmad,
anak Abdul Rahim, cucu Daeng Mansyur, mertua Sulthan Mahkota Alam.
Setelah, Sulthan Djamal al-Alam lari ke Pidie, beliau diangkat menjadi Sulthan
dan mempunyai anak-anaknya dari Gundik, yaitu: Potjut Oek, Potjut Sandang,
Alaaddin Ahmad Sjah ibnu Abdul Rahim. Setelah beberapa bulan memerintah,
datang Djamal al-Alam yang sudah lari ke Pidie, menentang dan merampas
kerajaan dari Sulthan, karena dianggap keturunan dari gundik. Sehingga, saat itu
Aceh diperintah oleh dua Raja, Potjut Oek memimpin dan berkedudukan di
209
Ibid., hlm. 409-410.
210
Ibid.
dimenangkan oleh Raja Potjut Oek dan dibantu oleh saudara-saudaranya. Sulthan
Alaadin Djohan Sjah (Potjut Oek), selain mempunyai beberapa isteri, juga
mempunyai isteri dari Asahan (pen: sekarang masuk wilayah Provinsi Sumatera
bin Potjut Oek (Alaadin Djohan Sjah). Dua tahun memerintah, muncul
pemberontakan dilakukan oleh Orang Kaya Maharaja Laboi dan Panglima Polem
dari XXII mukim. Lalu Sulthan diturunkan dari kerajaan dan diganti oleh Orang
Kaya Maharaja Laboi, dengan gelar Sulthan Badrul Alam Djohan Sjah. Namun,
memerintah selama 2 (dua) tahun 7 (tujuh) bulan, direbut kembali dan akhirnya
Sulthan dibunuh sekitar tahun 1772M. Setelah itu, diangkat kembali Sulthan
Alaadin Mahmud Sjah I, memerintah selama 6 (enam) tahun 7 (tujuh) bulan. 212
Pada tahun 1778M, dirampas kembali kerajaan oleh orang-orang dari XXII
mukim dan XXV mukim. Sehingga, diangkat menjadi Raja adalah Udah Nan Lela
yang bergelar Sulthan Sulaiman Sjah, namun hanya memerintah selama 2 (dua)
bulan. Kerajaan, berhasil direbut kembali oleh Sulthan Alaaddin Mahmud Sjah,
tetapi kerajaan tidak lagi aman dan selalu timbul konflik dan pemberontakan,
Tuanku Muhammad bin Sulthan Alaadin Mahmud Sjah, yang bergelar Sulthan
211
Ibid, hlm. 411-413.
212
Ibid., hlm. 414; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 437.
ini, mulai membangun hubungan dengan Sulthan Ibrahim dari Selangor. 213
Alaaddin Muhammad Sjah, yang bergelar Sulthan Alaaddin Djauhar Sjah (1217-
Sulthan Alaaddin Muhammad Sjah mangkat dan dipangku oleh ibu dan
pamannya, Tuanku Raja Tjut Zainal Abidin dari tahun 1767-1802M. Sehingga,
pada saat dewasa tahun 1802, Sulthan memerintah sendiri kerajaan Aceh.
Dalam tahun 1815, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh Hadji Ibrahim,
dibantu oleh orang-orang XXII mukim, dengan bantuan dana dari Said Hussain,
orang kaya dari Pulau Pinang, mengakibatkan Sulthan lari ke Pidie (Pedir) dan
dari Ratu Karmalat Diathuddin Sjah, dengan gelar Sulthan Saiful Alam,
memerintah sampai tahun 1819M. Sementara, Sulthan Alaaddin Djohar Sjah, dari
Pidie menggalang dukungan dan mencari bantuan pada pemerintah Inggris yang
ada di Pulau Pinang. 215 Dalam masa Sultan di Pidie, pada 22 April 1819 berhasil
Stamford Raffles, 216 sebagai wakil Inggris, antara Aceh dengan Inggris, yang
213
Ibid.
214
Ibid., hlm. 415-416.
215
Ibid
216
Saat itu, Stamford Raffles, sebagai “agen politiknya” Gubernur Jenderal Inggris, Lord
Minto di India, mengurus berkaitan dengan raja-raja Melayu di kepulauan Indonesia dan dia
dikenal sebagai Holland-Hater (pembenci Belanda).
pemerintah Inggris di Kalkuta dan Penang. 217 Selanjutnya, pada tahun 1824M
Akhirnya, Sulthan Alaaddin Djohar Sjah, kembali menjadi Raja pada tahun
kerajaan Aceh mengikat persahabatan dengan kerajaan Inggris dan membuat lagi
Tractaat London, pada 17 Maret 1824M, yaitu perjanjian Inggris dengan Belanda,
bahwa Belanda mengakui tidak akan menganggu kedaulatan kerajaan Aceh. 219
Djohar Alamsjah). Masa ini, Belanda terus melakukan subversif terhadap Aceh.
Setelah itu, di bawah kekuasaan Sulthan Alaiddin Sulaiman Ali Iskandar Sjah
217
Said Muhammad, 1981, Loc., Cit., hlm. 466-468.
218
Ibid. hlm. 493
219
H. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 415-416; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm.
468.
diantara sulthan Aceh, sesudah Sulthan Iskandar Muda, Sulthan Iskandar Sani,
dan Tadjul Alam. Setelah mangkat, Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansjur Sjah,
Dalam masa kesultanan ini, “Perjanjian Raffles” tahun 1819M dan tahun
1824M antara Inggris dan Aceh berakhir, meskipun tidak eksplisit dijelaskan oleh
Inggris. Hal ini dibuktikan ketika Inggris dan Belanda, pada tahun 1871M telah
termasuk Aceh. 221 Setelah 3 (tiga) tahun memerintah, Aceh diserang oleh
Belanda pada bulan Muharram 1290H/6 April 1873M. Akibat penyakit kolera,
Sulthan mangkat dan peperangan dengan Belanda terus berlanjut, pada 28 Januari
1874M istana Aceh berhasil direbut oleh Belanda. Meskipun, kerajaan saat itu
tidak ada lagi Sulthan, namun diurus oleh para Wazir, Ulee Balang (Hulu Balang),
dan Ulama. Hal ini, dikarenakan yang berhak menjadi raja Aceh adalah Tuanku
Muhammad Daud yang masih kecil, putera Tuanku Zainal Abidin, cucu Sulthan
Muhammad Said, bahwa para Panglima Sagi, yaitu Panglima Polem dari XXII
Mukim, Cut Lamreueng dari XXVI Mukim dan Cut Banta dari XXV Mukim,
bersepakat untuk memilih Tuanku Muhammad Daud Syah yang masih muda
220
Ibid, hlm. 417.
221
Ibid, hlm. 754; Anthony Reid, 2005, Loc.,Cit., hlm. 74.
222
H. Zainuddin,1961, Loc., Cit., hlm. 420-421.
Hasyim. 223
pada 21 Agustus 1907 di buang ke Ambon. Pada tahun 1918 dipindah ke Betawi
dan dimakamkan di Karet. 224 Sulthan Alaaddin Muhammad Daud Sjah II,
merupakan raja terakhir di Aceh. Pasca beliau, Kerajaan Aceh terus berperang
secara begerliya dengan Belanda, dipimpin oleh tokoh-tokoh Aceh dan ulama,
seperti Syekh Saman Di Tiro (Tgk Chik Ditiro), Panglima Polem, Teuku Umar,
223
Muhammad Said, 1985, Aceh Sepanjang Abad, jilid II, hlm. 40.
224
H. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 422-423.
225
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc. Cit., hlm. 246.
yang satu dikaryakan di Burma (Myanmar), dan menjadi cikal bakal Garuda
Pada tanggal 17 Maret 1949, Tengku Mansur selaku Wali Negara Sumatera
Timur, mengirim surat kepada Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo,
“Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada, sebab itu kita tidak bermaksud
untuk membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain karena kita disini adalah
bersemangat Republiken. Sebab itu juga, undangan dari Wali Negara
Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itulah
tidak kita balas. Di Aceh tidak terdapat salah paham sebagai diterangkan
oleh Belanda itu dengan Muktamar Sumateranya. Maksud Belanda ialah
hendak mendiktekan kepada dr. Mansur supaya menjalankan politik devide
et impera-nya lagi, sebab itu, kita menolak adanya Muktamar Sumatera
tersebut dan kita sendiri telah siap sedia menanti segala kemungkinan yang
bakal timbul dari sikap penolakan kita itu. Kita yakin bahwa mereka yang
telah menerima baik undangan dr. Mansur tersebut, bukanlah orang
Republiken, tetapi adalah kaki tangan dan budak kolonialisme Belanda yang
selama ini sudah diberi makan roti. Kesetiaan rakyat Aceh terhadap
Pemerintah Republik Indonesia bukan dibuat-buat serta diada-adakan, tetapi
kesetian yang tulus dan ikhlas keluar dari lubuk hati nurani dengan
perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat Aceh tahu pasti bahwa
226
Ibid.
sebuah keresidenan dan menjadi bahagian dari Provinsi Sumatera Utara dengan
Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan. Adanya Provinsi Sumatera Utara ini
pertahanan perlu memusatkan alat-alat kekuasaan sipil dan militer dibawah satu
Darurat Republik Indonesia, tanggal 16 Mei 1949 Nomor 21/Pem. PDRI, diangkat
Teungku M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer, yang sejak Agresi Belanda
pada 15 September 1949, Sumatera Utara dibagi atas dua Daerah Militer
Istimewa, yaitu Aceh, Langkat dan Tanah Karo, di bawah Gubernur Militer
Mayor Jenderal Tgk. M. Daud Beureueh, serta Tapanuli, Sumatera Timur Selatan
227
Ibid., hlm. 248; lihat juga, Nazaruddin Sjamsuddin, 1999, Revolusi di Serambi Mekah,
Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, hlm. 283; Lihat juga, M.
Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tgk. Daud Beureu-eh Dalam Pergelokan Aceh, Media Da’wah,
Jakarta, hlm. 43-49
228
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Op., Cit., hlm. 249-250.
provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli-Sumatera Timur Selatan. 229
Akibat tidak amannya wilayah Bukit Tinggi, lalu berpindah ke Aceh dan
Aceh, terdiri dari Tgk M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimeun, Hasan Ali,
Ayah (Abd.) Gani, Zaini Bakri, dan M. Nur El Ibrahimy, untuk menstimulasikan
provinsi Aceh yang otonom sesuai dengan janji Presiden Soekarno kepada Tgk.
Beureueh sebagai Gubernur, dibantu oleh Badan Pemerintah Daerah, terdiri dari
Orang Kaya Salamuddin, Ayah (Abd.) Gani, A.R. Hasyim dan M. Nur El
229
Ibid.
230
M. Nur El Ibrahimy, 2001, Op., Cit., hlm. 57-58.
Ketika para pejuang Aceh sedang diliputi rasa kebanggaan dan patriotisme
dibubarkan, di Aceh hanya akan ada satu brigade yang tunduk di bawah Divisi
Aceh, terutama di kalangan perwira dan prajurit serta kaum pejuang lainnya.
Semua unsur pemerintahan Aceh memohon dengan segala kerendahan hati agar
pemerintah pusat, dalam hal ini Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang
utusan dikirim kepada Nasution agar ia dapat bertindak lebih bijaksana. 232
yang merasa dirinya masih tetap Panglima Divisi, Kawilarang langsung memecat
Husin Yusuf. Akhirnya datang Kolonel Abimanyu ke Aceh, utusan MBAD yang
Jakarta, dan mengangkat Mayor Hasballah Haji sebagai Komandan Brigade. 233
231
Ibid.
232
Ibid
233
Hasan Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan
Bersabung untuk Kepentingan Daerah, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 125-126.
kenyataan baru ini. Mantan Panglima Divisi X Kolonel Husin Yusuf, mengatakan,
"Tindakan ini adalah suatu tamparan dan penghinaan yang merobek-robek dada
saya, dan saya akan bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri saya!
Air susu telah dibalas dengan tuba. Dengan diciutkannya Divisi Aceh menjadi
hanya suatu brigade, maka satu dari dua “bintang” – “bintang” lainnya adalah
kembali pihak Aceh menerima informasi bahwa provinsi Aceh yang telah
Perwakilan Daerah Aceh, tetapi malah saat itu tidak hadir. Sebaliknya, pada Maret
yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, Mr. Susanto Tirtoprojo untuk
234
Ibid.
235
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 251; lihat juga, Nazaruddin Sjamsuddin,
1990, Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm.
41.
mengatakan, "Setiap pintu telah kami ketok; setiap hati telah kami bujuk, tetapi
hasilnya nol koma nol”. Barangkali sudah takdir nama Aceh akan hilang dari
permukaan bumi," kata Hasan Sab sambil menangis terisak-isak. Mr. M. Rum
Sumatera Utara, sedangkan peraturan darurat Wakil Presiden RI, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara menyatakan Provinsi Aceh tidak sah. Setelah itu, pada 12 Agustus
putusan Dewan Menteri RIS itu, pada 14 Agustus 1950 dikeluarkan Peraturan
dibubarkan bukan pada masa Kabinet Natsir, melainkan pada masa Kabinet Halim
yang ditandatangani oleh Presiden Mr. Assaat dan Menteri Dalam Negeri, Mr.
236
Hasan Saleh., 1992, Op., Cit., hlm. 130
237
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 252.
dan Tapanuli. Setelah itu, dibentuk Kabinet Natsir pada 6 September 1950, salah
sebuah rombongan, antara lain: Menteri Dalam Negeri, Mr. Asaat, Menteri
238
M. Nur El Ibrahimy, Loc., Cit., hlm. 58.
239
M. Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 224.
240
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 252-253.
ke dalam Sumatera Utara. Setelah itu, datang Perdana Menteri Natsir, pada 22
Januari 1951, dengan tujuan yang sama untuk meyakinkan Aceh bergabung dalam
Setelah lebih dua tahun pasca pertemuan antara utusan Pemerintah Pusat
dengan pihak Aceh, pada 20 September 1953, Tgk M. Daud Beureueh atas nama
umat Islam Aceh memproklamasikan Daerah Aceh menjadi bagian dari Negara
Negara Islam Indonesia. 243 Susunan pemerintahan Darul Islam tersebut yaitu:
1. Aceh dan daerah sekitarnya merupakan daerah otonom yang luas, yang
2. Wilayah ini dipimpin oleh seorang Gubernur Sipil dan Militer, yang
241
Ibid, hlm. 253-255.
242
Ibid, hlm. 255.
243
Ibid, hlm. 255-256
Pemimpin Tertinggi Angkatan Perang NII yang berada di daerah Aceh dan
daerah sekitarnya.
5. Gubernur Sipil dan Militer, karena jabatannya menjadi Ketua Majelis Syura.
dengan kekuatan satu Divisi Besar, yang disebut Tentara Islam Indonesia
Sementara, dari pihak Aceh dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureueh, bekas
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, juga bekas Gubernur Aceh
244
M. Nur El-Ibrahimy, 2001, Loc., Cit., hlm. 3-4..
245
Ibid., hlm. 1.
sebagai Perdana Menteri. 246 Pada bulan Februari 1957, Syamaun Gaharu,
Selama empat tahun peristiwa tersebut, pada 8 April 1957 terjadi gencatan
senjata, yang dikenal dengan “Ikrar Lamteh” sampai tahun 1959. 248 Secara politik
1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103),
Aceh (KDMA) dan Muhammad Isa, Kepala Polisi. Sementara, dari pihak
NII/NBA diwakili oleh Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin. Dalam
memajukan Islam; 2) membangun Aceh dalam arti luas; dan, 3) berusaha sekuat
246
Amrizal J. Prang, 2012, Eksistensi Wali Nanggroe dalam Konteks Demokrasi Aceh,
dalam Demokrasi dalam Gugatan: Pengalaman Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, hlm. 267.
247
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 274.
248
M. Nur El-Ibrahimy, 2001, Loc., Cit., hlm. 197.
yang begitu besar ditawarkan kepada Aceh, bahkan berbeda dengan daerah-daerah
Perdana Menteri, Djuanda mengirim sebuah misi beranggota 30 (tiga puluh) orang
untuk berunding dengan Dewan Revolusi. Misi ini dipimpin oleh Wakil Perdana
Aceh. Perundingan yang dilakukan dari tanggal 25-26 Mei 1959, mewakili pihak
Dewan Revolusi diikuti 20 (dua puluh) orang, antara lain, Ayah Gani, Hasan
Ada dua naskah tuntutan dari pihak Dewan Revolusi. Pertama, menyangkut
status daerah, yang akan disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh Darussalam dan
249
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 275. Lihat juga, Hasan Saleh, 1992, Loc.,
Cit., hlm. 309-310. Lihat juga, M. Isa Sulaiman, 1997, Op. Cit., hlm. 373-375.
250
Ibid, hlm. 306.
251
Ibid, hlm. 308-309. Lihat juga, M. Isa Sulaiman, 1997, Loc. Cit., hlm. 415-416.
yang merupakan garis besar dari suatu hubungan yang bersifat federalis. Mereka
mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar
otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang
dan abolisi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam dilengkapi
rehabilitasi. Pemerintah Pusat secara tegas menolak usul Aceh diberi otonomi
luas. Misi Hardi mengatakan bahwa paling banyak ia hanya dapat memberikan
Swatantra Tk. I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, dengan catatan bahwa
Daerah. Hardi juga menyerahkan dana pembangunan kepada Aceh. 254 Mengakui
misinya tidak dapat secara resmi memberikan suatu pasal yang memberlakukan
252
Ibid, hlm. 310-312
253
Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi ini keberadaanya diakui pada saat dibentuk
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disebutkan dalam Penjelasannya, paragraf kesembilan, yaitu: “Salah satu
faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah
Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang
memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Bahkan, dalam undang-
undang ini menambahkan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
254
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc.. Cit., hlm. 417-418.
percaya bahwa status istimewa atau otonomi luas di bidang agama akan memberi
keagamaan, peradatan dan pendidikan, hingga bulan Oktober 1959 belum juga
disahkan dalam bentuk produk hukum yang lebih tinggi, baik dalam Penetapan
tanggal 28 Juli 1959, Dewan Revolusi mengirim surat secara berturut-turut kepada
Ketua Peperda I Aceh dan Gubernur Aceh memohon agar keputusan Missi itu
unsur syari’at Islam di Aceh kembali mendapat ruang. Musyawarah Alim Ulama
255
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 313.
256
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 426-427.
1966 dan Ali Hasjimy, pada tahun 1983. 258 Sejak itu proses penetapan
sangat lamban. Bahkan, Keputusan Hardi tersebut tidak pernah dibentuk oleh
Pemerintah Pusat dalam peraturan yang lebih tinggi baik dalam bentuk Penetapan
Menimbun Minuman Keras (Perda No.6 Tahun 1966); dan Perda Nomor 6 Tahun
Tetapi, Perda No.6 Tahun 1968 tersebut ditolak oleh Menteri Luar Negeri, Letjen.
257
Saat ini melalui Pasal 1 angka 16 UU No.11 Tahun 2006, Majelis Ulama kembali
berganti nama menjadi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah majelis yang anggotanya
terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan
DPRA.
258
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 467-477.
259
C.S.T. Kansil dan Christine ST. Kansil, 2002, Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 39.
Pusat terhadap Aceh, yaitu muncul kembali perlawanan dan pemberontakan baru.
Dilakukan oleh elemen yang bernama Aceh Merdeka (AM), yang berganti nama
AM/GAM ini dipimpin oleh Hasan Muhammad Ditiro, mantan Duta DI/TII dan
diproklamirkan pada 4 Deseember 1976, pada era Orde Baru, di bawah Presiden
Beureueh dan Hasan Tiro. Pertama, terkait dengan latar belakang pemberontakan,
dan kedua, terkait dengan tujuan pemberontakan. Daud Beureueh lebih banyak
Ditiro lebih dimotivasi oleh nasionalisme Aceh yang tumbuh sejak era kesultanan
260
Ahmad Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Naanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil
Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, hlm. 6.
261
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 478.
rakyat Aceh, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam. 262
yang tidak mendukung gerakan berideologi Islam di satu pihak, dan ada
faktor sosiologis yang muncul pada latar belakang sosial para elite GAM dari
generasi Darul Islam yang dipimpin oleh ulama ke generasi baru yang tidak
dikenal sebagai ulama, melainkan para sarjana merupakan anak-anak para ulama
Serikat, dan berbisnis di bidang perdagangan minyak, ternak dan perkapalan. Pada
tahun 1975, pulang ke Aceh dan bertemu dengan Gubernur Aceh, Muzakir Walad,
dengan Mobil Oil, perusahaan Amerika Serikat pengelola lahan gas alam di Aceh.
Tiro berpikir tidak ada gunanya berunding dengan Jakarta. Selanjutnya, mengajak
262
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.30-31.
263
Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Loc., Cit., hlm. 29-30.
East Asia Nation (ASEAN), PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan PT. Kertas
Kraft Aceh (KKA), perusahaan pulp dan kertas milik Bob Hasan, serta Mobil Oil
(DOM), terutama di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie. 265
Beureueh (DI/TII) dan Hasan Tiro (AM/GAM) tersebut telah berimplikasi buruk
tahun 1998 yang ditandai munculnya Orde Reformasi, telah mengubah kebijakan
terhadap konflik Aceh. Salah satunya, mencabut status DOM oleh Panglima
Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal Wiranto, pada 7 Agustus 1998 dan
meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM. Bahkan, Presiden
Habibie saat berkunjung ke Aceh, pada Maret 1999 meminta maaf atas apa yang
telah dilakukan oleh aparat keamanan. 266 Namun, pasca pencabutan DOM
264
Hari Kawilarang, 2008, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar
Publishing, Banda Aceh, hlm. 156-157.
265
Olle Tornquist, dkk., 2010, Aceh Peran Demokrasi Bagi perdamaian dan Rekonstruksi,
terjemahan dari Aceh: the Role of Democracy for Peace and Reconstruction, Edisi Kedua, PCD
Press Indonessia, hlm. 86.
266
Darmansjah Djumala, 2013, Op., Cit., hlm.38.
menurun bahkan dapat dikatakan semakin meluas hampir seluruh wilayah Aceh.
terhadap Aceh, oleh Presden BJ. Habibie memberi amnesti kepada sejumlah
tahanan politik yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak
yatim dan janda korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak
kepada Aceh di bidang pendidikan, agama, adat, dan peran ulama. Tetapi,
baru bagi Aceh, melainkan implementasi “janji politik” Pemerintah Pusat kepada
Aceh sejak Orde Lama, masa Presiden Soekarno yang sudah ditetapkan dalam
terlepas dari Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004. Sebagaimana, disebutkan dalam Butir ke-2 Bab
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan
nasional telah berubah dari unifikasi hukum 269 kepada pluralisme hukum.
269
Unifikasi hukum adalah upaya membuat suatu aturan hukum yang berlaku untuk
segenap negara dan segenap lapisan/golongan masyarakat untuk bidang-bidang yang
memungkinkan dilakukannya unifikasi.
270
Mahkamah Syar’iyah ini merupakan lembaga peradilan khusus di Aceh, yang sudah
dibentuk sejak diberlakukan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana Pasal 1 angka 7, disebutkan:
politik hukum kodifikasi masih tetap dilakukan. 271 Keistimewaan Aceh yang
masing-masing.
Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas
dari pengaruh dari pihak mana pun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
berlaku untuk pemeluk agama Islam.
271
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 114.
adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Sementara, Pasal
7, yaitu: Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang
1999, yaitu:
dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No.44 Tahun 1999, yaitu: Daerah
membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama, bersifat
Peraturan Daerah (Perda) 272 yaitu: Perda Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Perda Nomor 5 Tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, Perda Nomor 6 tahun 2000
1999, tidak mempengaruhi intensitas konflik bahkan semakin meluas. Hal ini
oleh Henry Dunant Center (HDC), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang
bermarkas di Jenewa, Swiss. Perundingan ini pada Mei 2000 menghasilkan Jeda
itu, Pemerintah dan DPR-RI sudah menyusun Rancangan UU No.18 Tahun 2001.
Namun, baru disahkan pada masa Presiden Megawati, pada 9 Agustus 2001
(UU No.18 Tahun 2001). Cakupan otonomi khusus Aceh dalam undang-undang
272
Semasa diberlakukan UU No.44 Tahun 1999, masih menggunakan nomenklatur
“Peraturan Daerah (Perda)”. Sedangkan, pasca UU No.18 Tahun 2001, nomenklatur Perda diganti
dengan Qanun. Sebagimana Pasal 1 angka 8, disebutkan: Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
273
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Op., Cit., hlm. 98-99.
274
Darmansjah Djumala, 2013, Loc., Cit., hlm. 133.
dan gas (migas) sebesar 70% (tujuh puluh persen), pertambangan umum 80%
Syar’iyah, dan lembaga Tuha Nanggroe dan Wali Nanggroe sebagai wujud
intensitas konflik dan tuntutan kemerdekaan Aceh oleh GAM, bahkan undang-
pandangan. Selanjutnya, HDC mengajak kembali kedua belah pihak, pada 17 Mei
syarat, yaitu GAM mengakui NKRI, menerima otonomi khusus, dan meletakkan
275
Ibid
Mei 2003, dilanjutkan Darurat Sipil (DS), pada 19 Mei 2004. 276
1. Kesepakatan Damai
berstatus DS, pada 26 Desember 2004 terjadi bencana maha dahsyat gempa dan
Implikasi bencana ini telah mengubah paradigma berpikir Pemerintah Pusat dan
Initiative (CMI) salah satu LSM di Finlandia, Helsinki dan diketuai oleh Martti
Sebagaimana, dikutip oleh Edward Aspinall, ”....President Ahtisaari and the CMI
276
Amrizal J. Prang, 2007, Aceh dari Konflik ke Damai, Bandar Publishing, Banda Aceh,
hlm. 12-13.
keberadaan MoU Helsinki. Salah satunya, politisi dari Partai Politik Demokrasi
embrio negara federal. Bahkan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Menurut Soetardjo, sejak awal DPR tidak setuju pertemuan dengan GAM
dilakukan di luar negeri karena persoalan Aceh masalah dalam negeri. Legislatif
pemantauan dari ASEAN dan Uni Eopa dalam proses perdamaian antara RI dan
GAM. Wakil Presiden, Yusuf Kalla meminta DPR agar jangan khawatir Aceh
277
Edward Aspinall, 2005, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in
Aceh, East-West Centre Washington, Washington, DC., hlm. 22.
278
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Proses Pembentukan Undang-undang
Pemerintahan Aceh, Jurnal Hukum Respublica, Volume. 6, Nomor 2 Tahun 2007, hlm. 194.
279
Ibid.
dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggar hak asasi
setelahnya. 280 Sementara, menurut Ismail Suny, nota kesepahaman, tidak lebih
diabaikan, maka akibat politiknya adalah bantuan tsunami tidak cair. 281 Dalam
HAM, Hamid Awaluddin, sebagai Ketua Delegasi dan pihak GAM diwakili Malik
Mahmud.
semestinya sebuah dialog harus menjadi bagian inti dari sebuah proses
perdamaian. Sebab jika tidak, seperti dalam kata-kata Daisaku Ikeda, ”menolak
dialog yang damai dan memilih kekerasan berarti berkompromi dan menyerah
MoU Helsinki (nota kesepahaman). Sempat muncul beberapa substansi dan istilah
280
Ibid, hlm. 194-195
281
Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
282
Dikutip dari Farid Husain, 2011, Keeping the Trust for Peace Kisah dan Kiat
Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Rajut Publishing, Jakarta, hlm. 17.
government” (pemerintahan sendiri)” dari pihak GAM dan otonomi khusus dari
”.........Here is clear that this discussion would take place within the
framework of special autonomy and not within the framework of
independence. I am convinced, that you came here after you all read this
invitation and the agenda. Consequently, you must have agreed to and
accepted these terms of reference before coming here......... Don’t try to
bring the independence agenda to this table. You will be just wasting my
time here. If you really desire independence, get up from the table, leave
and don’t ever come back here again. Except, before you go, I wish to
remind you that I will use all the influence I have in Europe and in the
international community so that you never get any international support.
What is for certain your dream and wishes for an independent Aceh will
never be realized. At least not while I am alive and not while you are
alive!.......” (“.....Di sini sudah jelas bahwa diskusi ini akan berlangsung
dalam kerangka otonomi khusus dan tidak dalam kerangka kemerdekaan.
Saya yakin, bahwa Anda datang ke sini setelah Anda semua membaca
undangan dan agenda ini. Konsekuensinya, Anda harus sepakat untuk
menerima istilah-istilah referensi ini sebelum datang ke sini...... Jangan
mencoba membawa agenda kemerdekaan ke meja ini. Anda hanya
membuang waktu saya di sini. Jika Anda benar-benar menginginkan
kemerdekaan, tinggalkan meja perundingan ini, dan jangan pernah kembali
ke sini. Selain itu, sebelum Anda pergi, saya ingin mengingatkan Anda
bahwa saya akan menggunakan semua pengaruh yang saya miliki di Eropa
dan masyarakat Internasional sehingga Anda tidak pernah mendapatkan
dukungan internasional. Apa yang Anda impikan dan inginkan untuk
”the principles are to be enshirned in the new law, although the agreement
MoU Helsinki. Bahkan, dalam UU No.11 Tahun 2006 juga tidak dinyatakan
dengan pengaturan dana otonomi khusus Aceh dan Pasal 269 ayat (2) UU No.11
yang berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi
283
Hamid Awaluddin, 2009, Peace in Aceh Notes on the Peace Process between the
Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki, Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 73-74.
284
Edward Aspinall, 2005, Op., Cit., hlm. 43.
keempat Kingsbury baru diizinkan untuk ikut dalam perundingan dan menjelaskan
the first time that GAM had ever indicated that it was prepared to accept anything
breakthrough, and it made all subsequent progress in the talkspossible. (Ini suatu
Dengan demikian, secara luas dipandang sebagai sebuah terobosan besar, dan itu
themselves. There is no intervention from the central government. All of this will
285
Hamid Awaluddin, 2009, Op., Cit., hlm. 103.
286
Dikutip dari Mangadar Situmorang, 2008, Memperluas Konstituen Bagi Kelestarian
Perdamaian di Aceh, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Volume 4 Nomor 2, September 2008,
hlm. 163.
287
Edward Aspinal, 2005, Loc., Cit., hlm. 18-19.
Aceh sendiri. Tidak ada intervensi dari Pemerintah Pusat. Semua ini akan
dilakukan dalam rangka demokrasi yang sejati). 288 Oleh karena itu, pasca MoU
Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 meskipun kedua istilah tersebut sering
disebut dalam perundingan baik Pemerintah dan GAM, namun secara eksplisit
tidak diperdapatkan di dalam MoU Helsinki dan dalam UU No.11 Tahun 2006.
Substansi disepakati dalam MoU Helsinki, terdiri dari 9 (sembilan) poin: 289
288
Ibid, hlm. 193.
289
Terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi Republik Indonesia dan GAM, teks
Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
dijalankan AMM.
pihak guna mencari solusi, yang mengikat kedua belah pihak. Jika
Aceh, maka perlu dibahas substansi MoU Helsinki, khususnya berkaitan poin 1
Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-
The new Law on the Governing of Aceh will be based on the following
principles:
Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh
legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang. (poin 1.1.3).
Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. (poin 1.1.4). Aceh
lambang dan himne. (poin 1.1.5). Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh
dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta
Sementara, dalam bentuk partisipasi politik, berisi antara lain: Tidak lebih
Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun,
atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan
menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di
Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud
dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku
bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia
(Bank Indonesia). (poin 1.3.1). Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak
melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik
investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh. (poin 1.3.2). Aceh akan
memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di
Selanjutnya, Aceh berhak menguasai 70% (tujuh puluh persen) hasil dari
semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan
laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. (1.3.5). Aceh akan menikmati
pajak, tarif ataupun hambatan lainnya. (poin 1.3.6). Aceh akan menikmati akses
langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.
dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan
eksekutif dan yudikatif. (poin 1.4.1). Legislatif Aceh akan merumuskan kembali
Civil and Political Right) dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
1.4.4). Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus
pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan
nasional yang berlaku. (poin 1.4.4). terakhir, semua kejahatan sipil yang dilakukan
aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. (poin 1.4.5).
oleh Pemerintah terkait dengan kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan
himne” (1.1.5). Menurut mantan juru runding Pemerintah dan GAM di Jenewa,
dan persetujuan legislatif Aceh, berarti DPR berada di bawah DPRD Aceh”. 290
Selama ini yang terjadi, DPR menyerap aspirasi bukan meminta persetujuan. 291
Selain itu, klausul pembentukan partai politik lokal (1.2.1). Penetapan suku
bunga hutang luar negeri berbeda dengan penetapan Bank Indonesia (1.3.1).
Penguasaan 70% (tujuh puluh persen) hasil hidrokarbon (migas) dan sumber daya
pengadilan HAM (2.2), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (2.3). Alokasi
Aceh bukan Gubernur dan tidak adanya penyebutan UUD RI 1945. Pergerakan
tanpa batas Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Pemerintah RI-GAM tidak
Bahkan muncul juga reaksi dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai
aktor paling penting dalam penangan konflik Aceh. Kepala Badan Intelejen
Negara (BIN), Syamsir Siregar, mengatakan MoU Helsinki adalah ”sasaran antara
GAM untuk mencapai kemerdekaan”. Ada dua alasan TNI bersikap keras
besar, begitu juga dengan perundingan damai Aceh. Kedua, terkait dengan politik
TNI itu sendiri. Sejak awal kemerdekaan adalah aktor politik yang turut
merdeka pada akhir tahun 2006. Bahkan, Menteri Pertahanan dan Keamanan
292
Tim Salemba Tengah, 2007, Mengawal Demokrasi Pengalaman Jaringan Demokrasi
Aceh dan RUUPA, Yappika, Jakarta, hlm. 84-85.
mengatakan semua pihak harusnya menaati MoU Helsinki karena jika melanggar,
menambahkan bahwa ”kita juga punya rambu-rambu negara kesatuan RI. 294
kegelisahan dikalangan masyarakat dan beberapa tokoh Aceh, antara lain, Mirwan
Amir, salah seorang anggota DPR berasal dari Aceh, mengatakan: ”saya tetap
Aceh.” Sementara, Nasir Djamil, yang juga anggota DPR mengatakan: ”suara-
suara dari DPR yang menghendaki agar perundingan dihentikan karena mereka
dukungan internasioanl, juga akan berdampak konflik kembali. Hal ini dibuktikan,
Di mana pada 1 Agustus 2006 disahkan oleh Presiden SBY menjadi UU No.11
Tahun 2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Pengesahan undang-undang ini
selain tidak sesuai dengan jadwal dalam MoU Helsinki, yaitu pada 31 Maret 2006
juga sebagian substansi MoU Helsinki tidak diadopsi dan mengalami perubahan.
yaitu:
No.11 Tahun 2006 adalah mengacu MoU Helsinki dan penyebutannya secara
Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran
yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta
bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal demikian adalah sebuah kemutlakan. Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan
kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya
menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal
yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik di Aceh secara berkelanjutan.
Tinggi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) –
Institusi inilah yang menyusun draft awal RUU Pemerintahan Aceh. 296
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
ulama, ormas, LSM/NGO, masyarakat sipil, dan GAM). Terakhir, keempat draf
296
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 197.
297
Ibid.
oleh Pelaksana tugas (Plt.) Gubernur NAD, Azwar Abubakar kepada Ketua
DPRD NAD, pada 19 Oktober 2005. Menurut Ketua Tim Penyusun, Prof. Dr.
No.44 Tahun 1999, UU No.37 Tahun 2000 tentang Perdagangan dan Pelabuhan
Bebas Sabang, dan UU No.18 Tahun 2001, serta UU pendukung lainnya. 298
dikombinasikan dengan draf versi Pemerintah Aceh dan dibahas di DPRD Aceh.
Sehingga menghasilkan satu draf RUU yang dianggap mewakili rakyat Aceh.
Ketua Umum Ishafuddin, Drs Tgk Ismail Yakob, dan Ketua MPU NAD, Dr Tgk
sebagai mitra pemerintah daerah dan DPRD. Keempat, zakat dan perjalanan haji
kepada teungku imeum 301 dan tuha peuet gampong, 302 perlu diberi kewenangan
menyelesaikan sengketa perdata dan pidana, yang terjadi dalam gampong (desa)
2006 versi Depdagri ini sudah melalui pembahasan yang melibatkan enam pakar.
Draf ini akan disandingkan dan disingkronkan dengan draf RUU yang disusun
301
Teungku Imeuem (Imeum Meunasah) adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan
masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan
syari’at Islam.
302
Tuha Peut Gampong adalah unsur pemerintahan gampong (desa) yang berfungsi sebagai
badan permusyawaratan gampong.
303
Farid Husain, 2011, Op., Cit., hlm. 198.
304
Ibid, hlm. 151.
dengan DPR. RUU- Pemerintahan Aceh yang disampaikan pemerintah terdiri atas
206 pasal dan 40 bab. Sebelumnya, pada awal Desember 2005, DPRD Aceh
mengirim draf usulan kepada pemerintah terdiri atas 209 pasal dan 38 bab. 306
Pemerintahan Aceh, sebagai Ketua, Fery Mursyidan Baldan, dari fraksi Golkar. 307
legislatif (legislative acts), yang dalam bahasa Belanda disebut wet, merupakan
produk peraturan yang melibatkan peran lembaga wakil rakyat baik sebagai
nasional yang dapat disebut sebagai legislator utama adalah DPR. Sementara
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang diatur Pasal 22D UUD RI 1945, disebut
305
Anon, 2006, Kontroversi Calon Independen di Aceh, Kompas, 2 Februari 2006 .
306
Anon, 2006, RUU Aceh Dijepit Waktu, Kompas, 28 Januari 2006.
307
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 200.
auxiliary organ terhadap fungsi legislatif, begitu juga dengan Pemerintah. 308
kekuasaan (separation of power) jelas mulai dianut oleh para perumus perubahan
UUD RI 1945, seperti tercermin dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20. Sebelumnya,
rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang ditafsirkan sebagai
MA, dan seterusnya. 309 Disinilah fungsi DPR begitu penting dalam pembentukan
Belakang Penyusunan RUU, Konsep Otonomi bagi Aceh, Proses dan Prinsip
308
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampone,
Jakarta, hlm. 28.
309
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, hlm. 11.
310
Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus RUU tentang Pemerintahan Aceh,
Jum'at, 24 Februari 2006,
judul dalam draf RUU usulan DPRD Provinsi NAD, yaitu RUU tentang
Pemerintahan Aceh. Di mana Mendagri, dalam penetapan judul antara lain, terkait
masyarakat Aceh melalui DPRD Provinsi NAD, adalah dalam rangka membangun
313
Ibid.
314
Ibid.
penundaan sidang. Pansus mengundang para pakar hukum dan politik, seperti,
Prof. Ismail Suny dari Universitas Indonesia, Prof. Sri Soemantri dari Universitas
Padjajaran, Prof. Ichlasul Amal dari Universitas Gajah Mada, dan Dr. Satya
kejanggalan dalam konsep NKRI, ada ketentuan bahwa keputusan pemerintah dan
DPR yang terkait dengan kepentingan khusus Aceh harus dilakukan dengan
fraksi di DPR menyelesaikan pembahasan DIM, mencapai 1.446 dan terdiri atas
empat jilid dengan tebal total 716 halaman. Ketua Pansus, Ferry Mursyidan
Baldan, mengakui DIM Pemerintahan Aceh (DIM PA) terhitung paling banyak
pemilihan umum yang dibahas tahun 2002 memuat 965 DIM. Sejumlah isu kritis
315
Ibid.
316
Anon, 2006, Ada Materi RUU-PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah. 317 Dari total 1.446 DIM, sebanyak 1.079
menyangkut soal substansi, yaitu 989 DIM soal usulan perubahan substansi, 90
mengenai usulan substansi baru. Selebihnya, yaitu 95 DIM tetap sesuai dengan
anggota Pansus DPR, sempat mendapat kritikan dari masyarakat. Akibat anggota
gratifikasi. Namun, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baaldan (Fraksi Golkar, Jawa
Barat II) menegaskan, amplop tersebut sudah dijelaskan dalam rapat internal
317
Anon, 2006, Tebal DIM RUU-PA 716 Halaman, Kompas, 28 Maret 2006.
318
Anon, 2006, 1.079 DIM RUU-PA Soal Substansi, Kompas, 8 April 2006.
319
Anon, 2006, Amplop untuk Anggota DPR Langgar Kode Etik, Kompas, 19 April 2006.
ada duplikasi penganggaran. Bantuan tersebut dianggap sebagai hak anggota. 320
qanun. Dengan itu, pengujian qanun adalah soal bertentangan atau tidaknya
salah satu kekhususan Aceh, sebagaimana pernah ada dalam UU No.18 Tahun
2001. Dinyatakan bahwa mengikuti asas lex specialis derogat legi generalis, dan
oleh elemen GAM, yang menilai hasil pembahasan telah melenceng dari MoU
Helsinki serta aspirasi rakyat Aceh. Menurut Teuku Kamaruzzaman dan Faisal
Putra, perwakilan GAM, menyatakan RUU harus sesuai dengan MoU secara
mutlak. Ada 10 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Judul, Pemerintahan
320
Ibid.
321
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 202.
dan Rekonsiliasi wajib dibentuk dalam batas setahun sejak pengesahan undang-
undang, dan 10) Peradilan sipil bagi militer yang melakukan kejahatan sipil. 322
antara DPR dan Presiden, pada 11 Juli 2006. Selanjutnya, 1 Agustus 2006
2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal dan dimasukan dalam Lembaran Negara
Pasca menjadi UU No.11 Tahun 2006 kembali muncul kritikan dari pihak
GAM, seperti Zaini Abdullah (salah seorang perunding dari GAM dan Gubernur
Aceh, periode 2012-2017) mengatakan, banyak yang diatur oleh UU No.11 Tahun
2006 tidak sejalan dengan MoU Helsinki. Menjawab pertanyaan tersebut, Ferry
322
Anon, 2006, RUU-PA Terancam, Kompas, 16 Juni 2006.
undang yang belum dijalankan. 323 Sampai saat ini, belum di lakukan legislative
dalam UU No.32 Tahun 2004 yang diganti dengan UU No.23 Tahun 2014.
Nomor 21 Tahun 2001 joncto UU No.35 Tahun 2008, UU No.29 Tahun 2007 dan,
Oleh karena itu, perlu dilihat dan diketahui dasar atau latar belakang adanya
323
Farid Husain, 2011, Loc., Cit., hlm. 153-154.
Berdasarkan poin 1.1.2 MoU Helsinki, khususnya poin 1.1.2. huruf d maka
Tahun 2006. Dalam hal itu Pemerintah dalam menanggapi pandangan umum dan
pendapat fraksi-fraksi DPR-RI dan DPD-RI atas RUU tentang Pemerintahan Aceh
menyampaikan:
b. Prinsip-prinsip penyusunan
Dalam merumuskan dan menyusun RUU, Pemerintah tetap berpedoman
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Landasan filosofis, yaitu falsafah bangsa dan negara Pancasila dan
tetap dalam koridor system dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) Landasan yuridis, yaitu:
e) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dan UU terkait lainnya; dan
g) UU tentang keistimewaan dan otonomi khusus bagi Aceh.
3) Landasan sosiologis, yaitu:
Mempertimbangkan kondisi dan aspirasi masyarakat Aceh yang
bersifat spesifik, mendesak dan memerlukan prioritas serta
memperhatikan butir-butir Nota Kesepahaman, dengan tetap melihat
dampaknya bagi kepentingan daerah lain, nasional dan
internasional. 324
Pemerintah mengatakan:
324
Jawaban Pemerintah terhadap Pandangan Umum dan Pendapat Fraksi-Fraksi DPR-RI
dan DPD-RI atas RUU tentang Pemerintahan Aceh, Jakarta, 20 Maret 2006
325
Ibid.
(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau
badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya, dan olah raga internasional.
(3) Dalam hal diadakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Tahun 2006 di atas tidak terdapat perbedaan secara esensi dengan maksud yang
lain, kewenangan atau urusan agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat
Gubernur Aceh. Sebagaimana, Pasal 205 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006,
Selanjutnya, Pasal 209 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan: pengangkatan
Jika mengacu pada latar belakang adanya norma hukum khusus tersebut,
pada saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh antara Pansus DPR-RI dan
“……ada dua urusan Pemerintahan, yaitu urusan yang bersifat absolut itu
ada enam. Terhadap daerah otonomi khusus, katakanlah Aceh, ada sebagian
dari urusan absolut itu didelegasikan kepada Aceh. Salah satu contohnya
adalah syari’at Islam seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999. Selain itu, juga ada urusan masalah menyangkut kepolisian.
Apakah berkaitan dengan rekrutmen dan sebagainya. Dalam konteks ini,
Tahun 2006 tersebut mengenai apa saja urusan Pemerintahan Aceh berkaitan
“urusan tertentu dalam bidang agama”. Merujuk kepada UU No.44 Tahun 1999,
“urusan tertentu dalam bidang agama” yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU
syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup
antarumat beragama.
(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib
atau gubernur. Sedangkan, dalam poin 1.1.2 MoU Helsinki menggunakan istilah
8 ayat (3): pertama, mengapa ada atribusi kewenangan dalam bentuk konsultasi
Dalam wawancara penulis dengan salah seorang Juru Runding GAM, Nur
Djuli, mengatakan:
dengan apa yang disampaikan oleh Andi M. Ghalib, dari Fraksi Partai Persatuan
“……Saya berharap dari pihak Pemerintah kiranya RUU yang sudah ada
nantinya benar-benar bisa menjadi sebuah undang-undang yang bisa
menghantarkan rakyat Aceh, cita-cita yang sangat mereka idamkan. Sebab
kalau kita lihat pengalaman, maka sebetulnya yang terjadi selama ini adalah
karena pihak Pemerintah dari dulu sampai sekarang hanya pada janji-janji
yang tidak pernah konsekuen melaksanakannya. Kalau memang janji-janji
itu bisa dilaksanakan melalui undang-undang ini dengan baik, saya kira
rakyat Aceh pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, pasti bisa
menerima semuanya.
…… Jadi kalau kita mau memberikan ini (penulis: RUU) kepada Aceh, dan
berhasil nantinya, saya kira daerah lain tidak ada masalah sepanjang dalam
wadah NKRI. Selama ini yang terjadi adalah karena Pemerintah setengah-
setengah memberikan otonomi khusus tapi “ekornya” dipegang sehingga
orang bergerak tidak bebas, inilah yang terjadi. Saya pernah punya
pengalaman seperti itu juga tetapi apa boleh buat karena kita selama ini juga
tidak bisa berbuat sepenuhnya.
Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi isu dalam undang-undang ini, seperti
calon independen, partai lokal, lalu hak untuk memeproleh dari SDA
(penulis: Sumber Daya Alam) yang ada di Aceh, perlu segera dijelaskan
327
Wawancara dengan Nur Djuli Perunding MoU Helsinki dari pihak GAM, 4 Februari
2015.
telah belangsung sejak 1948 di Jawa Barat dan meluas ke seluruh nusantara, dan
NII). Kesepakan Aceh untuk keanggotaan atas negara baru, Indonesia tahun 1949
Namun, Aceh hanya menikmati otonomi luas kurang dari satu tahun
pasukan militer ke wilayah ini, serta memburuknya kondisi sosial ekonomi karena
lebih besar porsi anggaran nasional mulai dialokasikan ke Jawa daripada pulau-
328
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 8-9.
329
Michelle Ann Miller, 2008, Konflik di Aceh, Konteks, Pemicu Katalis, dalam
Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh, Conciliation Resources, London, hlm. 13-14
Islam bahwa Aceh akan segera dapat menerapkan syari’ah, keterlibatan rakyat
pada 26 Mei 1959 dengan memberikan otonomi luas bidang agama, pendidikan,
dan adat-istiadat. Setelah lebih dari satu dekade hubungan pusat-daerah yang
relatif damai, ketidakpuasan Aceh muncul kembali pada awal 1970-an. Kebijakan
dan praktik sentralisme Orde Baru, Soeharto, tidak memenuhi harapan masyarakat
Aceh terkait pemulihan Islam sebagai kekuatan sosial politik yang dominan. 331
nasionalis ‘sekuler’ Orde Baru, begitu pula tuntutan menerapkan formula Daerah
Istimewa’ Aceh sama sekali tidak sesuai dengan maknanya. Kekecewaan rakyat
Aceh diperkuat oleh penemuan sumber cadangan minyak dan gas alam tahun
330
Ibid
331
Ibid
sebagian Jawa dan Indonesia Timur mengalami tingkat kemiskinan lebih tinggi
dibandingkan Aceh era Orde Baru, ekspansi ZILS menambah kemarahan daerah
karena masyarakat desa dipaksa untuk bermukim di luar dari zona industri
Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh Abdul Ghafur anggota DPR-RI
dari Fraksi Partai Golongan Karya, pada Rapat Kerja Pansus RUU- Pemerintahan
“…..Aceh, dalam catatan sejarah republik ini adalah suatu provinsi yang
penuh dengan luka derita sejak kita merdeka, partisipasi rakyat Aceh luar
biasa. Jadi sebuah provinsi dilebur lagi Provinsi Sumatera Utara, seperti
“iming-iming” sedemikikian rupa lalu melalui Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1956 dijadikan kembali sebagai daerah otonomi Provinsi Aceh. Misi
Hardi datang kesana memberikan lagi lebel yang istimewa, Daerah Istimewa
Aceh. Tetapi, apa yang terjadi kemudian, tidak pernah menenangkan rakyat
Aceh. Karena “iming-iming”maka pada waktu terjadi kegelisahan yang luar
biasa rakyat Aceh sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, maka mulailah bergulir gejolak demi gejolak yang
berkepanjangan sampai di ujung perjalanan di Helsinki.
….. Ketuntasan melahirkan suatu rancangan undang-undang yang selama ini
Pemerintah Pusat menyodorkan kepada rakyat Aceh, dalam sejarah yang
selalu gagal, mudah-mudahan RUU Pemerintahan Aceh ini sangat
komprehensif dan yang kami harapkan RUU ini yang terakhir. Aceh yang
sejahtera, damai, bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. 333
Selain realitas pada masa Orde Lama dan Orde Baru sebagaimana dijelaskan
332
Ibid
333
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 6.
2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Sejak dibentuk pada tahun 1999, UU No.44 Tahun 1999 baru dapat
2006. Begitu juga dengan UU No.37 Tahun 2000, sejak dibentuk tidak dapat
dimasukan dalam substansi UU No.11 Tahun 2006, yang saat ini sudah ditetapkan
direalisasikan dan bisa dicabut kembali. Oleh karena itu, disepakati kebijakan-
Kepala Pemerintah Aceh”. Sebagaimana, diatur dalam poin 1.1.2 huruf d MoU
ayat (3) UU No.11 Tahun 2006. Persoalannya dalam pasal tersebut menggunakan
dengan DPR RI, muncul perdebatan, salah satunya berkaitan dengan dua
yang berlaku.
334
Menteri Dalam Negeri, 2006, Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus RUU
tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.
335
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 4.
pandangannya, mengatakan:
pembuatan peraturan kurang layak kalau dari DPR Pusat meminta persetujuan
yang sepakat dengan usulan dari Pemerintah, antara lain, Ahmad Farhan Hamid
336
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 50-51.
337
Ibid, hlm. 53
“Secara substansi sepakat dengan usulan pemerintah, dan kami pikir ini
adalah bentuk pengakuan Negara terhadap kekhususan dan keistimewaan
Pemerintah Daerah terutama di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi
penghormatan terhadap satuan-satuan pemerintah yang khusus, saya piker
ini adalah bentuk wujud kongkrit. Jadi apa yang diajukan ini (penulis:
substansi Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006, mengenai konsultasi dan
pertimbangan gubernur) tentu tidak membahayakan bahkan tidak
bertentangan dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, bahkan kostitusi
juga mengakui ini, walau tidak secara eksplisit menyebutkan, tetapi tafir
kami ketika membaca Pasal 18 (UUD RI 1945) Negara mengakui satuan-
satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus, ini adalah bentuk
pengakuan Negara…..
Jadi sekali lagi ini bukanlah sesuatu yang membahayakan NKRI, apalagi
melabrak konstitusi dan ini sejalan dengan Pancasila dan tentu ini adalah
bagian daripada upaya kita untuk mengakui Kebhinekaan Ketunggalan Ika
di Indonesia ini. Dalam Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Nomor
18 Tahun 2001, Pasal 33 juga disebutkan walaupun memang tidak
menggunakan kata persetujuan, disitu disebutkan bahwa perubahan atas
undang-undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” 339
tapi ada paradigma politik. Kalau sudah paradigma politik, disini kekuatan
aspirasi itu yang kuat. Jadi ekspresi kehendak masyarakat Aceh itu harus bisa,
saya kira memang pusat harus dikontrol, karena kalau tidak dikontrol kadang-
338
Ibid, hlm. 54.
339
Ibid, hlm. 55.
menambahkan:
disampaikan oleh Sofyan Jalil, dalam hal-hal yang bersifat kepentingan khusus
khusus, tidak ada salahnya. Asal disebutkan dengan tegas kepentingan khusus
itu….”. 342 Dari perdebatan antara pro dan kontra mengenai terminologi
340
Ibid, hlm. 57.
341
Ibid, hlm. 55-56.
342
Ibid.
Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan Gubernur.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar adanya “konsultasi dan
Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, baik yang dimasukan
dalam MoU Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006, dapat dilihat secara filosofis,
343
Ibid, hlm. 54.
(3) UU No.11 Tahun 2006, sebagaimana dideskripsikan Bagir Manan dalam sila
Islam. Selanjutnya, era Orde Baru dan Orde Reformasi karena inkonsistensi
Aceh yang sudah diatur dalam UU No.44 tahun 1999, UU No.36 tahun 2000, dan
UU No.18 Tahun 2001. Oleh karena itu, substansi konsultasi dan pertimbangan
antara Pemerintah Pusat dan GAM dalam MoU Helsinki, untuk memasukan
sebagian norma hukum dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut,
tidak singkron atau tidak konsisten dengan materiil UU No.32 Tahun 2004, yang
sudah diganti dengan UU No.23 Tahun 2014. Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3)
UU No.23 Tahun 2014, dilakukan melalui persetujuan bersama DPR Aceh dan
pemerintahan daerah, sebagaiman Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun
Sofyan Jalil dan Juru Runding GAM, Nur Djuli, anggota DPR RI, tujuannya
secara khusus untuk menghindari adanya kekhawatiran dari pihak GAM secara
sudah ada kewenangan ini maka setiap kebijakan administratif Pemerintah Pusat
langsung dengan Pemerintahan Aceh adalah agar tidak lagi menimbul kesan dan
Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Di mana setiap kewenangan yang
sudah diberikan kepada pemerintahan Aceh oleh Pemerintah Pusat, ketika keluar
kebijakan baru dari Pemerintah Pusat, kewenangan tersebut dicabut, bahkan tanpa
Pemerintahan Aceh dapat dilaksanakan dan diketahui serta dapat diterima oleh
Sejalan dengan pendapat Ahamad Farhan Hamid dan Setia Budi, oleh
memberi masukan kepada Pemerintah Pusat terhadap dampak yang terjadi untuk
Aceh terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat di Aceh”. 346
pertimbangan DPRA.
345
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, Periode 2010-2013 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.
346
Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5 Februari 2015.
kekhususan Aceh pasca perdamaian antara Pemerintah Pusat dan GAM serta
Merujuk teori van Vollen Hoven, menyatakan pemerintahan dalam arti luas
gubernur, kecuali dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut. Hanya
347
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanasius, Yogyakarta, hlm. 117
Gubernur Aceh dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut merupakan
terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata
“attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
apabila suatu badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri membuat
348
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan ke-7, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 101 .
349
Ibid, hlm. 102.
Aceh tersebut secara eksplisit telah disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11
dengan Aceh. Padahal, mengacu Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945, disebutkan:
berkaitan langsung atau tidak dengan daerah diperlukan konsultasi dengan kepala
adanya daerah khusus atau istimewa, maka kewenangan delegatif tersebut tidak
350
Amrizal J. Prang, 2013, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa, Jurnal,
Transformasi Administrasi, Volume 03, Nomor 02, Tahun 2013, hlm. 579.
Aceh tersebut secara implisit menjadi salah satu kewenangan khusus yang
meskipun tidak disebutkan secara eksplisit oleh UU No.11 Tahun 2006 sebagai
tersebut kontradiksi atau tidak dengan UUD RI 1945, penulis akan membahas
atau Perpres. Sebagaimana, Pasal 270 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Aceh. [Pasal 43 ayat (5) dan
ayat (6)].
107].
bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat
[Pasal 270].
pelaksanaan UU No.11 Tahun 2006, diatur lebih lanjut dengan qanun untuk
provinsi dan kabupaten/kota. Sebagaimana Pasal 270 ayat (2) UU No.11 Tahun
Undang ini diatur dengan Qanun Aceh”. Sementara, ayat (3) disebutkan:
ini diatur dengan qanun kabupaten/kota”. Di mana ada sekitar 59 (lima puluh
UU No.11 Tahun 2006 dan menjadi kewajiban Pemerintahan Aceh yang sudah
09);
Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan
Aceh Nomor 2 Tahun 2013 (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 02,
6. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta
18);
20);
12. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
14. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan
15. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan
Daerah Aceh Nomor 27), yang sudah dirubah dengan Qanun Aceh
21. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2011 tentang Irigasi (Lembaran Daerah
Nomor 37);
22. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan
23. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Aceh (Lembaran
24. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2012 tentang Bagi Hasil Pajak Aceh
Nomor 41);
Tahun 2012 Nomor 42), yang sudah dirubah dengan Qanun Aceh
Aceh Tahun 2013 Nomor 09, Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2013
Nomor 53);
28. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penyidik Pegawai Negeri
29. Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pinjaman dan Hibah
Aceh Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2012
Nomor 48);
30. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang
Nomor 55);
35. Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan
36. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum
Nomor 63);
38. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Lembaran
Aceh Tahun 2014 Nomor 07, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 67);
Nomor 67);
Nomor 68);
41. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh
42. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh
puluh sembilan) qanun Aceh yang menjadi kewajiban Pemerintahan Aceh untuk
dibentuk, sebagian besar sudah dilaksanakan. Hanya saja ada 2 (dua) qanun yang
Tahun 2012 joncto Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali
Nanggroe; 2) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang
kedua qanun tersebut tidak perlu terjadi, jika Pemerintahan Aceh dan Pemerintah
Sehingga, jika secara yuridis formil dan materiil kedua qanun tersebut sudah
sesuai dengan UU No.11 Tahun 2006, maka segera ditetapkan dan dilaksanakan.
telah disebutkan pada Bab I, baik dilakukan sebelum proses konsultasi dan
sosiologis, dan moril bahwa dasar dan tujuan pemberian kewenangan konsultasi
saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh, dan tercapainya
keadilan bagi rakyat Aceh secara komprehensif. Sehingga, tidak berulang konflik
hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh akan lebih baik dan
dalam konteks pembentukan PP dan Perpres masih belum sesuai Pasal 271 UU
No.11 Tahun 2006, yaitu: Pemerintah Pusat wajib membentuknya paling lama 2
(dua) tahun setelah disahkannya UU No.11 Tahun 2006, yaitu sejak tahun 2008.
351
John Rawls, 2011, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Cetakan II, terjemahan dari A Theory of Justice, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 4.
dan Perpres tersebut. Mengenai hambatan dan kendala dalam penetapan PP dan
Perpres ini akan dibahas tersendiri dalam Bab IV. Oleh karena itu, konsistensi
Pusat dan Pemerintahan Aceh. Begitu juga Pemerintahan Aceh agar terwujudnya
BAB III
selengkapnya dikatakan:
352
C.F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An
Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung, hlm. 115. Lihat juga, Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Edisi Revisi, GramediaPustaka Utama, Jakaarta, hlm. 269-270.
353
Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
mengenyampingkan peran dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan
hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga
timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. 355
ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada ditangan negara, bukan di daerah.
Implikasinya, negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif, yang berkedudukan
regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan
produk lembaga legislatif pusat (DPR) dan peraturan perundangan yang yang lebih
peraturan (pemerintah daerah dan DPRD), namun lembaga daerah tersebut tidak
masalah yang dihadapi oleh rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan
antara kedaultan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty), ketika
negara dibentuk tetapi pada bagian kedaulatan rakyat itu tetap berada di tangan
356
K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia,
hlm. 342.
357
Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane,
Jakarta, hlm. 32.
menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan
hak asasi yang tidak dapat dilepaskan (inalienable rights), juga tidak oleh individu
itu sendiri. Penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan
kenegaraan harus menghormati hak asasi itu. 358 Perjanjian masyarakat ini yang
disebut dengan pactum subjectionist, selain itu Locke juga mengajukan kontrak
suatu perjanjian masyarakat membentuk suatu masyarakat politik atau negara. 359
Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak
dapat dipecah-pecah merupakan konsep utopis yang memang jauh dari
kenyataan. Dengan demikian konsep kedaaulatan rakyat itu dewasa ini
cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerah-
daerah bagian dari negara kesatuan itu bukanah unit-unit negara bagian yang
tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya
sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara
kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. 360
suatu wakil rakyat, yang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau berkedaulatan
meskipun prinsip negara kesatuan kekuasaan atau kedaulatan penuh ada pada
358
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung,
hlm. 145.
359
Ibid.
360
Jimly Assiddiqie, 2005, Op., Cit., hlm. 33.
361
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetekan Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 332.
masih tetap pada rakyat. Oleh karena itu, relevan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI
Undang-Undang Dasar.”
berkepanjangan antara pusat dan daerah serta pemerintahannya tidak stabil, lebih
kepada terbawa arus pembawaan monistis, sentralistis, daan unitaristis dari negara
negara serikat. Hal itu lebih disebabkan lembaga legislatif, eksekutif, dan
Oleh karena itu, jika ini terjadi tanpa ada penyelesaian, maka negara sebagai
asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan
“Republik”, bahwa dibentuk karena kebutuhan umat manusia. Tidak ada manusia
362
Astim Riyanto, 2010, Loc., Cit., hlm. 93.
363
Ibid, hlm. 93-94.
Begitu juga Aristatoles dalam bukunya, “Politik, mengatakan negara dibentuk dan
warga negaranya. 364 Sedangkan, menurut Roger H. Soltau, tujuan negara ialah
its members). Begitu juga, Harold Laski, mengatakan tujuan negara, yaitu:
(creation of those conditions under which the members of the state may attain the
364
F. Isjwara, 1995, Op., Cit., hlm. 164.
365
Miriam Budiarjo, 2008, Op., Cit., hlm. 54-55.
juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik. Negara kesatuan dengan pola
mana segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah
366
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Op., Cit., hlm. 59-62.
367
Mahfud MD, Loc. Cit., hlm. 221.
368
C.S.T. Kansil, 1983, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 72.
pelimpahan kewenangan politik dari pusat kepada daerah yang ditetapkan secara
badan pemerintah pusat yang ada daerah. Sejalan juga, dengan konsep
pengertian politik maupun birokrasi. 371 Sejalan dengan pengertian diatas oleh
power by a central ruling group with other groups, each having authority within a
369
Solly Lubis, 1975, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintahan
Daerah, Alumni, Bandung, hlm. 20.
370
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8.
371
Ibid, hlm. 9.
adalah “… the sharing of power between members of the same ruling group
daerah untuk dijalankan sesuai dengan perintah dari pusat, yang selanjutnya
tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan
372
Syarif Hidayat, 2008, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-
Society Relation, Jurnal Politik, Volume 1, Nomor 1 tahun 2008, hlm. 2.
Dari sisi kepentingan Pemerintah Pusat, sedikitnya ada tiga tujuan utama
memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi;
menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang
ini berasumsi pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk
training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai
memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional; dan, ketiga
dari tujuan ini percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud
kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil. 374
373
Ibid., hlm. 3.
374
Ibid., hlm. 4-5.
untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
erat kaitannya dengan demokrasi, di mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi
daerah. Oleh karena itu, desentralisasi dapat dilihat paling tidak dari empat sudut:
pertama, sudut politik, sebagai permainan kekuasaan yang dapat mengarah kepada
375
Ibid.
kemandirian daerah;
efektifitas. 377
menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
376
Dikutip dari Andi Alfian Malaranggeng, dkk, 2001, Otonomi Daerah: Perspektif
Teoritis dan Praktis, Cetakan Ke-2, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hlm. 96
377
Ibid, hlm. 96-97.
378
Syarif Hidayat, 2008, Op., Cit., hlm. 4-5.
379
Dikutip dari Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 2.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam arti luas desentralisasi
pemerintah pusat kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau
pemerintahan pusat.
kepada organisasi diluar struktur birokrasi regular dan hanya dikontrol oleh
380
Ibid. hlm. 3.
381
Soni Yuwono, dkk., 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan
Pengelolaan Keuangan Daerah), Bayu Media Publishing, Malang, hlm. 15.
ketatanegaraan (staatkundig).
mempunyai bentuk:
1. Desentralisasi territorial;
2. Desentralisasi fungsional;
juga memiliki kelemahan dan kelebihan. Menurut George R. Terry, dalam konteks
kelemahan, yaitu:
384
Ibid, hlm. 274-275.
385
Soni Yuwono, dkk., 2008, Loc., Cit., hlm. 15.
perlu diambil bangsa ini. Wacana negara federal sempat marak pada awal-awal
386
Ibid.
387
Ibid, hlm. 17.
388
Ari Purwadi, 2013, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan antara Pusat
dan Daerah Era Otonomi Daerah, Jurnal Perspektif, Volume XVIII, Nomor 2 Tahun 2013, Edisi
Mei, hlm. 92.
389
Ibid.
dan Bab II, bahwa dasar pemberlakuan desentralisasi secara konstitusional diatur
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
Selanjutnya, pasca perubahan Pasal 18, menjadi tiga pasal, yaitu: Pasal 18
390
Ibid.
kekuasaan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Pemerintah Pusat. Begitu juga
Lama, Orde Baru, dan orde Reformasi. Setiap perubahan sistem dituangkan dalam
Lama dibawah Presiden Soekarno pernah juga diatur dalam Penetapan Presiden.
Daerah ini, dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan undang-
Sebuah Komite National Daerah (KND) didirikan pada setiap level terkecuali di
tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-
anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang
dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh
391
Dikutip dari Didik Sukriono, 2013, Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian
Politik Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,
Setara Press, Malang, hlm.126.
dan Walikota) adalah pejabat pemerintah yang diangkat oleh pemerintah pusat.
karena itu, pemerintahan daerah menurut undang-undang ini, tidak ada batas yang
namun penekanannya lebih kepada prinsip dekonsentrasi. Hal ini terlihat dari
dualisme fungsi diberikan kepada kepala daerah. Status Kepala Daerah adalah
diangkat dan diambil dari keanggotaan komite, disamping sebagai kepala daerah,
392
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 22-24.
393
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonsia, Cetakan Kedua,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 191.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah
administratif.
otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota
Daerah (DPD). Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah
diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan
dwifungsi; sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat
di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah Pusat, kepala daerah
mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, kepala daerah
Di mana memuat dua dasar kebijaksanaan baru yaitu: 1) tentang hasrat pusat
untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah; 2) tentang titik berat
394
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Op., Cit., hlm. 24-27.
395
Ibid.
dalam Penjelasan angka III tentang hak mengatur dan mengurus rumah tangga
yang akan diserahkan kepada daerah. Adalah hajat pemerintah akan menyerahkan
berat otonomi dikonsentrasikan pada desa dan daerah setingkat desa sebagai
satuan daerah otonom terbawah. 397 Undang-undang ini menganut asas otonomi
formal dan materil sekaligus. Hal ini terlihat pada urusan yang diserahkan kepada
daerah (materiil) dan adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat
Peraturan Daerah tertentu yang telah dibuat oleh pemerintah di atasnya. 398
kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip ultra vires yang
dengan urusan pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa
urusan antara urusan pusat atau urusan daerah. Kedua, mengenai keberagaman
kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak ada kongruen
dengan urusan hukum adat. Ketiga, tentang KDH harus dipilih langsung oleh
rakyat daerah yang bersangkutan tetapi harus pula mendapat pengesahan dari
pemerintah pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk
Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan.
399
Ibid.
400
Jimly Assiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 401.
daerah otonom kepala daerah (KDH) sudah dipilih secara langsung oleh rakyat,
meskipun kepala daerah dipilih langsung tetapi belum memiliki kewenangan yang
diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006. Apalagi saat berlaku UU
Pada 24 Desember 1946 berdiri Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai hasil
Belanda. Namun, pada Mei 1950 tercapai persetujuan antara Pemerintah Republik
401
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 27.
daerah bagian; dan c. daerah anak bagian. Setiap daerah dalam lingkungan NIT
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) NIT, terdiri dari atas DPR dan Dewan
Pemerintah. DPR mempunyai ketua dan wakil ketua yang dipilih oleh dan dari
pemerintah. Adapun para anggota dewan pemerintah dipilih oleh DPR atas dasar
perwakilan berimbang dari antara anggota-anggota DPR atau orang luar. 402
NIT tingkatannya disamakan dengan daerah kabupaten. 403 Dari deskripsi ini
untuk negara bagian Indonsia Timur. Di mana kepala daerah sebagai ketua Dewan
402
Ibid, hlm. 27-30.
403
Ibid.
Pemerintahan Daerah, ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi ke arah
ini adalah:
liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di
Pemerintahan Sipil, terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten
Wedana atau Camat. Meskipun terdapat dorongan kuat untuk meluaskan otonomi
404
Ibid. hlm. 31.
dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedurnya yang sangat lama. 405
DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada
DPRD. Kepala daerah sebagai Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi ditangan
kepala daerah, hanya sebagai alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun
Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Keinginan untuk
dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri
Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat diumumkan. Pada tanggal 5 Juli
405
Ibid.
406
Ibid.
407
Ibid.
DPD dipilih dari DPD yang dipilih dari DPRD. Hanya saja yang membedakan
dan Penpres Nombr 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokratisasi ke stabilitas dan
“dualisme fungsional” yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah. 408
Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
UUD RI 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa pemerintah daerah terdiri
dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu
sebagai eksekutif daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah
408
Jimly Asshiddiqie, 2007, Op., Cit., hlm. 403-404.
Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh
Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala
Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh Badan
harus bebas dari partai politik.409 Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 menandai
Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak ditangan kepala daerah, dan Pemerintah
Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya
direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan
hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong
Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada
waktu semua jabatan kepala daerah terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau
Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan
409
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 34-39.
410
Ibid.
Pusat, sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada pemerintah daerah. 411
dan urusan-urusan yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau
Penetapan Presiden 6 Tahun 1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari
sebagai kepala daerah, dan legislatif daerah sebagai ketua DPRD, di samping
dominan dalam tiga kekuasaan, yaitu sebagai eksekutif yaitu kepala daerah,
kedua, sebagai legislatif, yaitu ketua DPRD, dan wakil pemerintah pusat.
dalam pemerintahan dewasa ini, yaitu kepala daerah (gubernur) mempunyai dua
kedudukan yaitu sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Sedangkan,
yang berbeda adalah kepala daerah tidak bisa menjadi anggota atau ketua DPRD.
411
Ibid.
412
Ibid.
tidak seluas dibandingkan dengan kewenangan gubernur Aceh yang diatur dalam
Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan semakin kuat untuk
pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Pada
sejak itu dalam konteks pemerintahan daerah hanya berlaku satu undang-undang
Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-
luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari
kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota
partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para
eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat. Undang-
413
Ibid.
(KDH) tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil
adalah kepala daerah bukan lagi sebagai Ketua DPRD, dan juga diizinkan menjadi
anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah
masa Orde Baru sebagai akibat dari peristiwa Gerakan 30 September Partai
a. daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, dan akan dibagi pula dalam
daerah, dan akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil;
414
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 406.
Ciri utama dari undang-undang ini adalah penguatan peran kepala daerah,
untuk kepala daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD minimal 3 (tiga)
orang dan maksimal 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
Dalam Negeri. 416 Keberadaan kepala daerah, sebagaimana juga diatur dalam
wakil pemerintah pusat. Dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai
kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala
wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum yaitu urusan-
atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya (urusan sisa). 417
415
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 43.
416
Ibid, hlm.47-48.
417
Ibid.
kestabilan politik dan kesatuan bangsa, maka untuk menjalankan hubungan yang
serasi antara pemeritah pusat dengan daerah dijalankan otonomi nyata dan
dan pembangunan daerah yang dilaksanakan selaras dengan asas dekonsentrasi. 418
Kedua asas ini, menurutnya sama pentingnya bahkan dekonsentrasi lebih penting
daripada desentralisasi. Selama masih ada pemerintah pusat, maka selama itu pula
asas dekonsentrasi tetap ada, karena keselamatan seluruh tanah air pada akhirnya
Hadjon apa yang berlaku dalam undang-undang ini hanya terbatas pada asas
otonomi, tidak menyentuh asas tugas pembantuan (medebiwind). Ini adalah karena
dalam tugas pembantuan tidak terdapat unsur penyerahan urusan kepada daerah.
Dengan perkataan lain, desentralisasi diberi arti yang sempit oleh Undang-Undang
intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah.
Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah
418
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 279.
419
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 406-407.
420
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 112.
urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa
sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek
1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan Undang-
1945, yaitu: a) prinsip territorial; b) prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
prinsip dengan memandang dan mengingat hak-hak asasl usul daerah-daerah yang
bersifat istimewa, tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD RI 1945 mengatur
421
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Loc., Cit., hlm. 271-272.
422
Ibid.
Daerah. 423
dari pemerintahan daerah dan cara penetapan kepala daerah) dan ekonomi karena
kekayaan daerah lebih banyak ditarik oleh pusat dan dijadikan sebagai bargaining
dihadapi oleh Orde Baru pada tahap awal pemerintahannya adalah kenyataan
tentang adanya ketimpangan antar daerah yang sangat besar. Kondisi seperti ini
423
Ibid.
424
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Op., Cit., hlm.127.
pemerintahan atau bahkan dapat memicu muncul kembali gerakan daerah. 425
undang ini bahkan tidak pernah direvisi sampai berakhirnya Pemerintah Orde
Baru. Setelah beralih kekuasaan pemerintahan dari Orde Baru kepada orde
menandai terjadinya shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh
“big bang” dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat
dalam era Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi. Di mana
425
Ibid. hlm. 128.
UU No. 22 Tahun 1999, menjadi daerah provinsi bukan lagi sebagai pemerintah
(revenue centers).
426
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 73.
427
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Loc., Cit., hlm.129.
pengeluaran (cost centers). Terjadi pula ketegangan antara kepala daerah dengan
dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa kedaerahan yang sempit. Berbagai
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22 Tahun
konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.
428
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 77.
kebijakan.
No. 22 Tahun 1999, diantaranya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah
sebagai wilayah administratif. Oleh karena itu, gubernur adalah kepala daerah
429
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 120.
kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang sebelumnya dipilih oleh DPRD.
Sebagaimana Pasal 24 ayat (5) disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang
umum undang-undang ini mengatur antara lain: hubungan antara pemerintah pusat
430
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 410.
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat
afirmasi kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah berasal dari calon
jabatannya.
Setelah mengalami dua kali UU No.32 Tahun 2004 kemudian dicabut dan
dengan, pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No.6
Tahun 2014). 431 Kedua, pemilihan kepala daerah diatur dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU
No.22 Tahun 2014). 432 Kemudian undang-undang ini dicabut dan digantikan
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu No.1 Tahun 2014), 433
No.1 Tahun 2015) 434 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
431
Undang-Undang Desa, UU No.6 Tahun 2014, LN No.7 Tahun 2014, TLN No. 5495.
432
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.22 Tahun 2014,
LN No.243 Tahun 2014, TLN No. 5586.
433
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,
Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
434
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, UU No.1
Tahun 2015, LN No.23 Tahun 2015, TLN No. 5656.
Tahun 2014, 436 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu No.2 Tahun 2014)
Undang (UU No.2 Tahun 2015), 437 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.9 Tahun 2015). 438
435
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, UU No.8 Tahun 2015, LN
No.57 Tahun 2015, TLN No. 5678
436
Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014, LN No.244 Tahun 2014,
TLN No. 5587.
437
Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No.2 Tahun 2015, LN No.24 Tahun 2015,
TLN No. 5657.
438
Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679.
kepada gubernur bukan hanya sebagai wakil pemerintah pusat dan lembaga
Pasal 101 ayat (1) huruf d dan Pasal 154 ayat (1) huruf d UU No.23 Tahun 2014,
wewenang memilih gubernur, bupati dan walikota. Kewenangan ini tidak terlepas
undang-undang ini dengan Perpu No. 1 Tahun 2014. 439 Sebagaimana, Pasal 205
Republik Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis. Oleh karena,
pilkada kembali dipilih langsung oleh rakyat sehingga tidak ada lagi kewenangan
DPRD untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Konsekuensinya, Pasal 101
ayat (1) huruf d dan Pasal 154 ayat (1) huruf d UU No.23 Tahun 2014, juga
439
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,
Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
Tahun 2015 dan terakhir diubah kedua kali dengan UU No. 9 Tahun 2015.
Keempat, eksistensi wakil kepala daerah yang tidak lagi dipilih secara
22 Tahun 2014. Bahkan, ketika undang-undang ini dicabut dengan Perpu No.1
Tahun 2014 dan ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015, bahwa pemilihan
wakil kepala daerah tidak dipilih satu pasangan dengan kepala daerah.
Menurut pasal ini bahwa wakil kepala daerah dapat berasal dari Pegawai
Tahun 2004, bahwa PNS harus mundur sementara dari jabatan negeri.
Sebagaimana Pasal 59 ayat (5) huruf g, disebutkan: Partai politik atau gabungan
pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari
Sementara, jumlahnya juga tidak lagi satu wakil kepala daerah, bahkan
maksimal dapat memiliki 3 (tiga) wakil kepala daerah, tetapi bisa juga pada suatu
daerah tidak memiliki wakil kepala daerah. Sebagaimana, Pasal 168 UU No. 1
berbunyi:
(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut
kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota
disebut walikota.
(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu
orang wakil kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil
bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
(5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan.
Tahun 2015, disebutkan: “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
undangan dari UU No.1 Tahun 1945-UU No.23 Tahun 2014, dalam konteks
mempunyai dua status, sebagai kepala daerah juga wakil Pemerintah Pusat.
Undang Nomor 1 Tahun 1957 sampai UU No.22 Tahun 1999, kepala daerah
dipilih oleh DPRD. Pasca berlaku UU No.32 Tahun 2004 dan digantikan dengan
UU No.23 Tahun 2014 yang sudah diubah dengan UU No.9 Tahun 2015,
pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih secara
langsung.
ketika dipilih oleh DPRD bertanggungjawab kepada DPRD, sedangkan dalam hal
baik sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah pusat, keberadan dan
Daerah
dalam arti devolution of power. Dalam sistem negara kesatuan (unitary state),
kebijakan desentralisasi ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini berbeda dengan
sistem federal, yang tidak memerlukan kebijakan desentralisasi dari pusat karena
sejak awal negara bagian (state), sudah mempunyai wewenang yang otonom
bahkan pada awalnya adalah sebuah negara yang berdaulat. Karena desentralisasi
menjadi komptensi pusat maka sempit luasnya otonomi daerah juga ditentukan
Dalam konteks proses hubungan pusat dan daerah antara negara federasi
dengan negara kesatuan juga terdapat perbedaan. Hubungan negara bagian dengan
antara daerah otonom dengan Pemerintah Pusat bahkan hubungan antara daerah
otonom dengan negara bagian dalam sistem federalism bersifat subordinate dan
pada 1903 dengan diundangkannya Decentralisatie Wet 1903. Sejak saat ini
keamanan saat itu. Pada awal kemerdekaan sampai dengan 1959 model
dengan perubahan politik pasca Dekrit Presiden 1959, model pemerintahan daerah
pada 1999 membuat kebijakan pro demokratisasi lokal kembali. Kemudian pada
440
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 60. Lihat juga, Muhammad Rusmawardi, 2011,
Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Era Pemberlakuan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Jurnal Socioscientia Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 Nomor 1
Februari 2011, hlm. 96.
diatur dalam Pasal 18, berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
istimewa”.
beberapa prinsip:
Di mana prinsip pertama dan ketiga merupakan prasyarat yang tidak dapat
disimpangi atau dilampaui oleh pembentuk undang-undang. Prinsip pertama
mengandung perintah bahwa pembentuk undang-undang dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 18 hanya boleh mengatur mengenai
desentralisasi teritorial. Sementara, prinsip ketiga bahwa isi undang-undang
pelaksanaan Pasal 18 harus mencerminkan dasar permusyawaratan dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 441
merupakan salah satu sila dalam Pembukaan UUD RI 1945 atau Pancasila,
441
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 156.
442
Ibid. hlm. 157.
tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada
pemerintahan tingkat daerah. Dalam pasal tersebut tidak terdapat keterangan atau
permusyawratan/perwakilan. 443
Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945, tidak terdapat lagi pengaturan norma
dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD RI 1945, yaitu, 1)
Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum; dan, pemilihan gubernur,
443
Ibid.
dasar, bentuk dan mekanisme hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Mengenai hubungan tersebut dalam pasal ini hanya memerintahkan akan
444
Ibid, hlm. 161.
3. Dasar kebhinekaan
Soedirman Kartohadiprojo, mengatakan, “Bhineka Tunggaal Ika,
melambangkan keragaman Indonesia. kesatuan dalam perbedaan dan
perbedaan dalam kesatuan”. Ditinjau dari dasar kemajemukan atau dasar-
dasar yang lain, desentralisasi di Indonesia bukan sekedar alat atau sarana
pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas dari tujuan
membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Muhammad Hatta, sebagaimana dikutip Bagir Manan, dalam
hal hubungan antara kebhinekaan atau kemajemukan dan desentralisasi,
mengatakan, “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan
golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil, atau besar,
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”.
Untuk itu, kemajemukan sosial, budaya, kepercayaan bahkan ekonomi,
akan menimbulkan hajat hidup atau kebutuhan yang berbeda-beda dari
daerah ke daerah. Dalam hal-hal tertentu, karena perbedaan sifat
geografis, akan timbul pula perbedaan-perbedaan kebutuhan. Perbedaan-
perbedaan hajat hidup atau kebutuhan tersebut akan terlayani bila
terdapat satuan pemerintahan lebih rendah. Rakyat setempatlah yang
mengetahui kebutuhannya, sehingga seyogyanya merekalah yang
mengatur dan mengurus sendiri sendiri. Desentralisasi merupakan cara
terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukannya sentralisasi.
445
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 61.
ke-32, 29 Mei 2000, yang merupakan juru bicara Fraksi Utusan Golongan (F-
daerah, yaitu:
446
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 161.
Pandangan Bagir Manan dan Valina tersebut, mengacu UUD RI 1945 pasca
Pemerintah Pusat dan Pemeritahan Daerah. Dalam konteks negara hukum dan
kedaulatan rakyat, sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945,
daerah asli dan kebhinekaan, serta kerakyatan atau demokratis diatur dalam Pasal
Pemerintahan Daerah
447
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-200, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Edisi Revisi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1159.
448
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 171-172.
dan Daerah sebelumnya diatur dalam UU No.22 Tahun 1999, yang selanjutnya
diganti dengan UU No.32 Tahun 2004. Dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat (6),
lainnya.
449
Ibid, hlm. 178-191.
disebutkan:
dijelaskan, yaitu:
umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, pada
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah
Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab
mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah
dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional
untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang
kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan
Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan
otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu
melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan
masyarakat.
4. Bentuk hubungan bahwa kedaulatan ada pada pemerintahan pusat dan tidak
nasional.
dalam norma hukum antara lain, dalam bentuk sub-kewenangan dan keuangan.
kewenangan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
yang berbeda adalah pelaksanaan sebagian bidang agama, dalam hal ini
Dana ini diberikan selain Provinsi Aceh, ada Provinsi Papua dan Papua Barat.
secara umum oleh daerah-daerah dalam konteks ultra vires (otonomi terbatas) dan
pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of
conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the
system to both the system as a whole and to the other component units”.(”Tingkat
kesesuaian dan kesamaan dalam hubungan setiap unit politik yang terpisah dari
sistem untuk kedua sistem secara keseluruhan dan unit komponen lainnya”). 451
450
Robert Andi Jaweng, 2013, Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang Menyisakan
Sejumlah Catatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Desentralisasi Asimetris Solusi atau Problem, Edisi
42 Tahun 2013, hlm. 107.
451
Robert Andi Jaweng, 2011, Kritik Terhadap Asimetris di Indonesia, Jurnal Analisis
CSIS, Volume 40, Nomor 2, hlm. 162.
tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sementara, dalam
pola asimetris satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal “possessed of
hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-
unit politik lainnya, baik secara horizontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan
pusat). Khusus mengenai pola asimetris, Tarlton menekankan: “in the model
asymmetrical system each component unit would have about it a unique feature or
set of features which would separate in important ways, its interests from those of
any other state or the system considered as a whole” (“Model sistem asimetris
setiap unit komponen akan memiliki ciri yang unik atau sekumpulan ciri-ciri yang
akan memisahkan dengan cara yang penting, kepentingannya dari negara bagian
hubungan yang sama antar satu daerah dengan daerah lainnya. Sedangkan, dalam
452
Ibid.
otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah
maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan
asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam suatu sistem
pemerintah nasional dan keinginan untuk merdeka dapat dieliminasi lewat sistem
453
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia,
Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10.
untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan
bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya;
suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan.455
daerah dengan daerah lain dalam suatu negara, baik dalam bentuk atau susunan
negara kesatuan maupun federasi, di mana hal ini bukanlah suatu fenomena baru.
negara dengan negara lain, yang diatur dalam konstitusi negera-negara tersebut.
konstitusinya, Spanish Constitution of 1978, yang telah diubah pada tahun 1999.
454
Djohermasyah Djohan, 2010, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal Sekretariat
Negara RI, Nomor 15 Februari 2010, hlm.121-122.
455
Ibid.
kekuasaan dan tanggung jawab. Basque Country, Catalonia dan Galicia sebagai
Untuk konteks NKRI sebagaimana Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD
saat diatur dalam undang-undang disebut sebagai daerah istimewa atau daerah
456
Javier Corcuera Atienza, 2005, The Autonomy Of The Basque Country, Singularities.
The Autonomous Tax System the Basque Tax Contribution, the Agreement State Government
Basque Authorities, hlm, 9
https://www.google.com/search?q=the+autonomy+of+the+basque+country&ie=ut
f-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
us:official&client=firefoxa&channel=np&source=hp#rls=
org.mozilla:enus:official&channel=np&q=the+autonomy+of+the+
basque+country++javier+corcuera+ atienza++%2b++pdf, diakses pada 25 November 2014.
Salah satu persamaannya adalah alasan otonomi khusus dan istimewa pada NKRI,
yang diberikan kepada Bosque dan Catalonia, antara lain, karena alasan latar
dipolitisir oleh kaum kolonialis, politisi dan ahli hukum, mereka mengalihkan
perhatian dan atau hendak memberi kesan, bahwa otonomi yang diterapkan
dihampir semua negara bekas jajahan, dalam realitasnya terbukti lebih popular
dari bahasa Greek, Auto adalah sendiri dan Nomos adalah hukum. Kemudian
hakikatnya berkaitan langsung dengan hukum, hingga akhirnya diakui bahwa hak-
hak otonom merupakan suatu langkah dan satu tujuan untuk mencapai
otonomi daerah sebagai metode terbaik untuk memerintah negara yang beraneka
ragam, majemuk dan berbeda asal-muasal suatu bangsa dan suku. Dalam
dinamakan hak otonomi – menjelma dan dikatakan bahwa cara terbaik bagi
ekstrim telah dibedakan maksud, tafsiran dan penerapannya oleh kemauan politik
(politic will), dengan maksud supaya otoritas pemerintah pusat tetap dominan
dirumuskan secara tegas dalam konstitusi dan peraturan hukum lainnya. Semua
keputusan politik tetap berada dalam ruag lingkup dari administrasi negara. 458
muncul konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, akibat perbedaan
dalam masyarakat akan terjadi perubahan pandangan, di mana konsep hukum dan
mustahil terjadi benturan ekstrem antara teori dan praktek, setidaknya bila
terdapat desakan tertentu dari pemerintah pusat yang tidak mungkin diterima oleh
457
Yusra Habib Abdul Gani, 2009, Self-Government, Studi Perbandingan tentang Desain
Administrasi Negara, Paramedia Press, Jakarta, hlm. 26-27.
458
Ibid.
459
Ibid.
mencakup dua bentuk otonomi, yaitu otonomi wilayah (territorial autonomy) dan
dalam definisi tersebut dimunculkan dua bentuk otonomi, yaitu otonomi asimetris
dan otonomi yang berlaku umum; ketiga, definisi tersebut dikembangkan dari
460
Dikutip dari Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat
Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga,
Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap
Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf,
diakses pada 25 Desember 2013.
461
Ibid, hlm. 53-54.
definitions of what asymmetry is but points out that it has been used in recent
yang berbeda dari asimetris, tetapi menunjukkan bahwa telah digunakan dalam
beberapa tahun terakhir untuk merujuk pada distribusi asimetris kekuasaan”). 463
mempengaruhi pola khusus dalam hubungan suatu daerah khusus dengan daerah-
daerah asimetris tidak memiliki basis khusus guna meletakan suatu bangunan
relasi khusus pula sehingga yang terbentuk hanya hubungan seragam dengan unit-
antar unit politik/pemerintahan maupun pola pengawasan pusat atas daerah. 464
462
Ibid.
463
Dikutip dari Robertus Na Endi Jaweng, 2012, Analisis Kewenangan Khusus Jakarta
Sebagai Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia, Tesis, pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 31.
464
Ibid.
suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme….” 465 Pandangan
para funding fathers, seperti, Soepomo, Muhammad Yamin, Soekarno, Hatta, dan
para tokoh lainnya, tidak ada perbedaan signifikan, bahkan memiliki pandangan
Menurut paham negara kesatuan negara bukan terbentuk secara organis dari
negara kesatuan, sebagaimana selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
465
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,
Jajasan Prapantja, hlm. 106.
466
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 647.
memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah berbeda dengan konstruksi dalam
sistem federal. Dalam negara kesatuan bahwa daerah umumnya dibentuk oleh
kewenangan dari negara bukan sebaliknya dari daerah. Negara melalui undang-
didesentralisasikan akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintahan
467
Kementerian Dalam Negeri, 2011, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Jakarta, hlm. 47.
kekuasaan atau pemberian wewenang dari pusat kepada daerah dalam bentuk
terlalu ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Kedua, karena didorong oleh
dan mengelola aktivitas pembangunan dari pusat dengan efektif dan efesien. 469
Sebelum perubahan UUD RI 1945 hanya satu pasal yang mengatur tentang
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
468
Ibid.
469
Ibid, hlm. 10.
1945. Rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 6 Oktober 1999 yang dipimpin
oleh Ketua MPR, M. Amien Rais. Akan tetapi, tidak semua fraksi menyinggung
470
Bagir Manan, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 121-122.
471
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-200, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Edisi Revisi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1107.
salah satu penggagasnya adalah Hatta Mustafa dari Fraksi Partai Golkar (F-PG)
Pembahasan proses Perubahan Pertama oleh PAH III BP MPR, tetapi hanya
Perubahan Kedua. Pada Rapat PAH I BP MPR ke-3, 6 Desember 1999, dipimpin
Jakob Tobing. 473 Hamdan Zoelva, juru bicara dari Fraksi Partai Bulan Bintang (F-
472
Ibid, hlm. 1109.
473
Ibid, hlm. 1112.
Indonesia pada abad 21 adalah suatu negara besar dengan penduduk 220-
300 juta manusia. Selain sebagai warga negara bangsa, dari berbagai suku
dan adat istiadatnya, warga Indonesia adalah warga dunia global dan
internasional yang setiap saat dapat berkomunikasi dan memperoleh
informasi dari dunia global. Sehingga dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara maka nilai-nilai universal-lah yang menjadi acuan utama.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan dan demokratisasi. Ini saya
tambahkan. Kalau kita baca Preambule UUD 1945 yang tidak bisa kita ubah
itu cita-cita para pendiri republik ini adalah mendirikan negara yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi kalau merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur kita kasih skor rasanya masalah adil-lah yang
paling rendah nilainya. Jadi nilai-nilai tersebut di atas seharusnyalah
menjadi dasar dalam pengelolaan pemerintahan terutama keadilan, baik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun hubungan antar keduanya.
Nilai-nilai tersebut juga menjadi dasar bagi persatuan dan keutuhan,
kedaulatan, dan kemakmuran bangsa ini sesuai amanat Mukadimah UUD
1945 tadi. Selanjutnya dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara
tersebut apakah visi kebersamaan kita sebagai satu bangsa? Apakah kita
komitmen pada persatuan (unity) atau keseragaman (uniformity)? Selama ini
semboyan-semboyan ideologis berkenaan dengan hal tersebut terasa
dipaksakan. Semboyan persatuan dan kesatuan dalam dirinya membawa
konsekuensi otoriter dari Pemerintah Pusat. Ini jauh berbeda dengan
ideologi yang diletakkan oleh para pendiri republik ini yaitu Bhinneka
Tunggal Ika (unity in diversity), sehingga Pemerintahan Daerah di masa
datang adalah Pemerintahan Daerah yang bhinneka tersebut minimum
memiliki otonomi sempurna di tingkat propinsi. Propinsi dan sistem negara
federal bagi sebagian masyarakat umum memang masih menakutkan,
karena berkonotasi historis yang negatif. Tetapi wacana tentangnya jangan
ditabukan karena fakta berbicara bahwa Mohammad Hatta-lah salah satu
pencetus ide awalnya. 475
474
Ibid, hlm. 1114.
475
Ibid, hlm. 1114-1115.
476
Ibid, hlm. 1120.
pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi luas, antara lain, secara politis adanya
Hasil tim perumus, dalam Rapat Komisi A MPR ke-6, pada 14 Agustus
477
Ibid, hlm. 1127.
Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945. Substansi Pasal 18A ayat (1), yaitu:
Namun, karena adanya kritikan dan masukan terhadap susbstansi Pasal 18B
daerah khusus yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur
478
Ibid, hlm. 1408-1409.
479
Ibid, hlm. 1409-1410.
perubahan dan sesudah perubahan, dapat di lihat dalam Tabel 2, berikut: 481
TABEL 2:
PASAL 18 SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
480
Ibid, hlm. 1418-1419
481
Ibid, hlm. 1428-1429
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-
undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi
dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Dapat digambarkan juga bahwa sebagaimana Pasal 18 dan Pasal 18A UUD
diberlakukan kepada seluruh daerah. Sementara, berdasarkan Pasal 18B ayat (1)
menggunakan istilah daerah khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-
undang, bagi daerah-daerah tertentu baik karena asal-usulnya maupun karena latar
belakang sejarah .
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) ini terdapat
lima hal pokok, yaitu: bahwa (i) negara mengakui; (ii) negara menghormati; (iii)
yang diakui dan dihormati itu adalah satuan-satuan pemerintahan daerah; (iv)
Latar belakang daerah istimewa dalam UUD RI 1945 tidak terlepas dari
yaitu: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 483
Undang Dasar dalam Sidang BPUPKI pada 15 Juli 1945 menyampaikan: 484
482
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 484.
483
M. Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, jajasan
Prapantja, Bandung, hlm. 724.
484
Ni’matul Huda, 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perbedaan Konstitusi dan
Perundang-undangan di Indonesia, Nusamedia, Bandung, hlm. 3-4.
Dasar 1945 Negara Republik Indonesia. Dalam SIdang PPKI itu, Soepomo
485
Ibid, hlm. 5.
memberi istilah ‘Swapraja’. 486 Hanya saja konsepsi tentang daerah istimewa
dalam Konstitusi RIS berbeda dengan UUD 1945, dalam hal istilah antara
dalam Bagian III Daerah-Daerah Swapraja. Akan tetapi daerah swapraja itu tidak
yang ada pada waktu itu termasuk dalam pengertian istimewa. Satu-satunya
Barat (Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS). Meskipun tidak ada penjelasan latar
yang diatur dalam Pasal 64 dan 65 dinyatakan status istimewa yang telah
diberikan kepada daerah tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. UUD RIS ini
secara tegas mengatur kewenangan daerah istimewa. Hal ini menjadi proteksi bagi
486
Ibid, hlm. 17.
487
Ibid, hlm.18-19.
488
Bayu Dardias Kurniadi, 2012, Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Makalah yang
disampaikan pada seminar di Lembaga Administrasi Negara, Jatinangor tanggal 26 November
2012, hlm. 7.
dalam bentuk dan corak yang asli tidak berasaskan kerakyatan (demokrasi),
namun tidak berarti swapraja itu tidak dapat disesuaikan dengan asas kerakyatan
atau didirikan atas dasar demokrasi”. Oleh karena itu, menurutnya ada tiga
Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD RI 1945 untuk seluruh wilayah
Setelah masa Orde Baru, di bawah Presiden Soeharto berakhir, pada 20 Mei
1998, melalui suatu gerakan reformasi dan pasca Pemilihan Umum (Pemilu) pada
tahun 1999, dilakukan perubahan UUD RI 1945 oleh MPR. Pada 19 Oktober 1999
perubahan pertama UUD RI 1945, terhadap Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal
489
Ni’matul Huda, 2013, Op., Cit., hlm. 22-23.
490
Ibid, hlm. 25.
491
Ibid.
UUD RI 1945, terhadap Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat
(5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C,
Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab
XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
UUD RI 1945 yang berkaitan dengan Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, pada
yang diwakili oleh Diana Fauziah Arifin, yang berpendapat, sebagai berikut: 492
Pemerintahan Daerah dilakukan pada rapat ke-36 PAH I BP MPR, 29 Mei 2000,
492
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Op., Cit., hlm. 1134.
terhadap hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, yaitu:
Desentralisasi pada dasarnya adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan
daerah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan
(JPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM)
tiga daerah yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional antara lain, karena
perebutan sumber daya. Jika diringkas, otonomi khusus untuk Aceh, Papua dan
493
Ibid, hlm. 1165-1166
494
Bayu Dardias Kurniadi, 2012, Op., Cit., hlm. 8-9.
politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan adanya lembaga baru yang
lainnya.
di Papua belum ada walaupun ruang untuk hal tersebut telah ada.
harus orang asli papua yang disyahkan oleh Majelis Rakyat Papua.
minyak.
Kedua, alasan ibukota negara. Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk
terbaik di negeri ini, perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pilkada untuk
daerah lain, kecuali Yogyakarta, cukup mendapatkan lebih dari 30% (tiga puluh
persen) suara.
perebutan kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil
Gubernur di DIY yang dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang
bertahta dan Wakil Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta. Penentuan
masing. Kedua-duanya tidak boleh bergabung dengan partai politik. Pada level
depan dan bukan halaman belakang RI. Perlakukan daerah perbatasan, misalnya
gubernurnya berasal dari kalangan militer karena potensi pelintas batas yang
terbesar di Indonesia saat ini, Tanjung Priok di Jakarta lebih untuk memenuhi
pelabuhan modern dengan sistem yang baik, tidak mustahil mampu mengambil
Provinsi Aceh, tidak hanya berstatus otonomi khusus, tetapi juga daerah
Dua abad sebelum Masehi, Aceh dalarn sejarahnya dikenal sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah
menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad IV Masehi, Aceh
menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah
melalui proses yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada
abad XllI Masehi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan
yang maju pada abad XIV Masehi. Dari sinilah Islarn berkembang ke
seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad XV, ketika orang-orang Barat
memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang
dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang
berdaulat.
Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad XIX
mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret
1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap
menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Empat puluh tujuh tahun
kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk
tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1
November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh,
yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira
banyaknya pada kedua belah pihak. Sejak waktu itu sampai Perang Dunia II
Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit.
ada 3 (tiga) daerah yang berlaku desentralisasi asimetris, disebut sebagai daerah
istimewa atau khusus, yaitu DIY, DI Aceh, dan DKI. Pasca perubahan UUD RI
1945, terdapat tambahan 2 (dua) daerah lagi yang berstatus sebagai daerah khusus,
yaitu Papua dan Papua Barat. Sehingga, daerah-daerah yang diakui sebagai daerah
Provinsi Papua dan Papua Barat, berstatus sebagai daerah yang berlaku
otonomi khusus. Sebagaimana, Pasal 1 huruf a dan huruf b UU No.21 Tahun 2001
a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan
kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-
hak dasar masyarakat Papua.
Adapun bentuk kekhususan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu:
minyak dan gas berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun. [Pasal 34
selama 20 (dua puluh) tahun. [Pasal 34 ayat (3) huruf c angka 6].
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (UU No.34 Tahun
5. Otonomi Provinsi DKI Jakarta pada tingkat provinsi [Pasal 9 ayat (1)].
memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) untuk ditetapkan
[Pasal 14].
pasca kemerdekaan Indonesia. Meskipun saat itu belum ada peraturan yang
Yogyakarta diatur sendiri oleh Sultan Hamengku Bowono IX, sebagai Kepala
Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah Kadipaten
1945 menyatakan bahwa daerahnya sebagai daerah istimewa dari NKRI dan
Selanjutnya, secara de jure oleh pemangku jabatan Presiden RI Mr. Assaat, pada 3
dipilih oleh dan dari anggota DPRD, tetapi diangkat oleh Pemerintah Pusat dari
496
Ni’matul Huda, 2013, Loc., Cit., hlm. 140-142.
497
Ibid, hlm. 148.
Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No.13 Tahun 2012), 499 Meskipun demikian
1 angka 2];
498
Ibid, hlm.152.
499
Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No.13 Tahun 2012,
LN No.170 Tahun 2012, TLN No. 5339.
angka 4];
Adipati Arya Paku Alam atau Adipati Paku Alam. [Pasal 1 angka 5].
kali periodisasi masa jabatan. [Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2)];
sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta tidak
10. Jika Sultan Hamengku Buwono tidak memenuhi syarat sebagai calon
11. Jika Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta tidak memenuhi syarat
DIY berada pada kesultanan yang selanjutnya ditetapkan dengan Perdais. Di mana
Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam oleh DPRD DIY sekaligus
menetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk 5 (lima) tahun dan tidak
dalam APBN tanpa pembatasan waktu. Berbeda dengan Dana Otonomi Khusus
Papua dan Papua Barat, termasuk juga Dana Otonomi Khusus Aceh yang dibatasi
Daerah Aceh adalah otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus
kekhususan atau keistimewaan yang dimiliki daerah Provinsi Aceh baik di bidang
politik, ekonomi, dan sosial budaya; kecuali dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di
bidang agama. Konsep otonomi tersebut didasarkan pada Pasal 18, Pasal 18A dan
Pasal 18B UUD RI 1945. Secara teoritik, konsep otonomi seperti itu lazim disebut
daerah khusus lainnya. Di mana selain berstatus otonomi khusus juga sebagai
karena didasarkan sejarah pengaruh kuatnya Islam (syari’at Islam), juga karena
Sedangkan, DKI Jakarta merupakan daerah provinsi yang bersifat khusus, karena
karakternya sebagai ibukota negara yang memang berbeda dari provinsi lainnya.
Itu sebabnya sampai sekarang kota Jakarta disebut sebagai Daerah Khusus
500
Soetandyo Wignjosoebroto, dkk., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah : Sketsa
Perjalanan 100 Tahun, Yayasan Tifa dan ILD, Jakarta, hlm. 562.
mengancam integrasi NKRI, maka diberikan status sebagai daerah khusus. 501
daerah Aceh dan Papua diberi status sebagai daerah khusus. Berdasarkan
pandangan tersebut dapat dikatakan status Aceh sampai saat ini, disamping
No.44 Tahun 1999), juga sebagai daerah khusus, diatur dengan UU No.18 Tahun
2001. Namun, karena dalam MoU Helsinki disepakati akan dibentuk undang-
undang baru untuk Aceh dan substansi UU No.18 Tahun 2001 perlu direvisi,
daerah istimewa pertama sekali dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Hardi,
tentang perubahan Daerah Swatantra Tk. I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh,
501
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 486.
502
Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi ini keberadaanya diakui pada saat dibentuk
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disebutkan dalam Penjelasannya, paragraf kesembilan, yaitu: “Salah satu
faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah
Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang
memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Bahkan, dalam undang-
undang ini menambahkan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
503
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc.. Cit., hlm. 417-418.
memberikan suatu pasal yang memberlakukan syariat Islam, sebab hukum Islam
ini sedang dibicarakan dalam Parlemen. Namun, ia percaya bahwa status istimewa
atau otonomi yang luas dalam bidang agama akan memberi kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur hal ini. 504 Keputusan Hardi, tentang pemberian
status sebagai Provinsi Istimewa Aceh, mempunyai makna politis bagi pemulihan
bulan Oktober 1959 belum juga disahkan dalam bentuk produk hukum yang lebih
tinggi. Pada tanggal 28 Juli 1959, Dewan Revolusi mengirim surat secara
berturut-turut kepada Ketua Peperda I Aceh dan Gubernur Aceh memohon agar
Ulama di Banda Aceh (Kutaraja), pada 17-18 Desember 1965 mengeluarkan dua
504
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Loc., Cit., hlm. 313.
505
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 426-427.
1966 dan Ali Hasjimy, tahun 1983. 507 Sejak itu proses penetapan keistimewaan
samping bidang agama, adat dan pendidikan. Dalam Pasal 11, disebutkan:
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
khusus. Penggagasnya adalah lima orang Anggota MPR dari Utusan Daerah
Provinsi DI. Aceh, 12 orang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi
DI. Aceh, dan seorang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi
Sumatera Utara. Pada tanggal 11 Oktober 1999 mereka menulis surat kepada
Pimpinan MPR, seluruh Pimpinan Fraksi, dan semua Pimpinan Panitia Ad. Hoc,
yang intinya mengusulkan agar DI. Aceh diberi kedudukan sebagai Daerah
Otonomi Khusus (DOK). Gagasan ini ibarat air mengalir deras, tidak tertahankan.
referendum yang didesakkan GAM dan mendapat dukungan cukup luas dari
506
Melalui Pasal 1 angka 16 UUPA, Majelis Ulama kembali berganti nama menjadi
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan
cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
507
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 467-477.
Nomor 44 Tahun 1999, pertama sekali diberikan oleh MPR lewat Ketetapan
otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ditegaskan lagi
Khusus bagi DI. Aceh dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah. 509
mempunyai 2 (dua) status, yaitu daerah istimewa juga sebagai daerah khusus.
Berbeda dengan substansi penyebutan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD RI
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang”. Alasan inilah yang menjadikan Aceh bukan hanya sebagai daerah
khusus, tetapi juga sebagai daerah istimewa. Hal ini dapat di lihat pada beberapa
Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Kemudian, Pasal 142 ayat (2),
pada keistimewaan dan kekhususan Aceh dan saling terkait dengan tata ruang
nasional dan tata ruang kabupaten/kota. Selanjutnya, Pasal 246 ayat (2),
disebutkan: Selain Bendera Merah Putih Pemerintah Aceh dapat menentukan dan
kekhususan. Begitu juga, dengan Pasal 248 ayat (2), Pemerintah Aceh dapat
Sebelum dibentuk UU No.18 Tahun 2001, masih ada satu lagi peraturan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (Perpu No.2 Tahun 2000), yang
Tahun 2000). 510 Dalam konteks ini implementasi undang-undang ini pun tidak
Kekhususan Aceh adalah yang diatur dalam UU No.44 Tahun 1999 dan UU
No.11 Tahun 2006. Sementara, yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2001 telah
510
Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, UU No.37
Tahun 2000, LN RI No. 252 Tahun 2000, TLN RI No.
TABEL: 3
PENGATURAN KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN ACEH
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006
511
Kekhususan Aceh dengan adanya ayat (3) ini antar alain, dari 12 (dua belas) peraturan
pelaksanaan UUPA, terdiri dari 9 (sembilan) Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden
yang ditetapkan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh perlu
ditetapkanolehpeerintahpustaelaluikonsultasi dan pertimbangan GubernurAceh.
512
Dayah adalah Lembaga Pendidikan Islam atau dikenal dengan Pesanteren.
yang sudah dimasukkan dalam UU No.44 Tahun 1999 juga menambahkan dan
DPR RI;
g. Penghapusan kelurahan;
dan kabupaten/kota;
Dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945, yang mengatur
Sebagaimana Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945, bahwa presiden
dalam mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta negara lain
undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk
Dewan Perwakilan Daerah. Sementara, Pasal 23F ayat (1) UUD RI 1945,
pelaksanaan cheks and balances, diatur dalam pasal-pasal UUD RI 1945, antara
lain: Pasal 11 ayat (1) UUD RI 1945, disebutkan: “Presiden dengan persetujuan
perjanjian dengan negara lain”. Sementara, ayat (2) disebutkan: “Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
legislatif dan eksekutif, dalam Pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945, menyebutkan:
agung oleh Presiden”. Kemudian, Pasal 24B ayat (3) UUD RI 1945, berbunyi:
Dari uraian pasal-pasal dalam UUD RI 1945 tersebut di atas, baik sebelum
dengan checks and balances antar lembaga negara dalam konteks pemisahan
513
Perubahan kedua, tahun 2000.
daerah kepada pemerintah pusat tidak diatur secara eksplisit dalam Pasal 18, Pasal
Begitu juga dengan substansi Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, berbunyi:
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Dari
pasal-pasal ini secara eksplisit dapat diketahui bahwa daerah dalam menjalankan
Hal ini karena mengingat negara Indonesia adalah negara kesatuan. Di mana
pemerintah pusat.
Dalam hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (2) UU No. 23 Tahun
konkuren yang ada di daerah dibentuk setelah mendapat persetujuan dari gubernur
provinsi induk.
Daerah kabupaten/kota;
dibentuk.
diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, juga tidak ada
tanah Kasultanan dan Kadipaten sebagai badan hukum yang mempunyai hak
Sebagaimana Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UU No.13 Tahun 2012,
pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten oleh pihak lain (selain badan
tetapi dari 5 (lima) daerah, yaitu Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, DI Yogyakarta,
dan Aceh yang berlaku desentralisasi asimetris dalam bentuk otonomi khusus atau
dan perdebatan yang sempat muncul dalam pembahasan RUU Pemerintahan Aceh
antara Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dengan anggota
disebutkan:
514
Departemen Dalam Negeri, 2006, Naskah Akademik Rancangan Undanga-Undang
Pemerintahan Aceh, hlm. 18.
515
Ibid.
Dalam Negeri dalam Rapat Pansus RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR RI,
dengan GAM yang dimasukan dalam poin 1.1.2 MoU Helsinki, yang berbunyi:
Menurut Djohermasnyah:
Poin 1.1.2.a (penulis: MoU Helsinki), ini disepakati karena saat itu
susbstansi dan prinsipnnya dianggap sudah sesuai dengan ketentuan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di mana daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya, yaitu
semua sektor publik berikut aktivitas administrasi dan peradilannya, kecuali
keenam urusan pemerintahan tadi yang merupakan kewenangan mutlak
516
Penjelasan Pemerintah (Menteri Dalam Negeri), pada Rapat Panitia Khusus RUU
tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.
dalam Bab II, salah satunya Sutradara Ginting, anggota DPR RI dan Panitia
Perjuangan dan Rufinus Sianturi dari Fraksi Partai Damai Sejahtera. Mereka tidak
dalam konteks negara kesatuan otoritas tertinggi ada pada pemerintah pusat.
Meskipun demikian, sebagian anggota Panitia Khusus RUU Pemerintah Aceh ada
sepakat dengan usulan dari Pemerintah, seperti, Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi
517
Djohermasyah Djohan, 2010, Op., Cit., hlm.128.
518
Ibid, hlm. 131.
kepentingan khusus Pemerintahan Aceh. 520 Sejalan dengan pendapat Sofyan Jalil,
hukum dan politik otoritas DPRA dan Gubernur menjadi lebih tinggi daripada
519
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 50-51.
520
Ibid, hlm. 55-56.
521
Djohermasyah Djohan, 2010, Loc., Cit., hlm.132.
Lalu bagaimana dengan pengangkatan Kepala Polisi dan Kepala Kejaksaan Tinggi
Aceh, di mana harus melalui persetujuan Gubernur dan malah disepakati menjadi
2014 ini sama dengan materil yang ada dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU
Dalam Negeri.
Oleh karenanya, pada saat Rapat Pansus DPR RI pembahasan tentang RUU
tersebut, yang memuat adanya persetujuan secara adminitrasi dari Gubernur dan
anggota DPR RI dari Pansus RUU Pemerintahan Aceh tersebut menanggapi hal
itu tidak menjadi persoalan karena hanya berkaitan administratif. Sehingga, tidak
Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, menurut Ahmad Farhan Hamid, “karena Aceh
juga berlaku syari’at Islam maka diharapkan pejabat pusat di Aceh, seperti
No.11 Tahun 2006, hukum adat dan kekhususan Aceh lainnya. Agar tidak
dan bersifat khusus, seperti UU No.11 Tahun 2006, maka pengangkatan kedua
522
Ibid, hlm 51.
dan Pasal 209 UU No.11 Tahun 2006 tersebut, memang proses pengangkatan
Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, lebih cenderung
atau DPRA, salah satu anggota Panitia Khusus tersebut, Benny Kabur Harman
“konsultasi dan perimbangan” Gubernur atau DPRA. Oleh karena itu, dari
523
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
524
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 54.
sebagaimana Pasal 8 ayat (3), tidak ada yang kontradiksi dengan UUD RI 1945
Daerah, meskipun tidak diatur secara eksplisit kewenangan tersebut, tetapi dalam
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18A ayat (1) UUD RI 1945, menyebutkan diatur
kekhususan dan keistimewaan Aceh yang diatur dalam UU No.44 Tahun 1999
menggunakan asas hukum. Dalam hal ini dapat digunakan asas lex specialist
derogate legi generalis (peraturan yang khusus dapat mengalahkan yang umum).
Meskipun, ada juga asas lex posterior derogate legi priori (peraturan yang baru
dapat mengalahkan peraturan yang lama). Artinya, UU No. 23 Tahun 2014 dapat
bersifat alles of niets, di mana dapat diterapkan berbagai asas hukum yang
Selain dengan asas hukum perbedaan substansi UU No.11 Tahun 2006 dan
23 Tahun 2014, dapat dilihat dan diselesaikan juga dengan metode penemuan
525
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Cet.
Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hlm. 169. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-
bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hlm. 12.
526
Ibid, hlm. 173.
527
J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, terjemahan dari Rechtsvinding, Jendela Mas
Pustaka, Bandung, hlm. 41.
pada Bab II, dapat dilihat berdasarkan Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI
kehususan diatur Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, menyebutkan adanya
undang. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah dalam NKRI yang diakui sebagai
528
Sudikno Mertokusumo, 2007, Op., Cit., hlm. 173.
DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Papua dan Papua Barat, serta Aceh, diatur khusus
“Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa,
maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil, atau besar, mendapat otonomi,
mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”. Untuk itu, kemajemukan
sosial, budaya, kepercayaan bahkan ekonomi, akan menimbulkan hajat
hidup atau kebutuhan yang berbeda-beda dari daerah ke daerah. Dalam hal-
hal tertentu, karena perbedaan sifat geografis, akan timbul pula perbedaan-
perbedaan kebutuhan. Perbedaan-perbedaan hajat hidup atau kebutuhan
tersebut akan terlayani bila terdapat satuan pemerintahan lebih rendah.
Rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhannya, sehingga seyogyanya
merekalah yang mengatur dan mengurus sendiri sendiri. Desentralisasi
merupakan cara terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukannya
sentralisasi. 530
satu sila dalam Pembukaan UUD RI 1945, berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin
529
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 161.
530
Ibid.
perwakilan. Oleh karena itu, jika maksud perundingan seperti “konsultasi dan
531
Ibid. hlm. 157.
532
Ibid, hlm. 162
Pemerintahan Aceh tersebut. Di mana juga telah diatur dalam Perpres No. 75
Tahun 2008, sebagaimana perintah Pasal 8 ayat (4) UU No.11 Tahun 2006,
disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian
secara umum relatif sama. Kata kebijakan administratif yang terdiri dari 2 (dua)
memiliki beragam arti, hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli dan
Klein, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan
politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah.
suatu susunan dari: (1) tujuan-tujuan yang dipilh oleh para administrator publik
baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan kelompok; (2) jalan-jalan
dan saran-sarana yang dipilih olehnya; dan, (3) saat-saat yang mereka pilih. 533
kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
Freidrich juga merincikan apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan, yaitu
Selanjutnya, menurut Solly Lubis, kata kebijakan berasal dari bentuk dasar
bijak, yang mengandung makna garis haluan, dalam bahasa Inggris disebut policy.
Garis haluan mengandung makna (1) “rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak (tentang pemerintah, organisasi)”, dan (2) “pernyataan cita-
cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
533
Dikutip dari Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 22-23.
534
Dikutip dari Leo Agustino, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung,
hlm. 7. Lihat juga, Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7.
535
Solly Lubis, 2011, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Edisi Kedua, Sofmedia, Jakarta, hlm.
198.
yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan
bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. 536 Policy atau kebijakan ini “tertuang
dalam dokumen resmi…. Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, juga
tersirat dan terkandung pokok kebijaksanaan itu, misalnya di dalam UU, PP,
dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur dalam
yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
536
Dikutip dari I Wayan Suandi, Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume I Nomor 01, Tahun 2010, hlm. 12.
537
Solly Lubis, 2007, Op., Cit., hlm. 5.
538
Ibid, hlm. 7.
539
Ibid, hlm. 8.
keputusan yang dilakukan sebagai suatu haluan dan dasar rencana yang dilakukan
oleh pelaku politik/pemerintah atau organisasi baik dalam bentuk informasi dan
Untuk melengkapi istilah kebijakan ini, ada juga kata kebijkasanaan yang
Imam Syaukani dan Ahsin Tohari, memberikan pengertian berbeda antara istilah
bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Sementara,
bidang hukum yang bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau
disampaikan oleh Solly Lubis, mengatakan, kebijakan berasal dari bentuk dasar
bijak, yang mengandung makna garis haluan (dalam bahasa Inggris disebut
manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai
administrasi adalah: 1) dilakukan oleh dua orang atau lebih; 2) memiliki tujuan; 3)
perlengkapan.
Menurut The Liang Gie, secara etimologis istilah administrasi berasal dari
kata “Ad” dan “ministrare” yang artinya pemberian jasa. Istilah administrasi
yang dikenal di Indonesia bersal dari dua istilah yang berbeda. Pertama, istilah
sama lain. Dengan demikian pengertian administrasi yang dimaksud di sini sama
542
Solly Lubis, 2011, Op., Cit., hlm. 198.
543
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Op., Cit., hlm. 11.
administratie yang diistilahkan dengan tata usaha adalah clerical work (pekerjan
tulis), paper work (kertas kerja) atau office work (pekerjaan kantor). 544 Kedua,
menurut Miftah Thoha bahwa istilah administrasi yang berasal dari bahasa Latin
usaha kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. 545
2. Dalam arti luas, bahwa istilah Administrasi yang berasal dari bahasa
544
Dikutip dari Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum
Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1-2.
545
Ibid.
546
Ibid.
yang berasal dari istilah bahasa Inggris, administration, yaitu sebagai proses
kegiatan penataan usaha kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh
Perang Dunia II daripada istilah “Tata Pemerintahan dan Tata Usaha Negara”. 547
memerintah (to direct, to manage, bestaken, be wind voeren atau beheren) yang
kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan cara: 1. menyusun
547
Philipus M. Hadjon, dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 2.
548
Bewa Ragawino, 2006, Hukum Adminstrasi Negara, Buku Ajar: Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 17.
1. Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-
cara penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2. Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan
untuk mencapai tujuan;
3. Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
4. Kegiatan kantor dan tata usaha. 550
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas, dapat dipahami bahwa
administrasi yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang diartikan
administrare atau secara sempit dan dalam arti administration menurut bahasa
Inggris atau dalam arti luas. Artinya, berdasarkan pengertian “kebijakan” dan
tersebut adalah suatu kegiatan atau keputusan pemerintahan yang dilakukan oleh
bentuk pendataan informasi atau dokumen dan peraturan hukum untuk mengatur
dengan maksud Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, bahwa kebijakan
549
Prajudi Atmosudidrjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan
Keenam, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 46.
550
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Ke-IV, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11.
dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 dan Penjelasannya dikaitkan
dengan pendapat beberapa ahli di atas, bahwa suatu kegiatan pemerintahan atau
di Aceh – untuk saat ini dan akan datang – dalam mengimplementasikan atau
secara etimologis dan terminologi dalam UU No.11 Tahun 2006 tidak dijelaskan
yang merupakan asal kata dari timbang yaitu tidak berat sebelah; sama berat.
Sehingga, “pertimbangan" diartikan sebagai pendapat (tentang baik dan buruk). 552
551
Ibid, hlm. 728.
552
Ibid, hlm. 1464.
Pemerintahan Aceh”.
Secara letterlijk Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut,
Pemerintah Pusat tersebut tidak terbatas yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal
substansi pada Penjelasan Pasal 8 ayat (3) tersebut, salah satunya sebagaimana
Kemudian kebijakan energi nuklir, kalau energi nuklir itu khusus untuk
Aceh, ditempatkan di Aceh, itu perlu persetujuan dari Pemerintah Aceh….
juga ada kekhawatiran status pelabuhan bebas Sabang yang telah diberikan
sebagai kawasan khusus dikhawatirkan di-refill keputusan tersebut perlu
mendapat persetujuan DPR Aceh…..”. 553
kebijakan administratif yang ada dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3) adalah
langsung dengan Pemerintahan Aceh. Kedepan bisa saja Pemerintah Pusat dalam
553
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 56.
untuk memberi rasa aman bagi masyarakat dan negara, maka perlu dilakukan
Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 secara letterlijk bahwa tidak
Pemerintahan Aceh, substansinya tidak terbatas materi Penjelasan Pasal 8 ayat (3)
Aceh, yang belum ditetapkan. Sebagaimana, Pasal 8 ayat (1) PP No. 83 Tahun
554
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
555
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015, dan Mawardi Ismail, Mantan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5
Februari 2015.
Sabang”.
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang berlaku di Aceh oleh menteri/kepala
peraturan perundang-undangan”.
substansi dalam Pasal 8 ayat (3) dan Penjelasannya adalah merupakan suatu
terhadap suatu hukum di Aceh supaya sesuai dengan kenyataan sosial dalam
Pemerintahan Aceh.
sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari
pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mecakup proses pembuatan dan
pelaksanaan yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan
yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sosiale
bahwa politik hukum membuat suatu ius constituendum (hukum yang akan
berlaku) dan berusaha ius constituendum itu pada hari kemudian berlaku sebagai
556
Mahfud, MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta, hlm.
9.
557
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakaarta, hlm. 48.
558
Ibid.
undangan mengandung dua dimensi, yaitu, dimensi kebijakan dasar (basic policy),
penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif. 560
mengolah tujuan-tujuan politik (oleh politisi, pejabat negara, yuris, dan lain-lain),
(ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Oleh karena itu, politik dan
559
Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum,Utomo, Bandung, hlm. 17.
560
Hikmahanto Juwana, 2005, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal
Hukum, Volume 01, Nomor 1 Tahun 2005, hlm. 24. Lihat juga, Wahyudin Husein dan Hufron,
2008, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 159.
yang terkandung dalam UU No.11 Tahun 2006, baik dari aspek dimensi basic
policy dan enactment policy, serta momen sentral (unsur pokok) perundang-
2006, yaitu:
Ketiga, karena ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan
dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
561
B. Arief Sidharta, 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm. 10. Lihat juga, Otong Rosadi dan
Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum Suatu Optik Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta,
hlm. 125.
Kelima, karena bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh
telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan politik idiil dari UUD RI 1945 bahwa mengakui daerah khusus atau istimewa,
NKRI. Keistimewaan karena latar belakang pada budaya Islam (syari’at Islam)
yang telah hidup sebagai hukum (living law) bagi rakyat Aceh. Sehingga, Aceh
Latar belakang ini juga sebagaimana dikatakan Ashari Bashar, Ketua Tim
Advokasi Aceh dari DPRD Aceh, pada Rapat Dengar Pendapat Pansus DPR-RI
562
Risalah Rapat, Dengar Pendapat Panitia Khusus DPR-RI Rancangan Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh dengan Pejabat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan Pimpinan
DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 27 Februari 2006, hlm. 13.
“There is more to law than rules, robes and precedent. Rather, law is an
integral part of social practices and policies, as diverse and complex as
society itself”. (Hukum lebih dari sekedar aturan-aturan, toga hakim dan
putusan-putusan pengadilan. Lebih dari itu, hukum adalah suatu bagian
integral dari praktik-praktik sosial dan kebijakan-kebijakan sosial, yang
sama beragam dan kompleksnya dengan masyarakatnya sendiri). 563
“Law arises not from the actions of governors of a state, but from the facts
of life within a community. The rules of law (reflecting economic and moral
norms) are based on the community’s recognition of their significance for
social cohension”. (Hukum tidak lahir dari tindakan-tindakan pemerintah,
tetapi lahir dari fakta-fakta kehidupan dalam suatu masyarakat. Aturan-
aturan hukum (mencerminkan norma-norma ekonomi dan moral) didasarkan
pada pengakuan masyarakat tentang arti pentingnya bagi kohesi sosial). 564
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11
Tahun 2006 dan Perpres No. 75 Tahun 2008, tidak terlepas daripada pengakuan
563
Dikutip dari Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprodudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 109.
564
Ibid, hlm. 110.
Tahun 2006, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan khusus bagi Aceh.
dalam menyelanggarakan pemerintahan di Aceh – untuk saat ini dan akan datang
bagi rakyat Aceh. Dalam konteks itu, sebelum melihat bagaimana mekanisme
tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap
pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah dalam lingkaran aktifitas yang
1. Fase penyusunan agenda, yaitu para pejabat yang dipilih dan diangkat
legislatif.
565
William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, terjemahan dari Public
Policy Analysis: An Introduction Second Edition, Cetakan Kelima, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 22-23.
kebijakan, dalam hal ini sudah diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun
2006. Sementara, fase yang sedang dan belum dijalankan oleh Pemerintah Pusat
kebijakan. Untuk implementasi kebijakan yang sedang dan sudah dijalankan oleh
berjalan maksimal.
pernah dilakukan oleh pihak DPR-RI oleh Tim Pemantau UU No.11 Tahun 2006,
sekitar tahun 2009 dan pernah memanggil Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
Aceh belum maksimal dilaksanakan oleh Pemerintah, tetapi pihak legislatif (DPR-
566
Ibid, hlm. 24.
Wakil Ketua DPR RI, saat berkunjung ke Aceh untuk mengetahui perkembangan
persoalan. Terkait laporan masih belum tuntasnya sejumlah PP dan Perpres sesuai
pemerintah. 568
Pusat ini juga mengalami kemajuan yang signifikan terhadap kewenangan yang
apa penyebab dan hambatannya. Apakah karena substansi regulasinya (UU No.11
567
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
568
Buletin Parlementaria, 2014, Tim Pemantau UU PA DPR Berdialog dengan Muspida
NAD, Nomor: 801/II/2014, I/Februari/2014, hlm. 20.
Kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, atau samar-samar jika:
1. Tidak ada aturan mengenai sesuatu (null);
2. Ada peraturan hukumnya, tetapi tidak jelas pengertiannya dan
mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda;
3. Terdapat pertentangan isi diantara sesama aturan hukumnya sendiri baik
aturan yang setingkat maupun yang tidak sama tingkatannya, sehingga
membingungkan masyarakat; dan,
4. belum ada peraturan pelaksanaan meskipun sudah ada peraturan
pokoknya sehingga tidak memberi efek apa-apa.
Situasi yang demikian disebut ketidakpastian hukum ((rechtsonzekerheid))
atau sering juga diartikan sebagai kekosongan hukum (rechtvacum).
2008 tersebut, proses penetapan Perpres itu sendiri dilakukan melalui konsultasi
sampai puluhan kali antara Pemerintah Pusat dengan Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh. Di mana dalam proses konsultasi dan pertimbangan tersebut dipimpin oleh
Kementerian Dalam Negeri dan pernah melibatkan Wakil Presiden, Yusuf Kalla.
569
Solly Lubis, 2011, Loc., Cit., hlm. 54-55.
tersebut melebihi maksud yang ada dalam Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006. 570
berubah, terutama terhadap Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) yang sebelumnya
570
Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5 Februari 2015.
dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), secara letterlijk menggunakan
undang-undang…”. Artinya, dapat dipahami norma hukum dalam ayat (1) dan
ayat (2), tersebut, bahwa apabila Pemerintah Pusat berencana melakukan atau
dilakukan dengan konsultasi dan prtimbangan DPRA. Oleh karena itu, dalam
itu walaupun Perpres No. 75 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksana UU No.11
Tahun 2006 belum ditetapkan oleh Pemerintah, tetapi proses konsultasi dan
pertimbangan ini dimulai sejak masa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan Wakil
tahun sejak tahun 2006, namun dari 12 (dua belas) PP dan Perpres, sebagian
mekanisme atau prosedur konsultasi dan pertimbangan gubernur, berawal dari ide
gubernur menerima rancangan tersebut yang dibuat dalam suatu berita acara, lalu
rancangan tersebut dijelaskan oleh pemrakarsa baik atas inisiatif pemrakarsa atau
langsung oleh Gubernur Aceh, tetapi diwakili oleh “Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh” yang dibentuk oleh Gubernur Aceh, diketuai oleh Sekretaris Daerah Aceh
Proses pelaksanaan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, oleh Tim
Aceh. 572
usulan Pemerintah Pusat yang disetujui oleh gubernur, untuk dijadikan sebagai
571
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail,
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh, pada 5 Februari 2015.
572
Ibid.
perjalanan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh saat itu dari Aceh ke Jakarta
langsung dengan Pemerintahan Aceh. Berkaitan dengan Pasal 9 ayat (3) Perpres
No. 75 Tahun 2008 di atas, sejak dilakukannya konsultasi dan pertimbangan oleh
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf (Tim Konsultasi Pemerintah Aceh) dari tahun
substansinya tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat, antara lain, akibat mis-
573
Ibid.
574
Ibid
Aceh, Irwandi Yusuf, RPP ini langsung dikritik dan ditolak oleh gubernur karena
beralasan bahwa rancangan ini tidak berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor
Tahun 2007). 575 Setelah memasuki 9 (sembilan) tahun, yaitu pada 12 Februari
2015, Rancangan ini baru ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi PP No.3
Tahun 2015.
terlambat. Penolakan ini merupakan suatu praktik yang progresif jika mengacu
pada Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, bahwa pembahasan antara
sebenarnya tidak kontradiksi dengan Perpres, hal ini karena berdasarkan Pasal 9
ayat (3) Pepres Konsultasi dan Pertimbangan tersebut, dibenarkan bahwa ketika
575
Amrizal J. Prang, 2007, Mengeritik RPP Kewenangan Pemerintah, Opini, Serambi
Indoneisa, 8 Mei 2007.
576
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.
Pemerintah dan Pemerintah Aceh terhadap Minyak Bumi dan Gas Alam yang ada
pengelolaan minyak dan gas dalam wilayah antara 12 mil sampai 200 mil.
Sehingga, RPP ini baru ditetapkan pada 5 Mei 2015, menjadi Peraturan
Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (PP No. 23 Tahun 2015). Ketiga, juga
menentukan apa yang hendak diterjemahkan dalam kalimat hukum dan menjadi
perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-
konsistensi dan korelasi yang erat dengan apa yang ditetapkan sebagai politik. 577
produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih
577
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 19.
578
Mahfud, MD, 2001, Op., Cit., hlm. 25.
Dalam perspektif ini, sebagaimana juga dikatakan Philippe Nonet dan Philip
Selznick, bahwa hukum yang baik menawarkan sesuatu yang lebih daripada
sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil.
Hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan public dan punya
secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan
579
Ibid.
580
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif, terjemahan dari Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law, Cetakan Kelima, NusaMedia, Bandung, hlm. 84.
hukum responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespon
bono publico). 584 Oleh karenanya, mengacu pada proses kebijakan administratif
Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, dalam hal
581
Ibid, hlm. 87.
582
Dikutip dari Yohanes Suhardin, 2009, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, hlm. 346.
583
Ibid, hlm. 350.
584
Ibid, hlm. 351
585
Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, hlm. 124.
oleh kekuasaan negara, yang dengannya terjamin untuk tiap orang maksimum
dalam membela hak-hak sendiri. Tujuan hukum itu adalah untuk memungkinkan
pemberian kebebasan maksimum bagi tiap orang buat bertindak sesuai dengan
Jhon Stuart Mill, menekankan bahwa moral yang sebenarnya tidak bersifat
kebaikan di negara lain bila keadaan yang khas disana diperhitungkan. 588 Hanya
586
Yohanes Suhardin, 2009, Op., Cit., hlm. 351.
587
Rescoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan dari An Introduction to The
Philosophy of Law, Cetakan Ketiga, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 42.
588
J.J. von Schmid, 1979, Pemikiram tentang Negara dan Hukum Dalam Abad Kesembilan
Belas, terjemahan dari Het Denken Over Staat en Recht in De Negentiende Eeuw, Cetakn Ketiga,
PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 109-110.
penulis: sebagaimana pernah dialami oleh Aceh sejak masa orde lama, orde baru
dan orde reformasi dalam suasana konflik kekerasan – padahal, Rescoe Pound,
sebagai suatu jenis teknik sosial (social engineering) atau kontrol sosial (social
mengimbangi kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain. 590
Aceh. Hukum yang mengatur Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006) dalam
konsisten oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Sehingga, tidak terjadi
kepada kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh pada khususnya
589
Yohanes Suhardin, 2009, Loc., Cit., hlm. 351.
590
Ibid.
terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
memiliki makna berhasil, dan dalam bahasa Belanda dikenal kata effectief yang
memiliki makna berhasil guna. 591 Secara umum, kata efektivitas menunjukkan
keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika
Efektivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata efektif
591
Nurul Hakim, 2015, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net, di
akses pada 24 Februari 2015.
592
Sondang P. Siagian, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 24.
593
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Ke-IV, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 352.
suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap
hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
Sementara, dalam ilmu sosial, antara lain dalam sosiologi hukum, masalah
pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya
sesuatu yang ditetapkan, dalam hal ini hukum. 595 Selanjutnya menurut Soekanto,
maksud efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang
ada dalam masyarakat benar-benar hidup, dan agar kaidah hukum atau sebuah
594
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, hlm. 19.
595
Ibid, hlm. 20.
596
Ibid, hlm. 53
bahwa kelakuan atau hal berlakunya kaidah hukum atau peraturan haruslah
597
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, Cetakan
Keenam, Citra Aditya, Bandung, hlm. 88-94.
hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum
bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat
langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan atau
jika berjalan dan berfungsi dengan baik, maka hukum-pun dapat terlaksana secara
efektif. Sehingga, ada 3 (tiga) faktor yang yang menjadi esensi efektivitas hukum
Friedman, bahwa suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah
organisme kompleks, yang terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu: 1) struktur hukum
mengenai penegak hukum, seperti, para hakim, yurisdiksi pengadilan, dan orang-
orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan; 2) substansi hukum (legal
hukum (legal culture), yaitu elemen sikap dan nilai-nilai sosial, di mana mengacu
pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum – adat, kebiasaan, opini, cara
Maksud dari efektivitas hukum ini, juga berkaitan erat dengan penegakan
hukum (law enfocement). Menurut Soekanto, secara konsepsiopnal inti dan arti
601
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan dari
The Legal System: A Social Science Perspective, Cetakan Kedua, Nusa Media, Bandung, hlm. 15-
17.
hukum; dan kultur hukum, di mana masyarakat dalam berfikir dan bertindak
602
Sorjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
603
Ibid, hlm. 8-9. Lihat juga, Mahfud, MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Gama Media, Yoyakarta, hlm. 189-190.
berhubungan erat dengan kesadaran hukum. Menurut Krabbe yang dikutip Ahmad
Ali, bahwa kesadran hukum yaitu, merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. 604 Jika merujuk pendapat Krabbe tersebut, maka kesadaran
hukum itu tidak berpengaruh pada faktor eksternal (luar), tetapi dari dalam pribadi
kesadaran hukum, yaitu: 1) kesadaran hukum yang baik; dan, 2) kesadaran hukum
yang buruk. Salah satu kesadaran hukum yang buruk adalah seseorang yang
proses banding dan kasasi meskipun ia sebenarnya sadar bahwa dirinya di pihak
yang salah. Sehingga, kesadaran hukum yang buruk ini menjadi salah satu
604
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kaajian Empiris terhadap Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 141-142
605
Ibid.
606
Ibid. hlm. 142-143.
bahwa perbedaan kualitas keefektifan suatu aturan, jika masyarakat yang menaati
itu masih rendah; sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati
607
Ibid.
608
Achmad Ali, 2009, Op., Cit., hlm. 376-378.
enactment is not strictly complied with, the thing done shall be invalid”
tepat atau mutlak….. Jika tidak dipatuhi secara tepat atau mutlak, maka
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan
sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat kita
katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu dapat untuk tujuan
lain.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,
memnag tindakan kongkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya
memungkinkan untuk untuk diproses dalam setiap tahapan.
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif
akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan
dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target
diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif
adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam sanksi bagi
tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan,
dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma
lain, akan lebih tidak efektif.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang
mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hokum,
interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus
kongkret.
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hokum secara umum, juga
mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di
dalam masyarakat. Sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak,
harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektivitas hokum akan
terwujud secara optimal, jika masyarakat dalam keadaan keos atau situasi
perang dahsyat.
609
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 27-28.
di atas yang didasarkan pada adanya kesadaran dan ketaatan hukum. Selanjutnya,
Meskipun, masih ada yang belum terlaksana dengan baik, bahkan dengan adanya
610
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 378-379.
611
Ibid.
semua ditetapkan, tetapi sampai saat ini sebagaian peraturan pelaksana tersebut
sudah dibentuk dengan konsultasi dan pertimbangan dengan gubernur, antara lain:
Hal ini juga dikatakan oleh Setia Budi, Ketua Tim Konsultasi Pemerintah
612
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.
yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak
UU No.11 Tahun 2006. Salah satu peraturan pelaksana yang tidak sesuai/sinkron
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan organisasi, tugas, dan fungsi
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan organisasi, tugas, dan fungsi
Badan Pertanahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional atas usul Gubernur Aceh. Sementara, berkaitan dengan Pasal 7 diatur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul
Gubernur Aceh”.
UU No.11 Tahun 2006 adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No.11
tersebut menjadi institusi daerah Aceh dan yang berkaitan dengan kebijakan
Hal ini jelas bahwa antara substansi Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan presiden
tersebut tidak sinkron atau kontradiksi dengan Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) UU
No.11 Tahun 2006. Memang, Pasal 213 dan Pasal 253 UU No.11 Tahun 2006,
ikhlas dan “setengah hati” dalam pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
itu, substansi tambahan dalam batang tubuh Perpres tersebut juga cenderung
Oleh karena itu, penetapan PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh, yang sebagiannya belum ditetapkan dan belum sesuai dengan
UU No.11 Tahun 2006, maka dapat dikatakan jenis kualitas ketaatan hukum yang
tidak mengatur perihal sanksi hukum bagi Pemerintah Pusat jika terlambat dalam
614
Anon, 2015, Perpres BPN Belum Sesuai dengan UUPA, Serambi Indonesia, 12 Maret
2015, hlm. 6.
sehari-hari makin luas. Oleh karena itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
615
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Loc., Cit., hlm. 146.
dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang dalam arti luas; bila
tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan,
baiknya. 616
merupkan hal positif bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh dalam
Selain itu, dirasakan bahwa proses konsultasi dan pertimbangan gubernur juga
616
Prajudi Atmosudidrjo, 1983, Loc., Cit., hlm. 79-80.
waktu, tenaga, biaya); 2) mampu menjalankan tugas dengan cepat dan cermat;
kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang
waktu, tenaga, biaya). 617 Oleh karenanya, efektivitas tidak dapat disamakan
dengan efisiensi, karena keduanya memilki arti yang berbeda walaupun dalam
banyak waktu dan biaya yang digunakan baik oleh Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh maupun Pemerintah Pusat. Terutama, pada frekwensi perjalanan dari Aceh
di sisi lain, jika melihat hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh
Aceh peace), serta kepercayaan dan rasa keadilan bagi Aceh, maka konsultasi dan
617
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Loc., Cit., hlm. 352.
yudraku kulluh laa yutraku julluh” (sesuatu yang tidak berhasil mengambil
sampai dihilangkan atau dicabut. Untuk itu, agar adanya perubahan kedepan dan
618
Mahfud, MD, 2006, Loc., Cit., hlm. 294.
maka akan mengalami perubahan yang signifikan bagi kemajuan Aceh. Misalnya,
untuk daerah Sabang secara khusus akan mengalami perubahan dan kemajuan
yang pesat sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri
(selanjutnya disebut Perpres Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau
Aceh untuk dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri
Pasal 4 perpres tersebut, yaitu: “Kerja sama dengan lembaga atau badan di luar
negeri, dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri
mana sejak dilakukannya konsultasi dan pertimbangan ini oleh Pemerintah Aceh
dengan Pemerintah Pusat dari tahun 2006- 2015, bahwa setiap satu peraturan
pelaksanaan tersebut, agar dapat diterima oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
dilakukan sampai puluhan kali. Bahkan, jika dihitung dari 12 (dua belas),
peraturan peleksana UU No.11 Tahun 2006 tersebut, yang sudah dan sedang
yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh lainnya, ternyata masih ada
tersebut dianggap kontradiksi dengan UU No.11 Tahun 2006. Oleh karena itu,
telah dipahami oleh Pemerintah Pusat (pemrakarsa) dan Pemerintah Aceh (Tim
Konsultasi Pemerintah Aceh), tentu saja tidak akan sampai melewati batas waktu
yang telah ditetapkan Pasal 271 UU No.11 Tahun 2006, yaitu dibentuk paling
619
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.
sebagai lex specialist; 3); political will Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh; 4)
lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-RI; dan,
dengan pemerintahan dan politik di daerah merupakan suatu peraturan khusus (lex
tidak dimasukkannya sanksi atau penalti jika peraturan pelaksana (PP dan Perpres
Sehingga, jika merujuk pendapat Achmad Ali, maka variabel kedua tersebut
dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. 620 Realitasnya, dalam Pasal
Aceh – yang sekarang sudah ditetapkan menjadi PP No. 3 Tahun 2015 -- bahwa
isu krusial menjadi perdebatan dan sulit mencapai titik temu adalah terkait
pembagian hasil minyak lepas pantai dan pertanahan. Soal isu pertanahan, oleh
juga terkait Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). 623
620
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 376-378.
621
1) izin lokasi; 2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 3) penyelesaian sengketa
tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5)
penetapan subyek dan obyjek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee; 6) penetapan tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah
kosong; 8) izin membuka tanah; 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota; 10)
Hak Guna Usaha (HGU); dan, 11) Hak Guna Bangunan (HGB).
622
1) izin lokasi; 2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 3) penyelesaian sengketa
tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5)
pengelolaan pertanahan, yakni penetapan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna
(dua puluh satu) kewenangan bidang pertanahan. Dua kewenangan HGU dan
lepas pantai, sehingga penetapan PP-nya menjadi terhambat dan terlambat, karena
semuanya dikelola oleh Aceh. Permintaan inilah ditolak oleh Pemerintah Pusat,
karena tidak mungkin semua 200 Mil diserahkan kepada Aceh, karena melewati
itu merupkan ZEE (Zone Economi Exclusive). 625 Selanjutnya, Direktur Jenderal
penetapan subyek dan obyjek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee; 6) penetapan tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah
kosong; 8) izin membuka tanah; dan, 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
623
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-
diminta-berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 1 Januari
2015.
624
http://www.antaranews.com/berita/429650/aceh-dapat-tambahan-
kewenangan-pertanahan, di akses pada 1 Januari 2015.
625
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-berbesar-
hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 15 Januari 2015.
menambahkan:
“bahwa Pemerintah Aceh setuju hanya mengelola minyak dan gas bumi
(migas) pada batas 12 mil dari garis pantai. Namun, mereka minta ikut
dilibatkan dalam mengelola migas di wilayah 200 mil perairan Aceh. Kalau
sampai 200 mil kan bukan surrounding (seperti diatur dalam MoU Helsinki)
lagi, tetapi, Aceh minta dilibatkan. Terdapat penafsiran yang berbeda antara
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat soal pengelolaan laut. Dalam MoU
Helsinki poin 1.3.3 terkait Bidang Ekonomi, Aceh akan memiliki
kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar
Aceh. Pemerintah Aceh menafsirkan klausul "di Sekitar Aceh" adalah
wilayah sejauh 200 mil dari garis pantai, sedangkan bagi pemerintah sejauh
12 mile”. 626
Sementara, menurt Farhan Hamid dan Mawardi Ismail, bahwa pernah dalam
proses ketika dilakukan konsultasi dan pertimbangan oleh kedua Tim Konsultasi
menyepakati bentuk pertemuan dari satu daerah ke daerah yang lain. 627 Pertemuan
pembahasan PP dan Perpres tersebut terkait juga dengan pembahasan Qanun Aceh
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Di mana, terakhir kali
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, di Bogor, Jawa Barat,
pada 23 Mei 2013 dan di Batam, Kepulauan Riau, 24 Mei 2013, selanjutnya di
626
http://www.kemendagri.go.id/news/2014/04/17/pemerintah-aceh-minta-
ikut-kelola-migas-hingga-200-mil, di akses pada 10 Desember 2014.
627
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh,
pada 5 Februari 2015.
628
http://m.liputan6.com/news/read/598629/mendagri-misalnya-garis-hitam-hilang-sudah-
tak-mirip-bendera-gam, di akses pada 1 Januari 2015.
substansi UU No.11 Tahun 2006, baik dalam konteks pertanahan maupun minyak
dan gas Aceh. Meskipun setelah beberapa kali konsultasi dan pertimbangan,
PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015, tetapi jika melihat masa
pihak BPN kurang merespon dengan baik terhadap pengalihan Kanwil BPN
bahwa sejak awal Badan Pertanahan Nasional tidak merespon secara positif
soal pertanahan itu. "Walaupun di dalam UU tentang Pemerintah Daerah
pertanahan itu bagian yang diotonomikan, tapi faktanya Pemerintah Pusat,
tidak mau melepaskan ini," Dalam Undang Undang Pemerintah Aceh, kata
Farhan, secara tegas disebutkan yang diserahkan bukan hanya kewenangan
tetapi juga seluruh aset-aset BPN (Badan Pertanahan Nasional) di daerah.
Kantor itu mesti di dinaskan menjadi kantor di bawah Pemerintah Aceh.
Jadi pada masa Pak Joyo (mantan Kepala BPN Joyo Winoto) itu tidak ada
respon positif. 629
629
http://www.bpn.go.id/Berita/Berita-Pertanahan/ini-ganjalan-dalam-
rancangan-perpres-soal-pertanahan-turunan-uupa-28, di akses pada 1 Januari 2015.
tersebut tidak boleh terjadi apalagi sampai berlarut. Oleh karenanya, agar tidak
Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, maka dalam konteks politik dan
pemerintahan diperlukan political will yang baik antara Pemerintah Pusat dan
permasalahan baru dan akan menganggu hubungan antara Pemerintah Pusat dan
suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional
tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakan aturan hukum tersebut; mulai
dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus kongkret. 630 Sejalan
sehingga berdampak positif atau negatif suatu hukum, antara lain, faktor
630
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 376-378.
Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota, tetapi jika melihat masa penetapan ini
sangat terlambat.
Presiden Joko Widodo, pada 9-10 Maret 2015 ke Aceh. Pemerintah Pusat berjanji
UU No.11 Tahun 2006. Namun, Presiden berharap agar Pemerintahan Aceh dapat
jalan tol lintas Sumatera yang dimulai dari Aceh, perpanjangan landasan pacu
631
Sorjono Soekanto, 2010, Loc, Cit., hlm. 8-9.
632
Anon, 2015, Komit Tuntaskan Turunan UUPA, Serambi Indonesia, 10 Maret 2015, hlm.
1.
Pemerintah Pusat konsisten dan adanya keinginan baik (political will), bukan
juga dengan Pemerintah Aceh, meskipun Aceh sebagai daerah yang berlaku
diuraikan pada Bab III, bahwa salah satu mekanisme hubungan antara Pemerintah
kebebasan daerah. Hal ini, termasuk juga dalam hubungan Pemerintah Pusat
633
Nasir Djamil, 2015, Nasir Djamil: Janji Jokowi Harus Dikawal, Serambi Indonesia, 12
Maret 2015, hlm. 1.
atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah, baik berupa
pemerintahan daerah di Aceh. Kemudian, juga diatur dalam Pasal 5 Perpres No.
634
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 196.
akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal ini terjadi, pengawasan
bukan lagi merupkan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi “pembelenggu”
desentralisasi. 635
NKRI. Sebaliknya, juga pengawasan ini tidak dijadikan sebagai penghambat oleh
RI. Di mana sejak disahkan UU No.11 Tahun 2006, untuk pengawasan terhadap
Aceh, pihak DPR-RI telah membentuk Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh
(dan Papua). Namun, pengawasan dari Tim Pemantau Otonomi Khusus ini belum
optimal. Hal ini dapat dilihat meskipun sudah memasuki 10 (sepuluh) tahun UU
No.11 Tahun 2006, belum semua peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tetapi belum ada panggilan dan pengawasan
secara maksimal dari pihak DPR-RI dalam konteks cheks and balances terhadap
kinerja Pemerintah.
635
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 181.
Khusus Aceh tersebut cenderung statis dan tidak berjalan dengan maksimal. Hal
mengatakan setelah ditetapkan PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No.23 Tahun
2006. 636 Artinya, dapat dikatakan selama ini Tim Pemantau ini tidak melakukan
yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, salah satunya karena tidak
2015 kedua Tim Konsultasi baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh
636
Anon, 2015, DPR dan DPD Awasi Implementasi UUPA, Serambi Indonesia, 3 Februari
2015, hlm. 1.
Pemerintahan Aceh, pada masa Gubernur Irwandi Yusuf, Pemerintah Aceh telah
baik berkaitan dengan substansi PP dan Perpres tersebut antara Tim Konsultasi
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh, proses konsultasi dan
637
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail,
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh, pada 5 Februari 2015.
No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015, sebagian besar substansinya
sampaikan di atas, oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dari perspektif implikasi
dan Perpres) tersebut, yaitu: 1) karena proses pembahasan sangat terlambat dan
harus banyak birokasi yang dilalui sehingga lahirnya sebuah keputusan yang
tegas; 3) pada umumnya pejabat Pemerintah Pusat yang menangani masalah yang
4) pejabat Pemerintah Pusat juga cendrung bersikap ego sektoral dan tidak
masalah Aceh tidak lagi dianggap penting oleh pihak Pemerintah Pusat. 639
638
Ibid.
639
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/01/24/74972/turunan-
uupa-yang-disahkan-sangat-minim/#.VRf8d_BfLIU, di akses pada 10 Februari 2015.
terbentuk pada masa Gubernur Irwandi Yusuf dan dibentuknya Tim Konsultasi
permasalahan yang baru pasca penetapan PP dan Perpres tersebut. Terutama pasca
penetapan PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015. Bahwa
Tahun 2006 adalah terhadap Pasal 6 dan Pasal 9 Perpres Pengalihan Kantor
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul
Gubernur Aceh. Padahal, Pasal 3 ayat (1) Perpres tersebut, menyebutkan, Kantor
Oleh karena itu, sayogianya sebagai lembaga daerah Aceh sistem administrasi
BPA mengikuti Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) UU No.11 Tahun 2006,
disebutkan: bahwa Kepala Badan atau Kantor Aceh diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul sekda Aceh dan Kepala Badan atau Kantor
kabupaten/kota.
pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, menurut Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3)
pemerintah pusat dan pada instansi daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
No.11 Tahun 2006, juga adanya kesalahan teknik penyusunan materiil PP No. 3
Tahun 2015. Dalam Pasal 4 huruf bb dan huruf cc, disebutkan: kewenangan
bb. kehutanan; dan cc. energi dan sumber daya mineral. Sedangkan, dalam Pasal 5
ayat (1), disebutkan: kewenangan Pemerintah di bidang energi dan sumber daya
dan gas bumi hanya untuk kegiatan usaha hilir”. Seharusnya disebutkan: “Pasal 4
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan: "Asas
Sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan
hukum yang telah disepakati sebagai kaedah landasan hokum. Oleh karena itu,
kepastian hukum adalah prinsip yang harus dipelihara. 640 Oleh karena itu, sudah
No.11 Tahun 2006. Sebaliknya, terhadap pasal-pasal yang sudah sesuai dapat
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan,
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
dalam masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berharap dalam penegakan hukum
640
Saldi Isra, 2006, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Andalas University Press, Padang, hlm. 225.
641
Anon, 2015, Pusat Siap Dialog Bahas Perpres Pertanahan, Serambi Indoneisa, 16 April
2015, hlm. 6.
642
Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, hlm. 1-2.
No.11 Tahun 2006, maka dapat dikatakan belum adanya kepastian hukum.
Padahal, sebagaimana telah disebutkan Solly Lubis, bahwa kepastian hukum perlu
adanya kejelasan peraturan hukum mengenai hak, kewajiban dan status seseorang
atau suatu badan hukum. Sedangkan, ketidakpastian hukum atau kabur, antara
pertentangan isi diantara sesama aturan hukum baik aturan setingkat maupun yang
beberapa kelemahan yang ada pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar
proses konsultasi dan pertimbangan gubernur akan terus perlu dilakukan oleh Tim
Konsultasi Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Ditambah lagi, jika selesai
atau badan di luar negeri, harus mengikuti standar, dan prosedur yang telah
645
Pasal 1 angka 14 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Kebijakan adalah kewenangan
Pemerintah untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan, pengawasan dan pelaksanaan
urusan pemerintahan yang bersifat nasional”.
646
Pasal 1 angka 15 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Norma adalah aturan atau
ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
647
Pasal 1 angka 16 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Standar adalah acuan yang dipakai
sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
648
Pasal 1 angka 17 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Prosedur adalah metode atau tata
cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
649
Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015, disebutkan: “Kriteria
adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
650
Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015, disebutkan: “Fasilitasi
adalah penyediaan fasilitas berupa sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah di Aceh”.
Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di
berpedoman pada standar dan prosedur yang berlaku secara nasional sesuai
gubernur ini perlu terus dipertahankan dan tidak dicabut oleh Pemerintah Pusat.
A. Kesimpulan
masa Orde Lama, dan Orde Baru, maka setiap kebijakan administratif
No.32 Tahun 2004. Sehingga, secara prinsipil masih sesuai dan tidak
daerah istimewa.
rakyat Indonesia.
bidang pertanahan dan sumber daya minyak bumi dan gas di wilayah
Aceh; kedua, tidak diatur sanksi atau pinalti dalam UU No. 11 Tahun
Pemerintah Pusat;
bidang pertanahan dan sumber daya minyak bumi dan gas di wilayah
UU No.11 Tahun 2006 baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
B. Saran
keistimewaan Aceh.
A. Buku-Buku
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta.
Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprodudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media, Jakarta.
Ahmad Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Naanggroe Endatu, Catatan Seorang
Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta.
Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.
Amrizal J. Prang, 2007, Aceh dari Konflik ke Damai, Bandar Publishing, Banda
Aceh.
Andi Alfian Malaranggeng, dkk, 2001, Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan
Praktis, Cetakan Kedua, Bigraf Publishing, Yogyakarta.
Anthony Reid, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur
Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Terjemahan, The Contest
for North Sumatra Acheh, the Nedherlands and Britain 1858-1898, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bewa Ragawino, 2006, Hukum Adminstrasi Negara, Buku Ajar: Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Padjajaran, Bandung.
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Denys Lombard, 2008, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Terjemahan, Le Sultanat d’Atjeh au Temps d’Iskandar Muda (1607-
1636), Cetakan Ketiga, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Edward Aspinall, 2005, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for
Peace in Aceh, East-West Centre Washington, Washington, DC.
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakaarta.
Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil
Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta.
Farid Husain, 2011, Keeping the Trust for Peace Kisah dan Kiat
Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Rajut Publishing, Jakarta.
Hamid Awaluddin, 2009, Peace in Aceh Notes on the Peace Process between the
Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki,
Kanisius, Yogyakarta.
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta.
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari
General Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung.
Hari Kawilarang, 2008, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar
Publishing, Banda Aceh.
H.M. Zainuddin, 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda,
Medan.
J.J. von Schmid, 1979, Pemikiram tentang Negara dan Hukum Dalam Abad
Kesembilan Belas, terjemahan dari Het Denken Over Staat en Recht in De
Negentiende Eeuw, Cetakn Ketiga, PT. Pembangunan, Jakarta.
K. Ramanathan, 2003, Asas Sains Politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor,
Malaysia.
Mahfud, MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yoyakarta.
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanasius, Yogyakarta.
Michelle Ann Miller, 2008, Konflik di Aceh, Konteks, Pemicu Katalis, dalam
Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh, Conciliation Resources,
London.
M. Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nur El-Ibrahimi, 2001, Peranan Tgk M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Aceh,
Media Da’wah, Jakarta.
Olle Tornquist, dkk., 2010, Aceh Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan
Rekonstruksi, terjemahan dari Aceh: the Role of Democracy for Peace and
Reconstruction, Edisi Kedua, PCD Press Indonesia.
Otong Rosadi dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta.
Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:
Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, terjemahan, Democracy and Deep-
Rooted Conflict: Options for Negotiators, Ameepro, Jakarta.
Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ke-7,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Saldi Isra, 2006, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Andalas University Press, Padang.
Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Tan Ta Sen, 2010, Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas,
Jakarta.
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonsia, Cetakan
Kedua, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
………………… dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta
Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil Kajian Pembentukan dan
Ujian Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara Press, Malang.
Wahyudin Husein dan Hufron, 2008, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang
Pressindo, Yogyakart.
C. Jurnal/Penelitian/Karya Ilmiah
Menteri Dalam Negeri, 2006, Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus
RUU tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.
D. Koran
Anon, 2006, Ada Materi RUU-PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
Anon, 2006, Tebal DIM RUU-PA 716 Halaman, Kompas, 28 Maret 2006.
Anon, 2006, 1.079 DIM RUU-PA Soal Substansi, Kompas, 8 April 2006.
Anon, 2006, Amplop untuk Anggota DPR Langgar Kode Etik, Kompas, 19 April
2006.
Anon, 2015, Perpres BPN Belum Sesuai dengan UUPA, Serambi Indonesia, 12
Maret 2015.
Anon, 2015, DPR dan DPD Awasi Implementasi UUPA, Serambi Indonesia, 3
Februari 2015.
Anon, 2015, Pusat Siap Dialog Bahas Perpres Pertanahan, Serambi Indoneisa,
16 April 2015, hlm. 6.
Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret
2006.
Nasir Djamil, 2015, Nasir Djamil: Janji Jokowi Harus Dikawal, Serambi
Indonesia, 12 Maret 2015.
E. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan
Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana
Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan
Langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh
dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.
F. Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
G. Situs
http://aceh.tribunnews.com/2013/05/01/wagub-promosikan-aceh-di-abu-dhabi,
diakses pada 30 Desember 2013.
http://aceh.tribunnews.com/2013/06/05/free-port-sabang-belum-bermanfaat,
diakses pada 30 Desember 2013.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=307
203:gubernur-aceh-promosi-investasi-di-
australia&catid=13:aceh&Itemid=26, di akses pada 30 Desember 2013.
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-
berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 1 Januari
2015.
http://www.antaranews.com/berita/429650/aceh-dapat-tambahan-kewenangan-
pertanahan, di akses pada 1 Januari 2015.
http://m.liputan6.com/news/read/598629/mendagri-misalnya-garis-hitam-hilang-
sudah-tak-mirip-bendera-gam, di akses pada 1 Januari 2015.
http://www.bpn.go.id/Berita/Berita-Pertanahan/ini-ganjalan-dalam-rancangan-
perpres-soal-pertanahan-turunan-uupa-28, di akses pada 1 Januari 2015.
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-
berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 15 Januari
2015.
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/01/24/74972/turunan-uupa-
yang-disahkan-sangat-minim/#.VRf8d_BfLIU, di akses pada 10 Februari
2015.
DATA PRIBADI
Nama : Amrizal
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe/7 Maret 1972
Agama : Islam
Status : Kawin
Isteri : Eka Agustina, AM.Keb.
Anak : 1. Muhammad Malek Faraby Prang (8 tahun)
2. Vazla Bungong Ceudah Prang (7 tahun)
3. Izza Faqiha Meurah Prang (4 bulan)
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe
Alamat Kantor : Jln. Jawa, Bukit Indah, Blang Pulo Kota Lhokseumawe
Alamat Rumah Jln. Cempaka Putih No.116 Dusun Mushalla, Hagu Barat Laut
Kota Lhokseumawe
HP : 081264049990-081375381100
Email : j.prang73@gmail.com
Orang Tua : 1. Ayah : (Alm.) Muhammad Jafar Prang
2. Ibu : Salbiah Ibrahim (Ibu Rumah Tangga)
RIWAYAT PENDIDIKAN
No. Latar Belakang Pendidikan Tahun
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
1. Sekolah Dasar Negeri, Hagu Barat Laut-Lhokseumawe 1979-1985
2. Sekolah Menengah Pertama, Cunda-Lhokseumawe 1985-1988
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Lhokseumawe 1989-1992
2. Pesanteren
Ma’hadal ‘Ulum Diniyyah Islamiah Mesjid Raya, 1993-1997
Samalanga-Bireuen
3. Pendidikan Tinggi
1. Strata 1-Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 1999-2003
Lhokseumawe
RIWAYAT PEKERJAAN
No. Riwayat Pekerjaan Tahun
1. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS 2003-2004
HAM), Pos Aceh Utara.
2. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 2004-
Lhokseumawe sekarang
RIWAYAT PENELITIAN
No. Nama Penelitian Tahun
1. Implementasi Qanun-qanun Syari’at Islam di Nanggroe Aceh 2007
Darussalam (Studi Penelitian di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara)-
2007.
2. Implikasi dan Implementasi Qanun Aceh Utara Nomor 4 Tahun 2009 2010
tentang Pemerintahan Gampong (Suatu Kajian Terhadap Materi dan
Permasalahan Pasca Pemberlakuan)
KARYA ILMIAH/BUKU/JURNAL/ARTIKEL
No. Pengalaman Akademis Tahun Status
1. SKRIPSI: Pelaksanaan Fungsi Dewan Perwakilan 2003 Penulis
Rakyat Daerah Menurut Undang Undang Nomor 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota MPR, DPR, dan DPRD (Studi Penelitian
pada DPRD Aceh Utara).
2. ARTIKEL SURAT KABAR: Politik Hukum 2005 Penulis
Pluralisme di Aceh, Harian, Serambi Indonesia,
KEANGGOTAAN/ORGANISASI
No. Nama Organisasi Jabatan Tahun