Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Alfi Firdaus

Npm : 19810049

Kelas : 4A Regular pagi Banjarmasin

1.BAGAIMANA SEJARAH PERPAJAKAN DI INDONESIA ?

2.BAGAIMANA SISTIM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA?

3.KALAU JENIS PAJAK PPH, TENTUKAN YANG MENJADI SUBJEK PAJAK DAN OBJEKNYA?

Jawab

Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu bangsa. Hampir semua negara
yang ada di dunia ini menerapkan suatu aturan maupun skema tentang pengenaan pajak. Baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tak terkecuali di Indonesia ini. Sejarah panjang tentang pengenaan
pajak di Indonesia telah berlangsung sejak zaman kerajaan, kolonial sampai dengan sekarang. Sehingga
sebetulnya masyarakat Indonesia sendiri tidak asing dengan kata "pajak". Namun, karena pengenaan
tiap-tiap zaman berbeda dan di era sebelumnya cenderung merugikan masyarakat akhirnya
menimbulkan sifat resistance terhadap pajak itu sendiri. Seperti apa pengenaan pajak dari masa ke masa
di Indonesia? Berikut ulasan singkatnya.

Era Pra Kemerdekaan (Dari Masa Kerajaan Sampai Penjajahan)

Bangsa Indonesia telah mengenal pungutan sejenis pajak bahkan sebelum dijajah oleh Bangsa Eropa dan
Jepang. Masyarakat telah mengenal upeti yaitu pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa.
Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja sebagai persembahan. Karena pada masa itu raja
dianggap sebagai wakil tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Meskipun kemudian masyarakat mendapat imbalannya berupa jaminan keamanan dan ketertiban dari
raja. Perlu dicatat bahkan pada masa itu beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan
Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa
disebut tanah perdikan. Biasanya pembebasan tersebut diatur dalam beleid yang dituangkan baik dalam
prasasti ataupun dicatat dalam kitab kesusastraan. Ketika masuk era kolonialisasi oleh Belanda dan
bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.
Dalam catatan sejarah badan otonomi Belanda yaitu VOC memungut pajak diantaranya Pajak Rumah,
Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Namun, VOC
tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya. Kemudian pada
1.masa Gubernur Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu
gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula
pungutan pajak terhadap rumah.

Masuk ke era pendudukan Inggris, Gubernur Jenderal Raffles juga dikenal sistem pemungutan pajak
yang dikenal dengan landrent stesel yang mana meniru sistem pengenaan pajak di Bengali, India yaitu
pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. Inilah yang menjadi cikal
bakal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pengenaan pajak landrent stesel ini berdasarkan
System Rayatwari yaitu pengenaan pajak secara langsung kepada para petani. Dalam hal ini tarif pajak
adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun. Kenapa dikenakan kepada petani? Raffles
beranggapan bahwa tanah yang dikelola oleh petani merupakan tanah para raja (sovereign) sedangkan
para raja dianggap menyewa tanah tersebut kepada pemerintah kolonial. Dalam hal ini Inggris.

Kemudian terdapat juga aturan mengenai pajak penghasilan pada era kolonial. Aturan pajak atas
penghasilan dikenakan kepada pribumi maupun orang non-pribumi yang mendapat penghasilan di
Hindia Belanda, sebutan Indonesia kala itu. Aturan ini yang menerapkan adalah pemerintah kolonial
Belanda pada awal abad ke-19. Pajak pendapatan untuk pribumi dikenakan atas kegiatan usahanya
seperti perdagangan sehingga dikenal dengan business tax sedangkan untuk orang non-pribumi
dikenakan atas paten usaha bidang industri, pertanian, kerajinan tangan, manufaktur dan sejenisnya
sehingga disebut tax patent duty. Contoh aturan pengenaanya adalah Ordonantie op de
Inkomstenbelasting 1908 dengan tarif pengenaan pajak pendapatan adalah 2% dari pendapatan.

Pada zaman penjajahan Jepang lebih banyak tidak banyak diketahui. Mengingat pada masa itu
pemerintah Jepang lebih memfokuskan semua sumber daya untuk biaya perang. Maka, sulit
memisahkan mana yang merupakan pajak dengan rampasan pemerintah itu sendiri kepada rakyat.
Namun, di masa itu rakyat selain dibebani dengan kewajiban Romusha juga rakyat dibebani dengan
membayar pungutan yang dianggap sebagai pajak. Hal ini sangat memberatkan rakyat Indonesia pada
waktu itu meskipun hanya berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.

Begitu lekatnya masyarakat Indonesia dengan pajak sampai dengan sekarang ini. Namun, ada dampak
negatif akibat dari pengenaan pajak di era kolonial dan era sebelumnya. Yaitu menjadikan sebagian
masyarakat menganggap pajak itu hanya bentuk superioritas penguasa kepada rakyatnya. Karena bukan
hanya ada, bahkan hampir semua sektor pemungutan pajak pada masa itu dilakukan dengan cara
manual dan tanpa pengawasan. Hal ini menjadi penyebab rawannya penyelewengan pemungutan pajak
pada masa itu yang menimbulkan banyak dilema dan meninggalkan kesan negatif hingga saat ini.

Di era selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka pengenaan pajak sudah lebih konservatif dan
berkeadilan yang dituangkan dalam berbagai aturan yang sah diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
2.Sistem pemungutan pajak merupakan sebuah mekanisme yang digunakan untuk menghitung besarnya
pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara.

Di Indonesia, berlaku 3 jenis sistem pemungutan pajak, yakni:

1.Self Assessment System.

2.Official Assessment System.

3.Withholding Assessment System.

3. Mengutip Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), subjek pajak PPh
terdiri dari tiga yaitu orang pribadi, badan dan warisan. Subjek pajak tersebut juga digolongkan menjadi
dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri

Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri:

Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.

Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia.

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak Luar Negeri

Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri:

1.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia
2.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

3.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

4.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

Sedangkan objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar negeri, seperti:

Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan
dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.

Laba usaha.

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan karena pengalihan
harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal.Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.

Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan


usaha.

Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Royalti.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.

Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

Premi asuransi.

Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas.

Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

Surplus Bank Indonesia.

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.

Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya.

Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.

Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.

Anda mungkin juga menyukai