Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PANCASILA

DINAMIKA PELAKSANAAN PANCASILA

DARI MASA KEMERDEKAAN SAMPAI REFORMASI

DOSEN PENGAMPU:

Darwianis,S.Sos,M.H

Oleh : Kelompok 3

1. Widia Dwitika (2110013411059)


2. Divia Okta Pagani (2110013411060)
3. Suci Indah Sari (2110013411061)
4. Rika Afrianti (2110013411062)

Pendidikan Guru Sekolah Dasar


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Bung Hatta
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala berkah dan hidayahnya serta rahmat-NYA sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ”Manajemen Laboratorium Teknologi Informasi Dan
Komunikasi”. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai manajemen laboratorium
teknologi informasi dan komunikasi dan juga bermanfaat bagi kita. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap, kritik, saran, dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa syarat yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi diri
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata kata yang kurang berkenan memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dimasa depan.

Penulis,13 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar belakang .............................................................................................. 1


1.2 Rumusan masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

a. Masa Awal Kemerdekaan ...................................................................... 3


b. Masa Orde Lama .................................................................................... 7
c. Masa Orde Baru ..................................................................................... 9
d. Masa Reformasi ..................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 13

a. Kesimpulan ............................................................................................ 13
b. Daftar Pustaka ........................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penerapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa


Negara Indonesia adalah negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus
tunduk kepadanya, membela dan melaksanakan dalam seluruh perundanganperundangan.
Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan “Negara Pancasila adalah suatu
negara yang didirikan dan dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa
Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak
sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraan lahir batin
selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yang kesejahteraan lahir batin
seluruh rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”Fenomena
sekarang ini, bangsa Indonesia tidak percaya dengan pancasila. Atau pe-marginal-an
Pancasila dari kehidupan bangsa ini. Padahal implementasi Pancasila dapat menjadi
media dan sarana interaksi yang efektif pengkayaan pandangan, pendapat dan pemikiran.
Guna merumuskan konsep sosialisasi dan implementasi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sasaran dan metodologi menjadi sangat penting mengingat
realisasinya dinamika kehidupan yang ada saat ini yang diwarnai oleh berkembangnya
nilai-nilai demokrasi dalam proses demokratisasi yang terus berlanjut.Sejak era reformasi
sampai sekarang perubahan terjadi dengan begitu cepat dan menghasilkan dampak negatif
maupun positif dan sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan negara kita.
Dinamika perubahan tersebut membawa pergeseran nilai-nilai pranata kehidupan sosial
dan politik ditengah masyarakat baik secara individu maupun kelembagaan. Perkataan
Pancasila mula-mula terdapat dalam perpustakaan Budha dalam kitab Tripitaka di mana
dalam ajaran Buddha tersebut terdapat aturan (larangan) atau Five moral principle yang
harus ditaati para penganut Budha untuk mencapai nirwana/surga melalu pancasila yang
isinya lima. Secara etimologis istilah “Pancasila” yang berasal dari bahasa Sansekerta
Menurut Moh. Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila memiliki dua
macam arti secara leksikal, yaitu Panca artinya lima, Syila artinya batu sendi, alas, atau
dasar, Syilla artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh.
Kemudian sejauh ini telah diketahui dua corak sikap dan tingkah laku politik

1
manusia Indonesia, corak pertamasebagaimana terlihat pada sebagian penting golongan
elite strategis, ialah kecenderungan untuk bersikap dan bertingkah laku memonopoli
kebenaran yang menjurus kepada kemungkinan lahirnya mentalitas otoriter/totaliter.
Corak kedua ialah yang terlihat dalam sikap dan tingkah laku politik sebagian besar
anggota masyarakat yang masih berwarna emosional-primordial. Corak ini memperkuat
corak pertama. Kalau diteliti lebih dalam, corak pertama juga memperkuat corak kedua.
Dengan begitu kedua corak sikap dan tingkah laku politik itu saling memperkuat. Dari
kombinasi keduanya muncul pola sikap dan tingkah laku politik yang menjurus kepada
feodalisme yang selanjutnya dapat melahirkan otoriter/totaliter. Dari sini mungkin mulai
terlihat bagaimana kesenjangan antara pola sikap dan tingkah laku politik yang
dikehendaki demokrasi pancasila dengan kenyataan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan dalam


makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa awal kemerdekaan?
2.  Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa orde lama?
3. Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa orde baru?
4. Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi?
5. Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa kini?

1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah meliputi:

1. Untuk mengetahui sejarah pancasila dari awal kemerdekaan


2. Untuk dapat memahami berkembangan pancasila dari masa ke masa
3. Untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan pancasila

2
BAB II
PEMBAHASAN

PELAKSANAAN PANCASILA DARI MASA KE MASA

A.     MASA AWAL KEMERDEKAAN (1945-1959)

Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 oleh PPKI merupakan modal
berharga bagi terselenggarakannya roda pemerintahan negara RI. Paling tidak, bangsa
Indonesia telah memiliki ketentuan-ketentuan yang pasti dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Namun, sebelum semua alat perlengkapan negara tersusun, bangsa
Indonesia dihadapkan persoalan eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke
wilayah Indonesia.sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 29 September 1945,
sekutu bersama orang-orang NICA dengan mengatasnamakan Palang Merah
Internasional mendarat di Surabaya untuk mengurus orang-orang Belanda bekas tawanan
tentara Jepang. Bagi bangsa dan Pemerintah Indonesia kehadiran mereka sebenarnya
bukan masalah. Artinya, bangsa dan Pemerintah Indonesia dapat menerima, bahkan
membantunya apabila diperlukan. Namun  dalam perkembangannya, orang-orang NICA
terus berusaha   menguasai wilayah Indonesia (Nederlands Indies) secara de facto. Itulah
sebabnya Wolhoff dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” mengatakan
bahwa sejak 17 Agustus 1945 dalam sebagian wilayah negara Koninkrijk de Nederlander
(wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua macam pemerintah, yaitu sentral dan lokal.

a.       Pemerintah Republik Indonesia memprtahankan hak kedaulatannya atas


seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, baik tehdap dunia
internasionalberdasarka hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri.

b.      Pemerintah Nederlandshe, suatu persekutuan hukum otonom dalam ikatan


negara Koninkrijk der Nederlander yang kedaulatannya atas wilayah Hindia
Belanda diakui secara de jure dunia internasional berdasarkan traktat-traktat
dan perjanjian-perjanjian internasional yang lain berusaha menguasai
kembali.

Begitulah Konstelasi politik sesudah ProklamasiKemerdekaan Indonesia 17


Agustus 1945, membawa konsekuensi bagi bangsa dan negara Indonesia untuk berjuang

3
dalam rangka mempertahankan dan menguasai secara de facto atas seluruh wilayah
Indonesia.

Ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan


penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila, sebagai berikut.

1. pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18


September 1948. Pemberontakan ini dipimpin oleh Muso. Tujuan utamanya
adalah mendirikan Negara Soviet Indonesia yang berideologi komunis.
2. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dipimpin oleh Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo. Pemberontakan ini ditandai dengan didirikannya Negara
Islam Indonesia (NII) oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949. Tujuan
utama didirikannya NII adalah untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan syari’at Islam. Tetapi, gerakannya bertentangan dengan ajaran Islam
sebenarnya.
3. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Republik Maluku Selatan
(RMS) merupakan sebuah gerakan separatisme dipimpin oleh Christian Robert
Steven Soumokil, bertujuan untuk membentuk negara sendiri, yang didirikan
tanggal 25 April 1950.
4. pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) yang dipimpin oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan Ventje
Sumual tahun 1957-1958 di Sumatra dan Sulawesi. Gerakan ini merupakan
bentuk koreksi untuk pemerintahan pusat pada waktu itu yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Soekarno pada saat itu sudah tidak bisa lagi diberikan nasihat
dalam menjalankan pemerintahan sehingga terjadi ketimpangan sosial.
5. APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Angkatan Perang Ratu Adil merupakan
milisi yang didirikan oleh Kapten KNIL Raymond Westerling pada tanggal 15
Januari 1949. Westerling memandang dirinya sebagai sang “Ratu Adil” yang
diramalkan akan membebaskan Indonesia dari tirani. Gerakan APRA bertujuan
untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia, serta memiliki tentara
sendiri bagi negara-negara RIS. APRA melakukan pemberontakan pada tanggal
23 Januari 1950, dengan melakukan serangan dan menduduki kota Bandung,
serta menguasai mar- kas Staf Divisi Siliwangi.
6. Perubahan bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan konstitusi yang berlaku adalah Undang-

4
Undang Dasar Sementara 1950. Dalam perjalanannya berhasil melaksanakan
pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 yang selama itu dianggap paling
demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun
Undang-Undang Dasar seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis
politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan Pemerintah mengeluarkan
Dekrit Presiden 1959. Dekrit tersebut dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang
berisi: membubarkan Badan Konstituante; Undang-Undang Dasar Tahun 1945
berlaku kembali dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 tidak
berlaku; serta segera akan dibentuk MPRS dan DPAS. Pada periode ini, dasar
negara tetap Pancasila. Akan tetapi, dalam penerapannya lebih diarahkan seperti
ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

Bangsa Indonesia dengan segala  kemampuan dan keyakinan yang ada siap


mengusir penjajah yang hendak kembali menginjak-injak kemerdekaan itu. Dalam masa-
masa 1945-1949 segala perhatian bangsa dan negara Indonesia benar-benar tercurahkan
untuk menuangkan perang kemerdekaan. Oleh karena itu, sistem pemerintah dan
kelembagaan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan.
Waktu itu masih  terus diberlakukan ketentuan. Aturan Peralihan pasal IV UUD 1945
yang mengatakan bahwa: Sebelum  Majelis Permusyawaratan  Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Namun karena kuatnya tekanan yang dilakukan orang-orang NICA, maka dalam
rangka mengoptimalkan semua kekuatan bangsa Wakil Presiden Drs. Mocammad Hatta
mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat ini pada dasarnya berisi perubahan kedudukan Komite Nasional Indonesia
sebagai pembantu Presiaden menjadi lembaga legislatif. Perubahan ini sebenarnya bukan
persoalan karena memiliki tujuan yang baik. Apakah maklumat tersebut dapat dikatakan
sebagai penyimpangan UUD 1945?

Inilah persoalan yang menarik untuk dikaji. Di satu sisi, setiap orang berhak
menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden No. X  merupakan penyimpangan dan sisi
lain, orang juga berhak menyatakan sebagai bukan penyimpangan kaena bisa dianggap

5
sebagai amandemen. Lebih-lebih, jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu
belum ada lembaga legislatif.

Seiring dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah mengeluarkan Maklumat


Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai politik.
Maklumat ini dikeluarkan atas dasar semakin meluasnya desakan dari masyarakat agar
pemerintah memberi kebebasan masyarakat untuk membentuk partai politik.
Kebijaksanaan ini mengandung arti positif, terutama dalam rangka memanfaatkan seluruh
kekuatan bangsa. Bukan partai politik merupakan organisasi yang paling mampu
mengorganisasikan para pengikutnya secara baik.

Sejak saat itu, lahirlah partai-partai politik di wilayah Indonesia dalam jumlah
yang sangat besar. Lahirnya partai politik ini membawa perkembangan baru yaitu
munculnya desakan agar sistem Presidentil Kabinet diganti dengan sistem Parlementer
Kabinet. Untuk itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14
Nopember 1945 tentang perubahan sistem Kabinet Presidentil menjadi Kabinet
Parlementer. Perubahan ini berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasioanal Indonesia
Pusat pada tanggal 11 Nopember 1945. Perubahan ini nyata-nyata merupakan
penyimpangan konstitusional.

Sejak lahirnya Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945, maka di Indonesia


berlangsung sistem  pertanggungjawaban Menteri-Menteri kepada parlemen. Ini berarti
sejak saat itu kepala pemerintah (eksekutif) diegang oleh Perdana Menteri sebagai
pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, Perdana Menteri dan para
Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, tidak bertanggungjawab kepada Presiden
seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.

Sementara mengusir orang-orang NICA belum juga berhasil. Bagi Bangsa


Indonesia hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak yang harus dibela dan
dipertahankan, serta harus diperjuangkan dengan segala konsekuensinya sebagai negara
yang telah merdeka dan berdaulat. Sikap seperti ini terbukti dengan munculnya
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap tentara Inggris dan NICA di setiap daerah yang
mereka datangi. Pertempuran terjadi di mana-mana, seperti Ambarawa, Surabaya,
Bndung, dan sebagainya.

6
Munculnya perlawanan yang sengit dari rakyat Indonesia, memaksa Belanda
untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Perundingan-perundingan
yang dilakukan berhasil menghasilkan perjanjian-perjanjian, meskipun oleh Belanda
sering dilanggar dan dikhianati. Sementara, pemerintah Indonesia (PM Syahrir maupun
PM Amir Syarifuddin) tidak mampu memaksakan isi perjanjian kepada Belanda sehingga
akhirnya kedua Kepala Pemerintahan tidak mendapat kepercayaan dari rakyat. Akhirnya,
Kepala Pemerintahan diambil alih oleh Wakil Presiden, Drs. Mochammad Hatta. Dengan
sendirinya, sistem kabinet Presidentil.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan


Indonesia, namun Bangsa Indonesia terpaksa harus menerima berdirinya negara yang
tidak sesuai dengan cita-cita Proklaamasi 17 Agustus 1945 dan tidak sesuai kehendak
UUD 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa berubah menjadi Negara
Indonesia Serikat (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan Konstitusi RIS.

B.  MASA ORDE LAMA (1959-1966)

Periode ini dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin


merupakan sebuah sistem demokrasi yang seluruh keputusan dan pemikiran dalam
pemerintahan negara, berpusat pada pemimpin negara. Pemimpin negara saat itu adalah
Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin dicetuskan oleh Presiden Soekarno karena
banyaknya gerakan separatis yang menyebabkan ketidakstabilan negara, tersendatnya
pembangunan ekonomi karena sering terjadinya pergantian kabinet sehingga program
pembangunan yang dirancang oleh kabinet tidak berjalan secara utuh, serta badan
konstituante yang gagal menjalankan tugasnya untuk menyusun UUD. Oleh karena itu,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.

Walaupun konstitusi negara sudah kembali pada UUD NRI Tahun 1945, namun
pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Beberapa
penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, di antaranya sebagai
berikut.Presiden Soekarno ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup berdasarkan TAP
MPRS No. XX/1963, yang menyebabkan kekuasaan presiden semakin besar dan tidak
terbatas.Presiden mengeluarkan penetapan Presiden No. 3/1960 tanggal 5 Maret 1960
yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.Presiden membentuk MPRS yang anggota-

7
anggotanya terdiri atas anggota DPR-GR, utusan daerah, dan utusan golongan yang
semuanya diangkat serta diberhentikan oleh presiden.Pada periode ini, terjadi
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 yang dipimpin oleh D.N Aidit. Tujuan
pemberontakan ini adalah menjadikan negara Indonesia sebagai negara komunis yang
berkiblat ke negara Uni Soviet serta mengganti Pancasila dengan paham komunis.

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang


berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu
kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-
budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi
Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk
yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila
yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah,


tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh
DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan
dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan
penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai
mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan
musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,sebab demokrasi yang diterapkan
adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara,
sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan
tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang
digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek
kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.

Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan
sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak
(voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat
dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri
dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya

8
pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu
tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik,
ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden
1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada
UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah
Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas
pemerintahan.

Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.


Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-
nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah
berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi,
menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI.
Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup
bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman
Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan
bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala
Indonesia,demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya
terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi
Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat
kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan
sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi
rakyat.

C.     MASA ORDE BARU

MPR RI pada Sidang Umumnya tahun 1978 menerbitkan Ketetapan MPR


RI No.II/MPR/1978, tentangPedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tertanggal
22 Maret 1978. Pasal 5 dari Ketetapan tersebut menyebutkan bahwa:”Presiden sebagai
Mandataris MPR atau sebagai Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat untuk

9
mengusahakan agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tersebut dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.” Maka dalam waktu yang singkat Presiden
mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4) tersebut.

Implementasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)

Setelah diadakan koordinasi antara lembaga-lembaga yang diharapkan untuk


menangani implementasi P-4, pada tanggal 3 Agustus 1978, sekitar lima bulan setelah
terbit TAP II/MPR/1978, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No.10 tahun 1978,
tentang Penataran Pegawai Republik Indonesia mengenai Hasil-hasil Sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1978. Adapun
pertimbangannya mengapa Pegawai Republik Indonesia didahulukan dalam memahami
dan mengamalkan Pancasila, karena Pegawai Republik Indonesia adalah aparat
Pemerintah dan Negara yang harus lebih dahulu untuk mengamalkan Pancasila dalam
melaksanakan tugas, utamanya dalam melayani masyarakat.

Isi instruksi tersebut adalah agar Menteri-menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga
Nondepartemen, Gubernur Bank Indonesia, dan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I
menyelenggarakan penataran bagi pegawai dalam lingkungan masing-masing mengenai
hasil-hasil Sidang Umum MPR RI tahun 1978, utamanya mengenai P-4. Pada lampiran
dari Instruksi Presiden No.10 tahun 1978, pada pasal 4 disebutkan terdapat lima tingkat
penataran yakni penataran tingkat (a) Nasional, (b) Instansi Pusat, (c) Propinsi, (d)
Kabupaten/Kotamadya, (e) Kecamatan.

Penataran tersebut menghasilkan tiga buku, yakni (1) Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar 1945, dan (3) Garis-garis Besar Haluan
Negara, merupakan materi pelengkap yang dipergunakan dalam penataran P-4.Adapun
materi pokok adalah (1) TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila, (2) UUD 1945, dan TAP MPR RI tentang Garis garis Besar
Haluan Negara.Bahan tersebut merupakan tiga hal saling kait mengkait dalam
pelaksanaan pembangunan bangsa. Berhubungan dengan pentingnya tiga bahan tersebut
Presiden Soeharto, pada waktu membuka penataran calon Penatar tingkat Nasional di
Istana Bogor pada tanggal 1 Oktober 1978, menegaskan bahwa:

10
Pancasila adalah sumber dari segala gagasan kita mengenai wujud masyarakat
yang kita anggap baik, yang menjamin kesentosaan kita semua, yang mampu memberi
kesejahteraan lahir batin bagi kita semua.Pancasila lah yang menjiwai Undang-Undang
Dasar 1945. Karena itu Undang-Undang Dasar 1945 tidak akan kita fahami atau mungkin
kita laksanakan secara keliru jika kita tidak memahami Pancasila. Selanjutnya apa yang
diamanatkan oleh Pancasila dan apa yang ditunjukkan oleh Undang-Undang Dasar 1945
harus tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yang merupakan strategi
pembangunan kita dalam setiap tahap. Karena itu untuk melaksanakan Garis-garis Besar
Haluan Negara sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan, maka kita semua harus memahami
dan menghayati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.

Penataran P-4 dan Indoktrinasi

Penyelenggaraan penataran P-4 adalah merupakan realisasi Ketetapan MPR RI,


jadi merealisasikan kehendak rakyat. Pelaksanaan penataran P-4 diselenggarakan sesuai
dengan tata cara demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Jadi kalau Presiden
kemudian menetapkan dan mengatur pelaksanaan penataran P-4 tiada lain adalah
mengemban amanat MPR RI.

Namun ada pula yang menuduh bahwa penyelenggaraannya terlalu indoktrinatif,


bahkan ada yang mempersoalkan, apakah masalah moral warganegara itu menjadi
tanggung jawab negara?Sejauh mana negara memiliki kewenangan dalam mengatur
moral warganegaranya?Dapatkah negara memaksakan sesuatu nilai tertentu pada
warganegaranya?Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sangat mendasar,
bahkan mungkin sangat filosofis.Apakah sebenarnya indoktrinasi itu?

Indoktrinasi adalah suatu tindakan atau proses untuk mentranformasikan ajaran


atau prinsip tertentu. Setiap proses pendidikan dan pengajaran pasti mengandung
tindakan indoktrinasi, yakni untuk mentranformasikan prinsip-prinsip atau nilai-nilai
tertentu. Dalam kehidupan bersama pasti diperlukan adanya common denominator,
adanya common platform, yang dipergunakan sebagai dasar terjadinya kehidupan
bersama. Secara sadar ataupun tidak sadar terjadilah proses indoktrinasi. Apabila
tranformasi tersebut berlangsung secara alami, maka tidak dikatakan indoktrinasi, tetapi
apabila berlangsung dalam proses paksaan maka lalu dikatakan indoktrinasi. Jadi
sebenarnya suatu proses transformasi prinsip dan nilai tergantung pada pendekatan dan
metoda yang diterapkan, sehingga dikatogarikan sebagai indoktrinasi dan bukan.

11
D.     MASA REFORMASI

Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki
kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan
dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan.Para elite politik
cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan
sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan
politik.Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat
memilukan.Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak
berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di
Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian
Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari
peristiwa-peristiwa tersebut, nampak sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di
ambang krisis degradasi moral dan ancaman disintegrasi.

Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari
banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan
diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus
bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial.Masyarakat kecil benar-
benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Kondisi ini
diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga
bahan kebutuhan pokok lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat
dengan menyediakan dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak
terjadi penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan
pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.

Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu


keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan
masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada
beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam
memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada
pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara
optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).

12
BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Pancasila sebagai warisan bangsa dapat digolongkan sebagai budaya sebab


kompleksitas masyarakat Indonesia pada dasarnya dibangun selaras paham-paham dalam
Pancasila.Dalam budaya Pancasila, dianut dan dikembangkan sikap kekeluargaan yang
dilandasi oleh semangat kebersamaan, kesediaan untuk saling mengingatkan, saling
mengerti dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan
golongan.

Budaya ini sudah terbukti mampu membawa bangsa Indonesia meraih


kemerdekaan, menggalang persatuan dan kesatuan, dan mendorong
pembangunan.Keberhasilantersebut dapat terwujud sebab potensi konflik akibat
perbedaan budaya tidak bisa hidup dalam Pancasila. Sebaliknya, budaya Pancasila itu
terus menerus diperbaharui lewat pengalaman hidup bernegara dan bermasyarakat
sehingga ia bisa mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai mosaik budaya etnis yang
ada di bumi Nusantara. Sungguh suatu interaksi budaya yang dua arah dan dinamis.

Memahami peranan Pancasila sejak era kemerdekaan hingga kini, khususnya


dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki
agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama, dan akhirnya
memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan, dan fungsi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi manakala
dikaji perkembangannya secara konstitusional selama ini dihadapkan pada situasi yang
tidak kondusifsehingga kredibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam
wacana politis maupun akademis. Hal ini diperparah oleh minimal dua hal, ialah:
pertama, penerapan Pancasila yang dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar filosofinya
sebagai dasar negara; dan kedua, krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia
yang diikuti oleh fenomena disintegrasi bangsa.

13
DAFTAR PUSTAKA

Soegito,A.T, dkk. 2013. Pendidikan Pancasila.Semarang: Pusat Pengembangan MKU-


MKDK UNNES, 2013.

http://ikadwisaputra.blogspot.com/2012/11/pelaksanaan-pancasila-pada-masa.html

http://lppkb.wordpress.com/2008/06/10/pancasila-dari-masa-ke-masa/

http://hidayat07.wordpress.com/2009/05/26/implementasi-pancasila/

Unknown di 19.23

https://www.cecepgaos.com/2020/07/materi-pembelajaran-ppkn-kelas-9-bab-1-.html?=1

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5721317/penerapan-pancasila-sebagai-dasar-
negara-pada-masa-awal-kemerdekaan

14

Anda mungkin juga menyukai