Anda di halaman 1dari 498

KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR

TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF


PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI ACEH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH

DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara

Oleh:
AMRIZAL
NIM: 118101008/HK

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR
TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF
PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI ACEH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH

DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara

Oleh:
AMRIZAL
NIM: 118101008/HK

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI
ACEH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006
TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

ABSTRAK

Amrizal 1
Faisal Rani 2
Budiman Ginting 3
Pendastaren Tarigan 4

Pengaturan desentralisasi asimetris Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006), antara lain,
diatur dalam Pasal 8 ayat (3), bahwa pelaksanaan kebijakan administratif
Pemerintah Pusat yang berkaitan lansung dengan Pemerintahan Aceh, dilakukan
setelah konsultasi dan pertimbangan Gubernur, seperti pembagian wilayah,
pembentukan kawasan khusus, perancangan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dan
kebijakan administratif lainnya, seperti, Kriteria, Norma, Standar, dan Prosedur.
Kewenangan ini berbeda dengan substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua joncto Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU No.23 Tahun 2014)
yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah.
Penelitian ini mengkaji, pertama, mengapa ada konsultasi dan pertimbangan
gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan
langsung dengan Pemrintahan Aceh, kedua, bagaimana perspektif Negara
Kesatuan Republik Indonesia terhadap konsultasi dan pertimbangan gubernur
tersebut, dan ketiga, apa saja hambatan pelaksanaannya. Penelitian ini dapat
memberi sumbangan pemikiran, konsep-konsep hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Khususnya, konsepsi konsultasi dan pertimbangan
gubernur terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat di Aceh. Selanjutnya,
menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam membangun hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah khususnya Pemerintahan Aceh.
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan desentralisasi dan
desentralisasi asimetris (otonomi khusus) serta asas-asas hukum.

1
Mahasiswa Prograram Doktor pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
2
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
4
Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian diperoleh bahwa dasar pengaturan konsultasi dan pertimbangan
gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh, dikarenakan adanya tuntutan rakyat Aceh
terhadap Pemerintah Pusat dalam menjalankan kebijakan administratif yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh agar tidak lagi diabaikan
sebagaimana pernah terjadi masa Orde Lama dan Orde Baru, seperti peleburan
Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara dan tidak diimplementasikan
syari’at Islam, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kewenangan konsultasi dan
pertimbangan gubernur ini dalam pelaksanaan desentralisasi asimetris tidak
kontradiksi dengan UUD RI 1945, UU No.23 Tahun 2014, peraturan perundang-
undangan lainnya, asas-asas hukum, serta Pancasila, yang mengakui keberagaman
daerah dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun, pengaturan kewenangan
tersebut sebagian belum sinkron dengan UU No.23 Tahun 2014.
Hambatan pelaksanaannya, yaitu: pertama, adanya perbedaan pemahaman antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh terhadap substansi UU No.11 Tahun
2006; kedua, tidak diatur sanksi dalam UU No.11 Tahun 2006 terhadap
keterlambatan pelaksanaan; Ketiga, kurangnya political will Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Aceh dalam menjalan substansi UU No.11 Tahun 2006.
Keempat, lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-
RI baik dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Kelima, akibat
perubahan dan penggantian Tim Konsultasi baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Aceh, sehingga menimbulkan mis-pemahaman terhadap substansi
keistimewaan dan kekhususan Aceh.
Oleh karenanya, perlu mempertahankan secara berkelanjutan keberlakuan
kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut; adanya political will
dan konsistensi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam konteks desentralisasi asimetris; membentuk Tim Konsultasi
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menjadi Tim Ad-Hoc, yang memahami
substansi UU No.11 Tahun 2006, UU No.23 Tahun 2014 dan peraturan
perundang-undangan lainnya, sehingga lebih efektif dan efisien; dan, konsistensi
pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-RI, terhadap
pelaksanaan otonomi khusus dan keistimewaan Aceh.

Key word : Konsultasi dan Pertimbangan, Kebijakan Administratif,


Pemerintahan Aceh

Universitas Sumatera Utara


CONSULTATION AND CONSIDERATION OF THE GOVERNOR OF
THE CENTRAL GOVERNMENT ADMINISTRATIVE POLICIES IN
ACEH PROVINCE UNDER THE ACT NUMBER 11 YEAR 2006
REGARDING GOVERNMENT OF ACEH

ABSTRACT

Amrizal 5
Faisal Rani 6
Budiman Ginting 7
Pendastaren Tarigan 8

Setting asymmetric decentralization Aceh in Act Number 11 Year 2006


concerning Aceh Government, among others, set forth in Article 8 paragraph (3),
that the implementation of the administrative policy of the central government
relating directly to the Government of Aceh, made after consultation and
consideration of the Governor. Among the administrative policies, namely the
division of the territory, the establishment of special zones, the design and
creation of legislation directly related to the Aceh Government and other
administrative policies, such as, criteria, norms, standards, and procedures.
The authority is different from the substance of the Act Number 21 Year 2001
concerning Special Autonomy for Papua Province joncto Act No. 35 of 2008 on
Special Autonomy for Papua and West Papua, Act Number 29 Year 2007
concerning the Government of Special Province of Jakarta as the capital of the
Republic of Indonesia, Act Number 13 Year 2012 concerning Specialty of
Yogyakarta, and Act Number 23 Year 2014 has been amended by Act Number 9
Year 2015 concerning Regional Government.
This study examines, first, why there is consultation and consideration of the
governor of the Central Government administrative policies that are directly
related to Governance for Aceh, secondly, how the perspective of the Unitary
Republic of Indonesia to the consultation and consideration of the governor, and
thirdly, what are the barriers to implementation. This research can contribute
ideas, concepts relationship central government and the regional governments. In
particular, the conception consultation and consideration of the governor of the
administrative policies of the central government in Aceh. Subsequently, into
consideration and input in establishing the relationship between the central
government and regional authorities, especially the Governing of Aceh. The
research method used is a normative juridical research, by examining all
legislation relating asymmetric decentralization and decentralization (autonomy)
as well as the principles of law.

5
Doctoral Student of Legal Studies Program at Faculty of Law, University of Sumatera
Utara, Medan.
6
Professor Faculty of Law University of Syiah Kuala, Banda Aceh
7
Professor Faculty of Law University of Sumatera Utara, Medan
8
Lecturer Faculty of Law University of Sumatera Utara , Medan

Universitas Sumatera Utara


The result showed that the basic arrangement of consultation and consideration of
the governor of the administrative policies of the Central Government that are
directly related to the Aceh Government, due to the demands of the people of
Aceh to the central government in implementing administrative policies that are
directly related to the Aceh Government to no longer be ignored as had happened
during the Old Order and New Order, such as smelting province of Aceh in
Sumatera Utara province and not implemented the Shari'ah, the Act Number 44
Year 1999 concerning Specialty of Aceh and Act Number 18 Year 2001
concerning Special Autonomy for Aceh Province. The authority of the governor's
consultation and consideration in the implementation of asymmetric
decentralization is not a contradiction with the 1945 Constitution, the Regional
Government Law, the principles of law, other legislation, as well as Pancasila,
which recognizes the diversity of the region with the motto Unity in Diversity.
However, setting up the authority of the majority is not in sync with the
Government Law.
Barriers to implementation, namely: first, the difference in understanding between
the Central Government and the Government of Aceh on the substance of the Act
No.11 Year 2006; second, is not regulated in the Act No.11 Year 2006 sanctions
against the delay in implementation; Third, the lack of political will of the central
government and the Aceh Government in running the substance of the Act No.11
Year 2006. Fourth, weak oversight of Special Autonomy Aceh Monitoring Team
of the Parliament either by the Government and the Central Government of Aceh.
Fifth, due to changes and replacement of both the Central Government
Consultation Team and the Government of Aceh, causing a mis-understanding of
the substance of the privileges and specificity of Aceh.
Therefore, need to maintain an ongoing basis the authority consultation and
consideration of the governor; the existence of political will and consistency of
the Central Government and Aceh in governance; Consultation Team forming the
Central Government and Aceh into Ad-Hoc Team, who understand the substance
of the Act No.11 Year 2006, the Regional Government Law and other legislation,
making it more effective and efficient; and, the consistency of the supervision of
the Monitoring Team Aceh Special Autonomy of the House of Representatives,
on the implementation of special autonomy and privileges Aceh.

Key words : Consultancy and Consideration, Administrative Policy, Aceh


Government

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur Penulis panjatkan

kehadirat Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga

dapat meyelesaikan Disertasi ini sebagai tugas akhir guna memperoleh gelar

Doktor di bidang Ilmu Hukum pada Program Doktor Universitas Sumatera Utara.

Kajian Disertasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan konsepsi mengenai

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Sehingga

diharapkan menemukan landasan atau dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam

mengatur kebijakan-kebijakan administratif Pemerintah Pusat dalam konteks

politik hukum (legal policy) melalui pembentukan peraturan perundang-undangan

yang responsif dalam membangun hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Daerah, berkaitan pelaksanaan teori desentralisasi, khususnya

hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh dalam konteks

desentralisasi asimetris.

Melalui kata pengantar ini, Penulis menyampaikan penghargaan dan terima

kasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada Tim Promotor Prof.

Dr. Faisal Rani, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Promotor, Prof. Dr. Budiman

Ginting, S.H., M.Hum., dan Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., sebagai

Universitas Sumatera Utara


Kopromotor, yang dengan tulus dan bijaksana meluangkan waktu untuk Penulis

sehinggga Disertasi ini dapat Penulis selesaikan. Selama proses bimbingan dan

penulisan Disertasi ini, Penulis banyak mendapatkan nasihat dan motivasi serta

hal-hal yang baru dari Tim Promotor, baik dalam berpikir dan bersikap serta

memaknai dunia keilmuan dan ilmu hukum, khususnya berkaitan dengan Hukum

Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.

Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga Penulis sampaikan

kepada Tim Penguji yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk

memberikan saran dan masukan yang konstruktif serta hal-hal baru yang

berhubungan dengan substansi Disertasi ini, yang sangat bermanfaat dan berarti

bagi Penulis dalam menyusun Disertasi ini, baik pada saat, Kolokium, Seminar

Hasil Penelitian, Ujian Tertutup, dan Promosi yaitu Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.,

Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., dan Dr. Faisal Akbar, S.H., M.H. Kemudian

Penulis juga ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua guru Penulis,

pengajar Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum pada saat perkuliahan.

Kemudian, Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.,

beserta Wakil Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberi

kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu pada Program

Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebegai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Ketua Program Doktor

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi dorongan serta

motivasi kepada Penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan

Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

4. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., sebagai Sekretaris Program Doktor

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi dorongan serta

motivasi kepada Penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan

Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

5. Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si., Rektor Universitas Malikussaleh

Lhokseumawe yang telah memberikan rekomendasi dan dorongan

serta motivasi kepada Penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan

Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

6. Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Malikussaleh Lhokseumawe beserta seluruh Pembantu

Dekan yang telah memberikan rekomendasi dan motivasi kepada

Penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan Program Doktor Ilmu

Hukum (S3).

7. Dr. Sulaiman, S.H., M.Hum., mantan Dekan dan Ketua Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah

memberikan rekomendasi dan motivasi kepada Penulis untuk

melanjutkan dan menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

Universitas Sumatera Utara


8. Sumiadi, S.H., M.Hum, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas

Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan rekomendasi dan

motivasi kepada Penulis untuk melanjutkan Program Doktor Ilmu

Hukum (S3).

9. Pemerintah Aceh yang telah memberi dukungan sebagian dana selama

Program Doktor Ilmu Hukum (S3) kepada Penulis dalam bentuk

bantuan beasiswa.

10. Kakanda Dr. Ahmad Farhan Hamid, anggota DPR RI periode 1999-

2004, Periode 2004-2009, dan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-

2014, yang dalam kesibukannya bersedia membantu Penulis baik

dalam bentuk dokumen Risalah Rancangan UU Pemerintahan Aceh

maupun sebagai informan.

11. Bapak Mawardi Ismail, SH., M.Hum, mantan Dekan pada Fakultas

Hukum Universitas Syiah Kuala, yang dalam kesibukannya bersedia

untuk diwawancarai sebagai informan melengkapi data penulisan

Disertasi.

12. Bapak Setia Budi, M.Si, mantan Sekretaris Daerah Aceh, yang banyak

memberikan masukan untuk penyempurnaan data penulisan Disertasi

dalam wawancara sebagai informan.

13. Seluruh Staf Pengajar Penulis di Fakultas Hukum Universitas

Malikussaleh Lhokseumawe yang telah mengajarkan ilmu, khususnya

ilmu hukum dan memotivasi kepada Penulis untuk menyelesaikan

Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

Universitas Sumatera Utara


14. Seluruh Dosen/Staf Pengajar, Staf Akademik dan Fakultas Hukum

Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberi motivasi

kepada Penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan Program

Doktor Ilmu Hukum (S3)..

15. Staf dan kesekretariatan Program Doktor Universitas Sumatera Utara.

16. Rekan-rekan dan sahabat seperjuangan pada Program Doktor Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara, angkatan 2011, yaitu: Dr.

Mazwar, SH., M.Hum., Dr. Nurnaningsih Amriani, SH., MH., Dr. Feri

Tanjung, SH., MM, MKn., Dr. Tommy Leonard, SH., MKn., Dr.

Fuadi, SH., MH., Dr. Rudy Haposan Siahaan, SH., MKn., Dr. Rizkan

Yulyadi, SH., M.Hum, M. Jafar, SH., M.Hum., Salahuddin, SH.,

M.Hum., Zaidar, SH., M.Hum., Maria Kaban., SH., M.Hum., Shopia,

SH., M.Hum., Solistis PO Dachi, SH., M.Hum., Mashudi., SH.,

M.Hum., Noor Azizah, SH., M.Hum., dan, Fredi Siregar, SH.,

M.Hum.

17. Rekan-rekan, sahabat, dan seluruh Alumni Universitas Malikussaleh.

Rasa hormat dan takzim yang tak terhingga Penulis persembahkan kepada

kedua orang tua Penulis, Ayahanda (Alm.) tercinta Muhammad Jafar Prang yang

tidak sempat melihat Penulis dalam menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum

(S3) dan Ibunda tercinta Salbiah Ibrahim, yang tidak henti-hentinya selalu berdoa

dan memberi motivasi kepada Penulis agar selalu sabar, tawakal, dan berusaha

yang terbaik dalam menghadapi tantangan selama menuntut ilmu dan

meyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

Universitas Sumatera Utara


Penghormatan Penulis sampaikan juga kepada kedua Mertua Penulis,

Ayahanda Nurdin dan Ibunda Zubaidah. Selanjutnya, terimakasih Penulis

sampaikan pula kepada Abangda, Jufrizal, Kakanda, Herlina, dan adinda-adinda,

Haslinda, Edi Defrizal, Lidya, dan Lisa Iryani, S.Sos. Tidak lupa juga kepada

adik-adik ipar Penulis, Niki, Heni, dan Zaza, yang telah memotivisi Penulis untuk

melanjutkan dan menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum (S3).

Teristimewa, ucapan terimakasih yang mendalam dan penghargaan setinggi-

tingginya, Penulis sampaikan kepada Istri tersayang dan tercinta Eka Agustina,

AM.Keb., yang penuh kesabaran, kesetian, dan ketulusannya mendampingi

Penulis meskipun banyak waktu kebersamaan keluarga terlewati selama Penulis

menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum (S3). Begitu juga, yang tidak bisa

Penulis lupakan kepada istriku tercinta yang penuh kasih sayang, tidak henti-

hentinya berdoa, memotivasi, dan memberi semangat kepada Penulis untuk segera

menyelesaiakan Program Doktor Ilmu Hukum (S3). Terakhir, terimakasih Penulis

sampaikan kepada Ananda tercinta Muhammad Malek Faraby Prang, Vazla

Bungong Ceudah Prang, dan Izza Faqiha Meurah Prang, yang masih kecil-kecil

menjadi penyemangat dan motivasi Ayahandanya untuk menyelesaikan Program

Doktor Ilmu Hukum (S3). Maafkan Ayahandamu yang telah melewatkan hari-hari

kebersamaan kita dalam keluarga karena untuk menuntut ilmu.

Pada akhirnya, terima kasih Penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuan dan motivasi serta doa yang tidak mungkin Penulis sebutkan

satu persatu. Sungguh tidak mampu Penulis membalasnya atas segala kebaikan

Universitas Sumatera Utara


yang telah diberikan. Segalanya itu, hanya kepada Allah S.W.T. Penulis mohon

puji dan syukur yang dengan segala Rahman dan Rahimnya, telah memberi

kesehatan, kesabaran dan kesungguhan kepada Penulis untuk menyelesaikan S3,

serta Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad S.A.W., yang telah membuka

alam pikir dan ilmu serta mejadi rahmatan lil’alamin. Semoga segala kebaikan

yang telah diberikan kepada Penulis akan mendapakan balasan dan pahala yang

setimpal dan senantiasa mendapat rahmat dan sejahteranya bagi kita semua. Amin

Yarabbal’alamin.

Medan,………………………..2016

Amrizal

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
KOMISI PENGUJI
SURAT PERNYATAAN
ABSTRAK……………..…………………………………………………….. i
ABSTRACT………………………………………………………………...... iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xv
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………. xvi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………. xxi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..... 1
A. Latar Belakang …………………………………………...... 1
B. Rumusan Masalah………………………………………..... 18
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..... 19
1. Tujuan Penelitian……………………………………... 19
2. Manfaat Penelitian …………………………………… 20
D. Keaslian Penelitian………………………………………… 20
E. Kerangka Teori dan Konsepsi.…………………………….. 23
1. Kerangka Teori ……………………………………..... 23
1.1. Negara Hukum…………………………………… 25
1.2. Negara Kesatuan…………………………………. 33
1.2.1. Desentralisasi………..…….……………..... 34
1.2.2. Desentralisasi Asimetris…………………… 47
1.2.3. Asas Hukum Keberadaan UU No. 11 Tahun
2006………………………………………... 65
1.3. Kewenangan……………………………………… 78
2. Kerangka Konsepsi …………………………………... 83
F. Asumsi …………………………………………………….. 88
G. Metode Penelitian …………………………………………. 89
1. Jenis Penelitian……………..………………………… 89
2. Sifat Penelitian……………………............................... 89
3. Pendekatan Penelitian………………………………… 90
4. Sumber Data………………………………………….. 91
5. Alat Pengumpulan Data................................................. 92
6. Analisis Data……………………….............................. 92
H. Sistematika Penulisan…………………….......................... 93
BAB II DASAR PENGATURAN KONSULTASI DAN
PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT
YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH.......................................................... 95
A. Sejarah Kerajaan Aceh…………………………………….. 95

Universitas Sumatera Utara


B. Aceh Bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia……...... 110
1. Aceh Daerah Modal…………………………………... 110
2. Pemberontakan Darul Islam………………………… 113
3. Pemberontakan Aceh Merdeka/Gerakan Aceh
Merdeka……………………………………………..... 124
4. Pemberlakuan Keistimewaan dan Kekhususan
Aceh…........................................................................... 127
C. Aceh Pasca MoU Helsinki…………………………………. 133
1. Kesepakatan Damai…………………………………... 133
2. Proses Pembentukan UU No. 11 Tahun 2006………... 150
D. Dasar Kewenangan Konsultasi dan Pertimbangan
Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah
Pusat yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan
Aceh ……………………………………………………..... 161
BAB III KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR
TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF
PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN LANGSUNG
DENGAN PEMERINTAHAN ACEH DALAM
PERSPEKTIF NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA.................................................................................. 206
A. Prinsip Negara Kesatuan…………………………………... 206
B. Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia............................................................................... 212
C. Pengaturan Otonomi Daerah................................................. 226
1. Pengaturan Masa Orde Lama……………………….. 227
1.1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945……..... 227
1.2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948……... 229
1.3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950……... 232
1.4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957……..... 234
1.5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959…..... 237
1.6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965……... 239
2. Pengaturan Masa Orde Baru………………………… 241
3. Pengaturan Masa Orde Reformasi…...……………… 245
3.1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999……... 245
3.2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004……... 247
3.3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014……... 252
4. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah………………………………... 259
4.1. Dasar-dasar Hubungan Pemerintah Pusat
dengan Pemerintahan Daerah…………………. 259
4.2. Mekanisme Hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah…………………….. 267
D. Desentralisasi Asimetris dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia………………………………….………………... 277
E. Daerah-daerah yang Berlaku Desentralisasi Asimetris…..... 305
1. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat…………… 310

Universitas Sumatera Utara


2. Daerah Khusus Ibukota Jakarta……………………... 312
3. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta……….. 314
F. Keistimewaan dan Kekhususan Aceh……………………... 319
G. Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur dalam Perspektif
Negara Kesatuan Republik Indonesia…………………...... 336
BAB IV HAMBATAN PELAKSANAAN KONSULTASI DAN
PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT
YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH.......................................................... 357
A. Pengertian Kebijakan Administratif, Konsultasi, dan
Pertimbangan…………………………………………….. 357
B. Mekanisme Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur
Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang
Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh………..... 376
1. Proses Pembuatan Kebijakan……………………….. 376
2. Mekanisme Konsultasi dan Pertimbangan
Gubernur…………………………………………...... 384
C. Efektivitas dan Efisiensi Konsultasi dan Pertimbangan
Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah
Pusat yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan
Aceh……………………………………………………….. 396
D. Hambatan Pelaksanaan Konsultasi dan Pertimbangan
Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah
Pusat yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan
Aceh……………………………………………………….. 415
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………… 439
A. Kesimpulan………………………………………………… 439
B. Saran……………………………………………………….. 444
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 446
CURRICULLUM VITAE………………………………………………….. 461

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Skema: Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur terhadap
Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang Berkaitan
Langsung dengan Pemerintahan Aceh..................................... 86
Tabel 2. Pasal 18 sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945……………………. 296
Tabel 3. Pengaturan Keistimewaan dan Kekhususan Aceh menurut
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006….………………………… 327

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH

Above the law : Diatas hukum


Administrative decentralisation : Perspektif administratif
perspective
Arbitrary power : Sewenang-wenang
Asymmetric desentralization : Desentralisasi asimetris/desentralisasi
tidak sebanding
Conflict of interest : Konflik kepentingan
Devolution of power : Pelimpahan kewenangan politik dari
pusat kepada daerah yang ditetapkan
secara legal.
Deconcentration : Kewenangan administratif yang
diberikan oleh pusat kepada
perwakilan badan-badan pemerintah
pusat yang ada daerah
Delegation of authority : Pendelegasian wewenang
Detournement de pouvoir Penyalahgunaan wewenang

Distribution of power : Pembagian kekuasaan


Due Process of Law : Proses hukum yang adil
Eigenmesterschap : Kekuasaan bertindak secara bebas
yang diberikan kepada pemerintahan
daerah untuk menjalankan
pemerintahan sendiri atau otonomi.
Eenheidsstaat : Negara kesatuan
Executive agreement : Kesepakatan eksekutif
Equality before the law : Persamaan di depan hukum
First treaty : Perjanjian pertama
Free Port : Pelabuhan bebas
Freis ermessen/discretionary power : Kekuasaan bebas bertindak
Gampong : Kesatuan masyarakat hukum yang
berada di bawah mukim dan dipimpin
oleh keuchik atau nama lain yang
berhak menyelenggarakan urusan
rumah tangga sendiri.
General competence : Otonomi luas

Universitas Sumatera Utara


Guided Democracy Demokrasi terpimpin
Haria Peukan : Orang yang mengatur ketentuan adat
tentang tata pasar, ketertiban,
keamanan, dan kebersihan pasar serta
melaksanakan tugas-tugas perbantuan.
Imeum Chik : Imam masjid pada tingkat mukim
orang yang memimpin kegiatan-
kegiatan masyarakat di mukim yang
berkaitan dengan bidang agama Islam
dan pelaksanaan syari’at Islam.
Imeum Meunasah : Orang yang memimpin
kegiatankegiatan masyarakat di
gampong yang berkenaan dengan
bidang agama Islam, pelaksanaan dan
penegakan syari’at Islam.
Imeum Mukim : Kepala Pemerintahan Mukim
Inalienable rights : Hak-hak asasi yang tidak dapat
dilepaskan
In concreto : Dalam kenyataan
Inlandse geementen : Desa
Ius constitutum : Hukum yang sedang berlaku
Ius constituendum : Hukum yang akan berlaku
Kaum Dja Sandang : Kelompok yang berasal dari
campuran (peranakan) suku Hindu
dan Batak Karee dan pengikutnya
memeluk agama Islam
Kaum Imeum Peut : Kelompok Imam Empat berasal dari
suku Hindu Keling (Dagang)
Kaum Lhee Reutoih : Kelompok Tiga Ratus berasal dari
orang-orang yang berasal dari suku
Batak/Karo
Kaum Tok Batee : Kelompok Cukup Batu berasal dari
orang-orang asing lain, seperti Arab,
Parsi, Turki, dan lain-lain.
Keuchik Kepala persekutuan masyarakat adat
gampong yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan
gampong, melestarikan adat istiadat
dan hukum adat, serta menjaga
keamanan, kerukunan, ketentraman
dan ketertiban masyarakat.
Keujruen Blang : Orang yang memimpin dan mengatur
kegiatan di bidang usaha persawahan.

Universitas Sumatera Utara


Law as tool of social engineering : Hukum berfungsi sebagai alat
perekayasa (pemberdayaan) sosial.
Law enforcement : Penegakan hukum
Lembaga Wali Nanggroe : Lembaga kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat dan pelestarian
kehidupan adat dan budaya di Aceh
Legal policy : Politik hukum
Lex specialis derógate legi generalis : Peraturan yang khusus dapat
mengenyampingkan peraturan yang
umum.
Lhee Sagoe : Tiga sudut/segi
Local accountability : Peningkatan kemampuan pemerintah
daerah
Local responsiveness : Desentralisasi akan menjadi jalan
terbaik untuk mengatasi masalah dan
sekaligus meningkatkan akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi di
daerah
Majelis Adat Aceh : Sebuah majelis penyelenggara
kehidupan adat di Aceh yang struktur
kelembagaannya sampai tingkat
gampong.
Machtsstaat : Negara Kekuasaan
Maa laa yudraku kulluh laa yutraku : Sesuatu yang tidak berhasil
julluh mengambil seluruhnya, maka jangan
ditinggalkan seluruhnya.
Mis-management : Salah urus
Misuse of Power : Penyalahgunaan kekuasaan
Misure of competence : Mencampuradukkan kewenangan

Mukim : Kesatuan masyarakat hukum di bawah


kecamatan yang terdiri atas gabungan
beberapa gampong yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang dipimpin
oleh Imeum mukim atau nama lain
dan berkedudukan langsung di bawah
camat.
Multi-tiers government : System pemerintahan dengan susunan
ganda
Non-territorial forms of autonomy : Bentuk-bentuk otonomi non-wilayah
Pactum subjectionist Penguasa yang diserahi tugas
mengatur hidup individu dalam ikatan
kenegaraan harus menghormati

Universitas Sumatera Utara


Inalienable right.
Pactum unionis : Individu-individu lainnya
mengadakan suatu perjanjian
masyarakat membentuk suatu
masyarakat politik atau negara.
Panglima Laot : Orang yang memimpin dan mengatur
adat istiadat di bidang pesisir dan
kelautan.
Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun : Orang yang memimpin dan mengatur
adat-istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hutan.
Peutua Seuneubok : Orang yang memimpin dan mengatur
ketentuan adat tentang pembukaan
dan penggunaan lahan untuk
perladangan/perkebunan.
Political decentralisation perspective : Perspektif politik
Political equality : Desentralisasi diharapkan akan lebih
membuka kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal
Rechstaat : Negara hukum
Rechtsbevoegdheden : Wewenang-wewenang
Rechtszekerheid : Kepastian hukum
Regulatory power : Kekuasaan membentuk peraturan
Rule of Law : Negara Hukum
Salus Populi Suprema Lex Esto : Hendaknya kesejahteraan rakyat
menjadi hukum tertinggi
Second treaty : Perjanjian kedua/referendum
Self-government : Pemerintahan sendiri
Separation of Power : Pemisahan kekuasaan
Similia Similius : Persamaan di depan hokum
Special autonomy : Otonomi khusus
Subject to the Law : Tunduk pada Hukum
Sukee : Suku
Supremacy of law : Supremasi hukum
Swatantra : Daerah otonom/pemerintahan sendiri
Syahbanda : Orang yang memimpin dan mengatur
ketentuan adat tentang tambatan

Universitas Sumatera Utara


kapal/perahu, lalu lintas keluar dan
masuk kapal/perahu di laut, danau dan
sungai yang tidak dikelola oleh
Pemerintah.
Symmetric decentralization : Desentralisasi simetris
Territorial autonomy : Otonomi wilayah
Tuha Lapan : Lembaga adat pada tingkat mukim
dan gampong yang berfungsi
membantu imeum mukim dan keuchik
atau nama lain.
Tuha Peut Gampong : Unsur pemerintahan gampong yang
berfungsi sebagai badan
permusyawaratan gampong dan Tuha
Peut Mukim adalah alat kelengkapan
mukim yang berfungsi memberi
pertimbangan kepada imeum mukim.
Ultra vires : Otonomi terbatas
Under the Rule of Law : Di bawah hukum
Unitary state : Negara Kesatuan
Qanun : Peraturan perundang-undangan
sejenis peraturan daerah yang
mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan
masyarakat di Aceh
Zelfbesturende lanshappen : Swapraja

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

AM : Aceh Merdeka

AMM : Aceh Monitoring Mission

ASEAN : Association of South East Asia Nation

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBA : Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh

APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota

BAIS : Badan Intelejen Strategis

BPA : Badan Pertanahan Aceh

BP-MPR : Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat

BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

CMI : Crisis Management Initiative

COHA : Cessation of Hostillities Agreement

DAU : Dana Alokasi Umum

DEPDAGRI : Departemen Dalam Negeri

DI ACEH : Daerah Istimewa Aceh

DIM : Daftar Inventaris Masalah

DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

DI YOGYAKARTA : Daerah Istimewa Yogyakarta

DKI JAKARTA : Daerah Khusus Ibukota Jakarta

DKS : Dewan Kawaswan Sabang

DM : Darurat Militer

Universitas Sumatera Utara


DOM : Daerah Operasi Militer

DPD : Dewan Perwakilan Daerah

DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRD-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong

DPRK : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota

DPR-RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

DS : Darurat Sipil

FISIPOL : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

F-PBB : Fraksi Partai Bulan Bintang

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GBHN : Garis-Garis Besar Haluan Negara

HAM : Hak Asasi Manusia

HDC : Henry Dunant Centre

HGB : Hak Guna Bangunan

HGU : Hak Guna Usaha

HUDA : Himpunan Ulama Dayah Aceh

IAIN : Institut Agama Islam Negeri

JPP : Jurusan Politik dan Pemerintahan

KANWIL BPN : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

KEMENDAGRI : Kementerian Dalam Negeri

KEPRES : Keputusan Presiden

KDMA : Komando Daerah Militer Aceh

Universitas Sumatera Utara


KDH : Kepala Daerah

KIA : Kawasan Industri Aceh

KIP : Komisi Independen Pemilihan

KKA : Kertas Kraft Aceh

KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotsme

KKR : Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

KND : Komite Nasional Daerah

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah

KY : Komisi Yudisial

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

LWN : Lembaga Wali Nanggroe

MA : Mahkamah Agung

MBAD : Markas Besar Angkatan Darat

MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri

MENHANKAM : Menteri Pertahanan dan Keamanan

MENSETNEG : Menteri Sekretaris Negara

MK : Mahkamah Konstitusi

MNLF : Moro Nasional Liberation Front

MoU : Memorandum of Understanding

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama

Universitas Sumatera Utara


NAD : Nanggroe Aceh Darussalam

NBA : Negara Bagian Aceh

NII : Negara Islam Indonesia

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

ORBA : Orde Baru

ORLA : Orde Lama

PAH : Panitia Ad Hoc

PANSUS : Panitia Khusus

PDI-P : Partai Politik Demokrasi Perjuangan

PDRI : Pemerintah Darurat Republik Indonesia

PEMILU : Pemilihan Umum

PERPRES : Peraturan Presiden

PERDA : Peraturan Daerah

PERDASUS : Peraturan Daerah Khusus

PIM : Pupuk Iskandar Muda

PNS : Pegawai Negeri Sipil

POLRI : Polisi Republik Indonesia

PP : Peraturan Pemerintah

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

RANPERPRES : Rancangan Peraturan Presiden

RIS : Republik Indonesia Serikat

RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah

RUU-PA : Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh

Universitas Sumatera Utara


TNI : Tentara Nasional Indonesia

UIN : Universitas Islam Negeri

UUD RI 1945 : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

UUPA : Undang-Undang Pemerintahan Aceh

UNIMAL : Universitas Malikussaleh

UNPAD : Universitas Padjajaran

UNSYIAH : Universitas Syiah Kuala

ZEE : Zone Economi Exclusive

ZILS : Zona Industri Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Aceh salah satu daerah yang mempunyai latar belakang historis

kontroversial dengan Pemerintah Pusat dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Ketika Presiden pertama, Soekarno, menyatakan provinsi Aceh

sebagai daerah modal Indonesia. Di mana pada tahun 1949 disaat daerah-daerah

lainnya takluk pada kolonial Belanda, Provinsi Aceh malah membantu Indonesia

dalam bentuk bala bantuan para militer, politik, dan ekonomi menghadapi agresi

kolonial Belanda. 9

Pasca kemerdekaan hubungan antara provinsi Aceh dengan Pemerintah

Pusat mulai menimbulkan disharmonisasi. Sehingga, terjadi pemberontakan Darul

Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dibawah pimpinan ulama kharismatik,

Teungku Daud Beureueh, tahun 1953. Pemberontakan ini konsekuensi ingkar

janji pemerintah terutama terhadap asas negara Islam dan peleburan provinsi Aceh

ke dalam provinsi Sumatera Utara, yang berakhir melalui perdamaian ‘Ikrar

Lamteh”. 10

Pasca pemberontakan DI/TII muncul kembali perlawanan yang lebih radikal

dari elemen rakyat Aceh, menuntut kemerdekaan dari NKRI. Perlawanan politik

yang dilakukan oleh organisasi Aceh Merdeka (AM), dibawah pimpinan

Muhammad Hasan Ditiro yang dideklarasikan pada 4 Desember 1976, kemudian

AM diubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tahun 1989-1998


9
Nazaruddin Sjamsuddin, 1999, Revolusi di Serambi Mekkah, UI-Press, Jakarta, hlm. 282.
10
Nur El-Ibrahimi, 2001, Peranan Tgk M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Aceh, Media
Da’wah, Jakarta, hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara


merupakan masa paling kelam bagi provinsi Aceh, dibawah rezim Orde Baru

dibawah status Daerah Operasi Militer (DOM). Kemudian dilanjutkan masa

reformasi, pada tahun 2003-2004 dengan status Darurat Militer (DM) dan Darurat

Sipil (DS). Selama tiga dekade konflik politik antara provinsi Aceh dengan

Pemerintah Pusat tersebut, telah berimplikasi ribuan nyawa rakyat sipil,

TNI/Polri, serta GAM menjadi korban. 11

Proses perdamaian mulai dilakukan di awali dari kesepakatan (perjanjian)

Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh atau Jeda Kemanusian,

tahun 2000, 12 dan Cessation of Hostillities Agreement (CoHA) atau penghentian

permusuhan, tahun 2002, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC),

sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkedudukan di Jenewa, Swiss.

Namun, dalam implementasi perjanjian damai tersebut mendapat hambatan dan

kegagalan. 13

Perjanjian CoHA tersebut dilanjutkan sampai tahun 2003, yang menyepakati

keterlibatan tim monitoring asing dari militer Thailand dan Filipina tanpa

dipersenjatai. Dalam implementasi terdapat beberpa permasalahan oleh

Pemerintah Pusat menganggap GAM tidak konsisten dengan memanfaatkan

CoHA, untuk melakukan konsolidasi kekuatan. Begitu juga, sebaliknya GAM

mengklaim Pemerintah tidak konsisten terhadap keberadaan militer. Sehingga,

dillakukan pertemuan kembali di Tokyo, Jepang. Pertemuan tersebut gagal

menghasilkan kesepakatan. Konsekuensinya, pada 18 Mei 2003-19 Mei 2004

11
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, Proses Pembentukan Undang-undang
Pemerintahan Aceh, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 6, No. 2 Tahun 2007, hlm. 193.
12
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 41.
13
Ibid, hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara


melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya,

Pemerintah menetapkan Aceh dalam status DM, dilanjutkan, DS pada 19 Mei

2004-19 Mei 2005. Selanjutnya, ketika kondisi keamanan Aceh mulai kondusif

pada 19 Mei 2005 status DS diubah menjadi Tertib Sipil.14

Ketika harapan masyarakat Aceh agar terwujudnya perdamaain yang

permanen, malah sebaliknya terjadi bencana gempa dan tsunami pada 26

Desember 2004. Dampak tsunami telah mengubah pola pikir Pemerintah dan

GAM terhadap konflik Aceh. Di mana bersepakat untuk duduk kembali dalam

perundingan membahas penyelesaian konflik Aceh. Pada 15 Agustus 2005,

akhirnya, Pemerintah dan GAM difasilitasi oleh Crisis Management Initiative

(CMI), pimpinan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, menandatangani

Memorandum of Understanding (MoU), nota kesepahaman, di Helsinki, Finlandia

atau dikenal MoU Helsinki.

Ada enam poin yang menjadi substansi MoU Helsinki, diantaranya: 1)

Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh (Governing of Aceh); 2) Hak Asasi

Manusia (Human Rights); 3) Amnesti dan Reintegrasi ke dalam Masyarakat

(Amnesty and Reintegration Into Society); 4) Pengaturan Keamanan (Security

Arrangements); 5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh (Establishment of the

Aceh Monitoring Mission), dan, 6) Penyelesaian Perselisihan (Dispute

Settlement). 15

Diantara substansi penting dalam MoU Helsinki ini adalah disepakatinya

pembentukan undang-undang baru di Aceh, yang berkaitan dengan pemerintahan


14
Amrizal J. Prang, 2008, Aceh dari Konflik ke Damai, Bandar Publishing, Banda Aceh,
hlm12-13.
15
Terjemahan resmi MoU Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Universitas Sumatera Utara


Aceh. Meskipun eksistensi MoU Helsinki ini, sebagai executive agreement, antara

Pemerintah dengan GAM. 16 Namun, berdasarkan poin 1.1.1 MoU Helsinki

tersebut, proses pembentukan undang-undang baru pemerintahan Aceh tetap

dilakukan. Meskipun, sempat menimbulkan kecemasan dikalangan rakyat Aceh,

akibat perbedaan pandangan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia (DPR RI) terhadap substansi undang-undang tersebut.

Perbedaan pandangan tersebut, misalnya, besaran jumlah prosentase dana

tambahan bagi Aceh, yang disebut dana otonomi khusus terjadi perbedaan

pendapat antara pemerintah dengan fraksi-fraksi di panja DPR RI. Pemerintah

Pusat sebelumnya mengusulkan 1% (satu persen) untuk 5 tahun, kemudian

berubah menjadi 2% untuk masa 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan fraksi-fraksi

mengusulkan 2% (dua persen) untuk masa 20 (dua puluh) tahun. 17 Begitu juga,

terjadi perbedaan pandangan terhadap penggunaan istilah dalam undang-undang

tersebut, seperti ”Pemerintahan Aceh”, ”Self Government” dan ”Otonomi

Khusus”. 18

Akhirnya, sebagaimana Pasal 183 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006), disepakati

Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan

rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya

setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan

untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara

16
Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
17
Amrizal J. Prang, 2006, Harap-harap Cemas Pengesahan RUU-PA, Opini, Serambi
Indonesia, 29 Juni 2006.
18
Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat
Aceh, Suara Bebas, Jakarta, hlm. 323.

Universitas Sumatera Utara


dengan 1% (satu persen) plafon DAU Nasional. Begitu juga, dengan istilah yang

digunakan, akhirnya disepakati menjadi “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006)” yang berlaku otonomi

khusus dengan prinsip seluas-luasnya.

Setelah, melewati pembahasan yang panjang dan berlarut-larut, pada 1

Agustus 2006, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, mengesahkan UU No.11

Tahun 2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. 19 Salah satu materi UU No.11

Tahun 2006 yang berhubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh,

salah satunya terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan setelah adanya konsultasi dan

pertimbangan gubernur Aceh.

Sebagaimana Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 disebutkan:

“Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

Gubernur”. Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3) tersebut diuraikan, maksud

kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh,

misalnya, pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan

pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

langsung dengan daerah Aceh.

Jika melihat latar belakang adanya pasal ini tidak terlepas dari substansi

yang disepakati dalam MoU Helsinki, sebagaimana disebutkan dalam poin 1.1.2

huruf d, yaitu: “Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah

19
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006,
TLN No. 4633.

Universitas Sumatera Utara


Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan

persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”. Hanya saja, istilah yang digunakan berbeda

antara substansi MoU Helsinki, dengan menggunakan istilah “Konsultasi dan

Persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”, sedangakan, dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11

Tahun2006 menggunakan istilah “Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur Aceh”.

Untuk melaksanakan konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut,

sebagaimana Pasal 8 ayat (4), akan diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden

(Perpres). Dalam hal ini, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun

2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana

Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan

Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh (Perpres

No.75 Tahun 2008), yang ditetapkan pada tanggal 24 Desember 2008. Pasca

penetapan Perpres No.75 Tahun 2008 ini, diantara bentuk kebijakan administratif

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh sebagaimana penjelasan

Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, yaitu pemekaran wilayah, pembentukan

kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-

undangan. Jika melihat maksud “perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan

perundang-undangan” dalam pasal ini adalah penyusunan Peraturan Pemerintah

(PP) dan Perpres serta peraturan di bawah undang-undang yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Dalam konteks ini, tidak termasuk perencanaan pembuatan dan perubahan

undang-undang yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Sementara,

yang berhubungan dengan pembuatan dan perubahan undang-undang yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, dilakukan melalui konsultasi dan

Universitas Sumatera Utara


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sebagaimana Pasal 8

ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 disebutkan: ”Rencana pembentukan undang-

undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”.

Begitu juga, Pasal 269 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, menyebutkan: “Dalam hal

adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu

berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Mengingat implementasi

UU No.11 Tahun 2006 diatur lebih lanjut dengan beberapa peraturan pelaksana

dalam bentuk PP, Perpres dan Qanun Aceh, 20 maka cepat atau lambatnya

pelaksanaan Pemerintahan Aceh, juga tergantung kesiapan regulasi tersebut.

Sehingga, Mawardi Ismail, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas

Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan bahwa pasca pengesahan UU No.11

Tahun 2006, agenda yang segera harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan

pemerintahan Aceh adalah pertama, sosialisasi kepada publik agar masyarakat

bisa memahmi apa saja yang ada dalam undang-undang ini; dan, kedua,

menyiapkan perangkat pendukung pelaksanaan UU No.11 Tahun 2006, misalnya,

mengeluarkan (menetapkan) PP dan Perpres, sebagai peraturan pelaksananya. 21

Ada 9 (sembilan) PP dan 3 (tiga) Perpres yang berkaitan langsung dengan

pemerintahan Aceh dan sebagaimana Pasal 271 UU No.11 Tahun 2006 wajib

ditetapkan oleh pemerintah paling lambat 2 (dua) tahun sejak disahkan UU No.11

20
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
21
Taqwadin, dkk, 2009, Sejarah Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh, Perspektif
Partisipasi di Aceh, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 183-184.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2006. Sampai saat ini, yang sudah di tetapkan setelah berkonsultasi serta

mendapat pertimbangan gubernur adalah:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata

Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan

Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh. (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5054), ditetapkan pada 23 September 2009;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan

Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 143, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5175), ditetapkan pada 20 Desember

2010;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan

Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5659), ditetapkan pada 12 Februari 2015;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama

Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5696), ditetapkan pada 5 Mei 2015;

5. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan

Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana

Universitas Sumatera Utara


Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan

Langsung dengan Pemerintahan Aceh, ditetapkan pada 24 Desember 2008;

6. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah

Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri; ditetapkan pada 28

Januari 2010, dan,

7. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan

Aceh Kabupaten/Kota, ditetapkan pada 12 Februari 2015.

Sebelumnya, selain 4 (empat) PP dan 3 (tiga) Perpres yang sudah ditetapkan

di atas, juga sudah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007

tentang Partai Politik Lokal di Aceh (PP No.20 Tahun 2007). 22 Meskipun,

penetapannya tidak melalui proses konsultasi dan pertimbangan gubernur Aceh,

dikarenakan saat itu belum adannya Perpres No. 75 Tahun 2008. Namun,

dikarenakan Pasal 257 UU No.11 Tahun 2006, memerintahkan agar PP mengenai

partai politik lokal ditetapkan paling lambat Februari 2007 dan mengingat

menjelang pemilihan umum (pemilu) pada tahun 2009, maka Pemerintah Pusat

pada 14 Maret 2007, menetapkan menjadi PP No.20 Tahun 2007.

Artinya, berkaitan dengan kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana Pasal

271 UU No.11 Tahun 2006, yang sudah ditetapkan sejumlah 8 (delapan) peraturan

pelaksana. Sementara, sedang dalam proses konsultasi dan pertimbangan gubernur

ada 3 (tiga) PP, yaitu: pertama, PP mengenai kedudukan keuangan Gubernur dan
22
Peraturan Pemerintah Partai Politik Lokal di Aceh, PP No.20 Tahun 2007, LN No.43
Tahun 2007, TLN No. 4708.

Universitas Sumatera Utara


tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur (Pasal 43); kedua, PP

mengenai standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh

dan kabupaten/kota (Pasal 124); dan, ketiga, PP mengenai nama dan gelar Aceh,

(Pasal 251).

Selain itu, pasca penetapan peraturan pelaksana tersebut sebagian

kewenangan yang diatribusikan kepada Pemerintahan Aceh melalui PP dan

Perpres tersebut belum dapat dijalankan secara maksimal, karena masih

memerlukan beberapa kebijakan Pemerintah Pusat lainnya. Terutama, terhadap

penetapan Kebijakan, 23 Norma, 24 Standar, 25 Prosedur, 26 dan Kriteria27 yang

berlaku di Aceh dan sampai saat ini belum ditetapkan. Sebagaimana, Pasal 8 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (PP No. 83 Tahun 2010), berbunyi:

“Pemerintah menetapkan kebijakan, norma, standar, dan prosedur pelaksanaan

kewenangan yang dilimpahkan kepada Dewan Kawasan Sabang”.

Selanjutnya, Pasal 7 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015

tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (PP No.3 Tahun

2015), disebutkan: “Kewenangan Pemerintah diselenggarakan dalam bentuk

penetapan Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang berlaku di

23
Pasal 1 angka 14 PP Nomor 3 Tahun 2015: Kebijakan adalah kewenangan Pemerintah
untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan, pengawasan dan pelaksanaan urusan
pemerintahan yang bersifat nasional.
24
Pasal 1 angka 15 PP Nomor 3 Tahun 2015: Norma adalah aturan atau ketentuan yang
dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
25
Pasal 1 angka 16 PP Nomor 3 Tahun 2015: Standar adalah acuan yang dipakai sebagai
patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
26
Pasal 1 angka 17 PP Nomor 3 Tahun 2015: Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
27
Pasal 1 angka 18 PP Nomor 3 Tahun 2015: Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan
menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Universitas Sumatera Utara


Aceh oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian”. Sementara,

dalam Pasal 9 huruf b, disebutkan: “Penetapan Kebijakan, Norma, Standar,

Prosedur, dan Kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan, dilaksanakan oleh

menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian melalui konsultasi dan

pertimbangan Gubernur serta memperhatikan kekhususan dan keistimewaan Aceh

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dalam konteks pelaksanaan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006,

terutama setelah penetapan PP No. 83 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor

11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau

Badan di Luar Negeri (Perpres No.11 Tahun 2010). Gubernur Aceh telah

melakukan promosi tentang peluang investasi ke beberapa negara di luar negeri.

Diantaranya, dalam kunjungan ke Australia, Zaini Abdullah, Gubernur Aceh

memaparkan tentang profil rencana detail investasi di Aceh dalam forum

Indonesia Australia collaboration in boosting the connectivity and maintaining

the food security energy, yang berlangsung di Melbourne, Australia. Kegiatan

yang secara resmi di buka oleh Wakil Presiden Boediono. 28

Sementara, Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf mempromosikan potensi

investasi di Aceh kepada para pengusaha Arab, pada acara Indonesia Business

Luncheon di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Muzakir Manaf, mengatakan dalam

rangka percepatan investasi sesuai dengan target yang telah ditentukan,

Pemerintah Aceh akan fokus pada beberapa langkah penting, yaitu pembentukan

perangkat hukum yang bisa menjamin keamanan, kenyamanan, dan percepatan


28
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=307203:gub
ernur-aceh-promosi-investasi-di-australia&catid=13:aceh&Itemid=26, di akses pada 30 Desember
2013.

Universitas Sumatera Utara


izin investasi. Selanjutnya, mempromosikan potensi dan rencana detail

penanaman modal yang dibarengi dengan peningkatan kemampuan aparatur

birokrasi agar memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam pelayanan di bidang

investasi. 29

Pemerintah Aceh akan menyiapkan lahan untuk investasi, pembangunan

infrastruktur, dan percepatan proses perizinan. Peluang investasi, seperti

agroindustri (kopi, cokelat, karet, kelapa sawit, nilam, jagung, hortikultura

organik, perikanan, peternakan, dan pabrik susu), energi dan infrastuktur,

Kawasan Industri Aceh (KIA), serta Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas

Sabang. 30 Meskipun, Pemerintah Aceh sudah melakukan promosi dibeberapa

negara yang tujuannya untuk mencari investor asing dan bekerjasama dengan

lembaga luar negeri, namun belum terlihat realisasi dalam bentuk kerjasama

tersebut.

Demikian juga, berkaitan dengan keberadaan pelabuhan dan perdagangan

bebas Sabang belum memberikan perubahan signifikan terhadap peningkatan

tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat Sabang secara khusus dan Aceh secara

umumnya. Hal ini, menurut Gubernur, Zaini Abdullah, dikarenakan belum

maksimalnya fungsi Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas (free port) Sabang

karena antara aturan yang ada dan pelaksanaan dalam membuat kebijakan

dianggap tidak sinkron. 31 Oleh karena itu, Gubernur Aceh menyarankan untuk

pengembangan free port Sabang agar memahami terhadap 4 (empat) hal, yaitu,

29
http://aceh.tribunnews.com/2013/05/01/wagub-promosikan-aceh-di-abu-dhabi, di akses
pada 30 Desember 2013.
30
Ibid.
31
http://aceh.tribunnews.com/2013/06/05/free-port-sabang-belum-bermanfaat, diakses pada
30 Desember 2013.

Universitas Sumatera Utara


pertama, persamaan persepsi terkait dengan kegiatan impor; kedua, memahami

sistem pemindahan barang impor dari Sabang ke daratan Aceh atau kawasan

pabean; ketiga, mendorong agar lahirnya kebijakan yang standar dan baku dalam

bentuk Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tentang prosedur impor barang di

Kawasan Sabang; dan, keempat, memperkuat komitmen untuk mematuhi semua

aturan dan kesepakatan soal kegiatan impor barang. 32

Jika mengacu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD RI 1945), baik secara implisit maupun eksplisit tidak disebutkan kebijakan

administratif Pemerintah Pusat di daerah perlu adanya konsultasi dan

pertimbangan gubernur (pemerintah daerah). Dalam UUD RI 1945 hanya terdapat

pengaturan berkaitan konsultasi dan pertimbangan atau persetujuan antara

Presiden dengan DPR-RI dan lembaga kehakiman, dalam konteks pemisahan

kekuasaan (separation of power) antara eksekutif dengan legislatif dan kehakiman

(yudikatif).

Sebagaimana, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945, disebutkan

bahwa Presiden dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian

dengan negara lain, serta menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang memerlukan persetujuan DPR RI.

Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945, bahwa Presiden

dalam memberi grasi dan rehabilitasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah

Agung (MA) dan dalam memberi amnesti dan abolisi memperhatikan

32
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


pertimbangan DPR RI. Sementara, Pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945, mengatur

calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) harus melalui

persetujuan DPR RI dan ditetapkan oleh Presiden menjadi hakim agung.

Selanjutnya, Pasal 24B UUD RI 1945, dinyatakan keanggotaan KY yang diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden harus melalui persetujuan DPR RI.

Sebagaimana, telah disebutkan di atas dalam UUD RI 1945 tidak dinyatakan

mengenai konsultasi dan pertimbangan Pemerintahan Daerah dengan Pemerintah

Pusat. Sementara, yang diatur berkaitan Pemerintahan Daerah adalah dalam Pasal

18 ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Selanjutnya, Pasal 18A ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan, hubungan

wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,

dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-

undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sedangkan,

Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan, negara mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut, tidak diperdapatkan pengaturan mengenai

konsultasi dan pertimbangan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat atau

sebaliknya, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 18A ayat (1) UUD RI 1945,

yaitu mengenai hubungan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Universitas Sumatera Utara


daerah diatur dengan undang-undang. Sebelum perubahan UUD RI 1945 ada

beberapa undang-undang pemerintahan daerah yang sudah dibentuk, yang berlaku

secara umum untuk seluruh daerah, terakhir Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22 Tahun 1999). 33 Kemudian

undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004), 34 sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. 35

Selanjutnya, UU No.32 Tahun 2004 pada 30 September 2014 dicabut dan

diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (UU No.23 Tahun 2014), 36 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang

(UU No.2 Tahun 2015), 37 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9

33
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 60,
TLN RI No. 3839.
34
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004, LN RI Tahun 2004 No. 125,
TLN RI No. 4437.
35
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 12 Tahun 2008, LN RI Tahun 2008 No. 59, TLN RI No. 4844.
36
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244,
TLN RI No. 5587.
37
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No.
5657.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.9 Tahun 2015). 38

Di mana substansi dalam UU No.23 Tahun 2014 terdapat beberapa

perbedaan dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Misalnya, pengertian

sebagaimana Pasal 1 angka 9 UU No.23 Tahun 2014 disebutkan: “Dekonsentrasi

adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali

kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.” Sedangkan,

menurut Pasal 1 angka 8 UU No.32 Tahun 2004 disebutkan: “Dekonsentrasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.”

Sementara, bagi daerah-daerah yang berlaku otonomi khusus dan daerah

istimewa (asymmetrical decentralization), di samping berlaku undang-undang

yang bersifat umum, juga diatur dengan undang-undang khusus yang berlaku

tersendiri, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua (UU No.21 Tahun 2001), 39 joncto Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang

38
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
39
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No.21 Tahun 2001, LN RI
No. 135 Tahun 2001, TLN RI No. 4151.

Universitas Sumatera Utara


Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi

Undang-Undang (UU No.35 Tahun 2008). 40

Sedangkan, bagi Provinsi Aceh yang berstatus sebagai daerah istimewa dan

daerah khusus disamping diatur dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (UU

No.44 Tahun 1999), 41 juga sebagai daerah khusus diatur dengan UU No.11 Tahun

2006. Sementara, Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota diatur dengan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, 42 (UU

No.29 Tahun 2007), mengantikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia (UU

No.34 Tahun 1999). Terakhir, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, diatur

dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta. 43 (UU No.13 Tahun 2012).

Sehingga, dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah di NKRI terdapat 3

(tiga) pembahagian pelaksanaan otonomi daerah, yaitu pertama, otonomi daerah

biasa bagi sebagian besar daerah-daerah di NKRI, kedua otonomi khusus, bagi

daerah-daerah khusus, seperti Jakarta, Papua dan Aceh, dan ketiga, otonomi yang

40
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang., UU No.35 Tahun 2008, LN RI No. 112
Tahun 2008, TLN RI No. 4884.
41
Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU
No.44 Tahun 1999, LN RI No. 172 Tahun 1999, TLN RI No. 3893.
42
Undang-Undang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU No.29 Tahun 2007, LN RI No. 93 Tahun 2007, TLN RI
No. 4744.
43
Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No13 Tahun 2012,
LN No. 170 Tahun 2012, TLN No. 5339.

Universitas Sumatera Utara


bersifat istimewa bagi daerah-daerah istimewa, seperti Yogyakarta dan Aceh.

Sewajarnya, undang-undang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahn Daerah, khususnya berkaitan dengan kewenangan konsultasi dan

pertimbangan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat atau sebaliknya.

Tujuannya, agar kewenangan yang sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada

daerah, terdapat kesepahaman, keserasian dan kesepakatan. Sehingga, hak-hak

daerah tidak lagi diabaikan dan terwujudnya keadilan bagi daerah.

Pembagian pelaksanaan otonomi sebagaimana disebut di atas, menunjukan

pelaksanaan otonomi daerah di NKRI, masuk dalam penerapan asas desentralisasi

dan dekonsentrasi. Wujudnya adalah otonomi negara/otonomi nasional

desentralisasi serta otonomi daerah yang meliputi otonomi daerah biasa, lazim

disebut otonomi daerah saja, otonomi daerah istimewa, otonomi daerah khusus,

dan/atau otonomi daerah asli. 44 Oleh karena itu, ada beberapa kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, maka perlu melakukan penelitian lebih lanjut. Disini penulis akan

membatasi dengan judul: “Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur Terhadap

Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat di Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan

yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

44
Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung, hlm. 202.

Universitas Sumatera Utara


1. Mengapa ada pengaturan tentang konsultasi dan pertimbangan gubernur

terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh?

2. Bagaimanakah pengaturan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

kebijakan administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia?

3. Apa saja hambatan pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur

terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan telaah kepustakaan

dapat dirumuskan beberapa tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengkaji dan mengetahui dasar pengaturan konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

2. Untuk mengkaji dan mengetahui pengaturan konsultasi dan pertimbangan

gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh dalam perspektif Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


3. Untuk mengkaji dan mengetahui hambatan pelaksanaan kewenangan

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran konsep-konsep tentang hubungan Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Daerah. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah

khasanah ilmu hukum, terutama hukum tata negara dan hukum

pemerintahan daerah, khususnya penemuan konsepsi konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat di

daerah. Terutama terhadap daerah-daerah khusus atau istimewa.

2. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan

bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seperti Presiden, DPR RI,

Gubernur, DPRD, terutama Gubernur dan DPR Aceh, dalam upaya

membangun hubungan yang harmonis antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Daerah, khususnya Pemerintahan Aceh dan masyarakatnya.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian disertasi ini secara khusus akan diteliti sebagaimana judulnya.

Sejauh yang diketahui belum banyak dan masih sangat kurang dilingkungan

Universitas Sumatera Utara


akademik baik di Aceh secara khusus maupun Indonesia secara umumnya.

Sementara, penelitian berkaitan otonomi khusus yang ada selama ini sebagian

masih bersifat umum dan substansi kekhususan belum menyentuh secara langsung

secara komprehensif. Terutama, berkaitan dengan kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan

setelah adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur, sebagaimana Pasal 8 ayat

(3) UU No.11 Tahun 2006. Kewenangan ini berbeda dengan kewenangan pada

daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dalam kaitan dengan disertasi ini penulis

menemukan beberapa hasil penelitian sebelumnya, antara lain:

1. Husni Jalil, (2004) melalui penelitian dalam disertasi Universitas Padjajaran

(UNPAD) Bandung: “Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan

UUD 1945”, mengkaji keberadaan otonomi khusus Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam (NAD), menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang sekarang sudah diganti dengan

UU No.11 Tahun 2006. Penelitian ini mengkaji kewenangan Mahkamah

Syari’yah dan hubungan Pemerintah Pusat dan Provinsi NAD dalam NKRI,

menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan empiris, dengan

pendekatan perbandingan dan sejarah hukum, serta pendekatan politis.

Husni menemukan, bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iah, tidak bergeser

dari Konsep NKRI dan hubungan pemerintah pusat dan provinsi NAD.

Universitas Sumatera Utara


2. Yusrizal, Suharizal, dan Firdaus Arifin (2007) melalui penelitian The Aceh

Institute: “Pemetaan Kewenangan Pemerintah Aceh Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006”, mengkaji kewenangan Pemerintahan Aceh

dan kemungkinan sengketa yang dapat terjadi antara pemerintahan Aceh

dan Pemerintah Pusat. Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan

yuridis normatif ini, Yusrizal, dkk, mengelaborasi kewenangan khusus

pemerintahan Aceh, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.11 Tahun

2006 dan hubungannya dengan Pemerintah Pusat. Namun, tidak

menganalisis berkaitan kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur

Aceh terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat.

3. Agung Djojosoekarto, Rudiarto Sumarwono, Cucu Suryaman (2008) dalam

penelitian, Kemitraan (Partnertship), “Kebijakan Otonomi Khusus Papua,

Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta”,

menelaah otonomi khusus, terutama yang berlaku di provinsi Aceh setelah

UU No.11 Tahun 2006, bahwa diberi kewenangan khusus pada tiga

dimensi, pertama penggunaan istilah, antara lain: Peraturan Daerah dengan

menggunakan istilah Qanun; Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD),

menggunakn istilah Komisi Independen Pemilihan (KIP); dan, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota dengan

istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan

Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Kedua, dimensi kelembagaan berkaitan

dengan pembentukan Mahkamah Syar’iyah; partai politik lokal; Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU); Lembaga Wali Nanggroe (LWN);

Universitas Sumatera Utara


Lembaga Adat; dan Lambang Daerah; dan, Ketiga, dimensi keuangan,

adanya dana otonomi khusus; dan, dana tambahan bagi hasil minyak dan

gas bumi.

Berbeda dengan beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas,

penelitian ini difokuskan pada konsultasi dan pertimbangan gubernur Aceh

terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh. Dalam penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis

pengaturan dalam UU No.11 Tahun 2006 terhadap penguatan kelembagaan

gubernur sebagai kepala daerah, dan sinergitas hubungan Pemeritahan Aceh dan

Pemerintah Pusat.

Meskipun, dari semua penelitian di atas tidak terdapat kesamaan judul dan

permasalahan dengan disertasi ini. Namun, dapat digunakan sebagai referensi dan

sebagai bahan studi perbandingan guna menemukan sesuatu yang baru dan

bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum dan pembangunan hukum di

Indonesia dan Aceh khususnya. Oleh krena itu, keaslian penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi

secara konstruktif. Apabila pernah dilakukan penelitian yang sama, maka

penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sebelumnya.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, yang dikutip Otje Salman, teori

berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, yang

Universitas Sumatera Utara


pada gilirannya berasal dari kata “thea” yang dalam bahasa Yunani secara hakiki

menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. 45 Sehingga, teori diartikan

adalah:

“Suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud
untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam
pengalaman (ialah alam yang tersimak bersaranakan indera manusia).
Sehingga, tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan
dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in
abstracto yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya
yang berupa realitas in concreto yang berada dalam pengalaman
inderawi”. 46

Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.

Kata teori mempunyai pelbagai arti. Pada umumnya, teori diartikan sebagai

pengetahuan yang hanya ada dalam alam pilikiran tanpa dihubungkan dengan

kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu. 47 Sebagaimana,

juga Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, yang dikutip Sudikno Mertokusumo,

mengatakan teori dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan

pengertian-pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan

sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat

dikaji. 48

Untuk itu, sebagai pisau analisis penelitian, teori yang akan penulis gunakan

dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu dalam bentuk Grand Theory, yaitu teori Negara

Hukum, sebagai induk teori atau kerangka teori yang prima dengan sifat dan

karakter yang general (umum), yang penggunaannya akan berlanjut kepada

45
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan,
dan Membuka Kembali, Cetakan Keempat, Refika Aditama, Bandung, hlm. 21.
46
Ibid.
47
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, hlm. 4.
48
Ibid, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


Medium Theory/Middle Theory (teori tengah), yaitu teori Negara Kesatuan dan

Desentralisasi Simetris (symetrical decentralization) dan (asymmetrical

decentralization), dan Supporting Theory/Applied Theory (teori pendukung), yaitu

teori Kewenangan. 49

1.1. Negara hukum (Grand Theory)

Sebagai Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini, kerangka pikir

kenegaraan dengan menggunakan teori Negara Hukum (rechtstaat dan rule of

law). Dalam NKRI, istilah negara hukum sudah sangat populer, istilah tersebut

dianggap sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law. Konsep

tersebut dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab tidak lepas dari

perlindungan hak asasi manusia. Sehingga, dalam penjelasan UUD RI 1945

sebelum perubahan disebutkan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum,

(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.

Teori negara hukum secara esensial bermakna bahwa hukum adalah

supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan

untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan di atas hukum

(above the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law), dengan

kedudukan ini, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary

power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power). 50

49
M. Solly Lubis, 2012, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Jakarta, hlm. 112.
50
Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makasar, hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


Sejarah perkembangan cita negara hukum berawal dari konsep pemikiran

Plato (427-347 SM) yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles (384-322 SM).

Plato dalam bukunya yang berjudul Politea memberikan respon terhadap kondisi

negara yang memprihatinkan karena saat itu dipimpin oleh orang-orang atas dasar

kesewenang-wenangan. Ide Plato dikembangkan lebih lanjut oleh Aristoteles.

Dalam pandangannya, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah

dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Pandangan ini termuat dalam

karyanya yang berjudul politica. 51

Terdapat tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi, yaitu: (1) pemerintahan

dilaksanakan untuk kepentingan umum, (2) pemerintah dilaksanakan menurut

hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat

secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi, (3)

pemerintah berkonstitusi, berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak

rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang dilaksanakan pemerintahan

despotis. Pemikiran tentang negara hukum ini dilatari oleh situasi dan kondisi

yang sama ketika era Plato dan Aristoteles mengemukakan idenya tentang negara

hukum, yaitu reaksi terhadap kekuasaan yang absolut dan sewenang-wenang. 52

Sementara, menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya

dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

51
Ibid.
52
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


4. Peradilan tata usaha negara. 53

Pendapat yang serupa tentang konsep rechtsstaat juga dikemukakan oleh

Van Wijk dan Konijnbelt. Menurutnya, rechtsstaat memiliki unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur), yang meliputi


kewenangan yang dinyatakan dengan tegas, tentang perlakukan yang
sama, dan tentang kepastian hukum;
b. Jaminan atas hak-hak asasi;
c. Pembagian kekuasaan yang meliputi struktur kewenangan atau
desentralisasi dan tentang pengawasan dan control;
d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan. 54

Selanjutnya, Albert Venn Dicey, yang lebih dikenal dengan panggilan A.V.

Dicey, menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang

disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

1. Supremacy of Law (supremasi hukum).

2. Equality before the law (persamaan di depan hukum).

3. Due Process of Law (proses hukum yang adil). 55

Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan rule of law

sebagaimana dikemukakan oleh Julius Stahl dan A.V. Dicey kemudian

diintegrasikan pada pencirian baru yang lebih memungkinkan pemerintah

bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Perumusan kembali ciri-ciri

tersebut, antara lain, dihasilkan oleh International Comission of Jurist yang pada

53
Dikutip dari Jimly Assiddiqie, Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004. Lihat juga, Notohamidjojo, 1970,
Makana Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Djakarta, hlm. 24-28.
54
Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil Kajian Pembentukan dan Ujian
Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara press, Malang, hlm. 16.
55
A.V. Dicey, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Terjemahan dari Introduction to
the Study of the Law of the Constitution, Nusamedia, Bandung, hlm. 254-259.

Universitas Sumatera Utara


konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, mencirikan konsep negara hukum

yang dinamis atau konsep negara hukum materiil sebagai berikut: 56

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,

konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh

perlindungan atau hak-hak yang dijamin.

2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. Adanya pemilihan umum yang bebas.

4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.

5. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.

6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Sementara, Arief Sidharta, yang mengutip pendapat Scheltema,

merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas dasar negara

hukum adalah sebagai berikut: 57

1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang


berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang
tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat
‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas
kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan
tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan
pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-
undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;

56
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES
Indonesia, Jakarta, hlm. 187.
57
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II,
November 2004, hlm.124-125.

Universitas Sumatera Utara


d. Asas peradilan bebas, independen, imparial, dan objektif, rasional,
adil dan manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law).
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang
atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau
kelompok orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan
pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan
yang sama bagi semua warga negara.
4. Asas demokrasi di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas
demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
diselenggarakan secara berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik
dan mengontrol pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional
oleh semua pihak;
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk
memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal
sebagai berikut:
a. Asas-asas umum pemerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-
undangan, khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki
tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya,
pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.

Universitas Sumatera Utara


Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut

“civil law” atau “modern Roman Law” sedangkan konsep “the rule of law”

bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil

law” adalah “administratif”, sedangkan karakteristik “common law” adalah

“judicial”.

Berbeda dengan latar belakang negara hukum Republik Indonesia, di mana

latar belakangnya sama halnya dengan penggunaan istilah “demokrasi”, yang

sebelumnya tidak dikenal namun dengan pengaruh pikiran barat, sehingga dikenal

istilah demokrasi dengan atribut tambahan, yang melalui Ketetapan MPRS Nomor

XXXVII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor VIII/

MPRS/l965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, disebut dengan

“Demokrasi Pancasila”. Begitu juga halnya dengan negara hukum yang dikenal

dengan Negara Hukum Pancasila. Sehingga, negara hukum Republik Indonesia

bukan sekedar terminologi dari “rechtsstaat” atau “rule of law”.58

Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaedah penuntun yang harus

dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia.

Pertama, hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan

bangsa dan karenanya tidak diperbolehkan adanya hukum-hukum yang menanam

benih-benih disintegrasi. Kedua, hukum harus mampu menjamin keadilan sosial

dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi

dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus

58
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hlm. 72-74.

Universitas Sumatera Utara


dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan

nomokrasi (negara hukum). Keempat, hukum tidak boleh diskriminatif

berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi

beragama berdasarkan kemanusian dan keberadaban. 59

Berdasarkan pandangan diatas dan sesuai dengan prinsip NKRI sebagai

negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945, maka prinsip-prinsip

negara hukum pancasila tersebut harus ditegakkan. Artinya, dalam penegakan

hukum pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Aceh dalam rangka konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, secara prinsipnya adalah:

pertama, agar terbangun hubungan harmonis antara Pemerintahan Aceh dan

Pemerintah Pusat, sehingga tidak menimbulkan potensi disintegrasi bangsa;

Kedua, pelaksanaan kebijakan administratif Pemerintah Pusat harus berdasarkan

UUD RI 1945 dan peraturan khusus, yaitu UU No.11 Tahun 2006 serta peraturan

perundang-undangan lainnya; dan, ketiga, untuk melindungi kepentingan dan

keadilan rakyat Aceh secara khususnya, dan kepentingan NKRI secara umum

yang demokratis sesuai dengan hukum Pancasila.

Selanjutnya, dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah, keberadaan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, menjadi forum fasilitasi hubungan yang selaras dan seimbang antara dua

institusi yang berbeda. Di mana Pemerintah Pusat yang mempunyai kewenangan

59
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Pustaka LP3ES, hlm. 56.

Universitas Sumatera Utara


secara terpusat (sentral), dalam bentuk negara kesatuan dan kedua keberadaan

Pemerintah Daerah (gubernur) yang merupakan sub-ordinasi Pemerintah Pusat.

Meskipun, hanya kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung (khusus) dengan Pemerintahan Aceh. Dengan forum ini maka

keberadaan dan hubungannya antara Pemerintah Pusat dan daerah menjadi

seimbang. Kewenangan ini juga membuktikan bahwa NKRI sebagai negara

hukum telah menjujung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan di depan hukum

(equality before the law) dan kepastian hukum. Keberadaan forum konsultasi dan

pertimbangan gubernur ini, menyerupai keberadaan Pengadilan Tata Usaha

Negara (PTUN) yang mempertemukan antara Pemerintah dan masyarakat dalam

satu forum pengadilan, yang keberadaannya tidak seimbang yang satu sebagai

elemen yang memerintah (pemerintah), sementara yang lain adalah yang

diperintah (masyarakat).

Hal ini, berdasarkan konsideran Menimbang huruf a, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.5 Tahun

1986), yang sudah diubah dengan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan

terakhir diubah dengan, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, disebutkan:

bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib,
yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan
yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga
masyarakat. 60

60
Lihat juga, Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 566.

Universitas Sumatera Utara


Dengan adanya UU No.5 Tahun 1986 dan PTUN ini, bahwa Indonesia

sebagai negara hukum, yang mengakui keberadaan semua warga negara adalah

sama di depan hukum (equality before the law). Sehingga, keberadaan hukum

menjadi supremasi. Dengan keberadaan PTUN tersebut telah menempatkan

kedudukan Pemerintah dan masyarakat menjadi selaras dan seimbang, serta

menjadi forum fasilitasi dua kompenen yang sebelumnya tidak seimbang menjadi

seimbang. Demikian juga keberadaan UUPA dan konsultasi dan pertimbangan

gubernur, menjadi forum fasilitasi antara Pemerintah Pusat dan Gubernur

(Pemerintah Aceh). Sehingga, hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh

menjadi koordinasi dan seimbang sebagaimana prinsip negara hukum.

1.2. Negara Kesatuan (Middle Theory)

Selanjutnya, Middle Theory yang digunakan dalam kerangka pikir teori

negara kesatuan (unitary state), dikembangkan antara lain, oleh Rudolf

Kranenburg dan Thorsten V. Klijarvi. Negara Indonesia disamping sebagai negara

hukum, juga bersusunan atau berbentuk negara kesatuan, sebagaimana disebutkan

Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. Oleh karena itu, perlu juga menggunakan teori

negara kesatuan, dalam sistem desentralisasi, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD RI 1945.

Istilah unitary state itu sendiri dikemukakan oleh Rudolf Kranenburg.61

Sementara, menurut Thorsten V. Klijarvi, istilah unitary state atau negara dengan

sentralisasi kekuasaan, berpasangan dengan istilah negara federal atau negara

61
Astim Riyanto, 2010, Op., Cit., hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara


dengan sentralisasi kekuasaan. 62 Penggolongan negara-negara ke dalam dua

bentuk didasarkan pada letak kekuasaan tertinggi (kedaulatan) pemerintahan

negara. Suatu bentukan modifikasi negara federal timbul negara konfederal. Atas

dasar letak kekuasaan tertinggi (kedaulatan) pemerintahan itu muncul istilah

negara kesatuan, negara federal, dan negara konfederal. 63

Sementara, menurut CF. Strong, unitary state adalah negara yang memiliki

”pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”.

Sedangkan, negara federal adalah ”suatu alat politik yang dimaksudkan untuk

merekonsiliasasikan kekuasaan dan persatuan nasional dengan pemeliharaan ’hak-

hak negara’,” singkatnya, negara yang otoritas legislatifnya dibagi antara

kekuasaan pusat atau kekuasaan federal dengan unit-unit yang lebih kecil. 64

Selanjutnya, Abu Daud Busroh berdasarkan susunan negara, mengatakan:

......, negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa
negara, seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya
tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara di dalam negara.
Jadi dengan demikian, di dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu
pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintahan
pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan
segala sesuatu dalam negara tersebut. 65

1.2.1. Desentralisasi

Meskipun demikian, karena perkembangan dan kebutuhan negara kesatuan

yang berprinsip sentralistik, dapat juga dengan desentralisasi. Sebagaimana, yang

62
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Ke-10, Binacipta, Bandung, hlm. 202.
63
Ibid.
64
CF Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari Modern Political Constitution: An
Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung, hlm. 109.
65
Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 64-65.

Universitas Sumatera Utara


berlaku pada negara federasi sehingga, negara kesatuan dibagi juga dalam pola

sentralistik dan pola desentralistik. Negara kesatuan dengan pola sentralistik

adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara, tanpa kecuali,

merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum. Sedangkan, pola

desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah.

Penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar negara kesatuan. 66

Sementara, Mahfud MD, menyebutkan negara kesatuan adalah:

Negara yang kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah melalui pemberian


otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus
dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau
melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak
yang datang dari, atau diberikan oleh, pemerintah pusat beradasarkan
undang-undang dan konstitusi.67

Mengenai perbedaan prinsipil antara negara kesatuan dengan negara

federasi tersebut, Kuntana Magnar, menunujukkan:

...., salah satu perbedaan yang prinsipil dengan negara serikat (federal),
adalah di mana kewenangan pemerintah pusat disebutkan satu persatu dalam
Undang-Undang Dasar, dan bahwa susunan pemerintah daerah dalam
negara kesatuan diatur dari pusat, sedangkan susunan pemerintah daerah
yang disebut negara bagian dalam negara serikat, diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Bagian sendiri. Sehingga, berbeda dari negara
kesatuan, dimana campur tangan pemerintah pusat dalam negara serikat
(federal) lebih terbatas terhadap pemerintah daerah. 68

Oleh karena itu, dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire

Barnet, menyatakan: “local government represented an early form of localized

self-regulation. The country is devided into local authorities – either county or

66
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia,
hlm. 59-62.
67
Mahfud MD, Loc. Cit., hlm. 221.
68
Astim Riyanto, Loc., Cit., hlm. 45-46.

Universitas Sumatera Utara


district – each having law making and administrative powers as deligated by

Parliament”. (Pemerintah daerah diwakili pada suatu bentuk awal dari lokalisasi

peraturan sendiri. Negara dibagi dalam kekuasaan-kekuasaan lokal – baik

kabupaten atau wilayah – masing-masing mempunyai kekuasaan membuat

peraturan dan administratif sebagaimana yang didelegasi oleh Parlemen). 69

Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memegang kedaulatan, pertama,

secara internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara

terhadap individu-individu atau perkumpulan-perkumpulan di dalam wilayah

yurisdiksinya. Kedua, eksternal yaitu kemerdekaan absolut suatu negara sebagai

keseluruhan dalam kaitannya dengan negara-negara lain. 70 Desentralisasi melalui

otonomi daerah menunjuk hanya kepada masalah-masalah tertentu menyangkut

kepentingan khusus daerah. Namun, kadang-kadang lembaga administrasi

(pemerintah daerah) yang terpilih, berkompeten untuk membuat norma-norma

umum, misalnya undang-undang otonomi (peraturan daerah), tetapi undang-

undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang dibuat

oleh legislatif. 71 Berdasarkan pandangan tersebut menunjukan daerah diberi

kewenangan membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaan

pemerintahan daerahnya, menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahannya.

Namun, pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintahan

pusat, baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

69
Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London:
Cavendish Limited, hlm. 496.
70
CF. Strong, Op. Cit., hlm. 109-110.
71
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General
Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.

Universitas Sumatera Utara


A.H Manson, membagi desentralisasi menjadi dua yaitu, desentralisasi

politik dan desentralisasi administratif/birokrasi. Desentralisasi politik disebut

juga dengan devolusi (devolution), sedangkan desentralisasi administrtif disebut

juga dengan dekonsentrasi. 72 Baik desentralisasi maupun dekonsentrasi

merupakan instrument dalam bidang division of power. Maksudnya, dua konsep

tersebut merupakan konsep administrasi, yaitu bagaimana proses-proses kegiatan

untuk mencapai tujuan dilaksanakan dalam organisasi dan manajemen.

Sejalan dengan Manson, Conyers, juga membagi desentralisasi menjadi dua

macam, yaitu devolution (devolusi) adalah pelimpahan kewenangan politik dari

pusat kepada daerah yang ditetapkan secara legal dan deconcentration

(dekonsentrasi), merupakan kewenangan administratif yang diberikan oleh pusat

kepada perwakilan badan-badan pemerintah pusat yang ada di daerah. 73

Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah

pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan

suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus

dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan otonomi ini,

Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah urusan pemerintahan yang kelak

menjadi urusan rumah tangga daerah terseebut harus selalu berorientasi pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan dan

aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian hubungan

antara daerah dengan daerah lannya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan


72
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo,
Jakarta, hlm. 4.
73
Darmansjah Djumala, Loc., Cit., hlm. 8-9.

Universitas Sumatera Utara


terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata di seluruh

wilayah negara Indonesia. 74

Penyerahan urusan-urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat menjadi

urusan rumah tangga sendiri bagi daerah-daerah yang menerimanya dapat

dilakukan dengan mengikuti beberapa teori/ajaran tentang pembagian urusan

pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, yaitu sebagai

berikut: 75

1. Sistem otonomi materiil, yaitu pembagian urusan-urusan yang dilakukan

antara pemerintah pusat dengan daerah-daerahnya, dimana yang menjadi

urusan daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terperinci secara

tegas dan pasti, sedangkan di luar dari urusan-urusan yang telah

diserahkan kepada daerah adalah merupakan urusan pemerintah pusat.

2. Sistem otonomi formal, yaitu pembagian urusan antara pemerintah pusat

dengan daerah-daerahnya, di mana daerah-daerah pada umumnya

mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

dianggap penting bagi kemajuan dan perkembangan daerah sepanjang

daerah tidak mengatur urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah

pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Sistem otonomi nyata (riil), yaitu penyerahan urusan-urusan kepada daerah

berdasarkan kepada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan

yang benar-benar nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau

74
Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam
rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas
Sumatera Utara, Medan, hlm. 23.
75
Ibid, hlm. 24-25.

Universitas Sumatera Utara


kemampuan yang nyata dari masing-masing daerah dalam mengurus

rumah tangganya sendiri.

Sementra, Bagir Manan menyatakan ada beberapa patokan untuk

menentukan sistem rumah tangga daerah berdasarkan UUD RI 1945, yaitu: 76

1. Berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan


dalam permusyawaratan perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, ditemukan patokan, yaitu:
Pertama, sistem rumah tangga daerah harus menjamin keikutsertaan
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah baik dalam bidang
pengaturan maupun pengurusan urusan rumah tangga daerah.
2. Berdasarkan paham memelihara dan mengembangkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam pemerintahan asli, ditemukan patokan, yaitu:
Kedua, pada asasnya urusan rumah tangga daerah bersifat asli, bukan
sesuatu yang diserahkan oleh satuan pemerintahan tingkat lebih atas.
Ketiga, sebagai konsekuensi bahwa pada prinsipnya urusan rumah tangga
daerah bersifat asli, sistem rumah tangga daerah harus memberi tempat
bagi prakarsa atau inisiatif sendiri dari daerah-daerah untuk mengatur dan
mengurus berbagai kepentingan atau hal-hal yang dianggap penting bagi
daerah mereka. Prakarsa atau inisiatif sendiri tersebut dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu langsung dan tidak langsung.
Bentuk langsung, yaitu daerah secara langsung mengatur dan mengurus
suatu urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga. Bentuk ini
berlaku bagi urusan-urusan pemerintahan yang belum diatur dan/atau
diurus oleh satuan tingkat lebih atas. Disamping itu, hanya berlaku pada
urusan pemerintahan yang belum diatur dan/atau diurus satuan
pemerintahan tingkat lebih atas, bentuk langsung harus pula
memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara, bentuk tidak langsung, yaitu daerah diberi hak mengusulkan
kepada pusat atau satuan pemerintahan tingkat lebih atas agar suatu
urusan diserahkan untuk diatur dan diurus oleh daerah yang
bersangkutan. Bentuk tidak langsung berlaku bagi urusan pemerintahan
yang telah diatur dan diurus satuan pemerintahan tingkat lebih atas.
Bentuk tidak langsung memberikan tanggung jawab yang lebih besar
kepada daerah untuk memperhatikan kepentingan daerah atau rakyat
daerah.
Keempat, prakarsa atau inisiatif sendiri, erat kaitannya dengan luas
lingkup isi urusan rumah tangga daerah. Kebebasan berprakarsa atau
berinisiatif adalah inti otonomi seluas-luasnya. Rakyat daerah diberi
kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala kepentingan mereka di

76
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 171-175.

Universitas Sumatera Utara


daerah. Jadi otonomi seluas-luasnya tidak berkaitan dengan jumlah
urusan rumah tangga suatu daerah.
3. Berdasarkan paham kebhinekaan, diketemukan patokan:
Kelima, urusan rumah tangga daerah dapat berbeda-beda antara daerah
yang satu dengan yang lain, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
setempat.
4. Berdasarkan prinsip negara hukum, ditemukan patokan:
Keenam, sisitem rumah tangga daerah harus benar-benar mencerminkan
pemencaran kekuasaan antara pusat dan daerah. Setiap campur tangan
pusat atas urusan rumah tangga daerah, tidak boleh mengurangi
kemandirian daerah. Di mana campur tangan yang berlebihan akan
menimbulkan arus balik dari pemencaran ke pemusatan (sentralisasi)
kekuasaan.
Ketujuh, sistem rumah tangga daerah harus terutama ditujukan untuk
mewujudkaan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Kedelapan, keadilan dan kesejahteraan sosial, mengandung aspek
pemerataan. Fungsi pemerataan tidak mungkin dilaksanakan oleh daerah,
melainkan oleh pusat.

Dari delapan patokan sistem rumah tangga diatas, dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Adanya partisipasi;

2. Urusan rumah tangga pada dasarnya milik asli dan bukan sesuatu yang

diberikan;

3. Ada kebebasan berprakarsa atau berinisiatif;

4. Prinsip otonomi seluas-luasnya sebagai akibat dari keleluasaan

berprakarsa;

5. Urusan rumah tangga daerah dapat berbeda-beda;

6. Urusan rumah tangga harus mencerminkan pemencaran kekuasaan;

7. Urusan rumah tangga daerah lebih bersifat pelayanan;

Universitas Sumatera Utara


8. Ada tempat bagi pusat untuk mempengaruhi rumah tangga daerah demi

menjamin pemerataan keadilan daan kesejahteraan sosial dan penentuan

isi rumah tangga daerah yang baru. 77

Berdasarkan kedua pandangan di atas terdapat beragam bentuk urusan

rumah tangga, baik bersifat asli maupun diberikan oleh pemerintahan atasan.

Selain itu, menunjukan bahwa desentralisasi yang ada dalam UUD RI 1945,

dalam menjalankan urusan rumah tangga daerah dapat berbeda-beda,

berdasarakan kebutuhan daerah tersebut. Oleh karenanya, perbedaan-perbedaan

pelaksanaan urusan rumah tanggga daerah antara satu daerah dengan daerah

lainnya, bukan merupakan diskriminasi dan hambatan untuk diimplementasikan.

Selain itu, sebagaimana juga dikatakan oleh Axel Hadenius yaitu:

“Decentralisation may entail the transfer of autonomy in the following


areas: (1) Policy autonomy: local bodies are entitled to make their own
decisions in certain (more or less restricted) fields of policy; (2)
Organisation autonomy: local bodies are free to decide about their
organisational structure; (3) Staff autonomy: local political leaders and
administrative personnel are selected without interference from central
authorities; (4) Fiscal autonomy: local bodies are able to raise revenues
independently and/or receive grants from the centre without any strings
attached (so-called block grants)”. (Desentralisasi mungkin memerlukan
transfer otonomi dalam bidang-bidang berikut: (1) otonomi kebijakan:
badan-badan lokal berhak untuk membuat keputusan sendiri dalam hal
tertentu (terbatas) bidang kebijakan; (2) otonomi organisasi: badan-badan
lokal bebas untuk memutuskan tentang struktur organisasi mereka; (3)
otonomi staf: pemimpin politik lokal dan tenaga administrasi yang dipilih
tanpa campur tangan dari pemerintah pusat; (4) otonomi fiskal: badan-badan
lokal dapat meningkatkan pendapatan secara mandiri dan/atau menerima
hibah dari pusat tanpa pamrih (disebut block grant). 78

77
Ibid, hlm. 176.
78
Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from
India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, jika kekuasaan pusat berpendapat ada baiknya mendelegasikan

kekuasaan itu pada badan-badan tambahan – apakah badan-badan tersebut berupa

otoritas daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu boleh saja dilakukan

mengingat otoritas pusat memiliki kekuasaan penuh, bukan karena konstitusi

menetapkan demikian. Pendelegasian kekuasaan ini bukan berarti tidak ada badan

pembuat undang-undang tambahan, tetapi artinya badan-badan itu dapat

dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat. Denga demikian, ada dua sifat

penting negara kesatuan, yaitu: (1) supremasi parlemen pusat, dan (2) tidak

adanya badan berdaulat tambahan. 79

Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan

pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan

mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.

Meskipun kedua lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) merupakan satu

kesatuan susunan yang mencerminkan keutuhan bentuk negara kesatuan, tetapi

karena masing-masing mempunyai lingkungan wewenang, tugas, dan tanggung

jawab berbeda, maka tidak menutup kemungkinan terjadi semacam tarik-menarik

bahkan spanning hubungan antara keduanya. 80 Mencermati negara kesatuan, baik

mengenai negara kesatuan dengan sentralisasi maupun desentralisasi menunjukan

gambaran umum tentang identitas negara kesatuan sebagai: (1) negara satu

negara, (2) negara satu kedaulatan, (3) negara satu wilayah/daerah, (4) negara satu

bangsa, (5) negara satu sistem hukum, dan (6) negara satu sistem pemerintahan. 81

79
CF. Strong, Op., Cit., hlm. 115.
80
Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 16-17.
81
Astim Riyanto, Op., Cit., hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara


Uraian diatas menunjukkan bahwa dalam sistem pemerintahan negara

kesatuan dibagi dua yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralistik dan

desentralistik atau otonomi dengan cara membagi-bagikan kewenangan antara

Pemerintah Pusat dengan daerah. Namun, dalam menjalankan kewenangan

otonomi ini kekuasaan mutlak masih ada pada Pemerintah Pusat sehingga

kekuasaan inipun dapat dihapus oleh Pemerintah Pusat.

Meskipun demikian, menurut Bagir Manan, desentralisasi dalam rangka

hubungan antara pusat dan daerah terjelma dalam empat asas pokok sebagai

patokan, sebagaimana UUD RI 1945, yaitu:

Pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi
hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dal;am permusyawaratan/perwakilan
atau dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara yang harus
terselenggara sampai ketingkat pemerintahan daerah. Kedua, bentuk
hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat)
daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengerus urusan-
urusan yang dinggap penting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara
pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang
lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Dan, keempat,
bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial daerah. 82

Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan sistem desentralistik atau

otonomi, Pemerintah Pusat masih mempunyai kekuasaan penuh dan mutlak

terhadap daerah, maka kekuasaan ini tidak dapat dijalankan oleh daerah secara

maksimal. Sehingga, tujuan negara sebagaimana falsafah Pancasila yaitu

mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Apalagi,

82
Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 170.

Universitas Sumatera Utara


dengan perkembangan saat ini sistem kekuasaan mutlak Pemerintah Pusat dalam

negara kesatuan tidak dapat dijalankan lagi.

Sebagaimana juga, Jimly Assiddiqie menyatakan:

“konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monoistik, tidak dapat dipecah-


pecah merupakan konsepsi utopis yang memang jauh dari kenyataan.
Dengan demikian, konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini cendrung
dipahami secara pluralis, tidak lagi monistis. Meskipun daerah-daerah
bagian dari negara kesatuan itu bukanlah unit-unit negara bagian yang
tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya
sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara
kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945”. 83

Pengalaman negara-negara lain terdapat dua pola besar dalam merumuskan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembagian tugas pengurusan

urusan pemerintahan (intergovernmental task sharing), yaitu: 1) pola general

competence (otonomi luas) dan 2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola

otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah

Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan

Pemerintah Daerah. Sedangkan, dalam prinsip ultra vires adalah urusan-urusan

Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pusat. 84

Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia termasuk

dalam kategori pola general competence, hal ini dapat dilihat pasca perubahan

Pasal 18 UUD RI 1945, yang sebelumnya hanya satu Pasal 18, kemudian

ditambah 2 (dua) pasal yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 UUD RI

1945, disebutkan:

83
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Yarsif
Watampone, hlm. 33.
84
Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-
suwandi-konsepsi-otda.pdf, hlm. 3, diakses pada 25 November 2013.

Universitas Sumatera Utara


(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.

Dalam ayat (5) pasal tersebut jelas menunjukan negara Indonesia menganut

pola general competence (otonomi l uas). Artinya, urusan-urusan yang dilakukan

oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi

kewenangan Pemerintahan Daerah. Menindaklanjuti ayat (7) dibentuk UU No.32

Tahun 2004, 85 yang dalam Penjelasan Umumnya, disebutkan:

“Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya


dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat”.

85
Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No.32 Tahun 2004, LN No.125 Tahun 2004,
TLN No. 4437.

Universitas Sumatera Utara


Pasca penggantian UU No. 32 Tahun 2004, substansi Pemerintahan Daerah

berbeda dengan sebelumnya. Apalagi, pengaturannya dibagi menjadi 3 (tiga)

undang-undang, yaitu, pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang

Desa (UU No.6 Tahun 2014). 86 Kedua, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU No.22 Tahun 2014), 87

yang belum dilaksanakan lalu dicabut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota (Perpu No.1 Tahun 2014), 88 dan ditetapkan menjadi Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Menjadi Undang-undang (UU No.1 Tahun 2015). 89 Selanjutnya, diubah kembali

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota Menjadi Undang-undang (UU No.8 Tahun 2015). 90

Ketiga, UU No.23 Tahun 2014, yang diubah dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu No. 2 Tahun

86
Undang-Undang Desa, UU No.6 Tahun 2014, LN No.7 Tahun 2014, TLN No.5495.
87
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.22 Tahun 2014, LN
No.243 Tahun 2014, TLN No. 5586.
88
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
89
Undang-undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.1 Tahun 2015, LN No.23 Tahun 2015, TLN No. 5656.
90
Undang-undang Perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU
No.8 Tahun 2015, LN No.57 Tahun 2015, TLN No. 5678.

Universitas Sumatera Utara


2014). 91 Selanjutnya, diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. 92 Oleh karenanya, UU No.23 Tahun 2014 hanya mengatur

berkaitan pemerintahan daerah. Sedangkan, mengenai Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) dan Desa sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. Namun

demikian, secara prinsipil pemberlakuan pelaksanaan otonomi daerah masih

menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya.

Merujuk Pasal 18 UUD RI 1945 dan UU No.23 Tahun 2014, sebagaimana

deskripsi di atas bahwa prinsip otonomi seluas-luasnya yang diberlakukan di

seluruh daerah di Indonesia, dalam konteks desentralisasi masih dalam kategori

desentralisasi simetris. Berbeda, dengan substansi yang diatur dalam Pasal 18B

ayat (1) UUD RI 1945, yang mengakui adanya daerah istimewa atau khusus, yang

kewenangannya juga bersifat khusus, sehingga eksistensinya dikategorikan dalam

desentralisasi asimetris.

1.2.2. Desentralisasi Asimetris

Selain desentralisasi simetris (symmetrical decentralization), juga dikenal

desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Sebagaimana

dikemukakan oleh Joachim Wehner, pemberian otonomi berbeda atas satu daerah

atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan

91
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Perpu No.2 Tahun 2014, LN No.246 Tahun
2014, TLN No. 5589.
92
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679.

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik banyak

negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang

didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah

ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut

sebagai asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau

asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical intergovernmental

arrangements. 93

Kehadiran desentaralisasi asimetris didasari pertimbangan bahwa suatu

negara semestinya memiliki kerangka administrasi yang mampu mengelola segala

keberagaman lokalnya, baik yang tercermin pada variasi latar sosial-budaya,

potensi ekonomi, kebutuhan administrasi hingga yang terekspresikan dalam

tuntutan politik tertentu. Charles Tarlton, sebagai ahli politik yang pertama kali

memulai diskursus desentralisasi asimetris mengatakan, pembedaan antara

desentralisasi simetris dengan asimetris adalah bahwa pola simetris ditandai oleh

”the level of conformity and commonality in the relations of each separate

political unit of the system to both to the system as a whole and to the other

component units”. (”tingkat kesesuaian dan keumuman dalam hubungan setiap

unit politik yang terpisah dari sistem untuk kedua sistem secara keseluruhan dan

untuk unit komponen lainnya”). Adanya hubungan simetris antar setiap negara

93
dikutip dari, Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia,
Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


bagian/daerah dengan pemerintah pusat tersebut didasari jumlah dan bobot

kewenangan yang sama. 94

Sementara, dalam pola asimetris satu atau lebih unit pemerintahan lokal,

”possessed of varying degrees of autonomy and power”. (”dimiliki dari berbagai

tingkat otonomi dan kekuasaan”). Berbedanya derajat otonomi dan kekuasaan

ditandai tak seragamnya pengaturan muatan kewenangan itu membentuk derajat

hubingan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit

politik/pemerintahan lainnya baik secara horizontal (negara bagian/daerah)

maupun vertikal (nasional). 95

Oleh karena itu, dengan menggunakan kasus desentralisasi asimetris yang

diberlakukan di negara-negara federasi, maka logis jika Rainer Baubock,

menyimpulkan, yaitu:

”There are good reasons on both sides of the the asymmetry debate. Critics
are right to point out that a highly asymmetric federal division of powers
impeds democratic deliberation and participation, undermines federal
cohesion and violates a sense of shared and equal federal citezenship.
However, these arguments need to teke into account the specific context of
multinational democracies with a history of intercloking nation-building
projects. In such countries national identities can be neither fully shared
nor neutralized. The best explanation for the relative stability of
multinational federal democracies is not that national minorities have
eventually devoloped a second and overriding national identity that commits
them to respect the integrity of the larger polity, but that majorities and
minorities have developed common interest and identities as citizens of a
multilevel polity, in which all constituent units enjoy autonomy and in which
all citizens are directly represented in federal government”. (Kedua belah
pihak, [baik yang pro maupun yang kontra] terhadap [desentralisasi]
asimetris memiliki alasan-alasan yang kuat. Mereka yang kontra benar
ketika mengatakan bahwa pengalokasian kewenangan asimetris yang terlalu
tajam akan menghambat partisipasi demokratis, mengancam persatuan

94
Dikutip dari Robert Endi Jaweng, 2013, Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang
Menyisakan Sejumlah Catatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Desentralisasi Asimetris Solusi atau
Problem, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 107.
95
Ibid, hlm. 107-108.

Universitas Sumatera Utara


federal [atau nasional], dan melanggar prinsip bahwa siapapun sama
kedudukannya dalam konteks federal [atau nasional]. Walaupun begitu,
argumen seperti ini perlu mempertimbangkan konteks spesifik demokrasi
yang bersifat multi nasional [atau yang melibatkan banyak suku bangsa]
yang terkait dengan sejarah upaya-upaya membangun nasionalisme [negara
itu]. Pada negara seperti itu, identitas-identitas nasional tidak bisa
ternetralkan atau disebarkan [menjadi bagian setiap suku bangsa] secara
total. Penjelasan terbaik tentang adanya stabilitas relatif yang dihasilkan
oleh [sistem] demokrasi liberal [atau demokrasi yang terdiri dari suku
bangsa] adalah bukan karena kaum minoritas nasional telah [berhasil]
mengembangkan identitas nasional mereka secara mencolok, yang
memungkinkan mereka untuk tampil dan tidak menjadi ancaman bagi
kelompok politik yang lebih besar, tetapi bahwa masyarakat mayoritas dan
minoritas telah mengembangkan kepentingan dan identitas bersama sebagai
warga dari suatu bangsa multi-tingkat, yaitu semua konstituen menikmati
otonomi dan semua masyarakat berkesempatan untuk diwakili/terwakili
pada pemerintah federal [pusat].96

Sebagaimana pendapat Baubok di atas, Tarlton juga menambahkan bahwa

kalau realitas objektif di masyarakat (preconditions of asymmetry) memang

menuntut kerangka pengelolaan khusus dan diperkirakan mampu mendatangkan

manfaat yang lebih efektif ketimbang dilakukan dengan cara-cara

umum/biasa/jamak, maka desentralisasi asimetris patut dipertimbangkan dalam

tata kelola negara bangsa. Secara umum, realitas obyektif yang menjadi alasan

pemilihan desentralisasi asimetris terbagi dalam dua kelompok. Pertama,

pertimbangan politis sebagai respon atas kebergaman atau tingkat perbedaan yang

tinggi dan bahkan ketegangan etnis, karakter regional, agama (political

asymmetriy). Kedua, pertimbangan efisiensi atau manajerial dengan tujuan untuk

penguatan kapasitas pemda guna mengelola ekonomi dan administrasi

pemerintahan secara efektif (administrative asymmetry). Dalam sisi prosesnya,

kalau jenis asimetri-politik biasanya berawal dari tuntutan lokal (bottom-up

96
Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat
Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 56-57.

Universitas Sumatera Utara


approachl), sedangkan dalam kasus asimetri-administratif justru lebih banyak

didorong pemerintah nasional (top-down approach). 97

Dalam NKRI padanan kata asymmetrical decentralization disebut dengan

otonomi khusus atau istimewa yang secara konstitusional didasarkan pada Pasal

18B UUD RI 1945, yaitu:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan­satuan pemerintahan


daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang­undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Dalam konteks otonomi khusus Aceh dan juga sebagai daerah istimewa

meskipun adanya kewenangan-kewenangan khusus yang berbeda dengan daerah-

daerah lain, namun secara umum dan prinsip pemberlakuan otonomi disebut

otonomi seluas-luasnya. Sebagaimana, Penjelasan Umum paragraf ketujuh UU

No.11 Tahun 2006, disebutkan:

“Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan


Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-
luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola
pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu
transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam
menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh
memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan
maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah”. 98

97
Robert Endi Jaweng, 2013, Op., Cit., hlm. 108-109.
98
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006,
TLN No. 4633.

Universitas Sumatera Utara


Demikian juga dengan kewenangannya secara umum materinya juga sama

dengan UU No.32 Tahun 2004, juga UU No.23 Tahun 2014. Sebagaimana,

disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No.11 tahun 2006, berbunyi:

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan


mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan
tertentu dalam bidang agama.

Sementara, yang membedakan pengaturan dan pemberlakuan otonomi

daerah antara daerah-daerah lain, yang berlaku otonomi biasa dan otonomi khusus

(asymmetrical decentralization) adalah status Aceh sebagai daerah istimewa

diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999 dan juga daerah khusus diatur dengan UU

No.11 Tahun 2006. Artinya, dalam konteks pemberlakuan asymmetrical

decentralization di Indonesia, Aceh berstatus istimewa sekaligus khusus berbeda

dengan Provinsi Papua dan Papua Barat, serta DKI Jakarta yang hanya berstatus

otonomi khuus. Begitu juga, dengan DI Yogyakarta yang berstatus istimewa.

Provinsi Aceh sebagai daerah istimewa, sebagaimana Pasal 3 UU No.44

Tahun 1999, disebutkan:

(3) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan


kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat
yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual.
moral, dan kemanusiaan.
(4) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat;
c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Universitas Sumatera Utara


Sementara, dalam konteks otonomi khusus sekaligus istimewa substansinya

diatur dalam UU No.11 Tahun 2006, antara lain: Pasal 7 ayat (2), yang memberi

kewenangan bagian tertentu dalam bidang agama dikelola oleh Pemerintahan

Aceh. Pasal 8, mengenai perlunya konsultasi dan pertimbangan gubernur dan

DPRA terhadap kebijakan administratif, persetujuan internasional yang dilakukan

oleh pemerintah dan pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan Aceh oleh

Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 9, berkaitan ikut serta pemerintah Aceh secara

langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. Pasal 75,

pembentukan partai politik lokal. Pasal 96, penduduk Aceh dapat membentuk

lembaga Wali Nanggroe, sebagai lembaga kepemimpinan adat.

Selanjutnya, Pasal 160, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh bersama-

sama mengelola dan mengurus sumber daya alam minyak dan gas. Pasal 167,

pelabuhan bebas Sabang. Pasal 179 dan Pasal 183, pemerintahan Aceh mendapat

penerimaan dana otonomi khusus. Pasal 228 dan Pasal 229, pembentukan

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR). Selanjutnya, Provinsi Aceh dapat membentuk secara

langsung sebagian Peraturan Daerah atau Qanun sebagaimana perintah Undang-

Undang Pemerintahan Aceh, tanpa harus menunggu peraturan pelaksana lainnya.

Kekhususan ini dalam asas peraturan perundang-undangan dikenal dengan lex

specialis derogate legi generalis (peraturan yang khusus dapat

mengenyampingkan peraturan yang umum).

Universitas Sumatera Utara


Berkaitan pembentukan Qanun Aceh tersebut, Supardan Modeong,

menyatakan: 99

Berdasarkan asas tersebut bila ditinjau dari sudut prosedur pembuatan


peraturan perundang-undangan antara Peraturan Daerah (Perda) dengan
Qanun adalah sama. Yaitu, peraturan yang dibentuk oleh DPRD bersama
dengan Gubernur guna mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam rangka otonomi daerah. Namun, ditinjau dari sudut kompetensi
mengaturnya, Qanun berbeda dengan Perda. Karena, Qanun tidak tunduk
pada Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) –
penulis: Peraturan Presiden (Perpres) – sedangkan Perda tunduk. Oleh
karenanya, sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya mempunyai
kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan, maka demikian juga halnya
dengan Qanun”.

Namun demikian, tidak semua peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006

diatur melalui qanun. Sebagian lainnya, juga diatur dengan PP, 100 Perpres 101 dan

Keputusan Presiden (Keppres) 102 yaitu, sembilan PP, tiga Perpres dan dua

Keppres. Pengaturan dalam bentuk PP dan Perpres hal ini dikarenakan sebagian

kewenangan yang diatribusikan kepada Pemerintahan Aceh, tidak bisa secara

absolut diserahkan sehingga masih memerlukan pengaturan dan kewenangan

Pemerintah Pusat sebagai otoritas pemerintahan dalam bentuk negara kesatuan.

Artinya, berdasarkan pandangan Supardan Modeong di atas, bahwa

pembentukan qanun-qanun yang langsung diperintah oleh UU No.11 Tahun 2006,

maka dapat dibentuk oleh Pemerintahan Aceh tanpa menunggu PP atau Perpres

sebagai dasar hukumnya. Sementara, terhadap qanun-qanun yang memerlukan

peraturan pelaksana lainnya, seperti PP atau Perpres maka qanun-qanun tersebut

99
Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta, Perca,
hlm. 69.
100
Pasal 4 ayat (5), Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 53 ayat (4), Pasal 55 ayat (6), Pasal
95, Pasal 107, Pasal 124, Pasal 160, dan Pasal 251.
101
Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (4), dan Pasal 253 ayat (3).
102
Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 103 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara


tidak dapat dibentuk sebelum ditetapkan PP atau Perpresnya. Dalam teori

desentralisasi dikenal ada dua bentuk, yaitu pertama, desentralisasi simetris

(symmetrical decentralization), di Indonesia saat ini diatur dalam UU No.23

Tahun 2014. Kedua, desentralisasi asimetris (asymmetrical desentralization) atau

otonomi asimetris (asymmetric autonomy).

Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak

asimetris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan

untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan

bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya;

dan persoalan yang bercorak teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas

suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. 103

Menurut Peter Harris dan Ben Reilly, melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-

wilayah tertentu di dalam suatu negara diberikan kewenangan khusus yang tidak

diberikan kepada wilayah-wilayah lain. 104

Sementara, Peter van Houten, mendefinisikan desentralisasi asimetris

adalah:

The legally established power of distinctive, non-soverign ethnic


communities or ethnically distinct territories to make substantial public
decisions and execute public policy independently of other sources of
authority in the state, but subject to the overall legal order the state. In
other words, in our understanding, autonomy denotes the exercise of
exclusive jurisdiction by distinctive, non-sovereign ethnic communities or
the population of ethnically distinct territories. (Kewenangan legal
[berkekuatan hukum] yang diberikan kepada kelompok masyarakat khusus

103
Ibid.
104
Dikutip dari Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat
Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga,
Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap
Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf,
diakses pada 25 Desember 2013.

Universitas Sumatera Utara


yang tidak memiliki kedaulatan, atau wilayah yang khusus secara etnis [agar
mereka dapat] membuat keputusan-keputusan publik yang mendasar dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan publik secara bebas diluar sumber-
sumber kewenangan negara, tetapi tetap tunduk dibawah hukum negara
secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, dalam pemahaman kami,
otonomi berarti hak masyarakat etnis atau penduduk dari suatu wilayah
beretnis khusus tertentu, yang tidak memiliki kedaulatan sendiri, untuk
melaksanakan suatu yurisdiksi ekslusif. 105

Peter van Hauten, menambahkan bahwa definisi otonomi yang

dikembangkan tersebut, memiliki aspek-aspek penting, antara lain: pertama,

definisi tersebut mencakup dua bentuk otonomi, yaitu otonomi wilayah

(territorial autonomy) dan bentuk-bentuk otonomi non-wilayah (non-territorial

forms of autonomy); kedua, dalam definisi tersebut dimunculkan dua bentuk

otonomi, yaitu otonomi asimetris dan otonomi yang berlaku umum; ketiga,

definisi tersebut dikembangkan dari perspektif kelompok etnis atau wilayah yang

didasarkan atas etnis, sehingga memerlukan otonomi sendiri. 106

Berdasarkan definisi di atas menunjukan bahwa desentralisasi asimetris

(otonomi asimetris), atau dalam NKRI dikenal dengan otonomi khusus atau

daerah istimewa tidak keluar dari prinsip dasar negara kesatuan dan tidak

kontradiksi dengan UUD RI 1945. Desentralisasi asimetris yang diberikan kepada

daerah-daerah tertentu baik karena perbedaan latar belakang sejarah, etnis,

maupun wilayah, namun mereka tidak memiliki kedaulatan sendiri melainkan

masih tunduk pada kekuasaan Pemerintah Pusat.

105
Ibid, hlm. 53-54.
106
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi asimentris (otonomi khusus),

menurut Hurst Hannum, yang mengistilahkan dengan territorial autonomy, paling

tidak terdapat dua manfaat, yaitu:

1. Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau

konflik-konflik fisik lainnya. Contohnya, Hong Kong jelas bagian

daerah kedaulatan negara Cina, tetapi memberikan sejumlah

kewenangan penting kepada Homg Kong dalam bidang politik, hukum

dan ekonomi.

2. Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-

masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang

diperhatikan. 107

Sebagaimana juga, yang diberikan oleh negara Spanyol, di mana dalam

Pasal 2 dan Pasal 143 konstitusinya (Spanish Constitution of 1978), yang sudah

diamandemen pada tahun 1992, mengatur secara eksplisit terhadap pemberlakuan

desentralisasi asimetris, dengan menggunakan istilah self-government.

Selanjutnya, penjabaran otonomi asimetris tersebut diatur dalam undang-undang

otonomi (statute of autonomy), yang berlaku bagi 17 state (wilayah) dalam

komunitas otonomi (autonomous communities/comunidad autonoma). 108 Transisi

menuju demokrasi di Spanyol setelah dijatuhkannya Franco dimudahkan dengan

klausa dalam Konstitusi 1978 untuk pendirian “komunitas otonom”. Dengan

memberikan komunitas “historis” seperti Basque dan Catalonia hak untuk

memerintah dirinya sendiri, tekanan untuk pemisahan diri berkurang dan kegiatan
107
Ibid, hlm. 55.
108
Amrizal J. Prang, 2010, Jika Self-Government (Aceh) Diatur Konstitusi, Opini, Serambi
Indonesia, 4 Februari 2010.

Universitas Sumatera Utara


terorisme menurun. 109 Klasifikasi komunitas otonomi ke dalam dua komponen, di

mana setiap komponen mempunyai perbedaan pelaksanaan otonomi dan

perbedaan level kekuasaan dan tanggung jawab. Untuk Basque Country, Catalonia

dan Galicia diberikan hak self-government karena latar belakang “historic

nationalities”.110

Sementara, di Filipina pemberlakuan desentralisasi asimetris terhadap

daerah-daerahnya, secara latar belakang pemberlakuannya menyerupai negara

Indonesia yaitu karena faktor konflik. Dalam hal ini sebagaimana diberikan

kepada provinsi Mindanao. Semenjak kejatuhan Presiden Marcos tahun 1986 dan

digantikan oleh rezim demokratis dibawah Presiden Arroyo, lahir konstitusi baru

tahun 1987 yang salah satunya diberikan otonomi khusus (asymmetrical

decentralization) kepada Muslim Mindanao. Namun desentralisasi di Filipina

lebih menguat lagi semenjak tahun 1991 dengan lahirnya Local Government Code

yang memberi mandat untuk melakukan devolusi kepada pemerintah daerah

Smoke. 111

Kegiatan pemisahan Muslim di Mindanao, yang bertahan selama

seperempat abad, berkurang setelah kesepakatan pada tahun 1996 antara Front

Nasional Pembebasan Moro Moro Nasional Liberation Front (MNLF) dan

pemerintah. Dalam kesepakatan ini, sebuah dewan akan didirikan di bawah

pimpinan pemimpin Front Pembebasan untuk mengawasi pembangunan di 14

109
Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah
Pilihan untuk Negosiator, terjemahan, Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for
Negotiators, Ameepro, Jakarta, hlm. 160.
110
Amrizal J. Prang, 2010, Op., Cit.
111
Tri Widodo W. Utomo, 2014, Implementasi Dekonsentrasi di Negara Kesatuan:
Pengalaman internasional, Jurnal Borneo Administrator, Volume 10, No. 1 Tahun 2014, hlm.
101.

Universitas Sumatera Utara


propinsi di pulau Mindanao di selatan (yang dianggap sebagai tanah air tradisional

kaum muslim Filipina), diikuti plebisit dan otonomi regional tiga tahun

sesudahnya. 112

Selain itu, sistem pemerintahan lokal yang spesifik yang dipraktekkan

Provinsi Mindanao di Filipina ini, juga diberi kewenangan untuk boleh memiliki

bendera sendiri, bahasa, partai politik lokal, polisi lokal, dan bagi hasil sumber-

sumber pendapatan yang lebih besar. 113 Hukum adat dan hukum syariah juga

merupakan bagian dari sistem hukum Filipina. Hukum Syariah mengakui sistem

hukum dari masyarakat Muslim di Filipina sebagai bagian dari Hukum Tanah dan

berusaha untuk membuat lembaga-lembaga Islam lebih efektif dalam

pelaksanaannya. Hukum syariah juga mengkodifikasi hukum personal Muslim

(berhubungan dengan keluarga dan konflik masyarakat) dan menyediakan

administrasi yang efektif dan penegakan hukum personal Islam di kalangan

Muslim. Pengadilan syariah juga telah didirikan untuk tujuan ini. 114

Kewenangan khusus yang diberikan oleh negara Filipina kepada Mindanao

dalam konteks asymmetrical decentralization, menyerupai dengan kewenangan

yang diberikan NKRI kepada Pemerintahan Aceh, baik yang diatur dalam Pasal 3

ayat (2) UU No.44 Tahun 1999, disebutkan, penyelenggaraan keistimewaan

meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraan kehidupan

adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan

112
Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Op., Cit., hlm. 161.
113
Djohermasyah Djohan, 2010, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal Sekretariat
Negara RI, Nomor 15 Februari 2010, hlm. 122.
114
Marcus Colchester dan Sophie Chao, 2012, Beragam Jalur Menuju Keadilan:
Pluralisme Hukum dan Hak-hak Masyarakat Adat di Asia Tenggara, Ed., Epistema Institute,
Jakarta, hlm. 65-66.

Universitas Sumatera Utara


kebijakan Daerah. Begitu, juga sebagaimana diatur UU No.11 Tahun 2006, antara

lain: kewenangan pembentukan partai politik lokal [Pasal 75]; pendapatan dana

otonomi khusus [Pasal 179 ayat (2) huruf c]; pendapatan tambahan dana bagi hasil

minyak dan gas bumi di Aceh [Pasal 181 ayat (3)]; memiliki bendera [Pasal 246

ayat (2)], lambang [Pasal 247]; dan himne Aceh (Pasal 248 ayat (2)]’

Konstitusi Filipina tahun 1987 menetapkan beberapa referensi untuk hak-

hak masyarakat adat. Secara khusus, Bagian 22 Pasal II menyatakan bahwa:

“Negara mengakui dan mempromosikan hak-hak masyarakat budaya asli

(indigenous cultural communities) di dalam kerangka kesatuan dan pembangunan

nasional”. Selanjutnya, Bagian 17 Pasal XIV menyatakan: “Negara harus

mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat budaya asli untuk

melestarikan dan mengembangkan budaya, tradisi, dan institusi mereka. Negara

harus mempertimbangkan hak-hak adat dalam perumusan rencana dan kebijakan

nasional. 115

Pengakuan terhadap keberadaan adat asli masyarakat dalam konstitusi

Filipina sebagaimana substansi Bagian 22 Pasal II dan Bagian 17 Pasal XIV,

menyerupai substansi dalam Pasal 18B ayat (2) UUD RI 1945, yaitu: “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-

hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang”.

115
Ibid, hlm.68

Universitas Sumatera Utara


Dalam hubungan ini, Indonesia memiliki kesamaan yang sangat dekat

dengan Filipina yang memberikan otonomi luas kepada unit pemerintahan daerah,

baik pada level provinsi maupun level kabupaten dan kota. Proses amandemen

(perubahan) Konstitusi di kedua negara juga sangat serupa, ditandai dengan

instabilitas politik menuntut turunnya rezim yang berkuasa pada zamannya

(Marcos di Filipina tahun 1986, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998). Hasilnya,

lahirlah konstitusi baru tahun 1987 di Filipina dan UUD RI 1945 hasil empat kali

perubahan (1999-2002) di Indonesia. Kedua konstitusi tersebut sama-sama

memiliki semangat yang besar untuk melakukan reformasi politik kenegaraan

secara total, termasuk menata ulang hubungan antara pusat dengan daerah. Itulah

sebabnya, undang-undang desentralisasi yang lahir dari semangat baru konstitusi

tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada seluruh tingkatan. 116 Selain

Spanyol yang memberikan kewenangan pelaksanaan asymmetrical

desentralization kepada Basque dan Catalonia. Begitu juga, Filipina kepada

Mindanao, juga ada China kepada Tibet dan Hongkong.

Kewenangan khusus yang diberikan China kepada Hongkong, yang

merupakan bekas koloni China dan Inggris ini, dalam bentuk self government,

diawali melalui “Hongkong Agreement” yang ditandatangani pada 1 Juli 1997. Di

mana menjalankan roda pemerintahan melalui “Special Administrative Region”

(SAR), yang menggunakan konsep “One Country, Two System”. Konsep yang

merupakan perwujudan dari kompromi politik antara China dan Inggris. Di mana

China dengan dasar ekonomi komunisme dan sosialisme. Sedangkan, Inggris

116
Tri Widodo W. Utomo, 2014, Op., Cit., hlm. 104.

Universitas Sumatera Utara


dengan dasar ekonomi kapitalisme. Pasca itu, masyarakat Hongkong bebas

menentukan arah politiknya, meskipun berada dalam wilayah kedaulatan

China. 117

Diantara kewenangan self-government Hongkong adalah pembentukan

partai politik lokal. Hongkong memiliki kebebasan dalam menentukan hal-hal:

1. Rancangan anggaran belanja Hongkong tidak perlu mengacu pada

kehendak Beijing;

2. Memiliki kewenangan penuh dalam perdagangan mata uang;

3. Menjalin hubungan perdagangan dengan badan-badan keuangan

internasional dan perusahaan asing;

4. Memiliki perusahaan penerbangan sendiri (Cathai Pasific), pengelolaan

keuangannya tidak berhubungan dengan perusahaan penerbanagn China

(China Airline);

5. Memajukan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, bahasa, agama dan

adat-istiadat;

6. Polisi mempunyai kewenangan khusus dalam menjaga ketentraman dan

ketertiban;

7. Jabatan tertinggi dalam SAR adalah Gubernur yang mengikuti struktur

administrasi kenegaraan, dalam hal tertentu tetap tunduk kepada Presiden

China;

117
Dikutip dari Yusra Habib Abdul Gani, 2009, Self-Government, Studi Perbandingan
tentang Desain Administrasi Negara, Paramedia Press, Jakarta, hlm. 71-72

Universitas Sumatera Utara


8. Dalam pelayanan umum, seperti: kesehatan, pendidikan dan layanan

kesejahteraan, pemerintah Hongkong berhak menolak permintaan layanan

serupa terhadap warga China yang tinggal di tanah besar China;

9. Mata uang yang beredar dan dipakai sebagai alat transaksi perdagangan

adalah Dollar Hongkong. 118

Namun demikian, Pemerintah China masih berwenang dalam hal:

1. Hongkong merupakan bagian dari wilayah kedaulatan hukum China;

2. Urusan pertahanan keamanan nasional;

3. Urusan politik luar negeri;

4. Urusan Fiskal. 119

Berdasarkan deskripsi implementasi asymmetrical desntralization atau self-

government pada Basque, Catalonia, Mindanao, dan Hongkong, dibandingkan

dengan kewenangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang diatur dalam UU

No.11 Tahun 2006, terdapat beberapa hal yang relatif sama. Misalnya, dasar

pemberian asymmetrical desentralization akibat konflik, seperti Basque,

Catalonia, dan Mindanao. Begitu juga dengan pelaksanaan substansi, yaitu

berkaitan syariah, adat-istiadat dan partai politik lokal. Meskipun demikian,

terdapat juga perbedaan pelaksanaan susbtansi asymmetrical desentralization,

misalnya, berkaitan penggunaan mata uang.

Dalam konteks konstitusi NKRI pengaturan kekhususan dan keistimewaan

tersebut sebagiman diatur dalam Pasal 18B UUD RI 1945, disebutkan:

118
Ibid, hlm. 73-74
119
Ibid, hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara


(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dasar perbedaan dalam pasal tersebut tidak terlepas dari falsafah Bhineka

Tunggal Ika. Sebagaimana dikatakan Soediman Kartohadiprodjo, bahwa

melambangkan keragaman Indonesia. Suatu keragaman dalam persatuan, yaitu

NKRI. Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan. 120 Sementara,

Muhammad Hatta, mengatakan, “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa

pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil atau besar,

mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”. 121 Artinya,

prinsip dasar hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah adalah adanya

pengakuan terhadap keberagaman dan kemajemukan bagi daerah-daerah,

sehingga dapat mengatur diri sendiri sesuai dengan kepentingan daerahnya.

Sehingga, jika mengacu kepada prinsip kebhinekaan, maka kekhususan dan

keistimewaan yang diberikan bagi Aceh tidak kontradiksi dengan asas-asas

hukum, falsafah bangsa (Pancasila) dan UUD RI 1945.

Selanjutnya, Bagir Manan juga menambahkan:

Bahwa salah satu dasar hubungan antara pusat dengan daerah dalam
kerangka desentralisasi adalah permusyawaratan. Sebagaimana, sila ke-
empat Pancasila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawaratan/perwakilan. Salah satu ciri pokok paham kerakyatan
menurut UUD RI 1945, terdapat kemungkinan antara lain bahwa paham
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan tersebut dijalankan
atau dilaksanakan melalui “permusyawaratan” atau melalui “perwakilan”.
Sehingga, terdapat tiga unsur kerakyatan yang tercantum dalam dasar negara
120
Bagir Manan, Loc., Cit., hlm. 166.
121
Ibid. lihat juga, Kaelan, Problem Epistemologis, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara,
Paradigma, Yogyakarta, hlm. 231-232.

Universitas Sumatera Utara


Republik Indonesia, yaitu: “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”,
“permusyawaratan”, dan “perwakilan”. Dalam hal ini, pengertian
permusyawaratan dipahami sebagai perundingan. Untuk itu, maka paham
kerakyatan Indonesia dapat dilaksanakan secara langsung atau melalui
perwakilan. 122

Berdasarkan pandangan tersebut di atas, baik dalam konteks kebhinekaan

dan kerakyatan, maka kewenangan gubernur untuk konsultasi dan pertimbangan

terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006,

bukanlah suatu hal yang bertentangan dengan Pancasila, UUD RI 1945, maupun

peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini, karena adanya pengakuan

keberagaman di Indonesia. Kemudian, mengutip Bagir Manan, yang mengatakan

maksud “permusyawaratan” dalam sila ke-4 Pancasila dapat dimaknai sebagai

“perundingan”, maka sesuai juga dengan maksud “konsultasi dan pertimbangan

gubernur Aceh”, yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006.

Kemudian, dalam pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan),

termasuk pembentukan UU No.11 Tahun 2006, sebagaimana telah disebutkan di

atas, bahwa merupakan kongkretisasi dari asas hukum. Dalam konteks ini, jika

mengacu pada Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, yang mengakui satuan daerah

khusus atau istimewa, maka asas hukum yang mendasari pembentukan UU No.11

Tahun 2006 adalah asas hukum, lex superiore derógate legi inferior (peraturan

yang tinggi dapat mengalahkan peraturan yang rendah) dan lex specialist derógate

legi generalis (peraturan yang khusus dapat mengalahkan peraturan yang umum).

122
Ibid, hlm. 161-162.

Universitas Sumatera Utara


1.2.3. Asas Hukum Keberadaan UU No. 11 Tahun 2006

Asas hukum menurut K.J. Kraan, sebagaimana proses terjadinya hukum

diawali dari asas hukum, yang bersifat abstrak, umum, dan mendasar, selanjutnya

dikonkretisasikan menjadi norma/kaidah hukum dan dikonkretisasikan menjadi

peraturan hukum kongkret. Jadi hukum itu direalisasikan dalam empat tahap,

yaitu asas hukum, kaidah hukum, peraturan hukum kongkret, dan

yurisprudensi. 123

Paul Scholten, asas hukum didefnisikan sebagai, “pikiran-pikiran dasar yang

bersifat umum dan mendasari atau yang terdapat di dalam atau belakang

peraturtan hukum kongkret. Masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan

ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan indvidual dapat dipandang sebagai

penjabarannya”. 124 Ia juga menambahkan bahwa asas hukum berbeda dengan

aturan hukum (rechtsregel), di mana aturan hukum memiliki isi yang kongkret,

yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan hukum dapat diterapkan langsung.

Berbeda dengan asas hukum dalam penemuan hukum memiliki daya kerja secara

tidak langsung (indirecht werking), yaitu menjalankan pengaruh pada interpretasi

terhadap aturan hukum. 125

123
Sudikno Mertokusumo, 2012, Op., Cit., hlm. 45.
124
JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam
Teori Hukum, terjemahan Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm.119-120.
125
Ibid, hlm.125. Lihat juga, I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika
Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 82.

Universitas Sumatera Utara


Di mana berfungsi untuk merealisasikan ukuran nilai sebanyak mungkin

dalam kaidah-kaidah dari hukum positif dan penerapannya. 126 Mengutip pendapat

I Gde Pantja, mengatakan ada 3 (tiga) fungsi:

1. Sebagai Patokan dalam pembentukan dan/atau pengujian norma hukum;

2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum;

3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atua bangsa tertentu dalam

memandang perilaku. 127

Asas hukum menurut Van der Vlies, dalam proses pembentukan dan

pengujian peraturan perundang-undangan, terbagi dalam asas-asas formal dan asas

materil. Sebagaimana dijelaskan A. Hamid S. Attamimi, yaitu:

a. asas-asas formal meliputi:


1. asas tujuan yang jelas;
2. asas perlunya pengaturan;
3. asas organ atau lembaga yang tepat;
4. asas materi muatan yang tepat;
5. asas dapat dilaksanakan;
6. asas dapat dikenali.
b. asas-asas materiil meliputi:
1. asas sesuai dengan dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental
negara;
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara;
3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum;
4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi.128

Sebegaimana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam

konteks pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah asas-asas yang

perlu diperhatikan adalah:

a. bahwa otonomi dan tugas pembantuan inherent di dalamnya zelfregeling;


126
Ibid, hlm. 122.
127
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Op.Cit., hlm. 83
128
Ibid

Universitas Sumatera Utara


b. asas taat asas dalam ketentuan perundang-undangan, yaitu bahwa
peraturan yang tingkatannya rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang tingkatnya lebih tinggi.
c. asas batas atas dan batas bawah pembuatan peraturan dalam hal ini
daerah tidak boleh membuat peraturan yang merupakan substansi
peraturan di atasnya dan sekaligus tidak boleh melanggar hak dan
kewajiban asasi warga negara. 129

Berdasarkan asas-asas hukum di atas terhadap keberadaan UU No.11 Tahun

2006, mengacu pada asas-asas materiil dan asas otonomi dan taat asas, yaitu asas

lex superiore derógate legi inferiore (peraturan yang tinggi mengalahkan

peraturan yang rendah), maka masih sesuai atau sinkron dengan Pasal 18B ayat

(1) UUD RI 1945. Di mana mengakui adanya satuan daerah khusus atau istimewa.

Sementara, provinsi Aceh merupakan salah satu daerah khusus dan istimewa.

Pada umumnya, asas hukum memiliki ruang lingkup yang umum, yang

berarti bahwa asas hukum dapat berlaku dalam berbagai situasi, tidak hanya

berlaku atau ditujukan untuk peristiwa atau situasi tertentu atau khusus saja. 130

Akibat asas hukum yang bersifat umum yang berarti dapat berlaku dalam berbagai

situasi, maka membuka peluang akan adanya penyimpangan-penyimpangan atau

pengecualian-pengecualian. Sebagai contoh dapat dilihat dalam Pasal 28A UUD

1945 RI, berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidupnya dan kehidupannya”. Sementara, dalam

implementasiya seseorang dapat dihukum mati, sebagaimana diatur dalam Pasal

10 dan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 131

129
Ibid, hlm. 85.
130
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 46.
131
Ibid, hlm. 46-47

Universitas Sumatera Utara


Oleh karenanya, dengan penyimpangan atau pengecualian tersebut sehingga

memperkuat berlakunya asas yang bersifat umum (exceptio probat regulam, de

uitzonderingen bevestigen de regel). Kemudian asas hukum membuat sistem

hukumnya luwes, fleksibel dan supel. Asas hukum juga tidak dapat diterapkan

secara langsung pada peristiwa kongkret, tetapi harus disesuaikan dengan

peristiwa kongkret. 132

Robert Alexy, menambahkan bahwa terdapat pembedaan sejenis antara asas

hukum dan aturan hukum, yaitu: “…..asas hukum adalah “optimierungsgebote”

yang berarti aturan yang mengharuskan bahwa sesuatu berdasarkan kemungkinan-

kemungkinan yuridis dan faktual seoptimal mungkin direalisasikan. Sebaliknya,

aturan hukum adalah aturan yang selalu dapat atau tidak dapat dipatuhi…..”. 133

Begitu juga, berkaitan dengan isi (substansi) antara aturan hukum dan asas

hukum. Menurut R. Dworkin:

Aturan hukum bukan saja memiliki isi yang kongkret dan dapat diterapkan
secara langsung, tetapi lebih dari tu, bahwa memiliki sifat “semua atau tidak
sama sekali” (alles of niets). Maksudnya, jika dalam suatu kejadian tertentu
telah menemukan aturan hukum yang dapat diterapkan atasnya, maka aturan
hukum itu memaksakan suatu keputusan tertentu. Aturan hukum tersebut
tidak membuka kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan terdapat
suatu aturan hukum lain yang dapat diterapkan terhadap kejadian itu. Untuk
setiap kejadian hanya terdapat suatu aturan hukum yang dapat diterapkan,
yang menutup bagi aturan hukum lainnya. Sementara, asas hukum tidak
memiliki sifat “semua atau tidak” (alles of niet). Seringkali terhadap
kejadian yang sama dapat diterapkan berbagai asas hukum, yang semuanya
memainkan peranan pada interpretasi aturan-aturan yang dapat diterapkan.
Dalam hal itu maka harus ditimbang-timbang asas hukum yang mana yang
memiliki bobot yang paling besar (relevan). Sejumlah asas hukum pada
waktu yang bersamaan masing-masing dengan bobot yang berbeda-beda
memberikan sumbangan pada petapan keputusan dalam suatu kejadian

132
. Ibid.
133
JJ. H. Bruggink, 2011, Op., Cit., hlm.121.

Universitas Sumatera Utara


tertentu, tetapi hanya terdapat satu aturan hukum yang dapat diterapkan
pada kejadian itu. 134

Namun demikian, Bruggink berpendapat asas hukum juga memiliki sifat

alles of niets, sebagaimana aturan hukum. Bahwa dalam hal suatu perkara

keberadaan asas hukum antara satu dengan yang lainnya memperoleh bobot lebih

banyak, dalam arti itu maka asas-asas hukum lainnya itu dikecualikan

(disisihkan), walaupun tidak seradikal pada aturan hukum. 135

Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, mengutip Sudikno, mengatakan

bahwa peraturan hukum juga mengenal hierarki, berbeda dengan asas hukum

tidak mengenal hierarki. Artinya, asas hukum tidak mengenal tingkatan-tingkatan.

Sehingga, asas hukum tidak mengenal konflik satu sama lain. Walaupun berbeda

atau bertentangan satu sama lain, keduanya dapat eksis secara berdampingan,

tanpa mengalahkan atau meniadakan yang lain. Dua asas hukum yang berbeda

atau bahkan bertentangan satu sama lain, keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi

membutuhkan satu sama lain yang merupakan suatu antinomi. 136Asas pacta sunt

servanda dan asas kebebasan berkontrak, kemudian asas keadilan dan asas

legalitas pada dasarnya keduanya saling bertentangan, tetapi dapat eksis secara

berdampingan dan dapat berlaku dalam segala situasi. 137 Sedangkan, peraturan

hukum kongkret mengenal hierarki, mengenal tingkatan-tingkatan, maka

membuka peluang terjadinya konflik. Kalau terjadi konflik antara antara peraturan

134
Ibid, hlm. 127.
135
Ibid, hlm. 128-129.
136
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Keempat, Antinomi didefinisikan,
yaitu kenyataan yang kontroversi; pertentangan antara dua ayat dalam undang-undang, hlm. 76.
137
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara


hukum konkret, maka peraturan hukum kongkret yang lebih tinggi atau lebih baru

yang harus didahulukan atau dipertahankan. 138

Jika merujuk pendapat Dworkin, Bruggink, dan Sudikno di atas, keberadaan

asas hukum yang bersifat umum jika diterapkan pada suatu perkara tertentu,

seperti keberlakuan UU No.11 Tahun 2006, pembentukan Qanun Aceh, dan juga

kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh dapat diterapakan berbagai asas hukum, sesuai peranan dan bobotnya serta

saling membutuhkan. Bahkan, jika mengacu pendapat Sudikno, walaupun ada

asas yang berbeda atau bertentangan, namun dapat eksis berdampingan sebagai

suatu antinomi. Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi asimetris di Aceh,

sebagaimana diatur dalam UU No.11 Tahun 2006, khusus berkaitan dengan

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat di Aceh, dapat digunakan asas hukum lex specialist derógate

legi generalist (peraturan yang khusus dapat mengalahkan peraturan yang umum).

Asas ini berkaitan kepastian hukum, bila ada beberapa atau sekurang-

kurangnya dua peraturan perundang-undangan yang sama jenisnya, maka

peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang khusus yang harus

dipergunakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang

umum harus dikesampingkan. 139 Selain itu, juga ada asas lex posteriore derógate

138
Ibid, hlm. 50.
139
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 52.

Universitas Sumatera Utara


legi priori (peraturan yang baru dapat mengalahkan peraturan yang sebelumnya).

Asas ini digunakan dalam rangka mencapai ketertiban hukum. 140

Jika melihat kedua asas ini pada prinsipnya dapat juga saling bertentangan.

Di mana ada kemungkinan lex specialist, tetapi peraturannya yang lama,

sebaliknya ada lex posteriore, tetapi bisa juga peraturannya bersifat umum.

Misalnya, UU No.11 Tahun 2006 sebagai lex specialist yang dibentuk pada 1

Agustus 2006 dan UU No.23 Tahun 2014 sebagai lex posteriore, dibentuk pada

30 September 2014 dan diubah pada 18 Maret 2015. Oleh karenanya, meskipun

antara UU No.11 Tahun 2006 dan UU No.23 Tahun 2014 substansinya saling

bertentangan tetapi keduanya dapat eksis saling berdampingan.

Artinya, dalam konteks pelaksanaan pemerintahan yang diatur dalam UU

No.11 Tahun 2006 dan UU No.23 Tahun 2014, berdasarkan pandangan Dworkin

dan Sudikno, kedua undang-undang tersebut bahkan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan lainnya dapat eksis secara berdampingan dan dapat

diberlakukan di Aceh. Dalam hal yang sudah diatur secara khusus dalam UU

No.11 Tahun 2006 sebagai undang-undang khusus, maka yang berlaku substansi

undang-undang khusus. Sementara, yang tidak diatur khusus dalam UU No.11

Tahun 2006 maka berlaku substansi yang diatur UU No.23 Tahun 2014 atau

peraturan perundang-undangan lainnya.

Sementara, mengacu pada pendapat Bruggink, yang mengatakan asas

hukum juga bersifat alles of niets, maka yang berlaku asas-asas hukum yang

memiliki bobot yang lebih besar, maka di sini ada dua asas hukum yang memiliki

140
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


bobot yang besar yaitu, asas hukum lex superiore derogate legi inferior,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945. Selanjutnya,

asas hukum lex specialist derogate legi generalist. Oleh karena itu, keberadaan

UU No.11 Tahun 2006 yang mengatur pemberian kewenangan khusus dan

berbeda dengan kewenangan daerah-daerah lainnya tidak kontradiksi dengan

prinsip-prinsip desentralisasi (otonomi daerah), peraturan perundang-undangan

lainnya, asas-asas hukum, maupun UUD RI 1945.

Berdasarkan asas hukum tersebut dalam Ketentuan Penutup, Pasal 269 ayat

(1) dan ayat (2) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

(1) Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang


ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
(2) Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah
Provinsi Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-
Undang ini.

Begitu juga, dalam Ketentuan Lain-lain, Pasal 399 UU No.23 Tahun 2014,

disebutkan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi

Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara

khusus dalam UndangUndang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan

Daerah tersebut.

Dalam konteks peraturan perundang-undangan (peraturan tertulis), menurut

Mian Khursid A. Nasim yang dikutp Jimly Asshiddiqie, ada empat kategori

peraturan tertulis, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum


bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjukkan kepda hal,

Universitas Sumatera Utara


atau peristiwa, atau kasus kongkret yang suda hada sebelum peraturan itu
ditetapkan;
2. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
subjek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subjek hukum tertentu;
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah lokal tertentu;
4. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal. 141

Dari empat kategori peraturan perundang-undangan di atas, maka UU No.11

Tahun 2006 masuk dalam kategori kedua, yaitu peraturan perundang-undangan

yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya, yaitu hanya

berlaku bagi subjek hukum tertentu. Artinya, UU No.11 Tahun 2006 mengatur

berkaitan dengan subjek khusus Pemerintahan Aceh. Meskipun kekhususan

subjek Pemerintahan Aceh yang dimaksud meliputi agama, adat, hukum,

pemerintahan dan administrasi.

Walaupun Pemerintahan Aceh diberi kewenangan khusus sebagaimana

diatur dalam UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2006, tetapi

Pemerintah Pusat masih berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan

kepada Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 249 UU No.11 Tahun 2006,

disebutkan: “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh

dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan”. 142 Dalam batang tubuh dan Penjelasan

UU No.11 Tahun 2006 tidak disebutkan secara eksplisit mekanisme pelaksanaan

pembinaan dan pengawasan.

141
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 18.
142
Peraturan perundang-undang yang dimaksud meliputi Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.

Universitas Sumatera Utara


Kalau merujuk peraturan perundang-undangan berhubungan dengan

pembinaan dan pengawasan Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah,

terdapat dalam Pasal 217 UU No.23 Tahun 2014, yaitu:

(1) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan


oleh Pemerintah yang meliputi :
c. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
d. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
e. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan;
f. pendidikan dan pelatihan; dan
g. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan urusan pemerintahan.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.
(3) Pemberian pedoman dan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana,
pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan.
(4) Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala dan/atau
sewaktuwaktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah
maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala
daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah,
dan kepala desa.
(6) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan secara
berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan
pemerintahan.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf e dapat dilakukan kerja sama dengan perguruan tinggi
dan/atau lembaga penelitian.

Sementara, dalam konteks pengawasan Pasal 218 ayat (1) UU No.23 Tahun

2014, disebutkan: “Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: a) Pengawasan atas pelaksanaan

urusan pemerintahan di daerah; b). Pengawasan terhadap peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah”.

Universitas Sumatera Utara


Ditinjau dari hubungan pusat dan daerah, pengawasan merupakan

“pengikat” kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu

jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan (unitary). Selanjutnya,

apabila “pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi

akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Bila hal ini terjadi, pengawasan bukan

lagi merupakan sisi desentralisasi tetapi menjadi “pembelenggu”. Namun

demikian, pengawasan diperlukan tetapi harus disertai pembatasan-pembatasan,

mencakup pembatasaan tata cara menyelenggarakan pengawasan, ruang lingkup

pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. 143

Ada dua jenis pengawasan yaitu: pengawasan prefentif dan pengawasan

represif. Pengawasan prefentif adalah pengawasan yang bersifat mencegah agar

pemerintah daerah tidak boleh mengambil kebijakan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pengawasan yang

bersifat represif yaitu pengawasan yang berupa penangguhan (schorsing) atau

pembatalan (vernietiging) terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh

daerah. 144

Jika mengacu kepada pelaksanaan pengawasan, menurut Pasal 218 ayat (1)

huruf b UU No.23 Tahun 2014 tersebut, terdapat perbedaan maksud antara

substansi pasal tersebut dengan Pasal 24A Ayat (1) UUD RI 1945, disebutkan:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan

mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Sehingga,

143
Sudikno Mertokusumo, 2012, Loc., Cit., hlm. 181.
144
Ibid, hlm. 182-191 dan Hanif Nurcholis, Op., Cit., hlm. 195-196.

Universitas Sumatera Utara


jika mengacu Pasal 24A UUD RI 1945 tersebut sayogianya, Peraturan Daerah

(Perda) diuji oleh Mahkamah Agung bukan oleh Pemerintah.

Sebagaimana, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12

Tahun 2011), menyebutkan:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 145

Selain jenis peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 di atas, yang juga

diakui sebagai peraturan perundang-undangan, sebagaimana Pasal 8 UU No.12

Taahun 2011, yaitu:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

145
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun
2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu, berkaitan dengan pengujian (executive review) terhadap

Peraturan Daerah secara implisit Jimly Assiddiqie berbeda pandangan dengan

materi atau substansi dalam UU No.32 Tahun 2004, sekarang diganti dengan UU

No.23 Tahun 2014 yang memberi kewenangan executive review terhadap

Peraturan Daerah, yang di Aceh di kenal Qanun, sebagaimana pernyataannya,

yaitu:

”Produk legislatif di daerah provinsi ataupun kabupaten/kota berupa


Peraturan Daerah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tidak dapat
dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja. 146
Kerana, Peraturan Daerah (Perda) itu termasuk kategori peraturan yang
hirarkinya berada dibawah undang-undang, maka tentu dapat timbul
penafsiran bahwa Pemerintah Pusat sudah seharusnya tidak diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan mencabut peraturan
daerah. Yang berwenang untuk menguji Peraturan Daerah itu, menurut
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 adalah Mahkamah Agung. 147

Berdasarkan beberapa pandangan dan pendapat di atas dalam konteks

desentralisasi simetris atau desentralisasi asimetris, menunujukkan pemberian

kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, merupakan bagian daripada implementasi prinsip desentralisasi. Namun,

dalam konteks negara kesatuan yang desentralistik bahwa pelaksanaan kebijakan

administratif pemerintahan di daerah esensinya merupkan kewenangan absolut

Pemerintah Pusat. Oleh karenanya, penyerahan sebagian kewenangan

administratif Pemerintah Pusat dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan

146
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 33.
147
Ibid, hlm. 34-35.

Universitas Sumatera Utara


gubernur Aceh, yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia dapat dikatakan

masuk dalam kategori desentralisasi asimitris (asymmetrical decentralization).

1.3. Kewenangan (Applied Theory)

Sementara, dalam tataran aplikasi (Applied Theory) digunakan teori

kewenangan. Untuk melaksanakan dan mendapatkan keabsahan dalam

menjalankan fungsi-fungsi tersebut, tentu saja Pemerintahan Aceh memerlukan

wewenang. Wewenang (competence, bevoegdheid) atau kewenangan (authority,

gezag) adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik,

namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, wewenang diartikan, yaitu: hak dan

kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; atau kekuasaan membuat keputusan,

memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.148

“Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan

eksekutif/administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan

orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau

bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu

onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang

(rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

tindak hukum publik”. 149

148
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008, Edisi Keempat, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm.1560.
149
Prajudi Atmosudirjo, 1983, Op., Cit., hlm. 73.

Universitas Sumatera Utara


Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrasi Negara. Sehingga, F.A.M. Stroink dan J.G.

Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan

Hukum Administrasi Negara. 150 Kewenangan, yang di dalamnya terkandung hak

dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:

“Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-


tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu”. 151

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban

(rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung

pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri

(zelfbestureen). Sedangkan, kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan

negara secara keseluruhan. 152

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Menurut Indroharto, pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan

150
Dikutip dari Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan
Ketujuh. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 99.
151
Ibid.
152
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara,

pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau

Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan

secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. 153

Terhadap ketiga kewenangan tersebut, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt,

mendefinisikan, sebagai berikut:

1. Atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat


undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat, terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. 154

Oleh sebab itu, pengertian atribusi dan delegasi adalah alat-alat membantu

untuk memeriksa apakah suatu badan berwenang atau tidak. Pemikiran negara

hukum menyebabkan, bahwa apabila penguasa ingin meletakkan kewajiban-

kewajiban di atas para warga (masyarakat), maka kewenangan itu harus

ditemukan dalam suatu undang-undang. 155 Berdasarkan pandangan di atas, baik

wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan pelimpahan

sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan benar

memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi

(UUD) atau peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, maka

kewenangan bagi Gubernur Aceh bersifat atributif sebagaimana disebutkan:

153
Ibid, hlm. 101
154
Ibid, hlm. 102.
155
Philipus M. Hadjon, et.al., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cetakan
ketujuh, Gajahmada University Press, Yogyakarta, hlm. 130.

Universitas Sumatera Utara


“Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

Gubernur”. Pada dasarnya kebijakan administratif Pemerintah Pusat di daerah

bukanlah kewenangan Pemerintah Daerah. Namun, berdasarkan kesepakatan dan

Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus, berlaku desentralisasi asimetris maka

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, dilakukan melalu konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

Untuk mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ

pemerintahan, merupakan hal penting karena berkenaan pertanggungjawaban

hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip

dalam negara hukum, tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. 156 Untuk

itu, perlu adanya kejelasan pengaturan peraturan hukum (kepastian hukum), dalam

peraturan pelaksanaan UU No.11 Tahun 2006, baik dalam bentuk PP, Perpres,

maupun peraturan pelaksana lainnya.

Sebagaimana, diungkapkan M. Solly Lubis, bahwa: “kepastian hukum

(rechtszekerheid), yang diartikan sebagai kejelasan peraturan hukum mengenai

hak, kewajiban dan status seseorang atau badan hukum, yang mana dapat

mendatangkan ketertiban, keteraturan, ketenangan bagi yang bersangkutan.

Sehingga, mengetahui bagaimana status atau kedudukan, hak dan/atau

kewajibannya.” 157

Sebaliknya, kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, jika: 158

156
Ridwan, HR, 2011,Op., Cit., hlm. 105.
157
M. Solly Lubis, 2011, Serba-serbi Politik dan Hukum, Edisi 2, Sofmedia, Jakarta, hlm.
54.
158
Ibid, hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara


1. Tidak ada aturan mengenai sesuatu (null);
2. Ada aturan hukumnya, tetapi tidak jelas pengertiannya dan
mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda;
3. Terdapat pertentangan isi diantara sesama aturan hukumnya sendiri baik
aturan yang setingkat maupun yang tidak sama tingkatannya, sehingga
membingungkan masyarakat;
4. Belum ada peraturan pelaksanaan meskipun sudah ada peraturan
pokoknya sehingga tidak memberi efek apa-apa.

Oleh karena itu, disini teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan

menyelesaikan permasalahan dalam menjalankan kewenangan yang bersifat

delegatif yang diperintahkan oleh UU No.11 Tahun 2006 kepada Gubernur Aceh.

Khususnya, mengenai konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, dalam konteks desentralisasi asimetris (otonomi khusus).

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antara

konsep-konsep yang akan diteliti. Menurut Fred N. Kerlinger, konsep (consept)

adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digenaralisasikan dari gejala-gejala

tertentu. 159 Kerangka konsepsional akan menjadi batasan dan petunjuk dalam

penelitian agar langkah-langkah yang dilakukan tetap fokus, yang akan

berpengaruh pada bahan-bahan yang akan digunakan, data yang dicari, teori yang

dirujuk hingga metode yang akan digunakan. 160 Sementara, menurut Solly Lubis,

kerangka konsep merupakan stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk

159
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan
Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 47-48.
160
Mukti Fajar daan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka pelajar, Yogyakarta, hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara


melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsep

sendiri mengenai sesuatu permasalahan. 161

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian disertasi ini dan

secara operasional dapat dibatasi ruang lingkupnya, maka perlu didefinisikan

beberapa konsep dasar guna untuk menyamakan persepsi, akan dijelaskan dalam

uraian sebagai berikut:

1. Konsultasi antara Gubernur Aceh dengan Pemerintah Pusat terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

pemerintahan Aceh adalah suatu proses kegiatan komunikasi dalam bentuk

surat menyurat atau pertemuan antara Pimpinan Departemen/Lembaga

Pemerintah Non-Departemen pemrakarsa dengan Gubernur Aceh untuk

mencapai pemahaman yang sama terhadap suatu Kebijakan Administratif

yang akan dibuat, yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

2. Pertimbangan antara Gubernur Aceh dengan Pemerintah Pusat terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

pemerintahan Aceh adalah memberi pendapat secara tertulis dari Gubernur

Aceh kepada Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen

pemrakarsa untuk digunakan sebagai masukan terhadap suatu Kebijakan

Administratif yang akan dibuat, yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh. Di mana jika dalam proses pemberian pertimbangan

tidak dapat diakomodasi atau diakomodasi sebagian, maka Pimpinan

161
Solly Lubis, 2012, Op., Cit., hlm. 129.

Universitas Sumatera Utara


Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa melakukan

musyawarah dengan Gubernur untuk mendapat satu kesepakatan.

3. Kebijakan Administratif adalah kebijakan pemerintahan yang dibuat oleh

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh,

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, seperti

pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan

dan perubahan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

4. Yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh adalah Kebijakan

Administratif yang akan dibuat oleh Pemerintah Pusat substansinya

mengatur secara khusus dan langsung mengenai Pemerintahan Aceh, seperti

pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan

dan perubahan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

yang langsung dengan Pemerintahan Aceh.

5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan pemerintahan.

6. Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen adalah

Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen atau Pejabat

setingkat Eselon I yang ditugaskan oleh Menteri/Kepala Lembaga

Pemerintah Non Departemen untuk mengambil keputusan.

7. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan provinsi Aceh yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan Aceh yang dilaksanakan oleh

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah Aceh (Gubernur) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Berdasarkan uraian kerangka teori dan konsepsional di atas, maka dapat

dirumuskan dalam skema kerangka pemikiran dibawah ini:

TABEL 1:
SKEMA: KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR TERHADAP
KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN
LANGSUNG DENGAN PEMERINTAHAN ACEH
1
PARADIGMA
Pancasila, UUD 1945, UU. No.44 Tahun 1999, UU No.
No.11 Tahun 2006, UU No.23 tahun 2014 dan Perpres
No.75 Tahun 2008
2 3
SIKON : INTERAKSI POTENSI :
1. Sistem Hukum berlaku 1. Memorandum of
secara nasional Understanding
2. Pemberlakuan sebagai Wawasan/Dasar pemikiran hubungan (MoU) Helsinki
daerah khusus dan pemerintah pusat dan daerah dalam 2. Adanya perangkat
istimewa 4 konteks otonomi khusus mengenai peraturan yang
3. Banyak perbedaan konsultasi Pemerintah pusat dengan bersifat nasional
substansi norma hukum Gubernur terhadap kebijakan dan khusus
antara UU Khusus administratif. 3. Kesadaran hukum
dengan UU Umum masyarakat.
4. Kurangnya pemahaman 4. Adanya dukungan
masyarakat, terhadap 5 politik Pemerintah
kekhususan Aceh. Kebijakan politik hukum sebagai terhadap
5. Kurangnya sosialisasi dasar politis untuk menampung kekhususan Aceh
terhadap eksistensi UU aspirasi daerah khusus
No.11 Tahun 2006.

6 Law making dan Law reformation


mengenai konsultasi gubernur terhadap
kebijakan administrasi pemerintah pusat Misi

7 Law Enforcement dalam kerangka


kebijakan dan sistem hukum khusus,
mengenai konsultasi gubernur
terhadap kebijakan administratif

Universitas Sumatera Utara


8 8

VISI – TUJUAN :
9a 1. Terwujudnya kesepakatan dan keserasian antara Pemerintah pusat dengan 9b
Pemerintahan Aceh terhadap implementasi kebijakan administrasi di Aceh.
2. Terciptanya kepastian hukum, rasa keadilan dan memberi kemanfaatan
Umpan balik Umpan balik
(feedback) hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan Aceh, berdasarkan UUD RI (feedback)
1945 dan Pancasila

Sumber: Dimodifikasi dari skema Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Prof.


Dr. M. Solly Lubis, SH., dan Abdul Manan, (Bandung : Penerbit Mandar
Maju, 2011) hlm. 128 dan 136.
Keterangan Tabel 1 :

Interaksi antara tiga faktor, yaitu Pertama, Paradigma, [kotak 1], sebagai

landasan filosofis, sila keempat, yaitu “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” dan landasan yuridis. Kedua,

mempertimbangkan situasi dan kondisi (Sikon) [kotak 2], antara lain, sistem

hukum berlaku secara nasional, pemberlakuan sebagai daerah khusus dan

istimewa, perbedaan substansi norma hukum antara undang-undang khusus

dengan undang-undang umum, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap

kekhususan Aceh, dan kurangnya sosialisasi terhadap eksistensi UU No.11 Tahun

2006. Ketiga, mempertimbangkan potensi [kotak 3] sebagai modal strategis, yaitu

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, adanya perangkat peraturan

yang bersifat nasional dan khusus, kesadaran hukum masyarakat, dan adanya

dukungan politik Pemerintah Pusat terhadap keistimewaan dan kekhususan Aceh

Interaksi antara ketiga komponen itu, menghasilkan suatu konsep wawasan

atau doktrin politik, yang akan mendasari perumusan garis politik hukum (legal

policy), hubungan Pemerintah Pusat dan daerah dalam konteks otonomi khusus

mengenai konsultasi Pemerintah Pusat dengan gubernur terhadap kebijakan

Universitas Sumatera Utara


administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh [kotak 4].

Selanjutnya, dirumuskan Kebijakan politik hukum sebagai dasar politis untuk

menampung aspirasi daerah khusus [kotak 5],

Kemudian, ditetapkan peraturan pelaksanaan (Law making), mengenai

konsultasi gubernur terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat [kotak 6].

Selanjutnya, penegakan hukum (Law Enforcement) dalam kerangka kebijakan dan

sisitem hukum khusus, mengenai konsultasi gubernur terhadap kebijakan

administratif [kotak 7]. Terakhir, dari interkasi ini akan menghasilkan suatu visi

dan tujuan [kotak 8], yaitu 1) Terwujudnya kesepakatan dan keserasian antara

Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh terhadap kebijakan administratif

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh; dan, 2) terciptanya kepastian

hukum, rasa keadilan dan memberi kemanfaatan hubungan Pemerintah Pusat

dengan Pemerintahan Aceh, berdasarkan UUD RI 1945 dan Pancasila. Kemudian,

akan dilakukan monitoring dan evaluasi sebagai umpan balik (feedback) dalam

penentuan kebijakan selanjutnya (lihat angka 9a dan 9b).

F. Asumsi

Asumsi adalah suatu pernyataan yang dianggap benar tanpa perlu

menampilkan data untuk membuktikannya. Di mana harus konsisten dengan

informasi yang ada dan dapat diterima, sehingga tidak diragukan lagi

kebenarannya. 162 Dalam konteks penelitian ini, asumsinya bahwa atribusi

kewenangan konsultasi dan pertimbangan kepada gubernur terhadap kebijakan

162
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Op., Cit., hlm. 41

Universitas Sumatera Utara


administratif pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh dalam UU No.11 Tahun 2006 adalah:

1. Pengalaman masa Orde Lama bahwa munculnya disharmonisasi hubungan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh ketika Provinsi Aceh

dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Sementara, Pemerintahan

Aceh sebelumnya tidak mengetahui rencana peleburan provinsi tersebut.

2. Adanya perbedaan pandangan atau persepsi antara Pemerintahan Aceh dan

Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan kebijakan administratif

pemerintahan yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

3. Pelaksanaan kebijakan administratif oleh Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh sebelum adanya UU No.11 Tahun

2006 tidak pernah dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan Pemerintah

Aceh.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah yuridis normatif yaitu dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan otonomi daerah dan

otonomi khusus. Sehingga, membuka kesempatan untuk mempelajari konsistensi

dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan lainnya dan Undang-Undang

Dasar, dengan maksud untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

2. Sifat Penelitian.

Universitas Sumatera Utara


Sifat penelitian ini adalah preskriptif, yang bertujuan untuk memberi

gambaran mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat mengenai peraturan

perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum dan

praktek dari sistem pemerintahan daerah yang berkaitan dengan otonomi daerah

atau desentralisasi. Selanjutnya, akan mengomentari dan memberi saran-saran

untuk mencari solusi penyelesaiannya.

3. Pendekatan Penelitian

Sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan

hubungan dengan orang yang akan diteliti atau metode-metode untuk mencapai

pengertian tentang masalah penelitian, menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach), yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji

dan menganalisis: a) semua undang-undang; dan b) pengaturan yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang ditangani. 163 Dalam hal ini, meliputi asas-asas,

norma hukum, dan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah

(otonomi daerah), antara lain, UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014,

UU No.11 Tahun 2006, Perpres No. 75 Tahun 2008, materi muatannya, dasar

ontologis, ratio legis adanya UU No.11 Tahun 2006 dan ketentuan mengenai

perlunya konsultasi dan pertimbangan dengan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh dan sinkronisasi UU No.11 Tahun 2006, UU No.23 Tahun 2014 dan UUD

RI 1945.

163
Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17-18. Lihat juga, Peter Mahmud
Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ketujuh, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm 96-104.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, pendekatan konsepsional (conceptual approach); dan

pendekatan sejarah (historical approach), yaitu pendekatan untuk mengadakan

identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum. 164 atau pelacakan sejarah

lembaga hukum dari waktu ke waktu, di mana juga dapat memahami perubahan

dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum. 165 Dalam hal ini

berkaitan dengan sejarah hubungan Pemerintahan Aceh dengan Pemerintah Pusat.

Selanjutnya, dilakukan dengan: a) mengkaji latar belakang apa yang dipelajari;

dan b) perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. 166 Dalam hal ini,

akan mengkaji berkaitan dengan landasan hukum Pemerintahan Daerah, hubungan

antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, risalah lahirnya UU No.11

Tahun 2006 dan dasar konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh.

4. Sumber Data

Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian disertasi ini

adalah data sekunder, dalam hal ini dibagi 3 (tiga) bagian yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu 1) norma atau kaedah dasar, yaitu pembukaan

UUD 1945; 2) peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945; 3) peraturan

perundang-undangan, seperti: UU No.32 Tahun 2004, UU No.23 Tahun 2014,

164
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke-14, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 88., dan Salim, HS dan Erlies
Septiana Nurbani, 2013, Op., Cit., hlm. 18.
165
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Op., Cit, hlm. 126.
166
Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Op., Cit., hlm. 18.

Universitas Sumatera Utara


UU No.11 Tahun 2006, Perpres No.75 Tahun 2008, dan peraturan pelaksana

lainnya; 4) yurisprudensi. 167

b. Bahan hukum sekunder, 168 yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti Naskah Akademik UU No.11 Tahun 2006, Rancangan

UU No.11 Tahun 2006, hasil-hasil penelitian dan disertasi-disertasi berkaitan

pemerintahan daerah, jurnal-jurnal atau doktrin yang berhubungan dengan

sistem Pemerintahan Daerah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang akan memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia. 169

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti, maka penelitian ini mengunakan studi dokumen yaitu mencakup: bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam studi

dokumen ini menggunakan metode content analisys. Disamping itu juga

digunakan wawancara dengan para informan. Wawancara ini dilakukan dengan

terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disiapkan kepada para

pihak terkait dan bersifat terbuka. Dengan memfokuskan pertanyaan-pertanyaan

pada permasalahan sehingga informasi yang dikumpulkan lebih mendalam.

167
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Op., Cit., hlm. 31-32. Lihat juga Runtung, 2012,
Metode Penelusuran Literatur dan Penulisan Hukum, Bahan Kuliah pada Program Doktor
Universitas Sumatera Utara, 17 Februari 2012.
168
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Op., Cit., hlm.29.
169
Ibid., hlm. 33

Universitas Sumatera Utara


6. Analisis Data

Untuk menjelaskan suatu data yang tepat dan jelas maka perlu dilakukan

analisis dan ditafsirkan secara normatif, logis dan sistematis. Untuk menganalisis

data 170 dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, di analisis dengan metode

kualitatif, yaitu dengan mengkualifikasikan dan mengklasifikasikan masalah-

masalah secara sistematis yang berkaitan dengan sistem Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya, disajikan dalam bentuk preskriptif untuk menjelaskan permasalahan

yang berkaitan dengan rumusan masalah yang diuraikan sebelumnya dan dapat

dijelaskan apa yang mempengaruhi sehingga pelaksaaannya belum berjalan

seperti yang diharapkan, serta bagaimana penyelesaiannya.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini disusun dalam lima bab, dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang, rumusan

masalah, asumsi, kerangka teori digunakan sebagai pisau analisis dan kerangka

konsep (definisi operasional), yang membantu menjelaskan beberapa istilah yang

terdapat dalam penilitian ini, selanjutnya berisi tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

170
Bambang Waluyo, mengatakan bahwa terhadap data yang sudah terkumpul dapat
dilakukan analisis kualitatif apabila : (1) data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang
dapat dilakukan pengukurannya, (2) data tersebut sukar diukur dengan angka, (3) hubungan antara
variabel tidak jelas, (4) sampel lebih bersifat non probabilitas, (5) pengumpulan data menggunakan
pedoman wawancara dan pengamatan, (6) penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan, Lebih
lanjut lihat Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 77-78.

Universitas Sumatera Utara


Bab Kedua, menguraikan dasar konsultasi dan pertimbangan Gubernur

terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh, yang berisikan: sejarah masa kerajaan Aceh; Aceh

bagian NKRI; Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan

Pemberontakan Aceh Merdeka/Gerakan Aceh Merdeka (AM/GAM); Aceh pasca

MoU Helsinki dan, dasar pengaturan konsultasi dan pertimbangan Gubernur

terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh.

Bab Ketiga, menguraikan pengaturan mengenai konsultasi dan

pertimbangan Gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dalam perspektif Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang berisikan: prinsip Negara Kesatuan; Desentralisasi

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; pengaturan otonomi daerah;

hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah; desentralisasi

simetris dan desentralisasi asimetris dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

daerah-daerah yang berlaku desentralisasi asimetris; keistimewaan dan

kekhususan Aceh; konsultasi dan pertimbangan gubernur dalam perspektif Negara

Kesatuan Republik Indonesia

Bab Keempat, menjelaskan pengertian kebijakan administratif, konsultasi,

dan pertimbangan; menguraikan mekanisme konsultasi dan pertimbangan

Gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh; efektivitas dan efisiensi pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh; hambatan

dalam konsultasi dan pertimbangan Gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Bab Kelima, merupakan Bab Penutup, yang akan menyimpulkan hasil

penelitian, diikuti dengan pemberian saran-saran atau rekomendasi terhadap hasil-

hasil penemuan penelitian desertasi ini.

BAB II
DASAR PENGATURAN KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN
GUBERNUR TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF
PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH

A. Sejarah Kerajaan Aceh

Sejarawan terkemuka Amerika Serikat, Allan Nevis, mengemukakan bahwa

sejarah adalah sesungguhnya jembatan yang menghubungkan masa lampau

dengan masa kini dan menunjukkan jalan ke masa depan. Bila kita melihat ke

sejarah Aceh akan tampak kepada kita betapa agama amat berpengaruh dalam

kehidupan orang-orang Aceh. 171 Aceh termasuk dalam lingkungan rumpun bangsa

Melayu, yaitu bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut),

Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari Tanah

Semenanjung Malaka. Semua bangsa ini menurut ethnologie, berhubungan

dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus

dan Gangga. Mungkin juga, orang Batak/Karo berhubungan erat dengan bangsa

Gajo (Gayo) dan Alas. 172

171
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 267.
172
H.M. Zainuddin, 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan,
hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


Pada masa Seri Sulthan Alaidin Rajat Sjah Alqahar (1537-1568M),

membagi golongan rakyat Aceh berdasarkan asal-usul dinamai kaum atau sukee.

Orang-orang suku Hindu yang datang, membentuk empat kesatuan dan berdiam

(bermukim) di wilayah Tanoh Abee, Lam Leu’ot, Pantja, Montasik dan Lam Nga.

(penulis: sekarang semua daerah tersebut masuk wilayah Aceh Besar). Orang-

orang yang berasal dari suku Batak/Karo membentuk kaum Lhee Reutoih (kaum

tiga ratus), dari suku Hindu Keling (Dagang) kaum Imeum peut (Imam empat) dan

orang-orang asing lain: Arab, Parsi, Turki, dan lain-lain, membentuk kaum Tok

Batee (cukup batu). Keluarga Sulthan termasuk dalam suku Tok Batee.

Selanjutnya, barulah terbentuk kaum Dja Sandang yang berasal dari campuran

(peranakan) suku Hindu dan Batak Karee. Pengikutnya, memeluk agama Islam,

dikepalai oleh 4 (empat) orang (panglima kaum), yang bergelar imam. Merekalah

yang menjadi penanggung jawab dari 4 (empat) kaum itu, yang pada akhir abad

ke-XIX masih juga terdapat di Aceh Besar. 173

Dalam pantun Aceh disebut: 174

Kaum Lhee Reutoih ban aneuk drang,


Kaum Dja Sandang djeura haleba,
Kaum Tok Batee batjut-batjut,
Kaum Imeum Peut jang gok-gok donya.

Maksud dari pantun tersebut adalah:


a. Kaum lhee reutoih ban aneuk drang (kaum tiga ratus sebagai biji drang),
yaitu semacam pohon kacang tanah, tumbuhnya setelah musim panen
padi, setelah jerami di sawah mati, lalu tumbuhlah pohong-pohon drang
tersebut. Bijinya, seperti kacang hijau, namun lebih halus.

173
Ibid, hlm. 20.
174
Ibid. lihat juga, Muhammad Said, 1981, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Waspada,
Medan, hlm. 175-179; Snouck Hurgronje, 1985, Aceh di Mata Kolonialis, Terjemahan The
Achehnese, jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta, hlm. 56-59; Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Aceh
Pasca Konflik Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, Bandar Publishing, Banda Aceh, hlm. 76.

Universitas Sumatera Utara


b. Kaum Dja Sandang djeura haleba, artinya, kaum Dja Sandang sebagai
djeura haleuba, yang merupakan biji kelabat berwarna kuning.
Merupakan bahan untuk memasak kari, untuk menghilangkan bau anyir
(amis) pada daging atau ikan. Biji ini lebih besar daripada biji drang.
c. Kaum Tok Batee, batjut-batjut, artinya, kelompok ini jumlahnya sedikit.
d. Kaum Imeum Peut jang gok-gok donya, artinya kaum imam empat ini
yang gok-gok (mengguncang) atau berpengaruh besar dan memegang
peranan penting dalam pemerintahan. 175

Imeum Peut ini merupakan kaum yang berpengaruh besar, sesudah itu

diikuti oleh kaum Lhee reutoih. Masa perang Aceh dengan kolonialis Portugis

sampai Belanda, kaum-kaum ini bersatu melawan penjajahan untuk kepentingan

Aceh. Namun, pasca kolonialis baik itu pembentukan pengkauman maupun

istilah-istilah, seperti Kaum Lhee Reutoih, Dja Sandang, Tok Batee, dan Imeum

Peut, tidak dikenal dan tidak digunakan lagi di Aceh. Saat ini, yang masih dikenal

dan istilah yang digunakan di Aceh, misalnya untuk pimpinan kelompok adat

persekutuan terkecil di tingkat mukim 176 dan gampong (desa). 177

Sebagaimana, UU No.11 Tahun 2006, Qanun Aceh 178 Nomor 9 Tahun 2008

tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (Qanun No.9 Tahun 2008),

dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat (Qanun No.10

Tahun 2008), berbunyi: a) Majelis Adat Aceh; 179 b) Imeum Mukim; 180 c) Imeum

175
Ibid.
176
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum
mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
177
Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan
dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri.
178
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
179
Majelis Adat Aceh adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang
struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.
180
Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim

Universitas Sumatera Utara


Chik; 181 d) Keuchik; 182 e) Tuha Peut; 183 f) Tuha Lapan 184; g) Imeum Meunasah; 185

h) Keujruen Blang; 186 i) Panglima Laot; 187 j) Pawang Glee/Uteun; 188 k) Petua

Seuneubok; 189 l) Haria Peukan; 190 dan, m) Syahbanda. 191

Sulthan pertama kerajaan Aceh adalah Sulthan Djohan Sjah (601-

633H/1205-1235M), yang mendirikan kerajaan Islam di Aceh tiga segi (Aceh

Lhee Sagoe), yang disebut Atjeh Rajeuk (Aceh Besar). Keberadaan kerajaan di

Ramni, sekarang Kampung Pandee. 192 Bahkan, saat itu Aceh menjadi salah satu

kerajaan di Sumatra Utara, yang awal-awal memeluk agama Islam, yaitu tahun

601H/1204M, 193 selain Pasai dan Peureulak yang telah lebih dulu memeluk agama

Islam. Setelah mangkat, diganti oleh anaknya Sulthan Ahmad Dakjat Sjah (633-

181
Imeum Chik adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-
kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan
syari’at Islam.
182
Keuchik adalah merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta
menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
183
Tuha Peut Gampong adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan
permusyawaratan gampong dan Tuha Peut Mukim adalah alat kelengkapan mukim yang berfungsi
memberi pertimbangan kepada imeum mukim.
184
Tuha Lapan adalah lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong yang berfungsi
membantu imeum mukim dan keuchik atau nama lain.
185
Imeum Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan masyarakat di
gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam.
186
Keujruen Blang adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha
persawahan.
187
Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang
pesisir dan kelautan.
188
Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur
adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.
189
Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang
pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan.
190
Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban,
keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.
191
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang
tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang
tidak dikelola oleh Pemerintah.
192
H.M. Zainuddin, 1961, Op., Cit., hlm. 392. Lihat juga, Muhammad Said, 1981, Op., Cit.,
hlm. 147.
193
Tan Ta Sen, 2010, Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas,
Jakarta, hlm. 209.

Universitas Sumatera Utara


665H/1235-1267M). Selanjutnya, diganti oleh anaknya Sulthan Mahmud Sjah

(665-708H/1267-1308). Ketika Sulthan mangkat, anaknya berusia satu tahun,

kerajaan dipangku, kemungkinan ibu kandungnya yang didukung oleh petinggi-

petinggi kerajaan (Meurah-meurah dan Meugat-meugat). 194

Kemudian, raja keempat di bawah tahta Sulthan Firman Sjah (708-

755H/1308-1345M). Pada usia satu tahun telah dinobatkan sebagai Sulthan,

dibawah pimpinan orang-orang besar kerajaan. Setelah dewasa pada tahun

770H/1325M, tahta dipegang sendiri oleh Sulthan dan kawin dengan anak

Meurah (raja), kemudian mendirikan satu pekan (wilayah) baru, dinamai “Peukan

Dara-Baro”. Selanjutnya, kerajaan dipegang oleh Sulthan Mansur Sjah (755-

811H/1345-1408M). 195

Setelah mangkat, kerajaaan Aceh dipegang oleh Sulthan Alaadin Inajat

Johan Sjah (811-870H/1408-1465M). Sulthan dipanggil Inajatsjah, diduga berasal

dari luar Aceh tiga segi (Lhee Sagoe). Setelah menjadi Sulthan mendirikan istana

Darul Kamal (Daroy Kamomeu), dan memindahkan zetel (kedudukan) kerajaan

dari Ramni (Kampong Pandee) ke Darul Kamal. Sulthan memiliki tiga putra, 1)

Muzaffar Sjah; 2) Munawar Sjah; dan, 3) Ali Riajatsjah. Sebelum mangkat

Sulthan membagi kerajaan Aceh menjadi dua. Pertama, Darul Kamal diperintah

oleh putra sulungnya, Sulthan Muzaffar Sjah. Kedua, seberang Kroeeng Tjedaih

(Sungai Aceh sekarang) diperintah oleh putra kedua, Sulthan Munawar Sjah,

194
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 392.
195
Ibid

Universitas Sumatera Utara


berkedudukan di Makuta Alam (Lamteh), sedangkan putra yang bungsu, Sulthan

Ali Riajatsjah diberikan wilayah baru di Daja. 196

Setelah mangkat Sulthan Alaadin Inajat Johan Sjah, kerajaan Aceh dipegang

oleh putranya Sulthan Muzaffar Sjah (870-885H/1465-1479M). Masa

kepemimpinannya, mengawinkan anak perempuannya dengan putra adiknya,

Sulthan Munawar Sjah, yaitu Sulthan Samsu Sjah. Dari perkawinan ini

melahirkan dua orang putra, yaitu: 1) Radja Ali, yang bergelar Sulthan Ali

Mughajatsjah; dan, 2) Radja Ibrahim yang menjadi laksamana. Setelah mangkat

Sulthan Muzaffar Sjah, diganti oleh menantunya Sulthan Sjamsu Sjah (885-

913H/1497-1514M). Dalam masa kepemimpinan Sulthan Sjamsu, awal mula

bangsa Portugis datang dan berperang dengan Aceh, yang berakhir kekelahan

Portugis dan lari ke Pasai (sekarang Aceh Utara dan Lhokseumawe). 197

Kemudian, kerajaan Aceh dipegang oleh putra Sulthan Sjamsu Sjah, yaitu

Sulthan Ali Mughajat Sjah (913-929H/1514-1530M). Di mana mempersatukan

Kesulthanan Aceh (Atjeh Raja), dengan menaklukkan dan mempersatukan

Kerajaan Pidie (1521M), Negeri Daja (1520M), Kerajaan Pasai (1524M),

Kerajaan Aru (1525M). 198 Bahkan, pada bulan Mei 1521M, mengalahkan armada

Portugis, dipimpin Jorge de Brito di laut lepas. Ali Mughajat Sjah, dianggap

sebagai pendiri kekuasaan Aceh yang sesungguhnya. Selanjutnya, kerajaan Aceh

dipimpin oleh Sulthan Salahuddin (929-946H/1530-1537), yang merupakan putra

dari Sulthan Ali Mughajat Sjah. Tidak banyak perkembangan kerajaan masa

196
Ibid, hlm. 392-393.
197
Ibid, hlm. 393-394.
198
ibid

Universitas Sumatera Utara


kepemimpinan Sulthan Salahuddin, yang dianggap lemah dan peragu. Sehingga,

kerajaan direbut oleh adiknya, Sulthan Alaadin Riajat Sjah al-Qahhar. 199

Sulthan Alaadin Riajat Sjah al-Qahhar (946-975H/1537-1568),

menyempurnakan kesatuan kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan, seperti Pidie

(Pedir), Pasai (Pasee), Daja, dan Aru. Selanjutnya, membagi suku-suku (sukee) di

Aceh ke dalam 4 (empat) suku. Kerajaan Aceh mengadakan hubungan agama

Islam dan politik dengan Sulthan Turki (Sulthan Salim), sehingga mendapat

bantuan alat-alat perang, seperti meriam, ahli-ahli membuat senjata, dan prajurit-

prajurit. Selanjutnya, bekerjasama dengan Raja Islam di Banten, Jepara, Kudus,

dan Rembang. Selain itu, putra-putranya, seperti Raja Abdullah di tempatkan di

Pulau Kampai (Aru) dan Raja Muqal di Pariaman (Sumatera Barat). Kemudian,

menyerang negeri Semenanjung Malaka dari tahun 1537, 1541, dan 1551 M. 200

Kerajaan Aceh di bawah Sulthan Husen yang bergelar ‘Ali Riajat Sjah”

(975-983H/1567-1575M), juga menyerang kota Portugis di Malaka, meskipun

tidak berhasil. Dalam “Bustanus Salatin”, diceritakan masa ini datang seorang

ulama dari Mesir bermazhab Syafi’i bernama Syekh Mohammad Azahari atau

Syekh Nuruddin mengajarkan ilmu metafisika dan fiqah. Dilanjutkan oleh Sulthan

Muda (983-984H/1575-1576M), putra Sulthan Husen, masih berumur sekitar 4-7

bulan, sehingga yang memerintah dilakukan oleh “pembesar-pembesar” dan

199
Anthony Reid, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra
hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Terjemahan, The Contest for North Sumatra Acheh, the
Nedherlands and Britain !858-1898, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 2. Lihat juga, Denys
Lombard, 2008, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terjemahan, Le
Sultanat d’Atjeh au Temps d’Iskandar Muda (1607-1636), Cetakan Ketiga, Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, hlm. 65; Lihat juga, M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 394-397; Lihat juga,
Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 157-172.
200
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 397-398. Lihat juga, Denys Lombard, 2008, Op.,
Cit., hlm. 65-67; Lihat juga, Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Op. Cit., hlm.77-78.

Universitas Sumatera Utara


ulama. Begitu juga, masa Sulthan Alaiddin Mukmin Syah memerintah sekitar 2

(dua) bulan, karena perilaku kejam dan tidak disukai oleh para ulama. Sulthan ke-

XV, dipegang oleh Sulthan Zainal Abidin (984-985H/1576-1577M), merupakan

putra Sultan Abdullah, putra dari Sulthan Alaadin Riajat Sjah Al-Qahar. 201

Dilanjutkan oleh Sulthan Alauddin Mansjur Sjah ibnu Sulthan Ahmad dari

negeri Perak (Malaka) (985-993H/1577-1585M). Merupakan Sulthan bukan

keturunan Aceh atau orang asing, yaitu bekas tawanan dan putera dari Sulthan

Ahmad dari negeri Perak (pen: Malaysia), meninggal dalam penyerangan Aceh ke

Perak. Dari perkawinan dengan putri Sulthan Aceh bernama Ghana, Sulthan

Mansjur diangkat menjadi raja di Aceh, beliau merupakan seorang alim dan

mengembangkan agama Islam. Pada 1582M datang dua orang ulama dari

Mekkah, Syekh Abdulchair (Abul-Kahhar) bin Syekh Ibnu Hajar, pengarang kitab

Syaiful-Qati’ yang berisi ajaran dogmatik, mistik, badi’, tauhid, dan ilmu fiqh.

Seorang lagi, Syekh Muhammad Djailani (Yamani) mengajar ilmu Ushuluddin.

Setelah mangkat, terjadi perebutan kerajaan oleh keturunan Mughajat Sjah yang

mengambil kembali haknya. Diambil alih oleh anak Raja Munawar Sjah yang

bergelar Sulthan Ali Riajat Sjah Indrapura (995-996H/1585-1588M). 202

Kemudian, kerajaan dipimpin oleh Sulthan Alaadin Riajat Sjah (Saidil

Mukammil) (966-1012H/1588-1604), anak Raja Abdullah. Dalam masa ini

banyak saudagar-saudagar dari eropa berdatangan, seperti Portugis, Inggris dan

Belanda. Dilanjutkan oleh Sulthan Mahmud Sjah yang bergelar Sulthan Ali Riajat

Syah (1012-1015H/1604-1607M). Sulthan ini merampas tahta kerajaan Aceh dari


201
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 398-399; Lihat juga, Muhammad Said, 1981,
Loc., Cit., hlm. 201-205.
202
Ibid., Denys Lombard, 2008, Loc., Cit., hlm. 254.

Universitas Sumatera Utara


ayahnya Sulthan Alaadin Riajat Syah. Dalam masa pemerintahannya muncul

pemberontakan dari keponakannya, dikenal Perkasa Alam (Iskandar Muda),

ditambah lagi adanya penyerangan dari Portugis. 203

Portugis kalah melawan Perkasa Alam dan mangkatnya Sulthan Ali Riajat

Syah, diangkatlah Perkasa Alam menjadi Raja dengan gelar Sulthan Iskandar

Muda (1015-1045H/1607-1636M). Sulthan, merupakan anak Radja Mansyur

Syah hasil perkawinan dengan anak Raja Saidil Kamil, bernama Putri Ratna

Indrawangsa. 204 Masa Iskandar Muda, kerajaan Aceh berkembang pesat.

Menyusun hukum, adat Aceh, kesusteraan dan kebudayaan Islam. Mengusir

kolonialis Portugis dari Sumatera dan Malaka. Menaklukkan negeri Aru (1612-

1618M), Pahang, Perak dan Kedah (1619M). Kemudian, memerangi Portugis di

Malaka (1629M). Memajukan agama Islam ke seluruh nusantara, dengan

mengirim Sjech Sjamsuddin bin Abdullah al-Sumatrani ke semenanjung

Melayu/Malaka. 205 Dalam penegakan hukum Sulthan Iskandar Muda dikenal adil,

sehingga membunuh anaknya sendiri yang bersalah secara hukum dan adat.

Setelah Sulthan Iskandar Muda mangkat, kerajaan Aceh diperintah oleh

Sulthan Iskandar Sani Alaadin Mughajat Sjah (1045-1050H/1636-1641M). Beliau

merupakan anak Raja Ahmadsyah dari negeri Pahang (Malaysia), menantu

Sulthan Iskandar Muda. Pada masa Sulthan Iskandar Sani terjadi konflik antara

dua ulama besar Hamzah Fansuri, dituduh sebagai kaum Salik (mystic) dengan

Syekh Nurrudin Ar-Raniry. Sulthan mendukung pembakaran kitab-kitab Hamzah

203
Ibid., hlm. 401-404.
204
Ibid., 404-405; Lihat juga, Denys Lombard, 2008, Loc., Cit., hlm. 229-231.
205
Ibid; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 264-273; Denys Lombard, 2008, Loc.,
Cit., hlm. 134-138.

Universitas Sumatera Utara


Fansuri, dilakukan Syekh Nurrudin. Akibatnya, terjadi perselisihan dengan

permaisurinya, Puteri Seri Alam, sampai beliau mangkat. 206

Selanjutnya, kerajaan Aceh di rebut oleh Puteri Seri Alam binti Iskandar

Muda menggantikan suaminya, bergelar Ratu Tadjul Alam Sjafiahtuddin Sjah

(1050-1086H/1641-1679M). Ratu pertama Aceh ini menolong Hamzah Fansuri

dan Abdul Rauf dari Singkil, yang sekarang bernama Teungku Syiah Kuala. Ratu

yang kedua memerintah kerajaan Aceh bernama Ratu Nurul Alam Nakiathuddin

Sjah (1086-1088H/1676-1678M), merupakan, anak Raja Hussain Sjah. Pada masa

Ratu Nurul Alam, mesjid Baitul Rahman dan istana beserta harta kerajaan

terbakar. Wilayah Aceh Besar dibagi dalam 3 (tiga) wilayah (sagoe), yaitu XXII

mukim, XXV mukim, dan XXVI mukim. 207 Selanjutnya, dipimpin Ratu

Zakiathuddin Inajat Sjah (1088-1099H/1678-1688M), puteri Sulthan Ali Riajat

Sjah, dilanjutkan Ratu Kamalat Diathuddin Sjah (1099-1111H/1688-1699M). 208

Setelah, masa Ratu (Sulthanat) selesai, kerajaan Aceh dilanjutkan oleh

Sulthan Badr Al’Alam Sjarif Hasjim Djamaluddin (1111-1121H/1699-1709M).

Berasal dari keturunan bangsa Arab dan masa kepemimpinan beliau tidak lama

dan mengundurkan diri karena desakan rakyat. Selama tiga bulan pasca

pengunduran diri Sulthan, terjadi perebutan kekuasaan mengakibatkan kerajaan

Aceh kosong kepemimpinan. Selanjutnya, kerajaan dipegang Sulthan Perkasa

Alam Sjarif Lantui Ibnu Sjarif Ibrahim (1121-1123H/1709-1711M). Ayahnya,

berasal dari Arab dan Ibunya saudara Ratu Kamalat Sjah. Tidak lama memerintah

206
Ibid.
207
Maksudnya adalah mukim tersebut dipimpin oleh Panglima dengan anggotanya
berjumlah 22 orang, 25 orang dan 26 orang,
208
H.M. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 406-408

Universitas Sumatera Utara


diturunkan oleh Djamal Alam Badral Munir, anak Sulthan Badral Alam Sjarif

Hasjim Djamaluddin selanjutnya menjadi Sulthan (1125-1146H/1711-1733M).

Masa kepemimpinannya pada 1726M terjadi pemberontakan oleh kaum Panglima

Polem dari XXII mukim, sehingga Sulthan lari ke negeri Pidie. 209

Selanjutnya, kerajaan dipegang Sulthan Djauhar al-Alam Atna’addin Sjah,

berasal dari kampong Pahang, selama 20 (dua puluh) hari dan mangkat dalam

pemberontakan setelah bertahta. Selanjutnya, Sulthan Sjamsul Alam Djohan

Syah, juga memerintah hanya beberapa minggu lalu diusir dari Aceh. Kemudian,

dipegang oleh Sulthan Alaadin Ahmad Sjah [Maharaja Lela Melayu] (1146-

1155H/1733-1742M), sebelumnya, beliau membantu Sulthan Djamal al-Alam

merupakan keturunan Bugis, yang ada di Aceh, bernama Daeng Hadjie Ahmad,

anak Abdul Rahim, cucu Daeng Mansyur, mertua Sulthan Mahkota Alam.

Setelah, Sulthan Djamal al-Alam lari ke Pidie, beliau diangkat menjadi Sulthan

dan mempunyai anak-anaknya dari Gundik, yaitu: Potjut Oek, Potjut Sandang,

Potjut Kleng, dan Potjut Muhammad. 210

Kemudian kerajaan Aceh diperintah Sulthan Alaadin Djohan Sjah (1155-

1181H/1742-1767M). Beliau sebelumnya bernama Potjut Oek, anak Sulthan

Alaaddin Ahmad Sjah ibnu Abdul Rahim. Setelah beberapa bulan memerintah,

datang Djamal al-Alam yang sudah lari ke Pidie, menentang dan merampas

kerajaan dari Sulthan, karena dianggap keturunan dari gundik. Sehingga, saat itu

Aceh diperintah oleh dua Raja, Potjut Oek memimpin dan berkedudukan di

Kampung Pandee dan Djamal al-Alam di Kampung Djawa. Dikarenakan, tidak

209
Ibid., hlm. 409-410.
210
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


mungkin satu kerajaan dipimpin oleh dua Raja, maka terjadi pemberontakan dan

dimenangkan oleh Raja Potjut Oek dan dibantu oleh saudara-saudaranya. Sulthan

Alaadin Djohan Sjah (Potjut Oek), selain mempunyai beberapa isteri, juga

mempunyai isteri dari Asahan (pen: sekarang masuk wilayah Provinsi Sumatera

Utara) dan memperoleh putera bernama Sulthan Asahan. 211

Setelah Sulthan mangkat kerajaan Aceh di perintah oleh Sulthan Alaadin

Mahmud Sjah I (1181-1202H/1767-1787M), sebelumnya bernama Tuanku Husein

bin Potjut Oek (Alaadin Djohan Sjah). Dua tahun memerintah, muncul

pemberontakan dilakukan oleh Orang Kaya Maharaja Laboi dan Panglima Polem

dari XXII mukim. Lalu Sulthan diturunkan dari kerajaan dan diganti oleh Orang

Kaya Maharaja Laboi, dengan gelar Sulthan Badrul Alam Djohan Sjah. Namun,

memerintah selama 2 (dua) tahun 7 (tujuh) bulan, direbut kembali dan akhirnya

Sulthan dibunuh sekitar tahun 1772M. Setelah itu, diangkat kembali Sulthan

Alaadin Mahmud Sjah I, memerintah selama 6 (enam) tahun 7 (tujuh) bulan. 212

Pada tahun 1778M, dirampas kembali kerajaan oleh orang-orang dari XXII

mukim dan XXV mukim. Sehingga, diangkat menjadi Raja adalah Udah Nan Lela

yang bergelar Sulthan Sulaiman Sjah, namun hanya memerintah selama 2 (dua)

bulan. Kerajaan, berhasil direbut kembali oleh Sulthan Alaaddin Mahmud Sjah,

tetapi kerajaan tidak lagi aman dan selalu timbul konflik dan pemberontakan,

sehingga melemahkan kerajaan. Setelah mangkat, kerajaan Aceh diperintah oleh

Tuanku Muhammad bin Sulthan Alaadin Mahmud Sjah, yang bergelar Sulthan

211
Ibid, hlm. 411-413.
212
Ibid., hlm. 414; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm. 437.

Universitas Sumatera Utara


Alaaddin Muhammad Sjah (1202-1217H/1787-1795M). Masa perintah Sulthan

ini, mulai membangun hubungan dengan Sulthan Ibrahim dari Selangor. 213

Kemudian, kerajaan Aceh diperintah oleh Tuanku Hussain, putera Sulthan

Alaaddin Muhammad Sjah, yang bergelar Sulthan Alaaddin Djauhar Sjah (1217-

1245H/1802-1830M). Baginda, diangkat menjadi Raja masih kecil, dikarenakan

Sulthan Alaaddin Muhammad Sjah mangkat dan dipangku oleh ibu dan

pamannya, Tuanku Raja Tjut Zainal Abidin dari tahun 1767-1802M. Sehingga,

pada saat dewasa tahun 1802, Sulthan memerintah sendiri kerajaan Aceh.

Dalam tahun 1815, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh Hadji Ibrahim,

dibantu oleh orang-orang XXII mukim, dengan bantuan dana dari Said Hussain,

orang kaya dari Pulau Pinang, mengakibatkan Sulthan lari ke Pidie (Pedir) dan

diangkat menjadi Raja disana. 214

Selanjutnya, diperintah oleh Said Abdullah, putera Said Hussain menantu

dari Ratu Karmalat Diathuddin Sjah, dengan gelar Sulthan Saiful Alam,

memerintah sampai tahun 1819M. Sementara, Sulthan Alaaddin Djohar Sjah, dari

Pidie menggalang dukungan dan mencari bantuan pada pemerintah Inggris yang

ada di Pulau Pinang. 215 Dalam masa Sultan di Pidie, pada 22 April 1819 berhasil

membuat perjanjian (traktat), yang dikenal dengan “Perjanjian Pedir” dengan

Stamford Raffles, 216 sebagai wakil Inggris, antara Aceh dengan Inggris, yang

materinya bahwa Aceh akan memberi kesempatan berdagang bagi Inggris,

213
Ibid.
214
Ibid., hlm. 415-416.
215
Ibid
216
Saat itu, Stamford Raffles, sebagai “agen politiknya” Gubernur Jenderal Inggris, Lord
Minto di India, mengurus berkaitan dengan raja-raja Melayu di kepulauan Indonesia dan dia
dikenal sebagai Holland-Hater (pembenci Belanda).

Universitas Sumatera Utara


sedangkan Inggris menjamin kemerdekaan Aceh selamanya dan akan

melindunginya dari serangan siapapun. Usul Raffles tersebut disetujui oleh

pemerintah Inggris di Kalkuta dan Penang. 217 Selanjutnya, pada tahun 1824M

perjanjian ini diperbahurui oleh Inggris – yang mengecualikan Aceh tidak

termasuk dalam perjanjian Inggris-Belanda – pasca perjanjian Inggris dengan

Belanda, terhadap daerah jajahan masing-masing di Kepulauan Timur, daratan

India dan Sri Langka. 218

Akhirnya, Sulthan Alaaddin Djohar Sjah, kembali menjadi Raja pada tahun

1819-1830M, dan memperkuat kembali hubungan diplomatik dengan Kerajaan

Turki dengan mengangkat Duta Aceh di Kostantinopel. Melalui perantara Turki,

kerajaan Aceh mengikat persahabatan dengan kerajaan Inggris dan membuat lagi

Tractaat London, pada 17 Maret 1824M, yaitu perjanjian Inggris dengan Belanda,

bahwa Belanda mengakui tidak akan menganggu kedaulatan kerajaan Aceh. 219

Kemudian Aceh, dikuasai Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Sjah I (1245-

1254H/1830-1838M), dikenal dengan Raja Buyung bin Hussain Sjah (Sulthan

Djohar Alamsjah). Masa ini, Belanda terus melakukan subversif terhadap Aceh.

Setelah itu, di bawah kekuasaan Sulthan Alaiddin Sulaiman Ali Iskandar Sjah

(1254-1257H/1839-1841M), putera Tuanku Muhammad Daud yang bersahabat

baik dengan Inggris. Berbeda sikap dengan Belanda karena mengacaukan

kekuasaan Aceh di Sumatera Barat dan Timur. Selanjutnya, tahun 1257-

1287H/1841-1870M, Aceh dipimpin oleh Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansjur Sjah,

217
Said Muhammad, 1981, Loc., Cit., hlm. 466-468.
218
Ibid. hlm. 493
219
H. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 415-416; Muhammad Said, 1981, Loc., Cit., hlm.
468.

Universitas Sumatera Utara


putera Sulthan Djohar Alam Sjah. Sulthan ini merupakan salah satu tokoh patriot

diantara sulthan Aceh, sesudah Sulthan Iskandar Muda, Sulthan Iskandar Sani,

dan Tadjul Alam. Setelah mangkat, Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansjur Sjah,

kerajaan Aceh diperintah oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Sjah II (1287-

1290H/1870-1874M), putera Sulthan Sulaiman Ali Iskandar Sjah. 220

Dalam masa kesultanan ini, “Perjanjian Raffles” tahun 1819M dan tahun

1824M antara Inggris dan Aceh berakhir, meskipun tidak eksplisit dijelaskan oleh

Inggris. Hal ini dibuktikan ketika Inggris dan Belanda, pada tahun 1871M telah

bersepakat dengan perjanjian baru terhadap daerah jajahan Belanda di Sumatera,

termasuk Aceh. 221 Setelah 3 (tiga) tahun memerintah, Aceh diserang oleh

Belanda pada bulan Muharram 1290H/6 April 1873M. Akibat penyakit kolera,

Sulthan mangkat dan peperangan dengan Belanda terus berlanjut, pada 28 Januari

1874M istana Aceh berhasil direbut oleh Belanda. Meskipun, kerajaan saat itu

tidak ada lagi Sulthan, namun diurus oleh para Wazir, Ulee Balang (Hulu Balang),

dan Ulama. Hal ini, dikarenakan yang berhak menjadi raja Aceh adalah Tuanku

Muhammad Daud yang masih kecil, putera Tuanku Zainal Abidin, cucu Sulthan

Ibrahim Mansur Sjah. Sehingga, mereka bersepakat untuk pemangku (wali)

Tuanku Muhammad Daud adalah Banta Muda. 222 Sementara, menurut

Muhammad Said, bahwa para Panglima Sagi, yaitu Panglima Polem dari XXII

Mukim, Cut Lamreueng dari XXVI Mukim dan Cut Banta dari XXV Mukim,

bersepakat untuk memilih Tuanku Muhammad Daud Syah yang masih muda

220
Ibid, hlm. 417.
221
Ibid, hlm. 754; Anthony Reid, 2005, Loc.,Cit., hlm. 74.
222
H. Zainuddin,1961, Loc., Cit., hlm. 420-421.

Universitas Sumatera Utara


untuk naik tahta, dengan pangkuan (perwalian) yang diketuai oleh Tuanku

Hasyim. 223

Setelah Tuanku Muhammad Daud dewasa, pada 22 Muharram

1292H/1884M, oleh orang-orang besar kerajaan dan para ulama mengangkat

menjadi Sulthan Aceh, bergelar Sulthan Alaaddin Muhammad Daud Sjah II

(1302-1357H/1884-1939M). Setelah memimpin perang dengan Belanda secara

berpindah-pindah (gerilya), pada 10 Januari 1904 ditangkap oleh Belanda dan

pada 21 Agustus 1907 di buang ke Ambon. Pada tahun 1918 dipindah ke Betawi

(Jatinegara). Beberapa tahun disana akhirnya, pada 6 Februari 1939 meninggal

dan dimakamkan di Karet. 224 Sulthan Alaaddin Muhammad Daud Sjah II,

merupakan raja terakhir di Aceh. Pasca beliau, Kerajaan Aceh terus berperang

secara begerliya dengan Belanda, dipimpin oleh tokoh-tokoh Aceh dan ulama,

seperti Syekh Saman Di Tiro (Tgk Chik Ditiro), Panglima Polem, Teuku Umar,

Cut Nyak Dhien sampai tahun 1945.

B. Aceh Bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia

1. Aceh Daerah Modal

Sejarah Aceh menjadi bagian NKRI, pasca proklamasi 17 Agustus 1945,

aktualisasinya dimulai sejak Revolusi Nasional tahun 1945-1949. Hal ini

diungkapkan oleh Taufik Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Teuku Ibrahim

Alfian yaitu: 225

223
Muhammad Said, 1985, Aceh Sepanjang Abad, jilid II, hlm. 40.
224
H. Zainuddin, 1961, Loc., Cit., hlm. 422-423.
225
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc. Cit., hlm. 246.

Universitas Sumatera Utara


“…..periode revolusi kemerdekaan nasional dirasakan sebagai bukti dari
keterlibatan Aceh dalam “masyarakat bangsa” yang telah mengatasi ke-
Acehan, dan lebih penting lagi, bagaimana dengan ke-Acehan-an cita-cita
nasional dapat dibina. Adalah suatu kebanggaan untuk mengingat kenyataan
betapa Aceh merupakan satu-satunya wilayah di tanah air kita yang terbebas
dari injakan tentara Belanda, dan bagaimana Aceh demi kesadaran nasional
dan lillahi ta’ala memberikan apa saja yang diperlukan bagi perjuangan
nasional merebut kemerdekaan”.

Sehingga, Presiden Soekarno pada pidatonya di Meulaboh, Aceh Barat pada

4 September 1959, mengatakan Aceh merupakan daerah modal, di mana pada

Agustus 1948 menyumbang dua pesawat terbang kepada Republik Indonesia,

yang satu dikaryakan di Burma (Myanmar), dan menjadi cikal bakal Garuda

Indonesia Airways. Di samping itu, tahun 1949 menyumbangkan pula dana

kepada Pemerintah Pusat dan pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta. 226

Pada tanggal 17 Maret 1949, Tengku Mansur selaku Wali Negara Sumatera

Timur, mengirim surat kepada Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo,

Teungku M. Daud Beureueh, lalu surat tersebut dibalas sebagai berikut:

“Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada, sebab itu kita tidak bermaksud
untuk membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain karena kita disini adalah
bersemangat Republiken. Sebab itu juga, undangan dari Wali Negara
Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itulah
tidak kita balas. Di Aceh tidak terdapat salah paham sebagai diterangkan
oleh Belanda itu dengan Muktamar Sumateranya. Maksud Belanda ialah
hendak mendiktekan kepada dr. Mansur supaya menjalankan politik devide
et impera-nya lagi, sebab itu, kita menolak adanya Muktamar Sumatera
tersebut dan kita sendiri telah siap sedia menanti segala kemungkinan yang
bakal timbul dari sikap penolakan kita itu. Kita yakin bahwa mereka yang
telah menerima baik undangan dr. Mansur tersebut, bukanlah orang
Republiken, tetapi adalah kaki tangan dan budak kolonialisme Belanda yang
selama ini sudah diberi makan roti. Kesetiaan rakyat Aceh terhadap
Pemerintah Republik Indonesia bukan dibuat-buat serta diada-adakan, tetapi
kesetian yang tulus dan ikhlas keluar dari lubuk hati nurani dengan
perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat Aceh tahu pasti bahwa

226
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


kemerdekaan secara terpisah-pisah, negara per-negara, tidak akan
menguntungkan dan tidak akan membawa kepada kemerdekaan abadi. 227

Sebagaimana, undang-undang pada tahun 1945 membagi wilayah Indonesia

atas 10 (sepuluh) provinsi, Daerah Aceh pada permulaan kemerdekaan merupakan

sebuah keresidenan dan menjadi bahagian dari Provinsi Sumatera Utara dengan

Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan. Adanya Provinsi Sumatera Utara ini

tidak berlangsung lama. Re-organisasi pemerintahan di Sumatera dilakukan

mengingat meningkatnya serangan pihak Belanda. Untuk meningkatkan sistem

pertahanan perlu memusatkan alat-alat kekuasaan sipil dan militer dibawah satu

kekuasaan, yatu Gubernur Militer. Sehingga, berdasarkan Keputusan Pemerintah

Darurat Republik Indonesia, tanggal 16 Mei 1949 Nomor 21/Pem. PDRI, diangkat

Teungku M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer, yang sejak Agresi Belanda

I sudah menjabatnya dan jabatan Gubernur Sumatera Utara dihapuskan. 228

Dengan intruksi Dewan Pembantu dan Penasehat Wakil Perdana Menteri,

pada 15 September 1949, Sumatera Utara dibagi atas dua Daerah Militer

Istimewa, yaitu Aceh, Langkat dan Tanah Karo, di bawah Gubernur Militer

Mayor Jenderal Tgk. M. Daud Beureueh, serta Tapanuli, Sumatera Timur Selatan

di bawah Gubernur Militer Mayor Jenderal Dr. F.L. Tobing. Selanjutnya,

berdasarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yaitu Peraturan

Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah, Kutaraja, 17 Desember

1949, Nomor 8/Des/W.K.P.M, dibentuk Provinsi Aceh, Teungku M. Daud

227
Ibid., hlm. 248; lihat juga, Nazaruddin Sjamsuddin, 1999, Revolusi di Serambi Mekah,
Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, hlm. 283; Lihat juga, M.
Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tgk. Daud Beureu-eh Dalam Pergelokan Aceh, Media Da’wah,
Jakarta, hlm. 43-49
228
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Op., Cit., hlm. 249-250.

Universitas Sumatera Utara


Beureueh sebagai Gubernur. Dinyatakan untuk menyempurnakan dan

melancarkan pemerintah daerah, Provinsi Sumatera Utara perlu dibagi dua

provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli-Sumatera Timur Selatan. 229

Menurut M. Nur El-Ibrahimy, pada tahun 1949 hampir seluruh wilayah

Republik Indonesia, di duduki Belanda kecuali Aceh dan sebagian wilayah

Sumatera. Mr. Syarifuddin Prawiranegara diangkat menjadi Wakil Perdana

Menteri, sekaligus sebagai Kepala PDRI yang berkedudukan di Bukit Tinggi.

Akibat tidak amannya wilayah Bukit Tinggi, lalu berpindah ke Aceh dan

bermarkas di Kutaraja (Banda Aceh), yang merupakan daerah satu-satunya yang

belum di duduki Belanda. Pada saat pertemuan dengan tokoh-tokoh perjuangan

Aceh, terdiri dari Tgk M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimeun, Hasan Ali,

Ayah (Abd.) Gani, Zaini Bakri, dan M. Nur El Ibrahimy, untuk menstimulasikan

perjuangan rakyat mempertahankan daerah Aceh, menuntut segera membentuk

provinsi Aceh yang otonom sesuai dengan janji Presiden Soekarno kepada Tgk.

M. Daud Beureueh, saat pertama sekali datang ke Aceh. 230

Tuntutan tersebut akhirnya dipenuhi dan dibentuklah Provinsi Aceh melalui

Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 8/Des/WKPM Tahun 1949. Di mana Tgk. M. Daud

Beureueh sebagai Gubernur, dibantu oleh Badan Pemerintah Daerah, terdiri dari

Orang Kaya Salamuddin, Ayah (Abd.) Gani, A.R. Hasyim dan M. Nur El

229
Ibid.
230
M. Nur El Ibrahimy, 2001, Op., Cit., hlm. 57-58.

Universitas Sumatera Utara


Ibrahimi. Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terdiri dari 27 anggota

dengan satu anggota dari golongan Tionghoa. 231

2. Pemberontakan Darul Islam

Ketika para pejuang Aceh sedang diliputi rasa kebanggaan dan patriotisme

perjuangan, pada pertengahan 1950, diinformasikan bahwa Divisi X akan

dibubarkan, di Aceh hanya akan ada satu brigade yang tunduk di bawah Divisi

Bukit Barisan di Medan. Timbul keresahan di kalangan pemerintah dan rakyat

Aceh, terutama di kalangan perwira dan prajurit serta kaum pejuang lainnya.

Semua unsur pemerintahan Aceh memohon dengan segala kerendahan hati agar

pemerintah pusat, dalam hal ini Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang

dipimpin Kolonel A. H. Nasution, membatalkan keputusan tersebut. Silih berganti

utusan dikirim kepada Nasution agar ia dapat bertindak lebih bijaksana. 232

Selanjutnya, Panglima Divisi Bukit Barisan Kolonel Kawilarang datang ke

Aceh, dan Panglima Divisi X, Komandan Brigade, Husin Yusuf, pangkatnya

diturunkan menjadi Letnan Kolonel. Namun, karena perlawanan Husin Yusuf,

yang merasa dirinya masih tetap Panglima Divisi, Kawilarang langsung memecat

Husin Yusuf. Akhirnya datang Kolonel Abimanyu ke Aceh, utusan MBAD yang

menuntaskan masalah pembubaran Divisi Aceh, menarik Letkol Husin Yusuf ke

Jakarta, dan mengangkat Mayor Hasballah Haji sebagai Komandan Brigade. 233

231
Ibid.
232
Ibid
233
Hasan Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan
Bersabung untuk Kepentingan Daerah, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 125-126.

Universitas Sumatera Utara


Tidak dapat dibayangkan, kesedihan para pejuang Aceh menghadapi

kenyataan baru ini. Mantan Panglima Divisi X Kolonel Husin Yusuf, mengatakan,

"Tindakan ini adalah suatu tamparan dan penghinaan yang merobek-robek dada

saya, dan saya akan bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri saya!

Air susu telah dibalas dengan tuba. Dengan diciutkannya Divisi Aceh menjadi

hanya suatu brigade, maka satu dari dua “bintang” – “bintang” lainnya adalah

Propinsi Otonomi – pemberian Pemerintah Pusat untuk rakyat Aceh, telah

dicabut. 234 Belum selesai kekecewaan terhadap pembubaran Divisi X Aceh,

kembali pihak Aceh menerima informasi bahwa provinsi Aceh yang telah

dibentuk akan dibubarkan, dengan berbagai alasan hukum dan politik.

Seharusnya pasca pembentukan provinsi Aceh, pihak Pemerintah Pusat,

melalui Kementerian Dalam Negeri melantik Gubernur dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah Aceh, tetapi malah saat itu tidak hadir. Sebaliknya, pada Maret

1950 Pemerintah Pusat di Yogyakarta mengirimkan sebuah “panitia penyelidik”

yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, Mr. Susanto Tirtoprojo untuk

mengadakan penyelidikan di Sumatera, antara lain mengenai Provinsi Aceh. Pada

13 Maret 1950 diadakan pertemuan dengan instansi pemerintah daerah dan

dinyatakan oleh Menteri Dalam Negeri bahwa Pemerintah Pusat belum

menetapkan provinsi Aceh dan kedatangan panitia mengumpulkan bahan

dijadikan pertimbangan perlu tidaknya dibentuk provinsi Aceh. 235

234
Ibid.
235
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 251; lihat juga, Nazaruddin Sjamsuddin,
1990, Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm.
41.

Universitas Sumatera Utara


Dalam usaha agar Provinsi Aceh tidak dibubarkan, silih berganti utusan

dikirim ke pusat. Hasan Sab, salah seorang anggota delegasi ke Jakarta,

mengatakan, "Setiap pintu telah kami ketok; setiap hati telah kami bujuk, tetapi

hasilnya nol koma nol”. Barangkali sudah takdir nama Aceh akan hilang dari

permukaan bumi," kata Hasan Sab sambil menangis terisak-isak. Mr. M. Rum

menyatakan, di Aceh pun terdapat suara – dari golongan raja-raja – yang

menyetujui dibubarkannya Provinsi Aceh, malahan meminta agar keputusan

Pemerintah Pusat itu segera direalisasikan, sambil memperlihatkan setumpuk

surat kepada Hasan Sab dan rombongan. 236

Pada 8 Agustus 1950 dalam sidang Dewan Menteri Republik Indonesia

Serikat (RIS), memutuskan bahwa sesuai dengan persetujuan RIS-RI wilayah

Indonesia dibagi dalam 10 (sepuluh) daerah provinsi, salah satunya, Provinsi

Sumatera Utara, sedangkan peraturan darurat Wakil Presiden RI, Mr. Sjafruddin

Prawiranegara menyatakan Provinsi Aceh tidak sah. Setelah itu, pada 12 Agustus

1950 DPRD Aceh mengadakan rapat, mengambil keputusan menolak penetapan

Pemerintah dan meminta Aceh tetap menjadi provinsi sendiri. Konsekuensi

putusan Dewan Menteri RIS itu, pada 14 Agustus 1950 dikeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi-provinsi. 237

Sebagaimana juga, M. Nur El Ibrahimy, mengatakan Provinsi Aceh

dibubarkan bukan pada masa Kabinet Natsir, melainkan pada masa Kabinet Halim

melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950,

yang ditandatangani oleh Presiden Mr. Assaat dan Menteri Dalam Negeri, Mr.

236
Hasan Saleh., 1992, Op., Cit., hlm. 130
237
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 252.

Universitas Sumatera Utara


Soetanto Tirtoprojo. 238 Apa yang dikatakan oleh El Ibrahimy, juga diungkapkan

M. Isa Sulaiman, bahwa dalam undang-undang tersebut berisi tentang

pembentukan Provinsi Sumatera Utara, yang mencakup Aceh, Sumatera Timur,

dan Tapanuli. Setelah itu, dibentuk Kabinet Natsir pada 6 September 1950, salah

satu tugasnya adalah mengimplementasikan undang-undang tersebut. 239

Setelah pembubaran, menurut S.M. Amin pihak Aceh mengemukakan

alasan, sebagai berikut:

Persatuan yang telah berabad-abad itu jangan dipecah-pecah dengan pusat


ke kiblat yang baru. Dengan segala potensi yang ada dalam lingkungan
persamaan historis, geografis, etnologi, psikologis, filosofi, sosial, ekonomi,
staatkunde, politik, agama, pendidikan dan kebudayaan, Aceh minta
mengurus dirinya sendiri di bawah pengawasan pemerintah pusat, mengejar
ketertinggalan yang jauh dalam berbagai lapangan dan untuk memenuhi
tuntutan rakyat yang agak harmonis dengan keadaan lahir dan batinnya. Ia
perlu memasak dirinya dulu semasak-masaknya guna lebih mudah
ditempatkan di dalam keindonesian dalam arti seluas kata. Ia bukan hendak
menyisihkan dirinya dari saudara-saudaranya yang lain. Ia tetap setia pada
pemerintah pusat, cinta pada saudara lain, buktinya cukup (beberapa daya
upaya Belanda, gerakan Pemuda Aceh di Singapura, Medan, Jakarta,
Penang, Sabang untuk memecahkan Aceh dengan Pusat. Bujukan, Dr.
Mansur dengan konferensi Sumatra, jangan gerakan di dalam daerah sendiri,
Aceh minta mengurus diri sendiri dalam bentuk otonom yang luas, guna
lekas tercapai kebahagian rakyat yang berarti pertolongan besar bagi
Pemerintah Pusat. Sebaliknya, jika Aceh dimasukkan dalam Provinsi
Sumatera Utara, lebih banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi daripada
keuntungan yang diharapkan oleh Pemerintah Pusat. 240

Melihat kegelisahan dalam masyarakat, Pemerintah Pusat mengirimkan

sebuah rombongan, antara lain: Menteri Dalam Negeri, Mr. Asaat, Menteri

Keuangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, anggota-anggota DPRS Amelz dan M.

Nur El-Ibrahimy, bertugas menyampaikan keputusan pemerintah dan berusaha

238
M. Nur El Ibrahimy, Loc., Cit., hlm. 58.
239
M. Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 224.
240
Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Loc., Cit., hlm. 252-253.

Universitas Sumatera Utara


agar putusan itu diterima oleh daerah. Pertemuan diadakan pada 26 September,

dipimpin oleh Gubernur Aceh, Tgk. M. Daud Beureueh. Pertemuan tersebut

diakhiri dengan ketidakpuasan pihak yang menuntut otonomi Aceh. Sehingga,

beberapa kali Pemerintah Pusat mengirim utusan ke Aceh untuk menyelesaikan

permasalah tuntutan otonomi Aceh. 241

Pada 27 November 1950 berkunjung Wakil Presiden, Mohd. Hatta, namun

tidak berhasil meyakinkan pemimpin Aceh, terhadap alasan penggabungan Aceh

ke dalam Sumatera Utara. Setelah itu, datang Perdana Menteri Natsir, pada 22

Januari 1951, dengan tujuan yang sama untuk meyakinkan Aceh bergabung dalam

Sumatera Utara. Dalam pertemuan tersebut pihak Aceh menerima sementara

pembentukan provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, Pemerintah Pusat sepakat

untuk tidak menolak tuntutan otonomi. 242

Setelah lebih dua tahun pasca pertemuan antara utusan Pemerintah Pusat

dengan pihak Aceh, pada 20 September 1953, Tgk M. Daud Beureueh atas nama

umat Islam Aceh memproklamasikan Daerah Aceh menjadi bagian dari Negara

Islam Indonesia mengikuti jejak Kartosuwiryo, pada 7 Agustus 1949 berdirinya

Negara Islam Indonesia. 243 Susunan pemerintahan Darul Islam tersebut yaitu:

1. Aceh dan daerah sekitarnya merupakan daerah otonom yang luas, yang

berbentuk wilayah sebagai bagian NII (penulis: Negara Islam Indonesia).

2. Wilayah ini dipimpin oleh seorang Gubernur Sipil dan Militer, yang

berkedudukan di Ibukota Wilayah.

241
Ibid, hlm. 253-255.
242
Ibid, hlm. 255.
243
Ibid, hlm. 255-256

Universitas Sumatera Utara


3. Gubernur Sipil dan Militer merupakan Kepala Pemerintah Tertinggi dan

Pemimpin Tertinggi Angkatan Perang NII yang berada di daerah Aceh dan

daerah sekitarnya.

4. Dalam sebuah Wilayah terdapat sebuah Dewan Syura (Dewan Pemerintah

Dearah) dan Majelis Syura (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

5. Gubernur Sipil dan Militer, karena jabatannya menjadi Ketua Majelis Syura.

6. Dewan Syura (DPD) merupakan badan eksekutif dan Majelis Syura

merupakan badan legislatif.

7. Gubernur Sipil dan Militer, karena jabatannya selain Ketua Eksekutif

Wilayah merupakan pula Wakil Pemerintah Pusat dari Imam Negara.

8. Wilayah Aceh dan sekitarnya merupakan suatu daerah Teritorium Tentara

dengan kekuatan satu Divisi Besar, yang disebut Tentara Islam Indonesia

(penulis: TII) Teritorium V, Divisi Tgk. Tjhik di Tiro.

9. TII Teritorium V, Tgk. Tjhik di Tiro dalam pelaksnaan pimpinannya

diselenggarakan oleh sebuah Staf Umum. 244

Implikasinya, pada 21 September 1953 terjadi peristiwa berdarah antara

Pemerintah Pusat dengan Aceh, dipimpin Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

Sementara, dari pihak Aceh dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureueh, bekas

Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, juga bekas Gubernur Aceh

pertama. Peristiwa ini dikenal dengan “Pemberontakan Daud Beureueh”. 245 Di

mana ketika konferensi pembentukan Negara Bagian Aceh/Negara Islam

Indonesia (NBA/NII), tahun 1955 di Batee Kureng-Peudada, Aceh, meresmikan

244
M. Nur El-Ibrahimy, 2001, Loc., Cit., hlm. 3-4..
245
Ibid., hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


Daud Beureueh sebagai pemimpi dengan gelar Wali Negara dan Hasan Ali

sebagai Perdana Menteri. 246 Pada bulan Februari 1957, Syamaun Gaharu,

mengumumkan rumusan untuk mengakhiri pemberontakan secara damai.

Dinamakan “Konsepsi Prinsipil Bijaksana”, menawarkan kesempatan kepada

pemberontak untuk “kembali kepangkuan Ibu Pertiwi”, dan mempertahankan

“prinsip” pemerintah untuk menggunakan kekuatan di mana yang dibutuhkan. 247

Selama empat tahun peristiwa tersebut, pada 8 April 1957 terjadi gencatan

senjata, yang dikenal dengan “Ikrar Lamteh” sampai tahun 1959. 248 Secara politik

hukum untuk menetapkan status Aceh, Pemerintah Pusat mengembalikan status

provinsi Aceh pada 1 Januari 1957, melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun

1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan

Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103),

dan mengangkat Ali Hasjimy sebagai gubernur.

Dalam perjanjian “Lamteh” tersebut, mewakili Pemerintah Pusat adalah Ali

Hasjimy, Gubernur Aceh, Syamaun Gaharu, Panglima Komando Daerah Militer

Aceh (KDMA) dan Muhammad Isa, Kepala Polisi. Sementara, dari pihak

NII/NBA diwakili oleh Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin. Dalam

pertemuan tersebut mendapat kesepakatan terhadap tiga tujuan yaitu: 1)

memajukan Islam; 2) membangun Aceh dalam arti luas; dan, 3) berusaha sekuat

246
Amrizal J. Prang, 2012, Eksistensi Wali Nanggroe dalam Konteks Demokrasi Aceh,
dalam Demokrasi dalam Gugatan: Pengalaman Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, hlm. 267.
247
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 274.
248
M. Nur El-Ibrahimy, 2001, Loc., Cit., hlm. 197.

Universitas Sumatera Utara


tenaga untuk memberi kemakmuran dan kebahagian kepada rakyat Aceh. 249

Meskipun, kekuatan pemberontakan Aceh saat itu melemah, tetapi Pemerintah

Pusat tidak serta-merta dapat melumpuhkannya. Sehingga, ada konsensi politik

yang begitu besar ditawarkan kepada Aceh, bahkan berbeda dengan daerah-daerah

lainnya, seperti Padang, Sulawesi yang juga mengalami pemberontakan.

Nazaruddin Syamsuddin, menyatakan bahwa:

“Perbedaan pemberontakan (PRRI) Minangkabau (Padang-Sumatera Barat)


dalam hal ini, karena pemeberontak Aceh memiliki semangat juang.
Pertama, pemberontakan di Aceh itu, dari segi watak, merupakan suatu
perlawanan ideologis yang diakibatkan oleh keberhasilan para ulama
memberi warna agama pada pemberontakan tersebut. Kedua,
pemberontakan itu juga diperkuat oleh rasa kesukuan yang menyebabkan
rakyat secara fanatik bangkit menentang setiap kekuatan luar yang mencoba
mencampuri urusan interen mereka. Tidak kurang pentingnya adalah
kenyataan bahwa fanatisme keagamaan dan rasa kedaerahan rakyat Aceh
yang kuat telah erat mayoritas rakyat dengan pemimpin mereka, suatu fakta
yang hampir tidak ditemukan di daerah-daerah bergolak lainnya”. 250

Selanjutnya, pada Mei 1959 untuk menyelesaikan pemberontakan Aceh,

Perdana Menteri, Djuanda mengirim sebuah misi beranggota 30 (tiga puluh) orang

untuk berunding dengan Dewan Revolusi. Misi ini dipimpin oleh Wakil Perdana

Menteri, Hardi. Misi ini menunjukkan kebijaksanaan lunak pemerintah terhadap

Aceh. Perundingan yang dilakukan dari tanggal 25-26 Mei 1959, mewakili pihak

Dewan Revolusi diikuti 20 (dua puluh) orang, antara lain, Ayah Gani, Hasan

Saleh, Teuku Muhammad Amin dan Ishak Amin. 251

Ada dua naskah tuntutan dari pihak Dewan Revolusi. Pertama, menyangkut

status daerah, yang akan disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh Darussalam dan

249
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 275. Lihat juga, Hasan Saleh, 1992, Loc.,
Cit., hlm. 309-310. Lihat juga, M. Isa Sulaiman, 1997, Op. Cit., hlm. 373-375.
250
Ibid, hlm. 306.
251
Ibid, hlm. 308-309. Lihat juga, M. Isa Sulaiman, 1997, Loc. Cit., hlm. 415-416.

Universitas Sumatera Utara


perincian isi otonominya dan, kedua, memuat daftar dua belas tuntutan. Kedua

naskah tersebut merupakan konsep Dewan Revolusi mengenai daerah istimewa,

yang merupakan garis besar dari suatu hubungan yang bersifat federalis. Mereka

mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar

negeri, pertahanan, dan keuangan. Sebagai tambahan, mereka mengaitkan

otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang

menegaskan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Selanjutnya, tuntutan amnesti

dan abolisi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam dilengkapi

rehabilitasi. Pemerintah Pusat secara tegas menolak usul Aceh diberi otonomi

luas. Misi Hardi mengatakan bahwa paling banyak ia hanya dapat memberikan

otonomi khusus dalam bidang keagamaan dan kebudayaan, selain tawaran

amnesti dan rehabilitasi. 252

Sehingga, Wakil Perdana Menteri Hardi pada 26 Mei 1959, menetapkan

Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959 253 tentang perubahan Daerah

Swatantra Tk. I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, dengan catatan bahwa

daerah tersebut tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swatantra Tk.

I, seperti termuat dalam UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah

Daerah. Hardi juga menyerahkan dana pembangunan kepada Aceh. 254 Mengakui

misinya tidak dapat secara resmi memberikan suatu pasal yang memberlakukan

252
Ibid, hlm. 310-312
253
Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi ini keberadaanya diakui pada saat dibentuk
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disebutkan dalam Penjelasannya, paragraf kesembilan, yaitu: “Salah satu
faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah
Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang
memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Bahkan, dalam undang-
undang ini menambahkan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
254
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc.. Cit., hlm. 417-418.

Universitas Sumatera Utara


syari’at Islam, sebab hukum Islam ini sedang dibicarakan di Parlemen. Namun,

percaya bahwa status istimewa atau otonomi luas di bidang agama akan memberi

kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengatur hal ini. 255

Keputusan Hardi, tentang pemberian status sebagai Provinsi Istimewa Aceh,

mempunyai makna politis bagi pemulihan keamanan, karena kekuatan

pemberontak telah terpecah. Namun, status keistimewaan Aceh dalam bidang

keagamaan, peradatan dan pendidikan, hingga bulan Oktober 1959 belum juga

disahkan dalam bentuk produk hukum yang lebih tinggi, baik dalam Penetapan

Pemerintah atau undang-undang sehingga tidak bisa diimplementasikan. Pada

tanggal 28 Juli 1959, Dewan Revolusi mengirim surat secara berturut-turut kepada

Ketua Peperda I Aceh dan Gubernur Aceh memohon agar keputusan Missi itu

dikukuhkan dalam perundang-undangan dan meminta dapat menyelesaikannya

dengan Pemerintah Pusat. 256

Setelah tragedi G 30 S PKI pada tahun 1965, untuk implementasi unsur-

unsur syari’at Islam di Aceh kembali mendapat ruang. Musyawarah Alim Ulama

di Banda Aceh (Kutaraja), pada 17-18 Desember 1965 mengeluarkan dua

keputusan: pertama, ajaran komunis haram dan kufur hukumnya; kedua,

mengusulkan kepada Pemerintah Daerah pembentukan Majelis Ulama Daerah

Istimewa Aceh, sebagai badan konsultatif Pemerintah Daerah Istimewa Aceh

dalam penetapan fatwa mengenai soal agama – sebelumnya bernama Majelis

Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, yang disahkan melalui Surat

Keputusan Brigjend. Ishak Juarsa No. Kep./Peperda/-9/2/1966, tanggal 10

255
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Op., Cit., hlm. 313.
256
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 426-427.

Universitas Sumatera Utara


Februari 1966 257 – yang dipimpin oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba, tahun

1966 dan Ali Hasjimy, pada tahun 1983. 258 Sejak itu proses penetapan

keistimewaan Aceh dalam peraturan perundanag-undangan lebih tinggi berjalan

sangat lamban. Bahkan, Keputusan Hardi tersebut tidak pernah dibentuk oleh

Pemerintah Pusat dalam peraturan yang lebih tinggi baik dalam bentuk Penetapan

Pemerintah maupun Undang-undang. Disamping itu, Pemerintah Pusat juga

lamban dalam mengimplementasi peningkatan kesejahteraan untuk rakyat Aceh.

Memang, pada tahun 1965, dibentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Di mana seluruh Indonesia

hanya berlaku satu undang-undang ini mengenai pemerintahan daerah (unifikasi

peraturan daerah). 259 Meskipun, mengakui status Aceh sebagai provinsi/daerah

istimewa, sesuai dengan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956. Sebagai

upaya implementasi keistimewaan Aceh, DPRD-GR Aceh mengesahkan

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pedoman Dasar Majelis

Permusyawaratan Ulama; Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1966 tentang

Larangan Membuat, Memasukan, Memperdagangkan, Menyimpan, dan

Menimbun Minuman Keras (Perda No.6 Tahun 1966); dan Perda Nomor 6 Tahun

1968 tentang Pelaksanaan Unsur-unsur Syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh.

Tetapi, Perda No.6 Tahun 1968 tersebut ditolak oleh Menteri Luar Negeri, Letjen.

Basuki Rahmat. Setelah penolakan tersebut, pelaksanaan syari’at Islam sebagai

257
Saat ini melalui Pasal 1 angka 16 UU No.11 Tahun 2006, Majelis Ulama kembali
berganti nama menjadi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah majelis yang anggotanya
terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan
DPRA.
258
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 467-477.
259
C.S.T. Kansil dan Christine ST. Kansil, 2002, Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 39.

Universitas Sumatera Utara


bagian keistimewaan Aceh tidak lagi dibicarakan. Bahkan, setelah dibentuk

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah, hak keistimewaan Aceh menjadi gugur. 260

3. Pemberontakan Aceh Merdeka/Gerakan Aceh Merdeka

Implikasi permasalahan pemerintahan daerah dan inkonsistensi Pemerintah

Pusat terhadap Aceh, yaitu muncul kembali perlawanan dan pemberontakan baru.

Dilakukan oleh elemen yang bernama Aceh Merdeka (AM), yang berganti nama

menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan pemberontakan ini berbeda

dengan pemberontakan DI/TII, pimpinan Tgk. Daud Beureueh. Pemberontakan

AM/GAM ini dipimpin oleh Hasan Muhammad Ditiro, mantan Duta DI/TII dan

diproklamirkan pada 4 Deseember 1976, pada era Orde Baru, di bawah Presiden

Soeharto. Ditambah lagi, di bagian Timur Indonesia muncul gerakan separatis

Papua Merdeka dan Fretilin, Timor-Timur. 261

Menurut Gibbon, ada perbedaan prinsipil antara pemberontakan Daud

Beureueh dan Hasan Tiro. Pertama, terkait dengan latar belakang pemberontakan,

dan kedua, terkait dengan tujuan pemberontakan. Daud Beureueh lebih banyak

didorong oleh keinginannya memanifestasikan nilai-nilai Islam dalam sistem

pemerintahan Aceh. Berbeda dengan latar belakang pemberontakan Daud

Beureueh, Aspinall dan Crouch, mengatakan, pemberontakan Hasan Muhammad

Ditiro lebih dimotivasi oleh nasionalisme Aceh yang tumbuh sejak era kesultanan

260
Ahmad Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Naanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil
Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, hlm. 6.
261
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 478.

Universitas Sumatera Utara


Aceh melawan penjajahan Belanda dan oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh

rakyat Aceh, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam. 262

Faktor-faktor yang mendorong adanya transformasi dari (nilai-nilai) Islam

(DI) ke nasionalisme, menurut Aspinall, pertama, kecenderungan internasional

yang tidak mendukung gerakan berideologi Islam di satu pihak, dan ada

kebangkitan solidaritas politik Islam, namun tidak mendukung GAM. Di lain

pihak, para elite GAM berpaling ke Barat untuk mendapatkan perhatian

internasioanal, khususnya yang dilakukan oleh Hasan Muhammad Ditiro. Kedua,

faktor sosiologis yang muncul pada latar belakang sosial para elite GAM dari

generasi Darul Islam yang dipimpin oleh ulama ke generasi baru yang tidak

dikenal sebagai ulama, melainkan para sarjana merupakan anak-anak para ulama

(politik) dimasa DI/TII. 263 Di samping itu, alasan pemberontakan AM/GAM

tersebut juga karena antara lain, faktor kebijakan penyelenggaraan pemerintahan

dan penguasaan perekonomian Aceh oleh Pemerintah Pusat secara sentralistik.

Hasan Muhammad Ditiro, sejak pemberontakan DI/TII menetap di Amerika

Serikat, dan berbisnis di bidang perdagangan minyak, ternak dan perkapalan. Pada

tahun 1975, pulang ke Aceh dan bertemu dengan Gubernur Aceh, Muzakir Walad,

di Banda Aceh, menawarkan kemungkinan akan mengelola hutan dan kontrak

dengan Mobil Oil, perusahaan Amerika Serikat pengelola lahan gas alam di Aceh.

Sementara, Soeharto menjalankan kekuasaan sistem sentralistik. Sehingga, Hasan

Tiro berpikir tidak ada gunanya berunding dengan Jakarta. Selanjutnya, mengajak

262
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.30-31.
263
Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Loc., Cit., hlm. 29-30.

Universitas Sumatera Utara


orang-orang Aceh yang sejalan dengan pikirannya melakukan perlawanan,

sehingga pada 4 Desember 1976, diproklamirkan Aceh Merdeka. 264

Sejak diresmikan PT Arun, tahun 1979, PT. Pupuk Association of South

East Asia Nation (ASEAN), PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan PT. Kertas

Kraft Aceh (KKA), perusahaan pulp dan kertas milik Bob Hasan, serta Mobil Oil

Indonesia, Pemerintah Pusat mendapat keuntungan besar. Untuk menekan

pemberontakan AM, tahun 1989-1998 diberlakukan Daerah Operasi Militer

(DOM), terutama di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie. 265

Meskipun berbeda latar belakang dan tujuan pemberontakan antara Daud

Beureueh (DI/TII) dan Hasan Tiro (AM/GAM) tersebut telah berimplikasi buruk

terhadap kehidupan rakyat Aceh yang menimbulkan banyak korban jiwa.

Selanjutnya, pasca penggantian Presiden Soeharto kepada Presiden B.J. Habibie,

tahun 1998 yang ditandai munculnya Orde Reformasi, telah mengubah kebijakan

politik NKRI. Khususnya, pendekatan kebijakan politik (politic approach)

terhadap konflik Aceh. Salah satunya, mencabut status DOM oleh Panglima

Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal Wiranto, pada 7 Agustus 1998 dan

meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM. Bahkan, Presiden

Habibie saat berkunjung ke Aceh, pada Maret 1999 meminta maaf atas apa yang

telah dilakukan oleh aparat keamanan. 266 Namun, pasca pencabutan DOM

264
Hari Kawilarang, 2008, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar
Publishing, Banda Aceh, hlm. 156-157.
265
Olle Tornquist, dkk., 2010, Aceh Peran Demokrasi Bagi perdamaian dan Rekonstruksi,
terjemahan dari Aceh: the Role of Democracy for Peace and Reconstruction, Edisi Kedua, PCD
Press Indonessia, hlm. 86.
266
Darmansjah Djumala, 2013, Op., Cit., hlm.38.

Universitas Sumatera Utara


tersebut, intensitas pemberontakan antara GAM dan Pemerintah bukannya

menurun bahkan dapat dikatakan semakin meluas hampir seluruh wilayah Aceh.

5. Pemberlakuan Keistimewaan dan Kekhususan Aceh

Perubahan pendekatan kebijakan politik (politic approach) pemerintah pusat

terhadap Aceh, oleh Presden BJ. Habibie memberi amnesti kepada sejumlah

tahanan politik yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak

yatim dan janda korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak

mantan anggota GAM untuk menjadi pegawai negeri. Kebijakan selanjutnya,

secara politik hukum (legal policy) pemerintah membentuk UU No.44 Tahun

1999. 267 Undang-undang ini memberikan otonomi dan kewenangan khusus

kepada Aceh di bidang pendidikan, agama, adat, dan peran ulama. Tetapi,

pemerintah tetap tidak memasukan keistimewaan pengelolaan ekonomi daerah. 268

Pembentukan UU No.44 Tahun 1999, sebenarnya bukanlah bentuk legal policy

baru bagi Aceh, melainkan implementasi “janji politik” Pemerintah Pusat kepada

Aceh sejak Orde Lama, masa Presiden Soekarno yang sudah ditetapkan dalam

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor l/Missi/1959 tentang

Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan.

Sebagaimana, dalam Penjelasan UU No.44 Tahun 1999, Paragraf

Kesembilan dan Kesepuluh, disebutkan:

“Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian


masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat mengirimkan satu
misi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang memberikan
267
Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU
No.44 Tahun 1999, LN RI No. 172 Tahun 1999, TLN RI No. 3893.
268
Darmansjah Djumala, 2013, Loc., Cit., hlm. 39.

Universitas Sumatera Utara


status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik
Indonesia Nomor l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan
pendidikan. Sesungguhnya, melalui pemberian status Daerah Istimewa bagi
Propinsi Aceh ini. merupakan jalan menuju penyelesaian masalah Aceh
secara menyeluruh. Namun. karena adanya kecenderungan pemusatan
kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka penyelenggaraan
keistimewaan Aceh tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang
kemungkinan melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aspirasi Daerah.
Isi Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor l/Missi/1959
tentang Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan
pendidikan.

Selanjutnya, meskipun tidak dimasukkan sebagai dasar hukum

pembentukan UU No.44 Tahun 1999, tetapi secara implisit pembentukannya tidak

terlepas dari Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999 tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara Tahun 1999-2004. Sebagaimana, disebutkan dalam Butir ke-2 Bab

IV tentang Arah Kebijakan, berbunyi: “Menata sistem hukum nasional yang

menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan

hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan

hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan

ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Sehingga, berdasarkan Ketetapan MPR tersebut, arah kebijakan politik hukum

nasional telah berubah dari unifikasi hukum 269 kepada pluralisme hukum.

Sebagaimana, dikatakan Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, sejak disahkan

peradilan Islam, Mahkamah Syar’iyah, 270 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

269
Unifikasi hukum adalah upaya membuat suatu aturan hukum yang berlaku untuk
segenap negara dan segenap lapisan/golongan masyarakat untuk bidang-bidang yang
memungkinkan dilakukannya unifikasi.
270
Mahkamah Syar’iyah ini merupakan lembaga peradilan khusus di Aceh, yang sudah
dibentuk sejak diberlakukan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana Pasal 1 angka 7, disebutkan:

Universitas Sumatera Utara


(1) tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik

hukum unifikasi; (2) berbeda dengan politik unifikasi cenderung ditinggalkan,

politik hukum kodifikasi masih tetap dilakukan. 271 Keistimewaan Aceh yang

dimaksud di atas adalah sebagaimana Pasal 3 UU No.44 Tahun 1999, yaitu:

(1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan


kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang
tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral,
dan kemanusiaan.
(2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat;
c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Untuk implementasi penyelenggaraan kehidupan beragama, pemerintah

daerah Aceh diberi kewenangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No.44

Tahun 1999, yaitu:

(1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam


bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam
bermasyarakat.
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dengan tetap
menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

Selanjutnya, Pasal 5 UU No.44 Tahun 1999 menyebutkan:

(1) Daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga

agama yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya

masing-masing.

Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas
dari pengaruh dari pihak mana pun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
berlaku untuk pemeluk agama Islam.
271
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 114.

Universitas Sumatera Utara


(2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan

bagian perangkat Daerah.

Sedangkan, untuk penyelenggaraan kehidupan adat, diatur dalam Pasal 6

UU No.44 Tahun 1999, yaitu: Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan

dalarn upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga

adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Sementara, Pasal

7, yaitu: Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang

sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Propinsi,

Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong.

Kemudian, penyelenggaraan pendidikan, diatur Pasal 8 UU No.44 Tahun

1999, yaitu:

(1) Pendidikan di Daerah diselenggarakan sesuai dengan Sistem


Pendidikan Nasional.
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai
dengan syariat Islam.
(3) Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama
Islam bagi pemeluknya di berbagai jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan.

Sementara, berkaitan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah, diatur

dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No.44 Tahun 1999, yaitu: Daerah

membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama, bersifat

independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah,

termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan

ekonomi yang Islami.

Universitas Sumatera Utara


Tindak lanjut UU No.44 Tahun 1999, Pemerintah Aceh menetapkan empat

Peraturan Daerah (Perda) 272 yaitu: Perda Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Perda Nomor 5 Tahun

2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, Perda Nomor 6 tahun 2000

tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan Perda Nomor 7 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Adat. 273 Meskipun demikian, keberadaan UU No.44 Tahun

1999, tidak mempengaruhi intensitas konflik bahkan semakin meluas. Hal ini

dikarenakan tidak di masukkannya kewenangan di bidang ekonomi yang menjadi

tuntutan utama, sehingga, di masa Habibie tidak menyelesaikan konflik. 274

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pada tahun 2000-2001

menggantikan Habibie, untuk pertama kalinya diterapkannya perundingan antara

Pemerintah Pusat dengan GAM, yang melibatkan pihak internasional difasilitasi

oleh Henry Dunant Center (HDC), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang

bermarkas di Jenewa, Swiss. Perundingan ini pada Mei 2000 menghasilkan Jeda

Kemanusian (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Pada masa

itu, Pemerintah dan DPR-RI sudah menyusun Rancangan UU No.18 Tahun 2001.

Namun, baru disahkan pada masa Presiden Megawati, pada 9 Agustus 2001

menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(UU No.18 Tahun 2001). Cakupan otonomi khusus Aceh dalam undang-undang

272
Semasa diberlakukan UU No.44 Tahun 1999, masih menggunakan nomenklatur
“Peraturan Daerah (Perda)”. Sedangkan, pasca UU No.18 Tahun 2001, nomenklatur Perda diganti
dengan Qanun. Sebagimana Pasal 1 angka 8, disebutkan: Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
273
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Op., Cit., hlm. 98-99.
274
Darmansjah Djumala, 2013, Loc., Cit., hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara


tersebut diatur secara komprehensif. Aceh diberi hak bagian pendapatan minyak

dan gas (migas) sebesar 70% (tujuh puluh persen), pertambangan umum 80%

(delapan puluh persen), penerapan syari’at Islam, pembentukan Mahkamah

Syar’iyah, dan lembaga Tuha Nanggroe dan Wali Nanggroe sebagai wujud

pengakuan pemerintah atas hak adat Aceh. 275

Pengesahan UU No.18 Tahun 2001 tidak mencabut UU No.44 Tahun 1999,

tetapi keduanya berlaku selaras. Sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans

“menimbang”, huruf e, UU 18 Tahun 2001, disebutkan: “bahwa pelaksanaan

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam”. Walaupun demikian, sebagaimana implementasi UU No.44 Tahun

1999, pelaksanaan UU No.18 Tahun 2001 juga sama. Tidak mempengaruhi

intensitas konflik dan tuntutan kemerdekaan Aceh oleh GAM, bahkan undang-

undang tersebut ditolak oleh GAM.

Selanjutnya, Presiden Megawati melanjutkan perundingan dengan GAM, di

fasilitasi HDC menghasilkan kesepakatan COHA (Cessation of Hostilities

Agreement), perjanjian penghentian permusuhan, pada 9 Desember 2002. Namun,

meskipun melahirkan COHA, Pemerintah Pusat dengan GAM masih berbeda

pandangan. Selanjutnya, HDC mengajak kembali kedua belah pihak, pada 17 Mei

2003, berunding lagi di Tokyo, Jepang. Pemerintah Pusat mengajukan 3 (tiga)

syarat, yaitu GAM mengakui NKRI, menerima otonomi khusus, dan meletakkan

275
Ibid

Universitas Sumatera Utara


senjata. Tawaran tersebut ditolak oleh GAM, sehingga Pemerintah membatalkan

perundingan tersebut. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1959 tentang Keadaan Bahaya, diberlakukan Darurat Militer di Aceh, pada 19

Mei 2003, dilanjutkan Darurat Sipil (DS), pada 19 Mei 2004. 276

C. Aceh Pasca MoU Helsinki

1. Kesepakatan Damai

Pasca pemilihan umum tahun 2004, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)

terpilih menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Megawati. Aceh yang masih

berstatus DS, pada 26 Desember 2004 terjadi bencana maha dahsyat gempa dan

tsunami. Sehingga, mengakibatkan ratusan ribu rakyat Aceh menjadi korban.

Implikasi bencana ini telah mengubah paradigma berpikir Pemerintah Pusat dan

GAM. Sehingga, menjadi salah satu faktor dilanjutkannya perundingan damai

antara Pemerintah dengan GAM, yang difasilitasi oleh Crisis Management

Initiative (CMI) salah satu LSM di Finlandia, Helsinki dan diketuai oleh Martti

Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia. Dalam perundingan tersebut menghasilkan

kesepakatan damai antara Pemerintah Pusat dan GAM, dalam bentuk

Memorandum of Understanding (MoU), nota kesepahaman, pada 15 Agustus

2005 di Finlandia, Helsinki, dikenal dengan MoU Helsinki.

Dalam perundingan tersebut Martti Ahtisaari, menggunakan prinsip dan

formula perundingan, tidak ada persetujuan sebelum semuanya disetujui.

Sebagaimana, dikutip oleh Edward Aspinall, ”....President Ahtisaari and the CMI

276
Amrizal J. Prang, 2007, Aceh dari Konflik ke Damai, Bandar Publishing, Banda Aceh,
hlm. 12-13.

Universitas Sumatera Utara


reversed the order and used the formula ”nothing is agreed untill everything is

agreed.”(”....Presiden Ahtisaari dan CMI menggunakan rumus “tidak ada

kesepakatan sampai semuanya disepakati”.). 277 Meskipun, sebelum

penandatangan sempat terjadi pro-kontra di kalangan para politisi terhadap

keberadaan MoU Helsinki. Salah satunya, politisi dari Partai Politik Demokrasi

Perjuangan (PDI-P). Di mana berencana akan melakukan judicial review ke

Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut mereka klausul MoU Helsinki kontradiksi

dengan peraturan perundang-undangan, dikhawatirkan dapat memunculkan

embrio negara federal. Bahkan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Soetardjo Soerjogoeritno, menyebutkan, keputusan rapat pimpinan DPR,

pimpinan fraksi, dan komisi meminta pemerintah menghentikan perundingan

dengan GAM. 278

Menurut Soetardjo, sejak awal DPR tidak setuju pertemuan dengan GAM

dilakukan di luar negeri karena persoalan Aceh masalah dalam negeri. Legislatif

khawatir kasus Aceh akan meng-internasional, bila melibatkan tim regional

pemantauan dari ASEAN dan Uni Eopa dalam proses perdamaian antara RI dan

GAM. Wakil Presiden, Yusuf Kalla meminta DPR agar jangan khawatir Aceh

akan seperti Timor-Timur. Eksistensi tim regional hanya sebagai pemantau

(observer), bukan pengawas dengan senjata atau penjaga keamanan. 279

Selanjutnya, Yusuf Kalla juga menambahkan, bahwa perundingan itu juga

didasarkan pada Ketetapan MPR – maksudnya, Ketetapan MPR Nomor IV Tahun

277
Edward Aspinall, 2005, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in
Aceh, East-West Centre Washington, Washington, DC., hlm. 22.
278
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Proses Pembentukan Undang-undang
Pemerintahan Aceh, Jurnal Hukum Respublica, Volume. 6, Nomor 2 Tahun 2007, hlm. 194.
279
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) – di mana disebutkan

untuk masalah Aceh perlu diselesaikan secara berkeadilan dan bermartabat

dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggar hak asasi

manusia, baik selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) atau

setelahnya. 280 Sementara, menurut Ismail Suny, nota kesepahaman, tidak lebih

dari executive agreement. Kalaupun, kemudian nota kesepahaman tersebut

diabaikan, maka akibat politiknya adalah bantuan tsunami tidak cair. 281 Dalam

penandatangan MoU Helsinki tersebut, Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan

HAM, Hamid Awaluddin, sebagai Ketua Delegasi dan pihak GAM diwakili Malik

Mahmud.

Namun demikian, bagaimanapun sulitnya dan dengan cara apa pun,

semestinya sebuah dialog harus menjadi bagian inti dari sebuah proses

perdamaian. Sebab jika tidak, seperti dalam kata-kata Daisaku Ikeda, ”menolak

dialog yang damai dan memilih kekerasan berarti berkompromi dan menyerah

kepada kelemahan manusiawi, sama dengan mengakui kekalahan spritual

manusiawi”. Bahkan, gagalnya perundingan damai yang dimediasi oleh Henry

Dunant Centre dalam kerangka Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di

Tokyo, 2002, oleh sejumlah pengamat dianggap karena kurangnya suasana

dialogis tersebut, baik di dalam maupun di luar meja perundingan. 282

Dinamika proses perundingan dalam empat putaran tesebut menghasilkan

MoU Helsinki (nota kesepahaman). Sempat muncul beberapa substansi dan istilah

280
Ibid, hlm. 194-195
281
Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.
282
Dikutip dari Farid Husain, 2011, Keeping the Trust for Peace Kisah dan Kiat
Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Rajut Publishing, Jakarta, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara


kontroversi, seperti, tuntutan ”kemerdekaan Aceh (independence)” dan ”self-

government” (pemerintahan sendiri)” dari pihak GAM dan otonomi khusus dari

Pemerintah. Meskipun, pasca kesepakatan terma (istilah) kontroversi tersebut

tidak dimasukan secara eksplisit dalam MoU Helsinki.

Sebagaimana disampaikan Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia, selaku Ketua Perunding mewakili Pemerintah, bahwa dalam

perundingan tersebut pihak GAM sempat mengusulkan terma kontroversi,

kemerdekaan Aceh (independence), namun ditolak oleh Martti Ahtisari, selaku

fasilitator perundingan, yang mengatakan:

”.........Here is clear that this discussion would take place within the
framework of special autonomy and not within the framework of
independence. I am convinced, that you came here after you all read this
invitation and the agenda. Consequently, you must have agreed to and
accepted these terms of reference before coming here......... Don’t try to
bring the independence agenda to this table. You will be just wasting my
time here. If you really desire independence, get up from the table, leave
and don’t ever come back here again. Except, before you go, I wish to
remind you that I will use all the influence I have in Europe and in the
international community so that you never get any international support.
What is for certain your dream and wishes for an independent Aceh will
never be realized. At least not while I am alive and not while you are
alive!.......” (“.....Di sini sudah jelas bahwa diskusi ini akan berlangsung
dalam kerangka otonomi khusus dan tidak dalam kerangka kemerdekaan.
Saya yakin, bahwa Anda datang ke sini setelah Anda semua membaca
undangan dan agenda ini. Konsekuensinya, Anda harus sepakat untuk
menerima istilah-istilah referensi ini sebelum datang ke sini...... Jangan
mencoba membawa agenda kemerdekaan ke meja ini. Anda hanya
membuang waktu saya di sini. Jika Anda benar-benar menginginkan
kemerdekaan, tinggalkan meja perundingan ini, dan jangan pernah kembali
ke sini. Selain itu, sebelum Anda pergi, saya ingin mengingatkan Anda
bahwa saya akan menggunakan semua pengaruh yang saya miliki di Eropa
dan masyarakat Internasional sehingga Anda tidak pernah mendapatkan
dukungan internasional. Apa yang Anda impikan dan inginkan untuk

Universitas Sumatera Utara


kemerdekaan Aceh tidak akan pernah terwujud. Setidaknya, tidak terwujud
ketika saya masih hidup dan tidak juga saat Anda masih hidup! .......”. 283

Disamping, penolakan memasukan terma independence (kemerdekaan)

dalam agenda perundingan, juga kedua terma lainnya, yaitu self-government

(pemerintahan sendiri) dan special autonomy (otonomi khusus), penggunaannya

dihindari dalam MoU Helsinki. Sebagaimana, dikatakan Edward Aspinall, bahwa

”the principles are to be enshirned in the new law, although the agreement

pointedly avoids using the terms ”self-government” and special autonomy.”

(prinsip-prinsip substansi MoU Helsinki tersebut selanjutnya dimasukkan dalam

undang-undang baru, walaupun dalam poin perjanjian tersebut menghindari

penggunaan istilah ”self-governement dan ”special autonomy”). 284

Pernyataan, Aspinall tersebut dapat dilihat bahwa tidak diperdapatkan

secara letterlijk kedua terminologi, self-government dan special autonomy dalam

MoU Helsinki. Bahkan, dalam UU No.11 Tahun 2006 juga tidak dinyatakan

secara eksplisit berkaitan otonomi khusus, kecuali secara implisit berkaitan

dengan pengaturan dana otonomi khusus Aceh dan Pasal 269 ayat (2) UU No.11

Tahun 2006, disebutkan: Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

yang berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi

Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Ide self-government versi GAM itu sendiri menurut Hamid Awaluddin

berasal dari Damein Kingsbury, advisor GAM, akademisi dari Australia.

Meskipun, sejak putaran pertemuan pertama sampai ketiga Kingsbury tidak

283
Hamid Awaluddin, 2009, Peace in Aceh Notes on the Peace Process between the
Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki, Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 73-74.
284
Edward Aspinall, 2005, Op., Cit., hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara


diperbolehkan masuk dalam perundingan. Namun, pada pertemuan putaran

keempat Kingsbury baru diizinkan untuk ikut dalam perundingan dan menjelaskan

perbedaan maksud special autonomy dengan self-government. 285 Menurut

Kingsbury, bahwa GAM menolak terminologi ”otonomi khusus” sebagaimana

tawaran Pemerintah, karena istilah itu disalah artikan oleh pemerintah

sebelumnya. Alternatifnya, GAM mengajukan ”self-government within NKRI”

sebagai jalan keluar. 286

Edward Aspinall, menulis:”This was a shift of historic proportions. It was

the first time that GAM had ever indicated that it was prepared to accept anything

less than independence or referendum. As such, it was widely viewed as a major

breakthrough, and it made all subsequent progress in the talkspossible. (Ini suatu

pergeseran proporsi yang bersejarah. Pertama kalinya bahwa GAM telah

menunjukkan siap menerima sesuatu yang bukan kemerdekaan atau referendum.

Dengan demikian, secara luas dipandang sebagai sebuah terobosan besar, dan itu

membuat semua kemajuan berikutnya mungkin dapat dibicarakan). 287

Sebagaimana, ditanyakan oleh Ahtisaari kepada Kingsbury: ”.....what really

is the difference between special autonomy and self-government?” Menurut

Kingsbury, perbedaaannya adalah: ”Autonomy means genuine autonomy. Self-

governing means the Aceh Government is genuinely done by the Acehnese

themselves. There is no intervention from the central government. All of this will

be done in the framework of genuine democracy". (Otonomi berarti otonomi

285
Hamid Awaluddin, 2009, Op., Cit., hlm. 103.
286
Dikutip dari Mangadar Situmorang, 2008, Memperluas Konstituen Bagi Kelestarian
Perdamaian di Aceh, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Volume 4 Nomor 2, September 2008,
hlm. 163.
287
Edward Aspinal, 2005, Loc., Cit., hlm. 18-19.

Universitas Sumatera Utara


sejati. Pemerintahan sendiri berarti Pemerintah Aceh benar dilakukan oleh orang

Aceh sendiri. Tidak ada intervensi dari Pemerintah Pusat. Semua ini akan

dilakukan dalam rangka demokrasi yang sejati). 288 Oleh karena itu, pasca MoU

Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 meskipun kedua istilah tersebut sering

disebut dalam perundingan baik Pemerintah dan GAM, namun secara eksplisit

tidak diperdapatkan di dalam MoU Helsinki dan dalam UU No.11 Tahun 2006.

Substansi disepakati dalam MoU Helsinki, terdiri dari 9 (sembilan) poin: 289

1) Penyelenggaraan pemerintahan Aceh, dalam bentuk undang-undang

pemerintahan Aceh. Mempunyai kewenangan diseluruh sektor publik

diatur bersama pemerintahan sipil dan pengadilan. Kecuali berkaitan

hubungan politik luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, moneter

dan fiskal, peradilan, dan keagamaan diatur sebagaimana konstitusi.

Diumumkan dan diberlakukan secepat mungkin pada 31 Maret 2006.

Aceh berhak menggunakan simbol daerah, bendera, dan lagu sendiri.

2) Partisipasi politik, bahwa tidak lebih setahun sejak penandatangan

MoU, pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR, sepakat

memfasilitasi pendirian partai politik (parpol) berbasis Aceh dengan

kriteria nasional. Akan mempersiapkan perangkat parpol lokal

tersebut dalam waktu setahun atau selambat-lambatnya 18 (delapan

belas) bulan sejak ditandatangani MoU.

288
Ibid, hlm. 193.
289
Terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi Republik Indonesia dan GAM, teks
Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Universitas Sumatera Utara


3) Aceh berhak menambah pinjaman luar negeri, dengan menentukan

suku bunga diluar penentuan Bank Indonesia. Memperoleh 70%

(tujuh puluh persen) dari penghasilan hydrocarbon (migas) dan

sumber daya alam lainnya.

4) Aturan hukum, adanya sistem pengadilan independen di Aceh dalam

sistem peradilan Indonesia. Penunjukan Kepala Kepolisian organik

dan Kejaksaan berdasarkan persetujuan Kepala Administrasi Aceh

(gubernur). Perekrutan dan pelatihan kepolisian organik dan jaksa

harus dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Admnistrasi Aceh.

5) Hak Asasi Manusia, akan dibentuk pengadilan HAM untuk Aceh.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi Aceh ditetapkan

Komisi Indonesia bertugas merumuskan dan menetukan rekonsliasi.

6) Amnesti dan reintegrasi, sesuai konstitusi pemerintah memberikan

amnesti dan pembebasaan tanpa syarat kepada tapol mantan anggota

GAM tidak lebih dari 15 (lima belas) hari setelah penandatangan

MoU. Hak partisipasi politik, sosial, dan ekonomi, baik di Aceh

maupun nasional. Pemerintah dan penguasa di Aceh akan membantu

proses reintegrasi mantan anggota GAM kedalam masyarakat,

mencakup fasilitas ekonomi.

7) Pengaturan keamanan, penyerahan seluruh persenjataan, amunisi, dan

bahan peledak GAM dibantu Aceh Monitoring Mission (AMM).

Diiringi penarikan militer dan polisi non-organik sejak 15 September

Universitas Sumatera Utara


2005, dalam empat tahap dan berakhir pada 31 Desember 2005

dibawah pemantauan AMM.

8) Pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM) oleh negara-negara

Uni Eropa dibantu ASEAN. Di mana mendapat mandat penuh dari

pihak RI-GAM, untuk memantau jalannya kesepakatan damai. AMM

memiliki kewenangan bebas di Aceh untuk tugas-tugas sebagaimana

MoU. RI-GAM tidak berhak mem-veto aksi atau pengawasan yang

dijalankan AMM.

9) Penyelesaian perselisihan, dalam pencapaian perdamaian akan

diselesaikan Ketua AMM. Dengan melakukan dialog dari kedua belah

pihak guna mencari solusi, yang mengikat kedua belah pihak. Jika

tidak berhasil maka, AMM akan membawa persoalan tersebut kepada

perwakilan senior kedua belah pihak. Kemudian Ketua AMM akan

membuat ketentuan baru yang mengikat kedua belah pihak.

Oleh karenanya, sebelum mengkaji dan memahami hakikat (ontology) dasar

kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, maka perlu dibahas substansi MoU Helsinki, khususnya berkaitan poin 1

(satu) tentang penyelenggaaan Pemerintahan Aceh. Dalam sub-poin 1.1.1

disebutkan: ”Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di

Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-

lambatnya tanggal 31 Maret 2006.” Sementara, poin 1.1.2, disebutkan:

The new Law on the Governing of Aceh will be based on the following
principles:

Universitas Sumatera Utara


a) Aceh will exercise authority within all sectors of public affairs, which
will be administered in conjunction with its civil and judicial
administration, except in the fields of foreign affairs, external defence,
national security, monetary and fiscal matters, justice and freedom of
religion, the policies of which belong to the Government of the Republic
of Indonesia in conformity with the Constitution.
b) International agreements entered into by the Government of Indonesia
which relate to matters of special interest to Aceh will be entered into in
consultation with and with the consent of the legislature of Aceh.
c) Decisions with regard to Aceh by the legislature of the Republic of
Indonesia will be taken in consultation with and with the consent of the
legislature of Aceh.
d) Administrative measures undertaken by the Government of Indonesia
with regard to Aceh will be implemented in consultation with and with
the consent of the head of the Aceh administration.
Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang
akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan,
kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan
kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah
Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan
berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah
Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi
dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh

legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang. (poin 1.1.3).

Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. (poin 1.1.4). Aceh

memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera,

lambang dan himne. (poin 1.1.5). Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh

dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta

Universitas Sumatera Utara


mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh. (1.1.6). Lembaga Wali Nanggroe

akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. (1.1.7).

Sementara, dalam bentuk partisipasi politik, berisi antara lain: Tidak lebih

dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI

menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang

berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat

Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun,

atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan

menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di

Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota

Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud

tersebut. (poin 1.2.1).

Sedangkan, dalam konteks ekonomi disebutkan: Aceh berhak memperoleh

dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku

bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia

(Bank Indonesia). (poin 1.3.1). Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak

daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak

melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik

investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh. (poin 1.3.2). Aceh akan

memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di

sekitar Aceh. (poin 1.3.3).

Selanjutnya, Aceh berhak menguasai 70% (tujuh puluh persen) hasil dari

semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan

Universitas Sumatera Utara


di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

(poin1.3.4). Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan

laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. (1.3.5). Aceh akan menikmati

perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan

pajak, tarif ataupun hambatan lainnya. (poin 1.3.6). Aceh akan menikmati akses

langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

(poin1.3.7). Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam

pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh

dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan

menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh. (poin 1.3.8).

Dalam konteks peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk untuk

Aceh, disepakati antara lain: Pemisahan kekuasaan antara badan legislatif,

eksekutif dan yudikatif. (poin 1.4.1). Legislatif Aceh akan merumuskan kembali

ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi

manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan

Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on

Civil and Political Right) dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) (poin 1.4.2).

Sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan

tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia. (poin

1.4.4). Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus

mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan

pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan

Universitas Sumatera Utara


berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai standar

nasional yang berlaku. (poin 1.4.4). terakhir, semua kejahatan sipil yang dilakukan

aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. (poin 1.4.5).

Pasca penandatanganan MoU Helsinki, memunculkan kritikan terhadap

substansi MoU, seperti, ”persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan

oleh Pemerintah terkait dengan kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan

konsultasi dan persetujan legislatif Aceh” (1.1.2.b). Kemudian, ”Aceh memiliki

hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan

himne” (1.1.5). Menurut mantan juru runding Pemerintah dan GAM di Jenewa,

Swiss, Wiryono Sastrohandoyo, ”Apabila DPR melakukan persetujuan

internasional atau keputusan terkait dengan Aceh, harus berdasarkan konsultasi

dan persetujuan legislatif Aceh, berarti DPR berada di bawah DPRD Aceh”. 290

Demikian juga, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar berpendapat, keharusan

DPR meminta persetujuan legislatif Aceh tak mungkin diimplementasikan.

Selama ini yang terjadi, DPR menyerap aspirasi bukan meminta persetujuan. 291

Selain itu, klausul pembentukan partai politik lokal (1.2.1). Penetapan suku

bunga hutang luar negeri berbeda dengan penetapan Bank Indonesia (1.3.1).

Penguasaan 70% (tujuh puluh persen) hasil hidrokarbon (migas) dan sumber daya

lainnya. (1.3.4). Pengangkatan Kepala Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi Aceh

harus atas persetujan Kepala Pemerintahan Aceh (1.4.4). Pembentukan

pengadilan HAM (2.2), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (2.3). Alokasi

tanah pertanian, pekerjaan kepada mantan anggota GAM (3.2.5.a,b). Pasukan


290
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Op., Cit., hlm. 195
291
Anon, 2005, Nota Kesepahaman, Istilah “Pemerintahan di Aceh” Timbulkan Tanda
Tanya, Kompas, 19 Agustus 2005.

Universitas Sumatera Utara


GAM menjadi polisi dan tentara organik (3.2.7). Istilah Kepala Pemerintahan

Aceh bukan Gubernur dan tidak adanya penyebutan UUD RI 1945. Pergerakan

tanpa batas Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Pemerintah RI-GAM tidak

memiliki hak veto terhadap kegiatan AMM (5.7).

Bahkan muncul juga reaksi dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai

aktor paling penting dalam penangan konflik Aceh. Kepala Badan Intelejen

Negara (BIN), Syamsir Siregar, mengatakan MoU Helsinki adalah ”sasaran antara

GAM untuk mencapai kemerdekaan”. Ada dua alasan TNI bersikap keras

terhadap proses perdamaian ini. Pertama, pengalaman pahit kekalahan di Timor

Leste. Langkah BJ. Habibie menyetujui tuntuan referendum dianggap kesalahan

besar, begitu juga dengan perundingan damai Aceh. Kedua, terkait dengan politik

TNI itu sendiri. Sejak awal kemerdekaan adalah aktor politik yang turut

menentukan sejarah. Dapat dilihat ketika TNI bersikeras mempertahankan

pasukan di Aceh sementara perundingan damai di Helsinki menghendaki lain. 292

Demikian juga, muncul penolakan terhadap MoU Helsinki dari kalangan

perwira tinggi purnawirawan TNI-Polri. Saat itu menggalang kekuatan bersama

dengan kalangan politisi DPR dan sebagian elemen masyarakat. Sebagaimana,

dikatakan mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS), Ian Santoso

Perdanakusumah, bahwa dikhawatirkan pasca nota kesepahaman ini Aceh akan

merdeka pada akhir tahun 2006. Bahkan, Menteri Pertahanan dan Keamanan

292
Tim Salemba Tengah, 2007, Mengawal Demokrasi Pengalaman Jaringan Demokrasi
Aceh dan RUUPA, Yappika, Jakarta, hlm. 84-85.

Universitas Sumatera Utara


(Menhankam), Juwono Sudarsono, mengaku masih curiga dengan proses

perdamaian yang berlangsung di Aceh. 293

Sedangkan, Gubernur Lemhanas, Muladi, dengan perspektif yang berbeda

mengatakan semua pihak harusnya menaati MoU Helsinki karena jika melanggar,

maka tidak akan mendapat dukungan internasional. Walaupun MoU Helsinki

tersebut tidak mengikat secara hukum, setiap pelanggaran akan berakibat

hilangnya dukungan dari komunitas internasional, bagaimanapun ia juga

menambahkan bahwa ”kita juga punya rambu-rambu negara kesatuan RI. 294

Kekhawatiran terhadap keberadaan MoU Helsinki saat itu, memunculkan

kegelisahan dikalangan masyarakat dan beberapa tokoh Aceh, antara lain, Mirwan

Amir, salah seorang anggota DPR berasal dari Aceh, mengatakan: ”saya tetap

mendukung langkah pemerintah yang melakukan perundingan Helsinki dan tak

boleh berhenti”. Selanjutnya, Ghazali Abas Adan, mantan anggota DPR/MPR,

mengatakan: ”apakah mereka maunya perang terus, yang menderitakan rakyat

Aceh.” Sementara, Nasir Djamil, yang juga anggota DPR mengatakan: ”suara-

suara dari DPR yang menghendaki agar perundingan dihentikan karena mereka

sesungguhnya tidak mengetahui konflik Aceh.” 295

Meskipun terjadi perbedaan persepsi, untuk menjaga perdamaian Aceh

pasca konflik, pemerintah tidak akan berspekulasi dan mengabaikan kesepakatan

tersebut. Di samping, kemungkinan akan dihentikan bantuan tsunami, dan

dukungan internasioanl, juga akan berdampak konflik kembali. Hal ini dibuktikan,

menindaklanjuti poin 1 (satu) MoU Helsinki, DPR dan Presiden menyusun


293
Ibid, hlm. 87.
294
Ibid, hlm. 89-90.
295
Amrizal J. Prang, 2007, Op., Cit., hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, berdasarkan masukan dari Aceh.

Di mana pada 1 Agustus 2006 disahkan oleh Presiden SBY menjadi UU No.11

Tahun 2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Pengesahan undang-undang ini

selain tidak sesuai dengan jadwal dalam MoU Helsinki, yaitu pada 31 Maret 2006

juga sebagian substansi MoU Helsinki tidak diadopsi dan mengalami perubahan.

Sebagian substansinya juga diadopsi dari UU No.44 Tahun 1999, UU No.18

Tahun 2001, dan UU No.32 Tahun 2004.

Pembentukan UU No.11 Tahun 2006 ini, ternyata dalam konsideran

”Mengingat”, tidak disebutkan secara eksplisit keberadaan MoU Helsinki, kecuali

secara implisit disebutkan menjadi bagian pembentukan UU No.11 Tahun 2006,

yaitu:

a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia


menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
Undang;
b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh
merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
c. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat,
keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi
manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;
e. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Universitas Sumatera Utara


Meskipun secara realitas bahwa pembentukan dan sebagian substansi UU

No.11 Tahun 2006 adalah mengacu MoU Helsinki dan penyebutannya secara

implisit, sehingga keberadaan dan pembentukannya dapat dilihat dari perspektif:

1. Bahwa pembentukannya karena NKRI sebagaimana konstitusi mengakui

adanya daerah khusus atau istimewa;

2. Bahwa adanya pengakuan kekhususan atau keistimewaan Aceh dalam

NKRI karena sejarah perjuangan yang bersumberkan syari’at Islam

sehingga menjadi daerah modal NKRI;

3. Bahwa sebelumnya penyelenggaraan pemerintahan belum terwujudnya

kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan

perlindungan hak asasi manusia

4. Bahwa adanya bencana gempa dan tsunami serta perdamaian Aceh.

Secara eksplisit keberadaan MoU Helsinki disebutkan dalam Penjelasan UU

No.11 Tahun 2006, Pragraf Kedelapan dan Kesembilan, yaitu:

Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran
yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta
bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal demikian adalah sebuah kemutlakan. Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan
kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya
menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal
yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik di Aceh secara berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara


2. Proses Pembentukan UU No. 11 Tahun 2006

Pasca MoU Helsinki selanjutnya Pemerintah Pusat menyusun dan

membentuk undang-undang tentang Pemerintahan Aceh. Agar proses

pembentukan undang-undangnya dapat diterima semua pihak dan partisipatif,

maka pada September 2005 Pemerintah Pusat meminta Pemerintah Nanggroe

Aceh Darussalam (NAD) menyusun draft awal undang-undang pemerintahan

Aceh. Selanjutnya, Pemerintah NAD mendelegasikan kepada tiga Perguruan

Tinggi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) –

sekarang Universitas Islam Negeri – Ar-Ranniry, Banda Aceh dan Universitas

Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, ditambah tim ahli Pemerintah Aceh.

Institusi inilah yang menyusun draft awal RUU Pemerintahan Aceh. 296

Apalagi dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebelum digantikan dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan

Perundang-undangan, disebutkan: “Masyarakat berhak memberikan masukan

secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Proses penyusunan draf awal

ini dilakukan melibatkan sebagian besar komponen masyarakat Aceh (akademisi,

ulama, ormas, LSM/NGO, masyarakat sipil, dan GAM). Terakhir, keempat draf

tersebut diseminarkan oleh Pemerintah Aceh, di Banda Aceh menghasilkan satu

draf versi Pemerintah Aceh. 297

296
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 197.
297
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian Pemerintah Aceh merumuskan menjadi satu draf yang diserahkan

oleh Pelaksana tugas (Plt.) Gubernur NAD, Azwar Abubakar kepada Ketua

DPRD NAD, pada 19 Oktober 2005. Menurut Ketua Tim Penyusun, Prof. Dr.

Abdullah Ali, penyusunan draf tersebut berpedoman pada MoU Helsinki, UU

No.44 Tahun 1999, UU No.37 Tahun 2000 tentang Perdagangan dan Pelabuhan

Bebas Sabang, dan UU No.18 Tahun 2001, serta UU pendukung lainnya. 298

Meskipun draf undang-undang tersebut dianggap relatif aspiratif dan partisipatif,

namun masih belum maksimal. Sehingga DPRD Aceh, kembali melakukan

penjaringan aspirasi keseluruh daerah kabupaten/kota. Setelah itu draf tersebut

dikombinasikan dengan draf versi Pemerintah Aceh dan dibahas di DPRD Aceh.

Sehingga menghasilkan satu draf RUU yang dianggap mewakili rakyat Aceh.

Draf ini diserahkan kepada Pemerintah melalui Departemen Dalam

Negeri/Kementerian Dalam Negeri. 299

Sebelum diserahkan ke Pemerintah, draf tersebut kembali dikritik oleh

komponen ulama yang mengingatkan agar RUU tersebut jangan melanggar

agama. Dalam penyelenggaraan Musyawarah Ulama Aceh, yang diadakan di

Lhokseumawe, 14-15 November 2005 dihadiri dan dipimpin oleh Ketua

Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk H. Ibrahim Bardan. Kemudian

Ketua Umum Ishafuddin, Drs Tgk Ismail Yakob, dan Ketua MPU NAD, Dr Tgk

Muslim Ibrahim MA, serta dihadiri sekitar 50 ulama lainnya. 300

Menghasilkan beberapa rekomendasi dan diserahkan kepada pansus RUU-

Pemerintahan Aceh, DPRD Aceh. Pertama, pengelolaan dan penguasaan penuh


298
Farid Husain, 2011, Op., Cit., hlm. 150.
299
Ibid.
300
Ibid, hlm. 198.

Universitas Sumatera Utara


hasil sumber daya alam di darat, laut, dan teritorial perairan. Kedua, jaminan

pelaksanaan syariat Islam. Ketiga, peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

sebagai mitra pemerintah daerah dan DPRD. Keempat, zakat dan perjalanan haji

dikelola Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kelima, perlindungan dan

pemeliharaan benda-benda bersejarah yang memiliki nilai budaya. Keenam,

kepada teungku imeum 301 dan tuha peuet gampong, 302 perlu diberi kewenangan

menyelesaikan sengketa perdata dan pidana, yang terjadi dalam gampong (desa)

sesuai adat istiadat Aceh. Ketujuh, keputusan Mahkamah Syar’iyah harus

mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap peradilan syari’at Islam. 303

Sementara, di tingkat pusat, Pemerintah melalui Departemen Dalam

Negeri (Depdagri), juga menyusun draf RUU-Pemerintahan Aceh. Menurut

penjelasan Tursandi Alwi, Kabalitbang Depdagri, Rancangan UU No.11 Tahun

2006 versi Depdagri ini sudah melalui pembahasan yang melibatkan enam pakar.

Draf ini akan disandingkan dan disingkronkan dengan draf RUU yang disusun

oleh DPRD Aceh. 304 Dalam pembahasan RUU-Pemerintahan Aceh di tingkat

Pemerintah, draf yang diusul dari DPRD Aceh mengalami perubahan.

Sebagaimana disampaikan tokoh GAM, Teuku Kamaruzzaman, Pemerintah Pusat

mengahapus 37 pasal dalam draf usulan Pemerintah/DPRD Aceh. Diantaranya,

pasal pengaturan calon independen dan kewenangan pengelolaan sumber daya

alam. Implikasinya, sekitar 100 aktivis mahasiswa yang menamakan Aliansi

301
Teungku Imeuem (Imeum Meunasah) adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan
masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan
syari’at Islam.
302
Tuha Peut Gampong adalah unsur pemerintahan gampong (desa) yang berfungsi sebagai
badan permusyawaratan gampong.
303
Farid Husain, 2011, Op., Cit., hlm. 198.
304
Ibid, hlm. 151.

Universitas Sumatera Utara


Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Aceh, berunjuk rasa

menolak penghapusan pasal tersebut. 305

Setelah pembahasan di tingkat eksekutif selesai, pada 26 Januari 2006, DPR

menerima draf RUU-Pemerintahan Aceh dari Pemerintah. Menteri Sekretaris

Negara (Mensetneg), Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Dalam Negeri

(Mendagri), Mohd. Ma’ruf, mewakili Pemerintah membahas RUU tersebut

dengan DPR. RUU- Pemerintahan Aceh yang disampaikan pemerintah terdiri atas

206 pasal dan 40 bab. Sebelumnya, pada awal Desember 2005, DPRD Aceh

mengirim draf usulan kepada pemerintah terdiri atas 209 pasal dan 38 bab. 306

Setelah diterima DPR, dibentuk Panitia Khusus (Pansus) pembahasan RUU-

Pemerintahan Aceh, sebagai Ketua, Fery Mursyidan Baldan, dari fraksi Golkar. 307

Sejak perubahan UUD RI 1945, kekuasaan membentuk undang-undang

telah berganti dari Presiden menjadi kewenangan DPR. Sebagaimana Pasal 20

ayat (1), disebutkan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang.” Sehingga, undang-undang yang merupakan produk

legislatif (legislative acts), yang dalam bahasa Belanda disebut wet, merupakan

produk peraturan yang melibatkan peran lembaga wakil rakyat baik sebagai

legislator ataupun co-legislator. Dalam sistem hukum Indonesia, pada tingkat

nasional yang dapat disebut sebagai legislator utama adalah DPR. Sementara

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang diatur Pasal 22D UUD RI 1945, disebut

305
Anon, 2006, Kontroversi Calon Independen di Aceh, Kompas, 2 Februari 2006 .
306
Anon, 2006, RUU Aceh Dijepit Waktu, Kompas, 28 Januari 2006.
307
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 200.

Universitas Sumatera Utara


co-legislator, karena keberadaan lembaga tersebut hanya menunjang sebagai

auxiliary organ terhadap fungsi legislatif, begitu juga dengan Pemerintah. 308

Oleh karenanya, secara eksplisit dari perubahan tersebut prinsip pemisahan

kekuasaan (separation of power) jelas mulai dianut oleh para perumus perubahan

UUD RI 1945, seperti tercermin dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20. Sebelumnya,

UUD RI 1945 menganut paham pembagian kekuasaan (distribution of power)

bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan

rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang ditafsirkan sebagai

lembaga tertinggi negara. Kemudian fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai

tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi di bawahnya, yaitu, Presiden, DPR,

MA, dan seterusnya. 309 Disinilah fungsi DPR begitu penting dalam pembentukan

suatu undang-undang tidak terkecuali pembahasan RUU- Pemerintahan Aceh.

Dalam pembahasan di tingkat DPR pada Rapat Pansus RUU Pemerintahan

Aceh, Jum'at, 24 Februari 2006, Pemerintah diwakili Mendagri, Mohd. Ma’ruf

dan Mensetneg, sesuai Surat Presiden Nomor R.10/Pres/1/2006, tanggal 26

Januari 2006 perihal Penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang

Pemerintahan Aceh menyampaikan, pokok-pokok penjelasan meliputi: Latar

Belakang Penyusunan RUU, Konsep Otonomi bagi Aceh, Proses dan Prinsip

penyusunan RUU; Judul; dan Materi Pokok Rancangan Undang-Undang. 310

308
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampone,
Jakarta, hlm. 28.
309
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, hlm. 11.
310
Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus RUU tentang Pemerintahan Aceh,
Jum'at, 24 Februari 2006,

Universitas Sumatera Utara


Mengenai latar belakang penyusunan RUU, dalam landasan yuridis, historis

dan sosiologis penyusunannya, Mendagri mengatakan, antara lain:

1. bahwa UUD 1945 menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya,


serta adanya pengakuan dan penghormatan terhadap satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh melalui UU No.
44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001.
2. bahwa sejalan dengan TAP MPR Nomor VI Tahun 2002, yang
mengamanatkan agar penyelesaian Aceh dilakukan secara damai melalui
dialog, sampai dengan Lahirnya nota kesepahaman (MoU) di Helsinki
pada tanggal 15 Agustus 2005.
3. memperhatikan realitas kondisi Aceh pasca bencana alam/tsunami yang
menelan kerugian jiwa dan harta benda serta menimbulkan instabilitas di
Aceh.
4. bahwa penyusunan RUU sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun
2001, tetap mengacu kepada sistim dan prinsip NKRI dan konstitusi RI
(UUD 1945). 311

Sementara, mengenai konsep otonomi yaitu:

1. Otonomi yang seluas-Iuasnya yang bersifat istimewa dan diberikan


kewenangan-kewenangan khusus di bidang politik, ekonomi dan sosial
budaya, sehingga pemerintahan daerah dapat terselenggara secara
demokratis dan dikelola sesuai dengan prinsip good governance.
Disamping itu, diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan SDA di Aceh
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
Aceh.
2. Disamping itu masyarakat Aceh akan memiliki peran serta untuk ikut
merumuskan, menetapkan, melaksanakan serta melakukan evaluasi
terhadap kebijakan pemerintahan daerah Aceh.
3. Sedangkan Pemerintah akan berperan dalam melaksanakan Binwas
terhadap penyelenggaraan otonomi, dan dapat melimpahkan sebagian
urusan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau menugaskan
sebagian urusan kepada Pemerintah Prov/Kab/Kota/Desa. 312

Selanjutnya, mengenai Proses dan Prinsip penyusunan RUU, yaitu:

Pemerintah dalam merumuskan RUU dimaksud berpegang pada prinsip-


prinsip: pertama, landasan filosofis, yaitu tetap dalam koridor sistem dan
311
Ibid.
312
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan kedua, landasan normatif,
yaitu: (1) kesesuaian substansi RUU dengan UUD Tahun 1945, (2)
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dan UU terkait lainnya yang berlaku nasional, (3)
kesesuaian dengan UU tentang keistimewaan dan otonomi khusus bagi
Aceh, (4) mempertimbangkan kepentingan khusus Aceh dan memperhatikan
butir-butir MoU, dengan melihat dampaknya bagi kepentingan daerah lain,
nasional dan internasional. 313
Sedangkan, mengenai Judul Rancangan Undang-Undang mengakomodasi

judul dalam draf RUU usulan DPRD Provinsi NAD, yaitu RUU tentang

Pemerintahan Aceh. Di mana Mendagri, dalam penetapan judul antara lain, terkait

dengan latar belakang psikologis, yaitu bahwa dengan mengakomodasi aspirasi

masyarakat Aceh melalui DPRD Provinsi NAD, adalah dalam rangka membangun

keyakinan dan kepercayaan untuk menyelesaikan masalah Aceh secara damai,

demokratis, dan bermartabat. 314

Dalam konteks materi pokok RUU, dalam penjelasannya Mendagri

menyampaikan bahwa kewenangan Pemerintah, Pemerintah Aceh dan

kabupaten/kota, rencana persetujuan internasional, rencana Keputusan DPR dan

kebijakan administratif, kerjasama dan partisipasi dengan lembaga/badan Luar

Negeri/Internasional, yang dimasukan dalam Bab IV RUU, yaitu:

1. Pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah pada prinsipnya


disesuaikan dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 10 UU No.32
Tahun 2004, dan Keistimewaan Aceh sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 32 UU No.44 Tahun 1999.
2. Pengaturan mengenai persetujuan internasional pada prinsipnya
disesuaikan dengan muatan Pasal 42 huruf f UU No.32 Tahun 2004 dan
Pasal 5 UU No.18 Tahun 2001.
3. Sedangkan, keputusan DPR-RI dimaksud, masih dalam bentuk rencana
dan terbatas hanya yang menyangkut kepentingan khusus Aceh, seperti
dalam pemerintahan daerah sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (2)
dan (3) UU No. 32 Tahun 2004.

313
Ibid.
314
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


4. Pengaturan mengenai kerjasama dengan pihak luar negeri pada
prinsipnya disesuaikan dengan pengaturan yang dimuat dalam Pasal 42
ayat (1) huruf g UU No. 32 Tahun 2004. 315

Dalam pembahasan RUU Pemerintahan Aceh di DPR beberapa kali terjadi

penundaan sidang. Pansus mengundang para pakar hukum dan politik, seperti,

Prof. Ismail Suny dari Universitas Indonesia, Prof. Sri Soemantri dari Universitas

Padjajaran, Prof. Ichlasul Amal dari Universitas Gajah Mada, dan Dr. Satya

Arinanto dari Universitas Indonesia. Para pakar tersebut mengkritik beberapa

materi RUU- Pemerintahan Aceh diantaranya, Sri Soemantri, menyebutkan ada

kejanggalan dalam konsep NKRI, ada ketentuan bahwa keputusan pemerintah dan

DPR yang terkait dengan kepentingan khusus Aceh harus dilakukan dengan

konsultasi persetujuan DPRD Aceh. Sedangkan Ismail Sunny, mengkritik isi

konsiderans yang memasukkan MoU. Menurutnya, MoU, nota kesepahaman,

tidak lebih dari executive agreement. 316

Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU- Pemerintahan Aceh, dari 10

fraksi di DPR menyelesaikan pembahasan DIM, mencapai 1.446 dan terdiri atas

empat jilid dengan tebal total 716 halaman. Ketua Pansus, Ferry Mursyidan

Baldan, mengakui DIM Pemerintahan Aceh (DIM PA) terhitung paling banyak

dibandingkan dengan bidang politik lainnya. Bahkan melebihi RUU mengenai

pemilihan umum yang dibahas tahun 2002 memuat 965 DIM. Sejumlah isu kritis

termuat dalam DIM Pemerintahan Aceh, seperti kewenangan pemerintah, dan

pemerintah Aceh, partai lokal, dan calon perseorangan (independen),

315
Ibid.
316
Anon, 2006, Ada Materi RUU-PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.

Universitas Sumatera Utara


perekonomian, dan dana tambahan, serta bagi hasil, juga penerapan syari’at Islam

dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah. 317 Dari total 1.446 DIM, sebanyak 1.079

menyangkut soal substansi, yaitu 989 DIM soal usulan perubahan substansi, 90

mengenai usulan substansi baru. Selebihnya, yaitu 95 DIM tetap sesuai dengan

rumusan RUU yang diajukan pemerintah, 67 DIM berisi usul perubahan

redaksional, dan 205 DIM menyangkut penyesuaian pasal. 318

Pembahasan RUU- Pemerintahan Aceh yang dilakukan pada masa reses

anggota Pansus DPR, sempat mendapat kritikan dari masyarakat. Akibat anggota

Pansus RUU- Pemerintahan Aceh menerima bantuan uang untuk memperlancar

tugas dan mengurangi beban mengunjungi konstituen di daerah pemilihan. Setiap

anggota pansus mendapat bantuan uang masing-masing Rp 5 juta (lima juta

rupiah). Sehingga, menimbulkan kontroversi dikalangan wakil rakyat tersebut,

karena dianggap melanggar kode etik DPR. 319

Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Badan Kehormatan DPR, Slamet

Effedi Yusuf (Fraksi Golkar), dikabarkan bahwa uang tersebut sudah

dikembalikan. Sebelumnya, sempat diingatkan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), melalui Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki, soal ketentuan

larangan menerima gratifikasi bagi penyelenggara negara. Dengan mengirim surat

kepada pimpinan DPR, bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 12B UU No.20/2001,

bahwa pemberian uang, diskon, rabat, ataupun pembiayaan perjalanan merupakan

gratifikasi. Namun, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baaldan (Fraksi Golkar, Jawa

Barat II) menegaskan, amplop tersebut sudah dijelaskan dalam rapat internal
317
Anon, 2006, Tebal DIM RUU-PA 716 Halaman, Kompas, 28 Maret 2006.
318
Anon, 2006, 1.079 DIM RUU-PA Soal Substansi, Kompas, 8 April 2006.
319
Anon, 2006, Amplop untuk Anggota DPR Langgar Kode Etik, Kompas, 19 April 2006.

Universitas Sumatera Utara


Pansus. Sumber dana bantuan dan peruntukannya jelas. Ferry juga menjamin tidak

ada duplikasi penganggaran. Bantuan tersebut dianggap sebagai hak anggota. 320

Selanjutnya, dalam rapat kerja sejak 11 April 2006, pansus RUU-

Pemerintahan Aceh bersama Pemerintah pada Kamis, 18 Mei 2006

merampungkan pembahasan DIM. Materi yang alot diperdebatkan adalah tentang

qanun, terutama soal kedudukan, pengawasan, ketentuan hukum, dan

penegakannya. Anggota pansus Benny K. Harman mengemukakan problem

kontradiksi dalam implementasi ketika pengujian qanun oleh Mahkamah Agung.

Jika RUU-Pemerintahan Aceh bisa memberikan kekhususan kepada qanun,

konsekuensinya semua aturan perundangan-undangan bisa dikecualikan oleh

qanun. Dengan itu, pengujian qanun adalah soal bertentangan atau tidaknya

dengan konstitusi dan kewenangan pengujian semestinya pada Mahkamah

Konstitusi. Sedangkan, Farhan Hamid, berpendapat bahwa qanun merupakan

salah satu kekhususan Aceh, sebagaimana pernah ada dalam UU No.18 Tahun

2001. Dinyatakan bahwa mengikuti asas lex specialis derogat legi generalis, dan

pengujian diajukan kepada Mahkamah Agung. 321

Di luar Pansus, proses pemyusunan RUU- Pemerintahan Aceh juga dikritik

oleh elemen GAM, yang menilai hasil pembahasan telah melenceng dari MoU

Helsinki serta aspirasi rakyat Aceh. Menurut Teuku Kamaruzzaman dan Faisal

Putra, perwakilan GAM, menyatakan RUU harus sesuai dengan MoU secara

mutlak. Ada 10 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Judul, Pemerintahan

Aceh, 2) Ketegasan soal kewenangan pemerintah Aceh tanpa distorsi, 3)

320
Ibid.
321
Amrizal J. Prang dan Nanda Amalia, 2007, Loc., Cit., hlm. 202.

Universitas Sumatera Utara


Persetujuan DPRD Aceh bagi pengambilan kebijakan mengenai Aceh, 4)

Kewenangan pengelolaan minyak dan gas, 5) Pemisahan kekuasaan eksekutif dan

legislatif, 6) Partai politik lokal yang mandiri, 7) Kewenangan pemerintah Aceh

melakukan pinjaman luar negeri, 8) Pengadilan HAM di Aceh wajib dibentuk

dalam batas setahun setelah pengesahan undang-undang, 9) Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi wajib dibentuk dalam batas setahun sejak pengesahan undang-

undang, dan 10) Peradilan sipil bagi militer yang melakukan kejahatan sipil. 322

Walaupun demikian, RUU-Pemerintahan Aceh akhirnya disetujui bersama

antara DPR dan Presiden, pada 11 Juli 2006. Selanjutnya, 1 Agustus 2006

disahkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi UU No.11 Tahun

2006, terdiri dari 40 bab dan 273 pasal dan dimasukan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lebaran Negara

Nomor 4633. Pada dasarnya proses pembentukan RUU-Pemerintahan Aceh tidak

berbeda dengan undang-undang lainnya. Namun, yang berbeda proses

pembentukannya. Di mana sebelum dibahas oleh DPR dan Presiden,

penyusunannya melibatkan sebagian besar komponen di Aceh.

Pasca menjadi UU No.11 Tahun 2006 kembali muncul kritikan dari pihak

GAM, seperti Zaini Abdullah (salah seorang perunding dari GAM dan Gubernur

Aceh, periode 2012-2017) mengatakan, banyak yang diatur oleh UU No.11 Tahun

2006 tidak sejalan dengan MoU Helsinki. Menjawab pertanyaan tersebut, Ferry

Mursyidan Baldan, mengatakan, bahwa sebelum semua pihak melakukan evaluasi

terhadap UU No.11 Tahun 2006, semestinya diimplementasikan terlebih dahulu.

322
Anon, 2006, RUU-PA Terancam, Kompas, 16 Juni 2006.

Universitas Sumatera Utara


Alangkah absurd-nya jika berbagai kritik sudah dilontarkan terhadap undang-

undang yang belum dijalankan. 323 Sampai saat ini, belum di lakukan legislative

review, kecuali Pasal 256 dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-

VIII/2010 karena bertentangan UUD RI 1945. .

D. Dasar Kewenangan Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur Terhadap

Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang Berkaitan Langsung

dengan Pemerintahan Aceh

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa konsultasi dan pertimbangan

gubernur terhadap kebijakan administatif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 8 ayat (3) UU No.11

Tahun 2006, merupakan kewenangan khusus yang diatribusikan kepada gubernur.

Dalam konteks kebijakan administratif Pemerintah Pusat di daerah, kewenangan

ini tidak diberikan kepada Pemerintahan Daerah lainnya sebagaimana diatur

dalam UU No.32 Tahun 2004 yang diganti dengan UU No.23 Tahun 2014.

Bahkan, tidak diperdapatkan dalam undang-undang khusus, seperti dalam UU

Nomor 21 Tahun 2001 joncto UU No.35 Tahun 2008, UU No.29 Tahun 2007 dan,

UU No.13 Tahun 2012.

Oleh karena itu, perlu dilihat dan diketahui dasar atau latar belakang adanya

kewenanangan khusus ”konsultasi dan pertimbangan” ini. Terutama, pasca MoU

Helsinki yang disepakati antara Pemerintah dan GAM. Selanjutnya, mengapa

nomenklatur yang digunakan dalam MoU Helsinki, dengan menggunakan istilah

323
Farid Husain, 2011, Loc., Cit., hlm. 153-154.

Universitas Sumatera Utara


“konsultasi dan persetujuan”. Sedangkan, dalam Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006

diganti dengan “konsultasi dan pertimbangan?.

Sebagaimana disebutkan dalam poin 1.1.2. MoU Helsinki, berbunyi:

Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan


didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik,
yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan
peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan
luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan
kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut
merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh
Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan
khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif
Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah
Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan
konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Berdasarkan poin 1.1.2 MoU Helsinki, khususnya poin 1.1.2. huruf d maka

muncul substansi sebagaimana dimasukkan ke dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11

Tahun 2006. Dalam hal itu Pemerintah dalam menanggapi pandangan umum dan

pendapat fraksi-fraksi DPR-RI dan DPD-RI atas RUU tentang Pemerintahan Aceh

menyampaikan:

….Ketiga, berkenaan dengan proses dan prinsip penyusunan RUU tentang


Pemerintahan Aceh. Sehubungan dengan pandangan umum dan pendapat
dari Fraksi PDI Perjuangan, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, Bintang
Pelopor Demokrasi, dan DPD RI yang menyangkut tentang proses dan
prinsip penyusunan RUU, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:

a. Proses Penyusunan RUU


Materi RUU tentang Pemerintahan Aceh disusun dengan
mengakomodasikan Draft RUU yang disiapkan oleh DPRD Provinsi

Universitas Sumatera Utara


NAD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, hal ini serupa dengan
proses lahirnya UU No. 18 Tahun 2001. Mekanisme bottom up dilakukan
sejalan dengan semangat otonomi daerah dan sebagai upaya bersama
dalam penyelesaian masalah Aceh secara adil, damai, demokratis dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
Konstitusi Negara Republik Indonesia.

b. Prinsip-prinsip penyusunan
Dalam merumuskan dan menyusun RUU, Pemerintah tetap berpedoman
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Landasan filosofis, yaitu falsafah bangsa dan negara Pancasila dan
tetap dalam koridor system dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) Landasan yuridis, yaitu:
e) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dan UU terkait lainnya; dan
g) UU tentang keistimewaan dan otonomi khusus bagi Aceh.
3) Landasan sosiologis, yaitu:
Mempertimbangkan kondisi dan aspirasi masyarakat Aceh yang
bersifat spesifik, mendesak dan memerlukan prioritas serta
memperhatikan butir-butir Nota Kesepahaman, dengan tetap melihat
dampaknya bagi kepentingan daerah lain, nasional dan
internasional. 324

Sementara, berkaitan dengan prinsipi-prinsip kewenangan khusus,

Pemerintah mengatakan:

..kelima, berkenaan dengan prinsip-prinsip Pemberian Kewenangan Khusus.


Sehubungan dengan pandangan umum dan pendapat dari Fraksi Partai
Golkar, PDI Perjuangan, PPP, PAN, PKS, Bintang Pelopor Demokrasi, serta
DPD-RI yang menyangkut tentang prinsip-prinsip Pemberian Kewenangan
Khusus, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Prinsip-prinsip pemberian kewenangan khusus kepada pemerintahan Aceh
yang dijadikan pedoman dalam RUU tentang Pemerintahan Aceh, yaitu:
(1) dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pengelolaan
pemerintahan daerah yang baik, keadilan, pemerataan, kesejahteraan,
serta potensi dan keanekaragaman Aceh;
(2) didasarkan pada kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya;

324
Jawaban Pemerintah terhadap Pandangan Umum dan Pendapat Fraksi-Fraksi DPR-RI
dan DPD-RI atas RUU tentang Pemerintahan Aceh, Jakarta, 20 Maret 2006

Universitas Sumatera Utara


(3) diletakkan pada satuan pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat menerima penyerahan
sebagian kewenangan khusus dari pemerintahan daerah provinsi;
(4) harus sesuai dengan konstitusi negara dan peraturan perundang-
undangan yang terkait, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi
antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah di Provinsi
NAD;
(5) di bidang politik harus lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan
Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah secara
demokratis, transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif;
(6) di bidang ekonomi harus lebih meningkatkan kemampuan
pemerintahan Aceh dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan
alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh;
(7) di bidang sosial budaya harus lebih meningkatkan kemampuan
pemerintahan Aceh dalam memajukan pelaksanaan syariat Islam dan
budaya masyarakat Aceh;
(8) meningkatnya peranan dan fungsi DPRD, Pemerintah Daerah, partai-
partai politik, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya di
Aceh. 325

Berkaitan dengan substansi kewenangan pemerintahan yang disepakati

dalam MoU Helsinki tersebut, selanjutnya pada pembahasan RUU-Pemerintahan

Aceh disepakati antara DPR RI dengan Pemerintah dimasukkan dalam UU No.11

Tahun 2006, yang diatur dalam BAB IV mengenai Kewenangan Pemerintahan

Aceh dan Kabupaten/Kota, diantaranya, yaitu:

Pertama, pengaturan dalam Pasal 7 UU No.11 Tahun 2006, berbunyi:

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan


mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dapat:
a. melaksanakan sendiri;

325
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
dan/atau instansi Pemerintah; dan
d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional dalam


ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan
di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan,
administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, serta
konservasi dan standardisasi nasional. Yang dimaksud dengan kebijakan
adalah kewenangan Pemerintah untuk melakukan pembinaan, fasilitasi,
penetapan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat nasional.

Kedua, Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

(1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan


Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(2) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

Yang dimaksud dengan kebijakan administratif dalam ketentuan ini adalah


yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya, hal-hal yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini seperti pemekaran wilayah,
pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah
Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya ketiga, Pasal 9 UU No.11 Tahun 2006, menyebutkan:

(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau
badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya, dan olah raga internasional.
(3) Dalam hal diadakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, berkaitan dengan substansi kewenangan

yang diatribusikan kepada Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 7 UU No.11

Tahun 2006 di atas tidak terdapat perbedaan secara esensi dengan maksud yang

disebutkan dalam Bagian Kedua tentang Urusan Pemerintahan Absolut, Pasal 10

UU No.32 Tahun 2004, maupun undang-undang penggantinya, yaitu UU No.23

Tahun 2014, yaitu:

(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. melaksanakan sendiri; atau
b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di
Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan
asas Dekonsentrasi.

Hanya saja ada sebagian kewenangan Pemerintah Pusat di Aceh, berbeda

dibandingkan dengan kewenangan Pemerintah Pusat pada Daerah lainnya, antara

lain, kewenangan atau urusan agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat

Universitas Sumatera Utara


(2) UU No.11 Tahun 2006, yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di bidang

agama di Aceh dengan penyebutan, “urusan tertentu dalam bidang agama”.

Artinya, sebagian “urusan tertentu dalam bidang agama”, yaitu pelaksanaan

Syari’at Islam yang esensinya merupakan kewenangan absolut Pemerintah Pusat.

Pasca pemberlakuan UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2006,

sebagian kewenangan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh diatribusikan menjadi

kewenangan Pemerintahan Aceh, dalam konteks pelaksanaan keistimewaan daan

kekhususan Aceh. Berhubungan dengan penegakan hukum syari’at Islam tersebut,

untuk pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh oleh Kepala

Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati)

Aceh oleh Kepala kejaksaan Agung (Kejagung), maka memerlukan persetujuan

Gubernur Aceh. Sebagaimana, Pasal 205 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006,

disebutkan: pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh melalui persetujuan gubernur.

Selanjutnya, Pasal 209 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan: pengangkatan

Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan melalui persetujuan gubernur.

Jika mengacu pada latar belakang adanya norma hukum khusus tersebut,

pada saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh antara Pansus DPR-RI dan

Pemerintah, oleh Mendagri, M. Ma’ruf mengatakan:

“……ada dua urusan Pemerintahan, yaitu urusan yang bersifat absolut itu
ada enam. Terhadap daerah otonomi khusus, katakanlah Aceh, ada sebagian
dari urusan absolut itu didelegasikan kepada Aceh. Salah satu contohnya
adalah syari’at Islam seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999. Selain itu, juga ada urusan masalah menyangkut kepolisian.
Apakah berkaitan dengan rekrutmen dan sebagainya. Dalam konteks ini,

Universitas Sumatera Utara


benar bahwa ada kewenangan absolut juga didelegasikan atau transfer
authority….” 326

Meskipun, tidak terdapat penjelasan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No.11

Tahun 2006 tersebut mengenai apa saja urusan Pemerintahan Aceh berkaitan

“urusan tertentu dalam bidang agama”. Merujuk kepada UU No.44 Tahun 1999,

“urusan tertentu dalam bidang agama” yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU

No.11 Tahun 2006, dapat dijelaskan adalah penyelenggaraan kehidupan beragama

dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3

UU No.44 Tahun 1999, yaitu:

(1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan


kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat
yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual.
moral, dan kemanusiaan.
(2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat;
c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Selanjutnya, dalam Pasal 4 UU No.44 Tahun 1999, berbunyi:

(1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam


bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam
bermasyarakat.
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dengan tetap
menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

Sementara, substansi dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a, UU No.11 Tahun

2006 ditambahkan bahwa: urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan

Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain


326
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara


meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan

syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup

antarumat beragama.

Selanjutnya, pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana Pasal 125 UU No.11

Tahun 2006, yaitu:

(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah


dan akhlak.
(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah,
ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),
jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),
dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Sementara, Pasal 126 UU No.11 Tahun 2006, berbunyi:

(1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan

mengamalkan syari’at Islam.

(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib

menghormati pelaksanaan syari’at Islam.

Dalam konteks Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006 membandingkan dengan

substansi MoU Helsinki, juga terdapat perbedaan. Dalam Pasal 8 menyebutkan

atribusi kewenangan Pemerintah melalui “konsultasi dan pertimbangan” DPRA

atau gubernur. Sedangkan, dalam poin 1.1.2 MoU Helsinki menggunakan istilah

“konsultasi dan persetujuan”. Ada 2 (dua) pertanyaan, khususnya berkaitan Pasal

8 ayat (3): pertama, mengapa ada atribusi kewenangan dalam bentuk konsultasi

dan pertimbang gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh; kedua, mengapa istilah

Universitas Sumatera Utara


“konsultasi dan persetujuan” dalam MoU Helsinki diganti dalam Pasal 8 ayat (3)

UU No.11 Tahun 2006 menjadi “konsultasi dan pertimbangan”.

Dalam wawancara penulis dengan salah seorang Juru Runding GAM, Nur

Djuli, mengatakan:

Dasar adanya nomenklatur “konsultasi dan persetujuan” tersebut adalah agar


supaya Pemerintah Pusat dalam menjalankan kebijakan administratif di
Aceh tidak sewenang-wenang dan kewenangan-kewenangan yang sudah di
atribusikan kepada Pemerintahan Aceh tidak lagi diabaikan dan dibohongi.
Sebagaimana, yang pernah terjadi pada masa Orde Lama, terhadap substansi
“Ikrar Lamteh”, antara DI/TII pimpinan Teungku M. Daud Beureueh
dengan Pemerintah Pusat yang tidak direalisasikan, khususnya terhadap
pelaksanaan syari’at Islam sehingga memunculkan pemberontakan. 327

Pandangan mantan Perunding MoU Helsinki dari GAM tersebut, berkolerasi

dengan apa yang disampaikan oleh Andi M. Ghalib, dari Fraksi Partai Persatuan

Pembangunan, anggota Panitia Khusus RUU-Pemerintahan Aceh, yaitu:

“……Saya berharap dari pihak Pemerintah kiranya RUU yang sudah ada
nantinya benar-benar bisa menjadi sebuah undang-undang yang bisa
menghantarkan rakyat Aceh, cita-cita yang sangat mereka idamkan. Sebab
kalau kita lihat pengalaman, maka sebetulnya yang terjadi selama ini adalah
karena pihak Pemerintah dari dulu sampai sekarang hanya pada janji-janji
yang tidak pernah konsekuen melaksanakannya. Kalau memang janji-janji
itu bisa dilaksanakan melalui undang-undang ini dengan baik, saya kira
rakyat Aceh pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, pasti bisa
menerima semuanya.
…… Jadi kalau kita mau memberikan ini (penulis: RUU) kepada Aceh, dan
berhasil nantinya, saya kira daerah lain tidak ada masalah sepanjang dalam
wadah NKRI. Selama ini yang terjadi adalah karena Pemerintah setengah-
setengah memberikan otonomi khusus tapi “ekornya” dipegang sehingga
orang bergerak tidak bebas, inilah yang terjadi. Saya pernah punya
pengalaman seperti itu juga tetapi apa boleh buat karena kita selama ini juga
tidak bisa berbuat sepenuhnya.
Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi isu dalam undang-undang ini, seperti
calon independen, partai lokal, lalu hak untuk memeproleh dari SDA
(penulis: Sumber Daya Alam) yang ada di Aceh, perlu segera dijelaskan

327
Wawancara dengan Nur Djuli Perunding MoU Helsinki dari pihak GAM, 4 Februari
2015.

Universitas Sumatera Utara


pada masyarakat. Saya kira kalau ini diberlakukan, rakyat Indonesia pada
umumnya bisa menerima kalau itu dijelaskan dan mudah-mudahan juga
daerah lain bisa memperoleh hal yang sama seperti Aceh, karena kita semua
adalah rakyat Indonesia, sama hak dan kewajibannya…….”. 328

Demikian juga, Michelle Ann Miller, mendiskripsikan akar konflik

kontemporer bisa dilacak ke belakang sejak pemberontakan Darul Islam (DI),

telah belangsung sejak 1948 di Jawa Barat dan meluas ke seluruh nusantara, dan

ke Aceh tahun 1953. Pemberontakan tersebut secara bebas menyatukan agenda

berbeda untuk membentuk federasi negara-negara Islam (Negara Islam Indonesia,

NII). Kesepakan Aceh untuk keanggotaan atas negara baru, Indonesia tahun 1949

secara lokal, dipahami bergabung berdasarkan perlakuan setara merefleksikan

kontribusi Aceh terhadap perjuangan a

ntikolonial dan prinsip-prinsip Islami. 329

Namun, Aceh hanya menikmati otonomi luas kurang dari satu tahun

sebelum penggabungan ke dalam Provinsi Sumatera Utara sebagai bagian dari

reorganisasi administratif oleh Jakarta dengan menjadikan Indonesia hanya 10

provinsi. Kesan kuatnya akan pengkhianatan dalam keputusan ini di Aceh,

ditambah lagi masuknya orang-orang non-Aceh, pekerja migran non-muslim dan

pasukan militer ke wilayah ini, serta memburuknya kondisi sosial ekonomi karena

lebih besar porsi anggaran nasional mulai dialokasikan ke Jawa daripada pulau-

pulau lainnya. Kekecewaan masyarakat Aceh memuncak menjadi pemberontakan

328
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 8-9.
329
Michelle Ann Miller, 2008, Konflik di Aceh, Konteks, Pemicu Katalis, dalam
Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh, Conciliation Resources, London, hlm. 13-14

Universitas Sumatera Utara


pada September 1953, dipimpin ulama Aceh paling berpengaruh, Teungku M.

Daud Beureueh, bergabung dengan pemberontakan Darul Islam. 330

Setelah Januari 1957, ketika pemerintahan Presiden Soekarno membentuk

kembali Provinsi Aceh, menumbuhkan harapan di kalangan para pemimpin Darul

Islam bahwa Aceh akan segera dapat menerapkan syari’ah, keterlibatan rakyat

Aceh dalam pemberontakan Darul Islam secara perlahan berkurang. Upaya

Jakarta untuk mencapai kesepakatan dengan pemberontak Darul Islam Aceh,

Presiden Soekarno menawarkan Aceh secara prinsip status “Daerah Istimewa”

pada 26 Mei 1959 dengan memberikan otonomi luas bidang agama, pendidikan,

dan adat-istiadat. Setelah lebih dari satu dekade hubungan pusat-daerah yang

relatif damai, ketidakpuasan Aceh muncul kembali pada awal 1970-an. Kebijakan

dan praktik sentralisme Orde Baru, Soeharto, tidak memenuhi harapan masyarakat

Aceh terkait pemulihan Islam sebagai kekuatan sosial politik yang dominan. 331

Seiring semakin termajinal secara politik ulama Aceh oleh kebijakan

nasionalis ‘sekuler’ Orde Baru, begitu pula tuntutan menerapkan formula Daerah

Istimewa, berbagai ketentuan menciptakan institusi-institusi mempromosikan dan

menegakkan hukum Islam gagal diwujudkan dan yurisdiksi pengadilan Islam

menjadi sangat terbatas. Sampai 1974, ketika dikeluarkan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, formula ‘Daerah

Istimewa’ Aceh sama sekali tidak sesuai dengan maknanya. Kekecewaan rakyat

Aceh diperkuat oleh penemuan sumber cadangan minyak dan gas alam tahun

1971 di Aceh Utara dan pertumbuhan Zona Industri Lhokseumawe (ZILS).

330
Ibid
331
Ibid

Universitas Sumatera Utara


Sebagian besar keuntungan mengalir keluar Aceh, dengan hasilnya pembangunan

hanya menghasilkan sedikit peningkatan substansial ekonomi lokal. Meskipun

sebagian Jawa dan Indonesia Timur mengalami tingkat kemiskinan lebih tinggi

dibandingkan Aceh era Orde Baru, ekspansi ZILS menambah kemarahan daerah

karena masyarakat desa dipaksa untuk bermukim di luar dari zona industri

tersebut dan sebagian besar tenaga-tenaga terlatih non-Aceh, non-muslim

diperkenalkan untuk mengoperasikan perusahaan-perusahaan minyak dan gas. 332

Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh Abdul Ghafur anggota DPR-RI

dari Fraksi Partai Golongan Karya, pada Rapat Kerja Pansus RUU- Pemerintahan

Aceh, Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, bahwa:

“…..Aceh, dalam catatan sejarah republik ini adalah suatu provinsi yang
penuh dengan luka derita sejak kita merdeka, partisipasi rakyat Aceh luar
biasa. Jadi sebuah provinsi dilebur lagi Provinsi Sumatera Utara, seperti
“iming-iming” sedemikikian rupa lalu melalui Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1956 dijadikan kembali sebagai daerah otonomi Provinsi Aceh. Misi
Hardi datang kesana memberikan lagi lebel yang istimewa, Daerah Istimewa
Aceh. Tetapi, apa yang terjadi kemudian, tidak pernah menenangkan rakyat
Aceh. Karena “iming-iming”maka pada waktu terjadi kegelisahan yang luar
biasa rakyat Aceh sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, maka mulailah bergulir gejolak demi gejolak yang
berkepanjangan sampai di ujung perjalanan di Helsinki.
….. Ketuntasan melahirkan suatu rancangan undang-undang yang selama ini
Pemerintah Pusat menyodorkan kepada rakyat Aceh, dalam sejarah yang
selalu gagal, mudah-mudahan RUU Pemerintahan Aceh ini sangat
komprehensif dan yang kami harapkan RUU ini yang terakhir. Aceh yang
sejahtera, damai, bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. 333

Selain realitas pada masa Orde Lama dan Orde Baru sebagaimana dijelaskan

di atas, terjadi juga permasalahan inkosistensi Pemerintah Pusat terhadap

332
Ibid
333
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara


implementasi substansi 2 (dua) undang-undang yang dibentuk pada Era

Reformasi, yaitu UU No.44 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang

Menjadi Undang-Undang (UU No.37 Tahun 2000), terutama terhadap

pembentukan peraturan pelaksananya.

Sejak dibentuk pada tahun 1999, UU No.44 Tahun 1999 baru dapat

diimplementasikan sebagian substansinya, pasca terbentuknya UU No.11 Tahun

2006. Begitu juga dengan UU No.37 Tahun 2000, sejak dibentuk tidak dapat

diimplementasikan secara maksimal. Bahkan sampai sekarang ketika kembali

dimasukan dalam substansi UU No.11 Tahun 2006, yang saat ini sudah ditetapkan

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan

Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (PP No.83 Tahun

2010), tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

Akibat inkonsistensi Pemerintah Pusat tersebut, dikhawatirkan kewenangan

yang sudah diatribusikan kepada Pemerintahan Aceh juga tidak dapat

direalisasikan dan bisa dicabut kembali. Oleh karena itu, disepakati kebijakan-

kebijakan Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

agar pengaturannya dimasukkan dalam MoU Helsinki, salah satunya – selain

Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah dan

keputusan-keputusan DPR-RI yang terkait langsung dengan kepentingan khusus Aceh

akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh – pelaksanaan

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan Aceh dilakukan melalui “konsultasi dan mendapat persetujuan

Kepala Pemerintah Aceh”. Sebagaimana, diatur dalam poin 1.1.2 huruf d MoU

Helsinki, berbunyi: “Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh

Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi

dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”.

Berdasarkan poin 1.1.2 huruf d MoU Helsinki, dimasukkan dalam Pasal 8

ayat (3) UU No.11 Tahun 2006. Persoalannya dalam pasal tersebut menggunakan

terminologi “konsultasi dan pertimbangan”, sedangkan poin 1.1.2 huruf d MoU

Helsinki, menggunakan istilah “konsultasi dan persetujuan”. Konsekuensi

perbedaan termonologi tersebut, tentu akan berbeda implementasinya. Kalau

“konsultasi dan pertimbangan gubernur”, implikasinya Pemerintah Pusat dapat

menerima atau menolak pertimbangan gubernur tersebut. Sedangkan, kalau

“konsultasi dan persetujuan gubernur”, Pemerintah Pusat wajib meminta dan

menerima masukan dan pendapat dari gubernur.

Perubahan terminologi tersebut tidak terlepas daripada UUD RI 1945 dan

bentuk negara Indonesia, NKRI. Di mana pemerintahan terpusat pada pemerintah

pusat dan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden, sebagaimana Pasal 4

ayat (1) UUD RI 1945, disebutkan: “Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Konsekuensi kekuasaan

pemerintahan tersebut, maka tidak mungkin seseorang pemegang kekuasaan

pemerintahan meminta persetujauan kepada Pemerintah Daerah, yang merupakan

sub-ordinasi Pemerintah Pusat.

Universitas Sumatera Utara


Akibatnya, pada saat pembahasan UU No.11 Tahun 2006 antara Pemerintah

dengan DPR RI, muncul perdebatan, salah satunya berkaitan dengan dua

terminologi tersebut. Bagi Pemerintah, menganggap kewenangan tersebut tidak

bertentangan dengan UUD RI 1945 dan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Alasanya, yang dikonsultasikan dan meminta persetujuan gubernur,

hanya berkaitan langsung dengan Aceh bukan secara keseluruhan. Substansinya

juga masih selaras dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Sebagaimana, disampaikan oleh Mendagri, M. Ma’ruf dalam Rapat Pansus

RUU-Pemerintahan Aceh, disebutkan:

“……Kewenangan Pemerintah, Aceh dan kabupaten/kota, rencana


persetujuan internasional, rencana Keputusan DPR-RI dan kebijakan
administrasi, kerjasama dan partisipasi dengan lembaga/badan luar
negeri/internasional. Dalam hubungan ini dapat dilaporkan bahwa:
1. Pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah pada prinsipnya
disesuaikan dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan keistimewaan Aceh sebagaimana
diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.
2. Pengaturan mengenai persetujuan internasional pada prinsipnya
disesuaikan dengan muatan Pasal 42 huruf f Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.
3. Sedangkan, keputusan DPR-RI dimaksud, masih dalam bentuk rencana
dan terbatas hanya yang menyangkut kepentingan khusus Aceh, seperti
dalam pemekaran daerah sebagiamana dimuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan
ayat 93) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
4. Pengaturan mengenai kerjasama dengan pihak luar negeri pada
prinsipnya disesuaikan dengan pengaturan yang dimuat dalam Pasal 42
ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004……….” 334

334
Menteri Dalam Negeri, 2006, Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus RUU
tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, Sofyan Jalil, Menteri Komunikasi dan Juru Runding

Pemerintah RI, memberi alasan masuknya beberapa kewenangan khusus dalam

UU No.11 Tahun 2006, yaitu:

“…… Saya pikir dalam pembicaraan di Helsinki, timbul perlunya sebuah


undang-undang yang baru pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Bahwa sikap Pemerintah sangat jelas yaitu GAM menerima Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut, GAM bubar dan mereka menerima
Undang-Undang Otonomi Khusus.
Sedangkan, posisi GAM pada waktu perundingan tidak lain kecuali lepas
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Aceh merdeka. Dua posisi
yang saling bertolak belakang dengan sabar dan intensif dibahas dengan
prinsip mencari penyelesaian masalah secara damai dan bermartabat,
akhirnya terjadi perubahan posisi yang sangat substansial, yaitu GAM
menerima NKRI, menerima Undang-Undang Dasar 1945, kemudian setuju
menyelesaikan masalah Aceh secara damai, permanen, bermartabat dalam
konteks NKRI.
……mereka (penulis: GAM) menerima pemerintah RI sepenuhnya, merubah
posisi sepenuhnya, tidak lagi menuntut merdeka, tidak lagi menuntut
referendum, tidak menuntut yang tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia,
kami terima NKRI, terima UUD 1945, kita selesaikan maslah secara damai,
demokratis berdasarkan prinsip-prinsip yang diajukan oleh Pemerintah.
Oleh sebab itu, mereka menuntut ada perubahan dan penggantian undang-
undang. Masalahnya adalah apakah merevisi atau mengganti undang-
undang. Oleh karena itu, kalau kita melihat MoU sebenarnya undang-
undang otonomi khusus dengan ditambah prinsip-prinsip. Mereka meminta
adanya Partai Lokal menjadi bagian dalam partisipasi dalam proses politik
di Aceh, dan mereka dapat mengaktualisasi kepentingan dan aspirasi politik
dalam pengelolaan Pemerintahan Aceh…….
…….karena kekhususan dalam rangka penyelesaian masalah Aceh secara
bermartabat, Pemerintah kemudian menganggap bahwa permintaan itu
adalah masih wajar dan kemudian diadopsi di dalam MoU. Saya merasakan
bahwa RUU yang telah disususn ini sudah sesuai dengan harapan dan spirit
yang kita bicarakan di Helsinki, dan apapun yang dimasukkan disini saya
pikir itu berasal dari undang-undang yang telah ada sebelumnya dan masih
dalam konteks konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar 1945…….” 335

335
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


Dalam pembahasan tersebut, selanjutnya salah seorang anggota DPR RI dari

Pansus RUU-Pemerintahan Aceh, Sutradara Ginting, dari Fraksi Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengkritisi substansi tersebut. Ia tidak sepakat

penggunaan norma hukum “konsultasi dan persetujuan” terhadap pelaksanaan

kewenangan Pemerintah dan DPR RI di Aceh, karena beralasan dalam konteks

negara kesatuan otoritas tertinggi ada pada Pemerintah Pusat. Sebagaimana

pandangannya, mengatakan:

“Sehubungan dengan Pasal 8 dalam Rancangan Undang-Undang ini, ingin


menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, menyatakan komitmen
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sebagaian besar rakyat
kita termasuk di Aceh menyatakan komitmen terhadap negara kesatuan……
Kedua, bahwa di dalam negara kesatuan maka struktur otoritas itu bersifat
vertikal, dari atas ke bawah. Ada delegation of authority kepada Pemerintah
Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 UUD. Jadi bukan division
of authority/ pembagian kewenangan tetapi pendelegasian kewenangan.
Division of authority itu terjadi hanya ketika beberapa cabang kekuasaan
negara yang setingkat Presiden, DPR atau di daerah, guberur atau DPRD.
Struktur otoritas seperti ini merupakan ciri bahkan pilar daripada suatu
Negara kesatuan…...
Ketiga, memahami bahwa pada masa lampau dalam waktu yang panjang,
hubungan antara pusat dengan daerah ini mengalami banyak persoalan.
Dalam perjalanan panjang sejarah kita, ada pendelegasian otoritas pada
daerah yang kemudian tidak workable, tidak bias berjalan dengan baik
karena berbagai karakteristik fungsional daripada generalisme, itu yang
ingin kita koreksi.
Keempat,……bahwasanya keputusan-keputusan pemerintah yang disebut
keputusan administratif itu tidak sayogianya membutuhkan persetujuan
daripada pemerintah dibawahnya. Sebagaimana konstitusi Pasal 4
mengatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Demikian pula
keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tidak sayogianya
membutuhkan persetujuaan daripada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
karena sebagaimana Pasal 20 UUD, Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan atas undang-undang.
Oleh sebab itu, berpandangan bahwasanya Pasal 8 memang tidak
sayogianya mencantum persolan persetujuan atau approval system karena
itu secara langsung atau tidak langsung itu tidak sesuai dengan sistem
negara kesatuan. Di dalam perkembangan praktek demokrasi modern, kami
juga memahami jawaban Pemerintah pada waktu menjawab pemandangan
umum bahwa sanya pasal ini dirumuskan untuk bias mengakomodasikan

Universitas Sumatera Utara


kebutuhan demokratis bagi perlunya suatu konsultasi public dalam
penyusunan kebijakn, baik eksekutif maupun legislatif, tetapi tidak tepat
kalau itu diformulasikan dalam unsure persetujuan atau approval.
“……..bahwa persyaratan administrasi adanya persetujuan DPRD,
Gubernur dan rekomendasi Mendagri, tetapi itu adalah persyaratan
administratif, masih tetap dalam perspektif struktur otoritas horizontal
karena bilaman ada pemekaran maka daerah induk itu APBD-nya
mempunyai pertanggungan terhadap daerah baru. Jadi ini bukan suatu
preseden dari perubahan struktur otoritas vertikal menjadi horizontal…….,
secara kategoristidak perlu dibawa pada denotasi dan konotasi persetujuan.
Menurut kami tidak sesuai dengan struktur otoritas negara kesatuan yang
bersifat vertikal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar pada
Pasal 4 dan Pasal 20.” 336

Sementara, Rufinus Sianturi dari Fraksi Partai Damai Sejahtera,

sebagaimana Sutradara Ginting, juga mengatakan: “….memang dalam hal ini

pembuatan peraturan kurang layak kalau dari DPR Pusat meminta persetujuan

kepada Pemerintah Daerah, tetapi kalau dikonsultasikan maka disitu sudah

tertangkap aspirasi daripada masyarakat Aceh. Itulah sebabnya di dalam Daftar

Isian Masalah (DIM) dihapus kata-kata persetujuan, cukuplah ditampung dengan

konsultasi untuk mewujudkan aspirasi rakyat Aceh”. 337

Sedangkan, sebagian anggota Pansus RUU-Pemerintahan Aceh lainnya ada

yang sepakat dengan usulan dari Pemerintah, antara lain, Ahmad Farhan Hamid

dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), mengatakan:

“……sebenarnya, konsep dasar ini adalah hal-hal yang berkaitan secara


khusus dengan daerah ini (penulis: Aceh), itu memang diminta
pertimbangan….. kami memandang ini sebagai sebuah peningkatan
partisipasi dari pemerintahan yang berada di bawah Pemerintah Pusat.
Peningkatan partisipasi, jadi makanya secara eksplisit juga kami
menyatakan menyetujui substansi ini, tapi tidak mengingkari prinsip
NKRI...... Saya kira persoalan evolusi tata cara negara kesatuan menerapkan

336
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 50-51.
337
Ibid, hlm. 53

Universitas Sumatera Utara


kebijakan-kebijakan dan kewenangan yang tetap dalam kontrol Pemerintah
Pusat tetapi tidak mengabaikan lagi Pemerintah Daerah. 338

Selanjutnya, Nasir Djamil, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan

Sejahtera, pada Rapat Kerja Pansus RUU-Pemerintahan Aceh, Masa Persidangan

III, Tahun Sidang 2005-2006, juga mengatakan:

“Secara substansi sepakat dengan usulan pemerintah, dan kami pikir ini
adalah bentuk pengakuan Negara terhadap kekhususan dan keistimewaan
Pemerintah Daerah terutama di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi
penghormatan terhadap satuan-satuan pemerintah yang khusus, saya piker
ini adalah bentuk wujud kongkrit. Jadi apa yang diajukan ini (penulis:
substansi Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006, mengenai konsultasi dan
pertimbangan gubernur) tentu tidak membahayakan bahkan tidak
bertentangan dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, bahkan kostitusi
juga mengakui ini, walau tidak secara eksplisit menyebutkan, tetapi tafir
kami ketika membaca Pasal 18 (UUD RI 1945) Negara mengakui satuan-
satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus, ini adalah bentuk
pengakuan Negara…..
Jadi sekali lagi ini bukanlah sesuatu yang membahayakan NKRI, apalagi
melabrak konstitusi dan ini sejalan dengan Pancasila dan tentu ini adalah
bagian daripada upaya kita untuk mengakui Kebhinekaan Ketunggalan Ika
di Indonesia ini. Dalam Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Nomor
18 Tahun 2001, Pasal 33 juga disebutkan walaupun memang tidak
menggunakan kata persetujuan, disitu disebutkan bahwa perubahan atas
undang-undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” 339

Sementara, Taufikurrahman Saleh, dari Fraksi Kebangkitan Bangsa,

mengatakan: “…..sebetulnya paradigma Undang-Undang tidak hanya hukum saja,

tapi ada paradigma politik. Kalau sudah paradigma politik, disini kekuatan

aspirasi itu yang kuat. Jadi ekspresi kehendak masyarakat Aceh itu harus bisa,

saya kira memang pusat harus dikontrol, karena kalau tidak dikontrol kadang-

338
Ibid, hlm. 54.
339
Ibid, hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara


kadang tidak karuan. Jadi sah-sah saja masyarakat Aceh ingin mengontrol

kebijakan pusat, dan tidak maslah. 340

Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Jalil, mewakili Pemerintah juga

menambahkan:

“…..usul ini merupakan perdebatan kami di Helsinki, karena kehawatiran


(penulis: GAM) bahwa apa yang telah diberikan oleh Pemerintah kemudian
di-refill kembali, apa yang sudah diberikan bisa ditarik kembali. Oleh sebab
itu, permintaan mendapat persetujuan adalah dalam kaitan yang kepentingan
khusus tentang Aceh. Waktu itu kita konsultasi kemudian Pemerintah
mengatakan karena kepentingan khusus tentang Aceh, contoh yang paling
menarik adalah yang dikemukakan oleh Pak Ginting, bahwa pemecahan
provinsi adalah prosedur administrasi, tetapi kekhawatiran pihak GAM
waktu itu salah satunya masalah Pemerintahan Aceh. Oleh sebab itu,
kemudian perumusannya memerlukan persetujuan. Kenapa Pemerintah bisa
menerima? Karena ini menyangkut kepentingan khusus tentang sebuah
daerah itu sangat terbatas.
…..sebenarnya, argumentasi yang dikemukakan oleh Pak Farhan, sejalan
dengan Pemerintah tidak menganggap bahwa ini merupakan sub-ordinasi
wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal-hal khusus
ini sangat terbatas. Jawaban Pemerintah dikaitkan dengan ide ini sebenarnya
adalah dari MoU dan diterjemahkan langsung dalam pasal-pasal. 341
Kemudian, Rufinus Sianturi, sepakat dengan ide sebagaimana yang

disampaikan oleh Sofyan Jalil, dalam hal-hal yang bersifat kepentingan khusus

saja. Sebagaimana disampaikannya: “Memang kalau dalam rangka kepentingan

khusus, tidak ada salahnya. Asal disebutkan dengan tegas kepentingan khusus

itu….”. 342 Dari perdebatan antara pro dan kontra mengenai terminologi

“konsultasi dan persetujuan” tersebut, dihadapkan eksistensi NKRI bahwa

kekuasaan terpusat pada Pemerintah Pusat, sebagian anggota Pansus RUU-

Pemerintahan Aceh, mengusulkan perubahan terminologi, menjadi “konsultasi

dan pertimbangan”. Alasannya, agar tidak menimbulkan persoalan

340
Ibid, hlm. 57.
341
Ibid, hlm. 55-56.
342
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


mensubordinasikan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah memberi

persetujuan kepada Pemerintah Pusat.

Sebagaimana, disampaikan oleh Benny Kabur Harman dari Fraksi Partai

Demokrat, mengusulkan, yaitu:

“Bahwa kata konsultasi dan persetujuan ini diganti dengan kata


pertimbangan. Alasan utamanya adalah kata persetujuan yang digunakan di
sini mencerminkan bahwa secara hirarkis kelembagaan DPR Aceh itu lebih
tinggi dari Pemerintah Pusat…… Sebab kata persetujuan mencerminkan ada
otoritas yang lebih tinggi dan ada otoritas yang lebih rendah. Kalau DPR
Aceh itu memiliki otoritas yang lebih rendaah dan pusat memiliki otoritas
yang tinggi maka bagaimana lembaga yang memiliki otoritas yang lebih
tinggi meminta persetujuan kepada lembaga yang memiliki otoritas yang
lebih rendah….” 343

Realitasnya, hasil perdebatan nomenklatur tersebut, setelah RUU-

Pemerintahan Aceh disahkan menjadi UU No.11 Tahun 2006 dalam Pasal 8,

akhirnya istilah yang digunakan adalah “konsultasi dan pertimbangan”. Di mana

substansi berkaitan rencana persetujuan internasional yang dibuat oleh Pemerintah

dan pembentukan undang-undang oleh DPR RI yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.

Sedangkan, kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan Gubernur.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar adanya “konsultasi dan

pertimbangan gubernur” terhadap kebijakan administratif yang dibuat Pemerintah

Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, baik yang dimasukan

dalam MoU Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006, dapat dilihat secara filosofis,

343
Ibid, hlm. 54.

Universitas Sumatera Utara


politis, sosiologis, dan yuridis. Pertama, secara filosofis dapat dipahami bahwa

Pancasila mengakui adanya keberagaman dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Sementara, konteks “konsultasi dan pertimbangan gubernur” dalam Pasal 8 ayat

(3) UU No.11 Tahun 2006, sebagaimana dideskripsikan Bagir Manan dalam sila

keempat dapat dipahami juga merupakan maksud dari “permusyawaratan”, dalam

sila keempat Pancasila. Sehingga, perbedaan kewenangan yang diberikan kepada

Pemerintah Aceh sesuai dengan filosofi Pancasila.

Kedua, secara politis pengalaman masa Orde Lama, disharmonisasi antara

Pemerintah Pusat dengan Aceh akibat dileburkannya Provinsi Aceh ke dalam

provinsi Sumatera Utara dan tidak diperkuatkannya pengaturan tentang syari’at

Islam. Selanjutnya, era Orde Baru dan Orde Reformasi karena inkonsistensi

Pemerintah Pusat terhadap implementasi kewenangan-kewenangan Pemerintahan

Aceh yang sudah diatur dalam UU No.44 tahun 1999, UU No.36 tahun 2000, dan

UU No.18 Tahun 2001. Oleh karena itu, substansi konsultasi dan pertimbangan

gubernur disepakati agar dimasukan dalam substansi MoU Helsinki dan

selanjutnya dimasukan dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006.

Ketiga secara sosiologis, adanya tuntutan masyarakat Aceh agar

terwujudnya perdamaian di Aceh pasca konflik sejak tahun 1976-2005.

Selanjutnya, keempat secara moril dengan adanya kesepakatan kesepahaman

antara Pemerintah Pusat dan GAM dalam MoU Helsinki, untuk memasukan

materi “konsultasi dan persetujuan kepala daerah”, yang dalam pembahasan

RUU-Pemerintahan Aceh disepakati mengubah nomenklatur tersebut menjadi

“konsultasi dan pertimbangan gubernur”.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun demikian, pasca perubahan nomenklatur “konsultasi dan

persetujuan” menjadi “konsultasi dan pertimbangan”, timbul persoalan lain, ketika

sebagian norma hukum dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut,

tidak singkron atau tidak konsisten dengan materiil UU No.32 Tahun 2004, yang

sudah diganti dengan UU No.23 Tahun 2014. Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3)

UU No.11 Tahun 2006, disebutkan salah satu pelaksanaan kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh adalah

pemekaran wilayah memerlukan konsultasi dan pertimbangan gubernur.

Sedangkan, dalam Pasal 37 UU No.23 Tahun 2014, berbunyi: bahwa

persyaratan administratif pemekaran wilayah melalui tahapan pembentukan

daerah persiapan disusun dengan tata urutan sebagai berikut:

a. untuk Daerah provinsi meliputi:


1. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota
yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi; dan
2. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah
provinsi induk.
b. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi:
1. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah
Daerah kabupaten/kota;
2. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali
kota Daerah induk; dan
3. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah
provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan
dibentuk.

Artinya, dalam konteks kebijakan perumusan norma hukum pelaksanaan

administratif pemerintahan oleh Pemerintah Pusat di Aceh, khususnya berkaitan

syarat administratif pemekaran wilayah, Pansus RUU-Pemerintahan Aceh, DPR

RI dan Pemerintah dalam perumusan norma hukumnya kurang teliti dan

inkonsisten. Padahal, Sutradara Ginting, sebagai anggota Pansus RUU-

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan Aceh, mengatakan bahwa persyaratan administratif pemekaran

wilayah masih tetap dalam perspektif struktur otoritas horizontal (penulis:

daerah), sehingga memerlukan persetujuan daerah. Oleh karenanya, bukan

preseden dari perubahan struktur otoritas vertikal menjadi horizontal. Seharusnya

pemekaran wilayah di Aceh juga demikian sesuai dengan persyaratan Pasal 37

UU No.23 Tahun 2014, dilakukan melalui persetujuan bersama DPR Aceh dan

Gubernur, bukan melalui konsultasi dan pertimbangan.

Aturan ini dalam UU No. 32 Tahun 2004, sebelum diganti menjadi UU

No.23 Tahun 2014, juga mensyaratkan persetujuan bukan pertimbangan

pemerintahan daerah, sebagaiman Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun

2004 disebutkan: syarat administratif untuk provinsi meliputi persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah

provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi

Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, syarat administratif untuk kabupaten/kota

meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang

bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi

Menteri Dalam Negeri.

Sementara, menyikapi pentingnya atribusi kewenangan “konsultasi dan

persetujuan atau pertimbangan” kepada pemerintahan Aceh. Pada prinsipnya

sebagaimana dideskripsikan oleh Pemerintah melalui Juru Runding Pemerintah,

Sofyan Jalil dan Juru Runding GAM, Nur Djuli, anggota DPR RI, tujuannya

secara khusus untuk menghindari adanya kekhawatiran dari pihak GAM secara

khusus dan kekhawatiran rakyat Aceh secara umum, sebagaimana pengalaman

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan sebelumnya. Di mana kewenangan yang sudah diberikan dapat di

refill atau ditarik kembali atau dijalankan secara sewenang-wenang oleh

Pemerintah Pusat, tanpa diketahui oleh Pemerintahan Aceh. Sebaliknya, jika

sudah ada kewenangan ini maka setiap kebijakan administratif Pemerintah Pusat

yang akan dilakukan terhadap kepentingan khusus Aceh, perlu dilakukan

konsultasi dan mendapat pertimbangan gubernur Aceh.

Kemudian, sebagaimana juga dikatakan Ahmad Farhan Hamid, anggota

DPR RI dan Pansus RUU-Pemerintahan Aceh, meskipun terminologi “konsultasi

dan persetujuan” sebagaimana MoU Helsinki diubah dengan istilah “konsultasi

dan pertimbangan”, menurutnya, tujuan adanya “konsultasi dan pertimbangan

gubernur” terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh adalah agar tidak lagi menimbul kesan dan

persepsi sebagaimana pernah terjadi pada era pemerintahan sebelumnya sejak

Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Di mana setiap kewenangan yang

sudah diberikan kepada pemerintahan Aceh oleh Pemerintah Pusat, ketika keluar

kebijakan baru dari Pemerintah Pusat, kewenangan tersebut dicabut, bahkan tanpa

sepengetahuan Pemerintahan Aceh. 344

Sementara, menurut Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh periode 2010-2013,

mengatakan alasan adanya afirmasi atribusi kewenangan “konsultasi dan

persetujuan (pertimbangan) kepada gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh adalah

bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan Aceh, sehingga kebijakan-


344
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.

Universitas Sumatera Utara


kebijakan administratif yang dibuat Pemerintah Pusat di Aceh dan kewenangan-

kewenangan yang sudah diberikan oleh UU No.11 Tahun 2006 kepada

Pemerintahan Aceh dapat dilaksanakan dan diketahui serta dapat diterima oleh

Pemerintah Aceh (gubernur), yang mewakili kepentingan rakyat Aceh. 345

Sejalan dengan pendapat Ahamad Farhan Hamid dan Setia Budi, oleh

Mawardi Ismail, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,

mengatakan: “tujuan atau dasar perlunya “konsultasi dan pertimbangan gubernur”

terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh yang sebelumnya dalam MoU Helsinki menggunakan

terminologi “konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh”, adalah untuk

memberi masukan kepada Pemerintah Pusat terhadap dampak yang terjadi untuk

Aceh terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat di Aceh”. 346

Berdasarkan pandangan diatas mengenai substansi Pasal 8 yang merupakan

suatu kewenangan yang bersifat delegatif diberikan UU No.11 Tahun 2006

kepada DPRA dan Gubernur Aceh, meliputi:

1. Apabila ada rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dan

pembentukan undang-undang oleh DPR yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, perlu dilakukan konsultasi dan mendapat

pertimbangan DPRA.

345
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, Periode 2010-2013 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.
346
Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


2. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah Pusat, misalnya, pemekaran

wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan

perubahan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,

seperti PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh,

dilakukan setelah konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur.

Pada dasarnya kewenangan tersebut dalam negara kesatuan, seperti

pelaksanaan persetujuan internasional dan pembentukan undang-undang

merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, meskipun undang-undang yang

dibentuk tersebut berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Begitu juga

terhadap kebijakan administratif, pada dasarnya secara administratif merupakan

kewenangan Presiden, selaku lembaga eksekutif dan pelaksana pemerintahan.

Termasuk juga dalam hal pembentukan atau penetapan peraturan perundang-

undangan, seperti penetapan PP dan Perpres. Namun, karena dalam konteks

kekhususan Aceh pasca perdamaian antara Pemerintah Pusat dan GAM serta

rakyat Aceh, maka disepakati di masukan dalam MoU Helsinki. Selanjutnya,

dielaborasi ke dalam Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006 sehingga, sebagian

pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat tersebut di atribusikan kepada

Pemerintahan Aceh, dengan melibatkan DPRA dan Gubernur melalui “konsultasi

dan pertimbangan” Pemerintahan Aceh tersebut.

Merujuk teori van Vollen Hoven, menyatakan pemerintahan dalam arti luas

itu termasuk ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan, maka Presiden

Republik Indonesia yang dinyatakan memegang kekuasaan pemerintahan

Universitas Sumatera Utara


mempunyai arti bahwa, presiden itu bertugas menyelenggarakan pemerintahan

termasuk juga pengaturan. Sebagai penyelenggara pemerintahan, presiden dapat

membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena presiden

juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan. 347

Begitu juga berdasarkan konstitusi Indonesia bahwa fungsi pengaturan

sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945, disebutkan: “Presiden menetapkan

peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Selanjutnya, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan: Peraturan Pemerintah

adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Sementara, pada angka 6

disebutkan, Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang

ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangun-

dangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Tidak terdapat norma hukum yang mengatur bahwa presiden dalam

menetapakan PP atau Perpres perlu melakukan konsultasi dan pertimbangan

gubernur, kecuali dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut. Hanya

saja, pasal tersebut disamping bukan memberi kewenangan kepada Gubernur

untuk menetapkan PP atau Perpres tetapi, keharusan presiden untuk

mengkonsultasikan dan mendapat pertimbangan gubernur dalam menetapkan PP

dan Perpres. Namun, tidak semua peraturan perundang-undangan (PP dan

Perpres) perlu dikonsultasikaan kepada gubernur, melainkan hanya PP dan

347
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanasius, Yogyakarta, hlm. 117

Universitas Sumatera Utara


Perpres yang berkaitan langsung dengan kepentingan khusus Pemerintahan Aceh.

Walaupun demikian secara ketatanegaraan atribusi kewenangan tersebut tidak

bertentangan dengan otoritas Pemerintah Pusat.

Oleh karena itu, berdasar paraturan perundang-undangan diatas kewenangan

Gubernur Aceh dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut merupakan

kewenangan yang bersifat delegatif. Dalam konteks ketatanegaraan, hal ini

memungkinkan untuk dilakukan terhadap daerah-daerah khusus atau istimewa.

Sebagaimana, Pasal 18B UUD RI 1945, disebutkan: “Negara mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Di mana pada delegasi

terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata

Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif

kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. 348

Sebagaimana, dikatakan oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, yaitu:

“attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een

bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan). 349 Berbeda dengan delegasi terdapat

apabila suatu badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri membuat

peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi) menyerahkan (overdragen)

348
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan ke-7, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 101 .
349
Ibid, hlm. 102.

Universitas Sumatera Utara


kepada suatu badan atas kekuasaan dan tanggung jawab sendiri wewenang untuk

membuat/membentuk peraturan perundang-undangan. 350

Berdasarkan deskripsi diatas secara yuridis dapat diketahui bahwa adanya

kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh tersebut secara eksplisit telah disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11

Tahun 2006. Kewenangan pelaksanaan kebijakan administratif merupakan

kewenangan atribusi Presiden (Pemerintah Pusat). Di mana untuk menghindari

munculnya kekhawatiran Pemerintahan Aceh dalam implementasi kewenangan

khusus di Aceh, maka diperlukan “konsultasi dan pertimbangan” gubernur.

Salah satu, kebijakan administratif Pemerintah Pusat adalah membuat

peraturan perundang-undangan, seperti PP dan Perpres yang berkaitan langsung

dengan Aceh. Padahal, mengacu Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945, disebutkan:

“Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya”. Dalam pasal tersebut tidak terdapat perintah secara

delegatif bahwa pemerintah pusat dalam menetapkan PP atau Perpres baik

berkaitan langsung atau tidak dengan daerah diperlukan konsultasi dengan kepala

daerah atau gubernur.

Meskipun demikian, karena dalam Pasal 18B UUD RI 1945, mengakui

adanya daerah khusus atau istimewa, maka kewenangan delegatif tersebut tidak

kontradiktif dengan konstitusi (UUD RI 1945). Apalagi, pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagaimana Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006

350
Amrizal J. Prang, 2013, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa, Jurnal,
Transformasi Administrasi, Volume 03, Nomor 02, Tahun 2013, hlm. 579.

Universitas Sumatera Utara


tersebut berkaitan langsung dengan kekhususan dan keistimewaan Aceh. Oleh

karena itu, atribusi “konsultasi dan pertimbangan gubernur” terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh tersebut secara implisit menjadi salah satu kewenangan khusus yang

diatribusikan oleh UU No.11 Tahun 2006 kepada Pemerintah Aceh (gubernur),

meskipun tidak disebutkan secara eksplisit oleh UU No.11 Tahun 2006 sebagai

bagian dari pelaksanaan otonomi khusus Aceh. Untuk mengetahui kewenangan

tersebut kontradiksi atau tidak dengan UUD RI 1945, penulis akan membahas

secara tersendiri dalam Bab III.

Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai

peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006 yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diatur dengan PP

atau Perpres. Sebagaimana, Pasal 270 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

“Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional dan pelaksanaan Undang-

Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan

perundang-undangan”. Ada 9 (sembilan) PP dan 3 (tiga) Perpres, yaitu:.

1. PP tentang Pembentukan Kawasan khusus di Aceh dan/atau

kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu

yang bersifat khusus dan pembagian kewenangan antara Pemerintah,

Pemerintah Aceh/kabupaten/ kota dan badan pengelola kawasan khusus.

[Pasal 4 ayat (5)].

Universitas Sumatera Utara


2. PP tentang Tata cara pelaksanaan tugas, wewenang dan keuangan

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Aceh. [Pasal 43 ayat (5) dan

ayat (6)].

3. PP tentang Partai politik lokal di Aceh [Pasal 95].

4. PP tentang Persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian

Sekretaris Daerah Aceh dan sekretaris daerah kabupaten/kota [Pasal

107].

5. PP tentang standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan

Pegawai Negeri Sipil Aceh/kabupaten/kota [Pasal 124 ayat (2)].

6. PP tentang Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan

bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat

dan laut di wilayah kewenangan Aceh. [Pasal 160 ayat (5)].

7. PP tentang Pelimpahan kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan

Sabang (DKS). [Pasal 170].

8. PP tentang Nama dan gelar Aceh. [Pasal 251 ayat (3)].

9. PP tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh.

[Pasal 270].

Sementara, 3 (tiga) Peraturan Presiden, yaitu:

1. Perpres tentang tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan atas

rencana persetujuan Internasional, rencana pembentukan undang-undang,

dan kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan

pemerintahan Aceh. [Pasal 8 ayat (4)].

Universitas Sumatera Utara


2. Perpres tentang kerja sama pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan

di luar negeri. [Pasal 9 ayat (4)].

3. Perpres tentang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan

Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan

perangkat daerah kabupaten/kota. [Pasal 253 ayat (2)].

Sedangkan, yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh terhadap

pelaksanaan UU No.11 Tahun 2006, diatur lebih lanjut dengan qanun untuk

provinsi dan kabupaten/kota. Sebagaimana Pasal 270 ayat (2) UU No.11 Tahun

2006 disebutkan: “Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-

Undang ini diatur dengan Qanun Aceh”. Sementara, ayat (3) disebutkan:

“Kewenangan pemerintah kabupaten/kota tentang pelaksanaan Undang-Undang

ini diatur dengan qanun kabupaten/kota”. Di mana ada sekitar 59 (lima puluh

sembilan) Qanun Aceh.

Sampai saat ini sebagian qanun-qanun Aceh sebagai peraturan pelaksanaan

UU No.11 Tahun 2006 dan menjadi kewajiban Pemerintahan Aceh yang sudah

dibentuk, antara lain:

1. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum Di Aceh (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam

Tahun 2007 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 07);

2. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan Kepada

Partai Politik dan Partai Politik Lokal (Lembaran Daerah Nanggroe

Universitas Sumatera Utara


Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 08, Tambahan Lembaran

Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 08);

3. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pendelegasian

Kewenangan Pemerintah Aceh Kepada Dewan Kawasan Sabang

(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor

09, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor

09);

4. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal (Lembaran

Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 10,

Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10);

5. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian

Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan

Dana Otonomi Khusus (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12), yang dirubah dengan Qanun

Aceh Nomor 2 Tahun 2013 (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 02,

Tambahan Lembaran Aceh Nomor 48);

6. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (Lembaran Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 03, Tambahan

Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03);

Universitas Sumatera Utara


7. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Pendidikan (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun

2008 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 05);

8. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Administrasi Kependudukan (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Tahun 2008 Nomor 06, Tambahan Lembaran Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 16);

9. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik

(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor

08, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor

18);

10. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan

Adat dan Adat Istiadat (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam

Tahun 2008 Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 19);

11. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat

(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor

10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor

20);

12. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 22);

13. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Ulama (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2009 Nomor 02, Tambahan

Lembaran Daerah Aceh Nomor 24);

14. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan

Pemberhentian Imum Mukim di Aceh (Lembaran Daerah Aceh Tahun

2009 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 25);

15. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan

Pemberhentian Keuchik di Aceh (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2009

Nomor 04, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 26);

16. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal

(Lembaran Daerah Aceh Tahun 2009 Nomor 05, Tambahan Lembaran

Daerah Aceh Nomor 27), yang sudah dirubah dengan Qanun Aceh

Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanaman Modal (Lembaran Aceh

Tahun 2013 Nomor 04, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 48);

17. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan (Lembaran

Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah

Aceh Tahun 2011 Nomor 30);

18. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana

(Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 02, Tambahan Lembaran

Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 27);

Universitas Sumatera Utara


19. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan (Lembaran

Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 07, Tambahan Lembaran Daerah

Aceh Tahun 2011 Nomor 33);

20. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 07, Tambahan

Lembaran Daerah Aceh Nomor 35);

21. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2011 tentang Irigasi (Lembaran Daerah

Aceh Tahun 2011 Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah Aceh

Nomor 37);

22. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan

Qanun (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan

Lembaran Daerah Aceh Nomor 38);

23. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Aceh (Lembaran

Daerah Aceh Tahun 2012 Nomor 02, Tambahan Lembaran Daerah

Aceh Nomor 39);

24. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2012 tentang Bagi Hasil Pajak Aceh

Kepada Kabupaten/Kota (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2012 Nomor

03, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 40);

25. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota

(Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Aceh

Nomor 41);

Universitas Sumatera Utara


26. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe

(Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 08, Tambahan Lembaran Aceh

Tahun 2012 Nomor 42), yang sudah dirubah dengan Qanun Aceh

Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali Nanggroe (Lembaran

Aceh Tahun 2013 Nomor 09, Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2013

Nomor 53);

27. Qanun Aceh Nomor 09 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Aceh 2012-2032 (Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor

09, Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 09);

28. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran

Aceh Tahun 2012 Nomor 47);

29. Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pinjaman dan Hibah

Kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Lembaran

Aceh Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2012

Nomor 48);

30. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang

Aceh (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 03, Tambahan Lembaran

Aceh Nomor 49);

31. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial

(Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 11, Tambahan Lembaran Aceh

Nomor 55);

Universitas Sumatera Utara


32. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Aceh Tahun 2012 -2017 (Lembaran Aceh Tahun

2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 56);

33. Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan

Pertambangan Mineral Dan Batubara (Lembaran Aceh Tahun 2013

Nomor 15, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 58);

34. Qanun Aceh Nomor 16 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal

Pemerintah Aceh pada Badan Usaha Milik Aceh (Lembaran Aceh

Tahun 2013 Nomor 16, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 59);

35. Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Aceh (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 17,

Tambahan Lembaran Aceh Nomor 60);

36. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum

(Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 02, Tambahan Lembaran Aceh

Nomor 63);

37. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan

tertentu (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 04, Tambahan

Lembaran Aceh Nomor 65);

38. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Lembaran

Aceh Tahun 2014 Nomor 07, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 67);

39. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 08, Tambahan Lembaran Aceh

Nomor 67);

Universitas Sumatera Utara


40. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam

(Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 09, Tambahan Lembaran Aceh

Nomor 68);

41. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh

Syariah (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 10, Tambahan

Lembaran Aceh Nomor 69); dan,

42. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh

Syariah (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 10, Tambahan

Lembaran Aceh Nomor 69);

Jika mengacu pada perintah UU No.11 Tahun 2006 sebanyak 59 (lima

puluh sembilan) qanun Aceh yang menjadi kewajiban Pemerintahan Aceh untuk

dibentuk, sebagian besar sudah dilaksanakan. Hanya saja ada 2 (dua) qanun yang

masih bermasalah pasca klarifikasi Pemerintah, yaitu: 1) Qanun Aceh Nomor 8

Tahun 2012 joncto Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali

Nanggroe; 2) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang

Aceh. Di mana pasca klarifikasi (pengawasan) oleh Pemerintah Pusat, ditemukan

beberapa hal yang kontradiksi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Dalam konteks ini seharusnya perbedaan pandangan berkaitan substansi

kedua qanun tersebut tidak perlu terjadi, jika Pemerintahan Aceh dan Pemerintah

Pusat memahami dan konsisten dalam implementasi UU No.11 Tahun 2006.

Sehingga, jika secara yuridis formil dan materiil kedua qanun tersebut sudah

sesuai dengan UU No.11 Tahun 2006, maka segera ditetapkan dan dilaksanakan.

Sebaliknya, jika substansi kedua qanun tersebut kontradiksi dengan materiil UU

Universitas Sumatera Utara


No.11 Tahun 2006, maka kepada Pemerintahan Aceh agar segera melakukan

perubahan agar kedua qanun tersebut dapat dilaksanakan.

Sementara, yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dalam penetapan

PP dan Perpres yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah (Presiden), sebagaimana

telah disebutkan pada Bab I, baik dilakukan sebelum proses konsultasi dan

pertimbangan gubernur, antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik

Lokal di Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4708).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan

Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh

dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 135, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5054).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan

Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 143, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5175).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan

Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 28, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5659).

Universitas Sumatera Utara


5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan

Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5696).

6. Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang Tata Cara

Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan

Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan

Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.

7. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama

Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.

8. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor

Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.

Deskripsi dan kajian di atas menunjukkan bahwa secara filosofis, politis,

sosiologis, dan moril bahwa dasar dan tujuan pemberian kewenangan konsultasi

dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh untuk menyelesaikan konflik

kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan

Aceh. Meskipun demikian penyelesaian konflik kepentingan tersebut, dilakukan

harus berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di mana penyelesaiannya dengan pendekatan komunikatif dan dialogis

untuk mempertemukan dua kepentingan yang berbeda (confict of interest) antara

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Dengan penyelesaian ini diharapkan

akan menghasilkan suatu nilai yang bermuara kepada harmonisasi hubungan,

saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh, dan tercapainya

keadilan bagi rakyat Aceh secara komprehensif. Sehingga, tidak berulang konflik

dan dis-harmonisasi hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh.

Walaupun Aceh bagian minoritas dari daerah di Indonesia, keadilan harus

diperoleh secara mutlak. Sebagaimana dikatakan John Rawls:

“Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir


orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak
orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warganegara
dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada
tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal
yang mengizinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak
adanya teori yang lebih baik; secara analogis ketidakadilan bisa dibiarkan
hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai
kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu
gugat”. 351

Artinya, berdasarkan pandangan John Rawls diatas, diharapkan kedepan

hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh akan lebih baik dan

harmonis. Di mana dalam implementasi kewenangan yang sudah diberikan

kepada Pemerintahan Aceh diperlukannya konsistensi Pemerintah Pusat.

Sehingga, terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Aceh. Meskipun

dalam konteks pembentukan PP dan Perpres masih belum sesuai Pasal 271 UU

No.11 Tahun 2006, yaitu: Pemerintah Pusat wajib membentuknya paling lama 2

(dua) tahun setelah disahkannya UU No.11 Tahun 2006, yaitu sejak tahun 2008.

351
John Rawls, 2011, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Cetakan II, terjemahan dari A Theory of Justice, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


Memang, banyak hambatan dan kendala dalam pembentukannya pada saat

dilakukan konsultasi dan pertimbangan gubernur. Sering muncul perbedaan

interpretasi terhadap substansi UU No.11 Tahun 2006 antara Pemerintah Pusat

(kementerian terkait) dan Pemerintah Aceh (gubernur) dalam pembentukan PP

dan Perpres tersebut. Mengenai hambatan dan kendala dalam penetapan PP dan

Perpres ini akan dibahas tersendiri dalam Bab IV. Oleh karena itu, konsistensi

Pemerintah Pusat terhadap implementasi UU No.11 Tahun 2006, terutama setelah

penetapan peraturan pelaksananya akan menjaga hubungan harmonis antara

Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh. Sebaliknya, jika Pemerintah Pusat

masih inkonsistensi kepada Pemerintahan Aceh, maka dikhawatirkan akan

menimbulkan kembali konflik dan disharmonisasi hubungan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Aceh. Begitu juga Pemerintahan Aceh agar terwujudnya

harmonisasi hubungan Pemerintah Pudat dan Aceh dan terwujudnya kesejahteraan

rakyat, maka dapat menjalankan pemerintahannya sesuai dengan konstitusi (UUD

RI 1945) dan UU No.11 Tahun 2006.

BAB III

PENGATURAN KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN GUBERNUR


TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF PEMERINTAH PUSAT
YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN PEMERINTAHAN ACEH
DALAM PERSPEKTIF NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

A. Prinsip Negara Kesatuan

Prinsip negara kesatuan sebagaimana dikatakan C.F. Strong, yaitu:

Bahwa hakikat (esensi) negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya


tidak terbagi, atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah
pusatnya tidak terbatas karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui
adanya badan pembuat undang-undang selain badan pembuat undang-
undang pusat. Jika kekuasaan pusat berpendapat, ada baiknya

Universitas Sumatera Utara


mendelegasikan kekuasaan itu pada badan-badan tambahan – apakah badan-
badan tersebut berupa otoritas daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu
bisa saja dilakukan mengingat otoritas pusat memiliki kekuasaan penuh,
bukan karena konstitusi menetapkan demikian…. Pendelegasian kekuasaan
ini bukan berarti tidak ada badan pembuat undang-undang tambahan, tetapi
badan-badan itu dapat dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat.
Dengan demikian, ada dua sifat penting negara kesatuan, yaitu: 1) supremasi
parlemen pusat, dan 2) tidak adanya badan berdaulat tambahan. 352

Sehingga, dalam menjalankan kedaulatan tertinggi negara, Pemerintah Pusat

yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam lapangan

pemerintahan. Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan

rakyat, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah

pemerintahan pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. Tanpa disertai

ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, akan terjadi tumpang tindih dalam

melaksanakan kewenangan. 353

Menurut Ateng Syarifuddin, dalam negara kesatuan adalah negara yang

mempunyai konstitusi yang memberikan hak dan kewajiban menjalankan

kewenangan penyelenggaraan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat,

selengkapnya dikatakan:

……UUD itu memberikan kewenangan pemerintah negara kepada satu


pemerintah, yaitu pemerintah pusat, karena penyelenggaraan segala
kepentingan hak baik dari pusat maupun dari daerah sebenarnya adalah
kewajiban dari pemerintah yang satu. Hanya berhubungan dengan luasnya
daerah, makin banyak tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat,
sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan antara yang

352
C.F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An
Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung, hlm. 115. Lihat juga, Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Edisi Revisi, GramediaPustaka Utama, Jakaarta, hlm. 269-270.
353
Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.

Universitas Sumatera Utara


satu dengan yang lain sukar diketahui dan sukar diatur secara memusat,
maka jika keadaan daerah-daerah sudah memungkinkan, pusat menyerahkan
kepada daerah-daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri
kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah. 354

Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan

Pemerintah Pusat mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan

mengenyampingkan peran dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan

mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.

Dominasi Pemerintah Pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan

hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi

tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga

timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. 355

Berdasarkan pandangan di atas, menunjuki bahwa dalam negara kesatuan tidak

ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada ditangan negara, bukan di daerah.

Implikasinya, negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif, yang berkedudukan

di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD hanya memiliki

regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan

produk lembaga legislatif pusat (DPR) dan peraturan perundangan yang yang lebih

tinggi. Penyelenggara negara dan/atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat

melakukan review terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan

dengan undang-undang dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Sehingga, esensi dalam negara kesatuan kedaulatan mutlak ada pada

Pemerintah Pusat. Sementara, kekuasaan pada Pemerintahan Daerah merupakan


354
Dikutip dari Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga
Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 50.
355
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


pendelegasian dari Pemerintah Pusat. Di mana kekuasaan yang didelegasikan

tersebut atas kedaulatan Pemerintah Pusat dapat menarik atau menghapus

kembali. Meskipun di daerah adanya badan atau lembaga pembuat peraturan-

peraturan (pemerintah daerah dan DPRD), namun lembaga daerah tersebut tidak

memiliki kekuasaan penuh.

Oleh karena itu, terdapat beberapa kekurangan pada negara kesatuan,

pertama, beban kerja Pemerintah Pusat cenderung berlebihan. Kedua, akibat

keberadaan pusat pemerintahan yang jauh, mengakibatkan ketidakpekaan dengan

masalah yang dihadapi oleh rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan

kepentinganya terhadap daerah. Ketiga, tidak boleh adanya daerah yang

menyuarakan haknya berbeda dengan daerah-daerah lainnya, atas alasan

sentralisasi semua pelayanan harus sama. Konsekuensinya, maka sering terjadi

perlawanan dan konflik dengan daerah. 356

Sementara, Jimly Asshiddiqie berbeda pandangan dalam hal ini, mengutip

pendapat John Locke, mendeskripsikan kedaulatan rakyat itu dapat dibedakan

antara kedaultan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty), ketika

negara dibentuk tetapi pada bagian kedaulatan rakyat itu tetap berada di tangan

rakyat, sewaktu-waktu dapat dipakai dalam menentukan kebijakan negara dan

mengangkat pejabat-pejabat melalui pemilihan umum dan/atau referéndum

(second treaty). 357

356
K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia,
hlm. 342.
357
Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane,
Jakarta, hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara


Menurut John Locke, kontraktuil (perjanjian masyarakat) dari negara

merupakan peringatan, bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, tetapi

selalu terbatas. Karena dalam mengadakan perjanjian individu-individu tidak

menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan

hak asasi yang tidak dapat dilepaskan (inalienable rights), juga tidak oleh individu

itu sendiri. Penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan

kenegaraan harus menghormati hak asasi itu. 358 Perjanjian masyarakat ini yang

disebut dengan pactum subjectionist, selain itu Locke juga mengajukan kontrak

yang disebut dengan pactum unionis, yaitu individu-individu lainnya mengadakan

suatu perjanjian masyarakat membentuk suatu masyarakat politik atau negara. 359

Selanjutnya, Jimly juga menambahkan:

Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak
dapat dipecah-pecah merupakan konsep utopis yang memang jauh dari
kenyataan. Dengan demikian konsep kedaaulatan rakyat itu dewasa ini
cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerah-
daerah bagian dari negara kesatuan itu bukanah unit-unit negara bagian yang
tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya
sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara
kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. 360

Kalau mengacu pendapat J.J. Rousseau, yang beranggapan negara bersifat

suatu wakil rakyat, yang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau berkedaulatan

rakyat (leer van de volkssouvereiniteit). 361 Dari pendapat-pendapat di atas,

meskipun prinsip negara kesatuan kekuasaan atau kedaulatan penuh ada pada

358
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung,
hlm. 145.
359
Ibid.
360
Jimly Assiddiqie, 2005, Op., Cit., hlm. 33.
361
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetekan Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 332.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan Pusat yang didapat melalui first treaty, namun kedaulatan mutlak

masih tetap pada rakyat. Oleh karena itu, relevan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI

1945, disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.”

Sehingga, jika ada negara kesatuan menghadapi konflik serius dan

berkepanjangan antara pusat dan daerah serta pemerintahannya tidak stabil, lebih

kepada terbawa arus pembawaan monistis, sentralistis, daan unitaristis dari negara

kesatuan atau arus pembawaan pluralistis, desentralistis, dan federalistis dari

negara serikat. Hal itu lebih disebabkan lembaga legislatif, eksekutif, dan

yudikatif pusat belum mampu membentuk bangunan negara bangsa. Disamping

itu, kemungkinan adanya salah urus (mis-management) pemerintahan. 362

Pemerintah Pusat maupun daerah belum mampu membentuk sistem

pemerintahan negara kesatuan berdasarkan hukum nasional dengan

memperhatikan hukum internasional. Khususnya, para pembentuk peraturan

perundaang-undangan dari yang tertinggi hingga terendah belum mampu

menjadikan “hukum sebagai alat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

masyarakat” dalam menghadapi berbagai kepentingan ditengah masyarakat. 363

Oleh karena itu, jika ini terjadi tanpa ada penyelesaian, maka negara sebagai

asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan

bersama telah disorientasi dari tujuan utamanya.

Bukankah, tujuan negara sebagaimana dikatakan Plato dalam bukunya

“Republik”, bahwa dibentuk karena kebutuhan umat manusia. Tidak ada manusia

362
Astim Riyanto, 2010, Loc., Cit., hlm. 93.
363
Ibid, hlm. 93-94.

Universitas Sumatera Utara


dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri-sendiri, tetapi banyak kebutuhan.

Begitu juga Aristatoles dalam bukunya, “Politik, mengatakan negara dibentuk dan

dipertahankan karena bertujuan menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua

warga negaranya. 364 Sedangkan, menurut Roger H. Soltau, tujuan negara ialah

“memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya

sebebas mungkin (the freest possible development and creative self-expression of

its members). Begitu juga, Harold Laski, mengatakan tujuan negara, yaitu:

“menciptakan di mana rakyat dapat mencapai keinginan mereka secara maksimal

(creation of those conditions under which the members of the state may attain the

máximum satisfaction of their desires)”. 365

Sementara, tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana Paragraf

Keempat Pembukaan UUD RI 1945, disebutkan:

…..kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

364
F. Isjwara, 1995, Op., Cit., hlm. 164.
365
Miriam Budiarjo, 2008, Op., Cit., hlm. 54-55.

Universitas Sumatera Utara


Sebagaimana telah dideskripsikan pada Bab I, bahwa negara kesatuan dibagi

juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik. Negara kesatuan dengan pola

sentralistik adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara

tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum. Sedangkan,

pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

daerah. Namun, penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar

negara kesatuan. 366

Mahfud MD, menyebutkan negara kesatuan adalah:

Negara yang kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah melalui pemberian


otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus
dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau
melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak
yang datang dari, atau diberikan oleh, pemerintah pusat beradasarkan
undang-undang dan konstitusi.367

Negara kesatuan terbagi dalam dua bentuk: pertama, sistem sentralisasi, di

mana segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah

pusat, pemerintah daerah tinggal melaksanakannya. Kedua, sistem desentralisasi,

di mana pemerintah pusat memberikan kekuasaan kepeda pemerintah daerah

untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan

daerah swatantra. 368 Logemann, menyatakan bahwa kekuasaan bertindak secara

bebas yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk menjalankan

366
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Op., Cit., hlm. 59-62.
367
Mahfud MD, Loc. Cit., hlm. 221.
368
C.S.T. Kansil, 1983, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan sendiri, kekuasaan inilah dinamakan otonomi, dimana Van

Vollenhoven memberi istilah “Eigenmesterschap”. 369

Desentralisasi pada dasarnya dapat dipahami dari 2 (dua) perspektif.

Pertama, dari perspektif politik (political decentralisation perspective) adalah

“pelimpahan kekuasaan” dari pusat kepada daerah dalam menjalankan fungsi

pemerintahan. Kedua, dalam perspektif administratif (administrative

decentralisation perspective) adalah “pemberian wewenang” dari unit

pemerintahan yang lebih tinggi kepada lembaga, organisasi ataupun perorangan

yang lebih rendah untuk merencanakan, membuat keputusan, dan mengatur

fungsi-fungsi terkait kepentingan publik. 370

Hal ini sebagaimana juga dinyatakan oleh Conyers membagi desentralisasi

menjadi 2 (dua) macam, yaitu: pertama, devolution of power (devolusi) adalah

pelimpahan kewenangan politik dari pusat kepada daerah yang ditetapkan secara

legal. Kedua, deconcentration (dekonsentrasi) adalah merujuk kepada

kewenangan administratif yang diberikan oleh pusat kepada perwakilan badan-

badan pemerintah pusat yang ada daerah. Sejalan juga, dengan konsep

desentralisasi Smith, yang menekankan bahwa pada garis besarnya desentralisasi

itu adalah pendelegasian wewenang (delegation of authority), baik dalam

pengertian politik maupun birokrasi. 371 Sejalan dengan pengertian diatas oleh

Parson, mendefinisikan desentralisasi sebagai “… sharing of the governmental

power by a central ruling group with other groups, each having authority within a

369
Solly Lubis, 1975, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintahan
Daerah, Alumni, Bandung, hlm. 20.
370
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8.
371
Ibid, hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara


specific area of the state.” (…..pembagian kekuasaan pemerintahan oleh

kelompok penguasa pusat dengan kelompok-kelompok lain, masing-masing

memiliki kewenangan dalam wilayah khusus negara"). Sedangkan dekonsentrasi

adalah “… the sharing of power between members of the same ruling group

having authority respectively in different areas of the state”. (“……pembagian

kekuasaan antara anggota yang sama, di mana kelompok penguasa mempunyai

wewenang masing-masing di berbagai wilayah negara”). 372

Berdasarkan kedua deskripsi diatas bahwa dalam konteks desentralisasi ada

2 (dua) perspektif. Pertama, dalam bentuk politik atau pemerintahan

(devolution/delegation) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat, yang diatur

dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk dijalankan sendiri oleh

Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, dalam bentuk administratif (deconcentration),

di mana kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada lembaga vertikal di

daerah untuk dijalankan sesuai dengan perintah dari pusat, yang selanjutnya

dipertanggungjawabkan langsung kepada pemerintah pusat.

Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat

dihindari, berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang

hendak dicapai. Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan

tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan

keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan

masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional. Dalam perspektif

desentralisasi politik tersebut Smith, membedakan tujuan desentralisasi

372
Syarif Hidayat, 2008, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-
Society Relation, Jurnal Politik, Volume 1, Nomor 1 tahun 2008, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


berdasarkan kepentingan nasional (Pemerintah Pusat), dan kepentingan

Pemerintah Daerah. 373

Dari sisi kepentingan Pemerintah Pusat, sedikitnya ada tiga tujuan utama

desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik), maksudnya,

melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan

memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi;

menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang

tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai

kebijakan pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah; kedua,

to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan

ini berasumsi pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk

training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai

posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan

memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional; dan, ketiga

to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Para pendukung

dari tujuan ini percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud

kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil. 374

Sementara, dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah: pertama, untuk

mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan

akan lebih membuka kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam

berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat dapat dengan elegan

mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai

373
Ibid., hlm. 3.
374
Ibid., hlm. 4-5.

Universitas Sumatera Utara


politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan

kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan; kedua, local

accountability, di mana diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan

Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, meliputi hak

untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan

di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah; dan,

ketiga local responsiveness, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui

berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan

menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan

akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah. 375

Menurut The Liang Gie, desentralisasi bukanlah semata-mata bernuansa

technical administration atau practical administration, melainkan juga sebagai

proses of political interaction. Berarti bahwa desentralisasi atau otonomi sangat

erat kaitannya dengan demokrasi, di mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi

pada tingkat nasional, melainkan juga demokrasi di tingkat lokal (local

democracy) yang arahnya kepada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian

daerah. Oleh karena itu, desentralisasi dapat dilihat paling tidak dari empat sudut:

pertama, sudut politik, sebagai permainan kekuasaan yang dapat mengarah kepada

penumpukan kekuasaan yang seharusnya kepada penyebaran kekuasaan

(distribution or dispertion of power). Tetapi juga sebagai tindakan

pendemokrasian untuk melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.

Kedua, sudut teknis organisatoris, sebagai cara untuk menerapkan dan

375
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


melaksanakan pemerintahan yang efesien. Ketiga, sudut kultural, adanya

perhatian terhadap keberadaan atau kekhususan daerah. Keempat, sudut

pembangunan, desentralisasi atau otonomi secara langsung memperhatikan dan

melancarkan serta meratakan pembangunan. 376

Dengan demikian, filosofi formulasi dan implementasi otonomi

sesungguhnya berorientasi kepada hal-hal sebagai berikut:

a. Realisasi dan implementasi filososfi demokrasi;

b. Realisasi kemandirian secara nasional dan mengembangkan sensitivitas

kemandirian daerah;

c. Melatih daerah dalam mencapai kedewasaannya dan dapat memenej

permasalahan dan kepentingannya sendiri sejauh memungkinkan;

d. Mempersiapkan political schooling untuk seluruh masyarakat;

e. Mempersiapkan saluran bagi aspirasi dan partisipasi daerah;

f. Membangun pemerintah dapat secara optimal mencapai efesiensi dan

efektifitas. 377

Oleh karenanya, tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi

administrasi (administrative decentralisastion perspective), lebih menekankan

pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan ekonomi di daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli,

menyebutkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui kebijakan

desentralisasi adalah untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam

menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
376
Dikutip dari Andi Alfian Malaranggeng, dkk, 2001, Otonomi Daerah: Perspektif
Teoritis dan Praktis, Cetakan Ke-2, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hlm. 96
377
Ibid, hlm. 96-97.

Universitas Sumatera Utara


efektivitas pembangunan ekonomi di daerah. Sementara, menurut Ruland, lebih

menekankan aspek partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi sebagai

tujuan utama desentralisasi. 378

Implementasi kedua jenis desentralisasi politik dan desentralisasi

administrasi tersebut diwujudkan dalam pengambilan keputusan pada setiap

struktur organisasi termasuk organisasi negara. Menurut M. Faltas, ada dua

kategori dalam pengambilan keputusan:

1. Keputusan politik/political authority yaitu decisions that are allocative,


the commit public funds, the coercive power of governmental regulation
and other public values, to authoritatively chosen ends.
2. Keputusan administratif/administrative authority yaitu decision of
implementation about now and where recources have to be used, who
would quality for service resulting from the allocation and whether the
allocated resources have been properly used. 379

Berdasarkan pengertian tersebut maka keputusan politik disebut juga

keputusan alokasi, sedangkan keputusan administratif, disebut juga keputusan

pelaksanaan. Dari dua jenis pengambilan keputusan tersebut dalam struktur

organisasi dapat bervariasi:

1. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan dilakukan pada puncak

hierarki secara terpusat, yang disebut sentralisasi penuh.

2. Keputusan alokasi diambil pada puncak organisasi sedangkan keputusan

pelaksanaan dilakukan pada jenjang-jenjang yang lebih rendah, yang

disebut dengan dekonsentrasi.

378
Syarif Hidayat, 2008, Op., Cit., hlm. 4-5.
379
Dikutip dari Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


3. Keputusan alokasi dan pelaksanaan, keduanya diserahkan sepenuhnya

pada jenjang organisasi yang lebih rendah, disebut desentralisasi. 380

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam arti luas desentralisasi

mencakup beberapa konsep sebagai berikut:

1. Dekonsentrasi merupakan penyerahan sejumlah kewenangan administrasi dari

pemerintah pusat kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau

badan pemerintahan yang lain.

2. Devolusi merupakan pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-

nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada diluar kontrol

pemerintahan pusat.

3. Delegasi merupakan perpindahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu

kepada organisasi diluar struktur birokrasi regular dan hanya dikontrol oleh

pemerintah pusat secara tidak langsung.

4. Deregulasi merupakan proses penghapusan peraturan tertentu.

5. Privatisasi merupakan pemberian semua tanggungjawab atas fungsi-fungsi

kepada organisasi non-pemerintahan atau perusahaan swasta yang independen

dari pemerintah. 381

Dari beberapa pandangan di atas, ada yang berbeda pendapat terhadap

keberadaan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi. Di mana dianggap tidak

bisa disejajarkan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi. Hal ini dikarenakan

dekonsentrasi kecenderungannya kepada hal yang berkaitan dengan administrasi

380
Ibid. hlm. 3.
381
Soni Yuwono, dkk., 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan
Pengelolaan Keuangan Daerah), Bayu Media Publishing, Malang, hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


atau kepegawaian (ambtelijk). Sedangkan, substansi desentralisasi bersifat

ketatanegaraan (staatkundig).

Sebagaimana dikatakan Bagir Manan, mengutip pendapat R Tresna,

mengenai desentralisasi sebagai berikut:

1. Staatkundige decentralisatie/politieke decentralisatie:


a. territoriale decentralisatie:
a.1. autonomie;
a.2. Medebewind/Medebestuur/Zelfbestuur/Self-government;
b. functionale decentralitatie.
2. Ambtelijk decentralitatie (deconcentratie). 382

Begitu pula menurut Irawan Soejito, bahwa pada umumnya desentralisasi

mempunyai bentuk:

1. Desentralisasi territorial;

2. Desentralisasi fungsional;

3. Desentralisasi administratif (ambtelijk) atau dekonsentrasi. 383

Melalui pendapat-pendapat di atas dapat diketahui, bahwa meskipun

dekonsentrasi memuat pemencaran kekuasaan, tetapi tidak dapat disejajarkan

dengan desentralisasi. (Hal ini karena) desentralisasi bersifat ketatanegaraan

(staatkundig), sedangkan dekonsentrasi hanya berkaitan dengan penyelenggaraan

administrasi Negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Aspek

ketatanegaraan dalam desentralisasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan

desentralisasi merupakan bagian dari organisasi negara. Desentralisasi harus

mencerminkan sepenuhnya tatanan organisasi negara dan penyelenggaraan negara

(misalnya, tentang “dasar permusyawaratan” dalam rumusan Pasal 18 UUD


382
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, Alumni, Bandung, hlm. 274.
383
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


1945). Sementara, dalam dekonsentrasi, dasar permusyawaratan itu tidak ada,

dekonsentrasi dapat hadir tanpa menghiraukan corak negara atau sistem

ketatatanegaraan. Kehadiran dekonsentrasi semata-mata untuk melancarkan

pemerintahan sentral/pusat di daerah. 384

Desentralisasi sebagai suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah,

juga memiliki kelemahan dan kelebihan. Menurut George R. Terry, dalam konteks

kelebihan desentralisasi yaitu:

1. Struktur organisasi yang disentralisasikan memiliki bobot pendelegasian


wewenang dan meringankan beban manajemen teratas.
2. Lebih berkembang ke arah generalist (umum) daripada specialist
(khusus).
3. Dapat meningkatkan hubungan yang akrab dan memunculkan gairah
kerja dan koordinasi yang baik.
4. Efisiensi dapat ditingkatkan.
5. Bagi organisasi yang besar dapat memperoleh manfaat dari keadaan
ditempat masing-masing.
6. Sebelum suatu rencana dapat diterapkan secara keseluruhan dapat
diterapkan lebih dahulu dalam suatu bagian tertentu sehingga rencana
dapat berubah.
7. Resiko yang mencakup kerugian dalam bidang kepegawaian, fasilitas,
dan organisasi dapat terbagi-bagi. 385

Disamping kelebihan, menurut Martin Jimung, desentralisasi juga memiliki

kelemahan, yaitu:

1. Besarnya organ-organ pemerintahan menjadikan struktur pemerintahan


bertambah kompleks dan berimplikasi pada lemahnya koordinasi.
2. Keseimbangan dan kesesuian antara bermacam-macam kepentingan
daerah akan lebih mudah terganggu.
3. Desentralisasi teritorial mendorong timbulnya daerah-isme atau provinsi-
isme.
4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena
memerlukan perundingan yang bertele-tele.

384
Ibid, hlm. 274-275.
385
Soni Yuwono, dkk., 2008, Loc., Cit., hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


5. Desentralisasi memerlukan biaya yang besar dan sulit memperoleh
keseragaman (uniformitas) dan kesederhanaan. 386

Selanjutnya, Martin mengatakan visi Pemerintahan Daerah pada era

otonomi daerah yang tertuang dalam kebijakan desentralisasi, yaitu pembebasan

pusat, pemberdayaan daerah, serta pengembalian kepercayaan pusat ke daerah.

Setidaknya, ada lima prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:

1. Prinsip peleksanaan. Pelaksanaan otonomi daerah harus menjunjung aspirasi


perjuangan rakyat, memperkukuh negara kesatuan, dan mempertimbangkan
tingkat kesejahteraan masyarakat daerah.
2. Prinsip riil dan tanggungjawab. Pemberian otonomi kepada daerah harus
merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab pada kepentingan
seluruh warga daerah. Pemerintah daerah berperan mengatur proses dinamika
pemerintahan dan pembangunan di daerah.
3. Prinsip pencernaan. Asas desentralisasi perlu dilaksanakan dengan asas
dekonsentrasi melalui pemberian kemungkinan kepada masyarakat untuk
kreatif dalam membangun daerahnya. Artinya, pemerintah bukan sebagai raja,
melainkan pelayan untuk dan bersama rakyat membangun daerahnya.
4. Prinsip keserasian. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek
keserasian dan tujuan di samping aspek pendemokrasian.
5. Prinsip pemberdayaan. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di
daerah, terutama dalam aspek pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik
dan kesatuan bangsa. 387

Di sisi lain, sebagaimana disampaikan Winardi yang dikutip Ari Purwadi,

bahwa kebijakan desentralisasi merupakan keputusan yang dianggap terbaik yang

perlu diambil bangsa ini. Wacana negara federal sempat marak pada awal-awal

era reformasi, namun semakin tenggelam seiring dengan diadopsinya unsur-unsur

386
Ibid.
387
Ibid, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara


federal di dalam undang-undang otonomi daerah. 388 Para ahli menyebutkan ada

banyak faktor mengapa desentralisasi diperlukan antara lain, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Brian C. Smith dengan menyebutkan 6 (enam) faktor, yaitu:

1. Untuk pendidikan politik. Desentralisasi memberikan pemahaman kepada


para masyarakat, penyeleksian para wakil rakyat dan juga pentingnya
kebijakan, perencanaan dan anggaran dalam suatu sistem demokrasi.
2. Untuk latihan suatu kepemimpinan politik. Desentralisasi menciptakan
sebuah landasan bagi pemimpin politik prospektif di tingkat lokal untuk
mengembangkan kecakapan dalam hal pembuatan kebijakan, menjalankan
partai politik serta menyusun anggaran. Dari pemimpin dalam tingkat lokal
inilah diharapkan akan mampu melahirkan politisi-politisi nasional yang
handal.
3. Untuk dapat memelihara stabilitas politik. Partisipasi masyarakat dalam
politik formal melalui voting dan praktek-praktek lain dapat meningkatkan
kepercayaan pihak masyarakat terhadap pemerintah. Dengan cara ini dapat
diharapkan tercapai harmoni sosial, semangat kekeluargaan dan kerukunan,
juga stabilitas politik.
4. Untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat. Kesetaraan politik dan
partisipasi politik akan mengurangi kemungkinan dari adanya konsentrasi
kekuasaan. Kekuasaan politik nanti akan terdistribusi secara luas sehingga
desentralisasi merupakan sebuah mekanisme yang dapat mencakup
kelompok miskin atau kelompok marjinal.
5. Untuk memperkuat akuntabilitas publik. Akuntabilitas diperkuat karena
perwakilan setempat lebih terakses kepada penduduk setempat dan oleh
karenanya akan lebih bertanggungjawab terhadap kebijakan dan hasil-
hasilnya dibanding pemimpin politik nasional atau pegawai pemerintah.
6. Untuk meningkatkan kepekaan kaum elit akan kebutuhan masyarakat.
Sensitifitas pemerintah meningkat dikarenakan perwakilan lokal
ditempatkan secara tepat untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan lokal dan
juga agar bagaimana kebutuhan tersebut terpenuhi dengan cara-cara yang
efektif. 389

Sedangkan, menurut Chemma dan Rondinelli menyatakan ada beberapa

alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, antara lain:

1. Desentralisasi dapat merupakan cara untuk mengatasi keterbatasan karena


perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah
kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di

388
Ari Purwadi, 2013, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan antara Pusat
dan Daerah Era Otonomi Daerah, Jurnal Perspektif, Volume XVIII, Nomor 2 Tahun 2013, Edisi
Mei, hlm. 92.
389
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan itu dapatlah dilakukan
sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.
2. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka
tingkat pemahaman serta sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah
akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan
masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk
memiliki informasi yang baik, sehingga dengan demikian itu akan
mengakibatkan perumusan kebijakan yang mana lebih realistik dari
pemerintah.
3. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai
kelompok politik, etnis, dan keagamaan di dalam perencanaan
pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam
mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
4. Struktur pemerintahan yang mana didesentralisasikan itu diperlukan karena
untuk melembagakan parsitipasi masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi program. Struktur seperti itulah dapat merupakan wahana bagi
pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah
kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada pemerintah.
5. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional
dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di
daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijakan,
sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di
dalam memelihara sistem politik.390
Sementara, dalam konteks NKRI sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I

dan Bab II, bahwa dasar pemberlakuan desentralisasi secara konstitusional diatur

dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Pasal 18 UUD RI 1945, disebutkan:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan

mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-

hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Selanjutnya, pasca perubahan Pasal 18, menjadi tiga pasal, yaitu: Pasal 18

UUD RI 1945, yaitu:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah


provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang

390
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.

Sementara, Pasal 18A UUD RI 1945, yaitu:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah


provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.

Kemudian, Pasal 18B UUD RI 1945, yaitu:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan


daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dari beberapa pendapat di atas pemberlakuan desentralisasi sudah

menunjukan pengaturan yang selaras. Oleh karenanya, pasca perubahan UUD RI

Universitas Sumatera Utara


1945 dan konsistensi pelaksanaan desentralisasi, terutama pasca reformasi

kekuasaan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Pemerintah Pusat. Begitu juga

dengan peran pemimpin menunjukan siginifikansi terhadap pembangunan sesuai

dengan kebutuhan dan kepentingan di daerah. Meskipun masih banyak kelemahan

dalam pengelolaan pemerintahan akibat sumber daya manusia yang terbatas.

Begitu juga, pengaruh negatif melahirkan pejabat-pejabat yang melakukan

penyelewengan, seperti penyalahgunaan wewenang dan korupsi, kalau

sebelumnya terpusat pada pejabat pusat telah menyebar kepada daerah-daerah.

C. Pengaturan Otonomi Daerah

Dalam UUD RI 1945 baik sebelum dan sesudah perubahan dinyatakan

bahwa pelaksanaan desentralisasi akan diatur dalam undang-undang. Di mana

sistem pemerintahan daerah NKRI sejak tahun 1945-2015 ditandai dengan

pemberlakuan berbagai peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan

Daerah. Kemudian, kebijakan pengaturan dan perubahan peraturan perundang-

undangan tentang Pemerintahan Daerah ini, tidak terlepas daripada perkembangan

sistem pemerintahan dan politik Indonesia.

Menurut Warsito Utomo, setiap undang-undang atau kebijakan pemerintah

yang diberlakukan atau ditetapkan mengenai otonomi dan desentralisasi selalu

dipengaruhi situasi politik nasional, sistem pemerintahan atau bahkan keinginan

Universitas Sumatera Utara


power elit suatu orde. 391 Berkaitan pengaturan otonomi daerah dalam peraturan

perundang-undangan sudah dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali, sejak Orde

Lama, Orde Baru, dan orde Reformasi. Setiap perubahan sistem dituangkan dalam

undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Disamping itu, pada masa Orde

Lama dibawah Presiden Soekarno pernah juga diatur dalam Penetapan Presiden.

Semua peraturan perundang-undang tersebut memuat substansi yang berbeda satu

sama lain. Pengaturan peraturan perundang-undangan dalam tiga masa Orde

Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, sebagai berikut:

1. Pengaturan Masa Orde Lama

1.1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional

Daerah ini, dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan undang-

undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang

tersebut didasarkan pada Pasal 18 UUD RI 1945, pengaturan-pengaturan yang

dimuat, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Sebuah Komite National Daerah (KND) didirikan pada setiap level terkecuali di

tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-

anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang

dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh

kepala daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala daerah

391
Dikutip dari Didik Sukriono, 2013, Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian
Politik Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,
Setara Press, Malang, hlm.126.

Universitas Sumatera Utara


menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai

wakil Pemerintah Pusat di daerah. 392

Penyelenggaraan otonomi pada daerah Keresidenan, Kabupaten dan Kota

diselenggarakan bersama-sama antara KND dan Kepala Daerah (Residen, Bupati

dan Walikota) adalah pejabat pemerintah yang diangkat oleh pemerintah pusat.

Mereka masing-masing menurut peraturan yang berlaku mempunyai tugas

menjalankan wewenang Pemerintah Pusat di lingkungan wilayah jabatannya. Oleh

karena itu, pemerintahan daerah menurut undang-undang ini, tidak ada batas yang

tegas antara wewenang daerah berdasarkan otonominya dan wewenang yang

dijalankan oleh Kepala Daerah berdasarkan dekosentrasi. 393

Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah Pusat untuk menerapkan

prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah,

namun penekanannya lebih kepada prinsip dekonsentrasi. Hal ini terlihat dari

dualisme fungsi diberikan kepada kepala daerah. Status Kepala Daerah adalah

diangkat dan diambil dari keanggotaan komite, disamping sebagai kepala daerah,

juga merupakan wakil pemerintah pusat. Komite Daerah, meskipun mempunyai

kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah, tetapi pelaksanaanya

terbatas karena statusnya diangkat oleh Pemerintah Pusat.

1.2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

392
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 22-24.
393
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonsia, Cetakan Kedua,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 191.

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah

dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi

dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-undang ini hanya

mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah

administratif.

Selanjutnya, undang-undang ini hanya mengakui 3 (tiga) tingkatan daerah

otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota

Kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan

Daerah (DPD). Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah

diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.

DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada

DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. 394

Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer

yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan

dwifungsi; sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat

di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah Pusat, kepala daerah

mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, kepala daerah

bertindak selaku wakil dari daerah. 395

Di mana memuat dua dasar kebijaksanaan baru yaitu: 1) tentang hasrat pusat

untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah; 2) tentang titik berat

394
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Op., Cit., hlm. 24-27.
395
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


otonomi. Berkaitan dengan hasrat pusat untuk memberikan otonomi yang luas

kepada daerah, dalam undang-undang ini belum mempergunakan istilah “luas”

atau “seluas-luasnya”, melainkan “sebanyak-banyaknya”, seperti yang terdapat

dalam Penjelasan angka III tentang hak mengatur dan mengurus rumah tangga

sendiri yang menyebutkan: “Kelak di dalam Undang-undang Pembentukan dari

masing-masing daerah akan disebutkan macam-macam kewajiban pemerintah

yang akan diserahkan kepada daerah. Adalah hajat pemerintah akan menyerahkan

kewajiban itu sebanyak-banyaknya.” 396

Istilah “sebanyak-banyaknya” mengandung arti beraneka urusan

pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan kepada daerah. Otonomi daerah

akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas. Dengan demikian

“sebanyak-banyaknya” sama dengan pengertian “seluas-luasnya.” Sementara, titik

berat otonomi dikonsentrasikan pada desa dan daerah setingkat desa sebagai

satuan daerah otonom terbawah. 397 Undang-undang ini menganut asas otonomi

formal dan materil sekaligus. Hal ini terlihat pada urusan yang diserahkan kepada

daerah (materiil) dan adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat

Peraturan Daerah tertentu yang telah dibuat oleh pemerintah di atasnya. 398

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang dilimpahkan

kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip ultra vires yang

diterapkan pada pemerintah daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang

diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota


396
Bagir Manan, 1994, Op., Cit., hlm. 134.
397
Ibid, hlm. 135.
398
Mahfud, MD., 2006, Loc., Cit., hlm. 224.

Universitas Sumatera Utara


kecil sebagai pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama

dengan urusan pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian otonomi mengenyampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah.

Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis

dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas. 399

Pada tingkat daerah otonom atau swatantra (pemerintahan sendiri)

dilatarbelakangi pemikiran pembentuk undang-undang, seperti dimuat dalam

penjelasan umum, tentang empat persoalan penting. Pertama, mengenai suatu

urusan antara urusan pusat atau urusan daerah. Kedua, mengenai keberagaman

kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak ada kongruen

dengan urusan hukum adat. Ketiga, tentang KDH harus dipilih langsung oleh

rakyat daerah yang bersangkutan tetapi harus pula mendapat pengesahan dari

pemerintah yang berwajib. Keempat, mengenai pengawasan, maksudnya bahwa

pemerintah pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk

hukumnya maupun tindakan-tindakannya. 400

Realitasnya, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih di bawah kontrol

Belanda, yang telah mengubah daerah-daerah yang di dudukinya kembali menjadi

negara-negara bagian di bawah sistem federal. Sedangkan wilayah Republik

Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya berlaku pada wilayah Republik

Indonesia. Sedangkan, daerah-daerah dibawah sistem federal diatur sistem

399
Ibid.
400
Jimly Assiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 401.

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan daerahnya menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang

Pemerintah Daerah-Daerah Indonesia Timur.

Dalam undang-undang ini memang telah diberi kewenangan yang luas

kepada daerah yang diistilahkan dengan “sebanyak-banyaknya”. Kemudian, untuk

daerah otonom kepala daerah (KDH) sudah dipilih secara langsung oleh rakyat,

tetapi masih harus mendapat pengesahan pemerintah pusat. Di sini menunjukkan

meskipun kepala daerah dipilih langsung tetapi belum memiliki kewenangan yang

besar, sebagaimana kewenangan yang diperuntukan kepada gubernur Aceh yang

diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006. Apalagi saat berlaku UU

No.22 Tahun 1948 daerah-daerah masih di bawah kontrol Belanda.

1.3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950

Pada 24 Desember 1946 berdiri Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai hasil

Konferensi Malino dan Denpasar, akibat politik devide et impera, pemerintah

Belanda. Namun, pada Mei 1950 tercapai persetujuan antara Pemerintah Republik

Indonesia Serikat (RIS) dan Pemerintah Indonesia (Yogyakarta) untuk

membentuk NKRI. Untuk menyesuaikan pemerintahan daerah tersebut, maka

Pemerintah NIT menetapkan peraturan desentralisasi yang termuat dalam

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah-Daerah

Indonesia Timur, yang diberlakukan mulai 15 Juni 1950. 401

Undang-undang ini banyak mengambil alih ketentuan-ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Menurut Undang-Undang Nomor 44

401
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 27.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 1950 ini, NIT terbagi atas tiga tingkatan daerah otonom, yaitu: a. daerah; b.

daerah bagian; dan c. daerah anak bagian. Setiap daerah dalam lingkungan NIT

mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan undang-undang. Untuk

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) NIT, terdiri dari atas DPR dan Dewan

Pemerintah. DPR mempunyai ketua dan wakil ketua yang dipilih oleh dan dari

anggota. Kepala Daerah menjabat ketua dan merangkap anggota dewan

pemerintah. Adapun para anggota dewan pemerintah dipilih oleh DPR atas dasar

perwakilan berimbang dari antara anggota-anggota DPR atau orang luar. 402

Berhubung undang-undang ini dibentuk menjelang pembubaran NIT dan

pengganbungannya dalam NKRI, maka undang-undang ini tidak terlaksana

seluruhnya. Setelah pembubaran NIT dan terbentuknya NKRI, pada 17 Agustus

1950, maka pelaksanaan desentralisasi di wilayah bekas NIT didasarkan atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Di mana daerah-daerah yang dibentuk

NIT tingkatannya disamakan dengan daerah kabupaten. 403 Dari deskripsi ini

menunjukan bahwa negara Indonesia pernah mengalami perubahan susuan/bentuk

negara dari kesatuan mejadi federasi (serikat). Kemudian, sistem pemerintahan

dari presidensil menjadi sistem parlementer. Undang-undang ini khusus ditujukan

untuk negara bagian Indonsia Timur. Di mana kepala daerah sebagai ketua Dewan

Pemerintah yang merupakan bagian dari DPR NIT.

1.4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

402
Ibid, hlm. 27-30.
403
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 lebih menekankan pada

aspek dekonsentrasi, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 pada aspek

desentralisasi, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi ke arah

desentralisasi. Adapun dasar pertimbangan untuk mengeluarkan undang-undang

ini adalah:

a. Berhubung dengan perkembangan katatanegaraan maka Undang-

Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang berhak

mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan

bentuk negara kesatuan; dan,

b. Pembaruan itu perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang

berlaku untuk seluruh Indonesia. 404

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah produk dari sistem parlemen

liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di

parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan

tersebut menimbulkan keresahan kalangan Pamong Praja yang bertugas

melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Berdasarkan, Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1956 tentang Pembentukan Koordinasi

Pemerintahan Sipil, terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten

Wedana atau Camat. Meskipun terdapat dorongan kuat untuk meluaskan otonomi

daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan tetaplah terbatas. Dari

15 urusan yang diserahkan ke daerah sama seperti Undang-Undang Nomor 22

404
Ibid. hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 1948, sampai dengan tahun 1958, hanya 7 (tujuh) urusan sebenarnya

diserahkan kepada Provinsi. Penyebabnya adalah pelimpahan urusan harus

dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedurnya yang sangat lama. 405

Sistem pemerintahan daerah menurut undang-undang ini, hampir sama

dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah terdiri dari

DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada

DPRD. Kepala daerah sebagai Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi ditangan

DPRD, yang membuat kebijakan daerah dan DPD melaksanakannya.

Perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, pada peranan

kepala daerah, hanya sebagai alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada

Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun

secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD. 406

Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus

mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri

Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Keinginan untuk

menciptakan pemerintahan demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan sosial

dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri

Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat diumumkan. Pada tanggal 5 Juli

1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu;

mencabut UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD RI

1945, dimana dimulainya sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). 407

405
Ibid.
406
Ibid.
407
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Keberadaan Kepala Daerah menurut undang-undang ini sama seperti

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Di mana Kepala Daerah sebagai ketua

DPD dipilih dari DPD yang dipilih dari DPRD. Hanya saja yang membedakan

adalah keberadaan Kepala Daerah dalam menyelenggarakan roda pemerintahan

bertanggung jawab kepada DPRD, tidak kepada Pemerintah Pusat, sebagaimana

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

Dampak langsung otonomi daerah dari undang-undang ini diberlakukan

Penpres (Penetapan Presiden) Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daeah

dan Penpres Nombr 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Gotong Royong danSekretariat Daerah. Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut

The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokratisasi ke stabilitas dan

esiensi pemerintahan di daerah. Kedua merubah asas-asas pemerintahan daerah

dari sentralisasi ke desentralisasi. Menurut Prajudi, Penpres ini memakai sistem

“dualisme fungsional” yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah. 408

1.5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,

Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 tentang

Pemerintah Daerah, untuk mengatur pemerintahan daerah agar sejalan dengan

UUD RI 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa pemerintah daerah terdiri

dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu

sebagai eksekutif daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah

408
Jimly Asshiddiqie, 2007, Op., Cit., hlm. 403-404.

Universitas Sumatera Utara


juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia bertanggung

jawab kepada DPRD namun tidak bisa dipecat oleh DPRD.

Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia bertanggung jawab kepada

Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh

Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala

Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh Badan

Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun

harus bebas dari partai politik.409 Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 menandai

beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip dekonsentrasi.

Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak ditangan kepala daerah, dan Pemerintah

Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya

direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan

calon-calon kepala daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai

hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong

Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada

waktu semua jabatan kepala daerah terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau

63% berasal dari Pamong Praja. 410

Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan

dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis

Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-

1969, yang menyatakan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada

pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan

409
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 34-39.
410
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan

Pusat, sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada pemerintah daerah. 411

Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur,

dan urusan-urusan yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau

Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap dipertahankan.

Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti

Penetapan Presiden 6 Tahun 1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari

dekonsentrasi ke arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari

menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.412

Berdasarkan deskripsi di atas menunjukkan bahwa pelaksanaannya cenderung

pada prinsip dekonsentrasi, dibandingkan desentralisasi. Dalam Penpres ini

keberadaan Kepala Daerah menjadi lebih dominan dalam pemerintahan daerah, di

mana memiliki dua kekuasaan pemerintahan daerah, sebagai eksekutif menjabat

sebagai kepala daerah, dan legislatif daerah sebagai ketua DPRD, di samping

sebagai wakil pemerintah pusat.

Berdasarkan Penetapan Presiden ini, kekuasaan kepala daerah sangat

dominan dalam tiga kekuasaan, yaitu sebagai eksekutif yaitu kepala daerah,

kedua, sebagai legislatif, yaitu ketua DPRD, dan wakil pemerintah pusat.

Keberadaan kepala daerah (gubernur) masa ini menyerupai dengan pengaturan

dalam pemerintahan dewasa ini, yaitu kepala daerah (gubernur) mempunyai dua

kedudukan yaitu sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Sedangkan,

yang berbeda adalah kepala daerah tidak bisa menjadi anggota atau ketua DPRD.

411
Ibid.
412
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun demikian, kewenangan gubernur dalam undang-undang ini berbeda dan

tidak seluas dibandingkan dengan kewenangan gubernur Aceh yang diatur dalam

Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006.

1.6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan semakin kuat untuk

merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi

Terpimpin dan Nasakom, untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar

pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Pada

tanggal 1 September 1965, diundangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini merupakan

gabungan atau pencakupan dari segala pokok-pokok (unsur-unsur) pemerintahan

daerah yang diatur dalam peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Sehingga,

sejak itu dalam konteks pemerintahan daerah hanya berlaku satu undang-undang

ini (unifikasi peraturan daerah di Indonesia). 413

Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-

luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1957. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari

kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari

kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota

partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para

eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat. Undang-

413
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


undang ini adalah kebijakan politik dengan maksud mengembalikan dan

memperkuat kewibawaan Kepala Daerah (KDH) sebagai alat pemerintah pusat

dengan fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi. KDH

meskipun dipilih oleh oleh DPRD namun kedudukannya tidak tergantung

sepenuhnya kepada DPRD, atau tidak tergantung kepada kedudukan KDH

terhadap DPRD. Dengan demikian kedudukan KDH cukup berwibawa, sehingga

tidak dapat diberhentikan oleh kekuatan politik daerah.. 414

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Kepala Daerah

(KDH) tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil

Pemerintah Pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi

dianut dalam sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah sebagai pelengkap

(supplement). Perubahan mendasar terjadi dalam sistem pemerintahan daerah

adalah kepala daerah bukan lagi sebagai Ketua DPRD, dan juga diizinkan menjadi

anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah

yang otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan.

2. Pengaturan Masa Orde Baru

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah, menggantikan Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965. Dibentuk pada

masa Orde Baru sebagai akibat dari peristiwa Gerakan 30 September Partai

Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Berdasarkan Pasal 18 UUD RI 1945 bahwa:

a. daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, dan akan dibagi pula dalam

daerah, dan akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil;

414
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 406.

Universitas Sumatera Utara


b. daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat daerah administratif belaka. 415

Ciri utama dari undang-undang ini adalah penguatan peran kepala daerah,

untuk kepala daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD minimal 3 (tiga)

orang dan maksimal 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan

disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi dengan Menteri

Dalam Negeri. 416 Keberadaan kepala daerah, sebagaimana juga diatur dalam

undang-undang sebelumnya memiliki dwi fungsi, sebagai kepala daerah sekaligus

wakil pemerintah pusat. Dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai

kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala

daerah otonom memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan

kewenangan yang diserahkan. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat, disebut

sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah administrasi sebagai wilayah

kerja wakil Pemerintah Pusat di daerah.

Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan sebagai

administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kepala wilayah

juga mempunyai peran sebagai koordinator pemerintahan di daerah yang

mengoordinir semua instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala

wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum yaitu urusan-

urusan terkait dengan koordinasi, pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum

dan menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di otonomikan

atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya (urusan sisa). 417

415
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 43.
416
Ibid, hlm.47-48.
417
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Prinsip pembentukan otonomi daerah ini untuk melancarkan pelaksanaan

pembangunan yang tersebar diseluruh wilayah negara, dan dalam membina

kestabilan politik dan kesatuan bangsa, maka untuk menjalankan hubungan yang

serasi antara pemeritah pusat dengan daerah dijalankan otonomi nyata dan

bertanggungjawab. Di mana otonomi ini dianggap dapat menjamin pertumbuhan

dan pembangunan daerah yang dilaksanakan selaras dengan asas dekonsentrasi. 418

Namun, kebanyakan ahli otonomi daerah di Indonesia berbeda pendapat

dalam melihat undang-undang ini. Amrah Muslimin, misalnya, menyatakan

bahwa undang-undang ini menyoroti desentralisasi dan dekonsentrasi sekaligus.

Kedua asas ini, menurutnya sama pentingnya bahkan dekonsentrasi lebih penting

daripada desentralisasi. Selama masih ada pemerintah pusat, maka selama itu pula

asas dekonsentrasi tetap ada, karena keselamatan seluruh tanah air pada akhirnya

menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. 419 Sedangkan, menurut Philipus M.

Hadjon apa yang berlaku dalam undang-undang ini hanya terbatas pada asas

otonomi, tidak menyentuh asas tugas pembantuan (medebiwind). Ini adalah karena

dalam tugas pembantuan tidak terdapat unsur penyerahan urusan kepada daerah.

Dengan perkataan lain, desentralisasi diberi arti yang sempit oleh Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1974. 420

Ciri-ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah kuatnya

intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah.

Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah

418
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 279.
419
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 406-407.
420
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 112.

Universitas Sumatera Utara


otonomi yang luas, riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan

pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan)

urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa

sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek

lainnya dalam hubungan pusat dengan daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai tindak lanjut dari reformasi.

Dengan kata lain undang-undang ini membedakan secara tegas

desentralisasi dengan dekonsentrasi (juga tugas pembatuan) sebagai asas-asas

yang masing-masing berdiri sendiri. Demikian juga, memisahkan antara susunan

pemerintahan daerah (otonom) dengan pemerintahan desa. 421 Sebenarnya, ditinjau

dari prinsip-prinsip pemerintahan tingkat lebih rendah dalam Pasal 18 UUD RI

1945, yaitu: a) prinsip territorial; b) prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (kedaulatan rakyat); dan, c)

prinsip dengan memandang dan mengingat hak-hak asasl usul daerah-daerah yang

bersifat istimewa, tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD RI 1945 mengatur

prinsip Wilayah Administratif (asas dekonsentrasi) disamping desentralisasi atau

otonomi. Sehingga, Pasal 18 UUD RI 1945 hanya mengenal satu satuan

pemerintahan daerah (pemerintahan daerah otonom). Jadi secara konstitusional

hanya daerah otonom yang perlu diatur dalam undang-undang organik

sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 18 UUD RI 1945. 422

421
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Loc., Cit., hlm. 271-272.
422
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Bila hal tersebut dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974, yang justru mengatur mengenai wilayah administratif dalam pelaksanaan

asas dekonsentrasi, maka tidaklah berdasarkan Pasal 18 UUD RI 1945, melainkan

semata-semata terpengaruh oleh bunyi penjelasannya (“Di daerah-daerah yang

bersifat otonom/streek dan locale rechtsgemeenchappen atau bersifat daerah

administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan

undang-undang”) didorong oleh hasrat menonjolkan kekuasaan Pusat di

Daerah. 423

Undang-undang masa Orde Baru ini merupakan penjabaran Ketetapan MPR

Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Ketentuan GBHN tersebut dalam konteks politik hukum otonomi daerah

melahirkan sentralisasi kekuasaan dan melemahkan otonomi daerah. Sehingga,

telah berimplikasi ketidakadilan politik (seperti kedudukan DPRD sebagai bagian

dari pemerintahan daerah dan cara penetapan kepala daerah) dan ekonomi karena

kekayaan daerah lebih banyak ditarik oleh pusat dan dijadikan sebagai bargaining

politik pusat dan daerah. 424

Dorodjatun Kuntjara Jakti meneyebutkan, persoalan mendasar yang

dihadapi oleh Orde Baru pada tahap awal pemerintahannya adalah kenyataan

tentang adanya ketimpangan antar daerah yang sangat besar. Kondisi seperti ini

menghadapkan Orde Baru pada suasana sangat dilematis ketika harus

mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada satu

sisi, implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan

423
Ibid.
424
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Op., Cit., hlm.127.

Universitas Sumatera Utara


keniscayaan dalam menegakkan prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerintahan

dan untuk mendukung percepatan pembangunan ekonomi di daerah. Namun,

praktik desentralisasi dan otonomi daerah juga berpotensi melahirkan instabilitas

pemerintahan atau bahkan dapat memicu muncul kembali gerakan daerah. 425

Implikasi terhadap kekhawatiran gerakan daerah, malah saat itu menjadikan

daerah tidak bisa menjalankan hak otonomnya. Meskipun demikian, undang-

undang ini bahkan tidak pernah direvisi sampai berakhirnya Pemerintah Orde

Baru. Setelah beralih kekuasaan pemerintahan dari Orde Baru kepada orde

Reformasi, undang-undang ini baru di ubah, bahkan diganti dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

telah mengubah secara signifikan substansi undang-undang sebelumnya, dan telah

mengubah prinsip otonomi menjadi otonomi seluas-luasnya.

3. Pengaturan Masa Orde Reformasi

3.1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menandai terjadinya shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi pemerintahan daerah yang

desentralistik secara ekstrim. Maka banyak kalangan mengatakan telah terjadi

“big bang” dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat

dalam era Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi. Di mana

keberadaan daerah provinsi yang sebelumnya berdasarkan Undang-Undang

425
Ibid. hlm. 128.

Universitas Sumatera Utara


Nomor 5 Tahun 1974, sebagai daerah otonom dan wilayah administratif, pasca

UU No. 22 Tahun 1999, menjadi daerah provinsi bukan lagi sebagai pemerintah

atasan daerah kabupaten dan kota. Sehingga, masing-masing tidak mempunyai

hubungan hirarki. 426

Tiga alasan utama reformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,

yaitu pertama, dalam rangka demokratisasi system pemerintahan; kedua, dalam

rangka meningkatkan pelayanan publik; dan ketiga, reformasi kebijakan

desentralisasi diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah untuk selanjutnya tercipta suatu tatanan pemerintahan yang

responsive, akuntabel, dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam proses

perumusan kebijakan. 427

Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi penyerahan

urusan secara drastis ke daerah khususnya ke daerah kabupaten/kota. Dalam

konteks otonomi seluas-luasnya Pemerintah Pusat dan provinsi mempunyai

kewenangan yang terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai

Daerah Otonom. Sedangkan, diluar dari yang ditentukan menjadi kewenangan

pemerintah daerah kabupaten/kota. Pasca pengaturaan tersebut terjadinya

pergesekan kewenangan antar tingkatan dan susunan pemerintahan terkait dengan

kewenangan-kewenangan yang khususnya potensial menghasilkan penerimaan

(revenue centers).

426
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 73.
427
Philipus M. Hadjon, dkk., 2001, Loc., Cit., hlm.129.

Universitas Sumatera Utara


Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, gubernur

bertanggungjawab kepada DPRD provinsi, sedangkan sebagai wakil pemerintah

pusat bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara, untuk tingkat

kabupaten/kota, kepala daerahnya bertanggungjawab kepada DPRD dan

berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan. 428

Sebaliknya, terjadi gejala penelantaran urusan pemerintahan yang bersifat

pengeluaran (cost centers). Terjadi pula ketegangan antara kepala daerah dengan

DPRD terkait kecenderungan meluas ditolaknya laporan pertanggung jawaban

kepala daerah oleh DPRD. Bidang kepegawaian juga muncul kecenderungan

kebijakan bersifat primordial yang kalau dibiarkan akan membahayakan persatuan

dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa kedaerahan yang sempit. Berbagai

persoalan tersebut telah menggiring kearah dilakukannya perubahan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22 Tahun

1999) dan kemudian dikeluarkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya.

3.2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

UU No.32 Tahun 2004, menggantikan UU No.22 Tahun 1999. Di mana

mencari keseimbangan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Pengalaman

menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi ataupun sentralisasi yang ekstrim

cenderung akan menciptakan instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada

konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.

428
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2002, Loc., Cit., hlm. 77.

Universitas Sumatera Utara


Untuk itu selalu terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara kebijakan yang

desentralistik dengan kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuum

kebijakan.

Pelaksanaan otonomi daerah dalam undang-undang ini, diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah melalui

peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan turut serta masyarakat di daerah.

Seterusnya, untuk meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, yang merata, keadilan, keistimewaan dan kekhususan daerah.

Banyak perubahan penting dalam undang-undang ini, dibandingkan dengan UU

No. 22 Tahun 1999, diantaranya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah

provinsi, dan kabupaten/kota. Di mana menempatkan kembali hubungan secara

hirarki antara provinsi dengan kabupaten/kota.

Undang-undang ini keberadaan provinsi sebagai daerah otonomo sekaligus

sebagai wilayah administratif. Oleh karena itu, gubernur adalah kepala daerah

otonom sekaligus kepala wilayah administrasi. Sebagai kepala daerah otonom

gubernur bertanggungjawab kepada rakyat setempat. Sedangkan, sebagai kepala

wilayah administrasi (local state government), gubernur adalah wakil pemerintah

pusat di wilayah administrasi setempat. Dalam statusnya sebagai kepala daerah

otonom, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan daerah.

Sedangkan, dalam kedudukannya sebagai kepala wilayah administrasi, gubernur

dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan pemerintah pusat, yang merupakan

implikasi logis sebagai penerapan asas dekonsentrasi. 429

429
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 120.

Universitas Sumatera Utara


Perubahan signifikan dalam undang-undang ini adalah pemilihan langsung

kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang sebelumnya dipilih oleh DPRD.

Sebagaimana Pasal 24 ayat (5) disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang

bersangkutan. Perbedaan lainnya adalah mengenai pemberhentian kepala daerah,

sebagaimana Pasal 29 ayat (4) huruf a, disebutkan, Pemberhentian kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah yang melanggar sumpah/janji jabatan, tidak

melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah,

diberhentikan melalui proses pengususlan kepada Presiden berdasarkan putusan

Mahkamah Agung atas pendapat DPRD.

Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,

pemberhentian kepala daerah cukup melalui usulan DPRD kepada Presiden.

Sehingga, pemberhentian kepala daerah menurut Undang-Undang Nombor 32

Tahun 2004 menyerupai pemberhentian presiden/wakil presiden yang terlebih

dahulu harus dibuktikan melalui Mahkamah Konstistusi (MK), sebelum diajukan

pemberhentiannya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 430 Secara

umum undang-undang ini mengatur antara lain: hubungan antara pemerintah pusat

dengan daerah; pembentukan daerah dan kawasan khusus; pembagian urusan

pemerintahan; penyelenggaraan pemerintahan; kepegawaian daerah; pembentukan

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah; rencana pembangunan daerah;

keuangan daerah; kerjasama dan penyelesaian sengketa; kawasan kota; desa;

pembinaan dan pengawasan dan, pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.

430
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 410.

Universitas Sumatera Utara


Undang-undang ini juga mengalami perubahan selama dua kali, melalui

Perpu Nomor 3 Tahun 2005, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2005. Di mana pembentukan perpu ini beralasan sebagaimana

konsideransnya adalah untuk mengantisipasi proses pemilihan kepala daerah jika

terjadi bencana alam. Sebagaimana disebutka, yaitu: “untuk mengantisipasi

keadaan genting yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan

keamanan, dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat

dilaksanakan sesuai dengan jadwal, perlu dilakukan pengaturan tentang

penundaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

Setelah itu, kembali direvisi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, yang memberi

afirmasi kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah berasal dari calon

perseorangan (independen). Sebagaimana, disebutkan dalam konsiderans undang-

undang tersebut yaitu, bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan daerah

demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan,

penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan

yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.

Selanjutnya, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

sebagaimana UU No.32 Tahun 2004 telah terjadi perubahan, terutama setelah

putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan. Kemudian, juga

disebutkan bahwa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, belum diatur mengenai

pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala

Universitas Sumatera Utara


daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa

jabatannya.

Setelah mengalami dua kali UU No.32 Tahun 2004 kemudian dicabut dan

diganti bahkan menjadi 3 (tiga) undang-undang baru. Mengenai desa diatur

dengan, pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No.6

Tahun 2014). 431 Kedua, pemilihan kepala daerah diatur dengan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU

No.22 Tahun 2014). 432 Kemudian undang-undang ini dicabut dan digantikan

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu No.1 Tahun 2014), 433

yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, (UU

No.1 Tahun 2015) 434 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

431
Undang-Undang Desa, UU No.6 Tahun 2014, LN No.7 Tahun 2014, TLN No. 5495.
432
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU No.22 Tahun 2014,
LN No.243 Tahun 2014, TLN No. 5586.
433
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,
Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
434
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, UU No.1
Tahun 2015, LN No.23 Tahun 2015, TLN No. 5656.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-

undang (UU No.8 Tahun 2015). 435

Sedangkan, ketiga, mengenai pemerintahan daerah diatur dengan UU No. 23

Tahun 2014, 436 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu No.2 Tahun 2014)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-

Undang (UU No.2 Tahun 2015), 437 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.9 Tahun 2015). 438

3.3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Terdapat perbedaan substansi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara

UU No.32 Tahun 2004, dengan UU No. 23 Tahun 2014. Pertama, pengertian

dekonsentrasi, dalam Pasal 1 angka 8 UU No.32 Tahun 2004, berbunyi:

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

435
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, UU No.8 Tahun 2015, LN
No.57 Tahun 2015, TLN No. 5678
436
Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014, LN No.244 Tahun 2014,
TLN No. 5587.
437
Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No.2 Tahun 2015, LN No.24 Tahun 2015,
TLN No. 5657.
438
Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679.

Universitas Sumatera Utara


kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu.” Sedangkan, Pasal 1 angka 9 UU No.23 Tahun 2014, berbunyi:

Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,

kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan

bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.”

Dari kedua pengertian dekonsentrasi undang-undang tersebut, menunjukkan

bahwa dalam UU No.23 Tahun 2014, pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat

kepada gubernur bukan hanya sebagai wakil pemerintah pusat dan lembaga

vertikal, tetapi bahkan bupati/walikota sekaligus sebagai penanggungjawab urusan

pemerintahan umum. Kedua, pengertian tugas pembantuan, dalam Pasal 1 angka 9

UU No. 32 Tahun 2004, berbunyi: “Tugas Pembantuan adalah penugasan dari

Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa

untuk melaksanakan tugas tertentu.” Sedangkan, dalam Pasal 1 angka 11 UU

No.23 Tahun 2014, disebutkan: “Tugas Pembantuan adalah penugasan dari

Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah

Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.”

Ketiga, berkaitan dengan tugas dan wewenang DPRD Provinsi, dan

Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Sebagaimana,

Pasal 101 ayat (1) huruf d dan Pasal 154 ayat (1) huruf d UU No.23 Tahun 2014,

Universitas Sumatera Utara


menyebutkan bahwa DPRD provinsi dan kabupaten/kota mempunyai tugas dan

wewenang memilih gubernur, bupati dan walikota. Kewenangan ini tidak terlepas

daripada Pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2014, berbunyi: “Pemilihan gubernur,

bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan

kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati,

dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.

Walaupun demikian belum sempat dilaksanakan UU No. 22 Tahun 2014,

pada 2 Oktober 2014, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, membatalkan

undang-undang ini dengan Perpu No. 1 Tahun 2014. 439 Sebagaimana, Pasal 205

Perpu No.1 Tahun 2014 menyebutkan: “Pada saat Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

Dalam Perpu No.1 Tahun 2014 tersebut mengembalikan pelaksanaan

pemilihan langsung. Sebagaimana, Pasal 1 angka 1 disebutkan: “Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah

pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih

Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis. Oleh karena,

pilkada kembali dipilih langsung oleh rakyat sehingga tidak ada lagi kewenangan

DPRD untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Konsekuensinya, Pasal 101

ayat (1) huruf d dan Pasal 154 ayat (1) huruf d UU No.23 Tahun 2014, juga

439
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,
Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.

Universitas Sumatera Utara


diubah melalui Perpu No. 2 Tahun 2014 yang ditetapkan menjadi UU No. 2

Tahun 2015 dan terakhir diubah kedua kali dengan UU No. 9 Tahun 2015.

Keempat, eksistensi wakil kepala daerah yang tidak lagi dipilih secara

langsung dalam satu pasangan dengan kepala daerah, sebagaimana, Pasal 47 UU

22 Tahun 2014. Bahkan, ketika undang-undang ini dicabut dengan Perpu No.1

Tahun 2014 dan ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015, bahwa pemilihan

wakil kepala daerah tidak dipilih satu pasangan dengan kepala daerah.

Sebagaimana, Pasal 170 UU No. 1 Tahun 2015, disebutkan:

(1) Pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota


dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah pelantikan gubernur,
bupati, dan walikota.
(2) Masa jabatan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir bersamaan dengan masa
jabatan gubernur, bupati, dan walikota.
(3) Wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari pegawai negeri sipil atau non-
pegawai negeri sipil.

Menurut pasal ini bahwa wakil kepala daerah dapat berasal dari Pegawai

Negeri Sipil (PNS). Di mana sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, bahwa PNS harus mundur sementara dari jabatan negeri.

Sebagaimana Pasal 59 ayat (5) huruf g, disebutkan: Partai politik atau gabungan

partai politik, pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan:surat

pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari

PNS, anggota TNI, dan anggota Polri.

Selanjutnya, dalam Pasal 171 UU No.1 Tahun 2015, menyebutkan:

(1) Gubernur, Bupati, dan Walikota wajib mengusulkan Calon Wakil


Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dalam waktu paling

Universitas Sumatera Utara


lambat 15 (lima belas) hari setelah pelantikan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
(2) Wakil Gubernur diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan Gubernur
melalui Menteri.
(3) Wakil Bupati/Wakil Walikota diangkat oleh Menteri berdasarkan
usulan Bupati/Walikota melalui Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tidak mengusulkan Calon Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan
pengangkatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara, jumlahnya juga tidak lagi satu wakil kepala daerah, bahkan

maksimal dapat memiliki 3 (tiga) wakil kepala daerah, tetapi bisa juga pada suatu

daerah tidak memiliki wakil kepala daerah. Sebagaimana, Pasal 168 UU No. 1

Tahun 2015, disebutkan:

(1) Penentuan jumlah Wakil Gubernur berlaku ketentuan sebagai berikut:


a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu
juta) jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 (satu juta) jiwa
sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memiliki 1 (satu) Wakil
Gubernur;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3.000.000 (tiga juta)
sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat memiliki 2
(dua) Wakil Gubernur;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10.000.000 (sepuluh juta)
dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur.
(2) Penentuan jumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan
100.000 (seratus ribu) jiwa tidak memiliki Wakil Bupati/Wakil
Walikota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di atas 100.000 (seratus
ribu) jiwa sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa
memiliki 1 (satu) Wakil Bupati/Wakil Walikota;
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di atas 250.000 (dua
ratus lima puluh ribu) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil
Bupati/Wakil Walikota.

Universitas Sumatera Utara


Berbeda dengan substansi UU No.32 Tahun 2004, kepala daerah dan wakil

kepala daerah dipilih langsung secara berpasangan, sebagaimana, Pasal 24,

berbunyi:

(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut
kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota
disebut walikota.
(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu
orang wakil kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil
bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
(5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan.

Namun demikian, sebelum substansi pemilihan wakil kepala daerah ini

dilaksanakan, substansi Pasal 167-Pasal 172, diubah (dihapus) dengan. Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

Menjadi Undang-Undang. Sehingga, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan

serentak dengan pemilihan kepala daerah. Sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU No. 8

Tahun 2015, disebutkan: “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan

rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

secara langsung dan demokratis”.

Universitas Sumatera Utara


Dari deskripsi pengaturan otonomi daerah dalam peraturan perundang-

undangan dari UU No.1 Tahun 1945-UU No.23 Tahun 2014, dalam konteks

kedudukan kewenangan kepala daerah (gubernur), terdapat beberapa persamaan

dan perbedaannya. Sejak diberlakukan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,

sampai UU No.23 Tahun 2014, kedudukan gubernur di seluruh daerah

mempunyai dua status, sebagai kepala daerah juga wakil Pemerintah Pusat.

Kemudian, berkaitan dengan proses pemilihan sejak diberlakukan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1957 sampai UU No.22 Tahun 1999, kepala daerah

dipilih oleh DPRD. Pasca berlaku UU No.32 Tahun 2004 dan digantikan dengan

UU No.23 Tahun 2014 yang sudah diubah dengan UU No.9 Tahun 2015,

pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih secara

langsung.

Sementara, dalam konteks pelaksanaan kewenangan sebagai kepala daerah

ketika dipilih oleh DPRD bertanggungjawab kepada DPRD, sedangkan dalam hal

menjalankan administrasi pemerintahan, sebagai wakil pemerintah pusat

bertanggungjawab kepada presiden. Pasca pemilihan langsung oleh rakyat, kepala

daerah (gubernur) bertanggungjawab kepada rakyat pemilih, sedangkan sebagai

wakil pemerintah pusat bertanggungjawab kepada presiden.

Sedangkan, pengaturan dalam UU No.11 Tahun 2006, kedudukan gubernur

baik sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah pusat, keberadan dan

pertanggungjawabannya sama dengan daerah-daerah lainnya. Hanya saja sebagian

kewenangan yang dimiliki gubernur Aceh berbeda dengan gubernur-gubernur

daerag lainnya, sebagaimana pengaturan dalam UU No.23 Tahun 2014 yang

Universitas Sumatera Utara


sudah diubah dengan UU No.9 Tahun 2015. Khususnya, kewenangan “konsultasi

dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh”, sebagaimana diatur dalam

Pasal 8 ayat (3) UU No.11 tahun 2006. Sedangkan, bagi gubernur-gubernur

daerah lainnya, tidak ada kewenangan tersebut sebagaimana gubernur Aceh.

4. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

4.1. Dasar-dasar Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia terkait dengan kebijakan desentralisasi dilaksanakan

dalam arti devolution of power. Dalam sistem negara kesatuan (unitary state),

kebijakan desentralisasi ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini berbeda dengan

sistem federal, yang tidak memerlukan kebijakan desentralisasi dari pusat karena

sejak awal negara bagian (state), sudah mempunyai wewenang yang otonom

bahkan pada awalnya adalah sebuah negara yang berdaulat. Karena desentralisasi

menjadi komptensi pusat maka sempit luasnya otonomi daerah juga ditentukan

oleh politik hubungan pusat-daerah.

Dalam konteks proses hubungan pusat dan daerah antara negara federasi

dengan negara kesatuan juga terdapat perbedaan. Hubungan negara bagian dengan

pemerintah federal adalah coordinate dan independent. Sedangkan hubungan

antara daerah otonom dengan Pemerintah Pusat bahkan hubungan antara daerah

otonom dengan negara bagian dalam sistem federalism bersifat subordinate dan

Universitas Sumatera Utara


dependent. Dalam konteks Indonesia hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Provinsi dan/atau dengan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah

subordinate dan dependent. 440

Dalam kasus negara modern Indonesia, kebijakan desentralisasi dimulai

pada 1903 dengan diundangkannya Decentralisatie Wet 1903. Sejak saat ini

pemerintah pusat membentuk local government, pemerintahan daerah, yang

sebelumnya hanya ada pemerintahan pusat dengan satuan pemerintahan hirarkis

cabang pemerintah pusat pada wilayah-wilayah negara. Pada masa pemerintahan

bala tentara Jepang pemerintahan daerah dibubarkan. Akan tetapi, Jepang

menghidupkan kembali dewan-dewan daerah menjelang kekalahannya.

Ketika Indonesia merdeka, pemerintah membentuk pemerintahan daerah

berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD RI 1945. Akan tetapi, model dan

pendekatannya berubah-ubah sesuai dengan perkembangan sosial-politik dan

keamanan saat itu. Pada awal kemerdekaan sampai dengan 1959 model

pemerintahan daerah berdasarkan model demokratisasi lokal. Akan tetapi, sejalan

dengan perubahan politik pasca Dekrit Presiden 1959, model pemerintahan daerah

beralih dari model demokratisasi lokal ke model efisiensi adminnistrasi publik.

Regim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memantapkan model tersebut

sampai dengan kejatuhanya. Regim Reformasi yang menggantikan Orde Baru

pada 1999 membuat kebijakan pro demokratisasi lokal kembali. Kemudian pada

2004, karena model demokratisasi lokal menciptakan instabilitas pemerintahan

440
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 60. Lihat juga, Muhammad Rusmawardi, 2011,
Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Era Pemberlakuan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Jurnal Socioscientia Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 Nomor 1
Februari 2011, hlm. 96.

Universitas Sumatera Utara


daerah akibat ketidakmatangan dan ketidakdewasaan politik aktor daerah,

pemerintah pusat kemudian membuat kebijakan yang memadukan model

demokratisasi lokal dengan efisiensi administrasi publik.

Berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah dan hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, sebelum perubahan UUD RI 1945,

diatur dalam Pasal 18, berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar

dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-

undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat

istimewa”.

Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD RI 1945, disebutkan:

i. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia


tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan
daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di
daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-
undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
ii. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang
dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Berdasarkan Penjelasan pasal tersebut, menurut Bagir Manan, mengandung

beberapa prinsip:

Universitas Sumatera Utara


1. Prinsip desentralisasi teritorial wilayah Negara Republik Indonesia akan
dibagi-bagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam
daerah besar dan kecil (groengebied). Dengan demikian UUD RI 1945
tidak mengatur mengenai desentralisasi fungsional.
2. Perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk
mengatur desentralisasi teritorial tersebut dalam undang-undang.
3. Perintah kepada pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-
undang tentang desentralisasi teritorial harus:
a. Memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara;
b. Memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.

Di mana prinsip pertama dan ketiga merupakan prasyarat yang tidak dapat
disimpangi atau dilampaui oleh pembentuk undang-undang. Prinsip pertama
mengandung perintah bahwa pembentuk undang-undang dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 18 hanya boleh mengatur mengenai
desentralisasi teritorial. Sementara, prinsip ketiga bahwa isi undang-undang
pelaksanaan Pasal 18 harus mencerminkan dasar permusyawaratan dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 441

Maksud “dasar permusyawaratan”, dalam prinsip ketiga tersebut yang juga

merupakan salah satu sila dalam Pembukaan UUD RI 1945 atau Pancasila,

berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan”. Menurut Muhammad Hatta, dalam rumusannya

mengenai kerakyatan (kedaulatan rakyat) atas dasar permusyawaratan, adalah:

“Kedaulatan rakyat berarti, bahwa kekuasaan untuk mengatur pemerintahan


negeri ada pada rakyat. Rakyat yang berdaulat, berkuasa untuk
menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Tetapi, putusan rakyat
yang dapat menjadi peraturan pemerintah bagi orang semuanya ialah
keputusan yang ditetapkan dengan cara mufakat dalam satu perundingan
yang teratur bentuknya dan jalannya. Bukan keputusan sekonyong-
konyong diambil dengan cara mendadak dalam suatu rapat orang banyak
yang tersendiri saja, dengan menyerukan bersama-sama “mufakat”. Disini
tidak ada permusyawaratan lebih dahulu, sebab itu bukanlah Keputusan
menurut “kedaulatan rakyat”. 442

441
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 156.
442
Ibid. hlm. 157.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan deskripsi Pasal 18 tersebut, dasar permusyawaratan juga

diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan

tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada

pemerintahan tingkat daerah. Dalam pasal tersebut tidak terdapat keterangan atau

petunjuk yang memungkinkan pengecualian dari prinsip atau dasar

permusyawratan/perwakilan. 443

Pasca perubahan kedua, tahun 2000, terhadap Pasal 18 dan penambahan

Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945, tidak terdapat lagi pengaturan norma

“dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”. Oleh karena itu,

“dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara” adalah demokrasi,

maka maksud tersebut secara implisit dapat dipahami sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD RI 1945, yaitu, 1)

kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan daerah menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan; 2) adanya lembaga Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum; dan, pemilihan gubernur,

bupati dan walikota secara demokratis.

Sementara, berkaitan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Daerah diatur tersendiri dalam Pasal 18A, berbunyi:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah


provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.

443
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun adanya pengaturan mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat

dengan Pemerintah Daerah, tetapi tidak dijelaskan secara eksplisit bagaimana

dasar, bentuk dan mekanisme hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah. Mengenai hubungan tersebut dalam pasal ini hanya memerintahkan akan

diatur secara tersendiri dengan undang-undang. Berdasarkan perintah pasal ini

pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditentukan

oleh pembentuk undang-undang berdasarkan UUD RI 1945.

Menurut Bagir Manan, dasar-dasar hubungan Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah, sebagai berikut: 444

1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.


Bahwa terdapat dua ciri pokok paham “kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan:
a. Merupakan kepemimpinan berdasarkan kearifan (wisdom). Sehingga,
dkehendaki agar segala sesuatu dilaksanakan secara damai (peaceful),
yang merupakan salah satu ciri universal paham kerakyatan.
b. Kerakyatan bercorak permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan
yang mengikut sertakan seluruh warga untuk ikut bermusyawarah atau
berunding. Dengan kata lain “demokrasi langsung”, di mana rakyat bisa
ikut berpartisipasi secara langsung atau kerakyatan melalui perwakilan.
Memberikan kesempatan kepada rakyat untuk turut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah, tidak lain memberi
wewenang, tugas dan tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus
sendiri kepentingan-kepentingan rumah tangga daerah mereka. Salah satu
wujud dari wewenang, tugas dan tanggungjawab tersebut adalah
kebebasan untuk melakukan berbagai prakarsa (inisisatif) sebagai ciri
kemandirian (zelfstandigheid) dalam batas-batas ketentuan yang berlaku.

2. Dasar-dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip


pemerintahan asli.
Pelaksanaan hubungan pemerintah pusat dan daerah bahwa mengakui
susunan dan struktur pemerintahan asli. Di mana pada masa
pemerintahan Hindia Belanda mengakui sebagai suatu entitas asli, seperti
Swapraja (zelfbesturende lanshappen) dan Desa (inlandse geementen).
Dalam UUD RI 1945 dan penjelasannya, disebutkan bahwa daerah-
daerah yang memiliki susunan asli yaitu bekas daerah swapraja dijadikan

444
Ibid, hlm. 161.

Universitas Sumatera Utara


daerah istimewa dengan mengembangkannya menjadi pemerintahan
daerah yang demokratis dan modern. 445

3. Dasar kebhinekaan
Soedirman Kartohadiprojo, mengatakan, “Bhineka Tunggaal Ika,
melambangkan keragaman Indonesia. kesatuan dalam perbedaan dan
perbedaan dalam kesatuan”. Ditinjau dari dasar kemajemukan atau dasar-
dasar yang lain, desentralisasi di Indonesia bukan sekedar alat atau sarana
pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas dari tujuan
membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Muhammad Hatta, sebagaimana dikutip Bagir Manan, dalam
hal hubungan antara kebhinekaan atau kemajemukan dan desentralisasi,
mengatakan, “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan
golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil, atau besar,
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”.
Untuk itu, kemajemukan sosial, budaya, kepercayaan bahkan ekonomi,
akan menimbulkan hajat hidup atau kebutuhan yang berbeda-beda dari
daerah ke daerah. Dalam hal-hal tertentu, karena perbedaan sifat
geografis, akan timbul pula perbedaan-perbedaan kebutuhan. Perbedaan-
perbedaan hajat hidup atau kebutuhan tersebut akan terlayani bila
terdapat satuan pemerintahan lebih rendah. Rakyat setempatlah yang
mengetahui kebutuhannya, sehingga seyogyanya merekalah yang
mengatur dan mengurus sendiri sendiri. Desentralisasi merupakan cara
terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukannya sentralisasi.

4. Dasar negara hukum


Dalam batang tubuh UUD RI 1945 sebelum perubahan tidak disebut
sebagai negara hukum, kecuali dalam penjelasannya disebutkan: “Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan (machtstaat)”. Berbeda dengan UUDS 1950, yang
menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan
susunan UUD RI 1945 menghendaki Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 18 UUD RI 1945, juga menjelaskan


bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan prinsip
permusyawaratan/demokrasi. Dua prinsip yang melandasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut melahirkan prinsip
pemencaran kekuasaan (spreading van machten) dan prinsip keadilan
dan kesejahteraan sosial. Prinsip pemencaran kekuasaan diwujudkan
dalam kebijakan desentralisasi teritorial, melalui badan-badan publik
(publieklichaam). Badan-badan tersebut bersifat mandiri, tidak berada
dalam kedudukan hubungan yang berjenjang (hirarkis) dengan organ-

445
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 61.

Universitas Sumatera Utara


organ pemerintahan tingkat lebih atas. Hubungan antara organ lebih atas
adaalah sama-sama sebagai badan publik dengan wewenang, tugas, dan
tanggungjawab sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Sementara,
prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial adalah antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah sama-sama memikul tanggungjawab mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.

Berdasarkan dasar-dasar hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah tersebut, Bagir Manan menambahkan maka menimbulkan

empat asas pokok:

1. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi


hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara yang harus terselenggara sampai ke
tingkat pemerintahan daerah.
2. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi
hak-hak (rakyat) untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan
mengurus urusan-urusan yang dianggap penting bagi daerah.
3. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara
daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus
masing-masing daerah.
4. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka
meujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah. 446

Sementara, menurut Valina Singka Subekti, dalam Rapat PAH I BP MPR

ke-32, 29 Mei 2000, yang merupakan juru bicara Fraksi Utusan Golongan (F-

UG), mengemukakan 4 prinsip yang melatarbelakangi hubungan pusat dan

daerah, yaitu:

1. Mengacu kepada prinsip desentralisasi bahwa otonomi diberikan kepada


daerah-daerah.
2. Desentralisasi itu tetap di dalam kerangka Negara Kesatuan. Oleh karena
memang sudah menjadi kesepakatan kita bersama untuk mempertahankan
Negara Kesatuan tetapi dengan memberikan otonomi kepada daerah-daerah.

446
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 161.

Universitas Sumatera Utara


3. Prinsip adanya pembagian kewenangan antara Pusat dengan daerah dan
kerjasama antara Pusat dengan daerah yang mengacu kepada prinsip
keadilan dan keseimbangan. Jadi di dalam pelaksanaan desentralisasi itu ada
kewenangan yang tegas antara Pusat dan daerah tetapi juga kerjasama antara
Pusat dan daerah yang mengacu kepada keadilan dan keseimbangan.
4. Untuk itu maka diperlukan aturan-aturan dasar yang tegas tentang
pembagian wewenang antara Pusat dan daerah dan kerjasama antara Pusat
dan daerah di dalam Konstitusi kita.447

Pandangan Bagir Manan dan Valina tersebut, mengacu UUD RI 1945 pasca

perubahan, menunjukkan semakin relevan dan menguatnya hubungan antara

Pemerintah Pusat dan Pemeritahan Daerah. Dalam konteks negara hukum dan

kedaulatan rakyat, sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945,

disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”. Sementara, ayat (3) disebutkan, “Negara Indonesia

adalah negara hukum”. Selanjutnya, berkaitan dengan pemeliharaan daerah-

daerah asli dan kebhinekaan, serta kerakyatan atau demokratis diatur dalam Pasal

18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD RI 1945.

4.2. Mekanisme Hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak bersifat

eksklusif, tampak dalam mekanisme hubungan di bidang otonomi, dekonsentrasi,

tugas pembantuan, susunan organisasi, keuangan, dan pengawasan yaitu: 448

447
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-200, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Edisi Revisi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1159.
448
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 171-172.

Universitas Sumatera Utara


a. Mekasnisme hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di
bidang otonomi dan dekonsentrasi.
Sesuai dengan UUD 1945 menyatakan bahwa mekanisme hubungan di
bidang otonomi dan dekonsentrasi tercermin dalam sistem rumah tangga
daerah sebagai berikut:
1. Harus menjamin keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah baik di dalam bidang pengaturan maupun
pengurusan urusan rumah tangga daerah.
2. Pada dasarnya urusan rumah tangga daerah bersifat asli, bukan sesuatu
yang diserahkan oleh satuan pemerintahan tingkat lebih atas. Jadi
pemerintah daerahlah yang berinisiatif dan mengembangkan urusannya
sendiri, bukan menunggu penyerahan dari pemerintah pusat atau
pemerintah atasnya.
3. Sistem rumah tangga daerah harus ditujukan terutama untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain isi urusan rumah
tangga daerah harus terutama pada bidang pelayanan kepentingan umum.
4. Ada tempat bagi pemerintah pusat untuk mempengaruhi rumah tangga
daerah demi menjamin pemerataan keadilan dan kesejahteraan sosial dan
penentuan isi rumah tangga daerah yang baru. Hal ini terkait dengan
fungsi pemerataan yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah tidak mampu melakukan fungsi ini karena ruang
lingkupnya yang hanya sebatas daerah juridiksinya.

b. Mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di


Bidang Tugas Pembantuan.
Tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah
terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang
diperintahkan atau yang diminta dalam rangka tugas pembantuan. Dengan
demikian, tugas pembantuan hanya berhubungan dengan melaksanakan
peraturan perundang-undangan, tidak termasuk pertanggung jawaban. Cara
melaksanakan dan tanggungjawabnya tetap berada pada pemerintah daerah
yang bersangkutan.

c. Mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di


Bidang Pengawasan.
Pengawasan sangat diperlukan agar kebebasan daerah akibat otonomi tidak
meluncur jauh sehingga terlepas dari Negara kesatuan. Di sini harus ada
keseimbangan dalam regangannya. Jika terlalu kendor daerah bisa lepas tapi
jika terlalu kencang daerah tidak bisa bernafas. Pengawasan terdiri atas:
1. Pengawasan refresif.
Pengawasan refresif adalah penga-wasan pusat untuk menangguhkan,
menunda, dan atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang
dibuat daerah. Peraturan perundang-undangan baik yang berupa perda,
peraturan kepala daerah, surat keputusan kepala daerah, dan lain-lain bisa
ditangguhkan, ditunda atau dibatalkan oleh pemerintah pusat jika dinilai

Universitas Sumatera Utara


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan atau kepentingan umum. Untuk Peraturan Daerah dilakukan oleh
Pemerintah pusat dan Mahkamah Agung. Untuk Surat Keputusan Kepala
Daerah oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Pengawasan Preventif.
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang bersifat pencegahan agar
Peraturan Daerah yang dibuat tidak boleh menyimpang dari koridor dan
rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jadi dalam
pengawasan preventif adalah upaya pemerintah pusat agar daerah tidak
membuat peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan
koridor dan rambu-rambunya yaitu peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan kepentingan umum.

d. Mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di


Bidang Susunan Organisasi
Susunan organisasi pemerintah daerah terdiri atas dua susunan: susunan luar
dan susunan dalam.Susunan luar yaitu susunan organisasi pemerintahannya
seperti provinsi, Kabupaten/Kota, dan desa. Sedangkan susunan dalam yaitu
susunan dalam organisasi pemerintahan khususnya alat-alat kelengkapan
pemerintahan daerah seperti DPRD dan kepala daerah. Dengan susunan
dalam pemerintahan daerah seperti itu maka mekanisme hubungan pusat
dan daerah adalah hubungan sesame badan publik dalam sistem
desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam prinsip ini hubungan pusat dan
daerah bukan hubungan atasan bawahan tapi hubungan fungsional
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pengawasan pusat terhadap
daerah semata-mata hanya karena adanya peraturan perundang-undangan
yang mengatur untuk itu.

e. Mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di


Bidang Keuangan
Prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah menurut UUD 1945 adalah
berdasarkan permusyawaratan/faham kerakyatan karena itu daerah
mempunyai keleluasaan dan kebebasan untuk mengatur dan mengurus
urusannya sendiri sesuai dengan kehendak dan kepentingannya. Untuk dapat
menyelenggarakan pemerintahan demikian diperlukan sumber keuangan
yang cukup. Sumber keuangan yang utama bagi pemerintah daerah adalah
pajak dan retribusi. Untuk itu pemerintah daerah diberi wewenang untuk
mengatur pajak dan retribusi yang relevan. Hubungan keuangan antara pusat
dan daerah merupakan cermin dan cara pandang suatu negara terhadap
pemerintah daerahnya.

Dalam hal ini terdapat dua pandangan:


1. Pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah daerah merupakan
formalisasi dan legalisasi dari keberadaan masyarakat yang sudah ada
sebelumnya dalam struktur negara bangsa. Karena itu, pemerintah daerah
dianggap telah memiliki sumber-sumber keuangan sendiri seperti pajak

Universitas Sumatera Utara


dan sumber pendapatan lain yang sudah ada sebelum ia menjadi bagian
dari struktur negara bangsa.
2. Pandangan yang menganggap pemerintah daerah sebagai bagian dan alat
dari pemerintah pusat untuk menjalankan kekuasaan. Di mana
Penyelenggaraan pemerintah daerah didanai seluruhnya oleh pemerintah
pusat. 449

Sebelum perubahan UUD RI 1945 berkaitan hubungan Pemerintah Pusat

dan Daerah sebelumnya diatur dalam UU No.22 Tahun 1999, yang selanjutnya

diganti dengan UU No.32 Tahun 2004. Dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat (6),

dan ayat (7), UU No.32 Tahun 2004 disebutkan:

1) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan

memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah

lainnya.

2) Hubungannya meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.

3) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,

dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.

4) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi

dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Berkaitan hubungan bidang keuangan selanjutnya diatur dalam Pasal 15

ayat (1) dan ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan:

(1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan


pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
dan ayat (5) meliputi:

449
Ibid, hlm. 178-191.

Universitas Sumatera Utara


a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
(2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi
dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.
(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kemudian, hubungan dibidang pelayanan umum diatur dalam Pasal 16,

disebutkan:

(1) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dan


pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
dan ayat (5) meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan
minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
(2) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antarpemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah;
b. kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
(3) Hubungan dalam bidang pelayanan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

Sementara, hubungan di bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya, diatur dalam Pasal 17 disebutkan:

Universitas Sumatera Utara


(1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
(2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
c. pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya.
(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Kemudian dalam Penjelasan, paragraf kedua UU No.32 Tahun 2004

dijelaskan, yaitu:

Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas


penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam
persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah
diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.

Mekanisme hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,

sebagaimana di atas, baik dalam konteks hubungan dibidang keuangan, pelayanan

umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, pada

Universitas Sumatera Utara


prinsipnya adalah agar daerah dapat menjalankan roda pemerintahannya sendiri

sebagaimana hak-hak dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan dalam bingkai NKRI. Di mana tujuannya untuk pemerataan dan

tercapai kesejahteraan rakyat di daerah.

Setelah penggantian UU No.32 Tahun 2004 dengan UU No.23 Tahun 2014,

berkaitan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dalam

Penjelasan Umum angka 1, disebutkan:

Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah
Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab
mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah
dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional
untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang
kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan
Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan
otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu
melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan

Universitas Sumatera Utara


hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak
ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang
diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu
Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan
nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan
kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk
mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi
berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan
hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang
yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan
warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus
memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk
kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya
hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian
akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan
tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala
daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah.Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara
kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden.
Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan
sesuai dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Penjelasan Umum angka 1 UU No.23 Tahun 2014 tersebut,

bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah adalah:

1. Bentuk hubungan didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan

(medebiwind) dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya.

Universitas Sumatera Utara


2. Bentuk hubungan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat.

3. Bentuk hubungan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan Daerah.

4. Bentuk hubungan bahwa kedaulatan ada pada pemerintahan pusat dan tidak

ada kedaulatan pada Daerah.

5. Bentuk hubungan bahwa Daerah berwenang mengatur dan mengurus

Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak

bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Di

mana Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan

kearifan lokal dan sebaliknya Daerah juga memperhatikan kepentingan

nasional.

6. Bentuk hubungan dalam urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah

berasal dari kekuasaan Presiden.

7. Bentuk hubungan Presiden berkewajiban melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh, diatur

dalam norma hukum antara lain, dalam bentuk sub-kewenangan dan keuangan.

Sebagaimana Pasal 7 UU No.11 tahun 2006, disebutkan:

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan


mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar

Universitas Sumatera Utara


negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dapat:
a. melaksanakan sendiri;
b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
dan/atau instansi Pemerintah; dan
d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Sementara, hubungan di bidang keuangan diatur dalam Pasal 178, yaitu:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diikuti dengan pemberian
sumber pendanaan kepada pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Aceh dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
didanai dari dan atas beban APBA dan APBK.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur Aceh selaku wakil pemerintah disertai dengan pendanaan
dari APBN dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan gampong
disertai dengan pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan.

Selanjutnya, Pasal 179 disebutkan:

(1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah


dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Dana Otonomi Khusus; dan
d. lain-lain pendapatan yang sah.

Mengacu pada pengaturan hubungan di bidang kewenangan dan keuangan

antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, tidak terdapat perbedaan

Universitas Sumatera Utara


kewenangan dengan daerah-daerah lainnya. Di mana terhadap enam bidang

kewenangan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan

fiskal nasional, dan agama, menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Sementara,

yang berbeda adalah pelaksanaan sebagian bidang agama, dalam hal ini

pelaksanaan syari’at Islam diserahkan kepada Pemerintahan Aceh. Begitu juga,

dibidang keuangan, pemberian yang berbeda dengan daerah-daerah lain, dalam

pelaksanaan otonomi khusus adalah adanya tambahan Dana Otonomi Khusus.

Dana ini diberikan selain Provinsi Aceh, ada Provinsi Papua dan Papua Barat.

D. Desentralisasi Asimetris dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I, bahwa desentralisasi yang

dipraktekkan oleh negara-negara di dunia terbagi dalam dua variasi, yaitu:

pertama, desentralisasi simetris (symmetric decentralization), diimplementasikan

secara umum oleh daerah-daerah dalam konteks ultra vires (otonomi terbatas) dan

general competency (otonomi luas). Kedua, desentralisasi asimetris (asymmetric

decentralization) yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu secara khusus

yang berbeda kewenangan dan implementasi pemerintahan daerahnya dengan

daerah-daerah yang berlaku desentralisasi simetris. Di mana pemberian tersebut

diberikan dengan beragam alasan dan pertimbangan, seperti, latar belakang

sejarah, peran dan eksistensi daerah-daerah tersebut dalam suatu negara.

Konseptualisasi desentralisasi mengalami perkembangan yang bervariatif,

dan telah dipraktekkan oleh negara-negara bangsa (nation-states), bahwa praktek

desentralisasi tidak hanya bersifat simetris (otonomi umum), tetapi juga

Universitas Sumatera Utara


mengalami perubahan dalam bentuk desentralisasi asimetris, devolusi asimetris

atau secara umum disebut assymetrical intergovernmental arrangements. Pada

aras konsep desentralisasi secara umum, kehadiran desentralisasi asimetris

didasari pertimbangan suatu negara semestinya memiliki kerangka administrasi

yang mampu mengelola segala keberagaman lokalnya, baik latar sosial-budaya,

potensi ekonomi, kebutuhan administrasi, hingga kebutuhan politik tertentu.

Meskipun sebagian ilmuan berpendapat otonomi itu sendiri sudah mengandung

makna kekhususan, tetapi tingginya tingkat keragaman kondisi lokal tetap

memerlukan format pengaturan desentralisasi yang tidak berlandasakan desain

kebijakan tunggal (one size fits all). 450

Ahli pertama debat seputar desentralisasi asimetris adalah Charles Tarlton,

dari University of California, Amerika Serikat, menurutnya pembeda inti antara

desentralisasi umum/biasa (simetris) dan desentralisasi asimetris pada tingkat

kesesuaian (conformity) dan keumuman (communality) dalam hubungan suatu

level pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem politik, pemerintah

pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of

conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the

system to both the system as a whole and to the other component units”.(”Tingkat

kesesuaian dan kesamaan dalam hubungan setiap unit politik yang terpisah dari

sistem untuk kedua sistem secara keseluruhan dan unit komponen lainnya”). 451

450
Robert Andi Jaweng, 2013, Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang Menyisakan
Sejumlah Catatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Desentralisasi Asimetris Solusi atau Problem, Edisi
42 Tahun 2013, hlm. 107.
451
Robert Andi Jaweng, 2011, Kritik Terhadap Asimetris di Indonesia, Jurnal Analisis
CSIS, Volume 40, Nomor 2, hlm. 162.

Universitas Sumatera Utara


Di sini, hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah pusat

tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sementara, dalam

pola asimetris satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal “possessed of

varying degrees of autonomy and power”. Perbedaan derajat dan kekuasaan

berupa ketidak seragaman pengaturan muatan kewenangan itu membentuk derajat

hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-

unit politik lainnya, baik secara horizontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan

pusat). Khusus mengenai pola asimetris, Tarlton menekankan: “in the model

asymmetrical system each component unit would have about it a unique feature or

set of features which would separate in important ways, its interests from those of

any other state or the system considered as a whole” (“Model sistem asimetris

setiap unit komponen akan memiliki ciri yang unik atau sekumpulan ciri-ciri yang

akan memisahkan dengan cara yang penting, kepentingannya dari negara bagian

(daerah) lain atau sistem dianggap sebagai keseluruhan”). 452

Dari gambaran di atas menunjukkan adanya perbedaan skala pemberian

kewenangan antara desentralisasi simetris dengan desentralisasi asimetris. Di

mana dalam desentralisasi simetris semua daerah diberi kewenangan dan

hubungan yang sama antar satu daerah dengan daerah lainnya. Sedangkan, dalam

desentralisasi asimetris terdapat derajat yang berbeda dan mendapat kewenangan

yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah dalam otonomi simetris,

terhadap pengelolaan pemerintahan di daerah.

452
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Sebagaimana juga dikemukakan oleh Joachim Wehner, bahwa pemberian

otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah

merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui

dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini

berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan,

maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan

pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai

asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau asymmetrical

federalis, atau secara umum asymmetrical intergovernmental arrangements. 453

Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan

kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya

diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik, merupakan strategi

komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak

memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan desentralisasi

asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam suatu sistem

pemerintahan lokal yang khas. Dengan begitu, diharapkan perlawanan terhadap

pemerintah nasional dan keinginan untuk merdeka dapat dieliminasi lewat sistem

pemerintahan lokal yang spesifik itu seperti yang dipraktekkan di beberapa

negara, antara lain, wilayah Quebec di Kanada, Mindanao di Filipina,

Bougainville di Papua New Guinea, dan Basque di Spanyol. Mereka misalnya,

453
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia,
Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


boleh punya bendera, bahasa, partai politik lokal, polisi lokal, dan bagi hasil

sumber-sumber pendapatan yang lebih besar. 454

Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak

asimetris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan

untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan

bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya;

dan persoalan yang bercorak teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas

suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan.455

Dari beberapa contoh negara-negara yang menerapkan desentralisasi asimetris

menunujukkan bahwa pemberian kewenangan khusus yang berbeda antara satu

daerah dengan daerah lain dalam suatu negara, baik dalam bentuk atau susunan

negara kesatuan maupun federasi, di mana hal ini bukanlah suatu fenomena baru.

Namun demikian, walaupun kewenangan khusus tersebut termasuk dalam

kategori desentrealisasi asimetris, istilah yang digunakan berbeda-beda antara satu

negara dengan negara lain, yang diatur dalam konstitusi negera-negara tersebut.

Salah satunya, Negara Spanyol secara eksplisit disebutkan dalam

konstitusinya, Spanish Constitution of 1978, yang telah diubah pada tahun 1999.

Sebagaimana, Pasal 143 disebutkan:

(1) In the exercise of the right to autonomy recognized in Article 2,


bordering provinces with common historical, cultural, and economic
characteristics, the island territories, and the provinces with a
historical regional unity may accede to self-government and constitute
themselves into autonomous communities in accordance with the
provisions of that Title and the respective statutes.

454
Djohermasyah Djohan, 2010, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal Sekretariat
Negara RI, Nomor 15 Februari 2010, hlm.121-122.
455
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


(2) The initiative for the autonomous process belongs to all the interested
deputations or to the pertinent inter-island body and to two-thirds of
the municipalities whose population represents at least the majority of
the electorate of each province or island. These requirements must be
fulfilled within a period of six months from the first agreement
adopted on the subject by one of the interested local corporations.
(3) The initiative, in case it does not prosper, can only be repeated after
the passage of five years.

Sementara, penjabarannya diatur dalam undang-undang otonomi (statute of

autonomy), berlaku bagi 17 States dalam komunitas otonomi (autonomous

communities/comunidad autonoma). Konstitusi Spanyol mengklasifikasi ke dalam

dua komponen. Setiap komponen mempunyai perbedaan otonomi dan level

kekuasaan dan tanggung jawab. Basque Country, Catalonia dan Galicia sebagai

daerah-daerah khusus, bentuk self-government karena latar belakang “historic

nationalities” dan pemberian otonomi proses cepat dan mudah. Selanjutnya,

boleh memilih dan membentuk undang-undang otonomi (statute of autonomy). 456

Untuk konteks NKRI sebagaimana Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD

RI 1945, tidak dikenal terminologi self-government (pemerintahan sendiri),

kecuali menggunakan terminologi daerah khusus atau istimewa. Sehingga, pada

saat diatur dalam undang-undang disebut sebagai daerah istimewa atau daerah

khusus. Meskipun pengaturan dalam undang-undang otonomi khusus atau

istimewa menyerupai dengan materi daerah-daerah pada negara-negara yang

456
Javier Corcuera Atienza, 2005, The Autonomy Of The Basque Country, Singularities.
The Autonomous Tax System the Basque Tax Contribution, the Agreement State Government
Basque Authorities, hlm, 9
https://www.google.com/search?q=the+autonomy+of+the+basque+country&ie=ut
f-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
us:official&client=firefoxa&channel=np&source=hp#rls=
org.mozilla:enus:official&channel=np&q=the+autonomy+of+the+
basque+country++javier+corcuera+ atienza++%2b++pdf, diakses pada 25 November 2014.

Universitas Sumatera Utara


menggunakan istilah self-government, tetapi ada perbedaan sebagian substansinya.

Salah satu persamaannya adalah alasan otonomi khusus dan istimewa pada NKRI,

misalnya, untuk membandingkan antara Daerah Khusus Ibukuta Jakarta, Papua

dan Papua Barat, Yogyakarta, dan Aceh, dengan self-government di Spanyol,

yang diberikan kepada Bosque dan Catalonia, antara lain, karena alasan latar

belakang sejarah ketika menjadi bagian integral dalam negara.

Sebenarnya, dalam perkembangannya pelaksanaan self-government

dipolitisir oleh kaum kolonialis, politisi dan ahli hukum, mereka mengalihkan

perhatian dan atau hendak memberi kesan, bahwa otonomi yang diterapkan

dihampir semua negara bekas jajahan, dalam realitasnya terbukti lebih popular

ketimbang self-government. Padahal, dalam sejarahnya kata otonomi yang berasal

dari bahasa Greek, Auto adalah sendiri dan Nomos adalah hukum. Kemudian

dikembangkan menjadi hak untuk mengatur pemerintahan sendiri, karena pada

hakikatnya berkaitan langsung dengan hukum, hingga akhirnya diakui bahwa hak-

hak otonom merupakan suatu langkah dan satu tujuan untuk mencapai

kesejahteraan. Selanjutnya, banyak negara membentuk sistem federal atau

otonomi daerah sebagai metode terbaik untuk memerintah negara yang beraneka

ragam, majemuk dan berbeda asal-muasal suatu bangsa dan suku. Dalam

hubungan ini dikatakan, “norma hukum internasional – mengakui yang

dinamakan hak otonomi – menjelma dan dikatakan bahwa cara terbaik bagi

Universitas Sumatera Utara


negara untuk melindungi kelompok minoritas adalah dengan membentuk sistem

otonomi daerah”. 457

Tidak dapat dipungkiri bahwa kata autonomy dan self-government secara

ekstrim telah dibedakan maksud, tafsiran dan penerapannya oleh kemauan politik

(politic will), dengan maksud supaya otoritas pemerintah pusat tetap dominan

terhadap penguasa daerah. Padahal, falsafah bernegara mengajarkan bahwa politik

dan kekuasaan diselenggarakan untuk melayani kepentingan warga negara yang

dirumuskan secara tegas dalam konstitusi dan peraturan hukum lainnya. Semua

keputusan politik tetap berada dalam ruag lingkup dari administrasi negara. 458

Selanjutnya, Paul W. Kahn, menyebutkan, constitutional theory perlu

dibangun dan dikembangkan sebagai upaya penyelesaian, jika dikemudian hari

muncul konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, akibat perbedaan

penafsiran tentang implementasi self-government. Oleh sebab itu, rumusan hukum

mesti mempertimbangkan dan memasukkan hal-hal yang sifatnya logis dan

rasional, bukan dengan pertimbangan berdasarkan pengalaman. Diakui bahwa

dalam masyarakat akan terjadi perubahan pandangan, di mana konsep hukum dan

program pembangunan disesuaikan tuntutan perkembangan zaman. Jadi tidak

mustahil terjadi benturan ekstrem antara teori dan praktek, setidaknya bila

terdapat desakan tertentu dari pemerintah pusat yang tidak mungkin diterima oleh

suatu wilayah administrasi. 459

457
Yusra Habib Abdul Gani, 2009, Self-Government, Studi Perbandingan tentang Desain
Administrasi Negara, Paramedia Press, Jakarta, hlm. 26-27.
458
Ibid.
459
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Sejalan dengan pandangan diatas, Peter Harris dan Ben Reilly juga

mengatakan bahwa melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-wilayah tertentu

di dalam suatu negara diberikan kewenangan-kewenangan khusus yang tidak

diberikan kepada wilayah-wilayah lain. 460 Selanjutnya, Peter van Houten,

mendefinisikan desentralisasi asimetris adalah:

The legally established power of distinctive, non-soverign ethnic


communities or ethnically distinct territories to make substantial public
decisions and execute public policy independently of other sources of
authority in the state, but subject to the overall legal order the state. In
other words, in our understanding, autonomy denotes the exercise of
exclusive jurisdiction by distinctive, non-sovereign ethnic communities or
the population of ethnically distinct territories. (Kewenangan legal
[berkekuatan hukum] yang diberikan kepada kelompok masyarakat khusus
yang tidak memiliki kedaulatan, atau wilayah yang khusus secara etnis [agar
mereka dapat] membuat keputusan-keputusan publik yang mendasar dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan publik secara bebas diluar sumber-
sumber kewenangan negara, tetapi tetap tunduk dibawah hukum negara
secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, dalam pemahaman kami,
otonomi berarti hak masyarakat etnis atau penduduk dari suatu wilayah
beretnis khusus tertentu, yang tidak memiliki kedaulatan sendiri, untuk
melaksanakan suatu yurisdiksi ekslusif. 461

Van Hauten, menambahkan bahwa definisi otonomi yang dikembangkan

tersebut, memiliki aspek-aspek penting, antara lain: pertama, definisi tersebut

mencakup dua bentuk otonomi, yaitu otonomi wilayah (territorial autonomy) dan

bentuk-bentuk otonomi non-wilayah (non-territorial forms of autonomy); kedua,

dalam definisi tersebut dimunculkan dua bentuk otonomi, yaitu otonomi asimetris

dan otonomi yang berlaku umum; ketiga, definisi tersebut dikembangkan dari

460
Dikutip dari Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat
Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga,
Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap
Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf,
diakses pada 25 Desember 2013.
461
Ibid, hlm. 53-54.

Universitas Sumatera Utara


perspektif kelompok etnis atau wilayah yang didasarkan atas etnis, sehingga

memerlukan otonomi sendiri. 462

Dalam konsep desentralisasi asimetris, perihal kewenangan ini juga dinilai

sebagai muatan esensial dalam bangunan kekhususan/keistimewan suatu daerah

khusus/istimewa. Sebagaimana ditulis Adeney bahwa ”there are many different

definitions of what asymmetry is but points out that it has been used in recent

years to refer to the asymmetrical distribution of powers” ("Ada banyak definisi

yang berbeda dari asimetris, tetapi menunjukkan bahwa telah digunakan dalam

beberapa tahun terakhir untuk merujuk pada distribusi asimetris kekuasaan”). 463

Selanjutnya, mengingat hubungan antar unit pemerintahan pada dasarnya

adalah relasi kewenangan, maka kewenangan khusus pada giliranya

mempengaruhi pola khusus dalam hubungan suatu daerah khusus dengan daerah-

daerah lainnya maupun dengan pemerintahan pusat. Sebaliknya, kalau konstruksi

kewenangan ternyata didesain seragam seperti daerah-daerah simetris, tentu

daerah asimetris tidak memiliki basis khusus guna meletakan suatu bangunan

relasi khusus pula sehingga yang terbentuk hanya hubungan seragam dengan unit-

unit di luar yurisdiksinya. Sebagaimana ditegaskan Lay, ciri sekaligus implikasi

penting berlakunya desentralisasi asimetris adalah perluasan kewenangan daerah

berkenaan isu tertentu yang mengubah secara fundamental hubungan kewenangan

antar unit politik/pemerintahan maupun pola pengawasan pusat atas daerah. 464

462
Ibid.
463
Dikutip dari Robertus Na Endi Jaweng, 2012, Analisis Kewenangan Khusus Jakarta
Sebagai Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia, Tesis, pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 31.
464
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Dalam proses pembahasan dasar negara Indonesia dan bentuk negara dalam

Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), salah seorang

pendiri negara Indonesia (founding fathers), Muhammad Yamin, secara eksplisit

mengatakan, “… Jadi bentuk Negara Indonesia yang merdeka-berdaulat itu ialah

suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme….” 465 Pandangan

para funding fathers, seperti, Soepomo, Muhammad Yamin, Soekarno, Hatta, dan

para tokoh lainnya, tidak ada perbedaan signifikan, bahkan memiliki pandangan

senada dan prinsipnya menyetujui. Esensi negara kesatuan terletak pada

pandangan ontologis tentang hakikat manusia sebagai subjek pendukung negara.

Menurut paham negara kesatuan negara bukan terbentuk secara organis dari

individu-individu sebagaimana diajarkan oleh Hobbes, Locke dan pemikir

individualis lainnya, melainkan negara terbentuk atas dasar kodrat manusia

sebagai individu dan makhluk sosial. 466

Pandangan tokoh diatas bahwa susunan Negara Indonesia dijadikan sebagai

negara kesatuan, sebagaimana selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD

RI 1945, disebutkan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk

Republik.” Sebagaimana substansi pasal tersebut Negara Indonesia selain

bersusunan negara kesatuan juga bentuknya republik, bukannya monarki

(kerajaan). Meskipun, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,

daerah-daerah yang ada, sebelum kolonialisasi Belanda dan sebelum menjadi

bagian daerah Indonesia merupakan monarki absolut yang berdaulat.

465
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,
Jajasan Prapantja, hlm. 106.
466
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 647.

Universitas Sumatera Utara


Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang desentralistik, Indonesia

memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah berbeda dengan konstruksi dalam

sistem federal. Dalam negara kesatuan bahwa daerah umumnya dibentuk oleh

negara (pusat) melalui peraturan perundangan tertentu. Daerah memperoleh

kewenangan dari negara bukan sebaliknya dari daerah. Negara melalui undang-

undang dapat membentuk dan membubarkan daerah, melimpahkan atau menarik

kembali kewenangan dan fungsi yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang

diberikan adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden, bukan

kewenangan penyelenggara negara lainnya. UUD RI 1945 memberi kekuasaan

pemerintahan tertinggi pada presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan

tertinggi, Presiden harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan

pemerintahan, termasuk yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. Oleh karena

itu, Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. 467

Berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 18A UUD RI 1945, bahwa Indonesia

menganut sistem pemerintahan dengan susunan ganda (multi-tiers government).

Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat dijustifikasi dari adanya

comparative advantages dari keberadaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

mengingat tidak semua urusan yang didesentralisasikan dapat dikelola secara

efisien dan efektif oleh kabupaten/kota. Sebagian dari urusan yang

didesentralisasikan akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintahan

daerah provinsi. Walaupun desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan

467
Kementerian Dalam Negeri, 2011, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Jakarta, hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara


umumnya banyak diserahkan kepada pemerintahan kabupaten/kota, utamanya

untuk penyelenggaraan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. 468

Selanjutnya, menurut Cheema dan Rondinelli pada prinsipnya pelimpahan

kekuasaan atau pemberian wewenang dari pusat kepada daerah dalam bentuk

desentralisasi tersebut didorong oleh 3 (tiga) alasan utama. Pertama, karena

adanya kekecewaan di kalangan masyarakat terhadap hasil pembangunan yang

terlalu ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Kedua, karena didorong oleh

kebutuhan untuk meratakan hasil-hasil pembangunan kedaerah-daerah seiring

dengan diterapkannya strategi “pertumbuhan dan pemerataan” (growth with equity

strategy). Ketiga, tumbuhnya kesadaran dikalangan penentu kebijakan bahwa

dengan semakin kompleksnya masalah kemasyarakatan dan semakin

berkembangnya aktivitas pemerintahan, akan semakin sulit untuk merencanakan

dan mengelola aktivitas pembangunan dari pusat dengan efektif dan efesien. 469

Sebelum perubahan UUD RI 1945 hanya satu pasal yang mengatur tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 18 UUD RI 1945, disebutkan: “Pembagian

daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan

mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-

hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Dalam penjelasan Pasal 18 UUD RI 1945 berbunyi:

1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia


tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan

468
Ibid.
469
Ibid, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di
daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-
undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
2. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang
dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Dari penjelasan tersebut, Bagir Manan membagi 4 (empat) prinsip, yaitu:

1. Daerah besar dan kecil bukanlah “negara bagian”, karena daerah


tersebut dibentuk dalam kerangka negara kesatuan (eenheidsstaat).
2. Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat
administrasi belaka (administratif).
3. Daerah yang mempunyai hak-hak asal usul yang bersifat istimewa
adalah Swapraja (Zelfsbesturende Landschappen) dan desa atau yang
semacam itu yang disebut Volksgemeenschappen.
4. Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang
mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa. 470

Substansi Pasal 18 UUD RI 1945 sebelum perubahan berbeda dengan pasca

perubahan. Keinginan untuk mengubah muncul sejak proses perubahan UUD

1945. Rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 6 Oktober 1999 yang dipimpin

oleh Ketua MPR, M. Amien Rais. Akan tetapi, tidak semua fraksi menyinggung

mengenai pemerintahan daerah dalam pemandangan umumnya. 471 Pada Rapat

470
Bagir Manan, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 121-122.
471
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-200, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Edisi Revisi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1107.

Universitas Sumatera Utara


PAH III BP MPR ke-2, 8 Oktober 1999, dipimpin oleh Slamet Effendy Yusuf,

salah satu penggagasnya adalah Hatta Mustafa dari Fraksi Partai Golkar (F-PG)

mengusulkan penyempurnaan Pasal 18 dari materi Tap MPR yang mengenai

penyelenggaraan otonomi daerah, sebagai berikut:

Kemudian yang terakhir mengenai penyelenggaraan pemerintahan ini kami


melihat Pasal 18 mengenai pemerintahan daerah. Di situ disebutkan
pembagian atas daerah besar, kecil, dan seterusnya dan ini sudah dibuat
Tapnya oleh MPR tahun 1998 Tap. Nomor XV mengenai Penyelenggaraan
Otonomi Daerah. Itu Tap-nya sudah ada. Tapi di dalam Undang-Undang
Dasar belum ada apa yang diatur oleh tap itu sehingga kita mengangkat itu
membagi, Ayat (1) dari Pasal 18 saya mengusulkan: “Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Ayat (2): “Daerah
mempunyai otonomi seluas-luasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan
dan mengelola sumber daya yang dimilikinya kecuali yang tegas-tegas
dinyatakan lain dalam Undang-Undang”. Tap MPR memang sudah
mengatur mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, tapi dalam Undang-
Undang Dasar belum ada, karena itu kita usulkan Tap ini di angkat menjadi
salah satu penyempurnaan Pasal 18 mengenai pemerintahan di daerah ini. 472

Pembahasan proses Perubahan Pertama oleh PAH III BP MPR, tetapi hanya

berlangsung hingga Rapat ke-4. Pembahasan perubahan muncul lagi pada

Perubahan Kedua. Pada Rapat PAH I BP MPR ke-3, 6 Desember 1999, dipimpin

Jakob Tobing. 473 Hamdan Zoelva, juru bicara dari Fraksi Partai Bulan Bintang (F-

PBB), menyampaikan pendapat fraksinya sebagai berikut:

Masalah Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas


mengatur masalah ini yaitu hanya satu pasal tanpa ayat, padahal betapa
besar masalah daerah ini baik berkaitan dengan bagaimana hubungan
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang Dasar
ini seharusnyalah ditentukan secara jelas apa-apa yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan hal apa saja yang diserahkan kepada pemerintah
daerah. Menurut fraksi kami, masalah pembagian kewenangan ini walaupun
pada hal-hal yang pokok saja perlu diatur dalam UndangUndang Dasar ini

472
Ibid, hlm. 1109.
473
Ibid, hlm. 1112.

Universitas Sumatera Utara


untuk memberikan jaminan dan kejelasan kepada daerah-daerah sebagai
pembentuk republik ini sekaligus menghindari ancaman disintegrasi bangsa
pada saat ini yang dipicu oleh ketidakpuasan daerah. 474

Dalam Rapat PAH I BP MPR ke-4, 7 Desember 1999, F-Reformasi melalui

A.M. Luthfi menyatakan sebagai berikut:

Indonesia pada abad 21 adalah suatu negara besar dengan penduduk 220-
300 juta manusia. Selain sebagai warga negara bangsa, dari berbagai suku
dan adat istiadatnya, warga Indonesia adalah warga dunia global dan
internasional yang setiap saat dapat berkomunikasi dan memperoleh
informasi dari dunia global. Sehingga dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara maka nilai-nilai universal-lah yang menjadi acuan utama.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan dan demokratisasi. Ini saya
tambahkan. Kalau kita baca Preambule UUD 1945 yang tidak bisa kita ubah
itu cita-cita para pendiri republik ini adalah mendirikan negara yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi kalau merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur kita kasih skor rasanya masalah adil-lah yang
paling rendah nilainya. Jadi nilai-nilai tersebut di atas seharusnyalah
menjadi dasar dalam pengelolaan pemerintahan terutama keadilan, baik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun hubungan antar keduanya.
Nilai-nilai tersebut juga menjadi dasar bagi persatuan dan keutuhan,
kedaulatan, dan kemakmuran bangsa ini sesuai amanat Mukadimah UUD
1945 tadi. Selanjutnya dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara
tersebut apakah visi kebersamaan kita sebagai satu bangsa? Apakah kita
komitmen pada persatuan (unity) atau keseragaman (uniformity)? Selama ini
semboyan-semboyan ideologis berkenaan dengan hal tersebut terasa
dipaksakan. Semboyan persatuan dan kesatuan dalam dirinya membawa
konsekuensi otoriter dari Pemerintah Pusat. Ini jauh berbeda dengan
ideologi yang diletakkan oleh para pendiri republik ini yaitu Bhinneka
Tunggal Ika (unity in diversity), sehingga Pemerintahan Daerah di masa
datang adalah Pemerintahan Daerah yang bhinneka tersebut minimum
memiliki otonomi sempurna di tingkat propinsi. Propinsi dan sistem negara
federal bagi sebagian masyarakat umum memang masih menakutkan,
karena berkonotasi historis yang negatif. Tetapi wacana tentangnya jangan
ditabukan karena fakta berbicara bahwa Mohammad Hatta-lah salah satu
pencetus ide awalnya. 475

474
Ibid, hlm. 1114.
475
Ibid, hlm. 1114-1115.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, dalam Rapat PAH III BP MPR ke-6, 10 Desember 1999,

Patrialis Akbar dari F-Reformasi membahas mengenai hubungan pemerintah

pusat dengan daerah, menyatakan:

Bahwa selama ini dalam sistem pemerintahan di negara kita mengutamakan


sistem sentralisasi di mana pusat kekuasaan sangat terfokus kepada
pemerintah pusat sehingga daerah-daerah tidak memiliki kesempatan yang
cukup dalam mengembangkan diri. Apabila ada daerah yang mencoba untuk
mengembangkan sistem secara desentralisasi itu dianggap tidak sejalan
dengan kebijaksanaan pemerintah pusat maka ancaman subversi dengan
pendekatan keamanan serta momok demi kepentingan nasional telah
menjadikan daerah-daerah tidak berani. Disadari sepenuhnya sistem yang
terlalu sentralistik telah memicu ketidakadilan dan bahkan ancaman
disintegrasi sekarang ini juga disebabkan oleh ketidakadilan tersebut.
Oleh karena itu pola desentralisasi sangat perlu dikembangkan berdasarkan
pikiran-pikiran pokok para pendiri republik ini agar kita memiliki sistem
pemerintahan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ketidakadilan harus diperangi atau keadilan harus ditegakkan justru untuk
menegakkan persatuan. Tanpa keadilan sulit dicapai persatuan. Dalam
rangka inilah, fraksi kami mendukung gerakan untuk mencapai keadilan
antara pusat dan daerah baik dalam pembagian keuangan maupun
kekuasaan.
Seluruh wacana untuk mencapai tujuan keadilan tersebut dilaksanakan
dalam satu kerangka negara Republik Indonesia yang lebih bersatu. Dalam
rangka mewujudkan negara Republik Indonesia yang bersatu, dan
berkeadilan itulah Fraksi Reformasi telah menghidupkan wacana
federalisme, lagi pula ide ini federalisme ini telah pula digagas oleh
Proklamator Moh. Hatta. Perlu ditegaskan tidak ada dalam benak kami
untuk menyetujui suatu pemisahan dari bagian-bagian negara Republik
Indonesia menjadi negara terpisah dan merdeka. 476

Dalam risalah perubahan UUD RI 1945, terkait pertanyaan A.M. Luthfi,

soal negara kesatuan dan desentralisasi. Bagir Manan, menjelaskan:

..…mengenai desentralisasi, saya selalu mengartikan desentralisasi itu


adalah otonomi Pak. Jadi, saya agak berbeda dengan pandangan misalnya
beberapa buku yang desentralisasi itu mengenai dekonsentrasi. Bagi saya
dekosentrasi itu ya sentralisasi yang dilunakan istilah, dalam desertasi saya
10 tahun yang lalu saya katakan, dekonsentrasi adalah sentralisasi yang
dilunakkan. Jadi, dia bagian daripada sentralisasi, gitu ya. Jadi, misalnya

476
Ibid, hlm. 1120.

Universitas Sumatera Utara


buku-buku macam Amrah Muslimin mengatakan erfelijk decentralitatie,
saya tidak menganut. Karena pengertian saya desentralisasi adalah otonomi.
Nah, otonomi adalah sub sistem dari negara kesatuan. Jadi, kita bicara
otonomi sepanjang kita bicara negara kesatuan. Jadi, kalau orang akan
bicara otonomi tapi bukan negara kesatuan, itu suatu hal yang bertentangan
dengan sistemnya sendiri, karena otonomi itu sub-sistem dari negara
kesatuan, merupakan salah satu mekanisme dari negara kesatuan. 477
Dalam risalah BP-MPR tersebut dapat dideskripsikan beberapa alasan yang

menjadi dasar perubahan Pasal 18 UUD RI 1945, sehingga perlu pengaturan

pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi luas, antara lain, secara politis adanya

kekhawatiran timbul disintegrasi bangsa akibat pengelolaan pemerintahan

sentralistik. Sementara, secara filososfis merujuk dasar pancasila mengakui

keberagaman (kebhinekaan) dalam bingkai NKRI. Berdasakan perspektif tersebut,

dalam konteks otonomi daerah maka memerlukan perubahan untuk memberi

kewenangan yang luas bagi pemerintahan daerah mengelola sendiri daerahnya.

Hasil tim perumus, dalam Rapat Komisi A MPR ke-6, pada 14 Agustus

2000, dipimpin oleh Antonius Rahail, menghasilkan rumusan materi, yaitu:

Pasal 18 Ayat (1):


“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang”.
Ayat (2):
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”.
Ayat (3):
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum”.
Ayat (4):
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Ayat (5):

477
Ibid, hlm. 1127.

Universitas Sumatera Utara


“Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat”.
Ayat (6):
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Ayat (7):
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang”. 478

Hasil tim perumus MPR, juga mengajukan tambahan pasal-pasal yaitu,

Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945. Substansi Pasal 18A ayat (1), yaitu:

“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah provinsi,


kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah”.
Ayat (2):
“Hubungan keuangan pelayanan umum pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang”.

Pasal 18B ayat (1):


“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan khusus
atau istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Ayat (2):
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. 479

Namun, karena adanya kritikan dan masukan terhadap susbstansi Pasal 18B

Ayat (1), mengenai norma “satuan-satuan pemerintahan khusus atau istimewa”.

Selanjutnya, Jakob Tobing, Ketua Komisi A, menyetujui penambahan redaksional

“daerah”, yaitu: ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah

daerah khusus yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur

478
Ibid, hlm. 1408-1409.
479
Ibid, hlm. 1409-1410.

Universitas Sumatera Utara


dengan undang-undang”. 480 Pada Rapat Paripurna ke-9, 18 Agustus 2000, Amien

Rais sebagai Ketua mengesahkan secara keseluruhan. Perbandingannya, sebelum

perubahan dan sesudah perubahan, dapat di lihat dalam Tabel 2, berikut: 481

TABEL 2:
PASAL 18 SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan


Pasal 18 Pasal 18
Pembagian daerah Indonesia atas (1) Negara Kesatuan Republik
daerah besar dan kecil, dengan bentuk Indonesia dibagi atas daerah-
susunan Pemerintahannya ditetapkan daerah provinsi dan daerah
dengan Undang-Undang, dengan provinsi itu dibagi ataskabupaten
memandang dan mengingati dasar dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
permusyawaratan dalam sistem kabupaten, dan kota itu
pemerintahan Negara, dan hak-hak mempunyai pemerintahan daerah,
asal-usul dalam daerah-daerah yang yang diatur dengan undang-
bersifat istimewa. undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak

480
Ibid, hlm. 1418-1419
481
Ibid, hlm. 1428-1429

Universitas Sumatera Utara


menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Sususnan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-
undang.

Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-
undang.

Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Sumber : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah


Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-200, Buku

Universitas Sumatera Utara


IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Edisi Revisi.

Berdasarkan pasal perubahan tersebut, terutama pada Pasal 18 ayat (5)

dihubungkan dengan pola otonomi daerah, bahwa negara Indonesia menganut

pola general competence (otonomi luas). Artinya, urusan-urusan yang dilakukan

oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi

kewenangan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, untuk menindaklanjuti ayat (7)

bahwa susunan dan tata cara penyelenggaraan diatur dengan undang-undang,

maka dibentuk UU No. 32 Tahun 2004, dalam Penjelasan Umumnya, disebutkan:

“Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya


dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat”.

Setelah UU No. 32 Tahun 2004 diganti dengan UU No.23 Tahun 2014,

berkaitan prinsip otonomi daerah diatur Pasal 1 angka 2, berbunyi: “Pemerintahan

Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.”

Oleh karena itu, maksud devolution/delegation atau desentralisasi politik

(political desentralitation) di atas juga sejalan dengan maksud Pasal 1 angka 8

UU No.23 Tahun 2014, disebutkan: “Desentralisasi adalah penyerahan Urusan

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas

Otonomi.” Sedangkan, maksud deconcentration atau desentralisasi administratif

(administrative decentralitation), juga menyerupai dengan maksud dalam Pasal 1

angka 9 UU No.23 Tahun 2014, yaitu: “Dekonsentrasi adalah pelimpahan

sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai

penanggung jawab urusan pemerintahan umum.” Pengertian dekonsentrasi Pasal 1

angka 9 tersebut, berbeda dengan pengertian Pasal angka 8 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, berbunyi: “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah

dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.”

Dapat digambarkan juga bahwa sebagaimana Pasal 18 dan Pasal 18A UUD

RI 1945, NKRI menganut sistem desentralisasi umum (simetris), yang

diberlakukan kepada seluruh daerah. Sementara, berdasarkan Pasal 18B ayat (1)

UUD RI 1945, juga menganut sistem desentralisasi asimetris, dengan

menggunakan istilah daerah khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-

undang, bagi daerah-daerah tertentu baik karena asal-usulnya maupun karena latar

belakang sejarah .

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) ini terdapat

lima hal pokok, yaitu: bahwa (i) negara mengakui; (ii) negara menghormati; (iii)

yang diakui dan dihormati itu adalah satuan-satuan pemerintahan daerah; (iv)

satuan-satuan pemerintahan daerah yang dimaksud adalah yang bersifat khusus

Universitas Sumatera Utara


atau istimewa; dan, bahwa (v) satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus

atau istimewa tersebut diatur dengan undang-undang. 482

Latar belakang daerah istimewa dalam UUD RI 1945 tidak terlepas dari

usulan M. Yamin, pada saat perumusan Undang-Undang Dasar yang dilampirkan

dalam Pasal 18 rancangan sementara dan memuat tentang Pemerintahan Daerah,

yaitu: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan

bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam sistem pemerintahan

negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 483

Selanjutnya, Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-

Undang Dasar dalam Sidang BPUPKI pada 15 Juli 1945 menyampaikan: 484

“….Sekarang tentang Pemerintahan Daerah. Kita telah menyetujui bentuk


negara kesatuan (eenheidsstaat). Oleh karena itu, di bawah Negara
Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya
ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan
bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dalam undang-undang. Menurut
Pasal 16: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dalam undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sisitem
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat
istimewa. Jadi rancangan undang-undang dasar member kemungkinan untuk
mmengadakan pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerahng besar
dan untuk membagi daerah-daerah besar itu atas daerah-daerah yang kecil.
Dengan memandang dan mmengingati “dasar permusyawaratan”, artinya
bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus
berdasar atas permusyawaratan , jadi misalnya dengan mengadakan Dewan
perwakilan Rakyat.
Hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus
diperingati juga. Daerah-daerah yang berisifat istimewa itu ialah pertama
daerah kerajaan (Kooti), baik di Djawa maupun di luar Djawa, daerah-

482
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 484.
483
M. Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, jajasan
Prapantja, Bandung, hlm. 724.
484
Ni’matul Huda, 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perbedaan Konstitusi dan
Perundang-undangan di Indonesia, Nusamedia, Bandung, hlm. 3-4.

Universitas Sumatera Utara


daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan “zelfbesturande
landschappen”. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli,
ialah Dorfgemeinschaften”, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan
rakyat asli seperti desa di Djawa, nageri di Minangkabau, dusun dan marga
di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Maksud
panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi, ialah daerah
kerajaan (zelfbesturende landschappen) dan desa-desa itu di hormati dengan
menghormati dan memperbaiki susunan asli”.

Kemudian pada 18 Agustus 1945 di hadapan Sidang PPKI, Soekarno,

selaku Ketua PPKI, meminta Soepomo memberikan penjelasan mengenai

Rancangan Undang-Undang Dasar yang akan disahkan sebagai Undang-Undang

Dasar 1945 Negara Republik Indonesia. Dalam SIdang PPKI itu, Soepomo

memberi penjelasaan tentang pemerintah daerah sebagai berikut: 485

“Di bawah Pemerintah Pusat ada Pemerintah Daerah: Tentang Pemerintah


Daerah di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi: Pemerintah Daerah
diatur dalam undang-undang hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai
untuk negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintahan Daerah, artinya
pemerintahan daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain
perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan adanya daerah-daerah
istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada
dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai
daerah, bukan negara, jangan sampai ada salah paham dalam menghormati
adanya daerah.
Zelfbesturende Landschappen itu bukan negara, sebab hanya ada satu
negara. Jadi Zelfbesturende Landschappen hanyalah daerah saja, tetapi
daerah istimewa, yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah
istimewa itu suatu bagian dari staat Indonesi, tetapi mempunyai sifat
istimewa maupun susunan asli. Begitupun adanya zelfstandige
gemeenteschappen seperti desa di Sumatera, negeri di Minangkabau, marga
di Palembang, yang dalam bahasa Belanda disebut Inheemshe
Rechtsgeemenschappen. Susunan asli dan dihormati.

Pasca Indonesia menjadi Republik Indoneisa Serikat (RIS), 27 Desember

1949-17 Agustus 1950, pengaturan keistimewaan juga diatur dalam Konstitusi

RIS. Ketika penyusunan Konstitusi RIS di Nederland, dicarilah istilah Indonesia

485
Ibid, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


untuk menggantikan zelfbesturende/zelfbesturendelandschappen, Moh. Yamin,

memberi istilah ‘Swapraja’. 486 Hanya saja konsepsi tentang daerah istimewa

dalam Konstitusi RIS berbeda dengan UUD 1945, dalam hal istilah antara

zelfbesturende/zelfbesturendelandschappen dengan daerah swapraja, yang diatur

dalam Bagian III Daerah-Daerah Swapraja. Akan tetapi daerah swapraja itu tidak

dinyatakan sebagai daerah istimewa. Juga tidak disebutkan volksgemeenschappen

yang ada pada waktu itu termasuk dalam pengertian istimewa. Satu-satunya

daerah secara eksplisit disebut sebagai Daerah Istimewa hanyalah Kalimantan

Barat (Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS). Meskipun tidak ada penjelasan latar

belakang keistimewaannya. 487 Dalam Konstitusi RIS aturan keistimewaan daerah

yang diatur dalam Pasal 64 dan 65 dinyatakan status istimewa yang telah

diberikan kepada daerah tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. UUD RIS ini

secara tegas mengatur kewenangan daerah istimewa. Hal ini menjadi proteksi bagi

terus berlangsungnya asimetrisme. Berbeda dengan UUD lainnya hanya mengatur

tetapi dimungkinkan untuk dihapus. 488

Setelah terbentuknya NKRI, pada 17 Agustus 1950 pembuat Undang-

Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 mempunyai pendapat lain tentang

pengaturan kedudukan swapraja. Di dalam UUDS 1950 kedudukan swapraja

diatur dalam Pasal 132, berbunyi:

(1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan undang-undang


dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya

486
Ibid, hlm. 17.
487
Ibid, hlm.18-19.
488
Bayu Dardias Kurniadi, 2012, Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Makalah yang
disampaikan pada seminar di Lembaga Administrasi Negara, Jatinangor tanggal 26 November
2012, hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara


harus diingat pula ketentuan dalam Pasal 131 dasar-dasar
permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara.
(2) Daerah-daerah swapraja yang tidak dapat dihapuskan atau diperkecil
bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum
dan sesudah undang-undang yang menyatakan atau pengecilan itu,
memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah.
(3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang
dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh
badan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 108. 489
Berdasarkan pasal tersebut, Usep Ranawidjaya mengatakan, “swapraja

dalam bentuk dan corak yang asli tidak berasaskan kerakyatan (demokrasi),

namun tidak berarti swapraja itu tidak dapat disesuaikan dengan asas kerakyatan

atau didirikan atas dasar demokrasi”. Oleh karena itu, menurutnya ada tiga

kemungkinan mengenai keberadaan daerah swapraja, yaitu: pertama,

mempertahankan swapraja dengan merubah bentuk dan susunan pemerintahan

sehingga sesuai dengan dasar demokrasi. Kedua, menjadikan swapraja menjadi

daerah istimewa. Ketiga, penghapusan swapraja dimana mungkin. 490 Namun,

ketentuan tersebut tidak berlaku seirirng dikeluarkannya Dekrit Presiden, pada 5

Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD RI 1945 untuk seluruh wilayah

Republik Indonesia, sehingga dengan demikian memberlakukan kembali

ketentuan Pasal 18 UUD 1945. 491

Setelah masa Orde Baru, di bawah Presiden Soeharto berakhir, pada 20 Mei

1998, melalui suatu gerakan reformasi dan pasca Pemilihan Umum (Pemilu) pada

tahun 1999, dilakukan perubahan UUD RI 1945 oleh MPR. Pada 19 Oktober 1999

perubahan pertama UUD RI 1945, terhadap Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,

Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal

489
Ni’matul Huda, 2013, Op., Cit., hlm. 22-23.
490
Ibid, hlm. 25.
491
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


21. Selanjutnya, pada 18 Agustus 2000, MPR untuk kedua kali kembali mengubah

UUD RI 1945, terhadap Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat

(5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat

(2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C,

Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab

XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.

Berkaitan dengan status daerah istimewa, di dalam pembahasan perubahan

UUD RI 1945 yang berkaitan dengan Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, pada

Rapat ke-18 Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR, 22 Februari 2000, melakukan

dengar pendapat dengan organisasi-organisasi masyarakat, salah satunya AIPI

yang diwakili oleh Diana Fauziah Arifin, yang berpendapat, sebagai berikut: 492

Khusus mengenai Pemerintahan Daerah, saya ingin memfokuskan atau


menitik beratkan pada satu hal yaitu kata-kata “hak-hak, asal-usul dari dan
yang bersifat istimewa”. Penjelasan mengenai daerah istimewa, bagaimana
satu daerah bisa disebut istimewa? Apa indikatornya? Apa hanya sekedar
sejarah perjuangannya, ataukah karena resources-nya, resources-nya
misalnya, ataukah karena apa? Kita tidak ingin terjadi Aceh kedua dan
ketiga. Justru titel istimewa inilah, kata-kata istimewa inilah yang kemudian
di blow up, diletupkan, mengapa istimewa kok nasibnya jauh dari istimewa?
Masih mending daerah-daerah lain yang bukan istimewa, tapi mengalami
nasib yang lebih baik daripada yang istimewa. Jadi, penjelasan mengenai
istimewa inilah yang tampaknya, yang dimaksudkan hak asal-usul daerah
istimewa dan bagaimana, siapa sebetulnya yang mengatur istimewa atau
tidak istimewanya, siapa yang memberikan batasan-batasan mana yang
istimewa, mana yang tidak.

Begitu juga dalam pembahasan secara khusus Bab VI mengenai

Pemerintahan Daerah dilakukan pada rapat ke-36 PAH I BP MPR, 29 Mei 2000,

492
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, Op., Cit., hlm. 1134.

Universitas Sumatera Utara


Ali Hardi Kiaidemak dari Fraksi PPP juga mengusulkan perlunya pencermatan

terhadap hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, yaitu:

“2. Daerah-daerah dibentuk dengan memandang dan mengingat hak-hak


asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, ini pun perlu mendapatkan
catatan karena pemahaman tentang daaerah asal usul dan istimewa ini juga
dalam prakteknya juga telah berkembang yang tidak seirama. Sebagai
contoh Daerah Istimewa Aceh, namanya Daerah Istimewa Aceh tetapi
dalam prakteknya struktur dan fungsi daerahnya sama Pemerintah
Daerahnya sama dengan Provinsi yang lain. Daerah Istimewa Yogyakarta,
belakangan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX meninggal dunia,
ternyata tidak serta merta gubernur Kepala Daerahnya beralih ke
Hamengkubuwono ke-X sehingga mengubah perkembangan daripada
Daerah Istimewa itu sendiri bahkan terakhir telah dipilih oleh DPRD. Ini
semua perlu perhatian kita semua untuk tidak kita menemukan masalah-
masalah di kemudian hari…..” 493

E. Daerah-daerah yang Berlaku Desentralisasi Asimetris

Desentralisasi pada dasarnya adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan

daerah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan

(JPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM)

menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa desentralisasi asimetris

harus dilakukan di Indonesia: 494

Pertama, alasan konflik dan tuntutan separatisme. Tidak dapat dipungkiri,

tiga daerah yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus karena konflik

antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional antara lain, karena

perebutan sumber daya. Jika diringkas, otonomi khusus untuk Aceh, Papua dan

Papua Barat secara prinsipil terdiri dari:

493
Ibid, hlm. 1165-1166
494
Bayu Dardias Kurniadi, 2012, Op., Cit., hlm. 8-9.

Universitas Sumatera Utara


1) Dana Otonomi Khusus sebagai kompensasi ketiga provinsi masih

dapat bergabung di Republik Indonesia.

2) Pengakuan terhadap identitas lokal yang terwujud dalam institusi

politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan adanya lembaga baru yang

merepresentasikan adat dan agama. Di Papua, wewenang diberikan

kepada adat dan gereja.

3) Pengakuan terhadap simbol-simbol lokal seperti bendera, bahasa dan

lainnya.

4) Partai politik lokal. Aceh memanfaatkan momentum partai lokal

dengan tumbuhnya partai lokal dan memenangkan pemilu, sedangkan

di Papua belum ada walaupun ruang untuk hal tersebut telah ada.

5) Adanya afirmatif action untuk menjadi pemimpin lokal. Di Aceh

wujudnya dengan dapat membaca Al Quran, di Papua pemimpinnya

harus orang asli papua yang disyahkan oleh Majelis Rakyat Papua.

6) Pengaturan terkait sumber daya. Selain dana otsus yang jumlahnya

sangat besar, pengelolaah sumber daya daerah adalah isu yang

spesifik. Aceh memiliki beberapa kekhususan spesifik terkait dengan

pengelolaan sumber daya, misalnya pertanahan, hutan dan eksploitasi

minyak.

Kedua, alasan ibukota negara. Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk

Provinsi DKI. Mengingat DKI yang wilayahnya terjangkau dengan infrastuktur

terbaik di negeri ini, perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pilkada untuk

Bupati/Walikota dan tidak ada DPRD Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh

Universitas Sumatera Utara


Gubernur. Konsekuensinya, pilkada Gubernur menggunakan sistem absolute

majority, pemenangnya minimal mendapatkan 50% (lima puluh persen) suara. Di

daerah lain, kecuali Yogyakarta, cukup mendapatkan lebih dari 30% (tiga puluh

persen) suara.

Ketiga, alasan sejarah dan budaya. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),

mendapatkan perlakuan istimewa mengingat sejarahnya di masa revolusi dan

perebutan kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil

Gubernur di DIY yang dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang

bertahta dan Wakil Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta. Penentuan

Sultan dan Pakualam diserahkan kepada institusi keratin/pakualam masing-

masing. Kedua-duanya tidak boleh bergabung dengan partai politik. Pada level

kabupaten/kota tetap sama dengan daerah lainnya.

Keempat, alasan perbatasan. Bahwa dalam konteks perbatasan perlu

mendapatkan perlakuan khusus mengingat perannya sebagai batas dengan negara

tetangga. Daerah perbatasan memegang fungsi penting karena kompleksitas

masalah yang dihadapi. Daerah perbatasan harus diperlakukan sebagai halaman

depan dan bukan halaman belakang RI. Perlakukan daerah perbatasan, misalnya

di Kalimatan Barat hendaknya berbeda, misalnya dengan mewajibkan

gubernurnya berasal dari kalangan militer karena potensi pelintas batas yang

tinggi disamping penguatan infratruktur dan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Detail tentang asimetrisme perbatasan masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Kelima, pusat pengembangan ekonomi. Daerah yang secara geografis

memiliki peluang untuk menjadi daerah khusus ekonomi seharusnya

Universitas Sumatera Utara


dikembangkan agar memiliki daya saing ekonomi tinggi. Daerah seperti Batam

dapat dikembangkan dan dibentuk untuk menyaingi Singapura. Alokasi

kekhususan misalnya menyangkut bea masuk dan pengembangan infrastruktur

pengembangan ekonomi seperti pelabuhan dan tata sistem pelabuhan. Pelabuhan

terbesar di Indonesia saat ini, Tanjung Priok di Jakarta lebih untuk memenuhi

kebutuhan dalam negeri karena posisi geografisnya. Jika Batam dikembangkan

pelabuhan modern dengan sistem yang baik, tidak mustahil mampu mengambil

potensi pelabuhan Singapura yang memiliki keterbatasan ruang. Detail tentang

asimetrisme pengembangan ekonomi masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Provinsi Aceh, tidak hanya berstatus otonomi khusus, tetapi juga daerah

istimewa. Keistimewaan Aceh berbeda latar belakang dengan DIY. Sebagaimana

dideskripsikan dalam Penjelasan Umum UU No.44 Tahun 1999, yaitu:

Dua abad sebelum Masehi, Aceh dalarn sejarahnya dikenal sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah
menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad IV Masehi, Aceh
menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah
melalui proses yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada
abad XllI Masehi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan
yang maju pada abad XIV Masehi. Dari sinilah Islarn berkembang ke
seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad XV, ketika orang-orang Barat
memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang
dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang
berdaulat.
Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad XIX
mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret
1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap
menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Empat puluh tujuh tahun
kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk
tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1
November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh,
yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira
banyaknya pada kedua belah pihak. Sejak waktu itu sampai Perang Dunia II
Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit.

Universitas Sumatera Utara


Demikian juga dengan Aceh yang tidak hanya kehilangan harta dan jiwa.
bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.
Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh
menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian
dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, masyarakat Aceh
amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan
fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan
terhadap ajaran agama Islam dalam Jangka panjang itu melahirkan budaya
Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan
para ulama. kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu
disimpulkan menjadi adat bak Poteumeureuhom. hukom bak Syah Kuala.
Qanun bak Putro Phang. Reusan bak Laksamana yang artinya hukum adat
di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama. Kata-kata ini
merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup
sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi
Mekah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah
lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun
Islam yang kelima.
Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17
Agustus 1945, masyarakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena
mereka merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya
yang lain. Dukungan ini dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan
nyawa untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan
untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan
membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan
negara ini merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik
Indonesia.
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak
dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal
bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan
kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui
fatwadan bimbingan para ulama ini rakyat rela berjuang dan berkorban
memperahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas dasar perjuangan ini pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri
sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh
dinyatakan sebagai satu propinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari
Propinsi Sumatera Utara. Namun, setelah Republik Indonesiaa kembali ke
negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1950 status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah
satu karesidenan dalam Propinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini
menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, yang
pada akhimya menimbulkan gejolak perlawanan pada tahun 1953 yang
melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh, baik langsung maupun tidak
langsung. Sehingga Daerah Aceh kehilangan peluang untuk menata diri.

Universitas Sumatera Utara


Guna memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, Pemerintah menetapkan
kembali status Karesidenan Aceh menjadi daerah otonom Propinsi Aceh.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan
Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Salah satu faktor yang
menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh
adalah setelah Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah
pimpinan Wakil Perdana Menteri yang memberikan status Daerah Istimewa
melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan.
Sesungguhnya. melalui pemberian status Daerah Istimewa bagi Propinsi
Aceh ini. merupakan jalan menuju penyelesaian masalah Aceh secara
menyeluruh. Namun. karena adanya kecenderungan pemusatan k.ekuasaan
di Pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. maka penyelenggaraan
keistimewaan Aceh tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang
kemungkinan melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aspirasi Daerah.
Isi Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor l/Missi/1959
tentaog Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan
pendidikan yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan
penambaban peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah. Untuk
menindaklanjuti ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh tersebut
dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
tersebut daiam suatu undang-undang.
Undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksudkan untuk memberikan
landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalarn mengatur urusan-
urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah.
Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi
kebebasan kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga
kebijakan diharapkan lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.

Dari pembahsan di atas menunjukkan sebelum perubahan UUD RI 1945

ada 3 (tiga) daerah yang berlaku desentralisasi asimetris, disebut sebagai daerah

istimewa atau khusus, yaitu DIY, DI Aceh, dan DKI. Pasca perubahan UUD RI

1945, terdapat tambahan 2 (dua) daerah lagi yang berstatus sebagai daerah khusus,

yaitu Papua dan Papua Barat. Sehingga, daerah-daerah yang diakui sebagai daerah

khusus atau istimewa ada 5 (lima) daerah.

Universitas Sumatera Utara


1. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi Papua dan Papua Barat, berstatus sebagai daerah yang berlaku

otonomi khusus. Sebagaimana, Pasal 1 huruf a dan huruf b UU No.21 Tahun 2001

joncto UU 35 Tahun 2008, disebutkan:

a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan
kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-
hak dasar masyarakat Papua.

Adapun bentuk kekhususan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu:

1. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah

Provinsi Papua dalam pelaksanaan pasal tertentu [Pasal 1 huruf i]

2. Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang terkait

dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat

pertimbangan Gubernur dan dapat mengadakan kerja sama yang

saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang

diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. [Pasal 4 ayat (6) dan ayat (7)]

3. Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan representasi kultural orang

asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka

perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada

penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,

dan pemantapan kerukunan hidup beragama. [Pasal 5 ayat (2)] .

Universitas Sumatera Utara


4. Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik

Indonesia yang berasal dari orang asli Papua [Pasal 12 huruf a]

5. Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dari pertambangan

minyak dan gas berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun. [Pasal 34

ayat (3) huruf c angka 4].

6. Penerimaan dana tambahan provinsi dari Dana Otonomi Khusus,

selama 20 (dua puluh) tahun. [Pasal 34 ayat (3) huruf c angka 6].

7. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan

oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

persetujuan Gubernur Provinsi Papua. [Pasal 48 ayat (5)].

8. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan

oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

[Pasal 52 ayat (2)].

9. Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus

bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan

terabaikan di Provinsi Papua. [Pasal 66 ayat (1)].

2. Daerah Khusus Ibukota Jakarta

DKI Jakarta, sebagai daerah khusus ibukota negara, sebagaimana daerah

khusus lainnya, juga diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yaitu

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara


(UU No. 29 Tahun 2007). 495 Sebelum dibentuk undang-undang ini, DKI Jakarta

sudah ada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (UU No.34 Tahun

1999), yang selanjutnya diganti dengan UU No. 29 Tahun 2007.

Bentuk kekhususan DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam UU No.29

Tahun 2007, yaitu:

1. Adanya Deputi Gubernur, yang merupakan pejabat yang membantu

Gubernur dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Provinsi DKI

Jakarta yang karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia. [Pasal 1 angka 9]

2. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung

jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat

kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga

internasional. [Pasal Pasal 5].

3. Walikota/bupati adalah kepala pemerintahan kota administrasi/kabupaten

administrasi sebagai perangkat Pemerintah Provinsi yang bertanggung

jawab kepada Gubernur. [Pasal 1 angka 10].

Dari pasal ini, karena walikota/bupati adalah sebagai kepala pemerintahan

kota/kabupaten administrasi dan tunduk di bawah kebijakan gubernur,

serta bukannya wilayah otonom, maka di kota/kabuptaen tersebut juga

tidak ada lembaga legislatif (DPRD).


495
Undang-undang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU No.44 Tahun 2007, LN No.93 Tahun 2007, TLN No.
4744.

Universitas Sumatera Utara


4. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan

kabupaten administrasi. [Pasal 1 angka 11 dan Pasal 7 ayat (1)].

5. Otonomi Provinsi DKI Jakarta pada tingkat provinsi [Pasal 9 ayat (1)].

6. Pemilihan Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, harus

memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) untuk ditetapkan

sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. [Pasal 11 ayat].

7. DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan pertimbangan terhadap calon

walikota/bupati yang diajukan oleh Gubernur. [Pasal 12 ayat (3)].

8. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat dan

Kepala Daerah, dibantu sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang deputi, yang

berasal dari pegawai negeri sipil. Diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur.

[Pasal 14].

9. Walikota/bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD dari

pegawai negeri sipil. [Pasal 19 ayat 2].

10. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan

Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Pasal 26 ayat (8)].

11. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden

dalam acara kenegaraan sesuai. [Pasal 31].

3. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Latar belakang Provinsi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa, terbentuk

pasca kemerdekaan Indonesia. Meskipun saat itu belum ada peraturan yang

Universitas Sumatera Utara


mengatur mengenai keistimewaan Yogyakarta. Pengakuan keistimewaan

Yogyakarta diatur sendiri oleh Sultan Hamengku Bowono IX, sebagai Kepala

Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah Kadipaten

Paku Alman, bersama Komite Nasional Daerah Yogyakarta. Di mana kedua

Kepala Daerah tersebut masing-masing mengeluarkan Amanat, pada 5 September

1945 menyatakan bahwa daerahnya sebagai daerah istimewa dari NKRI dan

bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan kedua amanat tersebut,

menunjukkan bahwa merupakan dua daerah yang sebelumnya terpisah. 496

Keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pertama sekali disebutkan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah.

Selanjutnya, secara de jure oleh pemangku jabatan Presiden RI Mr. Assaat, pada 3

Maret 1950 membentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam undang-undang ini selain

mengukuhkan nama dan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, juga menegaskan

eksistensinya setingkat dengan provinsi. Setelah itu, undang-undang tersebut

diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950, lalu diubah kembali

dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1955. 497

Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan Daerah, bahwa menegaskan kepala daerah istimewa tidak

dipilih oleh dan dari anggota DPRD, tetapi diangkat oleh Pemerintah Pusat dari

keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum republik

Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya dengan memperhatikan syarat-

496
Ni’matul Huda, 2013, Loc., Cit., hlm. 140-142.
497
Ibid, hlm. 148.

Universitas Sumatera Utara


syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu. Jadi

keistimewaan masih terletak pada kedudukan kepala daerahnya. 498 Pengakuan

keistimewaan ini terus berlaku dalam setiap penggantian undang-undang tentang

pemerintahan daerah. Meskipun, sempat menimbulkan polemik di masa orde baru

berkaitan keistimewaan keberadaan dan masa jabatan kepala daerah pasca

pembentukan dan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Setelah mengalami pembahasan dan polemik berkaitan keistimewaan

Yogyakarta, pada 31 Agustus 2012, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono,

mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No.13 Tahun 2012), 499 Meskipun demikian

keberadaan undang-undang sebelumnya tidak dicabut dan masih berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.

Sebagaimana Pasal 50 UU No.13 Tahun 2012, disebutkan:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950
Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955
Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827)
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.

Bentuk Keistimewaan DIY tersebut, meliputi:

1. Keistimewaan berdasarkan pada sejarah dan hak asal-usul DIY [Pasal

1 angka 2];

498
Ibid, hlm.152.
499
Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No.13 Tahun 2012,
LN No.170 Tahun 2012, TLN No. 5339.

Universitas Sumatera Utara


2. Kasultanan DIY/Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin

Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan

Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin

Panatagama Kalifatullah atau Sultan Hamengku Buwono. [Pasal 1

angka 4];

3. Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran

Adipati Arya Paku Alam atau Adipati Paku Alam. [Pasal 1 angka 5].

4. Ada 2 (dua) peraturan daerah di DIY, yaitu: Peraturan Daerah (Perda)

yang mengatur penyelenggaraan provinsi dan Peraturan Daerah

Istimewa (Perdais) untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan

Istimewa. [Pasal 1 angka 12 dan angka 13];

5. Kewenangan Istimewa DIY berada di Provinsi. [Pasal 6];

6. Kewenangan dalam urusan Keistimewaan, meliputi: a) tata cara

pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan

Wakil Gubernur; b) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c)

kebudayaan; d) pertanahan; dan, e) tata ruang. [Pasal 7 ayat (2)];

7. Syarat calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur antara lain,

bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur

dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil

Gubernur. [Pasal 18 ayat (1) huruf c];

8. Masa jabatan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai

Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil

Universitas Sumatera Utara


Gubernur selama 5 (lima) tahun dan tidak terikat ketentuan 2 (dua)

kali periodisasi masa jabatan. [Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2)];

9. Jika Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta memenuhi syarat

sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta tidak

memenuhi syarat sebagai calon Wakil Gubernur, DPRD DIY

menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai

Gubernur sekaligus melaksanakan tugas Wakil Gubernur sampai

dengan dilantiknya Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.

[Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2)];

10. Jika Sultan Hamengku Buwono tidak memenuhi syarat sebagai calon

Gubernur dan Adipati Paku Alam memenuhi syarat sebagai calon

Wakil Gubernur, DPRD DIY menetapkan Adipati Paku Alam sebagai

Wakil Gubernur sekaligus melaksanakan tugas Gubernur sampai

dengan dilantiknya Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur.

[Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4)];

11. Jika Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta tidak memenuhi syarat

sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam tidak memenuhi syarat

sebagai Wakil Gubernur, Pemerintah mengangkat Penjabat Gubernur

setelah mendapatkan pertimbangan Kasultanan dan Kadipaten sampai

dilantiknya Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai

Gubernur dan/atau Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.

[Pasal 26 ayat (7)];

Universitas Sumatera Utara


12. Kasultanan DIY dan Kadipaten sebagai badan hukum mempunyai hak

milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten, meliputi tanah

keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh

kabupaten/kota dalam wilayah DIY dan berwenang untuk dikelola dan

dimanfaatkan ditujukan untuk pengembangan kebudayaan,

kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. [Pasal 32];

13. Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan

urusan Keistimewaan DIY dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan

keuangan negara. [Pasal 42 ayat (1)].

Berdasarkan UU No.13 Tahun 2012, menunjukkan bahwa keistimewaan

DIY berada pada kesultanan yang selanjutnya ditetapkan dengan Perdais. Di mana

Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam oleh DPRD DIY sekaligus

menetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk 5 (lima) tahun dan tidak

terikat untuk 2 (dua) periode. Artinya, dalam konteks kesultanan dan

keberadaannya tidak dibatasi secara periodesasi, tetapi sebagai gubernur dan

wakil gubernur adanya pembatasan setiap 5 (lima) tahun sekali, meskipun

keberadaannya jika tidak ada halangan dijabat seumur hidup. Selanjutnya,

pendanaan pelaksanaan keistimewaan DIY, dianggarkan oleh Pemerintah Pusat

dalam APBN tanpa pembatasan waktu. Berbeda dengan Dana Otonomi Khusus

Papua dan Papua Barat, termasuk juga Dana Otonomi Khusus Aceh yang dibatasi

hanya sampai 20 (dua puluh) tahun.

Universitas Sumatera Utara


F. Keistimewaan dan Kekhususan Aceh

Otonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada satuan Pemerintahan

Daerah Aceh adalah otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

kekhususan atau keistimewaan yang dimiliki daerah Provinsi Aceh baik di bidang

politik, ekonomi, dan sosial budaya; kecuali dalam bidang politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di

bidang agama. Konsep otonomi tersebut didasarkan pada Pasal 18, Pasal 18A dan

Pasal 18B UUD RI 1945. Secara teoritik, konsep otonomi seperti itu lazim disebut

sebagai model asymmetric decentralization. 500

Keberadaan asymmetric decentralization Aceh berbeda dengan daerah-

daerah khusus lainnya. Di mana selain berstatus otonomi khusus juga sebagai

daerah istimewa. Latar belakang keistimewaan Aceh dalam sejarahnya

sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No.44 Tahun 1999, selain

karena didasarkan sejarah pengaruh kuatnya Islam (syari’at Islam), juga karena

kompromi untuk mengatasi pergolakan terus menerus dalam hubungannya dengan

Pemerintah Pusat. Berbeda dengan DI Yogyakarta, keistimewaan karena latar

belakang kesultanan sebagai bentuk pemerintahan keraton Yogyakarta.

Sedangkan, DKI Jakarta merupakan daerah provinsi yang bersifat khusus, karena

karakternya sebagai ibukota negara yang memang berbeda dari provinsi lainnya.

Itu sebabnya sampai sekarang kota Jakarta disebut sebagai Daerah Khusus

500
Soetandyo Wignjosoebroto, dkk., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah : Sketsa
Perjalanan 100 Tahun, Yayasan Tifa dan ILD, Jakarta, hlm. 562.

Universitas Sumatera Utara


Ibukukota (DKI) Jakarta. Sedangkan, Papua dikarenakan persoalan separatis yang

mengancam integrasi NKRI, maka diberikan status sebagai daerah khusus. 501

Selanjutnya, karena di Aceh juga muncul separatisme sehingga kedua

daerah Aceh dan Papua diberi status sebagai daerah khusus. Berdasarkan

pandangan tersebut dapat dikatakan status Aceh sampai saat ini, disamping

sebagai daerah istimewa diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (UU

No.44 Tahun 1999), juga sebagai daerah khusus, diatur dengan UU No.18 Tahun

2001. Namun, karena dalam MoU Helsinki disepakati akan dibentuk undang-

undang baru untuk Aceh dan substansi UU No.18 Tahun 2001 perlu direvisi,

maka dicabut selanjutnya diganti dengan UU No.11 Tahun 2006.

Dalam sejarahnya sebelum UU No.44 Tahun 1999, pengakuan sebagai

daerah istimewa pertama sekali dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Hardi,

pada 26 Mei 1959. Melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959502

tentang perubahan Daerah Swatantra Tk. I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh,

dengan tetap berlaku ketentutan ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swatantra

Tk. I, seperti termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang

Pokok-pokok Pemerintah Daerah. 503

501
Jimly Asshiddiqie, 2007, Loc., Cit., hlm. 486.
502
Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi ini keberadaanya diakui pada saat dibentuk
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disebutkan dalam Penjelasannya, paragraf kesembilan, yaitu: “Salah satu
faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah
Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang
memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor l/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Bahkan, dalam undang-
undang ini menambahkan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
503
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc.. Cit., hlm. 417-418.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, Hardi, mengakui bahwa misinya tidak dapat secara resmi

memberikan suatu pasal yang memberlakukan syariat Islam, sebab hukum Islam

ini sedang dibicarakan dalam Parlemen. Namun, ia percaya bahwa status istimewa

atau otonomi yang luas dalam bidang agama akan memberi kesempatan kepada

pemerintah daerah untuk mengatur hal ini. 504 Keputusan Hardi, tentang pemberian

status sebagai Provinsi Istimewa Aceh, mempunyai makna politis bagi pemulihan

keamanan, karena kekuatan pemberontak telah terpecah. Namun, status

keistimewaan Aceh dalam bidang keagamaan, peradatan dan pendidikan, hingga

bulan Oktober 1959 belum juga disahkan dalam bentuk produk hukum yang lebih

tinggi. Pada tanggal 28 Juli 1959, Dewan Revolusi mengirim surat secara

berturut-turut kepada Ketua Peperda I Aceh dan Gubernur Aceh memohon agar

keputusan Missi itu dikukuhkan dalam perundang-undangan dan meminta agar

dapat menyelesaikannya dengan Pemerintah Pusat. 505

Setelah tragedi nasional G 30 S PKI pada tahun 1965, untuk implementasi

unsur-unsur Syariat Islam di Aceh kembali mendapat ruang. Musyawarah Alim

Ulama di Banda Aceh (Kutaraja), pada 17-18 Desember 1965 mengeluarkan dua

keputusan: pertama, ajaran komunis haram dan kufur hukumnya; kedua,

mengusulkan kepada Pemerintah Daerah pembentukan Majelis Ulama Daerah

Istimewa Aceh, sebagai badan konsultatif Pemerintah Daerah Istimewa Aceh

dalam penetapan fatwa mengenai soal agama – sebelumnya bernama Majelis

Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, yang disahkan melalui Surat

Keputusan Brigjend. Ishak Juarsa No. Kep./Peperda/-9/2/1996, tanggal 10

504
Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Loc., Cit., hlm. 313.
505
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 426-427.

Universitas Sumatera Utara


Februari 1966 506 – yang dipimpin oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba, tahun

1966 dan Ali Hasjimy, tahun 1983. 507 Sejak itu proses penetapan keistimewaan

Aceh dalam peraturan perundanag-undangan lebih tinggi berjalan sangat lamban.

Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, maka dibentuk UU No.44

Tahun 1999. Dalam undang-undang ini ditambahkan satu lagi bidang

keistimewaan Aceh, yaitu peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah, di

samping bidang agama, adat dan pendidikan. Dalam Pasal 11, disebutkan:

“Penyelenggaraan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Belum sempat undang-undang ini dilaksanakan, muncul gagasan otonomi

khusus. Penggagasnya adalah lima orang Anggota MPR dari Utusan Daerah

Provinsi DI. Aceh, 12 orang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi

DI. Aceh, dan seorang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi

Sumatera Utara. Pada tanggal 11 Oktober 1999 mereka menulis surat kepada

Pimpinan MPR, seluruh Pimpinan Fraksi, dan semua Pimpinan Panitia Ad. Hoc,

yang intinya mengusulkan agar DI. Aceh diberi kedudukan sebagai Daerah

Otonomi Khusus (DOK). Gagasan ini ibarat air mengalir deras, tidak tertahankan.

Pernerintah Pusat suka tidak suka terpaksa menggulirkannya supaya tuntutan

referendum yang didesakkan GAM dan mendapat dukungan cukup luas dari

506
Melalui Pasal 1 angka 16 UUPA, Majelis Ulama kembali berganti nama menjadi
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan
cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
507
M. Isa Sulaiman, 1997, Loc., Cit., hlm. 467-477.

Universitas Sumatera Utara


berbagai lapisan masyarakat batal dan Aceh tidak lepas dari ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia seperti halnya Timor Timur. 508

Peluang Aceh untuk mendapatkan otonomi khusus, tidak sekedar hak

penyelenggaraan keistimewaan seperti yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 1999, pertama sekali diberikan oleh MPR lewat Ketetapan

Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang

mengamanatkan bahwa: “... integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan

keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan daerah

otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya, tuntutan

otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ditegaskan lagi

dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, yang merekomendasikan kepada

pemerintah dan DPR RI agar mengeluarkan Undang-Undang tentang Otonomi

Khusus bagi DI. Aceh dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah. 509

Sehingga, meskipun Undang-Undang Keistimewaan Aceh memerintah

langsung menetapkan peraturan pelaksanaanya dalam bentuk Peraturan Daerah,

namun dari empat Keistimewaan Aceh tersebut tidak satupun dapat

diimplementasikan karena saat itu tidak dibentuk peraturan daerahnya.

Keistimewaan Aceh baru dapat dilaksanakan setelah pembentukan UU No.18

Tahun 2001, dan diberlakukan bersamaan dengan UU No.44 Tahun 1999.

Sebagaimana, disebutkan dalam konsideran menimbang huruf e UU No. 18

Tahun 2001, berbunyi: “bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun


508
Departemen Dalam Negeri, 2006, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh, hlm. 4.
509
Ibid, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh

perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Artinya,

desentralisasi asimetris Aceh berdasarkan kedua undang-undang tersebut

mempunyai 2 (dua) status, yaitu daerah istimewa juga sebagai daerah khusus.

Namun, UU No.18 Tahun 2001, tidak dapat dilaksanakan maksimal dan

pasca MoU Helsinki undang-undang tersebut dicabut dengan UU No.11 Tahun

2006. Meskipun nomenklatur judul UU No.11 Tahun 2006 tidak menyebutkan

“keistimewaan” dan/atau “kekhususan” sebagaimana UU No.44 Tahun 1999, dan

UU No.18 Tahun 2001. Namun, substansi UU No.11 Tahun 2006 mengatur

mengenai keistimewaan dan kekhususan Aceh, dengan penyebutan “keistimewaan

dan kekhususan Aceh”, bukan “kekhususan atau keistimewaan Aceh”.

Berbeda dengan substansi penyebutan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD RI

1945, yaitu: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-

undang”. Alasan inilah yang menjadikan Aceh bukan hanya sebagai daerah

khusus, tetapi juga sebagai daerah istimewa. Hal ini dapat di lihat pada beberapa

pasal dalam UU No.11 Tahun 2006, pengaturan norma hukumnya dengan

penyebutan “keistimewaan dan kekhususan”.

Misalnya, Pasal 99 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006, disebutkan: Pembinaan

kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan

keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at

Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Kemudian, Pasal 142 ayat (2),

Universitas Sumatera Utara


disebutkan: Perencanaan, penetapan, dan pemanfaatan tata ruang Aceh didasarkan

pada keistimewaan dan kekhususan Aceh dan saling terkait dengan tata ruang

nasional dan tata ruang kabupaten/kota. Selanjutnya, Pasal 246 ayat (2),

disebutkan: Selain Bendera Merah Putih Pemerintah Aceh dapat menentukan dan

menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan

keistimewaan dan kekhususan. Kemudian, Pasal 247 ayat (1), disebutkan:

Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai symbol keistimewaan dan

kekhususan. Begitu juga, dengan Pasal 248 ayat (2), Pemerintah Aceh dapat

menetapkan himne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.

Sebelum dibentuk UU No.18 Tahun 2001, masih ada satu lagi peraturan

perundang-undangan lainnya yang khusus dibentuk untuk Aceh. Namun,

substansinya bukan mengatur berkaitan keistimewaan dan kekhususan Aceh,

melainkan berkaitan dengan kawasan dan pelabuhan bebas, yaitu Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (Perpu No.2 Tahun 2000), yang

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 (UU No.37

Tahun 2000). 510 Dalam konteks ini implementasi undang-undang ini pun tidak

bisa dilaksanakan secara maksimal.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka pemberlakuan Keistimewaan dan

Kekhususan Aceh adalah yang diatur dalam UU No.44 Tahun 1999 dan UU

No.11 Tahun 2006. Sementara, yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2001 telah

dicabut. Oleh karena itu, untuk membandingkan perbedaan, persamaan, kelebihan

510
Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, UU No.37
Tahun 2000, LN RI No. 252 Tahun 2000, TLN RI No.

Universitas Sumatera Utara


dan kelemahannnya antara UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2006,

dapat dilihat dalam tabel 2 di bawah ini, antara lain:

TABEL: 3
PENGATURAN KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN ACEH
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006

No. UU No. 44 Tahun 1999 UU No. 11 Tahun 2006

1. Pasal 1 angka 8 Pasal 1 angka 2


Keistimewaan adalah kewenangan Aceh adalah daerah provinsi yang
khusus untuk menyelenggarakan merupakan kesatuan masyarakat hukum
kehidupan beragama, adat, yang bersifat istimewa dan diberi
pendidikan, dan ulama dalam kewenangan khusus untuk mengatur dan
penetapan kebijakan Daerah. mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur.
2. Pasal 1 angka 10 Pasal 1 angka 10
Syariat Islam adalah tuntutan ajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh
Islam dalam semua aspek kehidupan. disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) adalah unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah Aceh yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
3. Pasal 1 angaka 11 Pasal 1 angka 11
Adat adalah aturan atau perbuatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang bersendikan syariat Islam yang kabupaten/kota disebut Dewan Perwakilan
lazim dituruti, dihormati, dan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah
dimuliakan sejak dahulu yang unsur penyelenggara pemerintahan daerah
dijadikan sebagai landasan hidup. kabupaten/kota yang anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
4. Pasal 2 Pasal 1 angka 12
Daerah diberi kewenangan untuk Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah
mengembangkan dan mengatur KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota
Keistimewaan yang diatur dengan merupakan bagian dari Komisi Pemilihan
Peraturan. Umum (KPU), berwewenang
menyelenggarakan pemilihan umum
Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR,
DPD, DPRA/DPRK, pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil
bupati, dan walikota/wakil walikota.

Universitas Sumatera Utara


5. Pasal 3 Pasal 1 angka 14
(1) Keistimewaan yang diberikan Partai politik lokal adalah organisasi politik
karena perjuangan dan nilai- yang dibentuk oleh sekelompok warga
nilai hakiki masyarakat yang negara Indonesia yang berdomisili di Aceh
tetap dipelihara secara turun- secara suka rela atas dasar persamaan
temurun sebagai landasan kehendak dan cita-cita untuk
spiritual. moral, dan memperjuangkan kepentingan anggota,
kemanusiaan. masyarakat, bangsa dan negara melalui
(2) Penyelenggaraan Keistimewaan pemilihan anggota DPRA/DPRK,
meliputi: Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil
a. penyelenggaraan bupati, dan walikota/wakil walikota.
kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan
kehidupan adat;
c. penyelenggaraan
pendidikan; dan,
d. peran ulama dalam
penetapan kebijakan
Daerah.
6. Pasal 4 Pasal 1 angka 15
Penyelenggaraan kehidupan beragama Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah
diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syar’iyah kabupaten/kota adalah pengadilan
syariat Islam bagi pemeluknya dalam selaku pelaksana kekuasaan kehakiman
bermasyarakat, dengan tetap menjaga dalam lingkungan peradilan agama yang
kerukunan hidup antar umat merupakan bagian dari sistem peradilan
beragama. nasional.
7. Pasal 6 Pasal 1 angka 16
Dapat menetapkan berbagai kebijakan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),
dalarn upaya pemberdayaan, anggotanya terdiri atas ulama dan
pelestarian, dan pengembangan adat cendekiawan muslim yang merupakan mitra
serta lembaga adat di wilayahnya yang kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
dijiwai dan sesuai dengan syariat
Islam.
8. Pasal 7 Pasal 1 angka 17
Dapat membentuk lembaga adat dan Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga
mengakui lembaga adat yang sudah kepemimpinan adat sebagai pemersatu
ada sesuai dengan kedudukannya masyarakat dan pelestarian kehidupan adat
masing-masing di Propinsi, dan budaya.
Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Kemukiman, dan Kelurahan/Desa atau
Gampong.
9. Pasal 8 Pasal 1 angka 19
Pendidikan diselenggarakan sesuai Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum
dengan Sistem Pendidikan Nasional, di bawah kecamatan yang terdiri atas
dengan mengembangkan dan gabungan beberapa gampong yang
mengatur berbagai jenis, jalur, dan mempunyai batas wilayah tertentu yang
jenjang pendidikan serta menambah dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain
materi muatan lokal sesuai syariat dan berkedudukan langsung di bawah
Islam. Selanjutnya, mengembangkan camat.
dan mengatur Lembaga Pendidikan

Universitas Sumatera Utara


Agama Islam bagi pemeluknya di
berbagai jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan.
10 Pasal 9 Pasal 1 angka 20
Membentuk sebuah badan yang Gampong atau nama lain adalah kesatuan
anggotanya terdiri atas para ulama, masyarakat hukum yang berada di bawah
bersifat independen yang berfungsi mukim dan dipimpin oleh keuchik atau
memberikan pertimbangan terhadap nama lain yang berhak menyelenggarakan
kebijakan Daerah, termasuk bidang urusan rumah tangga sendiri.
pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan serta tatanan ekonomi
yang Islami.
11. Pasal 1 angka 21
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-
undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh.
12. Pasal 1 angka 22
Qanun kabupaten/kota adalah peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan
daerah kabupaten/kota yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat kabupaten/kota di
Aceh.
13 Pasal 2
(1) Daerah Aceh dibagi atas
kabupaten/kota.
(2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan.
(3) Kecamatan dibagi atas mukim.
(4) Mukim dibagi atas kelurahan dan
gampong.
14. Pasal 8
(1) Rencana persetujuan internasional
yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh
Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(2) Rencana pembentukan undang-undang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(3) Kebijakan administratif yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh
yang akan dibuat oleh Pemerintah
dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara konsultasi dan pemberian

Universitas Sumatera Utara


pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Presiden.

Penjelasan Ayat (3)


Yang dimaksud dengan kebijakan
administratif dalam ketentuan ini adalah
yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh, misalnya, hal-hal yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini
seperti pemekaran wilayah, pembentukan
kawasan khusus, perencanaan pembuatan
dan perubahan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan langsung dengan
daerah Aceh.511
15. Pasal 9 ayat (1) dan (2)
(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan
kerja sama dengan lembaga atau badan
di luar negeri kecuali yang menjadi
kewenangan Pemerintah.
(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi
secara langsung dalam kegiatan seni,
budaya, dan olah raga internasional.
16. Pasal 18
Pemerintah kabupaten/kota mempunyai
kewenangan menyelenggarakan pendidikan
madrasah ibtidaiyah dan madrasah
tsanawiyah
17. Pasal 75-Pasal 95
Pembentukan Partai Politik Lokal
18 Pasal 96-Pasal 97
Lembaga Wali Nanggroe sebagai
kepemimpinan adat
19. Pasal 98-Pasal 99
Lembaga Adat
20. Pasal 114
Mukim
21. Pasal 125-Pasal 127
Pelaksanaan syari’at Islam
22. Pasal 128-Pasal 137
Mahkamah Syar’iyah
23. Pasal 138-Pasal 140
Majelis Permusyawaratan Ulama
24. Pasal 160
Pemerintah dan Pemerintah Aceh

511
Kekhususan Aceh dengan adanya ayat (3) ini antar alain, dari 12 (dua belas) peraturan
pelaksanaan UUPA, terdiri dari 9 (sembilan) Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden
yang ditetapkan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh perlu
ditetapkanolehpeerintahpustaelaluikonsultasi dan pertimbangan GubernurAceh.

Universitas Sumatera Utara


melakukan pengelolaan bersama sumber
daya alam minyak dan gas bumi yang
berada di darat dan laut di wilayah
kewenangan Aceh.

Penjelasan Ayat (5)


Yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
adalah hal-hal yang telah disepakati
bersama antara Pemerintah dan Pemerintah
Aceh, antara lain penunjukan atau
pembentukan badan pelaksana, tata cara
negosiasi, membuat perjanjian kerja sama,
penentuan target jumlah produksi minyak
dan gas bumi dan produksi yang dijual
(lifting) dan pengembalian biaya produksi
(cost recovery), bagi hasil, pengawasan,
pengembangan masyarakat, kewajiban
reklamasi, dan penunjukan auditor
independen.
25 Pasal 167-Pasal 170
Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Sabang
26. Pasal 179 ayat (2) huruf c Dana Otonomi
Khusus
27. Pasal 180 ayat (1)
Zakat bagian Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
28. Pasal 181 ayat (3)
Pemerintah Aceh mendapat tambahan Dana
Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang
merupakan bagian dari penerimaan
Pemerintah Aceh, yaitu:
a. bagian dari pertambangan minyak
sebesar 55% (lima puluh lima persen);
dan
b. bagian dari pertambangan gas bumi
sebesar 40% (empat puluh persen).
29. Pasal 182 ayat (3)
Paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
pendapatan Dana Bagi Hasil minyak dan
gas dialokasikan untuk membiayai
pendidikan di Aceh.

Penjelasan Ayat (3)


Dana 30% (tiga puluh persen) dalam
ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk
peningkatan kapasitas aparatur, tenaga
pendidik, pemberian bea siswa baik ke
dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan

Universitas Sumatera Utara


pendidikan lainnya sesuai dengan skala
prioritas.
30.. Pasal 183 ayat (1) dan ayat (2)
1. Dana Otonomi Khusus, ditujukan
untuk membiayai pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial, dan
kesehatan.
2. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun,
dengan rincian untuk tahun pertama
sampai dengan tahun kelima belas
yang besarnya setara dengan 2% (dua
persen) plafon Dana Alokasi Umum
Nasional dan untuk tahun keenam
belas sampai dengan tahun kedua
puluh yang besarnya setara dengan 1%
(satu persen) plafon Dana Alokasi
Umum Nasional.

Penjelasan Ayat (1)


Pembiayaan pendanaan pendidikan dalam
ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk
peningkatan kapasitas aparatur, tenaga
pendidik, pemberian bea siswa baik ke
dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan
pendidikan lainnya sesuai dengan skala
prioritas.
31. Pasal 205
Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh
dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan persetujuan
Gubernur.
Penjelasan ayat (5)
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang penuh
memberhentikan Kepala Kepolisian Aceh
tanpa meminta persetujuan Gubernur Aceh
dan dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat
memberi pertimbangan kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia
untuk memberhentikan Kepala Kepolisian
Aceh.
32. Pasal 207 ayat (1)
Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira
Kepolisian Negara Republik Indonesia di
Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh
dengan memperhatikan ketentuan hukum,

Universitas Sumatera Utara


syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat
dan kebijakan Gubernur Aceh.
33. Pasal 209
Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi
Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung dengan
persetujuan Gubernur.

Penjelasan Ayat (5)


Jaksa Agung Republik Indonesia
berwenang penuh memberhentikan Kepala
Kejaksaan Tinggi Aceh tanpa meminta
persetujuan Gubernur Aceh dan dalam hal-
hal tertentu Gubernur dapat memberi
pertimbangan kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia untuk memberhentikan
Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
34. Pasal 218 ayat (1)
Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota menetapkan kebijakan
mengenai penyelenggaraan pendidikan
formal, pendidikan dayah 512 dan pendidikan
nonformal lain melalui penetapan
kurikulum inti dan standar mutu bagi semua
jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Penjelasan Ayat (1)


Yang dimaksud pendidikan formal
termasuk madrasah ibtidaiyah dan
tsanawiyah. Khusus mengenai kurikulum
pendidikan dayah diatur lebih lanjut dengan
qanun.
35 Pasal 228 ayat (1)
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia di Aceh.
36.. Pasal 229 ayat (1)
Pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh.
37. Pasal 235 ayat (4)
Qanun yang mengatur tentang pelaksanaan
syari’at Islam hanya dapat dibatalkan
melalui uji materi oleh Mahkamah Agung
38. Pasal 246 ayat (2) dan ayat (3)
1. Selain Bendera Merah Putih,
Pemerintah Aceh dapat menentukan
dan menetapkan bendera daerah Aceh
sebagai lambang yang mencerminkan
keistimewaan dan kekhususan.

512
Dayah adalah Lembaga Pendidikan Islam atau dikenal dengan Pesanteren.

Universitas Sumatera Utara


2. Bendera daerah Aceh bukan
merupakan symbol kedaulatan dan
tidak diberlakukan sebagai bendera
kedaulatan di Aceh.
39. Pasal 247 ayat (1)
Pemerintah Aceh dapat menetapkan
lambang sebagai simbol keistimewaan dan
kekhususan.
40. Pasal 248 ayat (2)
Pemerintah Aceh dapat menetapkan himne
Aceh sebagai pencerminan keistimewaan
dan kekhususan.
41. Pasal 253 ayat (1)
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Aceh dan Kantor Pertanahan
kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah
Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota
paling lambat awal tahun anggaran 2008.
42. Pasal 267 ayat (1) dan ayat (3)
Penghapusan kelurahan menjadi gampong
atau nama lain dalam kabupaten/kota dan
pengalihan pegawai kelurahan sebagai
sekretaris gampong, pegawai kecamatan,
pegawai kabupaten/kota, atau pegawai
provinsi.
43. Pasal 269 ayat (3)
Rencana perubahan UU No.11 Tahun 2006
dilakukan dengan berkonsultasi dan
pertimbangan DPRA.

Dari kedua undang-undang yang mengatur mengenai keistimewaan dan

kekhususan Aceh, terdapat perbedaan dan persamaannya, yaitu:

1. Substansi UU No. 44 Tahun 1999, Aceh menjadi daerah istimewa di 4 (empat)

bidang keistimewaan yaitu” a) pendidikan; b) adat; c) keagamaan (syari’at

Islam); dan, d) peran ulama dalam pemerintahan.

2. Sementara, pengaturan dalam UU No.11 Tahun 2006 selain mengatur apa

yang sudah dimasukkan dalam UU No.44 Tahun 1999 juga menambahkan dan

menggantikan nomenklatur, serta kewenangan lainnya, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


a. Nomenklatur DI Aceh yang sudah diganti dengan Nanggroe Aceh

Darussalam dalam UU No.18 Tahun 2001, kembali diganti menjadi Aceh.

Begitu juga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan

Kabupaten/Kota menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK);

b. Adanya atribusi kewenangan konsultasi dan pertimbangan DPRA terhadap

persetujuan internasional yang dilakukan pemerintah dan pembentukan

undang-undang yang oleh DPR RI berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, serta rencana perubahan UU No.11 Tahun 2006 oleh

DPR RI;

c. Adanya atribusi kewenangan konsultasi dan pertimbangan Gubernur

terhadap kebijakan administratif yang dilakukan pemerintah berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh;

d. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Partai Politik

Lokal, afirmasi calon kepala daerah dari perseorangan (independen);

e. Pengelolaan bersama antara pemerintah dan pemerintah Aceh terhadap

sumber daya minyak dan gas di Aceh;

f. Pemerintah Aceh dapat bekerjasama secara langsung dengan badan dan

lembaga di luar negeri;

g. Penghapusan kelurahan;

h. Kantor wilayah badan pertanahan nasional yang sebelumnya sebagai

lembaga vertikal menjadi bagian daripada lembaga pemerintahan Aceh

dan kabupaten/kota;

Universitas Sumatera Utara


i. Qanun syari’at Islam hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

G. Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur Dalam Perspektif Negara

Kesatuan Republik Indonesia

Dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD RI 1945, yang mengatur

tentang Pemerintahan Daerah, tidak terdapat satupun norma hukum yang

menyebutkan bahwa dalam konteks hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaan kebijakan Pemerintah Pusat di daerah

dilakukan setelah konsultasi dan pertimbangan dengan Pemerintah Daerah

(gubernur). Terhadap konsultasi dan pertimbangan dalam UUD RI 1945, hanya

mengatur dalam konteks pemisahan kekuasaan (separtion of power) antar

lembaga negara dalam hal cheks and balances.

Sebagaimana Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945, bahwa presiden

dalam mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta negara lain

memperhatikan pertimbangan DPR. Sementara, Pasal 14 UUD RI 1945,

disebutkan, presiden dalam memberi grasi dan rehabilitasi memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung dan memberi amnesti dan abolisi dengan

memperhatikan pertimbangan DPR.

Selanjutnya, Pasal 22D ayat (2), UUD RI 1945, disebutkan:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah ; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama”.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian, Pasal 23 ayat (2) UUD RI, disebutkan: “Rancangan undang-

undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk

dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Daerah. Sementara, Pasal 23F ayat (1) UUD RI 1945,

disebutkan: “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan

diresmikan oleh Presiden.

Sementara, dalam hal pemberian persetujuan antar lembaga negara untuk

pelaksanaan cheks and balances, diatur dalam pasal-pasal UUD RI 1945, antara

lain: Pasal 11 ayat (1) UUD RI 1945, disebutkan: “Presiden dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan

perjanjian dengan negara lain”. Sementara, ayat (2) disebutkan: “Presiden dalam

membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,

dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Selanjutnya, Pasal 20 UUD RI 1945, disebutkan:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-


undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari

Universitas Sumatera Utara


semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan. 513
Kemudian Pasal 22 UUD RI 1945, berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak


menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.

Sementara, dalam konteks cheks and balances antara lembaga yudikatf,

legislatif dan eksekutif, dalam Pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945, menyebutkan:

“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim

agung oleh Presiden”. Kemudian, Pasal 24B ayat (3) UUD RI 1945, berbunyi:

“Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya, Pasal 37 ayat (4) UUD RI

1945, berbunyi: “Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar

dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah

satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dari uraian pasal-pasal dalam UUD RI 1945 tersebut di atas, baik sebelum

dan sesudah, pengaturan substansi pertimbangan dan persetujuan hanya berkaitan

dengan checks and balances antar lembaga negara dalam konteks pemisahan

kekuasaan (separtion of powers). Di mana tujuannya untuk menghindari

terjadinya, penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir),

mencampuradukkan kewenangan (misure of competence), dan sewenang-wenang,

513
Perubahan kedua, tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara


lembaga-lembaga negara tersebut. Sedangkan, dalam konteks hubungan

pemerintah pusat dengan daerah berkaitan dengan konsultasi, pertimbangan, dan

persetujuan pemerintah daerah (gubernur) terhadap pelaksanaan pemerintahan di

daerah kepada pemerintah pusat tidak diatur secara eksplisit dalam Pasal 18, Pasal

18A, dan Pasal 18B.

Sementara, Pasal 18A UUD RI 1945, berbunyi:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah


provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.

Begitu juga dengan substansi Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Dari

pasal-pasal ini secara eksplisit dapat diketahui bahwa daerah dalam menjalankan

urusan atau wewenangnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Sementara, bagaimana pelaksanaannya dan hubungannya dengan pemerintah

pusat akan diatur tersendiri dalam undang-undang. Tidak adanya pengaturan

secara eksplisit berkaitan dengan konsultasi, pertimbangan dan persetujuan

pemerintah daerah kepada pemerintah pusat tersebut, memang cukup beralasan.

Hal ini karena mengingat negara Indonesia adalah negara kesatuan. Di mana

eksistensi daerah adalah sub-bordinasi daripada pusat. Meskipun, daerah diberi

kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah berdasarkan asas

Universitas Sumatera Utara


otonomi dan tugas pembantuan, namun kedaulatan berada sepenuhnya pada

pemerintah pusat.

Pasca pembentukan UU No. 23 Tahun 2014 pengaturan berkaitan hubungan

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam konteks konsultasi dan

pertimbangan Pemerintah Daerah terhadap kebijakan administratif Pemerintah

Pusat di daerah, juga tidak terdapat satu pasalpun pengaturannya. Kecuali

terhadap pembentukan dan pemekaran wilayah di daerah yang dilakukan

Pemerintah Pusat dilakukan setelah mendapat persetujuan Pemerintahan Daerah.

Dalam hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (2) UU No. 23 Tahun

2014, yaitu: Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan secara

konkuren yang ada di daerah dibentuk setelah mendapat persetujuan dari gubernur

sebagai wakil Pemerintah Pusat. Selanjutnya, Pasal 37, yaitu: persyaratan

administratif pembentukan daerah persiapan disusun dengan tata urutan:

a. untuk Daerah provinsi meliputi:

1. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang

akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi; dan,

2. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah

provinsi induk.

b. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi:

1. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah

Daerah kabupaten/kota;

2. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali

kota Daerah induk; dan

Universitas Sumatera Utara


3. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah

provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan

dibentuk.

Selain tidak diperdapatkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 berkaitan atribusi

kewenangan “konsultasi dan pertimbangan kepada gubernur” sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, juga tidak ada

pengaturannya dalam UU No.21 Tahun 2001 joncto UU 35 Tahun 2008, dan UU

No.29 Tahun 2007. Sementara, dalam UU No.13 Tahun 2012, atribusi

kewenangan sebagaimana Pemerintahan Aceh hanya dalam konteks hak milik

tanah Kasultanan dan Kadipaten sebagai badan hukum yang mempunyai hak

milik atas tanah Kasultanan dan Kadipaten, pendaftaran tanah tersebut

memerlukan persetujuan tertulis dari Kesultanan dan Kadipaten.

Sebagaimana Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UU No.13 Tahun 2012,

menyebutkan: Pendaftaran atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang

dilakukan oleh pihak lain (selain badan pertanahan) wajib mendapatkan

persetujuan tertulis dari Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan persetujuan

tertulis dari Kadipaten untuk tanah Kadipaten. Selanjutnya, Pengelolaan dan

pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten oleh pihak lain (selain badan

pertanahan) harus mendapatkan izin persetujuan Kasultanan untuk tanah

Kasultanan dan izin persetujuan Kadipaten untuk tanah Kadipaten.

Dapat digambarkan bahwa meskipun secara prinsipnya ada persamaan,

tetapi dari 5 (lima) daerah, yaitu Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, DI Yogyakarta,

dan Aceh yang berlaku desentralisasi asimetris dalam bentuk otonomi khusus atau

Universitas Sumatera Utara


daerah istimewa, terdapat perbedaan pengaturan dan pemberlakuannya. Terutama,

berkaitan pemberian kewenangan untuk memberi pertimbangan dan/atau

persetujuan kepada Pemerintah Pusat.

Jika mengacu pada deskripsi di atas terhadap kewenangan konsultasi dan

pertimbangan gubernur tersebut, yang hanya berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, maka tidak kontradiksi dengan UUD RI 1945. Apalagi,

keputusan pelaksanaan kebijakan administratif tersebut masih mutlak berada pada

Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, terhadap keberadaan atribusi kewenangan

konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh tidak

bertentangan dengan UUD RI 1945 dan prinsip negara kesatuan.

Meskipun pada saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (RUU No.11

Tahun 2006), memunculkan perdebatan antara anggota DPR RI dengan

Pemerintah. Sebagaimana, sudah dideskripsikan pada Bab II, bahwa permasalahan

dan perdebatan yang sempat muncul dalam pembahasan RUU Pemerintahan Aceh

antara Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dengan anggota

DPR-RI dari Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh, akibat Pemerintah

memasukan dalam Pasal 8, substansi “konsultasi dan persetujuan” Gubernur dan

DPRA terhadap kewenangan Pemerintah Pusat di provinsi Aceh dan

kabupaten/kota, seperti rencana persetujuan internasional, rencana Keputusan

DPR-RI dan kebijakan administratif, kerjasama dan partisipasi dengan

lembaga/badan luar negeri/internasional.

Universitas Sumatera Utara


Dasar Pemerintah memasukan susbstansi tersebut sebagaimana Naskah

Akademik RUU Pemerintahan Aceh dalam Bab V Prinsip-prinsip Pemerintahan

Aceh, yang terdiri dari Prinsip-prinsip Pemberian Kewenangan Khusus,

disebutkan:

5.1. Prinsip-prinsip Pemberian Kewenangan Khusus


Prinsip-prinsip pemberian kewenangan khusus atau otonomi yang
seluasluasnya kepada pemerintahan Aceh yang dijadikan pedoman dalam
RUU Pemerintahan Aceh ini adalah sebagai berikut:
Pertama, penyelenggaraan kewenangan khusus atas otonomi yang
seluasluasnya dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
pengelolaan pemerintahan daerah yang baik (good local governance),
keadilan, pemerataan, kesejahteraan, serta potensi dan keanekaragaman
Aceh.
Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya didasarkan pada
kewenangan khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintahan
Aceh dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakatnya.
Ketiga, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh diletakkan
pada satuan pemerintahan daerah provinsi. Pemerintahan kabupaten/kota
dapat menerima penyerahan sebagian kewenangan khusus dari
pemerintahan daerah provinsi.
Keempat, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh harus sesuai
dengan konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
daerah serta antar daerah.
Kelima, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang
politik harus lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, transparan,
akuntabel, professional, efisien, dan efektif.
Keenam, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang
ekonomi harus lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh dalam
memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam daerah Aceh untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Aceh.
Ketujuh, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang
sosial budaya harus lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh
dalam memajukan pelaksanaan syariat Islam dan kesejahteraan masyarakat
Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Kedelapan, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh harus lebih
meningkatkan peran dan fungsi lembaga legislatif, eksekutif, partai-partai
politik, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya di Aceh. 514

Sementara, berkaitan atribusi kewenangan “konsultasi dan persetujuan

gubernur”, dimasukkan dalam poin 5.2. Prinsip-Prinsip Pokok Tata Kelola

Pemerintahan, angka 3, disebutkan:

Prinsip-prinsip pokok tata kelola pemerintahan Aceh tertuang dalam


Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yaitu sebagai
berikut:
.......3) Kewenangan Aceh/Kabupaten/Kota dan Pembagian Urusan
Pemerintahan
a. Kewenangan Aceh/Kabupaten/Kota
1) Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalarn semua sektor publik, kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah, yang
meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, serta urusan tertentu dalam bidang
agama, dan urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah.
2) Pengaturan tentang rencana persetujuan internasional yang terkait
kepentingan khusus Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan
dengan konsultasi dan persetujuan DPRA, serta pengaturan tentang
kebijakan administratif yang terkait kepentingan khusus Aceh yang
akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan Gubernur, akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Sedangkan Keputusan DPR-RI yang dilakukan dengan konsultasi
dan persetujuan DPRA, masih dalam bentuk rencana keputusan dan
hanya terkait dengan kepentingan khusus Aceh saja.
3) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga
atau badan di luar negeri, kecuali yang menjadi kewenangan
Pemerintah adalah lembaga atau badan negara asing yang
mempunyai hubungan diplomatik dengan Rupublik Indonesia, akan
diatur dengan Peraturan Presiden. 515

514
Departemen Dalam Negeri, 2006, Naskah Akademik Rancangan Undanga-Undang
Pemerintahan Aceh, hlm. 18.
515
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu, sebagaiamana sudah disampaikan pada Bab II, Menteri

Dalam Negeri dalam Rapat Pansus RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR RI,

juga menyampaikan bahwa kewenangan-kewenangan Pemerintahan Aceh yang

dimasukkan dalam RUU Pemerintahan Aceh, juga mengacu pada Peraturan

perundang-undangan lainnya. 516

Alasan Pemerintah memasukkan substansi tersebut ke dalam RUU

Pemerintahan Aceh, tidak terlepas karena adanya kesepakatan antara Pemerintah

dengan GAM yang dimasukan dalam poin 1.1.2 MoU Helsinki, yang berbunyi:

Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan


didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang
akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan,
kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan
kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
b. Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah
Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan
berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
c. Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
d. Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah
Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi
dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Menurut Djohermasnyah:

Poin 1.1.2.a (penulis: MoU Helsinki), ini disepakati karena saat itu
susbstansi dan prinsipnnya dianggap sudah sesuai dengan ketentuan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di mana daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya, yaitu
semua sektor publik berikut aktivitas administrasi dan peradilannya, kecuali
keenam urusan pemerintahan tadi yang merupakan kewenangan mutlak

516
Penjelasan Pemerintah (Menteri Dalam Negeri), pada Rapat Panitia Khusus RUU
tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.

Universitas Sumatera Utara


pemerintah pusat. Sementara, berkaitan dengan poin 1.1.2.b (penulis: MoU
Helsinki), prinsip ini sejalan dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf f dan
g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana DPRD mempunyai tugas
dan wewenang memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan
terhadap perjanjian dan kerja sama internasional. 517 Selanjutnya, keputusan
DPR RI terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif
Aceh, sebagaimana poin 1.1.2.c (penulis: MoU Helsinki), karena prinsip ini
mirip dengan yang pernah diberikan kepada Papua, seperti diatur dalam
Pasal 20 Ayat (1) huruf d UU No.21 Tahun 2001. Bahwa perjanjian kerja
sama menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibuat oleh
pemerintah pusat dilakukan dengan saran, pertimbangan, dan persetujuan
MRP. Kemudian, kebijakan-kebijakan administratif yang diambil
pemerintah terkait Aceh dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh, sebagaimana poin 1.1.2.d (penulis: MoU
Helsinki), karena prinsip ini persis sama dengan ketentuan Pasal 61 Ayat (3)
UU Otonomi Khusus Papua, bahwa penempatan penduduk dalam rangka
transmigrasi nasional yang diselenggarakan pemerintah dilakukan dengan
persetujuan Gubernur Papua. 518

Perdebatan dan kritikan terhadap substansi RUU Pemerintahan Aceh

berkaitan adanya klausul “konsultasi dan persetujuan”, sebagaimana pembahasan

dalam Bab II, salah satunya Sutradara Ginting, anggota DPR RI dan Panitia

Khusus RUU Pemerintahan Aceh dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan dan Rufinus Sianturi dari Fraksi Partai Damai Sejahtera. Mereka tidak

sepakat penggunaan norma hukum “konsultasi dan persetujuan” terhadap

pelaksanaan kewenangan Pemerintah dan DPR RI di Aceh, karena beralasan

dalam konteks negara kesatuan otoritas tertinggi ada pada pemerintah pusat.

Meskipun demikian, sebagian anggota Panitia Khusus RUU Pemerintah Aceh ada

sepakat dengan usulan dari Pemerintah, seperti, Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi

517
Djohermasyah Djohan, 2010, Op., Cit., hlm.128.
518
Ibid, hlm. 131.

Universitas Sumatera Utara


Partai Amanat Nasional, Nasir Jamil, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan

Sejahtera, dan Taufikurrahman Saleh, dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. 519

Kemudian, juga diperkuat oleh pernyataan Menteri Komunikasi dan

Informasi, Sofyan Jalil, mewakili Pemerintah juga menambahkan bahwa usul

tersebut merupakan perdebatan ketika dialog di Helsinki, yang berkaitan dengan

kepentingan khusus Pemerintahan Aceh. 520 Sejalan dengan pendapat Sofyan Jalil,

Djoehermansyah juga mengatakan, bahwa:

“Jika dikaji dari segi desentralisasi, kewenangan khusus yang diberikan


Republik Indonesia kepada Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya sebagaimana tercantum dalam MoU, boleh dibilang masih wajar
demi mewujudkan damai di tanah rencong. Bahkan, selama ini sebagian
besar kewenangan itu sesungguhnya telah diberikan pemerintah pusat
kepada NAD lewat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kalau sekiranya, kewenangan
yang diserahkan sekarang bertambah luas, itu pun agaknya masih pantas
demi rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca Tsunami, dan sejajarnya
pembangunan di Aceh yang ketinggalan puluhan tahun dari daerah-daerah
lain di Nusantara. Pemberian kewenangan kepada Aceh juga tidak akan
membahayakan NKRI. Indonesia tetap berbentuk Negara Kesatuan. Hanya
kepada Aceh karena statusnya sebagai daerah khusus dan sekaligus daerah
istimewa, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan yang lebih luas dan
lebih banyak sesuai konsep desentralisasi asimetris sebagaimana dijumpai di
negara-negara lain di dunia ini. Pemberian kewenangan khusus kepada Aceh
pun tidak bertentangan dengan UUD RI 1945, malahan justru lebih
melaksanakannya secara konsekuen melalui pemberian otonomi seluas-
luasnya sesuai amanah Pasal 18 Ayat (5) serta pengakuan dan penghormatan
terhadap kekhususan atau keistimewaannya sesuai ketentuan Pasal 18B
Ayat (1)”. 521

Berdasarkan pandangan sebagian anggota DPR RI di atas bahwa secara

hukum dan politik otoritas DPRA dan Gubernur menjadi lebih tinggi daripada

519
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 50-51.
520
Ibid, hlm. 55-56.
521
Djohermasyah Djohan, 2010, Loc., Cit., hlm.132.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah Pusat, karena kebijakan administratif Pemerintah Pusat dan kebijakan

DPR RI di Aceh harus mendapat konsultasi dan persetujuan pemerintahan Aceh.

Lalu bagaimana dengan pengangkatan Kepala Polisi dan Kepala Kejaksaan Tinggi

Aceh, di mana harus melalui persetujuan Gubernur dan malah disepakati menjadi

norma hukum sebagaimana Pasal 205 UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

(1) Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala


Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik
Indonesia mengangkat Kepala Kepolisian di Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi
calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sementara, berdasarkan Pasal 209 UU No.11 Tahun 2006, berbunyi:

(1) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa


Agung dengan persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat
Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung
mengajukan satu kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa
Agung.

Begitu juga pemekaran wilayah, bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014

harus melalui konsultasi dan persetujuan Pemerintahan Daerah. Sebagaimana

Pasal 37 UU No. 23 Tahun 2014, disebutkan:

Universitas Sumatera Utara


Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3)
disusun dengan tata urutan sebagai berikut:
a. untuk Daerah provinsi meliputi:
1. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota
yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi; dan
2. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah
provinsi induk.
b. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi:
1. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah
Daerah kabupaten/kota;
2. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali
kota Daerah induk; dan
3. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah
provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan
dibentuk.

Dalam hal substansi adanya persetujuan gubernur dan DPRD berkaitan

dengan persyaratan administarif pemekaran wilayah, dalam UU No. 23 tahun

2014 ini sama dengan materil yang ada dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU

No. 32 Tahun 2004, yaitu:

1. Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah

provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta

rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

2. Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan

DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan,

persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri

Dalam Negeri.

Oleh karenanya, pada saat Rapat Pansus DPR RI pembahasan tentang RUU

Pemerintahan Aceh, mempertanyakan substansi dalam UU No. 32 Tahun 2004

tersebut, yang memuat adanya persetujuan secara adminitrasi dari Gubernur dan

Universitas Sumatera Utara


DPRD terhadap rencana pemekaran wilayah di daerah oleh Pemerintah. Sebagian

anggota DPR RI dari Pansus RUU Pemerintahan Aceh tersebut menanggapi hal

itu tidak menjadi persoalan karena hanya berkaitan administratif. Sehingga, tidak

merubah struktur otoritas dan kedaulatan Pemerintah Pusat.

Sebagaimana, disampaikan oleh Sutradara Ginting, yaitu:

“……..bahwa persyaratan administrasi adanya persetujuan DPRD,


Gubernur dan rekomendasi Mendagri, tetapi itu adalah persyaratan
administratif, masih tetap dalam perspektif struktur otoritas horizontal
karena bilamana ada pemekaran maka daerah induk itu APBD-nya
mempunyai pertanggungan terhadap daerah baru. Jadi ini bukan suatu
preseden dari perubahan struktur otoritas vertikal menjadi horizontal…….,
secara kategoris tidak perlu dibawa pada denotasi dan konotasi persetujuan.
Menurut kami tidak sesuai dengan struktur otoritas negara kesatuan yang
bersifat vertikal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar pada
Pasal 4 dan Pasal 20”. 522

Sementara, alasan dalam UU No.11 Tahun 2006 adanya substansi

“persetujuan” Gubernur terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah dan

Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, menurut Ahmad Farhan Hamid, “karena Aceh

juga berlaku syari’at Islam maka diharapkan pejabat pusat di Aceh, seperti

kepolisian dan kejaksaan harus memahami tentang substansi syari’at Islam, UU

No.11 Tahun 2006, hukum adat dan kekhususan Aceh lainnya. Agar tidak

menimbulkan persoalan dan kontradiksi penegakan hukum, akibat adanya

perbedaan pemahaman antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum

dan bersifat khusus, seperti UU No.11 Tahun 2006, maka pengangkatan kedua

pejabat penegak hukum tersebut diperlukan persetujuan gubernur, meskipun

522
Ibid, hlm 51.

Universitas Sumatera Utara


putusan terakhir ada pada pemerintah pusat. 523 Jika melihat substansi Pasal 205

dan Pasal 209 UU No.11 Tahun 2006 tersebut, memang proses pengangkatan

Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, lebih cenderung

bersifat administratif daripada kebijakan politik.

Adanya dukungan dan penolakan anggota DPR-RI dan Pemerintah,

terhadap substansi Pasal 8 tentang adanya “konsultasi dan persetujuan” Gubernur

atau DPRA, salah satu anggota Panitia Khusus tersebut, Benny Kabur Harman

dari Fraksi Partai Demokrat, mengusulkan, perubahan nomenklatur “persetujuan”

menjadi “pertimbangan”, yaitu:

“Bahwa kata konsultasi dan persetujuan ini diganti dengan kata


pertimbangan. Alasan utamanya adalah kata persetujuan yang digunakan
disini mencerminkan bahwa secara hirarkis kelembagaan DPR Aceh itu
lebih tinggi dari Pemerintah Pusat…… Sebab kata persetujuan
mencerminkan ada otoritas yang lebih tinggi dan ada otoritas yang lebih
rendah. Kalau DPR Aceh itu memiliki otoritas yang lebih rendaah dan pusat
memiliki otoritas yang tinggi maka bagaimana lembaga yang memiliki
otoritas yang lebih tinggi meminta persetujuan kepada lembaga yang
memiliki otoritas yang lebih rendah….” 524

Meskipun substansi “konsultasi dan pertimbangan” ini berbeda dengan

“konsultasi dan persetujuan” dalam kesepakatan antara Pemerintah dan GAM

berdasarkan MoU Helsinki. Ketika disahkan RUU Pemerintahan Aceh menjadi

UU No.11 Tahun 2006, dalam Pasal 8 mengakomidir klausul tersebut menjadi

“konsultasi dan perimbangan” Gubernur atau DPRA. Oleh karena itu, dari

pandangan anggota-anggota DPR-RI dan Pemerintah tersebut berkaitan perlunya

523
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
524
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 54.

Universitas Sumatera Utara


konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh,

sebagaimana Pasal 8 ayat (3), tidak ada yang kontradiksi dengan UUD RI 1945

dan NKRI. Bahkan, mereka mendukung adanya kewenangan konsultasi dan

pertimbangan gubernur tersebut, guna mengontrol Pemerintah Pusat. Sementara,

dalam konstitusi (UUD RI 1945), berkaitan hubungan Pemerintah Pusat dan

Daerah, meskipun tidak diatur secara eksplisit kewenangan tersebut, tetapi dalam

Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18A ayat (1) UUD RI 1945, menyebutkan diatur

tersendiri dengan undang-undang.

Ditambah lagi, sebagaimana telah dideskripsikan pada Bab I, dalam konteks

kekhususan dan keistimewaan Aceh yang diatur dalam UU No.44 Tahun 1999

dan UU No.11 Tahun 2006, meskipun sebagian susbstansinya kontradiksi dengan

peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya sebelumnya dengan UU No.32

Tahun 2004 atau UU No.23 Tahun 2014, maka untuk menyelesaikannya

menggunakan asas hukum. Dalam hal ini dapat digunakan asas lex specialist

derogate legi generalis (peraturan yang khusus dapat mengalahkan yang umum).

Meskipun, ada juga asas lex posterior derogate legi priori (peraturan yang baru

dapat mengalahkan peraturan yang lama). Artinya, UU No. 23 Tahun 2014 dapat

mengalahkan UU No.11 Tahun 2006.

Namun demikian, mengacu pendapat Dworkin bahwa asas hukum tidak

bersifat alles of niets, di mana dapat diterapkan berbagai asas hukum yang

semuanya memainkan peranan pada interpretasi aturan-aturan yang dapat

diterapkan. Begitu juga pendapat Sudikno bahwa meskipun keberadaan kedua

Universitas Sumatera Utara


asas hukum tersebut kontradiksi, tetapi dapat digunakan keduanya secara

berdampingan dan saling membutuhkan yang merupakan suatu antinomi.

Selain dengan asas hukum perbedaan substansi UU No.11 Tahun 2006 dan

UU No.44 Tahun 1999 dengan undang-undang lainnya, terutama dengan UU No.

23 Tahun 2014, dapat dilihat dan diselesaikan juga dengan metode penemuan

hukum (rechtvinding) sebagaimana dikatakan Sudikno Mertokusumo, bahwa:

“Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara


langsung pada peristiwannya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-
undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang
kongkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti,
dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan
peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Di mana
peristiwa hukumnya harus dicari terlebih dahulu dan peristiwa kongkritnya,
kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan”. 525

Salah satu metodenya, melalui interpretasi historis (penafsiran sejarah), baik

penafsiran menurut sejarah hukum maupun sejarah undang-undang. 526 Pada

metode sejarah undang-undang merujuk pada sejarah terbentuknya undang-

undang. Pada perundang-undangan dalam arti formal misalnya, ditunjuk pada

sejarah parlementer (legislatif), merujuk secara eksplisit pada risalah-risalah

pembicaraan di komisi-komisi. Dalam hal ini, seperti laporan-laporan (risalah-

risalah) pembentukan perundang-undangan tersebut. Di mana undang-undang

dikaitkan dengan pembentuk undang-undang (wetgever), yang merupakan

kehendak (kemauan) dari pembentuk undang-undang. 527 Di sini kehendak

525
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Cet.
Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hlm. 169. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-
bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hlm. 12.
526
Ibid, hlm. 173.
527
J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, terjemahan dari Rechtsvinding, Jendela Mas
Pustaka, Bandung, hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara


pembentuk undang-undang yang menentukan. Interpretasi yang juga disebut

interpretasi subyektif ini, dikarenakan penafsir menempatkan diri pada pandangan

subyektif pembentuk undang-undang. 528

Berdasarkan pada pandangan di atas, maka secara interpretasi historis

pembentukan UU No.11 Tahun 2006 sebagaimana telah diuraikan di atas dan

pada Bab II, dapat dilihat berdasarkan Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI

tentang RUU Pemerintahan Aceh. Di mana dasar pembentukannya menurut

pendapat beberapa anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh (wetgever),

bahwa pasca MoU Helsinki telah bersepakat membentuk undang-undang

pemerintahan Aceh dan memasukan beberapa susbtansi kewenangan khusus

Pemerintahan Aceh dalam RUU Pemerintahan Aceh berbeda dengan daerah-

daerah lainnya. Pengaturan kewenangan khusus ini, salah satunya berkaitan

dengan konsultasi dan pertimbangan terhadap kebijakan administratif Pemerintah

Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Tujunnya, untuk

menumbuhkan rasa saling percaya (trust) dalam rangka mewujudkan perdamaian,

kebangkitan, dan kesejahteraan rakyat Aceh pasca konflik dan tsunami.

Sementara, dalam konteks konstitusi pengakuan keistimewaan dan

kehususan diatur Pasal 18B ayat (1) UUD RI 1945, menyebutkan adanya

pengakuan terhadap eksistensi daerah-daerah khusus atau istimewa dan secara

atributif pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

berkaitan kewenangan-kewenangan khusus diatur terendiri dengan undang-

undang. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah dalam NKRI yang diakui sebagai

528
Sudikno Mertokusumo, 2007, Op., Cit., hlm. 173.

Universitas Sumatera Utara


daerah khusus atau istimewa, dalam pelaksanaan desentralisasi asimetris, seperti

DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Papua dan Papua Barat, serta Aceh, diatur khusus

dengan undang-undang tersendiri.

Apalagi dalam konteks kebhinekaan perbedaan tersebut merupakan

keniscayaan. Sebagaimana, dikatakan Soedirman Kartohadiprojo, yaitu:

“Bhineka Tunggaal Ika, melambangkan keragaman Indonesia. kesatuan


dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Ditinjau dari dasar
kemajemukan atau dasar-dasar yang lain, desentralisasi di Indonesia bukan
sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas
dari tujuan membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 529

Menurut Muhammad Hatta, sebagaimana dikutip Bagir Manan, dalam hal

hubungan antara kebhinekaan atau kemajemukan dan desentralisasi, mengatakan:

“Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa,
maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil, atau besar, mendapat otonomi,
mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”. Untuk itu, kemajemukan
sosial, budaya, kepercayaan bahkan ekonomi, akan menimbulkan hajat
hidup atau kebutuhan yang berbeda-beda dari daerah ke daerah. Dalam hal-
hal tertentu, karena perbedaan sifat geografis, akan timbul pula perbedaan-
perbedaan kebutuhan. Perbedaan-perbedaan hajat hidup atau kebutuhan
tersebut akan terlayani bila terdapat satuan pemerintahan lebih rendah.
Rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhannya, sehingga seyogyanya
merekalah yang mengatur dan mengurus sendiri sendiri. Desentralisasi
merupakan cara terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukannya
sentralisasi. 530

Begitu juga mengacu pada “dasar permusyawaratan”, yang merupakan salah

satu sila dalam Pembukaan UUD RI 1945, berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Menurut

529
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 161.
530
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Muhammad Hatta, dalam rumusannya mengenai kerakyatan (kedaulatan rakyat)

atas dasar permusyawaratan, adalah:

“Kedaulatan rakyat berarti, bahwa kekuasaan untuk mengatur


pemerintahan negeri ada pada rakyat. Rakyat yang berdaulat, berkuasa
untuk menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Tetapi, putusan
rakyat yang dapat menjadi peraturan pemerintah bagi orang semuanya
ialah keputusan yang ditetapkan dengan cara mufakat dalam satu
perundingan yang teratur bentuknya dan jalannya. Bukan keputusan
sekonyong-konyong diambil dengan cara mendadak dalam suatu rapat
orang banyak yang tersendiri saja, dengan menyerukan bersama-sama
“mufakat”. Disini tidak ada permusyawaratan lebih dahulu, sebab itu
bukanlah Keputusan menurut “kedaulatan rakyat”. 531

Di mana oleh Bagir Manan, selanjutnya menafsirkan bahwa maksud “garis

miring (/)”, dalam “permusyawaratan/perwakilan”, terdapat dua kemungkinan:

“Pertama, tidak dimaksudkan sebagai pengertian “aletrnatif “ atau “pilihan”


melainkan dalam pengertian “dan”. Dengan demikian, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dijalankan dalam “permusyawaratan”
dan “perwakilan”. Apabila pengertian ini digunakan, maka terdapat tiga
unsur kerakyatan yang tercantum dalam dasar Negara RI, yaitu: “dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan”, “permusyawaratan”, dan “perwakilan”. Kedua,
memang dimaksudkan sebagai alternatif atau pilihan. Tetapi, kata
“permusyawaratan” tidak dalam arti “berunding” atau “cara mencapai
mufakat” melainkan sebagai “corak kerakyatan”. Jadi ada dua corak
kerakyatan yaitu “kerakyatan yang bercorak permusyawaratan” dan
“kerakyatan yang bercorak perwakilan”. Kerakyatan yang bercorak
“permusyawaratan” adalah kerakyatan yang mengikutsertakan seluruh
warga untuk ikut bermusyawarah atau berunding....” 532

Berdasarkan pandangan di atas, dari dua interpretasi tersebut dimungkinkan

bahwa pelaksanaan pemerintahan dapat dilakukan melalui perundingan dan

perwakilan. Oleh karena itu, jika maksud perundingan seperti “konsultasi dan

pertimbangan” yang dipahami dalam UU No.11 Tahun 2006, maka substansi

531
Ibid. hlm. 157.
532
Ibid, hlm. 162

Universitas Sumatera Utara


tersebut tidak menyalahi atau kontradiksi dengan filosofi Pancasila, UUD RI

1945, NKRI, peraturan perundang-undangan lainnya, dan asas-asas hukum.

Sehingga, perlu diberikan dan diimplementasikan dalam konteks penyelenggaraan

asymmetrical decentralization dalam bentuk keistimewaan dan kekhususan Aceh.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HAMBATAN PELAKSANAAN KONSULTASI DAN PERTIMBANGAN
GUBERNUR TERHADAP KEBIJAKAN ADMINISTRATIF
PEMERINTAH PUSAT YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN
PEMERINTAHAN ACEH

A. Pengertian Kebijakan Administratif, Konsultasi, dan Pertimbangan

Sebelum menjelaskan mekanisme, prosedur dan hambatan pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, penulis

akan menguraikan pengertian dan definisi tentang kebijakan administratif,

konsultasi dan pertimbangan gubernur yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh tersebut. Di mana juga telah diatur dalam Perpres No. 75

Tahun 2008, sebagaimana perintah Pasal 8 ayat (4) UU No.11 Tahun 2006,

disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian

pertimbangan diatur dengan Peraturan Presiden.

Untuk mengetahui apa itu kebijakan administratif baik secara etimologis,

terminologis, dan peraturan perundang-undangan, ada beberapa pendapat yang

memberi pengertiannya. Meskipun, terdapat perbedaan namun substansinya

secara umum relatif sama. Kata kebijakan administratif yang terdiri dari 2 (dua)

kata, yaitu “kebijakan” dan “administratif”. Pertama, istilah kebijakan (policy),

memiliki beragam arti, hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli dan

tokoh, antara lain:

Klein, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan

sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan

politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, Kuypers, senada dengan Klein menjelaskan kebijakan itu adalah

suatu susunan dari: (1) tujuan-tujuan yang dipilh oleh para administrator publik

baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan kelompok; (2) jalan-jalan

dan saran-sarana yang dipilih olehnya; dan, (3) saat-saat yang mereka pilih. 533

Carl J. Friedrich, mengatakan kebijakan adalah serangkaian tindakan atau

kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa hambatan (kesulitan-kesulitan) dan

kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut

diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan dimaksud.

Freidrich juga merincikan apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan, yaitu

adanya: a) tujuan (goal), b) sasaran (objectives), dan, c) kehendak (purpose). 534

Selanjutnya, menurut Solly Lubis, kata kebijakan berasal dari bentuk dasar

bijak, yang mengandung makna garis haluan, dalam bahasa Inggris disebut policy.

Garis haluan mengandung makna (1) “rangkaian konsep dan asas yang menjadi

garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,

dan cara bertindak (tentang pemerintah, organisasi)”, dan (2) “pernyataan cita-

cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam

usaha mencapai sasaran”. 535

Kebijakan yang merupakan terjemahan dari kata Inggris policy, oleh M.

Irfan Islamy, menerjemahkan bahwa policy mencakup aturan-aturan yang ada di

533
Dikutip dari Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 22-23.
534
Dikutip dari Leo Agustino, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung,
hlm. 7. Lihat juga, Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7.
535
Solly Lubis, 2011, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Edisi Kedua, Sofmedia, Jakarta, hlm.
198.

Universitas Sumatera Utara


dalamnya. Dengan demikian, kebijakan (policy) adalah “seperangkat keputusan

yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan

bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. 536 Policy atau kebijakan ini “tertuang

dalam dokumen resmi…. Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, juga

tersirat dan terkandung pokok kebijaksanaan itu, misalnya di dalam UU, PP,

Keppres, Peraturan Menteri (Permen), Perda dan lain-lain”. 537

Selanjutnya, Asmara Raksasataya mengatakan, kebijakan adalah suatu titik

dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur dalam

kebijakan: 1) identifikasi tujuan yang akan dicapai. 2) strategi untuk mencapai. 3)

penyedian berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaanya. 538

Sementara, David Easton, menyatakan kebijakan Pemerintah itu sebagai

“kewenangan untuk mengalokasi nilai-nilai” bagi masyarakat secara menyeluruh.

Berarti yang berwenang mengatur secara menyeluruh kepentingan masyarakat

ialah Pemerintah bukan lembaga yang lain. Kebijakan negara adalah

pengalokasian nilai-nilai secara keseluruhan kepada anggota masyarakat oleh

sesuatu pemerintah yang sah. 539

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kebijakan” terdapat dua

makna: 1) kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; 2) rangkaian konsep dan asas

yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi, dan sebagainya);

536
Dikutip dari I Wayan Suandi, Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume I Nomor 01, Tahun 2010, hlm. 12.
537
Solly Lubis, 2007, Op., Cit., hlm. 5.
538
Ibid, hlm. 7.
539
Ibid, hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara


pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk

manajemen dalam usaha mencapai sasaran. 540 Berdasarkan pendapat-pendapat

diatas menunjukkan bahwa kebijakan (policy) adalah suatu kegiatan atau

keputusan yang dilakukan sebagai suatu haluan dan dasar rencana yang dilakukan

oleh pelaku politik/pemerintah atau organisasi baik dalam bentuk informasi dan

dokumen maupun peraturan hukum untuk mengatur pemerintahan atau

masyarakat guna tercapainya suatu tujuan.

Untuk melengkapi istilah kebijakan ini, ada juga kata kebijkasanaan yang

kerap dipakai secara bergantian. Menurut Girindro Priggodigdo, yang dikutip

Imam Syaukani dan Ahsin Tohari, memberikan pengertian berbeda antara istilah

kebijaksanaan (policy, beleid) dan kebijakan (wisdom; wijsheid). Ia mengatakan,

kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di

bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Sementara,

kebijakan adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat

urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di

bidang hukum yang bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau

lisan, yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary

power/freis ermessen). 541 Berbeda maksud kebijakan dan kebijaksanaan yang

disampaikan oleh Solly Lubis, mengatakan, kebijakan berasal dari bentuk dasar

bijak, yang mengandung makna garis haluan (dalam bahasa Inggris disebut

policy). Sedangkan kebijaksanaan (dalam bahasa inggris wisdom). Kata

kebijaksanaan mengandung makna (1) “kepandaian menggunakan akal budi


540
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Ke-IV, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 190.
541
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Op., Cit., hlm. 24-25.

Universitas Sumatera Utara


(pengalaman dan pengetahuan)” dan, (2) kecakapan (seseorang) bertindak apabila

atau ketika menghadapi kesulitan”. 542

Sementara, kedua, administratif merupakan kata sifat dari administrasi,

yaitu secara administrasi; bersangkut paut (berkaitan) dengan administrasi.543

Sementara, administrasi secara umum diartikan merupakan usaha dan kegiatan

yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan.

Administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang

manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Unsur-unsur yang mendukung

administrasi adalah: 1) dilakukan oleh dua orang atau lebih; 2) memiliki tujuan; 3)

memiliki tugas yang hendak dilaksanakan; dan, 4) memiliki peralatan dan

perlengkapan.

Menurut The Liang Gie, secara etimologis istilah administrasi berasal dari

kata “Ad” dan “ministrare” yang artinya pemberian jasa. Istilah administrasi

yang dikenal di Indonesia bersal dari dua istilah yang berbeda. Pertama, istilah

yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu administratie, mempunyai pengertian

setiap penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya

secara tertulis dengan maksud untuk memperoleh suatu ikhtisar mengenai,

keterangan-keterangan itu dalam keseluruhannya dan dalam hubungannya satu

sama lain. Dengan demikian pengertian administrasi yang dimaksud di sini sama

dengan pengertian tata usaha, yaitu proses penyelenggaraan terhadap keterangan-

keterangan (informasi) yang berwujud pada aktivitas menghimpun, mencatat,

542
Solly Lubis, 2011, Op., Cit., hlm. 198.
543
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Op., Cit., hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara


mengolah, menggadakan, mengirim dan menyimpan. Dalam bahasa Inggris kata

administratie yang diistilahkan dengan tata usaha adalah clerical work (pekerjan

tulis), paper work (kertas kerja) atau office work (pekerjaan kantor). 544 Kedua,

menurut Miftah Thoha bahwa istilah administrasi yang berasal dari bahasa Latin

“administrare”, yang berarti membantu, melayani atau memenuhi. Dalam bahasa

Inggris kata administrare ini disebut administration, yang di Indonesia menjadi

administrasi. Istilah administration diartikan sebagai proses kegiatan penataan

usaha kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. 545

Jadi istilah administrasi dapat diartikan dalam 2 (dua) arti, yaitu:

1. Dalam arti sempit, bahwa istilah Administrasi berasal dari bahasa

Belanda, yakni Administrasi adalah kegiatan pencatatan, penyimpanan,

pengiriman dan reproduksi daripada surat-surat, data informasi,

dokumen-dokumen dalam suatu kantor/unit kerja atau instansi,

berdasarkan sistem dan cara kerja tertentu.

2. Dalam arti luas, bahwa istilah Administrasi yang berasal dari bahasa

Inggris, yaitu Administration, secara harfiah: a) memimpin, menguasai,

mengendalikan, melaksanakan hokum; b) melayani/mengatur

kepentingan dengan berpedoman kepada peraturan hukum, sebagai

kekuasaan pemerintah guna mengatur kepentingan umum atau negara. 546

Jadi istilah administrasi yang dimaksud disini dihubungkan dengan

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

544
Dikutip dari Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum
Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1-2.
545
Ibid.
546
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan Aceh, maka masuk dalam kategori administrasi dalam arti luas,

yang berasal dari istilah bahasa Inggris, administration, yaitu sebagai proses

kegiatan penataan usaha kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh

untuk mencapai tujuan pelaksanaan pemerintahan di Aceh.

Menurut Philipus M. Hadjon, istilah administrasi yang berasal dari bahasa

Latin, “administrare”, lebih mencerminkan fungsi dari negara modern sesudah

Perang Dunia II daripada istilah “Tata Pemerintahan dan Tata Usaha Negara”. 547

Sementara, menurut J. Wajong, adminsitrasi sama dengan pengendalian atau

memerintah (to direct, to manage, bestaken, be wind voeren atau beheren) yang

merupakan suatu proses yang meliputi: a) merencanakan dan merumuskan

kebijakan politik pemerintah (Formulation of Policy); dan, b) Melaksanakan

kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan cara: 1. menyusun

organisasi dengan menyiapkan alat-alat yang diperlukan, dan 2) memimpin

organisasi agar tercapai tujuan. 548

Prajudi Atmosudirjo, mengatakan administrasi atau administrasi negara

mempunyai 3 (tiga) artian, yaitu:

1. Sebagai “aparatur” negara yang dikepalai dan digerakkan oleh


Pemerintah guna menyelenggarakan undang-undang serta kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan kehendak-kehendak (keputusan-keputusan)
Pemerintah.
2. Administrasi negara sebagai fungsi atau “aktivitas” atau administrasi
dalam arti dinamis atau fungsional. Administrasi dalam fungsi hukum
(juridische functie) adalah penyelenggaraan daripada undang-undang
atau pelaksanaan daripada ketentuan-ketentuan undang-undang secara
konkrit, kasual dan individual. Sebagai aktivitas, administrasi atau
administrasi negara adalah kegiatan-kegiatan daripada aparatur negara.

547
Philipus M. Hadjon, dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 2.
548
Bewa Ragawino, 2006, Hukum Adminstrasi Negara, Buku Ajar: Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara


3. Administrasi sebagai suatu “proses tata kerja penyelenggaraan”, atau
administrasi sebagai suatu proses teknis. Di mana terdapat “tata usaha”
yang merupakan sistem informasi dan merupakan esensi daripada
pekerjaan kantor dan sebagai fungsi atau aktivitas, tata usaha berarti
“pengolahan perhitungan dan penarikan inti sari serta penyusunan
ikhtisar daripada data informasi tentang pekerjaan-pekerjaan dan
kegiatan-kegiatan” yang telah dilakukan oleh administrasi. 549

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan:

1. Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-
cara penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2. Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan
untuk mencapai tujuan;
3. Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
4. Kegiatan kantor dan tata usaha. 550
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas, dapat dipahami bahwa

administrasi yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang diartikan

administrare atau secara sempit dan dalam arti administration menurut bahasa

Inggris atau dalam arti luas. Artinya, berdasarkan pengertian “kebijakan” dan

“administratif” tersebut di atas, maka yang dimaksud kebijakan administratif

tersebut adalah suatu kegiatan atau keputusan pemerintahan yang dilakukan oleh

pemerintah/pelaku politik/organisasi sebagai suatu dasar rencana baik dalam

bentuk pendataan informasi atau dokumen dan peraturan hukum untuk mengatur

pemerintahan atau masyarakat guna untuk tercapainya suatu tujuan.

Sehubungan dengan pengertian kebijakan administratif di atas dan dikaitkan

dengan maksud Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, bahwa kebijakan

administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan

dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

549
Prajudi Atmosudidrjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan
Keenam, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 46.
550
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Ke-IV, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara


Gubernur”, maka perlu dilihat substansi pasal tersebut apa yang dimaksud dengan

kebijakan administratif?. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit

mengenai pengertian kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh. Sementara, dalam Penjelasannya hanya

menyebutkan bentuk kebijakan administratif Pemerintah Pusat, yaitu: “Yang

dimaksud dengan kebijakan administratif dalam ketentuan ini adalah yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya, hal-hal yang ditentukan

dalam Undang-Undang ini seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan

khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh”.

Meskipun demikian dapat dikatakan maksud “kebijakan administratif”

dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 dan Penjelasannya dikaitkan

dengan pendapat beberapa ahli di atas, bahwa suatu kegiatan pemerintahan atau

keputusan Pemerintah Pusat yang dibuat berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh yang akan dijadikan sebagai dasar dalam menyelanggarakan pemerintahan

di Aceh – untuk saat ini dan akan datang – dalam mengimplementasikan atau

melaksanakan UU No.11 Tahun 2006. Di mana guna mengatur pemerintahan atau

masyarakat di Aceh agar tercapainya suatu pemerintahan yang baik dan

terjalinnya hubungan harmonis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh

serta terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Diantara kegiatan atau

kebijakan yang dilakukan, seperti, berkaitan pemekaran wilayah, pembentukan

kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Demikian juga, berkaitan dengan pengertian “konsultasi dan pertimbangan”

secara etimologis dan terminologi dalam UU No.11 Tahun 2006 tidak dijelaskan

secara eksplisit. Untuk mengetahui pengertiannya baru dijelaskan dalam Perpres

No. 75 Tahun 2008. Sebelum melihat pengertian dalam Perpres tersebut,

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian “konsultasi” secara

bahasa diartikan yaitu pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan

(nasehat, saran, dan sebaginya) yang sebaik-baiknya. 551 Sementara, pertimbangan

yang merupakan asal kata dari timbang yaitu tidak berat sebelah; sama berat.

Sehingga, “pertimbangan" diartikan sebagai pendapat (tentang baik dan buruk). 552

Sementara, berdasarkan Pasal 1 Perpres No. 75 Tahun 2008, maksud

“kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh dilakukan setelah berkonsultasi dan mendapat pertimbangan

gubernur”, didefinisikan sebagai berikut:

1. Pasal 1 angka 10 yaitu: “Kebijakan Administratif adalah kebijakan yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus,

perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh”;

2. Pasal 1 angka 11, berbunyi: “Yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh adalah Rencana Persetujuan Internasional, Rencana

551
Ibid, hlm. 728.
552
Ibid, hlm. 1464.

Universitas Sumatera Utara


Pembentukan Undang-Undang dan Kebijakan Administratif yang akan

dibuat, yang substansinya secara khusus mengatur Aceh”;

3. Pasal 1 angka 13, berbunyi: “Konsultasi adalah suatu proses kegiatan

komunikasi dalam bentuk surat menyurat atau pertemuan antara

Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen

pemrakarsa atau DPRI-RI dengan Pimpinan DPRA atau Gubernur Aceh

untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap suatu Rencana

Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang dan

Kebijakan Administratif yang akan dibuat, yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh; dan,

4. Pasal 1 angka 14, disebutkan: “Pertimbangan adalah pendapat secara

tertulis dari Gubernur atau DPRA kepada DPR Pimpinan

Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa untuk

digunakan sebagai masukan terhadap suatu Rencana Persetujuan

Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang dan Kebijakan

Administratif yang akan dibuat, yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh”.

Secara letterlijk Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 tersebut,

dengan penggunaan nomenklatur “seperti”, dalam menyebutkan “kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh”, dapat dipahami bahwa kebijakan administratif yang dilakukan oleh

Pemerintah Pusat tersebut tidak terbatas yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal

Universitas Sumatera Utara


8 ayat (3). Melainkan, terdapat beberapa kebijakan-kebijakan administratif

lainnya yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Untuk mengetahui bahwa adanya kebijakan administratif lainnya, selain

substansi pada Penjelasan Pasal 8 ayat (3) tersebut, salah satunya sebagaimana

pernah diungkapkan oleh Sofyan Jalil, Menteri Koordinator Komunikasi dan

Informasi era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sekaligus sebagai anggota

Perunding MoU Helsinki dari Pemerintah. Di mana pada pembahasan RUU

Pemerintahan Aceh dengan DPR-RI, berkaitan dengan kepentingan khusus Aceh.

Sofyan Jalil, mengatakan:

“……Kami membayangkan tentang kepentingan khusus dalam hal ini


pemekaran wilayah Aceh Khusus. Kemudian contoh ekstrim pada waktu itu
kita bicarakan misalnya penyewaan pulau untuk pangkalan asing,
merupakan hubungan internasional yang menjadi wewenang Pemerintah
Pusat. Katakanlah Pulau Simeulue suatu saat mungkin kita tidak punya
kebebasan kebijakan politik luar negeri, karena konspirasi politik dunia,
mungkin mau menyewakan menjadi pangkalan asing. Dalam hal khusus
seperti itu wajib mendapat persetujuan DPR Aceh.

Kemudian kebijakan energi nuklir, kalau energi nuklir itu khusus untuk
Aceh, ditempatkan di Aceh, itu perlu persetujuan dari Pemerintah Aceh….
juga ada kekhawatiran status pelabuhan bebas Sabang yang telah diberikan
sebagai kawasan khusus dikhawatirkan di-refill keputusan tersebut perlu
mendapat persetujuan DPR Aceh…..”. 553

Begitu juga, sebagaimana dikatakan Farhan Hamid, bahwa substansi

kebijakan administratif yang ada dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3) adalah

merupakan sebagian kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh. Kedepan bisa saja Pemerintah Pusat dalam

menjalankan 6 (enam) kewenangan absolutnya, seperti, dalam memperkuat system

553
Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat Kerja,
Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara Penjelasan Pemerintah RI terhadap
RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24 Februari 2006, hlm. 56.

Universitas Sumatera Utara


security international di laut dengan memperkuat Angkatan Laut-nya di Aceh

untuk memberi rasa aman bagi masyarakat dan negara, maka perlu dilakukan

dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur Aceh. 554

Selanjutnya, menurut Setia Budi dan Mawardi Ismail, bahwa berdasarkan

Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006 secara letterlijk bahwa tidak

ada pembatasan terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh. Bahkan, kebijakan ini yang berkaitan

dengan kepentingan langsung Pemerintahan Aceh, tidak bisa dibatasi. Apalagi,

hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh kedepan pasca

penetapan Peraturtan Pemerintah dan Peraturan Presiden berkaitan dengan

implementasi desentralisasi asimetris (otonomi khusus), kemungkinan akan lebih

banyak permasalahan hukum yang terjadi. Sehingga, akan banyak membutuhkan

kebijakan-kebijakan yang baru. 555

Realitasnya, berdasarkan pendapat di atas bahwa yang berhubungan dengan

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, substansinya tidak terbatas materi Penjelasan Pasal 8 ayat (3)

UU No.11 Tahun 2006. Terutama, terhadap kewenangan Pemerintah Pusat dalam

penetapan Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang berlaku di

Aceh, yang belum ditetapkan. Sebagaimana, Pasal 8 ayat (1) PP No. 83 Tahun

2010, disebutkan: “Pemerintah menetapkan kebijakan, norma, standar, dan

554
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
555
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015, dan Mawardi Ismail, Mantan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5
Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


prosedur pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan kepada Dewan Kawasan

Sabang”.

Selanjutnya, Pasal 7 huruf a PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan:

“Kewenangan Pemerintah diselenggarakan dalam bentuk penetapan Kebijakan,

Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang berlaku di Aceh oleh menteri/kepala

lembaga pemerintah non kementerian”. Sementara, dalam Pasal 9 huruf b,

disebutkan: “Penetapan Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

penyelenggaraan urusan pemerintahan, dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga

pemerintah non kementerian melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur serta

memperhatikan kekhususan dan keistimewaan Aceh sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

Begitu juga dalam Pasal 13 PP No. 3 Tahun 2015 disebutkan:

(1) Kewenangan Pemerintah di Aceh yang belum diatur dalam Peraturan


Pemerintah ini dan mempunyai eksternalitas nasional tetap menjadi
kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah di Aceh yang belum diatur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah
berkonsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No.11 Tahun 2006, khususnya

substansi dalam Pasal 8 ayat (3) dan Penjelasannya adalah merupakan suatu

bentuk politik hukum (legal policy) Pemerintah Pusat terhadap Pemerintahan

Aceh. Sehingga telah menunjukkan perubahan-perubahan yang harus dilakukan

terhadap suatu hukum di Aceh supaya sesuai dengan kenyataan sosial dalam

Pemerintahan Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Politik hukum (legal policy), meliputi: pertama, pembangunan hukum yang

berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat

sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada

termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari

pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mecakup proses pembuatan dan

pelaksanaan yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan

dibangun dan ditegakkan. 556

Sejalan dengan pandangan di atas, E. Utrecht mengatakan, bahwa politik

hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum

yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sosiale

werkelijkheid), politik hukum meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha

melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antara positivitas dan realitas

sosial. 557 Selanjutnya, ia juga menambahkan mengacu pada pandangan Bellefroid,

bahwa politik hukum membuat suatu ius constituendum (hukum yang akan

berlaku) dan berusaha ius constituendum itu pada hari kemudian berlaku sebagai

ius constitutum (hukum yang sedang berlaku) yang baru. 558

Sebagaimana, juga mengutip pendapat Bintan Regen Saragih, mengatakan:

“Bahwa politik hukum adalah “kebijakan” yang diambil (ditempuh) oleh


negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum
yang mana yang perlu diganti, atau yang perlu dirubah, atau hukum yang
mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur
atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan

556
Mahfud, MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta, hlm.
9.
557
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakaarta, hlm. 48.
558
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


negara (seperti mensejahterakan masyarakat) secara bertahap dan terencana
dapat terwujud”. 559

Sementara, Hikmahanto Juwana mengatakan, politik hukum perundang-

undangan mengandung dua dimensi, yaitu, dimensi kebijakan dasar (basic policy),

yang memuat alasan mengapa suatu peraturan perundang-undangan dibentuk dan

dimensi kebijakan keberlakukan (enactment policy) adalah tujuan yang muncul di

balik pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Keberadaan kebijakan

pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang mengingat peraturan

perundang­undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau

penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif. 560

Sejalan dengan pendapat Hikmahanto, kemudian Meuwissen mengatakan

pada perundang-undangan dapat dibedakan dua momen sentral (unsur pokok).

Pertama, momen politik-idiil yaitu dimaksudkan menampilkan isi undang-undang

yang diinginkan (diaspirasikan). Hal ini berkaitan dengan mengartikulasikan atau

mengolah tujuan-tujuan politik (oleh politisi, pejabat negara, yuris, dan lain-lain),

sedemikian rupa penyelesaian-penyelesaian politik tertentu menjadi

dimungkinkan. Proses pembentukan perundang-undangan adalah tindakan politik,

perundang-undangan adalah tujuan dari hasil proses politik. Sesungguhnya,

perundang-undangan bukan hanya sekedar endapan dari konstelasi politik

empirikal, tetapi juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-undangan

mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas hukum

(ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Oleh karena itu, politik dan

559
Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum,Utomo, Bandung, hlm. 17.
560
Hikmahanto Juwana, 2005, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal
Hukum, Volume 01, Nomor 1 Tahun 2005, hlm. 24. Lihat juga, Wahyudin Husein dan Hufron,
2008, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 159.

Universitas Sumatera Utara


hukum saling berkaitan erat. Kedua, momen perundang-undangan memiliki sifat

yuridis-teknikal, perundang-undangan mengandalkan kemampuan untuk

merumuskan pemahaman-pemahaman umum ke dalam naskah-naskah normatif

yang kongkret pada momen ini keahlian penyusunan peraturan perundang-

undangan dibutuhkan. Keahlian menyusun perundang-undangan (legal drafting).

Berdasarkan semua itu, bahwa perundang-undangan adalah bentuk yang sempurna

di mana dalamnya tidak hanya mendeskripsikan paham-paham politik tetapi juga

filsafat hukum yang menjadi relevan secara praktikal. 561

Berdasarkan pendapat Hikmahanto dan Meuwissen, terhadap politik hukum

yang terkandung dalam UU No.11 Tahun 2006, baik dari aspek dimensi basic

policy dan enactment policy, serta momen sentral (unsur pokok) perundang-

undangan dapat dilihat dalam substansi Konsideran Menimbang UU No.11 Tahun

2006, yaitu:

Pertama, karena sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia


menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;

Kedua, karena Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat


khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;

Ketiga, karena ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan
dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

561
B. Arief Sidharta, 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm. 10. Lihat juga, Otong Rosadi dan
Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum Suatu Optik Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta,
hlm. 125.

Universitas Sumatera Utara


Keempat, karena penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan
rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi
manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;

Kelima, karena bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh
telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Artinya, pembentukan UU No.11 Tahun 2006 didasari pada basic policy

dan politik idiil dari UUD RI 1945 bahwa mengakui daerah khusus atau istimewa,

dengan mengartikulasikan tujuan politik bahwa Aceh diakui sebagai daerah

istimewa dan khusus karena sejarah perjuangannya pada revolusi kemerdekaan

NKRI. Keistimewaan karena latar belakang pada budaya Islam (syari’at Islam)

yang telah hidup sebagai hukum (living law) bagi rakyat Aceh. Sehingga, Aceh

menjadi daerah modal bagi NKRI dalam merebut dan mempertahankan

kemerdekaan dari kolonialisme. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

sosial dari konflik kekerasan.

Latar belakang ini juga sebagaimana dikatakan Ashari Bashar, Ketua Tim

Advokasi Aceh dari DPRD Aceh, pada Rapat Dengar Pendapat Pansus DPR-RI

RUU Pemerintahan Aceh, yaitu:

“4. Penyusunan UU Pemerintahan Aceh dengan kewenangan pada semua


sector public tentu kita sangat sepakat dan yakin mengacu pada 3 (tiga) hal
pokok, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bingkai
NKRI, dalam rangka penyelesaian konflik dan kepentingan masyarakat
Aceh pada khsusunya dan bangsa Indonesia pada umumnya”. 562

562
Risalah Rapat, Dengar Pendapat Panitia Khusus DPR-RI Rancangan Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh dengan Pejabat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan Pimpinan
DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 27 Februari 2006, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara


Sehingga, berdasarkan konsideran menimbang UU No.11 Tahun 2006

tersebut, sejalan dengan pendapat Rosemary Hunter et al, mengatakan bahwa:

“There is more to law than rules, robes and precedent. Rather, law is an
integral part of social practices and policies, as diverse and complex as
society itself”. (Hukum lebih dari sekedar aturan-aturan, toga hakim dan
putusan-putusan pengadilan. Lebih dari itu, hukum adalah suatu bagian
integral dari praktik-praktik sosial dan kebijakan-kebijakan sosial, yang
sama beragam dan kompleksnya dengan masyarakatnya sendiri). 563

Selanjutnya, juga sebagaimana dikatakan Leon Duguit, hukum adalah:

“Law arises not from the actions of governors of a state, but from the facts
of life within a community. The rules of law (reflecting economic and moral
norms) are based on the community’s recognition of their significance for
social cohension”. (Hukum tidak lahir dari tindakan-tindakan pemerintah,
tetapi lahir dari fakta-fakta kehidupan dalam suatu masyarakat. Aturan-
aturan hukum (mencerminkan norma-norma ekonomi dan moral) didasarkan
pada pengakuan masyarakat tentang arti pentingnya bagi kohesi sosial). 564

Oleh karena itu, khusus dalam konteks pengaturan konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11

Tahun 2006 dan Perpres No. 75 Tahun 2008, tidak terlepas daripada pengakuan

keistimewaan dan kekhususan Aceh. Meskipun, dalam pasal tersebut tidak

disebutkan secara eksplisit bahwa atribusi kewenangan konsultasi dan

pertimbangan gubernur adalah wujud dari pengakuan kekhususan Aceh. Namun,

ketika dalam peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU No. 23 Tahun

2014 tidak mengatur berkaitan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

563
Dikutip dari Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprodudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 109.
564
Ibid, hlm. 110.

Universitas Sumatera Utara


kebijakan administratif Pemerintah Pusat di daerah, sebagaimana UU No.11

Tahun 2006, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan khusus bagi Aceh.

B. Mekanisme Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur Terhadap


Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang Berkaitan Langsung
dengan Pemerintahan Aceh

1. Proses Pembuatan Kebijakan

Sebagaimana, telah dideskripsikan di atas bagaimana pengertian konsultasi

dan pertimbangan Gubernur Aceh terhadap kebijakan administratif Pemerintah

Pusat yang bekaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Di mana merupakan

suatu kegiatan pemerintahan atau keputusan Pemerintah Pusat yang dibuat

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dijadikan sebagai dasar

dalam menyelanggarakan pemerintahan di Aceh – untuk saat ini dan akan datang

– dalam mengimplementasikan atau melaksanakan UU No.11 Tahun 2006.

Tujuannya, untuk mengatur pemerintahan atau masyarakat di Aceh agar

tercapainya suatu pemerintahan yang baik dan terjalinnya hubungan harmonis

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh serta terwujudnya kesejahteraan

bagi rakyat Aceh. Dalam konteks itu, sebelum melihat bagaimana mekanisme

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap implementasi kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, maka perlu dilihat bagaimana proses pembuatan kebijakan tersebut.

Mengacu pada pendapat William N. Dunn, mengatakan, bahwa proses

pembuatan kebijakan merupakan aktifitas politik dan divisualisasikan sebagai

serangkaian tahap yang bergantung diatur menurut urutan waktu, penyusunan

agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan

Universitas Sumatera Utara


penilaian kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas terus

berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan

tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap

pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah dalam lingkaran aktifitas yang

tidak liniear. 565

Tahap-tahap (fase-fase) dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain:

1. Fase penyusunan agenda, yaitu para pejabat yang dipilih dan diangkat

menempatkan maslah pada agenda publik. Banyak masalah tidak

disentuh sma sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

2. Fase formulasi kebijakan, yaitu para pejabat merumuskan alternatif

kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat

perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan

legislatif.

3. Fase adopsi kebijakan, yaitu alternatif kebijakan yang diadopsi dengan

dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga,

atau keputusan peradilan.

4. Fase implementasi kebijakan, yaitu kebijakan yang telah diambil

dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber

daya finansial dan manusia.

5. Fase penilaian kebijakan, yaitu unit-unit pemeriksaan dan akutansi dalam

pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan

565
William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, terjemahan dari Public
Policy Analysis: An Introduction Second Edition, Cetakan Kelima, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 22-23.

Universitas Sumatera Utara


peradilan memenuhi persaratan undang-undang dalam pembuatan

kebijakan dan pencapaian tujuan. 566

Dalam konteks kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh yang memerlukan konsultasi dan

pertimbangan gubernur tersebut, dari tahap-tahap atau fase-fase yang sudah

dilakukan adalah disamping penyusunan agenda, formulasi kebijakan dan adopsi

kebijakan, dalam hal ini sudah diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun

2006. Sementara, fase yang sedang dan belum dijalankan oleh Pemerintah Pusat

(para pejabat) adalah berkaitan dengan implementasi kebijakan dan penilaian

kebijakan. Untuk implementasi kebijakan yang sedang dan sudah dijalankan oleh

Pemerintah Pusat antara lain: penetapan terhadap 12 (dua belas) Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Presiden, sebagaimana telah disebutkan pada bab-bab

sebelumnya. Sedangkan, penilaian kebijakan yang dilakukan oleh pihak DPR-RI

selaku institusi yang berwenang melakukan pengawasan (controling), belum

berjalan maksimal.

Dalam hal ini sebagaimana disampaikan Farhan Hamid, bahwa pengawasan

pernah dilakukan oleh pihak DPR-RI oleh Tim Pemantau UU No.11 Tahun 2006,

sekitar tahun 2009 dan pernah memanggil Pemerintah yang diwakili oleh Menteri

Koordinator (Menko) dan para Menteri terkait. Meskipun, pelaksanaan kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh belum maksimal dilaksanakan oleh Pemerintah, tetapi pihak legislatif (DPR-

566
Ibid, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara


RI) masih menggunakan pengawasan bersifat soft, hanya memanggil dan

mempertanyakan implementasinya. 567

Begitu juga, sebagaimana disampaikan Ketua Tim Priyo Budi Santoso,

Wakil Ketua DPR RI, saat berkunjung ke Aceh untuk mengetahui perkembangan

terkait penerapan undang-undang yang sudah berlangsung sejak tahun 2006.

Dalam dialog dengan jajaran Pemerintah Aceh dilakukan evaluasi sejumlah

persoalan. Terkait laporan masih belum tuntasnya sejumlah PP dan Perpres sesuai

amanat UU No.11 Tahun 2006, ia menyatakan akan membicarakannya dengan

pemerintah. 568

Walaupun masih belum maksimal pengwasan terhadap implementasi

otonomi khusus Aceh, tetapi implementasi kebijakan administratif Pemerintah

Pusat ini juga mengalami kemajuan yang signifikan terhadap kewenangan yang

diatribusikan kepada Pemerintah Aceh. Kemudian, untuk mengetahui

keterlambatan pelaksanaan kebijakan administratif tersebut, maka perlu dilihat

apa penyebab dan hambatannya. Apakah karena substansi regulasinya (UU No.11

Tahun 2006) atau proses peaksanaan kebijakan administratif antara Pemerintah

Pusat dengan Pemerintah Aceh (gubernur), atau karena adanya kewenangan

konsultasi dan pertimbangan gubernur.

Sebelum ditetapkan Perpres No.75 Tahun 2008 tersebut, tentunya

pelaksanaan konsultasi dan pemberian pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

567
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.
568
Buletin Parlementaria, 2014, Tim Pemantau UU PA DPR Berdialog dengan Muspida
NAD, Nomor: 801/II/2014, I/Februari/2014, hlm. 20.

Universitas Sumatera Utara


Aceh tidak bisa dilaksanakan, karena dianggap belum adanya peraturan

pelaksananya. Sehingga, konteksnya walaupun adanya UU No.11 Tahun 2006

sebagai peraturan pokok tetapi belum adanya peraturan pelaksana (Peraturan

Presiden), maka mengenai konsultasi dan pertimbangan gubernur tidak dapat

dilaksanakan, karena belum adanya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Solly Lubis, bahwa: 569

Kepastian hukum yaitu kejelasan peraturan hukum mengenai hak,


kewajiban dan status seseorang atau suatu badan hukum. Kepastian hak,
kewajiban dan kepastian status ini mendatangkan ketertiban, keteraturan,
ketenangan bagi yang bersangkutan. Dengan adanya kejelasan seperti yang
diatur oleh hukum, maka seseorang tahu benar-benar bagaimana status atau
kedudukannya, seberapa jauh hak maupun kewajibannya dalam kedudukan
tersebut.

Kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, atau samar-samar jika:
1. Tidak ada aturan mengenai sesuatu (null);
2. Ada peraturan hukumnya, tetapi tidak jelas pengertiannya dan
mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda;
3. Terdapat pertentangan isi diantara sesama aturan hukumnya sendiri baik
aturan yang setingkat maupun yang tidak sama tingkatannya, sehingga
membingungkan masyarakat; dan,
4. belum ada peraturan pelaksanaan meskipun sudah ada peraturan
pokoknya sehingga tidak memberi efek apa-apa.
Situasi yang demikian disebut ketidakpastian hukum ((rechtsonzekerheid))
atau sering juga diartikan sebagai kekosongan hukum (rechtvacum).

Meskipun demikian, ternyata sebelum ditetapkannya Perpres No. 75 Tahun

2008 tersebut, proses penetapan Perpres itu sendiri dilakukan melalui konsultasi

dan pemberian pertimbangan gubernur Aceh. Prosesnya dilakukan berulangkali,

sampai puluhan kali antara Pemerintah Pusat dengan Tim Konsultasi Pemerintah

Aceh. Di mana dalam proses konsultasi dan pertimbangan tersebut dipimpin oleh

Kementerian Dalam Negeri dan pernah melibatkan Wakil Presiden, Yusuf Kalla.

569
Solly Lubis, 2011, Loc., Cit., hlm. 54-55.

Universitas Sumatera Utara


Bahkan, menjadi luar biasa pembahasan dan kesepakatan antara Pemerintah Pusat

dengan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh terhadap substansi Peraturan Presiden

tersebut melebihi maksud yang ada dalam Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006. 570

Dalam Pasal 8 UU No.11 Tahun 2006, disebutkan:

(1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan


Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(2) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasca ditetapkan dalam Perpres No.75 Tahun 2008, substansinya telah

berubah, terutama terhadap Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) yang sebelumnya

substansinya berkaitan dengan “Rencana persetujuan internasional yang dibuat

oleh Pemerintah dan Rencana pembentukan undang-undang oleh DPR-RI yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan DPRA”, berubah dalam bentuk “rancangan”. Sebagaimana dalam

Pasal 2 Perpres No. 75 Tahun 2008, disebutkan:

(1) Rencana Persetujuan Internasional yang berkaitan langsung dengan


Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(2) Dalam pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan rencana persetujuan
internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
menyampaikan ide atau gagasan dan rancangan persetujuan

570
Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 5 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


internasional kepada Pimpinan DPRA dalam bentuk Rancangan
Pedoman Delegasi Republik Indonesia.
(3) Rancangan Pedoman Delegasi Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dokumen pendukung.
(4) Rancangan Pedoman Delegasi Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan surat Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
kepada Pimpinan DPRA.
(5) Penerimaan Rancangan Pedoman Delegasi Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. (6) Rancangan Pedoman
Delegasi Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dijelaskan oleh tim penyusun yang mewakili Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
kepada DPRA atas inisiatif Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen atau atas permintaan DPRA.

Sementara, dalam Pasal 3 Perpres tersebut, berbunyi:

(1) DPRA memberikan pertimbangan terhadap rancangan persetujuan


internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dituangkan
dalam Keputusan DPRA.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
berita acara penerimaan rancangan persetujuan internasional dan tidak
termasuk masa reses DPRA.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
DPRA belum dapat memberikan pertimbangan, atas permintaan
DPRA, Pemerintah memberikan perpanjangan dengan jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) DPRA tidak memberikan pertimbangan, Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa dapat
melanjutkan proses pembuatan persetujuan internasional.

Sedangkan, dalam Pasal 4 Perpres, disebutkan:

(1) Pertimbangan DPRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)


yang berupa usulan perbaikan rancangan persetujuan internasional
disertai dengan alasan dan dokumen pendukung.
(2) Usulan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen untuk
memperbaiki rancangan persetujuan internasional. (3) Dalam hal
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diakomodasi atau diakomodasi sebagian, Pimpinan

Universitas Sumatera Utara


Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
melakukan musyawarah dengan DPRA.

Selanjutnya, Pasal 5, disebutkan: Rancangan Persetujuan Internasional yang

dibuat oleh Pemerintah merupakan dokumen yang berklasifikasi rahasia. Dapat

dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), secara letterlijk menggunakan

nomenklatur “Rencana Persetujuan internasional…..” dan “Rencana pembentukan

undang-undang…”. Artinya, dapat dipahami norma hukum dalam ayat (1) dan

ayat (2), tersebut, bahwa apabila Pemerintah Pusat berencana melakukan atau

melakukan “persetujuan internasional” atau DPR-RI dalam “pembentukan

undang-undang” yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh dilakukan

dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.

Setelah adanya konsultasi dan pertimbangan dari Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tersebut,

maka substansi “rencana persetujuan internasional” dan “rencana pembentukan

undang-undang” menjadi “rancangan persetujuan internasional” dan “rancangan

pembentukan undang-undang”. Padahal, berbeda maksud “rencana” dengan

“rancangan”. Kalau “rencana persetujuan internasional”, dan “rencana

pembentukan undang-undang”, artinya Pemerintah Pusat belum membuat

kebijakan, tetapi sebatas merencanakan harus dilakukan konsultasi dan mendapat

pertimbangan gubernur. Sedangkan, “rancangan persetujuan internasional” dan

“rencana pembentukan undang-undang”, setelah dibuat menjadi rancangan lalu

dilakukan dengan konsultasi dan prtimbangan DPRA. Oleh karena itu, dalam

implementasi pelaksanaan desentralisasi asimetris di Aceh dalam konteks

Universitas Sumatera Utara


kepastian hukum, berbeda dengan apa yang dinyatakan Solly Lubis. Ternyata, saat

itu walaupun Perpres No. 75 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksana UU No.11

Tahun 2006 belum ditetapkan oleh Pemerintah, tetapi proses konsultasi dan

pertimbangan gubernur sudah dilakukan.

Pasca penetapan Perpres No. 75 Tahun 2008, semua kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan

dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur. Proses konsultasi dan

pertimbangan ini dimulai sejak masa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan Wakil

Gubernur, Muhammad Nazar, periode 2007-2012. Dilanjutkan pada era Gubernur,

Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur, Muzakir Manaf, periode 2012-2017.

Artinya, implementasi UU No.11 Tahun 2006 yang sudah memasuki 10 (sepuluh)

tahun sejak tahun 2006, namun dari 12 (dua belas) PP dan Perpres, sebagian

belum ditetapkan. Padahal, mengacu Pasal 271 UU No.11 Tahun 2006,

semestinya 2 (dua) tahun pasca pembentukan UU No.11 Tahun 2006, semua PP

dan Perpres ini sudah selesai ditetapkan.

2. Mekanisme Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur

Mekanisme konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

adminitratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, diatur dalam Pasal 7 Perpres No. 75 Tahun 2008, disebutkan:

(1) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan


Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
(2) Dalam pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah
Non Departemen pemrakarsa menyampaikan ide atau gagasan dan

Universitas Sumatera Utara


rancangan kebijakan administratif kepada Gubernur disertai dokumen
pendukung.
(3) Rancangan kebijakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan dengan surat Pimpinan Departemen/Lembaga
Pemerintah Non Departemen pemrakarsa kepada Gubernur.
(4) Penerimaan rancangan kebijakan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak.
(5) Rancangan kebijakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dijelaskan oleh tim penyusun yang mewakili Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
kepada Gubernur atas inisiatif Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen atau atas permintaan Gubernur.

Berdasarkan Pasal 7 Perpres tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa

mekanisme atau prosedur konsultasi dan pertimbangan gubernur, berawal dari ide

atau gagasan terhadap rancangan kebijakan administratif yang disampaikan oleh

Pemerintah Pusat atau Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non

Departemen sebagai pemrakarsa melalui surat kepada gubernur. Selanjutnya,

gubernur menerima rancangan tersebut yang dibuat dalam suatu berita acara, lalu

ditandatangani bersama antara pemrakarsa dengan gubernur. Kemudian,

rancangan tersebut dijelaskan oleh pemrakarsa baik atas inisiatif pemrakarsa atau

atas permintaan gubernur.

Selanjutnya, setelah kebijakan administratif tersebut dikonsultasikan kepada

gubernur (Tim Konsultasi Pemerintah Aceh), lalu memberi pertimbangan secara

tertulis terhadap rancangan kebijakan administratif tersebut. Sebagaimana,

disebutkan dalam Pasal 8 Perpres No. 75 Tahun 2008, yaitu:

(1) Gubernur memberikan pertimbangan secara tertulis terhadap


rancangan kebijakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara


(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
berita acara penerimaan rencana kebijakan administratif.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Gubernur belum dapat memberikan pertimbangan, atas permintaan
Gubernur, Pemerintah memberikan perpanjangan dengan jangka
waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Gubernur tidak memberikan pertimbangan, Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa dapat
melanjutkan proses pembuatan kebijakan administratif.

Kemudian, dalam Pasal 9 Perpres, disebutkan:

(1) Pertimbangan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)


yang berupa usulan perbaikan rancangan kebijakan administratif
disertai alasan dan dokumen pendukung.
(2) Usulan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen untuk
memperbaiki rancangan kebijakan administratif.
(3) Dalam hal pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat diakomodasi atau diakomodasi sebagian, Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa
melakukan musyawarah dengan Gubernur

Dalam proses konsultasi dan pertimbangan tersebut tidak dilakukan

langsung oleh Gubernur Aceh, tetapi diwakili oleh “Tim Konsultasi Pemerintah

Aceh” yang dibentuk oleh Gubernur Aceh, diketuai oleh Sekretaris Daerah Aceh

dan anggota-anggotanya, terdiri dari Birokrat Pemerintah Aceh, akademisi,

intelektual, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara, dari

Pemerintah Pusat dipimpin oleh Departemen atau Kementerian Dalam Negeri,

diikuti oleh Departemen atau Kementerian lainnya yang terkait. Sedangkan,

Universitas Sumatera Utara


tempat pelaksanaan proses konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut

dilakukan di Jakarta. 571

Proses pelaksanaan Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, oleh Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh atas nama gubernur sebelum memberikan

pertimbangan terhadap hasil konsultasi tersebut, selanjutnya Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh membahas dengan Gubernur/Wakil Gubernur di Aceh, dengan

melibatkan elemen-elemen dari birokrasi, akademisi, ulama, dan LSM. Setelah

itu, Tim Konsultasi menyampaikan dan membahas kembali dengan pemrakarsa.

Selama pembahasan PP atau Perpres yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, meskipun terdapat perbedaan pandangan terhadap substansi

dan terkadang melewati limit waktu pemberian pertimbangan, tetapi pemrakarsa

tidak pernah melanjutkan tanpa sepengetahuan Tim Konsultasi Pemerintah

Aceh. 572

Kemudian, dalam pelaksanaan Pasal 9 UU No.11 Tahun 2006, oleh Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh menyusun secara tertulis sebagai perbaikan dari

usulan Pemerintah Pusat yang disetujui oleh gubernur, untuk dijadikan sebagai

dasar pertimbangan gubernur Aceh. Setelah itu, dikirim kembali kepada

Pemerintah Pusat, lalu Pemerintah Pusat memperbaiki rancangan kebijakan

administratif tersebut. Proses konsultasi dan pertimbangan ini, memang

membutuhkan kesabaran dan pemahaman secara komprehensif terhadap substansi

UU No.11 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini

571
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail,
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh, pada 5 Februari 2015.
572
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


dikarenakan sering terjadi perbedaan interpretasi antara Pemrakarsa dengan Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh, terhadap substansi UU No.11 Tahun 2006 yang

dianggap sebagai lex specialist (peraturan khusus) dengan peraturan perundang-

undangan lainnya. Konsekuensinya, proses konsultasi dan pertimbangan ini

dilakukan berulang-ulang, bahkan bertahun-tahun. Di mana intensitas frekwensi

perjalanan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh saat itu dari Aceh ke Jakarta

mencapai ratusan kali. 573

Dalam pelaksanaannya bahwa konsultasi yang terjadi selama ini, masih

dalam hal pembahasan penetapan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006,

yaitu penetapan terhadap 9 (sembilan) PP dan 3 (tiga) Perpres yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh. Berkaitan dengan Pasal 9 ayat (3) Perpres

No. 75 Tahun 2008 di atas, sejak dilakukannya konsultasi dan pertimbangan oleh

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf (Tim Konsultasi Pemerintah Aceh) dari tahun

2006-2012 dan dari 2012-2015 masa Guberur, Zaini Abdullah, terhadap

penetapan PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh,

hampir semua mengalami hambatan dan tantangan. Di mana sebagian

substansinya tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat, antara lain, akibat mis-

pemahaman terhadap substansi UU No.11 Tahun 2006 antara Pimpinan

Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagai pemrakarsa dengan

Tim Konsultasi Pemerintah Aceh. 574

Ada juga sebaliknya pasca pertimbangan oleh gubernur, selanjutnya

menolak usulan Pemerintah Pusat. Konsekuensinya, penetapan peraturan

573
Ibid.
574
Ibid

Universitas Sumatera Utara


pelaksana tersebut menjadi terlambat, yaitu: pertama, terhadap RPP tentang

Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh. Pada masa Gubernur

Aceh, Irwandi Yusuf, RPP ini langsung dikritik dan ditolak oleh gubernur karena

beralasan bahwa rancangan ini tidak berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (PP 38

Tahun 2007). 575 Setelah memasuki 9 (sembilan) tahun, yaitu pada 12 Februari

2015, Rancangan ini baru ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi PP No.3

Tahun 2015.

Penolakan gubernur terhadap RPP tersebut, sehingga penetapannya menjadi

terlambat. Penolakan ini merupakan suatu praktik yang progresif jika mengacu

pada Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun 2006, bahwa pembahasan antara

Pemerintah Pusat dengan Gubernur (Tim Konsultasi Pemerintah Aceh) bersifat

konsultatif dan pertimbangan, bukan persetujuan. Munculnya penolakan tersebut

sebenarnya tidak kontradiksi dengan Perpres, hal ini karena berdasarkan Pasal 9

ayat (3) Pepres Konsultasi dan Pertimbangan tersebut, dibenarkan bahwa ketika

pertimbangan gubernur tidak bisa diterima oleh Pemerintah (pemrakarsa), maka

dilakukan musyawarah dengan gubernur. Sehingga, dalam praktik konsultasi dan

pertimbangan dapat dikatakan bahwa gubernur bukan sekedar berkonsultasi dan

member pertimbangan kepada Pemerintah Pusat (pemrakarsa), tetapi telah

mengarah kepada konsultasi dan persetujuan gubernur. 576

575
Amrizal J. Prang, 2007, Mengeritik RPP Kewenangan Pemerintah, Opini, Serambi
Indoneisa, 8 Mei 2007.
576
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Kedua, berkaitan penetapan RPP tentang Pengelolaan Bersama antara

Pemerintah dan Pemerintah Aceh terhadap Minyak Bumi dan Gas Alam yang ada

di Aceh. Berkaitan perdebatan kewenangan Pemerintahan Aceh terhadap

pengelolaan minyak dan gas dalam wilayah antara 12 mil sampai 200 mil.

Sehingga, RPP ini baru ditetapkan pada 5 Mei 2015, menjadi Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya

Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (PP No. 23 Tahun 2015). Ketiga, juga

mengalami pembahasan alot antara Pemerintah dengan Pemerintahan Aceh,

terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengalihan Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.

Sehingga, Rancangan Peraturan Presiden ini, baru ditetapkan pada 12 Februari

2015, menjadi Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh

Kabupaten/Kota (Perpres No. 23 Tahun 2015).

Oleh karena itu, dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan,

politik hukum memiliki peranan penting. Pertama, sebagai alasan mengapa

diberlakukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk

menentukan apa yang hendak diterjemahkan dalam kalimat hukum dan menjadi

perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-

undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum

tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


mengingat antara pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus ada

konsistensi dan korelasi yang erat dengan apa yang ditetapkan sebagai politik. 577

Walaupun dengan adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur, penetapan

peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006 menjadi lambat, tetapi atribusi

kewenangan ini menjadi bagian daripada implementasi desentralisasi asimetris di

Aceh. Di mana kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur ini tidak

dimiliki oleh gubernur di daerah-daerah lain. Bahkan, dalam konteks

pembentukan pearturan perundang-undangan, penetapan Peraturan Pemerintah

dan Peraturan Presiden yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

tersebut, mengutip pendapat Mahfud, MD, termasuk dalam kategori produk

hukum responsif/populistik. 578

Maksud dari karakter produk hukum responsif/populistik adalah produk

hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.

Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh

kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.

Sedangkan, yang kedua ada produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah

produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih

mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni

menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Berlawanan dengan

hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan

577
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 19.
578
Mahfud, MD, 2001, Op., Cit., hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara


kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya

peranan dan partisipasi masyarakat relative kecil. 579

Berdasarkan pandangan Mahfud, MD tersebut, penetapan Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Presiden yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh, berkarakter produk hukum responsif/pupulistik karena dalam

pembahasannya telah melibatkan gubernur atau Pemerintah Aceh (Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh). Di mana peranan atau partisipasi daerah atau Pemerintah

Aceh begitu besar. Sehingga dalam mengambil keputusan atau penetapan

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden tersebut dapat diterima oleh

Pemerintahan dan masyarakat Aceh.

Dalam perspektif ini, sebagaimana juga dikatakan Philippe Nonet dan Philip

Selznick, bahwa hukum yang baik menawarkan sesuatu yang lebih daripada

sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil.

Hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan public dan punya

komitmen bagi tercapainya keadilan subtanstif. 580 Hukum responsif berusaha

mengatasi ketegangan, bukan terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu

kapasitas berdaptasi yang bertanggungjawab, dengan demikian adaptasi yang

selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif mempertahankan

secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan

keberadaan kekuatan-kekuatan baru dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal

579
Ibid.
580
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif, terjemahan dari Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law, Cetakan Kelima, NusaMedia, Bandung, hlm. 84.

Universitas Sumatera Utara


ini, hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas

dapat saling menopang walaupun dapat pertentangan di antara keduanya. 581

Selanjutnya, Philippe dan Selznick juga mengintroduksi bahwa tipelogi

hukum responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespon

dan mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi, dan kepentingan masyarakat, sehingga

mencerminkan sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh pemerintah yang

sedang berkuasa, khususnya dalam implementasi kebijakan pembangunan

hukumnya. 582 Berkaitan dengan itu, Marcus Tulius Cicero (106-43SM),

mengatakan, Salus Populi Suprema Lex Esto” (hendaknya kesejahteraan rakyat

menjadi hukum tertinggi). 583 Hukum melalui penegakannya yang berkeadilan

sayogianya memegang peranan penting dalam menciptakan kesejahteraan

masyarakat (bonum commune communitatis) atau untuk kebaikan umum (pro

bono publico). 584 Oleh karenanya, mengacu pada proses kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, dalam hal

penetapan PP dan Perpres tersebut, dapat dikatakan telah memenuhi dalam

kategori hukum responsif.

Sehingga, sejalan dengan pernyataan di atas, Jeremy Bentham dalam

mazhab utilitarinisme-nya, mengatakan bahwa satu-satunya tujuan pemerintah

adalah tercapainya kebahagian masyarakat semaksimal mungkin. 585 Dalam

581
Ibid, hlm. 87.
582
Dikutip dari Yohanes Suhardin, 2009, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, hlm. 346.
583
Ibid, hlm. 350.
584
Ibid, hlm. 351
585
Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, hlm. 124.

Universitas Sumatera Utara


kalimatnya, Bentham dan John Stuart Mill, merumuskan: “the greatest happiness

of the greatest number”, bahwasanya tujuan hukum adalah untuk memberikan

kebahagian yang sebesar-besarnya kepada jumlah sebanyak-banyaknya. 586 Ia

merasionalkan sebagai suatu himpunan kaedah yang ditetapkan dan dipaksakan

oleh kekuasaan negara, yang dengannya terjamin untuk tiap orang maksimum

kebahagian, yang dipahamkan sebagai kebebasan untuk mengemukakan diri

dalam membela hak-hak sendiri. Tujuan hukum itu adalah untuk memungkinkan

pemberian kebebasan maksimum bagi tiap orang buat bertindak sesuai dengan

tindakan perseorangan yang bebas pada umumnya. 587

Jhon Stuart Mill, menekankan bahwa moral yang sebenarnya tidak bersifat

perseorangan semata, melainkan sosial. Bahwa setiap orang harus mengusahakan

kebahagiaan harus diartikan menciptakan kebahagian semua orang. Hal-hal yang

membawa suatu kebaikan dalam suatu negara, hanya dapat menimbulkan

kebaikan di negara lain bila keadaan yang khas disana diperhitungkan. 588 Hanya

saja dikebanyakan negara terutama di negara-negara berkembang, peranan

tersebut belum menjadi kenyataan, termasuk di Indonesia, hukum belum

berkeadilan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat.

Eksistensi hukum dalam banyak kasus justru menyebabkan penderitaan bagi

586
Yohanes Suhardin, 2009, Op., Cit., hlm. 351.
587
Rescoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan dari An Introduction to The
Philosophy of Law, Cetakan Ketiga, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 42.
588
J.J. von Schmid, 1979, Pemikiram tentang Negara dan Hukum Dalam Abad Kesembilan
Belas, terjemahan dari Het Denken Over Staat en Recht in De Negentiende Eeuw, Cetakn Ketiga,
PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 109-110.

Universitas Sumatera Utara


masyarakat khususnya masyarakat kelompok marginal, seperti kaum buruh dan

menguntungkan kelompok elite. 589

Disamping itu, hukum juga tidak mampu membebaskan masyarakat yang

mengalami penderitaan akibat kebijakan (beleid) pemerintah yang keliru –

penulis: sebagaimana pernah dialami oleh Aceh sejak masa orde lama, orde baru

dan orde reformasi dalam suasana konflik kekerasan – padahal, Rescoe Pound,

mengatakan dalam teorinya, “law as tool of social engineering”, bahwa hukum

berfungsi sebagai alat perekayasa (pemberdayaan) sosial. Hukum itu, ditandai

sebagai suatu jenis teknik sosial (social engineering) atau kontrol sosial (social

control) di dalam masyarakat politik (negara). Tujuannya untuk sebaik-baiknya

mengimbangi kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain. 590

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, diharapkan dengan adannya atribusi

kewenagan konsultasi dan pertimbangan kepada gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh. Hukum yang mengatur Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006) dalam

konteks desentralisasi asimetris (otonomi khusus) dapat dilaksanakan secara

konsisten oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Sehingga, tidak terjadi

lagi pengabaian terhadap Aceh dan terwujudnya hubungan harmonis antara

Pemerintahan Aceh dengan Pemerintah Pusat. Selanjutnya, dapat bermanfaat

kepada kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh pada khususnya

dan rakyat Indonesia secara umum.

589
Yohanes Suhardin, 2009, Loc., Cit., hlm. 351.
590
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


C. Efektivitas dan Efisiensi Pelaksanaan Konsultasi dan Pertimbangan
Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang
Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh

Meskipun, tujuan hukum yang dimaksud Bentham di atas adalah

tercapainya kebahagian dan kesejahteraan bagi komunitas rakyat. Berkaitan

dengan substansi pelaksanaan konsultasi dan pertimabangan gubernur terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh. Perlu juga dilihat sejauhmana efektivitas dan efisiensi

pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat tersebut.

Secara etimologi, kata efektivitas berasal dari kata efektif sebagai

terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia

memiliki makna berhasil, dan dalam bahasa Belanda dikenal kata effectief yang

memiliki makna berhasil guna. 591 Secara umum, kata efektivitas menunjukkan

keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika

hasilnya semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. 592

Efektivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata efektif

diartikan: 1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); 2) manjur atau

mujarab; 3) dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); 4)

mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan). 593 Dalam konteks hukum,

591
Nurul Hakim, 2015, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net, di
akses pada 24 Februari 2015.
592
Sondang P. Siagian, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 24.
593
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Edisi Ke-IV, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 352.

Universitas Sumatera Utara


maka efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil

gunaan hukum, yaitu keberhasilan dalam mengimplementasikan hukum itu sendiri

dalam tatanan masyarakat.

Adapun secara terminologi, para pakar hukum dan pakar sosiologi

memberikan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang masing-

masing. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas

suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap

hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi

bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator

berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda

bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk

mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. 594

Sementara, dalam ilmu sosial, antara lain dalam sosiologi hukum, masalah

kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum

pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya

sesuatu yang ditetapkan, dalam hal ini hukum. 595 Selanjutnya menurut Soekanto,

maksud efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang

ada dalam masyarakat benar-benar hidup, dan agar kaidah hukum atau sebuah

peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat. 596

594
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, hlm. 19.
595
Ibid, hlm. 20.
596
Ibid, hlm. 53

Universitas Sumatera Utara


Kemudian, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mengatakan:

bahwa kelakuan atau hal berlakunya kaidah hukum atau peraturan haruslah

memenuhi tiga unsur, yaitu:

a. Hukum berlaku secara yuridis, di mana dapat dijumpai anggapan-anggapan


sebagai berikut:
1) Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hokum mempunyai kelakuan
yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya, hal ini berkaitan dengan teori “Stufenbau”.
2) W. Zefenbergen, menyatakan bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut terbetuk menurut cara yang
telah ditetapkan.
3) J.H.A Logemann, menyatakan sebagai suatu pandangan maka kaedah
menetapkan suatu hubungan yang bersifat memaksa, walaupun bukan
merupakan hubungan sebab-akibat maupun suatu keharusan yang logis,
akan tetapi hubungan yang sepantasnya atau sayogiayanya. Suatu
hubungan memaksa antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dengan apa
yang seharusnya menjadi hasil/akibatnya.

Intinya, adalah bahwa secara yuridis kaedah hokum mengingat, apabila


menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.

b. Hukum berlaku secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah


hukum di dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini dikenal ada dua teori,
yaitu:
1) Teori kekuasaan (machttheorie; the power theory), menyatakan bahwa
kaedah hokum mempunyai kelalkuan sosiologis, apabila dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga
masyarakat.
2) Teori pengakuan (anerkennungsttheorie; the recognition theory),
berpendapat bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan
atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi dituju.
c. Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya bahwa kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif
yang tertinggi (uberpositieven wert). 597

Selanjutnya, Purbacaraka dan Soekanto juga menambahkan, bahwa:

597
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, Cetakan
Keenam, Citra Aditya, Bandung, hlm. 88-94.

Universitas Sumatera Utara


Agar kaedah hukum berfungsi, maka harus memenuhi ketiga unsur
kelakuan, yaitu berlakunya secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Sebab
apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan yuridis belaka,
maka kaedah hukum tersebut merupakan suatu kaedah yang mati (dode
regel). Kalau kaedah suatu hokum hanya mempunyai kelakuan sosiologis
dalam arti teori kekuasaan, maka kaedah hukum yang bersangkutan menjadi
aturan pemaksa (dwangmaat regel). Akhirnya, apabila suatu kaedah hokum
hanya mempunyai kalakuan filosofis, maka kaedah hukum tersebut hanya
boleh disebut sebagai kaedah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan
(ius constituendum; ideal norm). Dengan demikian apabila kaedah hukum
tersebut diartikan sebagai patokan hidup bersama yang damai (tenang/bebas
dan tertib), maka tidak boleh tidak kaedah tersebut harus mempunyai
kelakuan dalam ketiga bidang tersebut. 598

Sedangkan, Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya

hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum

bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat

bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan

(hukum) tersebut dijalankan atau bekerja. 599 Sekurang-kurangnya ada empat

langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan atau

ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) yaitu:

a. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam


peraturan hukum tersebut;
b. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum,
baik yang mematuhi atau melanggar hukum;
c. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;
d. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk
berbuat sesuai hukum. 600
Berdasarkan pandangan Satjipto terhadap 4 (empat) langkah tersebut yang

jika berjalan dan berfungsi dengan baik, maka hukum-pun dapat terlaksana secara

efektif. Sehingga, ada 3 (tiga) faktor yang yang menjadi esensi efektivitas hukum

tersebut, yaitu: 1) orang atau manusianya, 2) peraturan hukum, dan 3) perbuatan


598
Ibid
599
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 70.
600
Ibid, hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara


sesuai hukum. Di mana adanya pejabat penegak hukum dan masyarakat yang

mengatahui adanya peraturan hukum dan melakukan perbuatan hukum dengan

mengikuti atau berbuat sesuai norma hukum yang berlaku.

Deskripsi ini seiring dengan apa yang disampaikan oleh Lawrence M.

Friedman, bahwa suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah

organisme kompleks, yang terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu: 1) struktur hukum

(legal structure), adalah kerangka badannya dari sistem yudisial. Menjelaskaan

mengenai penegak hukum, seperti, para hakim, yurisdiksi pengadilan, dan orang-

orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan; 2) substansi hukum (legal

substance), merupakan susunan daripada peraturan-peraturan dan ketentuan-

ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi itu berperilaku; dan, 3) kultur

hukum (legal culture), yaitu elemen sikap dan nilai-nilai sosial, di mana mengacu

pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum – adat, kebiasaan, opini, cara

bertindak dan berpikir – yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau

menjauh dari hukum dan dengan cara-cara tertentu. 601

Maksud dari efektivitas hukum ini, juga berkaitan erat dengan penegakan

hukum (law enfocement). Menurut Soekanto, secara konsepsiopnal inti dan arti

penegakan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantahkan dan

601
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan dari
The Legal System: A Social Science Perspective, Cetakan Kedua, Nusa Media, Bandung, hlm. 15-
17.

Universitas Sumatera Utara


sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamian pergaulan hidup. 602

Selanjutnya, Soekanto mengatakan:

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor


yang mempengaruhi sehingga berdampak positif atau negatif. Faktor-faktor
tersebut, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri (penulis: seperti, undang-undang dan peraturan


perundang-undangan lannya).
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau ditetapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena


merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupkan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. 603

Sebagaimana, telah dijelaskan di atas bahwa efektivitas hukum berkaitan

erat dengan penegakan hukum, berdasarkan pandangan Soekanto tersebut

menunujukkan bahwa hakikat efektivitas hukum apabila telah diimplementasikan

(law enforcement) secara konsisten terhadap 5 (lima) faktor yang saling

mempengaruhi, yaitu peraturan hukumnya (peraturan perundang-undangan);

adanya penegak hukum yang melaksanakan sesuai dengan hukum; adanya

fasilitas untuk penegakan hukum; adanya masyarakat tempat diberlakukannya

hukum; dan kultur hukum, di mana masyarakat dalam berfikir dan bertindak

mengarah pada hukum.

602
Sorjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
603
Ibid, hlm. 8-9. Lihat juga, Mahfud, MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Gama Media, Yoyakarta, hlm. 189-190.

Universitas Sumatera Utara


Selain berkaitan dengan penegakan hukum, efektivitas hukum juga

berhubungan erat dengan kesadaran hukum. Menurut Krabbe yang dikutip Ahmad

Ali, bahwa kesadran hukum yaitu, merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang

terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang

diharapkan ada. 604 Jika merujuk pendapat Krabbe tersebut, maka kesadaran

hukum itu tidak berpengaruh pada faktor eksternal (luar), tetapi dari dalam pribadi

seseorang, ada atau tidaknya tekanan dari pihak luar.

Bahkan, mantan Menteri Kehakiman, Oetojo Oesman, membedakan

kesadaran hukum, yaitu: 1) kesadaran hukum yang baik; dan, 2) kesadaran hukum

yang buruk. Salah satu kesadaran hukum yang buruk adalah seseorang yang

semakin memiliki pengetahuan hukum mengetahui kemungkinan menggunakan

proses banding dan kasasi meskipun ia sebenarnya sadar bahwa dirinya di pihak

yang salah. Sehingga, kesadaran hukum yang buruk ini menjadi salah satu

penyebab semakin menumpuknya perkara di Mahkamah Agung. 605

Sementara, H.C Kelman, membedakan kualitas ketaatan hukum itu dalam

tiga jenis, yaitu:

1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika sesorang taat terhadap


suatu aturan hanya karena ia takut terkena sanksi;
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap
suatu aturn hanya karena takut hubungan baiknya dengan sesorang
menjadi rusak;
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika sesorang taat terhadap
suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intrinsik yang dianutnya. 606

604
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kaajian Empiris terhadap Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 141-142
605
Ibid.
606
Ibid. hlm. 142-143.

Universitas Sumatera Utara


Dari tiga jenis kualitas ketaatan hukum diatas, Kelman menambahkan,

bahwa perbedaan kualitas keefektifan suatu aturan, jika masyarakat yang menaati

hanya bersifat compliance atau indentification, berarti kualitas keefektifan aturan

itu masih rendah; sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati

dengan sifat internalization, maka semakin tinggi kualitas efektivitasnya. 607

Selanjutnya, menurut Achmad Ali, faktor-faktor yang mempengaruhi

ketaatan terhadap hukum secara umum, antara lain: 608

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari


orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh
karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang,
maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami
kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum itu, harus dirancang
dengan baik jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu
dipahami secara pasti. Meskipun, nantinya tetap membutuhkan
interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita
tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua
penduduk yang ada dalam wilayah suatu negara, dianggap mengetahui
selurih aturan yang berlaku dinegaranya. Tidak mungkin penduduk atau
warga masyarakat secara umum, mamapu mengetahui keberadaan suatu
aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak
disosialisasikan secara optimal.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
sayogianya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (phohibitur) lebih
mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan
(mandatur).

Meskipun, aturan mandatur tersebut mutlak harus dilaksanakan,

sebagaimana disampaikan Mian Khurshid A. Nasim yang dikutip oleh

Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa: “……..that a mandatory

607
Ibid.
608
Achmad Ali, 2009, Op., Cit., hlm. 376-378.

Universitas Sumatera Utara


enactment must be obeyed or fulfilled exactly…… if a mandatory

enactment is not strictly complied with, the thing done shall be invalid”

(…….bahwa yang bersifat mandatory harus ditaati dan dipenuhi secara

tepat atau mutlak….. Jika tidak dipatuhi secara tepat atau mutlak, maka

hal yang dilakukan menjadi tidak sah). 609

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan
sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat kita
katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu dapat untuk tujuan
lain.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,
memnag tindakan kongkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya
memungkinkan untuk untuk diproses dalam setiap tahapan.
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif
akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan
dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target
diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif
adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam sanksi bagi
tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan,
dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma
lain, akan lebih tidak efektif.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang
mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hokum,
interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus
kongkret.
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hokum secara umum, juga
mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di
dalam masyarakat. Sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak,
harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektivitas hokum akan
terwujud secara optimal, jika masyarakat dalam keadaan keos atau situasi
perang dahsyat.

609
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 27-28.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya, Achmad Ali juga menambahkan, yaitu:

Sementara, jika yang dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka


kita dapat mengatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan,
banyak tergantung pada beberapa factor, antara lain:

a. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan;


b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;
c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di
dalam masyarakatnya;
d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh
dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat). 610

Oleh karena itu, pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi


efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal
pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik di
dalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun
dalam menegakan perundang-undangan tersebut. Jelasnya, bahwa seseorang
menaati ketentuan perundang-undangan adalah karena terpenuhinya suatu
kepentingannya (interest) oleh perundang-undangan tersebut. 611

Berdasarkan beberapa pandangan yang berakaitan dengan efektivitas hukum

di atas yang didasarkan pada adanya kesadaran dan ketaatan hukum. Selanjutnya,

dikaitkan dengan pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, secara umum sebagian telah berjalan secara efektif.

Meskipun, masih ada yang belum terlaksana dengan baik, bahkan dengan adanya

“konsultasi dan pertimbangan gubernur” ini, dalam perspektif penggunaan

anggaran dirasakan juga tidak efisien.

Efektivitas dengan adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut,

dapat diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan administratif Pemerintah Pusat,

seperti penetapan PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

610
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 378-379.
611
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Aceh, secara materil (substansi) peraturan pelaksana tersebut dapat diterima oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh (gubernur). Sehingga, walaupun belum

semua ditetapkan, tetapi sampai saat ini sebagaian peraturan pelaksana tersebut

sudah dibentuk dengan konsultasi dan pertimbangan dengan gubernur, antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan

Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh

dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 135, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5054).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan

Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 143, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5175).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan

Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 28, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5659).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan

Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5696),

ditetapkan pada 5 Mei 2015;

Universitas Sumatera Utara


5. Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang Tata Cara

Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan

Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan

Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.

6. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama

Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.

7. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor

Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.

Hal ini juga dikatakan oleh Setia Budi, Ketua Tim Konsultasi Pemerintah

Aceh, yang juga Sekretaris Daerah Aceh, yakni:

“Bahwa dengan adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap


kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh, telah melahirkan beberapa hal yang posistif terhadap
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh, antara lain:
telah menguatnya trust (saling percaya) dan penetapan substansi peraturan
pelaksana diketahui dan juga sebagai bersumber dari Pemerintah Aceh.
Meskipun, sebagian substansinya masih ada beberapa kekurang-kekurangan.
Tetapi, esensinya adalah sebagian substansinya sesuai dengan UU No.11
Tahun 2006 dan MoU Helsinki. 612

Farhan Hamid, menambahkan bahwa konsultasi dan pertimbangan

gubernur, merupakan suatu dignity, kewibawaan dan kemulian yang diberikan

Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Aceh. Sehingga, Pemerintah Aceh merasa

dihargai dan dilibatkan dalam implementasi kebijakan administratif yang

612
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


kepentingannya langsung dirasakan rakyat Aceh. Bukan, seperti yang terjadi

sebelumnya di mana disamping tidak bisa dijalankan, juga ketika kewenangan

tersebut dicabut tanpa sepengetahuan Pemerintahan Aceh. 613

Meskipun demikian, sebagian pelaksanaan “konsultasi dan pertimbangan

gubernur” terhadap penetapan PP dan Perpres oleh Pemerintah Pusat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh proses penetapannya sebagaian

masih terlambat sehingga tidak efektif. Seharusnya, sebagaimana Pasal 271 UU

No.11 Tahun 2006, menyebutkan: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini

yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak

Undang-Undang ini diundangkan”. Artinya, kalau UU No.11 Tahun 2006

disahkan pada 1 Agustus 2006, sayogianya pada Agustus 2008 penetapan

peraturan pelaksana tersebut sudah tuntas ditetapkan. Realitasnya, sampai tahun

2015 memasuki 9 (sembilan) tahun UU No.11 Tahun 2006 belum semua

peraturan pelaksananya diselesaikan oleh Pemerintah Pusat.

Begitu juga berkaitan dengan sebagian substansi (materilnya), oleh

Pemerintah Aceh menganggap substansinya tidak sesuai dengan maksud dalam

UU No.11 Tahun 2006. Salah satu peraturan pelaksana yang tidak sesuai/sinkron

dengan UU No.11 Tahun 2006 terhadap sebagian susbstansi Peraturan Presiden

Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan

Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.

Sebagaimana Pasal 3 Pepres tersebut, disebutkan:


613
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014.

Universitas Sumatera Utara


(1) Dengan Peraturan Presiden ini, Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Aceh dialihkan menjadi Badan Pertanahan Aceh.

(2) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan organisasi, tugas, dan fungsi

Badan Pertanahan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Qanun Aceh.

Kemudian, dalam Pasal 7 disebutkan:

(1) Dengan Peraturan Presiden ini, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di

Aceh dialihkan menjadi Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan organisasi, tugas, dan fungsi

Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota.

Berkaitan dengan Pasal 3 tersebut, dalam Pasal 6 disebutkan: “Kepala

Badan Pertanahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), diangkat

dan diberhentikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional atas usul Gubernur Aceh. Sementara, berkaitan dengan Pasal 7 diatur

dalam Pasal 9 disebutkan: “Kepala Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul

Gubernur Aceh”.

Ketidaksesuaian/ketidaksinkronan antara substansi Perpres tersebut dengan

UU No.11 Tahun 2006 adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No.11

Tahun 2006, disebutkan:

Universitas Sumatera Utara


(1) Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung tugas Gubernur
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat
spesifik dapat berbentuk badan atau kantor.
(2) Lembaga teknis kabupaten/kota merupakan unsure pendukung tugas
bupati/walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
kabupaten/kota yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan atau
kantor.
(3) Badan atau Kantor Aceh dan kabupaten/kota dipimpin oleh kepala
badan atau kantor yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Kepala Badan atau Kantor Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah
Aceh.
(5) Kepala badan atau kantor kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota.
(6) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan atau Kantor Aceh
bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Aceh.
(7) Dalam melaksanakan tugasnya kepala badan atau kantor
kabupaten/kota bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah kabupaten/kota.
Artinya, kalau Kantor Wilayah Pertanahan Nasional Aceh telah dialihkan

menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh, maka institusi

tersebut menjadi institusi daerah Aceh dan yang berkaitan dengan kebijakan

adminitratif badan tersebut wewenangnya beralih juga kepada gubernur dan

bupati/walikota sebagai eksekuitf bukan lagi kepada Pemerintah Pusat

(kementerian). Sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 111

ayat (4) dan ayat (5) UU No.11 Tahun 2006.

Hal ini jelas bahwa antara substansi Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan presiden

tersebut tidak sinkron atau kontradiksi dengan Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) UU

No.11 Tahun 2006. Memang, Pasal 213 dan Pasal 253 UU No.11 Tahun 2006,

berkaitan pertanahan dan Badan Pertanahan Aceh tidak diatur mengenai

pengangkatan daan pemberhentian Kepala Badan Pertanahan Aceh dan

Kabupaten/Kota di Aceh. Namun, ketika sudah beralih menjadi Badan Pertanahan

Universitas Sumatera Utara


Aceh dan Kabupaten/Kota secara mutatis mutandis, maka yang berkaitan

administratif Badan Pertanahan Aceh dan Kabupaten/Kota, merujuk pada Pasal

111 UU No.11 Tahun 2006.

Implikasi terhadap substansi Pasal 6 dan Pasal 9 Perpres tersebut, Asisten I

Sekretariat Daerah Aceh, Iskandar A. Gani, menganggap Pemerintah Pusat belum

ikhlas dan “setengah hati” dalam pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh. Selain

itu, substansi tambahan dalam batang tubuh Perpres tersebut juga cenderung

mereduksi atau membatasi kewenangan Pemerintah Aceh. 614

Oleh karena itu, penetapan PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, yang sebagiannya belum ditetapkan dan belum sesuai dengan

UU No.11 Tahun 2006, maka dapat dikatakan jenis kualitas ketaatan hukum yang

dikatakan H.C Kelman adalah kecenderungannya bersifat identification, yaitu

karena kekhawatiran akan menganggu hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintahan Aceh di masa mendatang. Apalagi, dalam UU No.11 Tahun 2006

tidak mengatur perihal sanksi hukum bagi Pemerintah Pusat jika terlambat dalam

penetapan peraturan pelaksana tersebut. meskipun secara realitasnya,

keterlambatan tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum.

Inilah yang dikatakan Adam Podgorecki, agar suatu undang-undang,

berlaku efektif, maka:

“....di dalam menerapkan hukum sebagai sarana untuk mengadakan social


engineering diperlukan kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
a. Penggambaran yang baik situasi yang sedang dihadapi.

614
Anon, 2015, Perpres BPN Belum Sesuai dengan UUPA, Serambi Indonesia, 12 Maret
2015, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara


b. Melakukan analisis terhadap penilaian-penilaian tersebut kedalam tata
susunan yang hierarkis sifatnya. Dengan cara ini maka akan diperoleh
suatu pegangan atau pedoman, apakah penggunaan suatu sarana
menghasilkan sesuatu yang positif. Artinya, apakah sarana
penyembuhnya tidak lebih buruk daripada penyakitnya.
c. Verifikasi terhadap hipotesis-hipotesis yang diajukan. Artinya, apakah
sarana-sarana yang telah dipilih benar-benar akan menjamin tercapainya
tujuan-tujuan yang dikehendaki atau tidak.
d. Pengukuran terhadap efek-efek peraturan-peraturan yang diperlukan.
e. Identifikasi terahadap faktor-faktor yang akan dapat menetralisasi efek-
efek yang buruk dari peraturan-peraturan yang diperlakukan.
f. Pelembagaan peraturan-peraturan di dalam masyarakat, sehingga tujuan
pembaruan berhasil dicapai. 615

Sejalan dengan pendapat diatas, Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa

yang paling banyak menimbulkan permasalahan dan kadang-kadang juga

keresahan dikalangan masyarakat adalah tindak-tanduk dan kegiatan administrasi

negara, terlebih karena campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari makin luas. Oleh karena itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam

menjalankan tugas, fungsi dan kewajiban oleh administrasi negara adalah:

1) Effektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang

telah ditetapkan atau direncanakan;

2) Legitimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai

menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat

setempat atau lingkungan yang bersangkutan;

3) Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para

pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum

dalam arti luas;

615
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Loc., Cit., hlm. 146.

Universitas Sumatera Utara


4) Legalitas, merupakan syarat yang menayatakan bahwa tidak satupun

perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa

dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang dalam arti luas; bila

sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat”, maka kedaruratan

tersebut wajib dibuktikan dikemudian hari; bilamana tidak terbukti, maka

perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan;

5) Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh

masyarakat; moral dan etik umum maupun kedinasan wajib dijunjung

tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan,

kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan;

6) Effisiensi, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan

produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya;

7) Teknik dan Teknologi, yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk

mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-

baiknya. 616

Meskipun secara umum adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur ini,

merupkan hal positif bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh dalam

penetapan kebijakan administratif. Namun, kelemahannya dalam implementasi

konsultasi dan pertimbangan gubernur sebagian masih dirasakan kurang efektif.

Selain itu, dirasakan bahwa proses konsultasi dan pertimbangan gubernur juga

tidak efisien dalam menetapkan kebijakan administratif baik bagi Pemerintah

Pusat maupun Pemerintah Aceh.

616
Prajudi Atmosudidrjo, 1983, Loc., Cit., hlm. 79-80.

Universitas Sumatera Utara


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisien diartikan: 1) tepat atau sesuai

untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang

waktu, tenaga, biaya); 2) mampu menjalankan tugas dengan cepat dan cermat;

berdaya guna; bertepat guna; dan, sangkil. Sementara, efisiensi diartikan: 1)

ketetapan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak

membuang waktu, tenaga, biaya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; 2)

kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang

waktu, tenaga, biaya). 617 Oleh karenanya, efektivitas tidak dapat disamakan

dengan efisiensi, karena keduanya memilki arti yang berbeda walaupun dalam

berbagi pengunaan kata efisiensi lekat dengan kata efektivitas. Efisiensi

mengandung pengertian perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan

efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian tujuan.

Artinya, berdasarkan deskripsi di atas bahwa ketidakefisiensi konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat, karena

banyak waktu dan biaya yang digunakan baik oleh Tim Konsultasi Pemerintah

Aceh maupun Pemerintah Pusat. Terutama, pada frekwensi perjalanan dari Aceh

ke Jakarta atau sebaliknya yang mencapai sembilan tahun (2006-2015) dan

sebagian peraturan pelaksana tersebut juga belum seluruhnya ditetapkan. Namun,

di sisi lain, jika melihat hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh

pasca konflik dan untuk mewujudkan kelanjutan perdamaian Aceh (sustainable

Aceh peace), serta kepercayaan dan rasa keadilan bagi Aceh, maka konsultasi dan

pertimbangan gubernur menjadi niscaya.

617
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Loc., Cit., hlm. 352.

Universitas Sumatera Utara


Sesuai kutipan Mahfud, MD dalam suatu kaidah ushul fiqh, yaitu: “maa laa

yudraku kulluh laa yutraku julluh” (sesuatu yang tidak berhasil mengambil

seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). 618 Artinya, walaupun

pelaksanaan “konsultasi dan pertimbangan gubenrur” belum efisien tetapi jangan

sampai dihilangkan atau dicabut. Untuk itu, agar adanya perubahan kedepan dan

tercapai suatu efektivitas dan efisiensi pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan

gubernur, maka perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambat

pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut. Sehingga, kedepan

dapat dicari solusi serta dilaksanakan dengan baik dan maksimal.

D. Hambatan Pelaksanaan Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur


Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat yang Berkaitan
Langsung dengan Pemerintahan Aceh

Berdasarkan pandangan di atas, dengan adanya konsultasi dan pertimbangan

gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Aceh adalah suatu kelebihan sekaligus kemajuan

hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh. Namun demikian, bukan

berarti tidak ada kelemahan dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.

Realitasnya, implementasi kebijakan administratif Pemerintah Pusat, khususnya

penetapan terhadap 12 (dua belas) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, belum selesai ditetapkan.

Kelebihan adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur ini, pelaksanaan

kebijakan administratif Pemerintah Pusat terhadap penetapan sebagian peraturan

pelaksana UU No.11 Tahun 2006, yang substansinya mengatur atribusi

618
Mahfud, MD, 2006, Loc., Cit., hlm. 294.

Universitas Sumatera Utara


kewenangan kepada Pemerintahan Aceh menjadi terbuka dan dapat diterima oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Sehingga, pelaksanaanya lebih efektif

dan terbangunnya hubungan yang harmonis serta saling percaya antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Sehingga, jika substansi peraturan

pelaksana tersebut dapat diimplementasikan dengan baik oleh Pemerintahan Aceh

maka akan mengalami perubahan yang signifikan bagi kemajuan Aceh. Misalnya,

pelaksanaan terhadap PP No. 83 Tahun 2010.

Sebagaiman disebutkan dalam Pasal 4 PP No. 83 Tahun 2010, yaitu:

(1) Untuk memperlancar kegiatan pengembangan fungsi kawasan Sabang,


Pemerintah melimpahkan sebagian kewenangan di bidang perizinan
dan kewenangan lain kepada DKS.
(2) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, sesuai
dengan kewenangan yang dilimpahkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 PP tersebut, yaitu:

Kewenangan Pemerintah di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 meliputi kewenangan dalam bidang:
a. perdagangan;
b. perindustrian;
c. pertambangan dan energi;
d. perhubungan;
e. pariwisata;
f. kelautan dan perikanan; dan
g. penanaman modal.
Jika DKS dapat menjalankan kewenangan yang dilimpahkan tersebut, maka

untuk daerah Sabang secara khusus akan mengalami perubahan dan kemajuan

yang pesat sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Begitu juga, Aceh seacara umumnya, dengan dapat diimplementasikan

kewenangan sebagaimana Pasal 5 tersebut, tentu akan mengalami perubahan yang

Universitas Sumatera Utara


siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan dapat menciptakan lapangan kerja

bagi masyarakat Aceh sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran di Aceh.

Begitu juga terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010

tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri

(selanjutnya disebut Perpres Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau

Badan di Luar Negeri). Perpres ini memberi kewenangan kepada Pemerintah

Aceh untuk dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri

yang sudah mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sebagaimana

Pasal 4 perpres tersebut, yaitu: “Kerja sama dengan lembaga atau badan di luar

negeri, dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri

dari negara yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia”.

Namun demikian, bukan berarti tidak adanya kelemahan dalam pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut, terutama terhadap efisiensinya. Di

mana sejak dilakukannya konsultasi dan pertimbangan ini oleh Pemerintah Aceh

dengan Pemerintah Pusat dari tahun 2006- 2015, bahwa setiap satu peraturan

pelaksanaan tersebut, agar dapat diterima oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Aceh (Tim Konsultasi Pemerintah Aceh), maaka konsultasi dan pertimbangan

dilakukan sampai puluhan kali. Bahkan, jika dihitung dari 12 (dua belas),

peraturan peleksana UU No.11 Tahun 2006 tersebut, yang sudah dan sedang

ditetapkan, pertemuan konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut yang

dilakukan Pemerintah Pusat atau Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

Universitas Sumatera Utara


terkait lainnya (pemrakarsa) dengan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh sudah

mencapai ratusan kali. 619

Sehingga, dapat dipastikan penggunaan waktu dan biaya yang dikeluarkan

menjadi tidak efisien akibat berlarut-larutnya pertemuan konsultasi dan

pertimbangan tersebut. Begitu juga dengan implementasi sebagian PP dan Perpres

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh lainnya, ternyata masih ada

yang tersisa belum ditetapkan dan sebagaian susbstansi peraturan pelaksana

tersebut dianggap kontradiksi dengan UU No.11 Tahun 2006. Oleh karena itu,

perlu dikaji apa hambatannya di mana sudah memasuki 10 (sepuluh) tahun UU

No.11 Tahun 2006 belum semua peraturan pelaksanaannya diteapkan.

Selanjutnya, mencari solusi agar kedepan lebih efektif dan efisien.

Jika melihat proses konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, sebagaimana Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 Perpres No. 75

Tahun 2008, memang memungkinkan keterlambatan terhadap penetapannya.

Namun, kalau susbstansi kewenangan yang diatribusikan kepada Pemerintahan

Aceh dalam bentuk desentralisasi asimetris sebagaimana UU No.11 Tahun 2006,

telah dipahami oleh Pemerintah Pusat (pemrakarsa) dan Pemerintah Aceh (Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh), tentu saja tidak akan sampai melewati batas waktu

yang telah ditetapkan Pasal 271 UU No.11 Tahun 2006, yaitu dibentuk paling

lambat 2 (dua) tahun sejak disahkannya UU No.11 Tahun 2006.

619
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daaerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu, berdasarkan kajian dan wawancara yang penulis lakukan

menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi dan menghambat pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, antara

lain: 1) eksistensi UU No.11 Tahun 2006 sebagai peraturan khusus (lex

specialist); 2) perbedaan pemahaman antara Pemerintah Pusat (Pemrakarsa)

dengan Pemerintah Aceh terhadap substansi (materiil) UU No.11 Tahun 2006

sebagai lex specialist; 3); political will Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh; 4)

lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-RI; dan,

5) pergantian dan perubahan Tim Konsultasi Pemerintah Pusat (pemrakarsa dari

kementerian) dan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh. Sehingga, berimplikasi

terlambatnya penetapan 12 (dua belas) PP dan Perpres tersebut.

Pertama, faktor eksistensi UU No.11 Tahun 2006. Bahwa ada 2 (dua)

variabel keberadaan UU No.11 Tahun 2006 yang mempengaruhi terhadap

konsultasi dan pertimbangan gubernur: 1) dalam konteks pengaturan berkaitan

dengan pemerintahan dan politik di daerah merupakan suatu peraturan khusus (lex

specialist). Di mana tentu saja susbstansinya berbeda dengan pengaturan bagi

daerah-daerah yang lain sebagaimana di atur dalam UU No. 23 Tahun 2014. 2)

tidak dimasukkannya sanksi atau penalti jika peraturan pelaksana (PP dan Perpres

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh) tersebut terlambat

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sehingga, jika merujuk pendapat Achmad Ali, maka variabel kedua tersebut

sangat relevan, diantara faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan hukum, antara

Universitas Sumatera Utara


lain, adanya sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan

dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. 620 Realitasnya, dalam Pasal

271 UU No.11 Tahun 2006, hanya memerintahkan kepada Pemerintah Pusat

bahwa 2 (dua) tahun sesudah pengesahaan UU No.11 Tahun 2006 berkewajiban

meyelesaikan penetapan PP dan Perpres tersebut, tanpa menyebutkan sanksi atau

penalti jika penetapannya terlambat.

Kedua, yang menjadi hambatan dalam konsultasi dan pertimbangan

gubernur adalah berkaitan pemahaman antara Pemerintah Pusat (Pemrakarsa)

dengan Pemerintah Aceh terhadap substansi (materiil) UU No.11 Tahun 2006

sebagai lex specialist. Sebagaimana, disampaikan Gamawan Fauzi, mantan

Menteri Dalam Negeri era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, pada

pembahasan RPP tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di

Aceh – yang sekarang sudah ditetapkan menjadi PP No. 3 Tahun 2015 -- bahwa

isu krusial menjadi perdebatan dan sulit mencapai titik temu adalah terkait

pembagian hasil minyak lepas pantai dan pertanahan. Soal isu pertanahan, oleh

Pemerintah Pusat telah memberikan kewenangan bagi Pemerintah Aceh

mengelola 11 (sebelas) kewenangan. 621 Sementara, daerah lain hanya diberi 9

(sembilan) kewenangan. 622 Dalam 11 (sebelas) kewenangan yang diserahkan itu

juga terkait Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). 623

620
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 376-378.
621
1) izin lokasi; 2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 3) penyelesaian sengketa
tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5)
penetapan subyek dan obyjek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee; 6) penetapan tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah
kosong; 8) izin membuka tanah; 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota; 10)
Hak Guna Usaha (HGU); dan, 11) Hak Guna Bangunan (HGB).
622
1) izin lokasi; 2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 3) penyelesaian sengketa
tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5)

Universitas Sumatera Utara


Hal ini, sebagaimana juga disampaikan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah

Kemendagri, Djohermansyah Djohan, era Menteri Dalam Negeri, Gamawan

Fauzi, bahwa Pemerintah memberikan dua tambahan kewenangan terkait

pengelolaan pertanahan, yakni penetapan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna

Bangunan (HGB) kepada Pemerintah Aceh setelah dilakukan perundingan yang

cukup lama. Di mana sebelumnya Pemerintah Aceh minta semuanya yaitu, 21

(dua puluh satu) kewenangan bidang pertanahan. Dua kewenangan HGU dan

HGB tersebut diberikan sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab pemerintah

berdasarkan Perjanjian (MoU) Helsinki. Sementara itu, sembilan kewenangan lain

diberikan sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007. 624

Sedangkan, permasalahan terkait pembagian hasil minyak bumi dan gas

lepas pantai, sehingga penetapan PP-nya menjadi terhambat dan terlambat, karena

Pemerintah Pusat menawarkan pengelolaan di 12-200 Mil laut, dengan melibatkan

Aceh secara bersama-sama. Tetapi, Pemerintah Aceh meminta kewenangan

semuanya dikelola oleh Aceh. Permintaan inilah ditolak oleh Pemerintah Pusat,

karena tidak mungkin semua 200 Mil diserahkan kepada Aceh, karena melewati

itu merupkan ZEE (Zone Economi Exclusive). 625 Selanjutnya, Direktur Jenderal

penetapan subyek dan obyjek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee; 6) penetapan tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah
kosong; 8) izin membuka tanah; dan, 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
623
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-
diminta-berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 1 Januari
2015.
624
http://www.antaranews.com/berita/429650/aceh-dapat-tambahan-
kewenangan-pertanahan, di akses pada 1 Januari 2015.
625
http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-berbesar-
hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 15 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan,

menambahkan:

“bahwa Pemerintah Aceh setuju hanya mengelola minyak dan gas bumi
(migas) pada batas 12 mil dari garis pantai. Namun, mereka minta ikut
dilibatkan dalam mengelola migas di wilayah 200 mil perairan Aceh. Kalau
sampai 200 mil kan bukan surrounding (seperti diatur dalam MoU Helsinki)
lagi, tetapi, Aceh minta dilibatkan. Terdapat penafsiran yang berbeda antara
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat soal pengelolaan laut. Dalam MoU
Helsinki poin 1.3.3 terkait Bidang Ekonomi, Aceh akan memiliki
kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar
Aceh. Pemerintah Aceh menafsirkan klausul "di Sekitar Aceh" adalah
wilayah sejauh 200 mil dari garis pantai, sedangkan bagi pemerintah sejauh
12 mile”. 626

Sementara, menurt Farhan Hamid dan Mawardi Ismail, bahwa pernah dalam

proses ketika dilakukan konsultasi dan pertimbangan oleh kedua Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh dengan Tim Konsultasi Pemerintah (Pemrakarsa), bukannya

menyepakati terhadap pembahasan substansi PP dan Perpres. Malahan mereka

menyepakati bentuk pertemuan dari satu daerah ke daerah yang lain. 627 Pertemuan

pembahasan PP dan Perpres tersebut terkait juga dengan pembahasan Qanun Aceh

Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Di mana, terakhir kali

dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, di Bogor, Jawa Barat,

pada 23 Mei 2013 dan di Batam, Kepulauan Riau, 24 Mei 2013, selanjutnya di

Makassar dan terakhir di Aceh. 628

626
http://www.kemendagri.go.id/news/2014/04/17/pemerintah-aceh-minta-
ikut-kelola-migas-hingga-200-mil, di akses pada 10 Desember 2014.
627
Wawancara dengan Ahmad Farhan Hamid, Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan
Aceh, Anggota DPR RI Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009, serta Wakil Ketua MPR RI
Periode 2009-2014, pada 15 Desember 2014 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail, Mantan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh,
pada 5 Februari 2015.
628
http://m.liputan6.com/news/read/598629/mendagri-misalnya-garis-hitam-hilang-sudah-
tak-mirip-bendera-gam, di akses pada 1 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Artinya, berdasarkan beberapa pendapat di atas menunjuki terdapat

perbedaan pemahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh terhadap

substansi UU No.11 Tahun 2006, baik dalam konteks pertanahan maupun minyak

dan gas Aceh. Meskipun setelah beberapa kali konsultasi dan pertimbangan,

akhirnya Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat sepakat terhadap pemberian 11

(sebelas) kewenangan bidang pertanahan tersebut. Dilanjutkan dengan penetapan

PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015, tetapi jika melihat masa

penetapan ini sangat terlambat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan

pemahaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh terhadap substansi

kekhususan dan keistimewaan Aceh berkaitan pertanahan dan pengelolaan

minyak dan gas di wilayah Aceh.

Ketiga, faktor yang mempengaruhi atau menghambat pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur adalah political will (keinginan politik)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Sebagaimana dikatakan Ahmad Farhan

Hamid, salah satu hambatan implementasi berkaitan dengan pertanahan adalah

pihak BPN kurang merespon dengan baik terhadap pengalihan Kanwil BPN

menjadi BPA, menurutnya:

bahwa sejak awal Badan Pertanahan Nasional tidak merespon secara positif
soal pertanahan itu. "Walaupun di dalam UU tentang Pemerintah Daerah
pertanahan itu bagian yang diotonomikan, tapi faktanya Pemerintah Pusat,
tidak mau melepaskan ini," Dalam Undang Undang Pemerintah Aceh, kata
Farhan, secara tegas disebutkan yang diserahkan bukan hanya kewenangan
tetapi juga seluruh aset-aset BPN (Badan Pertanahan Nasional) di daerah.
Kantor itu mesti di dinaskan menjadi kantor di bawah Pemerintah Aceh.
Jadi pada masa Pak Joyo (mantan Kepala BPN Joyo Winoto) itu tidak ada
respon positif. 629

629
http://www.bpn.go.id/Berita/Berita-Pertanahan/ini-ganjalan-dalam-
rancangan-perpres-soal-pertanahan-turunan-uupa-28, di akses pada 1 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Seharusnya, dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Aceh dan penegakan hukum pasca konflik, terhadap perbedaan pandangan

tersebut tidak boleh terjadi apalagi sampai berlarut. Oleh karenanya, agar tidak

berulang kembali perselisahan dan terbangunnya hubungan harmonis antara

Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, maka dalam konteks politik dan

pemerintahan diperlukan political will yang baik antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan kewajiban masing-masing sebagaimana

UU No.11 Tahun 2006. Sedangkan, dalam konteks penegakan hukum, maka

diperlukan konsistensi dalam implementasi aturan hukum UU No.11 Tahun 2006.

Sebaliknya, jika tidak konsisten dikhawatirkan kedepan akan menimbulkan

permasalahan baru dan akan menganggu hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Aceh, serta law enforcement UU No.11 Tahun 2006.

Sebagaimana pendapat Achmad Ali, bahwa efektif atau tidak efektifnya

suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional

tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakan aturan hukum tersebut; mulai

dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang

mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi

dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus kongkret. 630 Sejalan

dengan itu, Soerjono Soekanto, mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi

sehingga berdampak positif atau negatif suatu hukum, antara lain, faktor

hukumnya sendiri dan penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

630
Achmad Ali, 2009, Loc., Cit., hlm. 376-378.

Universitas Sumatera Utara


maupun menerapkan hukum. 631 Oleh karenanya, berkaitan profesionalisme dan

penegakan hukum oleh Pemerintah Pusat, dihubungkan dengan pandangan Farhan

Hamid terhadap implementasi bidang pertanahan meskipun sudah ditetapkan

menjadi Perpres Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh

dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan

Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota, tetapi jika melihat masa penetapan ini

sangat terlambat.

Berhubungan dengan political will selain implementasi peraturan pelaksana

UU No.11 Tahun 2006, juga realisasi terhadap janji-janji Pemerintah Pusat

kepada Pemerintahan Aceh. Misalnya, terhadap janji pada saat kunjungan

Presiden Joko Widodo, pada 9-10 Maret 2015 ke Aceh. Pemerintah Pusat berjanji

kembali dan berkomitmen besar untuk menyelesaikan semua peraturan pelaksana

UU No.11 Tahun 2006. Namun, Presiden berharap agar Pemerintahan Aceh dapat

bersabar untuk penyelesaiannya. 632 Bahkan, Presiden bukan saja berjanji

menyelesaikan semua peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006, melainkan

akan membuat beberapa program pemerintahan lainnya, seperti, pembangunan

jalan tol lintas Sumatera yang dimulai dari Aceh, perpanjangan landasan pacu

(runway) beberapa bandara, pembangunan jalur kereta api, dan pembangunan

terowongan di Gunung Geurutee, Aceh Jaya. Namun, Nasir Djamil, Anggota

DPR-RI mengingatkan bahwa pengalaman beberapa presiden sebelumnya, tidak

631
Sorjono Soekanto, 2010, Loc, Cit., hlm. 8-9.
632
Anon, 2015, Komit Tuntaskan Turunan UUPA, Serambi Indonesia, 10 Maret 2015, hlm.
1.

Universitas Sumatera Utara


semua janji-janji itu direalisasikan. Sehingga, oleh Pemerintahan Aceh perlu

mengawal mengawal agar dapat direalisasikan. 633

Sehingga, agar tidak terhambatnya pelaksanaan Pemerintahan Aceh kedepan

diharapkan pasca penetapan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006 tersebut,

Pemerintah Pusat konsisten dan adanya keinginan baik (political will), bukan

hanya membuat janji-janji, tetapi, dapat mengimplementasikan kewajibannya

sebagaimana diatur UU No.11 Tahun 2006 dan peraturan pelaksanaanya. Begitu

juga dengan Pemerintah Aceh, meskipun Aceh sebagai daerah yang berlaku

otonomi khusus (desentralisasi asimetris), sayogianya juga memahami hubungan

pemerintahan dalam konteks negara kesatuan. Di mana sebagaimana telah

diuraikan pada Bab III, bahwa salah satu mekanisme hubungan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah adanya pengawasan Pemerintah Pusat

kepada Pemerintahan daerah, di mana mengandung pembatasan terhadap

kebebasan daerah. Hal ini, termasuk juga dalam hubungan Pemerintah Pusat

dengan Pemerintahan Aceh, dalam konteks desentralisasi asimetris..

Bentuk pengawasan tersebut yaitu, bahwa Pemerintah Pusat berwenang

melakukan baik dalam bentuk pengawasan preventif maupun pengawasan

represif. Maksud pengawasan prefentif, yaitu pengawasan yang bersifat mencegah

agar pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian operasional

adalah pengawasan terhadap pemerintahan daerah agar pemerintahan daerah tidak

menetapkan kebijakan yang bertentangan kepentingan umum dan peraturan

633
Nasir Djamil, 2015, Nasir Djamil: Janji Jokowi Harus Dikawal, Serambi Indonesia, 12
Maret 2015, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


perundang-undangan yang lebih tinggi atau perundang-undangan lainnya.

Sedangkan, pengawasan represif, yaitu pengawasan yang berupa penangguhan

atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah, baik berupa

Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, maupun

Keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pengawasan ini berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan daerah

yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-

undangan lainnya. 634

Sebagaimana disebutkan, dalam Pasal 249 UU No.11 Tahun 2006, yaitu:

“Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan

pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya, dalam Pasal 7 huruf b PP No. 3

Tahun 2015, disebutkan: bahwa kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan

dalam bentuk: fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan

pemerintahan daerah di Aceh. Kemudian, juga diatur dalam Pasal 5 Perpres No.

23 Tahun 2015: “Pemerintah melakukan fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan

atas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di bidang pertanahan di Aceh

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Oleh karenanya, sebagaimana dikatakan Bagir Manan, bahwa ditinjau dari

hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pengawasan merupkan

“pengikat” kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu

jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan (unitary). Begitu juga,

634
Hanif Nurcholis, 2005, Loc., Cit., hlm. 196.

Universitas Sumatera Utara


apabila “pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, nafas kebebasan desentralisasi

akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal ini terjadi, pengawasan

bukan lagi merupkan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi “pembelenggu”

desentralisasi. 635

Untuk itu, dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh

konteks desentralisasi asimetris diharapkan dengan pengawasan tersebut

terwujudnya keseimbangan implementasi pemerintahan. Di mana dapat

membatasi agar Pemerintahan Aceh tidak bergerak jauh sehingga mengancam

NKRI. Sebaliknya, juga pengawasan ini tidak dijadikan sebagai penghambat oleh

Pemerintah Pusat sehingga terhentinya pelaksanaan desentralisasi asimetris di

Aceh, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18B UUD RI 1945.

Keempat, lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus dari DPR-

RI. Di mana sejak disahkan UU No.11 Tahun 2006, untuk pengawasan terhadap

implementasinya baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Aceh, pihak DPR-RI telah membentuk Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh

(dan Papua). Namun, pengawasan dari Tim Pemantau Otonomi Khusus ini belum

optimal. Hal ini dapat dilihat meskipun sudah memasuki 10 (sepuluh) tahun UU

No.11 Tahun 2006, belum semua peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tetapi belum ada panggilan dan pengawasan

secara maksimal dari pihak DPR-RI dalam konteks cheks and balances terhadap

kinerja Pemerintah.

635
Bagir Manan, 1994, Loc., Cit., hlm. 181.

Universitas Sumatera Utara


Bahkan, selama ini ternyata pemantauan oleh Tim Pemantau Otonomi

Khusus Aceh tersebut cenderung statis dan tidak berjalan dengan maksimal. Hal

ini, mengacu pada pendangan Firmandez, anggota Komisi I DPR-RI, yang

mengatakan setelah ditetapkan PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No.23 Tahun

2015, bahwa akan membentuk dan menghidupkan kembali Tim Pemantau

Otonomi Khusus Aceh, untuk mengawasi implementasi UU No.11 Tahun

2006. 636 Artinya, dapat dikatakan selama ini Tim Pemantau ini tidak melakukan

pemantau dengan baik bahkan cenderung tidak melakukan pemantauan. Oleh

karenanya, wajar adanya kekhawatiran keterlambatan penetapan PP dan Perpres

yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, salah satunya karena tidak

optimalnya pemantauan dari DPR-RI.

Kelima, yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan konsultasi dan

pertimbangan adalah adanya perubahan dan penggantian Tim Konsultasi

Pemerintah Pusat (Kementerian) dan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh. Sejak

dimulainya proses konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan

administratif Pemerintah Pusat, pada tahun 2006, Pemerintah Pusat telah

membentuk Tim Konsultasinya yang diketuai Kementerian Dalam Negeri dan

kementerian terkait lainnya. Sedangkan, dari Pemerintah Aceh membentuk Tim

Konsultasi diketuai Sekretaris Daerah dan anggota-anggotanya dari birokrat

Pemerintah Aceh, akademisi, praktisi, dan LSM. Dalam perjalanannya dalam

setiap pertemuan pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan, sejak tahun 2006-

2015 kedua Tim Konsultasi baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh

636
Anon, 2015, DPR dan DPD Awasi Implementasi UUPA, Serambi Indonesia, 3 Februari
2015, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


sering terjadi pergantian personil Tim Konsultasi. Sehingga, setiap pembahasan

substansi berlarut-larut akibat tidak adanya persamaan pemahaman.

Sebagaimana disampaikan, Setia Budi dan Mawardi Ismail, selaku Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh, bahwa pada saat dilakukan konsultasi dan

pertimbangan terhadap beberapa PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, pada masa Gubernur Irwandi Yusuf, Pemerintah Aceh telah

membentuk Tim Konsultasi Pemerintah Aceh yang diketuai oleh Sekretaris

Daerah Aceh dan anggota-anggotanya terdiri dari birokrat Pemerintah Aceh,

akademisi, praktisi dan LSM. Di mana sebagian mereka sudah memahami

substansi kebijakan administratif, UU No.11 Tahun 2006 dan peraturan

perundang-undangan lainnya. Selanjutnya, telah terbangunnya komunikasi yang

baik berkaitan dengan substansi PP dan Perpres tersebut antara Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh dengan Pemrakarsa (Kementerian) dikoordinatori oleh

Kementerian Dalam Negeri. 637

Namun, pada akhir tahun 2010 menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh, proses konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap sisa beberapa PP dan Perpres, pembahasan

mengalami penundaan. Sehingga, pasca Pilkada tahun 2012 dan pergantian

Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, dari Irwandi Yusuf/Muhammad Nazar, kepada

Zaini Abdullah/Muzakir Manaf, maka Tim Konsultasi Pemerintah Aceh juga

diganti. Selanjutnya, Pemrakarsa (Kementerian) juga demikian sebagian anggota-

637
Wawancara dengan Setia Budi, Sekretaris Daerah Aceh, periode 2010-2012 dan Ketua
Tim Konsultasi Pemerintah Aceh, pada 4 Februari 2015 dan Wawancara dengan Mawardi Ismail,
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan anggota Tim Konsultasi Pemerintah
Aceh, pada 5 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


anggota Tim Konsultasi dari Pemerintah Pusat juga diganti. Sehingga,

pembahasan substansi PP dan Perpres yang sudah dibahas sebelumnya, terpaksa

di bahas kembali dari awal sehingga menjadi berlarut-larut. Bahkan, penetapan PP

No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015, sebagian besar substansinya

merupakan hasil konsultasi dan pertimbangan yang dilakukan oleh Tim


638
Konsultasi Pemerintah Aceh, era Gubernur Irwandi Yusuf.

Relevansi dengan beberapa hambatan dan belum optimalnya proses

pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur, sebagaimana penulis

sampaikan di atas, oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dari perspektif implikasi

mengatakan, ada 5 (lima) faktor penyebab keterlambatan pembuatan regulasii (PP

dan Perpres) tersebut, yaitu: 1) karena proses pembahasan sangat terlambat dan

berlarut-larut; 2) pejabat pemerintah pusat yang ditunjuk dalam proses

pembahasan tidak diberi kewenangan penuh untuk mengambil keputusan serta

harus banyak birokasi yang dilalui sehingga lahirnya sebuah keputusan yang

tegas; 3) pada umumnya pejabat Pemerintah Pusat yang menangani masalah yang

dibahas, kurang mengetahui dan memahami kekhususan dan keistimewaan Aceh;

4) pejabat Pemerintah Pusat juga cendrung bersikap ego sektoral dan tidak

mengindahkan kekhususan dan keistimewaan Aceh; dan, 5) bisa jadi penyelesaian

masalah Aceh tidak lagi dianggap penting oleh pihak Pemerintah Pusat. 639

Berdasarkan pendapat gubernur Aceh tersebut, gubernur cenderung melihat

dari sudut pandang kelemahan Pemerintah Pusat (pemrakarsa/kementerian).

638
Ibid.
639
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/01/24/74972/turunan-
uupa-yang-disahkan-sangat-minim/#.VRf8d_BfLIU, di akses pada 10 Februari 2015.

Universitas Sumatera Utara


Padahal, disamping adanyan kelemahan dari Pemerintah Pusat, juga ada pada

Pemerintah Aceh, khususnya berkaitan penggantian dan perubahan Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh, sehingga menjadi salah satu penghambat proses

konsultasi dan pertimbangan gubernur. Di mana dengan tidak melibatkan dan

digantinya anggota-anggota Tim Konsultasi Pemerintah Aceh yang sudah pernah

terbentuk pada masa Gubernur Irwandi Yusuf dan dibentuknya Tim Konsultasi

Pemerintah Aceh yang baru, menjadikaan kesepakatan terhadap substansi

sebelumnya harus dibahas kembali.

Setelah ditemukan beberapa hambatan dalam proses konsultasi dan

pertimbangan gubernur tehadap pembentukan PP dan Perpres yang berkaitan

dengan Pemerintahan Aceh tersebut, ternyata juga telah menimbulkan

permasalahan yang baru pasca penetapan PP dan Perpres tersebut. Terutama pasca

penetapan PP No. 3 Tahun 2015 dan Perpres No. 23 Tahun 2015. Bahwa

eksistensi PP dan Perpres tersebut telah menyebabkan ketidakpastian hukum

dalam implementasi UU No.11 Tahun 2006.

Di antara substansi yang bermasalah dan tidak sinkron dengan UU No.11

Tahun 2006 adalah terhadap Pasal 6 dan Pasal 9 Perpres Pengalihan Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh

Kabupaten/Kota, menyebutkan: Kepala Badan Pertanahan Aceh dan Kepala

Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul

Gubernur Aceh. Padahal, Pasal 3 ayat (1) Perpres tersebut, menyebutkan, Kantor

Universitas Sumatera Utara


Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Aceh dialihkan menjadi BPA.

Oleh karena itu, sayogianya sebagai lembaga daerah Aceh sistem administrasi

BPA mengikuti Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) UU No.11 Tahun 2006,

disebutkan: bahwa Kepala Badan atau Kantor Aceh diangkat dan diberhentikan

oleh Gubernur atas usul sekda Aceh dan Kepala Badan atau Kantor

kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota atas usul sekda

kabupaten/kota.

Selanjutnya, juga akan bermasalah dikemudian hari eksistensi Pegawai

Negeri Sipil (PNS) pada BPA. Sebagaimana Pasal 10 Perpres, disebutkan:

(1) Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kantor wilayah Badan Pertanahan


Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat beralih
menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah.
(2) Sebelum beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah, Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kesempatan untuk memilih status kepegawaian sebagai Pegawai
Negeri Sipil Pusat atau Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terbentuknya Badan
Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.
(3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memilih status
kepegawaiannya, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tetap
berstatus Pegawai Negeri Sipil Pusat.
(4) Pengalihan status kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ayat (3) di atas, kemungkinan kedepan akan bermasalah

kedudukannya secara administratif, salah satunya berkaitan dengan manajemen

pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, menurut Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan:

Manajemen Pegawai Negeri Sipil pada instansi pusat dilaksanakan oleh

pemerintah pusat dan pada instansi daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Universitas Sumatera Utara


Lalu, bagaimana manajemen PNS pusat yang berada pada BPA yang sudah

menjadi instansi daerah, jika terjadi ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan.

Selain ketidaksinkronan pada Perpres Pengalihan Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi

Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota dengan UU

No.11 Tahun 2006, juga adanya kesalahan teknik penyusunan materiil PP No. 3

Tahun 2015. Dalam Pasal 4 huruf bb dan huruf cc, disebutkan: kewenangan

Pemerintah dalam urusan pemerintahan yang bersifat nasional di Aceh meliputi:

bb. kehutanan; dan cc. energi dan sumber daya mineral. Sedangkan, dalam Pasal 5

ayat (1), disebutkan: kewenangan Pemerintah di bidang energi dan sumber daya

mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf bb pada sub-bidang minyak

dan gas bumi hanya untuk kegiatan usaha hilir”. Seharusnya disebutkan: “Pasal 4

huruf cc”, bukan “Pasal 4 huruf bb”.

Konsekuensinya, keberadaan PP dan Perpres tersebut menjadi tidak ada

kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Padahal dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan: "Asas

Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan Penyelenggara Negara.

Bukankah, kepatuhan terhadap norma hukum adalah bukti bahwa adanya

keinginan untuk menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan Negara.

Sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan

Universitas Sumatera Utara


yang baik dan bersih tidak didukung dengan penghormatan terhadap norma

hukum yang telah disepakati sebagai kaedah landasan hokum. Oleh karena itu,

kepastian hukum adalah prinsip yang harus dipelihara. 640 Oleh karena itu, sudah

benar pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional, Ferry Mursyidan Baldan, bahwa siap mendialogkan pasal-pasal Perpres

Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor

Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota yang diaanggap belum sesuai dengan UU

No.11 Tahun 2006. Sebaliknya, terhadap pasal-pasal yang sudah sesuai dapat

dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh. 641

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan,

yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan

keadilan (gerechttigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat berharap adanya kepastian

hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib.

Sebaliknya, hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

sampai karena hukum dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan masyarakat

dalam masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berharap dalam penegakan hukum

keadilan harus diperhatikan. 642

640
Saldi Isra, 2006, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Andalas University Press, Padang, hlm. 225.
641
Anon, 2015, Pusat Siap Dialog Bahas Perpres Pertanahan, Serambi Indoneisa, 16 April
2015, hlm. 6.
642
Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, hlm. 1-2.

Universitas Sumatera Utara


Berkaitan dengan ketidaksinkronan antara PP dan Perpres dengan UU

No.11 Tahun 2006, maka dapat dikatakan belum adanya kepastian hukum.

Padahal, sebagaimana telah disebutkan Solly Lubis, bahwa kepastian hukum perlu

adanya kejelasan peraturan hukum mengenai hak, kewajiban dan status seseorang

atau suatu badan hukum. Sedangkan, ketidakpastian hukum atau kabur, antara

lain: 1) ada peraturan hukumnya, tetapi tidak jelas pengertiannya dan

mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda; dan, 2) terdapat

pertentangan isi diantara sesama aturan hukum baik aturan setingkat maupun yang

tidak sama tingkatannya, sehingga membingungkan masyarakat. 643 Soerjono

Soekanto, menambahkan bahwa gangguan penegakan hukum selain itu juga

karena: 1) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang; 2) belum adanya

peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang;

dan, 3) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang berakibat

kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. 644

Oleh karena itu, pasca penetapan PP dan Perpres tersebut diharapkan

beberapa kelemahan yang ada pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar

dapat diminimalisir. Apalagi, masih ada beberapa PP yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Sehingga,

proses konsultasi dan pertimbangan gubernur akan terus perlu dilakukan oleh Tim

Konsultasi Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Ditambah lagi, jika selesai

penetapan ke 12 (dua belas) PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh. Dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat di Aceh


643
Solly Lubis, 2011, Loc., Cit., hlm. 54-55.
644
Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 17-18.

Universitas Sumatera Utara


juga akan menetapkan Kebijakan, 645 Norma, 646 Standar, 647 Prosedur,648 dan

Kriteria. 649 Selanjutnya, fasilitasi,650 pembinaan, dan pengawasan, sebagaimana

Pasal 7 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan:

Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,


diselenggarakan dalam bentuk:

a. penetapan Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang


berlaku di Aceh oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non
kementerian.
b. fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Aceh; dan
c. pelaksanaan urusan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Selanjutnya, dalam Pasal 9, disebutkan:

Penetapan Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria


penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 huruf a, dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non
kementerian melalui:
a. koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri; dan
b. konsultasi dan pertimbangan Gubernur serta memperhatikan kekhususan
dan keistimewaan Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Begitu juga, berkaitan dengan kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga

atau badan di luar negeri, harus mengikuti standar, dan prosedur yang telah

645
Pasal 1 angka 14 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Kebijakan adalah kewenangan
Pemerintah untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan, pengawasan dan pelaksanaan
urusan pemerintahan yang bersifat nasional”.
646
Pasal 1 angka 15 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Norma adalah aturan atau
ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
647
Pasal 1 angka 16 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Standar adalah acuan yang dipakai
sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
648
Pasal 1 angka 17 PP No. 3 Tahun 2015, disebutkan: “Prosedur adalah metode atau tata
cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
649
Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015, disebutkan: “Kriteria
adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
650
Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015, disebutkan: “Fasilitasi
adalah penyediaan fasilitas berupa sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah di Aceh”.

Universitas Sumatera Utara


ditetapkan secara nasional. Sebagaimana Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 11

Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di

Luar Negeri, disebutkan: bahwa prinsip kerja sama dilaksanakan dengan

berpedoman pada standar dan prosedur yang berlaku secara nasional sesuai

dengan bidang kerjasama.

Artinya, walaupun Pemerintah Pusat telah mengatribusikan kewenangan

kepada Pemerintah Aceh dalam konteks desentralisasi asimetris (otonomi

khusus), namun Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan secara nasional di

Aceh menetapkan dalam bentuk Kebijakan, Norma, Standar, Prosedur, dan

Kriteria, serta fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan

pemerintahan daerah di Aceh. Oleh karenanya, agar bentuk kewenangan tersebut

tidak menjadi hambatan dan permasalahan hubungan antara Pemerintah Pusat

dengan Pemerintahan Aceh, maka keniscayaan konsultasi dan pertimbangan

gubernur ini perlu terus dipertahankan dan tidak dicabut oleh Pemerintah Pusat.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

merupakan kewenangan khusus Pemerintah Aceh (gubernur), yang

merupakan tuntutan rakyat Aceh yang diatribusikan kepada gubernur

Aceh. Sebagaimana disepakati dalam poin 1.1.2. huruf d, MoU Helsinki,

dengan nomenklatur “konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah

Aceh”. Setelah dimasukkan dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.11 Tahun

2006, diganti menjadi “konsultasi dan pertimbangan Gubernur”.

Perubahan nomenklatur ini disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah

dengan alasan bahwa dalam negara kesatuan otoritas pemerintahan ada

pada Pemerintah Pusat (Presiden).

Permintaan kewenangan ini dapat dilihat secara filosofis, politis,

sosiologis, dan yuridis. Pertama, secara filosofis dapat dipahami bahwa

Pancasila mengakui adanya keberagaman dalam semboyan Bhineka

Tunggal Ika. Prinsip, dalm konteks “konsultasi dan pertimbangan

gubernur” dapat dipahami juga merupakan maksud dari

“permusyawaratan”, dalam sila keempat Pancasila. Kedua, secara politis

pengalaman masa Orde Lama, disharmonisasi antara Pemerintah Pusat

dengan Aceh akibat dileburkannya Provinsi Aceh ke dalam provinsi

Sumatera Utara dan tidak diperkuatkannya pengaturan tentang syari’at

Universitas Sumatera Utara


Islam. Selanjutnya, era Orde Baru dan Orde Reformasi karena

inkonsistensi Pemerintah Pusat terhadap implementasi kewenangan

Pemerintahan Aceh yang diatur dalam UU No.44 Tahun 1999, UU

No.36 Tahun 2000, dan UU No.18 Tahun 2001. Ketiga secara

sosiologis, adanya tuntutan masyarakat Aceh agar terwujudnya

perdamaian di Aceh pasca konflik sejak tahun 1976-2005. Selanjutnya,

keempat secara moril dengan adanya kesepakatan kesepahaman antara

Pemerintah Pusat dan GAM dalam MoU Helsinki, untuk memasukan

materi “konsultasi dan persetujuan kepala daerah”. yang dalam UU

No.11 Tahun 2006 menjadi “konsultasi dan pertimbangan gubernur”.

Secara khusus atribusi kewenangan konsultasi dan pertimbangan

gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat tujuannya

agar terbangun rasa saling percaya antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Aceh dan terwujudnya rasa keadilan bagi rakyat Aceh,

agar kewenangan yang sudah diberikan tidak ditarik kembali, tanpa

diketahui oleh Pemerintah dan rakyat Aceh. Agar tidak lagi

menimbulkan persepsi negatif kepada Pemerintah Pusat sebagaimana

masa Orde Lama, dan Orde Baru, maka setiap kebijakan administratif

Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh,

perlu diberikan kewenangan khusus kepada gubernur untuk

dilaksanakna melalui konsultasi dan pertimbangan gubernur.

Pengaturan perlu adanya konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung

Universitas Sumatera Utara


dengan Pemerintahan Aceh, menjadi forum fasilitasi antara Pemerintah

Pusat dengan Pemerintahan Aceh. Sehingga, dengan forum ini

keberadaan dan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh

(Pemerintah daerah) menjadi seimbang. Kewenangan ini juga

membuktikan bahwa NKRI sebagai negara hukum telah menjujung

tinggi nilai-nilai keadilan, dan persamaan di depan hukum (equality

before the law). Keberadaan forum konsultasi dan pertimbangan

gubernur ini, menyerupai keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) yang mempertemukan antara Pemerintah dan masyarakat dalam

satu forum pengadilan, yang keberadaannya tidak seimbang antara

pemerintah dan masyarakat.

2. Atribusi kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap

kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh tidak kontradiksi dengan UUD RI 1945 dan

UU No.23 Tahun 2014, peraturan perundang-undangan lainnya dan

asas-asas hukum, sebagimana asas lex specialist derógate legi generali.

Bahkan sesuai dengan prinsip Pancasila yang mengakui adanya

keberagaman daerah sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Pelaksanaan kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur Aceh

terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat, khusus yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Sementara, kebijakan

lainnya dan kewenangan pelaksanaan kebijakan administratif masih

berada pada Pemerintah Pusat secara absolut.

Universitas Sumatera Utara


Substansi kekhususan ini sebagian besar diadopsi dari UU No. 44 Tahun

1999, UUNo.18 Tahun 2001, dan UU No.21 Tahun 2001, dan UU

No.32 Tahun 2004. Sehingga, secara prinsipil masih sesuai dan tidak

kontradiksi dengan UUD RI 1945, sebagaimana Pasal 18B ayat (1)

UUD RI 1945, bahwa konstitusi mengakui satuan daerah khusus atau

daerah istimewa.

Dalam konteks desentralisasi asimetris (otonomi khusus), kewenangan

khusus yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Aceh,

suatu keharusan dalam konteks kebhinekaan. Sebagaimana pelaksanaan

dalam konsep desentralisasi asimetris yang dijumpai di negara-negara

lain di dunia ini.

Berdasarkan kemajemukan negara Indonesia atau dasar-dasar yang lain,

desentralisasi bukan sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi,

tetapi desentralisasi tidak terlepas dari tujuan membentuk Pemerintah

NKRI yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

Namun demikian, pengaturan kewenangan Pemerintahan Aceh dalam

UU No.11 Tahun 2006, sebagian belum sinkron, bahkan melemahkan

eksistensi UU No.11 Tahun 2006 dibandingkan dengan UU No.32

Tahun 2004 yang diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014, seperti

pemekaran wilayah di Aceh, syarat administratif hanya dengan

konsultasi dan pertimbangan gubernur Aceh, bukan persetujuan atau

Universitas Sumatera Utara


rekomendasi. Dalam UU No.23 Tahun 2014 dilakukan melalui

persetujuan gubernur dan DPRD provinsi.

3. Hambatan pelaksanaan konsultasi dan pertimbangan gubernur, yaitu:

pertama, adanya perbedaan pemahaman atau persepsi antara Pemerintah

Pusat (Pemrakarsa) dengan Pemerintah Aceh (gubernur) terhadap

substansi UU No.11 Tahun 2006 sebagai undang-undang khusus (lex

specialist), antara lain: terhadap pembagian wewenang pengelolaan

bidang pertanahan dan sumber daya minyak bumi dan gas di wilayah

Aceh; kedua, tidak diatur sanksi atau pinalti dalam UU No. 11 Tahun

2006 terhadap keterlambatan pelaksanaan kebijakan administratif

Pemerintah Pusat;

Ketiga, perbedaan pemahaman antara Pemerintah Pusat (Pemrakarsa)

dengan Pemerintah Aceh terhadap substansi UU No.11 Tahun 2006,

terutama berhubungan dengan pembagian wewenang pengelolaan

bidang pertanahan dan sumber daya minyak bumi dan gas di wilayah

Aceh. Sehingga mengakibatkan penetapan PP dan Perpres yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh menjadi terlambat.

Keempat, faktor yang mempengaruhi atau menghambat pelaksanaan

konsultasi dan pertimbangan gubernur adalah kurangnya political will

(keinginan politik) Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh dalam

menjalan substansi UU No.11 Tahun 2006 secara cepat dan tepat.

Universitas Sumatera Utara


Kelimat, lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh

dari DPR-RI, untuk pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi

UU No.11 Tahun 2006 baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Aceh. Bahkan, selama ini Tim Pemantau Otonomi Khusus

Aceh tersebut cenderung tidak berjalan dengan baik dan statis.

Keenam, factor perubahan dan penggantian Tim Konsultasi Pemerintah

Pusat (Kementerian/pemrakarsa) dan Tim Konsultasi Pemerintah Aceh.

Sehingga, setiap pembahasan substansi (materiil) menjadi berlarut-larut

akibat tidak adanya pemahaman latar belakang substansi dan bentuk

keistimewaan dan kekhususan Aceh diantara Tim Konsultasi tersebut.

B. Saran

1. Disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar

mempertahankan dan tidak mencabut kewenangan konsultasi dan

pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah

Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, melalui

penyederhanaan proses konsultasi dan pertimbangan sehingga lebih

efektif dan efisien dan menghasilkan proses yang berkualitas. Kemudian,

kedepan pembentukan Tim Konsultasi baik dari Pemerintah Pusat

maupun Tim Konsultasi Pemerintah Aceh dibentuk sebagai Tim Ad-Hoc,

dan tim tersebut yang memahami kekhususan UU No.11 Tahun 2006.

2. Diperlukan political will yang baik serta konsistensi Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan kewajiban masing-masing

Universitas Sumatera Utara


sebagaimana perintah UU No.11 Tahun 2006. Sehingga, tidak berulang

perselisihan dan disharmonisasi hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Aceh. Kemudian, perlu adanya keseriusan dan konsistensi

Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh, dari DPR-RI, terhadap

pengawasan dan pemantauan implementasi kekhususan dan

keistimewaan Aceh.

3. Pasca penetapan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2006 ke dalam PP

dan Perpres yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, maka

Pemerintah Aceh agar dapat segera membentuk qanun-qanun dan

melaksanakannya sesuai UU No.11 Tahun 2006. Selanjutnya, dalam

melaksanakan kewenangan-kewenangan yang sudah diatribusikan agar

menerapkan persamaan hak kepada seluruh rakyat Aceh dan menghindari

korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk mewujudkan keberlanjutan

perdamaian dan kesejahteraan seluruh rakyat Aceh dalam NKRI.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta.

Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprodudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media, Jakarta.

----------------, dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kaajian Empiris terhadap


Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 141-142

Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia,


Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta,
Kemitraan, Jakarta.

Ahmad Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Naanggroe Endatu, Catatan Seorang
Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta.

Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Amrizal J. Prang, 2007, Aceh dari Konflik ke Damai, Bandar Publishing, Banda
Aceh.

----------------------, 2012, Eksistensi Wali Nanggroe dalam Konteks Demokrasi


Aceh, dalam Demokrasi Dalam Gugatan: Pengalaman Aceh, Bandar
Publishing, Banda Aceh.

Andi Alfian Malaranggeng, dkk, 2001, Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan
Praktis, Cetakan Kedua, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Anthony Reid, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur
Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Terjemahan, The Contest
for North Sumatra Acheh, the Nedherlands and Britain 1858-1898, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung.

A.V. Dicey, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Terjemahan dari


Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Nusamedia,
Bandung.

Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences


from India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell
International.

Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

----------------, dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata


Negara Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung.

Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika,


Jakarta.

B. Arief Sidharta, 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,


Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Bewa Ragawino, 2006, Hukum Adminstrasi Negara, Buku Ajar: Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Padjajaran, Bandung.

Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum,Utomo, Bandung.

C.F Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan


tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari
Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of
Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.

C.S.T. Kansil, 1983, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia,


Jakarta.

-----------------, dan Christine ST. Kansil, 2002, Pemerintahan Daerah di


Indonesia, Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, Sinar Grafika, Jakarta.

Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Denys Lombard, 2008, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Terjemahan, Le Sultanat d’Atjeh au Temps d’Iskandar Muda (1607-
1636), Cetakan Ketiga, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Didik Sukriono, 2013, Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik
Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan
Konstitusi, Setara Press, Malang.

Edward Aspinall, 2005, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for
Peace in Aceh, East-West Centre Washington, Washington, DC.

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakaarta.

Farhan Hamid, 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil
Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta.

Farid Husain, 2011, Keeping the Trust for Peace Kisah dan Kiat
Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Rajut Publishing, Jakarta.

F. Isjwara, 1974, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kelima, Binacipta, Bandung.

Hamid Awaluddin, 2009, Peace in Aceh Notes on the Peace Process between the
Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki,
Kanisius, Yogyakarta.

Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta.

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari
General Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung.

Hari Kawilarang, 2008, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar
Publishing, Banda Aceh.

Hasan Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Bertarung untuk Kepentingan


Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta.

Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,


Bandung.

Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Edisi Ketiga,


Cavendish Limited, London.

H.M. Zainuddin, 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda,
Medan.

Universitas Sumatera Utara


I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung.

Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum,


RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat


Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, terjemahan dari Rechtsvinding, Jendela


Mas Pustaka, Bandung.

Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi,


Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of
Legislation, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.

Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran


Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII, Yogyakarta.

------------------, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif


Watampone, Jakarta.

-------------------, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta.

-------------------, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

J.J. von Schmid, 1979, Pemikiram tentang Negara dan Hukum Dalam Abad
Kesembilan Belas, terjemahan dari Het Denken Over Staat en Recht in De
Negentiende Eeuw, Cetakn Ketiga, PT. Pembangunan, Jakarta.

John Rawls, 2011, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk


Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Cetakan Kedua,
terjemahan dari A Theory of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kaelan, 2012, Problem Epistemologis, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara,


Paradigma, Yogyakarta.

------------, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis,


Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta.

K. Ramanathan, 2003, Asas Sains Politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor,
Malaysia.

Universitas Sumatera Utara


Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan
dari The Legal System: A Social Science Perspective, Cetakan Kedua, Nusa
Media, Bandung.

Leo Agustino, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.

Mahfud, MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yoyakarta.

--------------, 2001, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta.

----------------, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka


LP3ES, Jakarta.

Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanasius, Yogyakarta.

Michelle Ann Miller, 2008, Konflik di Aceh, Konteks, Pemicu Katalis, dalam
Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh, Conciliation Resources,
London.

Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, GramediaPustaka


Utama, Jakaarta.

M. Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.

M. Solly Lubis, 1975, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan


Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung.

-------------------, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.

------------------, 2011, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar Maju,


Bandung.

--------------------, 2011, Serba-serbi Politik dan Hukum, Edisi 2, Sofmedia,


Jakarta.

-------------------, 2012, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Jakarta.

Muhammad Said, 1981, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Waspada, Medan.

---------------------, 1985, Aceh Sepanjang Abad, jilid II, Waspada, Medan.

Universitas Sumatera Utara


Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid
I, Jajasan Prapantja, Jakarta.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul


Islam, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

------------------------, 1999, Revolusi di Serambi Mekah, Perjuangan Kemerdekaan


dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, UI-Press, Jakarta.

Ni’matul Huda, 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perbedaan Konstitusi


dan Perundang-undangan di Indonesia, Nusamedia, Bandung.

Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Djakarta.

Nur El-Ibrahimi, 2001, Peranan Tgk M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Aceh,
Media Da’wah, Jakarta.

Olle Tornquist, dkk., 2010, Aceh Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan
Rekonstruksi, terjemahan dari Aceh: the Role of Democracy for Peace and
Reconstruction, Edisi Kedua, PCD Press Indonesia.

Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat,


Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Cetakan Keempat, Refika
Aditama, Bandung.

Otong Rosadi dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta.

Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Aceh Pasca Konflik Kontestasi 3 Varian


Nasionalisme, Bandar Publishing, Banda Aceh.

Peter Harris dan Ben Reilly, 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:
Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, terjemahan, Democracy and Deep-
Rooted Conflict: Options for Negotiators, Ameepro, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan


Ketujuh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina


Ilmu, Surabaya.

-------------------------, et.al., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


Cetakan Ketujuh, Gajahmada University Press, Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara


Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif, terjemahan dari Law
and Society in Transition: Toward Responsive Law, Cetakan Kelima,
NusaMedia, Bandung.

Prajudi Atmosudirjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan


Keenam, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum,


Cetakan Keenam, Citra Aditya, Bandung.

Rescoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan dari An Introduction


to The Philosophy of Law, Cetakan Ketiga, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ke-7,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,


Mandar Maju, Bandung.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Saldi Isra, 2006, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Andalas University Press, Padang.

Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Snouck Hurgronje, 1985, Aceh di Mata Kolonialis, terjemahan The Achehnese,


jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung.

----------------------, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

-----------------------, dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat, Cetakan Ke-14, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, dkk., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah : Sketsa


Perjalanan 100 Tahun, Yayasan Tifa dan ILD, Jakarta.

Sondang P. Siagian, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta,


Jakarta.

Soni Yuwono, dkk., 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan


Pengelolaan Keuangan Daerah), Bayu Media Publishing, Malang.

Universitas Sumatera Utara


Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima,


Cet. Ketiga, Liberty, Yogyakarta.

----------------------------, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma


Pusaka, Yogyakarta.

Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, Perca,


Jakarta.

Tan Ta Sen, 2010, Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas,
Jakarta.

Taqwadin, dkk, 2009, Sejarah Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh,


Perspektif Partisipasi di Aceh, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh

Teuku Ibrahim Alfian, 2005, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Tim Salemba Tengah, 2007, Mengawal Demokrasi Pengalaman Jaringan


Demokrasi Aceh dan RUUPA, Yappika, Jakarta.

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonsia, Cetakan
Kedua, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

………………… dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta

Victor M. Situmorang & Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi


Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.

Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil Kajian Pembentukan dan
Ujian Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara Press, Malang.

Wahyudin Husein dan Hufron, 2008, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang
Pressindo, Yogyakart.

William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, terjemahan dari


Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition, Cetakan Kelima,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Yusra Habib Abdul Gani, 2009, Self-Government, Studi Perbandingan tentang


Desain Administrasi Negara, Paramedia Press, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


B. Disertasi

Husni Jalil, 2004, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan
UUD 1945, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom


Dalam rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi,
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di


Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program
Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar.

Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan


dan Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh,
Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran,
Bandung.

C. Jurnal/Penelitian/Karya Ilmiah

Agung Djojosoekarto, Rudiarto Sumarwono, Cucu Suryaman, 2008, Kebijakan


Otonomi Khusus Papua, Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta,
dan Yogyakarta”, Hasil Penelitian, Kemitraan (Partnertship).

Amrizal J. Prang, 2006, Harap-harap Cemas Pengesahan RUU-PA, Opini,


Serambi Indonesia, 29 Juni 2006.

-------------------- dan Nanda Amalia, 2007, Proses Pembentukan Undang-undang


Pemerintahan Aceh, Jurnal Hukum Respublica, Volume. 6, Nomor 2 Tahun
2007.

---------------------, 2007, Mengeritik RPP Kewenangan Pemerintah, Opini,


Serambi Indoneisa, 8 Mei 2007.

---------------------, 2010, Jika “Self-Government” (Aceh) Diatur Konstitusi, Opini,


Serambi Indonesia, 4 Februari 2010.

-------------------, 2013, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa, Jurnal,


Transformasi Administrasi, Volume 03, Nomor 02, Tahun 2013.

Ari Purwadi, 2013, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan antara


Pusat dan Daerah Era Otonomi Daerah, Jurnal Perspektif, Edisi Mei,
Volume XVIII, Nomor 2 Tahun 2013.

Universitas Sumatera Utara


B. Arief Sidharta, 2004, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam
Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK), Jakarta, Edisi ketiga, Tahun II, November 2004.

Bayu Dardias Kurniadi, 2012, Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Makalah


yang disampaikan pada seminar di Lembaga Administrasi Negara,
Jatinangor tanggal 26 November 2012.

Departemen Dalam Negeri, 2006, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang


Pemerintahan Aceh, Jakarta.

Djohermasyah Djohan, 2010, Desentralisasi Asimetris Ala Aceh, Jurnal


Sekretariat Negara RI, Nomor 15 Februari 2010.

Hikmahanto Juwana, 2005, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia,


Jurnal Hukum, Volume 01, Nomor 1 Tahun 2005.

I Wayan Suandi, Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume I Nomor 01, Tahun 2010.

Jimly Assiddiqie, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi


Ilmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Palembang, 23 Maret 2004.

Kementerian Dalam Negeri, 2011, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang


Pemerintahan Daerah, Jakarta.

Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Naskah Komprhensif Perubahan UUD Negara


Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara
Jilid 2, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.

Mangadar Situmorang, 2008, Memperluas Konstituen Bagi Kelestarian


Perdamaian di Aceh, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Volume 4
Nomor 2, September 2008.

Menteri Dalam Negeri, 2006, Penjelasan Pemerintah pada Rapat Panitia Khusus
RUU tentang Pemerintahan Aceh, Jum'at, 24 Pebruari 2006.

Muhammad Rusmawardi, 2011, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah


Daerah di Era Pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah,
Jurnal Socioscientia Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 Nomor 1
Februari 2011.

Universitas Sumatera Utara


Risalah Rapat Panitia Khusus DPR-RI tentang RUU Pemerintahan Aceh, Rapat
Kerja, Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2005-2006, dalam Acara
Penjelasan Pemerintah RI terhadap RUU Pemerintahan Aceh, Jumat, 24
Februari 2006.

Risalah Rapat, Dengar Pendapat Panitia Khusus DPR-RI Rancangan Undang-


Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan Pejabat Gubernur Nanggroe
Aceh Darussalam dan Pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 27
Februari 2006, hlm. 13.

Robert Andi Jaweng, 2011, Kritik Terhadap Asimetris di Indonesia, Jurnal


Analisis CSIS, Volume 40, Nomor 2.

----------------------------, 2012, Analisis Kewenangan Khusus Jakarta Sebagai


Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia, Tesis, pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

----------------------, 2013, Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang


Menyisakan Sejumlah Catatan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Desentralisasi
Asimetris Solusi atau Problem, Edisi 42 Tahun 2013.

Runtung, 2012, Metode Penelusuran Literatur dan Penulisan Hukum, Bahan


Kuliah pada Program Doktor Universitas Sumatera Utara, 17 Februari 2012.

Syarif Hidayat, 2008, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif


State-Society Relation, Jurnal Politik, Volume 1, Nomor 1 tahun 2008.

Tri Widodo W. Utomo, 2014, Implementasi Dekonsentrasi di Negara Kesatuan:


Pengalaman internasional, Jurnal Borneo Administrator, Volume 10, No. 1
Tahun 2014.

Yohanes Suhardin, 2009, Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan


Hukum, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009.

Yusrizal, Suharizal, dan Firdaus Arifin, 2007, Pemetaan Kewenangan Pemerintah


Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Hasil
Penelitian, The Aceh Institute, Banda Aceh.

D. Koran

Anon, 2005, Nota Kesepahaman, Istilah “Pemerintahan di Aceh” Timbulkan


Tanda Tanya, Kompas, 19 Agustus 2005.

Anon, 2006, RUU Aceh Dijepit Waktu, Kompas, 28 Januari 2006.

Universitas Sumatera Utara


Anon, 2006, Kontroversi Calon Independen di Aceh, Kompas, 2 Februari 2006.

Anon, 2006, Ada Materi RUU-PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret 2006.

Anon, 2006, Tebal DIM RUU-PA 716 Halaman, Kompas, 28 Maret 2006.

Anon, 2006, 1.079 DIM RUU-PA Soal Substansi, Kompas, 8 April 2006.

Anon, 2006, Amplop untuk Anggota DPR Langgar Kode Etik, Kompas, 19 April
2006.

Anon, 2015, Perpres BPN Belum Sesuai dengan UUPA, Serambi Indonesia, 12
Maret 2015.

Anon, 2015, Komit Tuntaskan Turunan UUPA, Serambi Indonesia, 10 Maret


2015.

Anon, 2015, DPR dan DPD Awasi Implementasi UUPA, Serambi Indonesia, 3
Februari 2015.

Anon, 2015, Pusat Siap Dialog Bahas Perpres Pertanahan, Serambi Indoneisa,
16 April 2015, hlm. 6.

Buletin Parlementaria, 2014, Tim Pemantau UU PA DPR Berdialog dengan


Muspida NAD, Nomor: 801/II/2014, I/Februari/2014.

Ismail Suny, 2006, Ada Materi RUU PA yang Bisa Dihapus, Kompas, 1 Maret
2006.

Nasir Djamil, 2015, Nasir Djamil: Janji Jokowi Harus Dikawal, Serambi
Indonesia, 12 Maret 2015.

E. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom


Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan


Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang.

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Noomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi
Undang-undang..

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah


sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah


Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa


Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris
Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.

Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan


Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah


yang Bersifat Nasional di Aceh.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama


Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan
Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana
Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan
Langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh
dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.

Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah


Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh
Kabupaten/Kota.

F. Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

G. Situs

http://aceh.tribunnews.com/2013/05/01/wagub-promosikan-aceh-di-abu-dhabi,
diakses pada 30 Desember 2013.

http://aceh.tribunnews.com/2013/06/05/free-port-sabang-belum-bermanfaat,
diakses pada 30 Desember 2013.

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=307
203:gubernur-aceh-promosi-investasi-di-
australia&catid=13:aceh&Itemid=26, di akses pada 30 Desember 2013.

Universitas Sumatera Utara


http://www.kemendagri.go.id/news/2014/04/17/pemerintah-aceh-minta-ikut-
kelola-migas-hingga-200-mil, di akses pada 10 Desember 2014.

http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-
berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 1 Januari
2015.

http://www.antaranews.com/berita/429650/aceh-dapat-tambahan-kewenangan-
pertanahan, di akses pada 1 Januari 2015.

http://m.liputan6.com/news/read/598629/mendagri-misalnya-garis-hitam-hilang-
sudah-tak-mirip-bendera-gam, di akses pada 1 Januari 2015.

http://www.bpn.go.id/Berita/Berita-Pertanahan/ini-ganjalan-dalam-rancangan-
perpres-soal-pertanahan-turunan-uupa-28, di akses pada 1 Januari 2015.

http://www.otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/1850-aceh-diminta-
berbesar-hati-3-aturan-turunan-uu-segera-disahkan, di akses pada 15 Januari
2015.

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/01/24/74972/turunan-uupa-
yang-disahkan-sangat-minim/#.VRf8d_BfLIU, di akses pada 10 Februari
2015.

Javier Corcuera Atienza, 2005, The Autonomy Of The Basque Country,


Singularities. The Autonomous Tax System the Basque Tax Contribution, the
Agreement State Government-Basque Authorities, hlm, 9
https://www.google.com/search?q=the+autonomy+of+the+basque+country
&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
us:official&client=firefoxa&channel=np&source=hp#rls=
org.mozilla:enus:official&channel=np&q=the+autonomy+of+the+
basque+country++javier+corcuera+ atienza++%2b++pdf, diakses pada 25
November 2014.

Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-


suwandi-konsepsi-otda.pdf.

Nurul Hakim, 2015, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan,
www.badilag.net, di akses pada 24 Februari 2015.

Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua


(Tinjauan Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf, diakses
pada 25 Desember 2013.

Universitas Sumatera Utara


CURRICULLUM VITAE

DATA PRIBADI
Nama : Amrizal
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe/7 Maret 1972
Agama : Islam
Status : Kawin
Isteri : Eka Agustina, AM.Keb.
Anak : 1. Muhammad Malek Faraby Prang (8 tahun)
2. Vazla Bungong Ceudah Prang (7 tahun)
3. Izza Faqiha Meurah Prang (4 bulan)
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe
Alamat Kantor : Jln. Jawa, Bukit Indah, Blang Pulo Kota Lhokseumawe
Alamat Rumah Jln. Cempaka Putih No.116 Dusun Mushalla, Hagu Barat Laut
Kota Lhokseumawe
HP : 081264049990-081375381100
Email : j.prang73@gmail.com
Orang Tua : 1. Ayah : (Alm.) Muhammad Jafar Prang
2. Ibu : Salbiah Ibrahim (Ibu Rumah Tangga)

RIWAYAT PENDIDIKAN
No. Latar Belakang Pendidikan Tahun
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
1. Sekolah Dasar Negeri, Hagu Barat Laut-Lhokseumawe 1979-1985
2. Sekolah Menengah Pertama, Cunda-Lhokseumawe 1985-1988
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Lhokseumawe 1989-1992
2. Pesanteren
Ma’hadal ‘Ulum Diniyyah Islamiah Mesjid Raya, 1993-1997
Samalanga-Bireuen
3. Pendidikan Tinggi
1. Strata 1-Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 1999-2003
Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


2. Strata 2-Fakulti Undang-Undang Universitas
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur-Malaysia 2007-2009
3. Strata 3-Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara-Medan 2011-2016
4. Pendidikan/Pelatihan/Workshop
Training of trainer on local legislative capacity 2-5 Februari
development, Democratic Reform Support Program (DRSP), 2010
Medan.

RIWAYAT PEKERJAAN
No. Riwayat Pekerjaan Tahun
1. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS 2003-2004
HAM), Pos Aceh Utara.
2. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 2004-
Lhokseumawe sekarang

3. Anggota Tim Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 2009-2010


Gampong se-Aceh, Pemerintah Aceh
4. Anggota Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang Hukum 2009-2010
5. Ketua Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) 2010-2012

RIWAYAT DALAM AKADEMIS


No. Pengalaman Akademis Tahun
1. Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas 2005-sekarang
Malikussaleh Lhokseumawe
2. Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara, Lhokseumawe 2010-sekarang
3. Sekretris Tim Perumus, Draf Rancangan Undang-undang 2005-2006.
Pemerintahan Aceh (RUU-PA), diselenggarakan oleh Universitas
Malikussaleh.
4. Konsultan, Penyusunan Pedoman Umum Penyelenggaraan Desember
Pemerintahan Gampong, diselenggarakan oleh Logica 2, Banda Aceh. 2010
5. Fasilitator, Intermediate Training Democracy, diselenggarakan oleh 2–5 Oktober
SPD Aceh, Banda Aceh. 2010
6. Narasumber, Training Promosi Demokrasi Partisipatif & 28-31 Juli
Kesejahteraan, diselenggarakan oleh SPD Aceh, Banda Aceh. 2010.
7. Narasumber, Rekonsolidasi Gerakan Demokratis Aceh-Papua, 7 Januari 2010.
Otonomi Khusus Papua dan self government Aceh?, diselenggarakan
oleh Liga Inong Aceh, Banda Aceh
8. Narasumber, Kedudukan Legislasi Daerah dan Proses 10 Juli 2011
Pembentukannya, Pembelajaran In Class, diselenggarakan oleh
Sekolah Demokrasi Aceh Utara, Lhokseumawe.
9. Narasumber, Pelembagaan Sistem Politik dan Demokrasi, 17 April 2011
pembelajaran In Class, diselenggarakan oleh Sekolah Demokrasi Aceh

Universitas Sumatera Utara


Utara, Lhokseumawe.
10. Narasumber, Eksistensi Qanun Lembaga Wali Nanggroe, pada 17 Oktober
Seminar Nasional, diselenggarakan oleh Konsorsium Peduli Aceh 2012
(KPA), Banda Aceh.
11. Narasumber, Seminar penyusunan draf Naskah Akademik CSR Aceh 2 Oktober
Utara, Penerapan CSR dalam Perspektif Hukum, diselenggarakan oleh 2012
Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU).
12. Narasumber, Proses Penyelesaian Sengketa Adat di Gampong, September
diselenggrakan oleh PB-HAM Aceh Utara. 2012.
13. Pemateri, Partisipasi Publik dalam Pembangunan Aceh, pada Seminar 4 Desember
Sehari, Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASOS) Universitas 2013.
Malikussaleh, Lhokseumawe.
14. Narasumber, Seminar, Mengoptimalkan Pengawasan Pemilu Tahun 23 November
2014 Yang Demokratis, Jujur, dan Adil, diselenggarakan oleh Panitia 2013.
Pengawas Pemilu Kabupaten Aceh Utara, Lhokseukon.
15. Narasumber, Sistem Pemilu di Indonesia, pada kegiatan pembelajaran 28 April 2013
In Class, diselenggarakan oleh Sekolah Demokrasi Aceh Utara,
Lhokseumawe.
16. Narasumber, Etika dan Budaya Politik, pada Kegiatan Penguatan 16 April 2013.
Kapasitas Politik Masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah,
diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat Aceh, Takengon.
17. Pemateri, Pemerintahan Desa/Gampong Dalam Perspektif UU Desa 27 November
dan UUPA, pada acara Sosialisasi dan Pengabdian Masyarakat 2014.
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, untuk Masyarakat
Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
18. Narasumber, UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya, Sosialisasi 22 Oktober
Kebijakan Politik Pemerintah Aceh Tahun 2014, diselenggarakan oleh 2014.
Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Aceh dan Universitas Teuku
Umar, Aceh Barat, Meulaboh.
19. Fasilitator, pada Pelatihan dan Praktek Penyusunan Peraturan Desa 5 Juni 2014
yang Sensitif Pengurangan Resiko, Sistematika dan Teknik
Penyusunan Qanun Kampung/Peraturan Desa, diselenggarakan oleh
Yakkum Emergency Unit (YEU), Lhokseumawe.
20. Narasumber, Pengantar Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia, 19 April 2014.
Modul Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia, pembelajaran In
Class, diselenggarakan oleh Sekolah Demokrasi Aceh Utara,
Lhokseumawe.
21. Pemateri, Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui 28 Maret 2014
Perubahan UUD RI 1945, pada acara Dengar Pendapat Umum Tim
Kerja Kajian dalam Rangka Penyerapan Aspirasi Masyarakat Tentang
7 (Tujuh) Isu Pokok Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
diselenggarakan oleh Pimpinan MPR RI dan Tim Kerja Kajian Sistem
Ketatanegaraan Indonesia bekerjasama dengan Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe.
22. Narasumber, Tinjauan Yuridis Peran Partai Politik terhadap 19 November

Universitas Sumatera Utara


Pengawasan Sistem Pemerintahan, Sosialisasi Keterkaitan 2015
Keberadaan Partai Politik terhadap Pengawasan Pelaksanaan Sistem
Pemerintahan di Kota Lhokseumawe, diselenggarakan oleh Badan
Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
23. Narasumber, Strategi Komunikasi Publik Dalam Pemberdayaan 9-11
Masyarakat, acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Lembaga November
Kemasyarakatan, diselenggarakan oleh Badan Pemebrdayaan 2015
Masyarakat Aceh, Banda Aceh.
24. Pemateri, Peran Keuchik Dalam Penyelesaian Sengketa di Gampong, 21 Oktober
Seminar, diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe, 2015
Lhokseumawe.
25. Narasumber, Membangun Komunikasi Politik Dalam Upaya 13 Oktober
Percepatan Implementasi MoU Helsinki dan UUPA, Sosialisasi 2015
Kebijakan Politik Pemerintah Aceh Tahun 2015 Angkatan XV,
diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Aceh,
Kabupaten Aceh Tenggara, Kutacane.
26. Narasumber, Partai Politik dan Pendidikan Politik Masyarakat, 16 September
Program Pendidikan Politik Masyarakat pada kegiatan Forum Diskusi 2015
Politik, diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol dan Linmas
Kabupaten Aceh Besar.
27. Pemateri, Memahami Arah Kebijakan Pemerintah Aceh Terhadap 28 April 2015
Pembangunan Perdamaian Aceh, disampaikan pada Kegiatan
Penguatan Kapasitas Masyarakat Dalam Berpolitik di Kota Langsa,
oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat
Aceh, Pemerintah Aceh, Kabupaten Aceh Utara.

RIWAYAT PENELITIAN
No. Nama Penelitian Tahun
1. Implementasi Qanun-qanun Syari’at Islam di Nanggroe Aceh 2007
Darussalam (Studi Penelitian di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara)-
2007.
2. Implikasi dan Implementasi Qanun Aceh Utara Nomor 4 Tahun 2009 2010
tentang Pemerintahan Gampong (Suatu Kajian Terhadap Materi dan
Permasalahan Pasca Pemberlakuan)

KARYA ILMIAH/BUKU/JURNAL/ARTIKEL
No. Pengalaman Akademis Tahun Status
1. SKRIPSI: Pelaksanaan Fungsi Dewan Perwakilan 2003 Penulis
Rakyat Daerah Menurut Undang Undang Nomor 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota MPR, DPR, dan DPRD (Studi Penelitian
pada DPRD Aceh Utara).
2. ARTIKEL SURAT KABAR: Politik Hukum 2005 Penulis
Pluralisme di Aceh, Harian, Serambi Indonesia,

Universitas Sumatera Utara


September 2005.
3. JURNAL: Pilkada dan Kepemimpinan Aceh Baru 2006 Penulis
(Jurnal Seumike Edisi II, Aceh Institute)
4. ARTIKEL SURAT KABAR: RUU PA, Konflik 2006 Penulis
atau Solusi?, Harian, Serambi Indonesia, 27 Februari
2006.
5. JURNAL: Proses Pembentukan Undang-Undang 2007 Penulis
Pemerintahan Aceh (Jurnal Hukum, RESPUBLICA,
Vol. 6 No. 2)
6. BAB BUKU: Transformasi Sosial dan 2007 Penulis
Kepemimpinan di Aceh, Penerbit Unimal Press,
Lhokseumawe.
7. ARTIKEL SURAT KABAR: Mengeritik RPP 2007 Penulis
Kewenangan Pemerintah, Harian Serambi Indonesia,
08 Mei 2007.
8. BUKU: Aceh dari Konflik ke Damai, Penerbit 2008 Penulis
Bandar Publising, Banda Aceh
9. TESIS: Skop dan Status Kuasa Autonomi Gabenor 2009 Penulis
untuk Menimbang dan Dirujuk: Sebuah Pengalaman
Acheh.
10. BAB BUKU: Mengupas Perpres Konsultasi dan 2010 Penulis
Pertimbangan Dalam Geunap Aceh, Perdamaian
Bukan Tanda Tangan, Penerbit Aceh Institute Press,
Banda Aceh
11. BAB BUKU: Hasan Tiro dan Paradigma 2010 Penulis
Pembebasan, Dalam Hasan Tiro The Unfinished
Story of Aceh
12. JURNAL: Hubungan Legislatif dan Eksekutif dalam 2010 Penulis
Pengelolaan Keuangan Daerah (Jurnal Fakultas
Hukum, Unimal, SULOH, Vol. VIII, No. 1).
13. JURNAL: Implikasi Hukum Terhadap Putusan 2011 Penulis
Mahkamah Konstitusi (Jurnal Ilmu Hukum, Unsyiah,
KANUN, No. 53 Tahun XIII).
14. ARTIKEL SURAT KABAR: Menafsir UUPA dan 2011 Penulis
Putusan MK, Harian Serambi Indonesia, 15 Maret
2011.
15. JURNAL: Eksistensi dan Efektivitas Surat Edaran 2012 Penulis
Larangan Kangkang (Jurnal, Media Syariah, Volume XIV
No. 2) .
16. JURNAL: Perbandingan Penerapan Doktrin 2012 Penulis
Pemisahan Kekuasaan antara Indonesia dan
Malaysia (Jurnal Hukum Tata Negara, Nanggroe,
Volume I No. 1)
17. BAB BUKU: Eksistensi Wali Nanggroe Dalam 2012 Penulis
Konteks Demokrasi Aceh, Dalam Demokrasi dalam
Gugatan: Pengalaman Aceh.

Universitas Sumatera Utara


18. ARTIKEL SURAT KABAR: Demokrasi Aceh 2012 Penulis
Pasca-Pemilukada, Harian Serambi Indonesia, 8
November 2012.
19. JURNAL: Perbuatan Melawan Hukum oleh 2013 Penulis
Penguasa (Jurnal Transformasi Administrasi Volume
03 Nomor 02).
20. ARTIKEL SURAT KABAR: Aceh dan 2013 Penulis
Kontroversi, Harian Serambi Indonesia, 3 April
2013.
21. JURNAL: Perbandingan Hukum Perlindungan 2014 Penulis
Penata Laksana Rumah Tangga antara Indonesia dan
Malaysia (Jurnal Nanggroe Volume 3 Nomor 2).
22. BAB BUKU: Parpol dan Pendidikan Politik Rakyat, 2014 Penulis
Dalam Parnas vs Parlok, Pertarungan Partai Politik
dalam Menguasai Aceh.
23. ARTIKEL SURAT KABAR: RPP ‘Bargaining 2014 Penulis
Politik’ Pilpres, Harian Serambi Indonesia, 23 Juni
2014.
24. ARTIKEL SURAT KABAR: Politik Hukum 2014 Penulis
Setengah Hati (Refleksi Sewindu UUPA), Harian
Serambi Indonesia, 12 Agustus 2014.
25. JURNAL INTERNASIONAL: Asymmetric 2015 Penulis
Decentralization Aceh; Governor Consultation and
Consideration Context on Central Government
Administrative Policy (Journal Of Humanities and
Social Science (IOSR-JHSS) Volume 20, Issue 9,
Ver. V).
26. BUKU: Pemerintahan Daerah Konteks Otonomi 2015 Penulis
Simetris dan Asimetris, Penerbit Biena Edukasi,
Lhokseumawe
27. JURNAL: Penataan Sistem Ketatanegaraan Melalui 2015 Penulis
Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (Jurnal Transformasi Administrasi
Volume 05 Nomor 02)
28. ARTIKEL SURAT KABAR: Ketidakpastian 2015 Penulis
Hukum Aturan Pelaksana UUPA, Harian Serambi
Indonesia, 6 April 2015.
29. ARTIKEL SURAT KABAR: Menggugat UUPA, 2015 Penulis
Melupakan Sejarah, Harian Serambi Indonesia, 5
November 2015.
30. MODUL: Perancangan Peraturan Perundang- 2015 Penulis
undangan, Penerbit Unimal Press, Lhokseumawe.

KEANGGOTAAN/ORGANISASI
No. Nama Organisasi Jabatan Tahun

Universitas Sumatera Utara


1. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Anggota 2004-2008
Aceh Utara.
2. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Ketua II 2009-2013
Hukum Administrasi Negara Wilayah Aceh
3. Ikatan Alumni Universitas Malikussaleh Ketua 2015-2018
(IKA-Unimal), Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai