Anda di halaman 1dari 12

Nama : Setyo Aji Wibowo

Kelas : 3A4 Akuntansi


NIM : 2020017154
Mata Kuliah : Akuntansi Perbankan
Perkembangan Akuntansi Syariah
Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi
konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian
buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali
mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah
yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK
ini diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri
keuangan di tanah air yang berprinsip syariah.
PSAK tersebut dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya.
Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem
acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang
belum nyata dalam laporan keuangan.
Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa
mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis
ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.
Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya
kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sistem akuntansi akrual
tersebut. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena
pendekatan dasar akrual memang membuka peluang kecurangan dalam pembukuan. Tragedi
WorldCom terjadi karena akuntan memanfaatkan celah-celah dasar akrual, yang akhirnya
merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan tersebut terjadi karena banyak keuntungan yang
masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.
Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi syariah harus terus
didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga
penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang
menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.
A. Sejarah Akuntansi Syariah
Apabila kita pelajari sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya  Islam di
Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah
Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat
undang-undang  akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau
perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran
negara.
Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa
sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas
keuangan). Bahkan Al-Qur’an menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan
diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-
fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang
diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut.
Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan :
“Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya.”
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu
mengenal sistem akuntansi, karena Al-Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800
tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494 M. Dari
sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Dalam Al-Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan
dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi
kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan
dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi :
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia
pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat
yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur/menakar tersebut, juga menyangkut
pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga
seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah
organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan
kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya.
Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan
beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan
dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam
Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan
pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana
digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi :
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
B. Pengertian Akuntansi Syariah
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu”
Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad
saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore
itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen,
yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh
seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran,
pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau
peristiwa.
C. Tujuan Akuntansi Syariah
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan
kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah
membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Terdapat tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu :
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat
dan lingkungannya;
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek
kehidupan di bidang hukum dan muamalah;
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa
maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar :
a. Keselamatan keyakinan agama (al din);
b. Kesalamatan jiwa (al nafs);
c. Keselamatan akal (al aql);
d. Keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl);
e. Keselamatan harta benda (al mal).
Bisnis syariah dewasa ini mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi tren
baru dunia bisnis di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim maupun non muslim,
perkembangan ini terutama terjadi di sektor keuangan. Perbankan Syariah dan produk-
produknya telah beredar luas di masyarakat, Asuransi Syariah dan Reksadana Syariah juga
sudah mulai bermunculan. Perkembangan bisnis syariah ini menuntut standar akuntansi yang
sesuai dengan karakteristik bisnis syariah sehingga transparansi dan akuntanbilitas bisnis
syariah pun dapat terjamin.
Apabila ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan
segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang
saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap,
(Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti),
dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia
menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi
sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.
Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan,
paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang
laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung
jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.
D. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar :
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia;
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu;
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama;
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir
orang saja;
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang;
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti;
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab);
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

E. Dasar Hukum Akuntansi Syariah


Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :
1. Al Quran;
2. Sunah Nabwiyyah;
3. Ijma (kespakatan para ulama);
4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu;
5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari
kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-
norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan
masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah
dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut :
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan
keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost
(biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaan Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional, menurut
Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat
pada hal-hal sebagai berikut :
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga
untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan
modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan
konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi
modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang
lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal
tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam
konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta
berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang
dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara
untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau
nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekkan teori pencadangan dan ketelitian dari
menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang
bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara
penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta
membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang,
modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam
konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari
kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan
pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta
menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba
dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada
pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya
jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika
adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual
maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan
laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah
Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok,
sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting“,
Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan
berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta-rule”
yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal
dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan
manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung
jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan
mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri
(Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi,
tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Dari uraian di atas, dapat disebutkan bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah
yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.
F. Perkembangan Akuntansi Syariah
Sejalan dengan mulai diberlakukannya ketentuan transparansi bagi perbankan syariah,
selama tahun laporan telah dilakukan pertemuan dengan pihak Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI) yang ditindaklanjuti dengan pemberian materi yang diperlukan pada pelatihan
berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia kepada para Akuntan
Publik Indonesia dalam rangka memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan
pemenuhan ketentuan tersebut yang mulai berlaku untuk laporan keuangan tahun buku 2006.
Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap perbankan syariah sebelum
mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan, agar memperoleh pendapat terlebih dahulu
dari Dewan Pengawas Syariah tentang kepatuhan bank syariah yang diawasinya.
Adanya laporan pengawasan syariah kepada stakeholders perbankan syariah dan
keharusan untuk mendapatkan pendapat Dewan Pengawas Syariah bagi Akuntan Publik
sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan perbankan syariah yang diaudit,
adalah merupakan salah satu usaha untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat dalam
penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran
akhir yang akan dicapai dalam revisi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah tahun
2005 berupa terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah.
Dalam upaya untuk mendorong tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang
seragam dan pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian, pada
tahun laporan telah dilakukan pembahasan bersama pihak terkait didalam Komite Akuntansi
Syariah dimana Bank Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Ikatan Akuntan
Indonesia dan pihak lainnya.
Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan
Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah
syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi
perbankan syariah :
1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah;
2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah;
3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah;
4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam;
5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna;
6. PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah;
7. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.
IAI sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan standar akuntansi keuangan dan
audit bagi berbagai industri merupakan elemen penting dalam pengembangan perbankan
syariah di Indonesia, dimana perekonomian syariah tidak dapat berjalan dan berkembang
dengan baik tanpa adanya standar akuntansi keuangan yang baik.
Standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan prinsip syariah sangat dibutuhkan dalam
rangka mengakomodir perbedaan esensi antara operasional Syariah dengan praktek
perbankan yang telah ada (konvensional). Untuk itulah maka pada tanggal 25 Juni 2003 telah
ditandatangani nota kesepahaman antara Bank Indonesia dengan IAI dalam rangka kerjasama
penyusunan berbagai standar akuntansi di bidang perbankan Syariah, termasuk pelaksanaan
kerjasama riset dan pelatihan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kompetensi IAI.
Sejak tahun 2001 telah dilakukan berbagai kerjasama penyusunan standar dan pedoman
akuntansi untuk industri perbankan syariah termasuk penyelesaian panduan audit perbankan
syariah, revisi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah dan revisi Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI).
Dengan semakin pesatnya perkembangan industri perbankan syariah maka dinilai perlu untuk
menyempurnakan standar akuntansi yang ada. Pada tahun 2006, IAI telah menyusun draft
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Draft ini diharapkan dapat
ditetapkan menjadi standar pada tahun 2007.
Dalam penyusunan standar akuntansi keuangan syariah, dilakukan IAI dengan
bekerjasama dengan Bank Indonesia, DSN serta pelaku perbankan syariah dan dengan
mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah internasional yaitu
AAOIFI. Hal ini dimaksudkan agar standar yang digunakan selaras dengan standar akuntansi
keuangan syariah internasional.
G. Asas Transaksi Syariah
Transaksi syariah berasaskan pada prinsip :
1. Persaudaraan (ukhuwah); Prinsip persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai
universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk
kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong menolong. Transaksi syariah
menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economics)
sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain.
Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling
memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), saling
bersinergi dan beraliansi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah); Prinsip keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya
pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan
sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan
prinsip muamalah yang melarang adanya unsur :
a. Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik
riba nasiah maupun fadhl);
b. Kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);
c. Maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
d. Gharar  (unsur ketidakjelasan); dan
e. Haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang
terkait).
3. Kemaslahatan (maslahah); Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan
segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan
spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan yang diakui harus memenuhi dua
unsur yakni kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib)
dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan.
Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-
unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa
pemeliharaan terhadap :
a. Akidah, keimanan dan ketakwaan (dien);
b. Intelek (‘aql);
c. Keturunan (nasl);
d. Jiwa dan keselamatan (nafs); dan
e. Harta benda (mal).
4. Keseimbangan (tawazun); Prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi
keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan
sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian.
Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan
semata untuk kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga manfaat yang didapatkan
tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat
merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.
5. Universalisme (syumuliyah). Prinsip universalisme (syumuliyah) esensinya dapat
dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa
membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan
semesta (rahmatan lil alamin).
H. Karakter Transaksi Syariah
Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan azas transaksi syariah harus
memenuhi karakteristik dan persyaratan sebagai berikut :
1. Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha;
2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib);
3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas;
4. Tidak mengandung unsur riba;
5. Tidak mengandung unsur kezaliman;
6. Tidak mengandung unsur maysir ;
7. Tidak mengandung unsur gharar;
8. Tidak mengandung unsur haram;
9. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time valueof money) karena
keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat
pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain
without accompanying risk);
10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk
keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan
menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua
transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad;
11. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui
rekayasa penawaran (ihtikar); dan
12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).

Anda mungkin juga menyukai