DOSEN PENGAMPU:
Darwianis,S.Sos,M.H
Oleh : Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
a. Kesimpulan ............................................................................................ 13
b. Daftar Pustaka ........................................................................................ 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
manusia Indonesia, corak pertamasebagaimana terlihat pada sebagian penting golongan
elite strategis, ialah kecenderungan untuk bersikap dan bertingkah laku memonopoli
kebenaran yang menjurus kepada kemungkinan lahirnya mentalitas otoriter/totaliter.
Corak kedua ialah yang terlihat dalam sikap dan tingkah laku politik sebagian besar
anggota masyarakat yang masih berwarna emosional-primordial. Corak ini memperkuat
corak pertama. Kalau diteliti lebih dalam, corak pertama juga memperkuat corak kedua.
Dengan begitu kedua corak sikap dan tingkah laku politik itu saling memperkuat. Dari
kombinasi keduanya muncul pola sikap dan tingkah laku politik yang menjurus kepada
feodalisme yang selanjutnya dapat melahirkan otoriter/totaliter. Dari sini mungkin mulai
terlihat bagaimana kesenjangan antara pola sikap dan tingkah laku politik yang
dikehendaki demokrasi pancasila dengan kenyataan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 oleh PPKI merupakan modal
berharga bagi terselenggarakannya roda pemerintahan negara RI. Paling tidak, bangsa
Indonesia telah memiliki ketentuan-ketentuan yang pasti dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Namun, sebelum semua alat perlengkapan negara tersusun, bangsa
Indonesia dihadapkan persoalan eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke
wilayah Indonesia.sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 29 September 1945,
sekutu bersama orang-orang NICA dengan mengatasnamakan Palang Merah
Internasional mendarat di Surabaya untuk mengurus orang-orang Belanda bekas tawanan
tentara Jepang. Bagi bangsa dan Pemerintah Indonesia kehadiran mereka sebenarnya
bukan masalah. Artinya, bangsa dan Pemerintah Indonesia dapat menerima, bahkan
membantunya apabila diperlukan. Namun dalam perkembangannya, orang-orang NICA
terus berusaha menguasai wilayah Indonesia (Nederlands Indies) secara de facto. Itulah
sebabnya Wolhoff dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” mengatakan
bahwa sejak 17 Agustus 1945 dalam sebagian wilayah negara Koninkrijk de Nederlander
(wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua macam pemerintah, yaitu sentral dan lokal.
3
dalam rangka mempertahankan dan menguasai secara de facto atas seluruh wilayah
Indonesia.
4
Undang Dasar Sementara 1950. Dalam perjalanannya berhasil melaksanakan
pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 yang selama itu dianggap paling
demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun
Undang-Undang Dasar seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis
politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan Pemerintah mengeluarkan
Dekrit Presiden 1959. Dekrit tersebut dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang
berisi: membubarkan Badan Konstituante; Undang-Undang Dasar Tahun 1945
berlaku kembali dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 tidak
berlaku; serta segera akan dibentuk MPRS dan DPAS. Pada periode ini, dasar
negara tetap Pancasila. Akan tetapi, dalam penerapannya lebih diarahkan seperti
ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Namun karena kuatnya tekanan yang dilakukan orang-orang NICA, maka dalam
rangka mengoptimalkan semua kekuatan bangsa Wakil Presiden Drs. Mocammad Hatta
mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat ini pada dasarnya berisi perubahan kedudukan Komite Nasional Indonesia
sebagai pembantu Presiaden menjadi lembaga legislatif. Perubahan ini sebenarnya bukan
persoalan karena memiliki tujuan yang baik. Apakah maklumat tersebut dapat dikatakan
sebagai penyimpangan UUD 1945?
Inilah persoalan yang menarik untuk dikaji. Di satu sisi, setiap orang berhak
menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden No. X merupakan penyimpangan dan sisi
lain, orang juga berhak menyatakan sebagai bukan penyimpangan kaena bisa dianggap
5
sebagai amandemen. Lebih-lebih, jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu
belum ada lembaga legislatif.
Sejak saat itu, lahirlah partai-partai politik di wilayah Indonesia dalam jumlah
yang sangat besar. Lahirnya partai politik ini membawa perkembangan baru yaitu
munculnya desakan agar sistem Presidentil Kabinet diganti dengan sistem Parlementer
Kabinet. Untuk itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14
Nopember 1945 tentang perubahan sistem Kabinet Presidentil menjadi Kabinet
Parlementer. Perubahan ini berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasioanal Indonesia
Pusat pada tanggal 11 Nopember 1945. Perubahan ini nyata-nyata merupakan
penyimpangan konstitusional.
6
Munculnya perlawanan yang sengit dari rakyat Indonesia, memaksa Belanda
untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Perundingan-perundingan
yang dilakukan berhasil menghasilkan perjanjian-perjanjian, meskipun oleh Belanda
sering dilanggar dan dikhianati. Sementara, pemerintah Indonesia (PM Syahrir maupun
PM Amir Syarifuddin) tidak mampu memaksakan isi perjanjian kepada Belanda sehingga
akhirnya kedua Kepala Pemerintahan tidak mendapat kepercayaan dari rakyat. Akhirnya,
Kepala Pemerintahan diambil alih oleh Wakil Presiden, Drs. Mochammad Hatta. Dengan
sendirinya, sistem kabinet Presidentil.
Walaupun konstitusi negara sudah kembali pada UUD NRI Tahun 1945, namun
pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Beberapa
penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, di antaranya sebagai
berikut.Presiden Soekarno ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup berdasarkan TAP
MPRS No. XX/1963, yang menyebabkan kekuasaan presiden semakin besar dan tidak
terbatas.Presiden mengeluarkan penetapan Presiden No. 3/1960 tanggal 5 Maret 1960
yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.Presiden membentuk MPRS yang anggota-
7
anggotanya terdiri atas anggota DPR-GR, utusan daerah, dan utusan golongan yang
semuanya diangkat serta diberhentikan oleh presiden.Pada periode ini, terjadi
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 yang dipimpin oleh D.N Aidit. Tujuan
pemberontakan ini adalah menjadikan negara Indonesia sebagai negara komunis yang
berkiblat ke negara Uni Soviet serta mengganti Pancasila dengan paham komunis.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan
sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak
(voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat
dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri
dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya
8
pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu
tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik,
ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden
1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada
UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah
Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas
pemerintahan.
9
mengusahakan agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tersebut dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.” Maka dalam waktu yang singkat Presiden
mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4) tersebut.
Isi instruksi tersebut adalah agar Menteri-menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga
Nondepartemen, Gubernur Bank Indonesia, dan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I
menyelenggarakan penataran bagi pegawai dalam lingkungan masing-masing mengenai
hasil-hasil Sidang Umum MPR RI tahun 1978, utamanya mengenai P-4. Pada lampiran
dari Instruksi Presiden No.10 tahun 1978, pada pasal 4 disebutkan terdapat lima tingkat
penataran yakni penataran tingkat (a) Nasional, (b) Instansi Pusat, (c) Propinsi, (d)
Kabupaten/Kotamadya, (e) Kecamatan.
Penataran tersebut menghasilkan tiga buku, yakni (1) Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar 1945, dan (3) Garis-garis Besar Haluan
Negara, merupakan materi pelengkap yang dipergunakan dalam penataran P-4.Adapun
materi pokok adalah (1) TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila, (2) UUD 1945, dan TAP MPR RI tentang Garis garis Besar
Haluan Negara.Bahan tersebut merupakan tiga hal saling kait mengkait dalam
pelaksanaan pembangunan bangsa. Berhubungan dengan pentingnya tiga bahan tersebut
Presiden Soeharto, pada waktu membuka penataran calon Penatar tingkat Nasional di
Istana Bogor pada tanggal 1 Oktober 1978, menegaskan bahwa:
10
Pancasila adalah sumber dari segala gagasan kita mengenai wujud masyarakat
yang kita anggap baik, yang menjamin kesentosaan kita semua, yang mampu memberi
kesejahteraan lahir batin bagi kita semua.Pancasila lah yang menjiwai Undang-Undang
Dasar 1945. Karena itu Undang-Undang Dasar 1945 tidak akan kita fahami atau mungkin
kita laksanakan secara keliru jika kita tidak memahami Pancasila. Selanjutnya apa yang
diamanatkan oleh Pancasila dan apa yang ditunjukkan oleh Undang-Undang Dasar 1945
harus tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yang merupakan strategi
pembangunan kita dalam setiap tahap. Karena itu untuk melaksanakan Garis-garis Besar
Haluan Negara sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan, maka kita semua harus memahami
dan menghayati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
11
D. MASA REFORMASI
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki
kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan
dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan.Para elite politik
cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan
sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan
politik.Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat
memilukan.Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak
berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di
Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian
Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari
peristiwa-peristiwa tersebut, nampak sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di
ambang krisis degradasi moral dan ancaman disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari
banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan
diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus
bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial.Masyarakat kecil benar-
benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Kondisi ini
diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga
bahan kebutuhan pokok lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat
dengan menyediakan dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak
terjadi penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan
pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
http://ikadwisaputra.blogspot.com/2012/11/pelaksanaan-pancasila-pada-masa.html
http://lppkb.wordpress.com/2008/06/10/pancasila-dari-masa-ke-masa/
http://hidayat07.wordpress.com/2009/05/26/implementasi-pancasila/
Unknown di 19.23
https://www.cecepgaos.com/2020/07/materi-pembelajaran-ppkn-kelas-9-bab-1-.html?=1
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5721317/penerapan-pancasila-sebagai-dasar-
negara-pada-masa-awal-kemerdekaan
14