Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ayu Putri Ramadhani

NRP : 5017211015

Kelas : KWN (32)

Jurusan : Teknik Geofisika

Dosen : John Sinartho Wolo, S.Fil. M.Hum.

Tagar Terkini #PercumaLaporPolisi

Beberapa waktu lalu, tagar #percumalaporpolisi trending topik dibeberapa


sosial media salah satunya yang paling ramai adalah dikalangan pengguna twitter.
Tagar ini ramai menjadi bahan pembicaraan publik karena lemahnya respons
kepolisian dalam penindakan sejumlah kasus pidana. Banyak kasus yang dilaporkan
oleh sejumlah masyarakat namun tidak diusut tuntas. Ramainya #percuma lapor
polisi yang merupakan Ekspresi kekecewaan dan kritik masyarakat atas kerja-kerja
kepolisian juga semakin memperlihatkan tidak profesionalnya institusi kepolisian
alih-alih merespon kritik dengan memperbaiki kinerja Polri justru melakukan
penyangkalan yang berlebihan dan tidak perlu .
Dikutip dari BBC Indonesia, 8 Oktober 2021, pada tahun 2019 silam perkara
dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur ditutup karena dianggap “Tidak Cukup
Bukti”. Penanganan terhadap kasus pemerkosaan terhadap anak – anak menurut
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa memberikan identitas
anak atau korban tidak diperbolehkan. Tetapi pada kenyataannya kita dapat dengan
mudah menemukan pengungkapan korban-korban di berita daring. Komnas
perempuan menegaskan perspektif aparat penegak hukum belum mempunyai
perspektif korban dan perspektif anak ataupun perempuan. Hal tersebut
mengakibatkan penanganan identitas korban kerap kali disamakan. UU tentang sistem
peradilan anak dan UU tentang perlindungan anak yang mengatur bahwa anak-anak
yang berhadapan dengan hukum harus didampingi oleh orang tua, pekerja seksual atau
psikolog. Pada kenyataannya, komisioner Komnas Perempuan menyebutkan
pemeriksaan terhadap anak tanpa didampingi masih sering terjadi dalam proses
pemeriksaan.
Kasus ini dilaporkan oleh seorang ibu (Lydia) yang memiliki 3 orang anak. Ketiga
anaknya diperkosa oleh mantan suaminya yang merupakan Aparatur Sipil Negara
(ASN). Lydia mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak dan juga Polres Luwu Timur. Di kedua institusi ini Lydia tidak mendapatkan
keadilan bahkan dituding memiliki gangguan mental. Dalam proses penyelidikannya
tanpa didampingi penasihat hukum, anak-anaknya tidak didampingi oleh Lydia, tim
hukum, pekerja social, ataupun psikologi saat ditanya penyidik. Lydia dipaksa
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ketiga anaknya namun dilarang
untuk membaca. Pada 10 Desember 2019 polisi menghentikan proses penyelidikan.
Lembaga Bantuan hukum (LBH) Makassar selaku kuasa hukum Lydia menemukan
kejanggalan setelah kasus ditutup yakni :

1. Dalam penyidikan, Lydia dan anak-anaknya tidak mendapatkan pendampingan


hukum
2. Polisi menolak dan mengabaikan bukti foto & video serta bukti fisik luka
kekerasan ketiga anak tersebut. Polisi menolak dan mengabaikan pengakuan
ketiga anak yang konsisten dan satu sama lain saling menguatkan. Dan yang
terakhir polisi mengabaikan diagnosis bagian anus dan vagina rusak, serta susah
buang air besar akibat pemerkosaan.

Menurut Rezky selaku BPH Makassar, Dalam kasus ini sangat terlihat ada keberpihakan
Polisi Luwu Timur terhada pelaku terduga. Kalau sudah ada testimony dari anak, sudah
seharusnya digali bukti-bukti pendukung. Pada kasus lain yang ia dampingi biasanya
hanya didiamkan oleh polisi. Tapi dikasus ini malah dibuatkan administrasi
pemberhentiannya.

Ketidakpantasan aksi polisi juga ditunjukkan pada Rabu, 13 Oktober 2021.


Terjadi aksi demo mahasiwa di depan Kantor Bupati Tangerang di Tigaraksa. Demo ini
bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun Kabupaten Tangerang ke-389. Dalam
demo ini, mahasiswa berusaha menyampaikan aspirasi dan tuntutan atas segala macam
permasalahan yang ada di Kabupaten Tangerang. Salah satu mahasiswa yang berinisial
FA yang merupakan salah satu anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se
Kabupaten Tangerang. Dalam cuplikan video, saat demo terlanjur rusuh terlihat FA
dipiting lehernya lalu digiring oleh Brigadir NP. Setelah itu NP membanting korban ke
trotoar hinga terdengar suara benturan yang cukup keras. Kemudian, seorang polisi
yang mengenakan baju cokelat menendang korban. Setelah dibanting dan ditendang, FA
kejang-kejang. Lalu sejumlah aparat kepolisian kemudian berusaha membantu korban.
Akhir-akhir ini juga tersebar video Brigadir NP meminta maaf kepada FA. Mereka pun
bersalaman dan berpelukan. FA menegaskan bahwa ia menerima permintaan maaf
tersebut namun ia tak akan melupakan kejadian tersebut FA berharap polisi menindak
NP atas perilaku represifnya. Menurut Teo Reffelsen selaku pengacara publik LBH
Jakarta bahwa permintaan maaf tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan
tindakan rutal polisi. Pelaku harus bertanggun jawab secara pidana, etik, dan disiplin.
Jika tidak, kebrutalan polisi semacam ini akan terus berulang. Selain itu, Institusi
Kepolisian harus bertanggung jawab atas pemulihan korban baik fisik maupun psikis.
Tindakan polisi membanting mahasiswa pada aksi HUT Tangerang hingga kejang adalah
tindakan brutal dan sangat mengancam keselamatan warga yang menyampaikan
aspirasi secara damai.

Sangat disayangkan apabila sifat anarkis polisi masih dipelihara dari tahun ke
tahun. Brutalitas aparat dalam penanganan aksi demonstrasi bukan peristiwa yang
terjadi sekali dua kali saja, bahkan kerap kali menimbulkan koran luka dan jiwa.
Tindakan brutalisme aparat yang ditunjukkan terhadap massa aksi tidak terlepas
dari kultur kekerasan yang langgeng di tubuh kepolisian. Selain itu, tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi tidak
pernah diusut tuntas dan berkeadilan. Hal tersebut akhirnya membuat tindakan
serupa dinormalisasi sehingga terus terjadi keberulangan dan bertolak belakang
dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuaata yang humanis. Walaupun pelaku
sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, namun hal tersebut tidak
menghapus pertanggungjawaban pelaku dan juga atasan pelaku. Pada konteks ini
Polda harus tetap memproses baik secara etik maupun pidana. Proses hukum
terhadap pelaku dan atasan sangat penting dilakukan tidak hanya untuk
memberikan keadilan bagi korban tetapi juga memutus rantai impunitas sekaligus
memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali. Karena apabila polisi sebagai
pelaku, maka kepada siapa masyarakat bisa meminta keadilan.

Dikutip dari Detik News pada tanggal 17 Oktober 2021 seorang mahasiswi
berusia 19 tahun berinisial FA mengalami percobaan pemerkosaan di tempat
tinggalnya di Aceh Besar. Saat itu korban sedang sendiri di rumah karena ibu korban
pergi keluar tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu berulang kali. FA kemudian
menghubungi ibunya melalui telepon karena ketakutan. Namun ia memberanikan
diri karena berpikir bahwa orang di luar adalah tetangganya. Setelah pintu dibuka
pelaku langsung membekap korban dan melakukan percobaan pemerkosaan. Aksi
tersebut gagal karena tak berselang lama ibu korban kembali ke rumah dan
mendapati putrinya jatuh pingsan karena terbentur meja sementara kondisi
rumahnya berantakan dan pelaku melarikan diri. Lalu korban dan ibunya
mendatangi LBH Banda Aceh untuk meminta bantuan hukum. Kemudian LBH Banda
Aceh mengantarkan korban Kapolresta Banda Aceh namun ke mereka kemudian
tidak diizinkan masuk karena korban dan ibunya tidak bisa menunjukkan sertifikat
vaksinasi. Mereka baru diizinkan masuk ruang sentra pelayanan kepolisian terpadu
ketika pendamping hukum menunjukkan sertifikat vaksinasi. Korban memiliki
riwayat penyakit yang membuatnya tidak bisa divaksin Ia juga memiliki surat
keterangan dokter namun saat itu sedang tidak dibawa olehnya. Meski sudah berada
di ruangan kemudian polisi bersikeras untuk tidak menerima aduan dan laporan
korban karena korban tidak bisa menunjukkan surat sertifikat vaksinasi atau surat
keterangan dokter kondisi tersebut akan menyebabkan korban untuk melapor Ia
tetap berusaha menjelaskan kronologinya Ironisnya seorang polisi menanggapi
dengan kalimat “Mana bisa kamu katakan itu percobaan pemerkosaan memangnya
ada di pegang alat kelaminmu atau dipegang daerah sensitive, misalnya di remas
remas payudaranya kalau tidak ya berarti bukan percobaan perkosaan ini
penganiayaan namanya”.

Mengapa sertifikat vaksinasi dijadikan alasan kepolisian untuk menolak


laporan masyarakat yang tengah menjadi keadilan hal ini sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang harusnya dijadikan landasan utama dalam
menangani berbagai kasus pernyataan kepolisian soal definisi percobaan
pemerkosaan pun perlu dikritisi dan dievaluasi hal ini menunjukkan adanya
persoalan struktural dalam mendefinisikan dan percobaan pemerkosaan yang masuk
dalam kategori kekerasan seksual selama ini banyak kasus yang tidak diproses
karena berkutat pada definisi hukum di Indonesia yang belum memiliki aturan
khusus soal Penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Lalu LBH berinisiatif
membuat laporan ke Polda karena disana tidak perlu melampirkan sertifikat vaksin
untuk membuat laporan. Namun hingga saat ini laporan mereka belum juga diproses.
Di daerah tempat tinggal saya, Pada 20 Oktober 2021 kemarin. Terdapat
kegiatan pengukuhan salah satu perguruan pencak silat. Sejumlah pengurus sudah
meminta bantuan untuk mengamankan agar tidak terdapat korban jiwa lagi seperti
pada tahun-tahun sebelumnya. Namun sangat disayangkan masih terdapat beberapa
korban jiwa dengan luka serius hingga akan dioperasi, Hingga kini, sejumlah
pengurus dari perguruan tersebut masih melakukan penggalangan dana untuk
membantu korban. Pada tiap tahunnya masih ada serangan dari perguruan pencak
silat lain yang selalu merusuhi acara dari perguruan yang lain. Bahkan teman saya
berinisial BA sempat dipukul oleh salah satu polisi pengaman. Padahal satu hari
sebelum acara, ia juga ikut mendatangi kapolsek bersama pengurus yang lain untuk
meminta bantuan pengamanan.

Anda mungkin juga menyukai