Anda di halaman 1dari 33

“ MANAJEMEN PERSERDIAAN PTPTN VI”

Kelompok 1
Nama : Muhammad Fatur Alfaredo (C1B019072)
: Lia Evi Febriana (C1B020020)
: Nurhasanah (C1B020061)
: Wawan Setia Nugroho (C1B020112)
: Reka Nadila (C1B002183)
Kelas : R003-Manjemen
Mata Kuliah : Manajemen Operasional
Dosen Pengampu : Garry Yuesa Rosyid, S.E., M.M.

1. Pengertian Pengendalian Persediaan

Pengendalian persediaan adalah merupakan fungsi manajerial


yang sangat penting, karena mayoritas perusahaan melibatkan investasi
besar pada aspek ini (20% sampai 60%). Ini merupakan dilema bagi
perusahaan. Bila persediaan dilebihkan, biaya penyimpanan dan modal
yang diperlukan akan bertambah. Bila perusahaan menanam terlalu
banyak modalnya dalam persediaan, menyebabkan biaya penyimpanan
yang berlebihan. Mengingat konsekuensi logis yang dilematis
(kekurangan atau kelebihan) dari persediaan, perusahaan harus
merencanakan dan mengendalikan persediaan ini pada tingkat yang
optimal. Kriteria optimal adalah minimasi keseluruhan biaya yang terkait
dengan semua konsekuensi kebijakan persediaan (Baroto, 2002).

Pengendalian pengadaan persediaan perlu diperhatikan karena


berkaitan langsung dengan biaya yang harus ditanggung perusahaan
sebagai akibat adanya persediaan. Oleh karena itu, persediaan yang ada
harus seimbang dengan kebutuhan, karena persediaan yang terlalu
banyak akan mengakibatkan perusahaan mengakibatkan perusahaan
menanggung resiko kerusakan dan biaya penyimpanan yang tinggi di
samping biaya investasi yang besar. Tetapi jika terjadi kekurangan
persediaan akan berakibat terganggunya kelancaran dalam proses
produksinya. Oleh karenanya diharapkan terjadi keseimbangan dalam
pengadaan persediaan sehingga biaya dapat ditekan seminimal mungkin
dan dapat memperlancar jalannya proses produksi (Agus Ristono,
2009)akan mengakibatkan adanya hambatan-hambatan pada proses
produksi. Kekurangan persediaan barang dagangan akan menimbulkan
kekecewaan pada langganan dan akan mengakibatkan perusahaan
kehilangan langganan. Kelebihan persediaan akan menimbulkan biaya
ekstra di samping risiko. Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen
persediaan yang efektif dapat memberikan sumbangan yang berarti
kepada keuntungan perusahaan (Subagyo dkk, 1994).

Efisiensi produksi (salah satu muaranya adalah penurunan biaya


produksi) dapat ditingkatkan melalui pengendalian sistem persediaan.
Efisiensi ini dapat dicapai bila fungsi persediaan dapat dioptimalkan.
Beberapa fungsi persediaan adalah sebagai berikut:

a. Fungsi independensi
Persediaan bahan baku diadakan agar departemen-
departemen dan proses individual terjaga kebebasannya.
Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi
permintaan pelanggan yang tidak pasti. Permintaan pasar
tidak dapat diduga dengan tepat, demikian pula dengan
pasokan dari pemasok. Seringkali keduanya meleset dari
perkiraan. Agar proses produksi dapat berjalan tanpa
tergantung pada kedua hal ini (independen), maka
persediaan harus mencukupi.
b. Fungsi ekonomi
Seringkali dalam kondisi tertentu, memproduksi dengan
jumlah produksi tertentu (lot) akan lebih ekonomis
daripada memproduksi secara berulang atau sesuai
permintaan. Pada kasus tersebut (dan biaya set-up besar
sekali), maka biaya set-up ini mesti dibebankan pada setiap
unit yang diproduksi, sehingga jumlah produksi yang
berbeda membuat biaya produksi per unit juga kan berbeda,
maka perlu ditentukan oleh struktur biaya set-up dan biaya
penyimpanan, bukan oleh jumlah permintaan, sehingga
timbullah persediaan.
c. Fungsi antisipasi
Fungsi ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan
permintaan atau pasokan. Seringkali perusahaan
mengalami kenaikan permintaan setelah
dilakukan promosi. Untuk memenuhi hal ini, maka diperlukan persediaan
produk agar tidak terjadi stock-out.
d. Fungsi fleksibilitas
Bila dalam proses produksi terdiri atas beberapa tahapan proses operasi
dan kemudian terjadi kerusakan pada satu tahapan proses operasi, maka
akan diperlukan waktu untuk melakukan perbaikan. Berarti produk tidak
akan dihasilkan untuk sementara waktu. Sediaan barang setengah jadi
(work in process) pada situasi ini akan merupakan factor penolong unuk
kelancaran proses operasi (Baroto, 2002).

2. Tipe Persediaan
Persediaan terdiri dari persediaan alat-alat kantor (supplies), persediaan bahan
baku (raw material), persediaan barang dalam proses (in-process goods) dan persediaan
barang jadi (finished goods). Persediaan alat-alat kantor adalah persediaan yang
diperlukan dalam menjalankan fungsi organisasi dan tidak menjadi bagian dari produk
akhir. Tipe persediaan alat-alat kantor diantaranya pensil, kertas, tinta, disket, alat-alat
pemotong, dan semua item fasilitas peralatan kantor. Persediaan bahan baku adalah item
yang dibeli dari para supplier untuk digunakan sebagai input dalam proses produksi.
Bahan baku ini akan ditransformasi atau dikonversi menjadi barang akhir. Tipe dari
bahan baku diantaranya kayu, papan, cat, pernis (pelitur) dalam industri mebel.
Persediaan barang dalam proses adalah bagian dari produk akhir tetapi masih dalam
proses pengerjaan, karena masih menunggu item yang lain untuk diproses. Persediaan
barang jadi adalah persediaan produk akhir yang siap untuk dijual, didistribusikan atau
disimpan (Yamit, 1995).

3. Manajemen Persediaan
Pada dasarnya analisis persediaan berkenaan dengan perancangan teknik
memperoleh tingkat persediaan optimal degan menjaga keseimbangan antara biaya
karena persediaan yang terlalu banyak dengan biaya karena persediaan yang terlalu
sedikit.
Oleh karena itu, manajemen persediaan pada hakikatnya mencakup dua fungsi
yang berhubungan sangat erat sekali yaitu perencanaan persediaan dan pengawasan
persediaan. Aspek perencanaan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang
akan disediakan atau diproduksi dan dimana sumber terbaik dari pengadaan barang-
barang. Sedangkan aspek pengawasan harus mampu menjawab pertanyaan, berapa kali
pesanan atau produksi dilaksanakan, berapa banyak pesanan atau produksi tersebut (P.
Siagian, 1987).
Manajemen persediaan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu manajemen
persediaan barang yang permintaannya bersifat independent (independent demand) dan
manajemen barang yang demand-nya bersifat dependent (dependent demand). Demand
yang independent yaitu yang sifat permintaan bahan baku tidak tergantung pada
produksi barang lain, tetapi semata- mata hanya ditentukan oleh jumlah barang jadi yang
akan dibuat saja (Subagyo, 2000).

 Kategori Biaya Persediaan


Salah satu diantara pertimbangan yang berhubungan dengan aturan kerja di atas biaya-
biaya persediaan (inventory costs), yaitu semua biaya yang timbul akibat dari pengadaan
persediaan. Adapun komponen biaya-biaya tersebut terdiri atas:

Biaya produksi Biaya Simpan/ Biaya pesan/ Biaya Stock- out


/ pembelian Carrying cost Set-up cost

Biaya Persediaan Total

Gambar 2.1 Biaya-biaya dalam Persediaan

e. Biaya pembelian atau produksi


Biaya pembelian merupakan harga pembelian atau produksi yang terbagi
dalam dua jenis biaya, yaitu:

1. Jika harga pembelian tetap, maka ongkos per satuan juga tetap
tanpa memandang jumlah yang dibeli.
2. Jika diskon tersedia, maka harga per satuan merupakan variabel
yang bergantung pada jumlah pembelian.

f. Set-up (ordering) costs atau biaya pengadaan


Karena penelitian ini bersifat produksi maka biaya pengadaannya disebut
Set-up costs. Biaya pengadaan mencakup semua biaya yang berhubungan
dengan proses produksi. Biaya-biaya tersebut meliputi:
1. Biaya perbaikan mesin
2. Penambahan mesin baru
3. Biaya pembelian bahan baku
4. Biaya memperoleh tenaga kerja
5. Dan lain-lain

Pada umumnya, jumlah set-up costs menurun ataupun meningkat sesuai


dengan jumlah putaran produksinya. Artinya, dalam beberapa hal berlaku
anggapan yang menyatakan bahwa jika jumlah barang yang diproduksi
lebih banyak setiap putaran produksi maka biaya yang timbul akibat
produksi tersebut akan lebih murah, karena hal ini dapat memperkecil
jumlah putaran produksi. Akan tetapi, hal ini akan menimbulkan kasus
baru yaitu berupa bertambahnya biaya penyimpanan.

g. Holding (carrying) cost atau biaya penyimpanan


Biaya penyimpanan terdiri dari semua ongkos yang berhubungan dengan
biaya penyimpanan barang dalam stok. Biaya-biaya ini meliputi:
1. Bunga modal yang tertanam
2. Sewa gudang
3. Asuransi, pajak
4. Ongkos bongkar muat
5. Harga penyusutan dan harga kerusakan
6. Penurunan harga
7. Dan lain-lain

Biasanya biaya-biaya ini sebanding dengan jumlah persediaan di dalam


stok.

h. Stock-out (shortage) costs


Biaya stock-out timbul akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pelanggan
pada periode tertentu. Begitu banyak kerugian yang disebabkan
permintaan yang tidak terpenuhi, seperti kehilangan penjualan, kehilangan
pelanggan, biaya pemesanan khusus, adanya selisih harga, terganggunya
proses produksi, dan bertambahnya pengeluaran dari kegiatan manajerial.

Hubungan antara tingkat persediaan dan jumlah biaya persediaan dapat


diilustrasikan pada gambar berikut:

Gambar 2.2 Biaya Total Minimum

Keterangan:

1. Total biaya persediaan


2. Carrying cost (Holding costs)
3. Set-up cost
Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa biaya penyimpanan (carrying costs)
berbanding lurus dengan tingkat persediaan, sedangkan biaya pengadaan persediaan
(set-up costs) berbanding terbalik dengan tingkat persediaan (P. Siagian, 1987)

 Model Persediaan

Persediaan maksimum dalam model persediaan dalam penelitian ini merupakan


persediaan bertahap, karena tingkat produksi p harus memenuhi tingkat permintaan d
sehingga 𝑝 > 𝑑 dan pertambahan persediaan adalah 𝑝 − 𝑑. Jika kebutuhan untuk setiap
kali siklus pesanan persediaan adalah D dengan tingkat pemakaian persediaan sebesar d
dan dimulai dari 𝑡0, maka kebutuhan itu harus terpenuhi sejak dari 𝑡0 hingga 𝑡2 secara
bertahap dengan tingkat pertambahan sebesar p. Secara kumulatif, jumlah pertambahan
bahan bertahap persediaan itu menjadi sebesar Q yaitu sesuai dengan jumlah
permintaan
D. Oleh karena itu, akumulasi penambahan persediaan hanya akan terjadi sampai
dengan 𝑡1 sebesar 𝑄𝑚𝑎𝑥. Penambahan persediaan itu tidak akan terjadi lagi antara
𝑡1 − 𝑡2. Persediaan sebesar 𝑄𝑚𝑎𝑥 itu kemudian akan tepat habis digunakan di 𝑡2
dimana proses penambahan persediaan periode selanjutnya.
Perumusan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persediaan dengan
stok, dimana variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:
p = kecepatan produksi per satuan waktu
d = jumlah penyaluran produksi per satuan waktu
p-d = tingkat pertumbuhan persediaan
D = permintaan pada setiap periode
Q = jumlah pertambahan persediaan atau produksi untuk setiap kali
Pertambahan atau produksi
𝑡𝑝 = periode waktu penambahan atau produksi

Dapat diketahui bahwa pertambahan persediaan terjadi selama 𝑡𝑝, maka


𝑄𝑚𝑎𝑥 = 𝑡𝑝(𝑝 − 𝑑). Selanjutnya, persediaan maksimum 𝑄𝑚𝑎𝑥 tersebut akan habis
terpakai, sehingga persediaan rata-ratanya menjadi:

𝑄𝑚𝑎𝑥 𝑡𝑝(𝑝 − … (2.1)


𝑑) =
2 2
Untuk memenuhi persediaan sebesar Q diperlukan waku selama 𝑡𝑝 dengan
tingkat pertambahan persedianan sebesar p maka:
𝑄 = 𝑡𝑝. 𝑝 atau 𝑡𝑝 = 𝑄 … (2.2)
𝑝

Jika persamaan (2.2) disubstitusikan ke persamaan (2.1) persediaan rata-


rata 𝑄𝑚𝑎𝑥 akan menjadi:
Q(p−d)
p 𝑄(1− 𝑑)
𝑄𝑚𝑎𝑥 = atau 𝑄𝑚𝑎𝑥 = 𝑃
2 2

Sehingga
Q d
𝑄
) … (2.3)
𝑚𝑎𝑥 = (1 − p
2

Bila biaya simpan per unit setiap periode adalah h maka biaya simpan
(BS) adalah:
Q d
) … (2.4)
𝐵𝑆 = h (1 p
−2

Biaya pesan (BP) adalah 𝐵𝑃 = 𝐷 𝑆 … (2.5)


𝑄
dengan:
D = permintaan setiap periode
S = jumlah persediaan yang dipesan setiap kali pesan
Maka Biaya Total Persediaan (BTP) adalah
Biaya Total Persediaan = Biaya Pesan + Biaya Simpan
Dari persamaan (2.4) dan (2.5), maka:
𝐷 𝑄 𝑑
𝐵𝑇𝑃 = 𝑆 + ℎ (1 − ) … (2.6)
𝑄 2 𝑝
Agar diperoleh Biaya Total Persediaan maksimum maka persamaan (2.6) harus
diminimumkan untuk Q, syarat 𝐵𝑇𝑃 = 𝑓(𝑄) minimum adalah 𝑑(𝐵𝑇𝑃) sehingga
𝑑(𝑄)
dari persamaan (6), diperoleh:

𝐷 𝑄 𝑑
𝐵𝑇𝑃 =

𝑆 + ℎ (1 − )
𝑄 2 𝑝
𝑑(𝐵𝑇𝑃) 𝐷𝑆 ℎ 𝑑
=−
𝑑(𝑄 + (1 − )
) 𝑄2 2 𝑝

Karena 𝑑(𝐵𝑇𝑃) = 0, maka:


𝑑(𝑄)
𝐷𝑆 ℎ 𝑑

+ (1 − ) = 0
𝑄2 2 𝑝
ℎ 𝑑 𝐷𝑆
(1 − ) = 2
2 𝑝 𝑄
2𝐷𝑆
𝑄2 =
ℎ )(1 − 𝑑
𝑝

Sehingga persediaan optimal untuk setiap produksi adalah:

𝑄= 2𝑆𝑑 … (2.7)

𝑑
ℎ (1 − 𝑝 )

Dan waktu optimal yang dibutuhkan untuk satu putaran produksi adalah:

𝑡0 … (2.8)
𝑄0
=√ 𝑑

Substitusikan (2.7) ke dalam persamaan (2.8) dan diperoleh waktu optimal yang
dibutuhkan untuk satu putaran produksi adalah:
𝑡0 = 2𝑆 … (2.9)

𝑑
ℎ. 𝑑 (1 − 𝑝 )
Bila Q optimal pada persamaan (2.7) di atas disubstitusikan ke persamaan (2.6),
maka diperoleh model matematik untuk Biaya Total Persediaan Minimum:
𝑑 𝑄 𝑑
𝐵𝑇𝑃 = 𝑆 + ℎ (1 − )
𝑄 2 𝑝

2𝑆𝑑
√ 𝑑
𝑑 ℎ (1 − 𝑝) 𝑑
𝐵𝑇𝑃 𝑆+ ℎ (1 − )
2𝑆𝑑 2 𝑝
=
√ 𝑑
ℎ (1 −
ℎ 𝑑
𝑝)
𝐵𝑇
𝑃

2𝑆𝑑
√ 𝑑
ℎ (1 − = 𝑆. 𝑑 + 2 (1 − 𝑝)
𝑝)

𝐵𝑇 = 2. 𝑆. 𝑑
2𝑆𝑑
𝑃
√ �

ℎ (1 −
𝑝)

2𝑆. 𝑑 𝑑
𝐵𝑇𝑃 = √
= 2. 𝑑. 𝑆. ℎ (1 − )
2𝑆𝑑 𝑝
√ 𝑑
ℎ (1 − 𝑝)

Jadi, Biaya Total Persediaan minimum per satuan waktu adalah

𝑑

𝐵𝑇𝑃 = 2. 𝑑. 𝑆. ℎ (1 − ) … (2.10)
𝑝

4. Uji Kenormalan Lilliefors


Perumusan ilmu statistik juga berguna dalam pengendalian persediaan untuk
menentukan pola distribusi. Pola distribusi tersebut dapat diketahui dengan melakukan
uji kenormalan Lilliefors. Pada pengujian ini terdapat 2 jenis hipotesa yaitu :

1. Hipotesa 𝐻0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal.


2. Hipotesa 𝐻1 : Sampel berasal dari pupulasi tidak berdistribusi normal.
Untuk pengujian hipotesa maka prosedur yang harus dilakukan antara lain :
a. Nilai data 𝑋1, 𝑋2, … , 𝑋𝑛 , dijadikan angka baku 𝑧1, 𝑧2, … , 𝑧𝑛
dengan menggunakan rumus :

𝑧𝑖
𝑋𝑖 −𝑋̅
=𝑠
dengan 𝑋̅ = rata-rata sampel
s = simpangan baku sampel
𝑖 = 1, 2, 3, ..., 𝑛
Menghitung rata-rata sampel digunakan rumus :

𝑥̅ = 𝑛
∑𝑖=1 𝑋𝑖
;
𝑛
Menghitung simpangan baku digunakan rumus :

𝑠= 𝑛
(𝑋 −𝑋 ) ̅ 2
√∑𝑖=1 𝑖
𝑛−1
b. Tiap angka baku dan menggunakan daftar distribusi normal baku,
hitung peluang : F(𝑧𝑖) = P(𝑧 ≤ 𝑧𝑖).
c. Menghitung proporsi 𝑧𝑖, 𝑧2, … , 𝑧𝑛 ≤ 𝑧𝑖 .
Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(𝑧𝑖) maka:
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑧𝑖, 𝑧2,…, 𝑧𝑛 ≤ 𝑧𝑖
𝑆(𝑧 𝑖) = 𝑛
d. Hitung selisih F(𝑧𝑖) – S(𝑧𝑖) tentukan harga mutlaknya.
e. Cari nilai yang terbesar di antara nilai-nilai mutlak selisih
|𝐹(𝑧𝑖) − 𝑆(𝑧𝑖)| dan jadikan sebagai 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 atau 𝐿0 .
f. Kriteria pengambilan keputusan adalah membandingkan 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
dengan nilai 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 atau 𝐿𝛼(𝑛). Jika:
 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ; maka 𝐻0 diterima dan data berdistribusi
normal
 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ; maka 𝐻0 ditolak dan data tidak
berdistribusi normal
dengan 𝐿𝛼(𝑛) adalah nilai kritis uji kenormalan lilliefors dengan taraf
nyata 𝛼 dan banyaknya sampel 𝑛.
5. Sistem Manajemen Perusahaan
1. Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
Menjamin produksi yang dihasilkan bermutu baik secara konsisten dan
memuaskan pelangggan, dan ini telah direaudit oleh pihak eksternal pada
bulan Juli 2008.
2. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004
Upaya memenuhi misi mengembangkan usaha perkebunan dan industri
hilir yang berwawasan lingkungan dan telah diaudit oleh pihak eksternal
pada bulan Juli 2008 (PT. TUV International Indonesia).
3. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap
seluruh karyawan dan pihak ketiga, ini merupakan tanggung jawab sosial
dan telah tiga kali menjalani audit oleh pihak eksternal pada bulan
September 1999, Agustus 2002, Agustus 2006, dan Oktober 2009 (PT.
Sucofindo) atas rekomendasi PT. Sucofindo bahwa Pabrik Kelapa Sawit
Aek Nabara Selatan memperoleh “Sertifikat dan Bendera Emas”. Selain
itu Pabrik Kelapa Sawit Aek Nabara Selatan mendapat Piagam
Penghargaan Zero Accident Award untuk:
a. 3720 jam kerja karyawan periode 01 Januari 1996 s/d Desember 1998
b. 1572 jam kerja karyawan periode 01 Januari 2004 s/d Desember 1996

6. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh adalah pengamatan langsung dari PT. Perkebunan Nusantara
VI, wawancara, dan arsip- arsip perusahaan yang sesuai dengan data yang dibutuhkan
dalam pemecahan masalah. Data-data yang dikumpulkan yaitu:
1. Data jumlah produksi CPO periode Januari 2014 sampai dengan Desember
2015.
2. Data jumlah penyaluran CPO periode Januari 2014 sampai dengan
Desember 2015.
3. Data biaya pengadaan produksi (Set-up Costs) CPO tahun 2014 dan 2015.
Biaya-biaya yang meliputi biaya pengadaan adalah:
a. Biaya gaji karyawan
b. Biaya alat-alat pengolahan
c. Biaya bahan kimia dan pelengkap, bahan bakar dan pelumas
d. Biaya transportasi
e. dll
4. Data biaya penyimpanan (Carrying Costs) CPO tahun 2014 dan 2015.
Biaya penyimpanan ini dihitung sebesar 20% dari harga CPO per
kilogram.

Hasil pengumpulan data yang diperoleh dari PT. Perkebunan Nusantara VI


adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Jumlah Produksi CPO pada Periode 2014-2015

Jumlah Produksi Tahun


Bulan
2014 (kg) 2015 (kg)
Januari 3.880.898 4.484.830
Februari 4.703.519 4.376.128
Maret 4.874.029 5.443.817
April 4.577.206 4.435.529
Mei 5.660.460 4.645.232
Juni 5.577.646 4.670.489
Juli 4.416.928 4.526.750
Agustus 5.014.483 5.877.566
September 4.741.951 5.192.575
Oktober 5.521.755 5.639.379
November 5.137.965 4.845.849
Desember 6.087.552 5.928.782
Jumlah 60.194.394 60.066.926

Tabel 3.2 Jumlah Penyaluran CPO pada Periode 2014-2015

Jumlah penyaluran Tahun


Bulan
2014 (kg) 2015 (kg)
Januari 3.589.690 4.597.090
Februari 4.839.780 4.202.650
Maret 4.865.580 5.130.180
April 4.659.930 4.713.780
Mei 5.687.560 4.579.030
Juni 5.393.020 4.705.570
Juli 3.447.760 4.624.030
Agustus 5.176.510 4.883.940
September 4.791.380 5.465.040
Oktober 6.369.520 5.918.450
November 5.038.980 5.255.710
Desember 6.021.040 6.238.610
Jumlah 59.880.750 60.314.080
Tabel 3.3 Biaya Pengadaan CPO pada Periode 2014 dan 2015

Tahun Biaya Pengadaan CPO (Rp)

2014 28.695.815.947
2015 26.124.591.490
Jumlah 54.820.407.437

Tabel 3.4 Harga CPO pada Periode 2014 dan 2015

Tahun Harga CPO/kg (Rp)

2014 8.408,61
2015 10.162
Jumlah 18.570,61
Sumber : infosawit.com

7. Uji kenormalan Data dengan Uji Lilliefors


Data penyaluran CPO pada tahun 2014 dan 2015 diuji kenormalannya dengan
menggunakan Uji Normalitas Lilliefors.

 Langkah-langkah pengujian data penyaluran CPO pada tahun 2014


sebagai berikut:
a. Rata-rata penyaluran CPO:
∑12 𝑋𝑖
𝑖=1
𝑋̅ = 𝑛

59.880.750
= 12

= 4.990.602,5

b. Standard deviasi penyaluran CPO :

∑12 (𝑋𝑖 − 𝑋̅ )2
𝑠 = √ 𝑖=1
𝑛−1

8.178.133.767.425
=√ 11

= 862.245,1543

c. Hitung 𝑧𝑖 dengan rumus:

𝑧𝑖 𝑋𝑖 − 𝑋̅
= 𝑠 = −1,62
𝑧1 3.589.690 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = −0,17
𝑧2 4.839.780 − 4.990.602,5
= 862.245,1543

𝑧3 4.865.580 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = −0,14
= −0,38
𝑧4 4.659.930 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = 0,81
𝑧5 5.687.560 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = 0,47
𝑧6 5.393.020 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = −1,79
𝑧7 3.447.760 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = 0,22
𝑧8 5.176.510 − 4.990.602,5
= 862.245,1543

𝑧9 = −0,23
4.791.380 − 4.990.602,5
= 862.245,1543
𝑧10
𝑧11 6.369.520 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = 1,6

𝑧12 5.038.980 − 4.990.602,5


= 862.245,1543 = 0,06
6.021.040 − 4.990.602,5
= 862.245,1543 = 1,2

d. Tentukan nilai 𝐹(𝑧𝑖) dimana 𝑖 = 1, 2, … , 12 dengan menggunakan daftar luas


dibawah kurva normal 𝐹(𝑧𝑖) = 𝑃(𝑧 ≤ 𝑧𝑖)
𝐹(𝑧1) = 𝑃(𝑧 ≤ −1,62 ) = 0,0526
𝐹(𝑧2) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,17) = 0,4325
𝐹(𝑧3) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,14 ) = 0,4443
𝐹(𝑧4) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,38) = 0,3520
𝐹(𝑧5) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,81) = 0,7910
𝐹(𝑧6) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,47) = 0,7500
𝐹(𝑧7) = 𝑃(𝑧 ≤ −1,79) = 0,0367
𝐹(𝑧8) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,22) = 0,5871
𝐹(𝑧9) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,23) = 0,4090
𝐹(𝑧10) = 𝑃(𝑧 ≤ 1,6 ) = 0,9452
𝐹(𝑧11) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,06 ) = 0,5239
𝐹(𝑧12) = 𝑃(𝑧 ≤ 1,2 ) = 0,8849

e. Menghitung proporsi 𝑧1, 𝑧2, … , 𝑧𝑛 yang lebih kecil atau sama dengan 𝑧𝑛 yaitu:
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑧1, 𝑧2, … , ≤ 𝑧𝑛
𝑆(𝑧 𝑖) = 𝑛
2
𝑆(𝑧 ) = = 0,1667
1 12
= 0,4167
5
)=
𝑆(𝑧2 12
= 0,5
6
𝑆(𝑧3 ) =
12

𝑆 (𝑧4 3 = 0,25
)=
12

𝑆 (𝑧5 10
)= = 0,8333
12

𝑆(𝑧6 9 = 0,75
)=
12
𝑆(𝑧7 1 = 0,0833
)=
12
𝑆(𝑧8
8 = 0,6667
)=
12
4 = 0,3333
𝑆(𝑧 ) =
9 12
12
)= =1
𝑆(𝑧10 12

𝑆(𝑧11 7 = 0,0833
)=
12

𝑆(𝑧12 11
)= = 0,9167
12

f. Menghitung selisih 𝐹(𝑧𝑖) − 𝑆(𝑧𝑖) untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … , 12 maka:

𝐹(𝑧1) − 𝑆(𝑧1) = 0,0526 − 0,1667 = −0,1141


𝐹(𝑧2) − 𝑆(𝑧2) = 0,4325 − 0,4167 = 0,0158
𝐹(𝑧3) − 𝑆(𝑧3) = 0,4443 − 0,5000 = −0,0557
𝐹(𝑧4) − 𝑆(𝑧4) = 0,3520 − 0,2500 = 0,1020
𝐹(𝑧5) − 𝑆(𝑧5) = 0,7910 − 0,5833 = −0,0423
𝐹(𝑧6) − 𝑆(𝑧6) = 0,6808 − 0,7500 = −0,0692
𝐹(𝑧7) − 𝑆(𝑧7) = 0,0367 − 0,0833 = −0,0466
𝐹(𝑧8) − 𝑆(𝑧8) = 0,5871 − 0,6667 = −0,0796
𝐹(𝑧9) − 𝑆(𝑧9) = 0,4090 − 0,3333 = 0,0757
𝐹(𝑧10) − 𝑆(𝑧10) = 0,9452 − 1,0000 = −0,0548
𝐹(𝑧11) − 𝑆(𝑧11) = 0,5239 − 0,5833 = −0,0594
𝐹(𝑧12) − 𝑆(𝑧12) = 0,8849 − 0,9167 = −0,0318
Tabel 3.5 Uji Normalitas Data Penyaluran CPO Tahun 2014
No Xi zi F(zi) S(zi) |F(zi)-
S(zi)|
1 3.589.690 -1,62 0,0526 0,1667 0,1141
2 4.839.780 -0,17 0,4325 0,4167 0,0158
3 4.865.580 -0,14 0,4443 0,5000 0,0557
4 4.659.930 -0,38 0,3520 0,2500 0,1020
5 5.687.560 0,81 0,7910 0,8333 0,0423
6 5.393.020 0,47 0,6808 0,7500 0,0692
7 3.447.760 -1,79 0,0367 0,0833 0,0466
8 5.176.510 0,22 0,5871 0,6667 0,0796
9 4.791.380 -0,23 0,4090 0,3333 0,0757
10 6.369.520 1,6 0,9452 1,0000 0,0548
11 5.038.980 0,06 0,5239 0,5833 0,0594
12 6.021.040 1,2 0,8849 0,9167 0,0318

Dari Tabel 3.4 dapat dilihat bahwa:


𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑀𝑎𝑥 [|𝐹(𝑧𝑖) − 𝑆(𝑧𝑖)|] = 0,1141

𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐿𝛼(𝑛), diperoleh dari tabel Uji Kenormalan Lilliefors dengan taraf
nyata 𝛼 = 0,05 dan n = 12.

𝐿𝛼(𝑛) = 𝐿(0,05)(12)= 0,242.

Maka, 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, berarti data penyaluran CPO pada PT. Perkebunan
Nusantara III Pabrik Kelapa Sawit Aek Nabara Selatan pada periode Januari-
Desember tahun 2014 mengikuti pola penyebaran distribusi normal. Dengan
demikian, perhitungan dengan pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan
model Inventory Control.
 Langkah-langkah pengujian data penyaluran CPO pada tahun 2015
sebagai berikut:
a. Rata-rata penyaluran CPO :
∑12 𝑋𝑖
𝑖=1
𝑋̅ = 𝑛

60.314.080
𝑋̅ = 12

𝑋̅ = 5.026.173,333
b. Standard deviasi penyaluran CPO :

∑12 (𝑋𝑖 − 𝑋̅ )2
𝑠 = √ 𝑖=1
𝑛−1

3.966.834.761.466,67
𝑠=√
11

𝑠 = 600.517,5617

c. Hitung 𝑧𝑖 dengan rumus:

𝑧𝑖 𝑋𝑖 − 𝑋̅
= 𝑠
𝑧1 4.597.090 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = −0,71
𝑧2 4.202.650 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = −1,37
𝑧3 5.130.180 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = 0,17
𝑧4
4.713.780 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = −0,52
𝑧5
4.579.030 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = −0,74
𝑧6
4.705.570 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = −0,53
𝑧7
4.624.030 − 5.026.173,333
𝑧8 = 600.517,5617 = −0,67
4.883.940 − 5.026.173,333
𝑧9 = 600.517,5617 = −0,24
𝑧 5.465.040 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = 0,73
5.918.450 − 5.026.173,333
= = 1,49
10 600.517,5617
5.255.710 − 5.026.173,333
𝑧1 = 600.517,5617 = 0,38
1 6.238.610 − 5.026.173,333
= 600.517,5617 = 2,02
𝑧1
2
d. Tentukan nilai 𝐹(𝑧𝑖) dimana 𝑖 = 1, 2, … , 12 dengan menggunakan daftar
luas dibawah kurva normal 𝐹 (𝑧𝑖) = 𝑃(𝑧 ≤ 𝑧𝑖)
𝐹(𝑧1) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,71) = 0,2389
𝐹(𝑧2) = 𝑃(𝑧 ≤ −1,37) = 0,0853
𝐹(𝑧3) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,17) = 0,5675
𝐹(𝑧4) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,52) = 0,3015
𝐹(𝑧5) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,74) = 0,2296
𝐹(𝑧6) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,53) = 0,2981
𝐹(𝑧7) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,67 ) = 0,2514
𝐹(𝑧8) = 𝑃(𝑧 ≤ −0,24 ) = 0,84052
𝐹(𝑧9) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,73 ) = 0,7673
𝐹(𝑧10) = 𝑃(𝑧 ≤ 1,49 ) = 0,9319
𝐹(𝑧11) = 𝑃(𝑧 ≤ 0,38 ) = 0,6480
𝐹(𝑧12) = 𝑃(𝑧 ≤ 2,02 ) = 0,9783

e. Menghitung proporsi 𝑧1, 𝑧2, … , 𝑧𝑛 yang lebih kecil atau sama dengan 𝑧𝑛 yaitu:
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑧1, 𝑧2, … , ≤ 𝑧𝑛
𝑆(𝑧 𝑖) = 𝑛
3
𝑆 (𝑧 ) = = 0,25000
1
1
)= = 0,0833
12
𝑆(𝑧2
8 = 0,6667
)=
𝑆(𝑧3 12
6 = 0,5000
)=
𝑆(𝑧4 12
2 = 0.1667
)=
𝑆(𝑧5
12
5 = 0,4167
𝑆(𝑧6 ) =
12 12

𝑆(𝑧7 4 = 0,3333
)=
12
𝑆(𝑧8 7 = 0,5833
)=
12
10
𝑆 (𝑧 ) = = 0,8333
9
12
11
𝑆(𝑧10 ) = = 0,9167
12

𝑆(𝑧11 9 = 0,7500
)=
12

𝑆(𝑧12 12
)= = 1,0000
12

f. Menghitung selisih 𝐹(𝑧𝑖) − 𝑆(𝑧𝑖) untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … , 12 maka:


𝐹(𝑧1) − 𝑆(𝑧1) = (0,2389) − (0,2500) = −0,0111
𝐹(𝑧2) − 𝑆(𝑧2) = (0,0853) − (0,0833) = 0,0020
𝐹(𝑧3) − 𝑆(𝑧3) = (0,5675) − (0,6667) = −0,0992
𝐹(𝑧4) − 𝑆(𝑧4) = (03015) − (0,5000) = −0,1985
𝐹(𝑧5) − 𝑆(𝑧5) = (0,2296) − (0,1667) = 0,0629
𝐹(𝑧6) − 𝑆(𝑧6) = (0,2961) − (0,4167) = −0,1186
𝐹(𝑧7) − 𝑆(𝑧7) = (0,2514) − (0,3333) = −0,0819
𝐹(𝑧8) − 𝑆(𝑧8) = (0,4052) − (0,5833) = −0,1781
𝐹(𝑧9) − 𝑆(𝑧9) = (0,7673) − (0,8333) = −0,0660
𝐹(𝑧10) − 𝑆(𝑧10) = (0,9319) − 0,9167) = 0,0152
𝐹(𝑧11) − 𝑆(𝑧11) = (0,6480) − 0,7500) = −0,1020
𝐹(𝑧12) − 𝑆(𝑧12) = (0,9783) − (1,0000) = −0,0217
Tabel 3.6 Uji Normalitas Data Penyaluran CPO Tahun 2015

No Xi zi F(zi) S(zi) |F(zi)-


S(zi)|
1 4.597.090 -0,71 0,2389 0,2500 0,0111

2 4.202.650 -1,37 0,0853 0,0833 0,0002

3 5.130.180 0,17 0,5675 0,6667 0,0992

4 4.713.780 -0,52 0,3015 0,5000 0,1985

5 4.579.030 -0,74 0,2296 0,1667 0,0629

6 4.705.570 -0,53 0,2981 0,4167 0,1186

7 4.624.030 -0,67 0,2514 0,3333 0,0819

8 4.883.940 -0,24 0,4052 0,5833 0,1781

9 5.465.040 0,73 0,7673 0,8333 0,0660

10 5.918.450 1,49 0,9319 0,9167 0,0152

11 5.255.710 0,38 0,648 0,7500 0,1020

12 6.238.610 2,02 0,9783 1,0000 0,0217

Dari Tabel 3.5 dapat dilihat bahwa:


𝐿0 = 𝑀𝑎𝑥 [|𝐹(𝑧𝑖) − 𝑆(𝑧𝑖)|] = 0,1985

𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐿𝛼(𝑛), diperoleh dari tabel Uji Kenormalan Lilliefors dengan taraf
nyata 𝛼 = 0,05 dan n = 12.

𝐿𝛼(𝑛) = 𝐿(0,05)(12)= 0,242.

Maka,𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, berarti data penyaluran CPO pada PT. Perkebunan
Nusantara III Pabrik Kelapa Sawit Aek Nabara Selatan pada periode Januari-
Desember tahun 2015 mengikuti pola penyebaran distribusi normal. Dengan
demikian, perhitungan dengan pengendalian persediaan dapat dilakukan.
8. Perhitungan Berdasarkan Kondisi Perusahaan
Dari hasil pengujian kenormalan data dengan uji Lilliefors, diperoleh data
penyaluran produksi CPO berdistribusi normal. Maka model persediaan yang digunakan
adalah model persediaan dengan stok. Berdasarkan hasil penelitian data perusahaan
dapat diketahui bahwa:
 Laju produksi CPO per bulan adalah:

jumlah produksi tahun 2014 + jumlah produksi tahun 2015


p= 24
60.194.394 + 60.066.926
p= 24

120.261.320
p= 24
p = 5.010.888,333 kg

Maka rata-rata jumlah produksi CPO per bulan adalah 5.010.888,333 kg.

 Laju penyaluran CPO per bulan adalah:


jumlah penyaluran tahun 2014 + jumlah penyaluran tahun 2015
d= 24
59.880.750 + 60.314.080
d= 24
120.194.830
d= 24
d = 5.008.117,917 kg

Rata-rata jumlah penyaluran setiap bulan adalah 5.008.117,917 kg

 Lamanya mesin beroperasi selama satu periode adalah:


Jumlah penyaluran produksi
𝑡= laju produksi
120.194.830
𝑡 = 5.010.888,333
𝑡 = 23,98 bulan
 Biaya penyimpanan CPO per kilogram
Perhitungan biaya penyimpanan(ℎ) didasarkan pada harga pokok CPO
pada tahun 2014 dan 2015, dimana biaya penyimpanan per kilogram
CPO adalah sebesar 20% dari harga CPO, yaitu sebesar:

8.408,61 + 10.162
ℎ = 20% ( 2 )

18.570,61
ℎ = 20% ( 2 )
ℎ = 20% (9.285,305)
ℎ = 1.857,061

Dari perhitungan di atas diperoleh biaya penyimpanan (ℎ) CPO


per kilogram adalah sebesar Rp 1.857,061.

 Rata-rata biaya pengadaan CPO per bulan adalah:


jumlah biaya pengadaan tahun 2014 + jumlah biaya pengadaan tahun 2015
𝑆= 24
28.695.815.947 + 26.124.591.490
𝑆= 24
54.820.407.437
𝑆= 24
𝑆 = Rp 2.284.183.643,2
Rata-rata biaya pengadaan produksi setiap bulan adalah Rp 2.284.183.643

Dengan demikian, perhitungan untuk menentukan total biaya yang


dikeluarkan oleh perusahaan untuk persediaan CPO dengan menggunakan
rumus (2.6) adalah sebesar:

𝐷 𝑄 𝑑
𝐵𝑇𝑃 = 𝑆 + ℎ (1 − )
𝑄 2 𝑝
5.008.117,917
𝐵𝑇𝑃 = 2.284.183.643
5.010.888,333
5.010.888,333 5.008.117,917
+ 2 1.857,061 (1 −5.010.888,333 )

𝐵𝑇𝑃 = 228549318,075

Maka biaya untuk pengadaan persediaan CPO dalam dua periode


sekaligus adalah biaya total pengadaan persediaan dikalikan dengan
interval waktu yang telah diperoleh di atas, yaitu :
𝐵𝑇𝑃 × 𝑡 = 228.549.318,075 × 23,98

𝐵𝑇𝑃 × 𝑡 = 5.480.612.647,43

Dan biaya pengadaan persediaan produksi CPO dalam satu periode adalah:
𝐵𝑇𝑃 × 𝑡 5.480.612.647,43
2 = 2
= 2.740.306.323,71

9. Perhitungan dengan Inventory Control


Adapun perhitungan yang dilakukan dengan pengendalian persediaan produksi ini
adalah:
1. Tingkat optimal produksi CPO dalam setiap putaran produksi
2. Interval waktu optimal untuk setiap putaran produksi
3. Total biaya pengadaan persediaan produksi

10. Tingkat Optimal Produksi


Berdasarkan data yang telah disajikan sebelumnya, maka diperoleh nilai dari:
a. Rata-rata jumlah produksi CPO per bulan
p = 5.010.888,333 kg
b. Rata-rata jumlah penyaluran CPO per bulan
d = 5.008.117,917 kg
c. Rata-rata biaya pengadaan produksi (Set-up Costs) CPO per bulan
𝑆 = Rp 2.284.183.643,2
d. Biaya penyimpanan produksi CPO per kilogram
ℎ = 1.857,061

Untuk selanjutnya, dilakukan perhitungan tingkat produksi optimal CPO


(𝑄) setiap putaran produksinya dengan menggunakan rumus (2.7):

Q= 2. 𝑆. 𝑑
√ ℎ )(1 − 𝑑
𝑝

2(2.284.183.643,2)(5.008.117,917 )
𝑄=
√ 5.008.117,917
1.857,061 (1 − )
5.010.888,333

𝑄 = √22.283.280.501.997.000
𝑄 = 149.275.853,7

Dari perhitungan di atas diperoleh tingkat produksi CPO optimal dalam


setiap putaran produksi adalah sebanyak 149.275.853,7 𝑘𝑔

11. Interval waktu optimal untuk setiap putaran produksi


Perhitungan interval waktu optimal produksi CPO dengan menggunakan rumus
(2.9):

𝑡0 = √ 2. 𝑆
ℎ. 𝑑 (1 −
𝑑 𝑝
)

)
𝑡0 5.010.888,333
2(2.284.183.643,2)
=

1857,
061(5.0
08.117,
917) (1
5 .

008.11
7,917
𝑡0 = √888,4439524
𝑡0 = 29,8
Maka interval waktu optimal pada setiap putaran produksi adalah 29,8 bulan

12. Total Biaya Pengadaan Persediaan Produksi


Perhitungan total biaya pengadaan persediaan produksi CPO dengan
menggunakan rumus (2.10) :

𝑑

𝐵𝑇𝑃 = 2. 𝑑. 𝑆. ℎ (1 − )
𝑝
5.008.117,917
𝐵𝑇𝑃 = √2(5.008.117,917)(2.284.183.643,2)(1857,061) (1 −
5.010.888,333)

𝐵𝑇𝑃 = √23.490.485.366.821.000
𝐵𝑇𝑃 = 153.266.060,7

Karena BTP yang diperoleh dari hasil perhitungan adalah sebesar


𝑅𝑝 153.266.060,7 per bulan, sehingga biaya pengadaan persediaan produksi
dalam setiap putaran produksi optimalnya adalah:
𝐵𝑇𝑃 × 𝑡0 = 𝑅𝑝 153.266.060,7 × 29,8
𝐵𝑇𝑃 × 𝑡0 = 𝑅𝑝 4.568.367.286

Berdasarkan hasil perhitungan maka diperoleh jumlah produksi dengan


biaya minimum untuk pengadaan persediaannya dalam satu putaran persediaan.
Selanjutnya akan dihitung jumlah putaran produksi CPO, interval waktu
putaran produksi, dan lamanya mesin berproduksi tiap putaran produksi yang
dihitung dalam dua periode penelitian yaitu selama 24 bulan. Adapun perhitungan
dilakukan sebagai berikut:
a. Jumlah putaran produksi dalam dua periode berturut-turut adalah:
𝑇 24
𝑡 = 29,8
𝑇
= 0,80
𝑡
Dan jumlah putaran produksi CPO tiap periodenya adalah 0,80 bulan

b. Biaya minimum dalam pengadaan persediaan produksi CPO dalam dua


periode sekaligus sebesar:
𝑇
𝐵𝑇𝑃 × = 𝑅𝑝 4.568.367.286 × 0,80
𝑇 𝑡
𝐵𝑇𝑃 × = 𝑅𝑝 3.678.385.457
𝑡
Sehingga biaya pengadaan persediaan produksi CPO untuk setiap
periodenya adalah:
𝑅𝑝 3.678.385.457
= 𝑅𝑝 1.839.192.729
2

c. Waktu yang dibutuhkan dalam tiap putaran produksinya adalah:


𝑄 149.275.853,7
𝑝 = 5.010.888,333
𝑄
= 29,79
𝑝
Jadi lamanya waktu putaran produksinya adalah 29,79 bulan.

Anda mungkin juga menyukai