Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU OBSTETRI& GINEKOLOGI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2021


UNIVERSITAS TADULAKO

SINDROM HELLP + EKLAMPSIA + GGA

Disusun Oleh :

TRI UTAMI WAHYUNINGSIH

N 111 19 048

Pembimbing Klinik :

dr. Ni Made Astijani Giri, Sp.OG

DEPARTEMEN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Tri Utami Wahyuningsih


No. Stambuk : N 111 19 048
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Judul Refleksi Kasus : Sindrom HELLP + Eklampsia + GGA
Bagian : Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Bagian Ilmu Kandungan dan Penyakit Kandungan


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Agustus 2021


Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Ni Made Astijani Giri, Sp.OG Tri Utami Wahyuningsih


NIP. 19700719 200012 2 004 N 111 19 048
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelet count)


merupakan sindrom yang berpotensi untuk mengancam jiwa yang berkaitan
dengan preeklampsia yang dapat menimbulkan masalah dalam diagnostic dan
menajemennya menantang untuk para dokter, Sindrom HELLP pertama kali
diperkenalkan oleh Weinstein tahun 1982 dengan berdasarkan pada hasil Analisa
laboratorium dari anemia hemolitik mikroangiopati, peningkatan enzim hati, dan
trombositopenia. 1,2
Sindrom HELLP terjadi pada 0,1%-0,6% dari semua kehamilan dan pada
4%-12% pasien dengan preeklamsia. Sindrom HELLP biasanya terjadi antara
minggu ke 27 kehamilan dan persalinan, atau segera setelah melahirkan pada 15%
-30% kasus. Insiden sindrom HELLP secara signifikan lebih tinggi pada kulit
putih dan wanita keturunan Eropa. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada
kelompok usia ibu yang lebih tua, dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya,
preeklamsia paling sering terjadi pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19
tahun). Menurut WHO, Penyebab kematian ibu 80% disebabkan oleh perdarahan,
preeklampsia, infeksi, dan abortus yang tidak aman. Di Indonesia, preeklampsia
menempati prosentasi kedua setelah perdarahan yaitu sebesar 24%, perdarahan
28%, infeksi 11%, dan abortus 5%. Tidak hanya kematian maternal, pada luaran
maternal dari penderita preeklampsia dapat ditemukan juga solusio plasenta (1-
4%), sindroma Hemolysis Elevated Liver Enzym Low Platelet Count (HELLP)
(10- 12%), edema paru (2-5%), gagalginjal akut (1–5%), eklampsia (<1%), dan
kegagalan fungsi hepar (<1%). Angka kejadian sindroma HELLP pada seluruh
kehamilan adalah 0,2– 0,6%. Sindroma HELLP ini lebih sering terjadi pada
wanita kulit putih dan multigravida.3,4
Pada saat ini, ada dua pedoman utama yang digunakan untuk
mendiagnosis sindrom HELLP berdasarkan hemolisis, peningkatan enzim hati
dan jumlah trombosit rendah yaitu kalsifikasis Tennessee dan Mississippi Triple-
Class. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip
dengan Sindroma HELLP. Pengobatan sindroma HELLP juga harus
memperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan
eklampsia. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi
vasospasme dan kerusakan sel endotel.1,5
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah komplikasi kehamilan yang jarang
namun serius. Meskipun penyebab Gagal ginjal akut paring sering adalah
prerenal dan iskemik. Insufisiensi ginjal dapat memperumit beberapa kondisi
spesifik kehamilan lainnya. Secara khusus, preeklamsia berat/sindrom HELLP,
perlemakan hati akut pada kehamilan (AFLP) dan thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP) semuanya sering dipersulit oleh GGA, dan memiliki beberapa
gambaran klinis yang menimbulkan tantangan diagnostik bagi klinisi.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, pening- katan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
H:Hemolysis
EL: Elvated Liver Enzyme
LP : Low Platelets Count [5].
Sindrom HELLP merupakan suatu kondisi pada wanita hamil yang perlu
benar- benar diperhatikan dalam kaitannya dengan proses patologis pada
sistem target maternal dibalik tanda-tanda klasik preeklampsia dan eklampsia.
Sindrom ini juga dihubungkan dengan keadaan penyakit yang berat atau akan
berkembang menjadi lebih berat serta dengan prognosis maternal dan luaran
perinatal yang lebih buruk, walaupun angka- angka kematian maternal
perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat perbedaan
kriteria diagnosis yang digunakan serta saat diagnosis ditegakkan [7].

B. Patofisiologi
Serum SGOT, SGPT dan LDH akan meningkat pada preeklampsi dan
merupakan tanda Sindrom HELLP. Peningkatan fungsi liver ini merupakan
petunjuk adanya subkapsuler dan ruptur hepar imminens. Lactat
dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab
terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat
menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar. Walaupun peningkatan kadar
LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH
tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya
hemolisis [8].
Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi kelainan berupa endotelisasi
glomerulus, yaitu pembengkakkan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal
tanpa kelainan struktur lainnya, Kelainan lain yang dapat terjadi adalah anuria
sampai gagal ginjal, juga terdapat kadar kreatinin > 1 mg . Sakit kepala berat
yang menetap atau gangguan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
sampai seminggu, dapat juga terjadi perdarahan kadang – kadang pada retina,
hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri [8].

C. Diagnosis
1. Didahului tanda dan gejalayang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)
2. Adanya tanda dan gejala preeklampsia
3. Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan
bilirubin indirek
4. Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH
5. Trombositopenia , Trombosit < 150.000/ ml .
6. Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas
abdomen, ranpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala preekiampsia,
harus dipertimbangkan sin- droma HELLP [5].

Tabel 4. Tanda laboratorium sindrom HELLP [6]


Hemolisis
Terdapat dua dari bukti di bawah ini:
1. Abnormal apusan darah tepi (burr sel, sistiosit)
2. Peningkatan serum bilirubin (≥1,2 mg/dL)
3. Serum haptoglobulin rendah
4. Penurunan signifikan kadar hemoglobin, tidak berhubungan
dengan kehilangan darah
Peningkatan enzim hati
5. Peningkatan AST atau ALT 2 kali di atas nilai normal
6. Peningkatan LDH 2 kali di atas nilai nomal
Trombositopenia
7. <100.000/mm3

D. Klasifikasi
Berdasar kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi dengan
nama "Klasifikasi Mississippi'':
1. Kelas 1: Kadar trombosit : < 50.000/ml , LDH > 5OO IU/l, AST dan/atau
ALT > 40 IU/l
2. Kelas 2: Kadar trombosit > 50.000 < 100.000/ml , LDH > 600 IU/l, AST
dan/atau ALT > 40 IU/l
3. Kelas 3: Kadar trombosit > 100.000 < 150.000/ml LDH > 600 IU/I ,AST
dan/atau ALT > 40 IU/l [5].

Tennessee, dibagi menjadi 2 kelas:


 Complete
- Trombosit < 100.000 / μl
- LDH  600 IU / L
- SGOT  70 IU / L
 Parsial
- Hanya satu dari ciri – ciri di atas yang muncul

E. Diagnosis banding
1. Tromborik angiopati
2. Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya:
- acute fatty liver of pregnant

- hipovolemia berat / perdarahan berat-sepsis


3. Kelainan jaringan ikat: SLE
4. Penyakit ginjal primer [5].

F. Tatalaksana
Penatalaksanaan preeklampsia dan sindrom HELLP masih kontroversial.
Kebanyakan modalitas terapi yang diterapkan sama dengan preeklampsia berat.
Pengobatan harus dilakukan di Intensive Care Units (ICU) dengan dialisis dan
didukung oleh ventilator pada kasus berat, dan terdiri dari plasma expander,
obat antitrombosis, heparin, antitrombin, aspirin dosis rendah, prostasiklin,
imunosupresif, steroid, plasma darah segar, dialisis. [9]
Pemberian kortikosteroid diikuti oleh perbaikan yang cepat dari segi klinis
maupun parameter laboratorium, sehingga terminasi kehamilan dapat ditunda.
Perbaikan trombositopenia lebih sering diobservasi pada pemberian bertahap
dari dosis rendah ke dosis tinggi. Pemberian kortikoseteroid (deksametason,
betametason) dianggap dapat meningkatkan kadar trombosit darah.[9]
Keuntungan pada maternal yaitu memperpanjang masa antara masuk
rumah sakit dan induksi persalinan, dan keuntungan pada fetus yaitu
menambah berat badan lahir. Plasmafaresis dengan plasma darah segar
diberikan pada pasien yang menunjukkan progresifitas hiperbiliruinemia,
kreatinin serum, dan trombositopenia berat. Hal ini juga direkomendasikan
pada pasien dengan sindrom HELLP yang bertahan lebih dari 72 jam
postpartum[9]
Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000 -

150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat, nyeri


epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam. Pada
postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali, kemudian
diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan, bila telah
terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml dan penurunan
LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-eklampsia.
Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit <
50.000/ml dan antioksidan [5].
Cairan yang diberikan adalah RD 5 %, bergantian RL 5 % dengan
kecepatan 100 ml/jam dengan produksi urin dipertahankan sekurang-
kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak dilakukan seksio sesarea dan bila trombosit
< 50.000/ml, maka perlu diberi transfusi trombosit. Bila trombosit <
40.000/ml, dan akan dilakukan seksio sesarea maka perlu diberi transfusi
darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange dengan fresh frozen[5].
Plasma dengan tujuan rnenghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.
Doublestrengt dexametbasone diberikan iO mg i.v. 'jap 1,2 jam segera setelah
diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan pemberian double strengtb
dexametbasone ialah untuk (1) kehamilan prererm, meningkatkan pematangan
pam janin dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri dapat mempercepat
perbaikan gejala klinik dan laboratorik [5].
Pada sindroma HELLP postpartum diberikan deksametason 10 mg i.v.
setiap 12 jam disusul pemberian 5 mg deksametason 2 x selang 12 jam
(tappering off) . Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason

dapat diketahui dengan: meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya


tekanan darah, menurunnya kadar LDH, dan AST. Bila terjadi ruptur hepar
sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobekromi [5].

G. Komplikasi
Dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan otak yang merupakan
komplikasi paling berat yang bersifat fatal pada 50-65% kasus. Peningkatan
tekanan darah diastol secara tiba-tiba di atas 120 mmHg meningkatkan risiko
komplikasi hipertensi ensefalopati, aritmia ventrikel, DIC. Komplikasi pada
otak jarang terjadi namun jarang memberat [9].
Komplikasi renal terjadi pada level mikrovaskular (trombosis vaskular,
oklusi arteri renal, hipoperfusi). Sindrom HELLP dapat menyebabkan nekrosis
tubular yang bersifat reveribel dan nekrosis kortikal (pada sebagian besar kasus
menimbulkan sequelae). Iskemia kortikal dapat menyebabkan hipertensi
arterial, dan trombosis mikroangiopatik yang menyebabkan disfungsi renal.
Gagal ginjal pada sindrom HELLP dapat menyebabkan gangguan koagulasi,
perdarahan, dan syok. Insidensnya berkisar sekitar 8% [9].

H. Prognosis
Angka mortalitas pada ibu dengan sindrom HELLP berkisar antara 18 – 86
%. Prognosis bergantung pada diagnosis segera dan pendekatan sesegera
mungkin. Mortalitas bayi pada saat perinatal bervariasi antara 6,7 – 70%.
Sindrom HELLP menyebabkan kelahiran prematur. Sekitar 60% menjadi
kematian janin dalam rahim (KJDR), 30% pertumbuhan janin terhambat
(PJT), dan 25% trombositopenia. Masa kritis berkembang setelah induksi
persalinan. Pada kehamilan selanjutnya dapat berulang 43% [9].
BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 23/06/2021


Ruangan : ICU
Jam : 12.45 WITA

IDENTITAS
Nama : Ny.D Nama Suami : Tn. Y
Umur : 39 tahun Umur : 43 Tahun
Alamat : Buteta, Labuan Lelea Alamat :Buteta, Labuan Lelea
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP

ANAMNESIS
PIIIA0
Usia Kehamilan : 40 minggu

Keluhan Utama : Pasien dengan kejang setelah melahirkan


Riwwayat Sekarang : Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan
suami pasien. Pasien datang tanggal 22/06/2021 dengan keluhan kejang disertai
penurunan kesadaran sejak 8 jam sebelum ke rumah sakit, kemudian berhenti dan
kejang kembali 4 jam kemudian. Pasien pasca melahirkan 2 hari yang lalu di
puskesmas dan menurut pengakuan suami pasien, bahwa pada usia kehamilan 6
bulan pasien sempat kejang dan tekanan darah inpartu pasien sempat 170 namun
tidak ada Tindakan lebih lanjut yang dilakukan oleh bidan penolong. Saat di
rumah sakit pasien kejang sebanyak 4 kali kejang berlangsung selama  1 menit.
sekarang pasien mengalami pandangan kabur (+), lemah (+), lemas (+), sesak
napas (-), mual (-), Muntah(-), pusing (+), sakit kepala (+), demam (-), kencing
hanya sedikit-sedikit, BAB tidak lancar dan bengkak pada kedua tungkai (+/+).
Riwayat Penyakit Dahulu : Sebelumnya pasien tidak ada riwayat kejang (-),
riwayat DM (-), asma (-), penyakit jantung (-), alergi (-).
Riwayat penyakit keluarga : Pasien tidak mengetahui secara pasti Riwayat
penyakit dalam keluarga pasien
Riwayat Obstetri :
 Anak pertama jenis kelamin laki-laki lahir tahun 2004 cukup bulan,
lahir spontan LBK BBL tidak diketahui oleh ayah pasien
 Anak kedua, jenis kelamin perempuan lahir tahun 2009, cukup bulan
lahir spontan LBK, BBL : 2900 gram
 Anak ketiga, jenis kelamin laki-laki lahir tahun 2021, lahir cukup
bulan
Riwayat ANC : Pasien tidak rutin melakukan pemeriskaan ANC
Riwayat Imunisasi : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit Berat Tek. Darah : 180/120 mmHg
Kesadaran : E2 V2 M1 Nadi : 110x/menit
BB : 69 Kg Respirasi : 28x/menit
TB : 155 cm Suhu : 36,8ºC

1. Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-), pembesaran
KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
2. Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas paru-hepar
SIC VII LMD, batas jantung DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung I/II
murni reguler
3. Abdomen :
I : Perut cembung kesan normal, striae alba (+), massa (-)
A : peristaltik (+) kesan menurun
P : timpani (+)
P : nyeri tekan kuadran kanan atas (+)
 Genitalia :
Pemeriksaan Dalam (VT) : tidak dilakukan
 Ekstremitas :
Atas :Akral hangat, Edema -/-
Bawah :Akral hangat, Edema +/+

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
 Wbc : 28 x 103/mm3 BT : 8’
 Hgb : 8,4 gr/dl CT : 4’
 Hct : 38.6 % HbSAg : non-reaktif
 Plt : 63 x 103/l Ureum : 94 mg/dL
 Rbc : 4,8 x 106/l Creatinin : 2,79 mg/dL
 SGOT : 104 U/L
 SGPT : 105 U/L
Urine
 Protein : +2 Silinder : (-)
 Leukosit : 8/LPB Epitel : (+)
 Eritrosit : 20 Kristal : (-)

RESUME
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan suami pasien. Pasien
datang tanggal 22/06/2021 dengan keluhan kejang disertai penurunan kesadaran
sejak 8 jam sebelum ke rumah sakit, kemudian berhenti dan kejang kembali 4 jam
kemudian. Pasien postpartum 2 hari yang lalu di puskesmas dan menurut
pengakuan suami pasien, bahwa pada usia kehamilan 6 bulan pasien sempat
kejang dan tekanan darah inpartu pasien sempat 170 namun tidak ada Tindakan
lebih lanjut yang dilakukan oleh bidan penolong. Saat di rumah sakit pasien
kejang sebanyak 7 kali kejang berlangsung selama +/- 1 menit. sekarang pasien
mengalami pandangan kabur (+), lemah (+), malaise (+), sesak napas (-), nyeri
perut kuadran kanan atas (+), nausea (-), vomitus (-), pusing (+), sakit kepala (+),
demam (-), kencing hanya sedikit-sedikit, BAB tidak lancar dan edema pada
kedua tungkai (+/+).
Dari pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+), TD :
180/120 , nadi 110 x/m, respirasi 28 x/m, Suhu 36,8ºC. Nyeri tekan kuadran
kanan atas, TFU 2 jari dibawah umbilikus, kontraksi uterus baik, lokia rubra (+),
ekstremitas bawah edema (+/+). Dari pemeriksaan laboratorium : Wbc : 28 x
103/mm3, Hgb : 8,4 gr/dl, Hct: 38.6 %, Plt : 63 x 103/L, Rbc : 4,8 x 106/l
HbSAg : non-reaktif, Ureum : 156,7mg/dL, Creatinin : 5,78 mg/dL, SGOT: 104
U/L SGPT : 105 U/L, Urinalisis : protein +2, leukosit 9/LPB, eritrosit 20, epitel
(+).

DIAGNOSIS
PIIIA0 post partum H2 + eklampsia + HELLP syndrome + GGA

PENATALAKSANAAN
 Pasang oksigen 4 lpm
 IVFD RL 500 CC
 Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
 Inj ondansetron 2 mg//ampul/12 jam IV
 Inj. Dexamethasone 10 mg /12 jam IV
 Inj Meropenem 1 gr/8 jam IV
 Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
 Nifedipin 3 x 10 mg
 Metildopa 2 x 250 mg
 Transfusi 1 labu Whole blood cell
 Pasang kateter
 Edukasi pasien untuk banyak minum air
 Monitoring trombosit tiap 12 jam

FOLLOW UP
24/06/2021
S : Kejang (-), Nyeri perut tembus belakang (-), pusing (+), sakit kepala (+),
penglihatan kabur (+), edema pada tungkai (+/+), sesak (+), mual (-),
muntah (-), BAB (+), BAK (+) perdarahan jalan lahir (+)

O : Keadaan Umum : Sakit Berat


Kesadaran : E4M5V4
Tekanan darah : 180/90mmHg
Nadi : 104x/m
Suhu : 36.5 0C
Pernapasan : 26 x/menit
Urin tampung 1650 cc/24 jam
Konjungtiva anemis -/-
Sclera ikterik +/+
Lokia Sanguinoleta +
Oedem palpebra (-/-)
Oedem ekstremitas Bawah (+/+)
Diuresis 1,6cc/jam
A : PIIIA0 Post partum H4 + HELLP syndrome + Eklampsia + Gagal ginjal akut
P : Terapi Obstetri
a. IVFD RL 20 tetes/menit
b. Inj. Dexamethasone 1amp/12 jam IV
c. Inj anbacim 1 gr/12jam IV
d. Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
e. O2 15 tpm
Terapi interna
a. Koreksi hiponatremi Nacl 3/500cc/jam
b. Nefrosteril/ 24j/ iv
c. Curcuma F 3x1
Terapi Anestesi
a. IVFD Nacl 3% 500 / Nacl 0,9%
b. Albumin 20% 100ml
c. Anbacim 1gr/12jam
d. Metronidazole 500 mg/12jsm
e. Omeprazole 40 mg/12 jam
f. Nefosteril 250mg / 12jam
g. Mecobalamine 1 gr/24 jam
h. Furosemide amp / 8jam / iv
i. Beta zinc 1-0-1
j. Dorner 20mcg tab 2x1
k. Acetylsistein oral 3x1
l. Digoxin 25 mg 1x1

25/06/2021 ( Pasien dipindahkan ke matahari)


S : Kejang (-), Nyeri perut tembus belakang (-), pusing (+), sakit kepala (+),
Batuk (+), penglihatan kabur (-), edema pada tungkai (+/+), sesak (+),mual
(-), muntah (-), BAB (+), BAK (+) perdarahan jalan lahir (+)
O : Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : E4M6V5
Konjungtiva anemis -/-
Sclera ikterik +/+
Lokia Sanguinoleta +
Oedem palpebra (-/-)
Oedem ekstremitas Bawah (+/+)
Tekanan darah : 130/80mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5 0C
Pernapasan : 22x/menit
SpO2 Bebas : 95%
Urin tampung +/- 1500 cc/24 jam
Laboratorium :
Darah Lengkap
HGB : 11.8 g/dL
WBC : 11.5 x 103 / uL
RBC : 3.96 x 106/uL
HCT : 35.2 %
PLT 85 x 103 x/uL
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
Ureum 104 mg/dL
Kreatinin 1.7 mg/dL
Fungsi Hati
SGOT : 36 U/L
SGPT : 56 U/L
A : PIIIA0 Post partum H5 + HELLP syndrome + Eklampsia + Gagal ginjal akut
P : Terapi Obstetri
a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit
b. Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
c. Inj. Dexamethasone 5 mg /12 jam IV
d. Inj anbacim 1 gr/12 jam IV
e. Nifedipin 3 x 10 mg
f. Anjurkan makanan tinggi protein
g. Konsultasi ke penyakit dalam
Terapi interna
a. Ivfd Nacl 3%/500cc/2gr
b. .Nefrosteril/ 24j/ iv
c. Curcuma F 3x1
d. Tunggu hasil lab SGOT/SGPT, Elektrolit
e. Human Albumin 20% 100 cc/IV
26/05/2021 ( Pasien Pulang Paksa)
S : Kejang (-), Nyeri perut tembus belakang (-), pusing (+), sakit kepala (+),
penglihatan kabur (-), edema pada tungkai (+/+), sesak (+),mual (-), muntah
(-), BAB (+), BAK (+) perdarahan jalan lahir (+)
O : Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : E4M6V5
Konjungtiva anemis -/-
Sclera ikterik +/+
Lokia Sanguinoleta +
Oedem palpebra (-/-)
Oedem ekstremitas Bawah (+/+)
Tekanan darah : 130/80mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5 0C
Pernapasan : 20 x/menit
SpO2 Bebas : 96%
Urin tampung +/- 1450 cc/24 jam
A : PIIIA0 Post partum H6 + HELLP syndrome + Eklampsia + Gagal ginjal akut
P : Terapi Obstetri
a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit
b. Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
c. Inj. Dexamethasone 5 mg /12 jam IV
d. Inj anbacim 1 gr/12 jam IV
e. Nifedipin 3 x 10 mg
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien datang dengan kondisi postpartum dimana sesuai
dengan teori bahwa kejadian sindrom HELLP bisa terjadi 30 % pada pasien
dengan post partum. Teori menjelaskan bahwa angka kejadian meningkat pada
wanita multiparitas dan sama halnya pada kasus dimana pasien dengan paritas dua
atau dua kali melahirkan anak.
Klasifikasi Sindrom HELLP pada pasien ini yaitu, masuk dalam kelas II
karena dari hasil pemeriksaan trombosit 63 x 103/L dan SGOT 105 U/L dan SGPT
105 U/L ini berdasarkan klasifikasi Missisipi.
Dari gejala klinis, pasien sering sekali mengeluh nyeri di regio epigastrik
atau kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual dan muntah (45-
86%), nyeri kepala (30-60%), dan gangguan penglihatan (20%). Namun gejala
yang terjadi kadang-kadang tidak spesifik yang menyerupai infeksi virus, seperti
demam dan badan terasa lemah. Pada kasus ini gejala yang disebutkan diatas
semuanya ada pada pasien dan membuat kasus ini menjadi semakin khas untuk
menjurus kepada Sindrom HELLP. Pasien mengalami hemolisis itu terbukti dari
ditemukan adanya penurunan hemoglobin pada pasien.
Baku emas penegakan diagnosis Sindrom HELLP masih menggunakan
hasil pemeriksaan laboratorium yang memberikan bukti adanya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Pada kasus ini sudah dilakukan
pemeriksaan baku emas dan hasilnya sangat mengarah kepada sindrom HELLP.
Namun masih terdapat perbedaan-perbedaan untuk menentukan patologi tersebut.
Selain itu, adanya penurunan Hb dan peningkatan bilirubin biasanya belum
terdeteksi pada kasus akut, sehingga belum bisa dijadikan patokan. Sebenarnya
indikator yang lebih spesifik adalah penurunan kadar haptoglobin atau tidak
terdeteksinya haptoglobin, namun belum bisa menjadi pemeriksaan rutin.
Abnormalitas hepar ditentukan dengan peningkatan enzim-enzim hepar seperti
ALT, AST, dan kadar bilirubin.
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit <50.000/ml
atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu
protrombin, waktu tromboplastin parisal dan fibrinogen. Pada kasus ini belum
dilakukan pemeriksaan PT dan aPPT karena trombosit yang didapatkan
>50.000/ml. Jika didapatkan kadar trombosit <100.000/ml atau trombosit
100.000-150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat,
nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg iv tiap 12 jam.
Pada kasus ini telah diberikan terapi deksametason karena trombosit
<100.000/ml dengan tanda dan gejala seperti diatas, dan setelah beberapa hari
monitoring didapatkan hasil yang cukup memuaskan dimana terjadi kenaikan
trombosit yang signifikan dan penurunan enzim hati kembali ke nilai normal.
Pada pasien postpartum deksametason diberikan 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali,
kemudian diikuti 6 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan bila
tela terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml serta perbaikan
tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-eklampsia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rimaitis,K., Grauslyte,L., Zavackiene, A., Baliuliene,V.,


Nadisauskiene, R., Macas, A. Diagnosis of HELLP Syndrome: A 10-
Year Survey in a Perinatology Centre. International Journal of
Environmental Research and Public Health. 2019.
2. Wang,L. Tang,D., Zhao,H., Lian,M. Evaluation of risk and
prognosis factor of Acute Kidney Injury in Patients With HELLP
Syndrome during Pregnancy. Frontiers in Physicology. 2021
3. Khan,H. HELLP Syndrome. Emedicine Medscape. 2018
4. Octarianingsih,F., Rivandi,D. Karakteristik Luaran Maternal dan
Pernatal pada preeklampsia berat di rumah sakit umum Dr. H Abdul
Moeloek tahun 2014. Jurnal Medika Malahayati. 1(3) : 125-132.
2014
5. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. 4th ed. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta; 2016. P532-37, p554-59.
6. Sibai BM. A practical plan to detect and management of HELLP
syndrome. OBG management 2005.
7. Syafrullah, S. C, dkk. Preeklampsia berat dengan Partial HELLP Sindrom.
Jurnal Medula Unila. Vol 6. No1. 2016.
8. Savitri, E., Desmiwarti. Gagal Ginjal Akut pada Impending Eklampsia
disertai Sindrom HELLP. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018.
9. Mihu D, Costin N, Mihu CM, Seicean A, Ciortea R. HELLP Syndrome – a
Multisystemic Disorder. J Gastrointestin Liver Dis 2007; 16 (4): 419-424.

Anda mungkin juga menyukai