NRP : 5017211015
Menurut Rezky selaku BPH Makassar, Dalam kasus ini sangat terlihat ada keberpihakan
Polisi Luwu Timur terhada pelaku terduga. Kalau sudah ada testimony dari anak, sudah
seharusnya digali bukti-bukti pendukung. Pada kasus lain yang ia dampingi biasanya
hanya didiamkan oleh polisi. Tapi dikasus ini malah dibuatkan administrasi
pemberhentiannya.
Sangat disayangkan apabila sifat anarkis polisi masih dipelihara dari tahun ke
tahun. Brutalitas aparat dalam penanganan aksi demonstrasi bukan peristiwa yang
terjadi sekali dua kali saja, bahkan kerap kali menimbulkan koran luka dan jiwa.
Tindakan brutalisme aparat yang ditunjukkan terhadap massa aksi tidak terlepas
dari kultur kekerasan yang langgeng di tubuh kepolisian. Selain itu, tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi tidak
pernah diusut tuntas dan berkeadilan. Hal tersebut akhirnya membuat tindakan
serupa dinormalisasi sehingga terus terjadi keberulangan dan bertolak belakang
dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuaata yang humanis. Walaupun pelaku
sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, namun hal tersebut tidak
menghapus pertanggungjawaban pelaku dan juga atasan pelaku. Pada konteks ini
Polda harus tetap memproses baik secara etik maupun pidana. Proses hukum
terhadap pelaku dan atasan sangat penting dilakukan tidak hanya untuk
memberikan keadilan bagi korban tetapi juga memutus rantai impunitas sekaligus
memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali. Karena apabila polisi sebagai
pelaku, maka kepada siapa masyarakat bisa meminta keadilan.
Dikutip dari Detik News pada tanggal 17 Oktober 2021 seorang mahasiswi
berusia 19 tahun berinisial FA mengalami percobaan pemerkosaan di tempat
tinggalnya di Aceh Besar. Saat itu korban sedang sendiri di rumah karena ibu korban
pergi keluar tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu berulang kali. FA kemudian
menghubungi ibunya melalui telepon karena ketakutan. Namun ia memberanikan
diri karena berpikir bahwa orang di luar adalah tetangganya. Setelah pintu dibuka
pelaku langsung membekap korban dan melakukan percobaan pemerkosaan. Aksi
tersebut gagal karena tak berselang lama ibu korban kembali ke rumah dan
mendapati putrinya jatuh pingsan karena terbentur meja sementara kondisi
rumahnya berantakan dan pelaku melarikan diri. Lalu korban dan ibunya
mendatangi LBH Banda Aceh untuk meminta bantuan hukum. Kemudian LBH Banda
Aceh mengantarkan korban Kapolresta Banda Aceh namun ke mereka kemudian
tidak diizinkan masuk karena korban dan ibunya tidak bisa menunjukkan sertifikat
vaksinasi. Mereka baru diizinkan masuk ruang sentra pelayanan kepolisian terpadu
ketika pendamping hukum menunjukkan sertifikat vaksinasi. Korban memiliki
riwayat penyakit yang membuatnya tidak bisa divaksin Ia juga memiliki surat
keterangan dokter namun saat itu sedang tidak dibawa olehnya. Meski sudah berada
di ruangan kemudian polisi bersikeras untuk tidak menerima aduan dan laporan
korban karena korban tidak bisa menunjukkan surat sertifikat vaksinasi atau surat
keterangan dokter kondisi tersebut akan menyebabkan korban untuk melapor Ia
tetap berusaha menjelaskan kronologinya Ironisnya seorang polisi menanggapi
dengan kalimat “Mana bisa kamu katakan itu percobaan pemerkosaan memangnya
ada di pegang alat kelaminmu atau dipegang daerah sensitive, misalnya di remas
remas payudaranya kalau tidak ya berarti bukan percobaan perkosaan ini
penganiayaan namanya”.