Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

PEMIKIRAN POLITIK BARAT

Nama: Salomo Z. Tungga


NIM: 1903040133
Semester/Kelas: II.C
Dosen Pengampu: Dr. Drs. Acry Deodatus, M.A
Rouland A. Benyamin, S.Sos, M.Si
Yefta Sabaat, S.IP., M.IP

JURUSAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS NUSA CENDANA 2019/2020
 Pemikiran Politik Luther dan Calvin
Martin Luther dan Johannes Calvin adalah dua pelopor reformasi gereja atau
reformasi Protestan. Luther dan Calvin melakukan reformasi di tempat serta waktu yang
berbeda, di mana Luther melakukan reformasi di Jerman dan Calvin di Swiss. Reformasi
gereja ini tidak hanya membagi Kekristenan menjadi dua (Katolik dan Protestan) dan
merubah kehidupan beragama saja. Akan tetapi, reformasi gereja juga berdampak pada
dimensi di luar agama, yaitu kehidupan sosial-politik masyarakat Eropa.
Dalam karyanya “Addres to the Christian Nobility”, yang diterbitkan pada tahun
1520, Luther menunjukkan penerimaannya akan prinsip tradisional bahwa kekuasaan
politik terletak pada semua orang dan bahwa mereka yang akan menjalankannya harus
mendapat persetujuan dari rakyat. Menurut Luther, semua orang Kristen mempunyai
kedudukan yang sama, oleh karena itu, mereka juga memiliki kekuasaan yang sama.
Johannes Calvin merupakan seorang teolog yang juga berperan aktif dalam
pemerintahan. Calvin mengkritik sistem pemerintahan Perancis. Menurutnya,
pemerintahan Perancis sedang mengalami kekacauan dan ketidakseimbangan fungsional.
Ia berpendapat bahwa hukum tidak boleh berada di bawah kaisar, melainkan hukum
harus berkedudukan di atas kaisar. Hukum merupakan sebuah pagar yang mampu
membuat seseorang tidak bertindak di luar batas. Selain itu, Johannes Calvin juga
berpendapat tentang demokrasi. Pendapatnya tentang demokrasi ini sedikit berbeda
dengan demokrasi Athena. Menurutnya, demokrasi adalah menjadikan rakyat sebagai
sentral dalam menjunjung tinggi keadilan berdasarkan Alkitab (Firman Tuhan) yang
dijadikan dasar hukum.
Salah satu pemikiran Johannes Calvin yang terkenal juga adalah Etika Protestan.
Etika Protestan ini identik denga etika kerja, di mana nilai-nilai khusus yang ditekan
adalah disiplin diri, kerja keras, kebaikan menabung, kejujuran diri, dan kemandirian.
Etika Protestan nantinya akan dikembangkan lagi oleh Max Weber yang
menghubungkannya dengan kapitalisme, di mana menekankan cara bekerja keras dan
bersungguh-sungguh, terlepas dar imbalan materinya.
Luther dan Calvin menghadapi hal yang sama dalam mengimplementasikan
pemikiran-pemikiran politik mereka ini, yaitu adanya dominasi gereja dalam
pemerintahan. Gereja seakan memegang suatu kekuasaan yang absolut dalam negara,
sehingga dapat mengatur apa pun. Kekuasaan gereja yang mutlak ini pada akhirnya
membuat gereja menjadi korup dan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan diri mereka sendiri dan merugikan rakyat. Oleh karena itu, menurut
pemikiran Luther dan Calvin perlu dilakukan suatu reformasigereja, di mana mereka
mengajak rakyat untuk berani mempertanyakan kebenaran gereja dan berani keluar dari
ajaran-ajaran gereja yang sudah tidak sesuai dengan Alkitab. Aksi-aksi ini pada akhirnya
dapat melemahkan dominasi gereja dalam pemerintahan serta terjadi pemisahan antara
negara dan agama.

 Pemikiran Politik Thomas Hobbes


Thomas Hobbes merupakan seorang filsuf dam pemikir politik abad ke-17
berkebangsaan Inggris. Pemikiran politik Hobbes sangat dipengaruhioleh suatu kejadian
di Inggris, yaitu perang saudara Inggris (English Civil War). Perang saudara ini adalah
perang antara Kerajaan Inggris melawan Parlemen Inggris, dan memakan kurang lebih
200.000 korban jiwa. Hobbes adalah orang yang sagat menentang kekerasan dalam
bentuk apa pun, sehingga ia sangat menentang terjadinya perang saudara Inggris.
Pemikiran politiknya ini nantinya dapat mengajarkan kita, masyarakat, kapan saat yang
tepat untuk menentang pemerintah, dan kapan saat yang tepat untuk mematuhinya agar
tidak terjadi kekerasan.
Tulisan Hobbes dalam “Leviathan” yang diterbitkan pada tahun 1651, dinilai
sebagai tulisan yang bersifat definitif dan persuasif, tentang mengapa masyarakat perlu
mematuhi otoritas pemerintah, bahkan pemerintah yang dinilai buruk sekalipun, untuk
menghindari risiko kekacauan dan pertumpahan darah. Agar bisa mengerti pemikiran
Hobbes ini, maka perlu diketahui dulu tentang teori “Divine Right of King”
Thomas Hobbes sangat menentang teori “Divine Right of King” (Hak Ilahi Raja),
yang menyatakan bahwa raja merupakan pilihan Tuhan, dan oleh karena itu setiap
masyarakat perlu patuh terhadap raja. Hobbes mengganti teori tersebut dengan teori
Kontrak Sosial (Social Contract) yang menjelaskan bahwa raja mendapatkan
kekuasaannya dari rakyat, oleh karena itu raja harus bisa mensejahterakan
masyarakatnya, dan jika raja dapat melakukan hal tersebut, maka masyarakat harus
mematuhi raja itu.
Akan tetapi di saat yang bersamaan, Hobbes juga merasa takut dengan
kemungkinan konsekuensi dari teori Kontrak Sosial, di mana masyarakat bisa terdorong
untuk menentang penguasa dan berkonflik kapan pun mereka merasa tidak senang
dengan nasib mereka dan merasa tidak sejahtera. Hobbes mencontohkan perang saudara
Inggris yang membunuh banyak orang dan berakhir dengan eksekusi mati Raja Charles I.
Masyarakat Inggris mencoba menentang pemerintahan mereka tetapi berakhir dengan
pertumpahan darah. Hobbes menyebut aksi ini “primitif”.
Maka dari itu, dalam karyanya “Leviathan”, Hobbes mengajukan sebuah
argumen, yang di mana dia menggabungkan teori Kontrak Sosial dengan teori tradisional,
yaitu ketaatan total dan tunduk kepada otoritas. Cara Hobbes melakukan hal tersebut
adalah dengan membawa pembaca ke sebuah masa lalu yang ia sebut masa “State of
Nature” (keadaan alamiah). Masa ini adalah masa di mana belum ada pemerintahan atau
otoritas, dan manusia masih hidup dengan “sifat alami” mereka. Masa ini adalah masa
yang buruk, karena tidak ada sebuah otoritas pusat untuk membuat manusia takut,
sehingga manusia bebas melakukan pertengkaran dan konflik antar sesama. Oleh karena
itu, Hobbes berpendapat bahwa diperlukannya suatu pemerintahan yang berotoritas, dan
masyarakat harus tetap memiliki rasa kepatuhan terhadap pemerintahan tersebut. Hobbes
berargumen bahwa masyarakat hanya boleh memiliki hak untuk menentang pemerintahan
jika si penguasa – atau yang Hobbes sebut “Leviathan” – mengancam untuk membunuh
mereka. Tetapi jika penguasa hanya melakukan kesalah-kesalahan seperti memaksakan
pajak yang besar atau melumpuhkan ekonomi, maka hal seperti itu tidak bisa dijadikan
alasan bagi masyarakat untuk berkonflik dan menurunkan penguasa.
Thomas Hobbes mengakui bahwa seorang penguasa kemungkinan besar memiliki
sifat “kecenderungan untuk melakukan perbuatan jahat”, akan tetapi masyarakat akan
masih memiliki kewajiban untuk mematuhi penguasa tersebut, karena menurut Hobbes
dalam tulisannya bahwa “Humane affairs cannot be withot some inconvenience”
(Hubungan antar sesama manusia pasti ada beberapa kesusahan). Kesusahan dalam suatu
negara tidak hanya disebabkan oleh penguasa yang jahat, tetapi juga oleh masyarakat
yang memutuskan untuk berkonflik dengan penguasa.

Anda mungkin juga menyukai