Anda di halaman 1dari 26

apakah ia bermakna bagi mereka sebelum dia dapat menjelaskan dirinya sendiri pada para

pendengarnya. Dapat pula ditanyakan horizon interpretasi apa yang didiami teks sastra agung, dan
bagaimana horizon dunia intensi, harapan, dan pra-interprestasi individu dikaitkan padanya.
Meleburnya dua horizon ini harus dipandang sebagai elemen dasar dalam semua interpretasi
eksplanatif.

Bentuk interpretasi sastra yang, seperti sudah digagas, menjadikan interpretasi lisan sangat
mungkin, sebagai tujuanya ia tidak akan terus melupakan dimensi interpretasi eksplanatif. Lebih
jauh, pembentukan horison di mana pemahaman muncul merupakan fondasi interpretasi lisan yang
benar-benar komunikatif. (Interpretasi) lisan, harus diingat, adalah apa yang kita semua lakukan
ketika dalam membaca teks kita mencoba memasukan nuansa makna itu sendiri; ia tidak perlu
menjadi umum atau bahkan meluas). Bagi penafsir dalam “menampilakn” teks, dia harus
“memahami”nya: dia harus melakukan pra-pemahaman subyek dan situasinya sebelum dia dapat
melangkah ke dalam lingkaran misteri horizon makna itu sendiri. Hanya ketika dia dapat melangkah
ke dalam lingkaran misteri horizon itu sendiri, seorang penafsir bisa mengerti makna tersebut.
Inilah “lingkaran hermeneutis “ yang misterius di mana makna sebuah teks tak dapat muncul tanpa
nya. Tetapi ada kontradiksi di sini. Bagaimana bisa sebuah teks di pahami ? Karena proses dialektis,
jawabanya adalah bagaimana pun juga pemahaman parsial digunakan untuk memahami proses
selanjutnya, seperti bermain potongan-potongan teka-teki untuk menemuka apa yang salah. Karya
sastra menyediakan konteks bagi pemahamanya sendiri; problem fundamental dalam hermenutika
adalah bagaimana horizon individu dapat diakomodasikan untuk karya tersebut. Pra-pemahaman
tertetntu dari subyek merupakan suatu yang penting atau tidak ada komunikasi yang akan terjadi,
namun pemahaman harus diubah ke dalam tindakan pemahaman. Dalam konteks ini, fungsi
interpretasi eksplanatif dalam intrepetasi sastra bisa dilihat sebagai usaha untuk meletakkan fondasi
di dalam “pra- pemahaman” bagi sebuah pemahaman teks.

Seperti dua makna sebelumnya ( to say dan to explain ), kompleksitas proses interpretasi
dan cara dimana ia didasarkan dalam pemahaman mulai muncul. Interpretasi sebagai to say
mengigatkan kepada hakikat tindakan membaca; namun karena tindakan membaca teks sastra,
pembaca (pelaku tindakan itu) harud “memahami” nya. Ini mengimplasikan suatu
eksplanasi;namun di sini juga eksplanasi dijadikan landasan dalam pra-pemahaman, sehingga ia
sesuai dengan eksplanasi bermakna apa pun, dia harus memasukan horizon subyek dan situasi. Di
dalam pemahamanya sendiri, dia harus menangkap dan ditangkap oleh teks. Pijakanya dalam
persemaian ini, pra-pemahaman material dan situasi di mana dia harus membawanya, dengan kata
lain, seluruh persoalan melebur horizon pemahaman yang menjumpainya dalam teks merupakan
kompleksitas dinamis dan interpretasi. Inilah yang dinamakan “problem hermeneutis. “

Mempertimbangkan elemen-elemen problem interpretatif di atas, seperti yang dapat


dipikirkan kebanyakan orang, bukan untuk terjerumus kembali pada “psikologisme”. Karena
perspektif di mana tuntutan “psikologisme” dan sikap anti psikologisme (yang diprasumsikan
menguasai) memiliki beberapa makna yang pada sisi luar mengasumsikan separasi dan isolasi dari
obyek dan kemudian melihat secara pejoratif pada reaksi “subyektif” seperti dalam realisme
“perasaan” yang tak dapat diraba. Tetapi, diskusi yang dihadirkan di sini tidak ada sangkut-pautnya
dengan perasaan, diskusi ini berhubungan dengan struktur dan dinamika pemahaman, kondisi-
kondisi di mana makna dapat muncul melalui interaksi pembaca dengan teks, cara bagaimana
semua analisis mempra-anggapkan definisi situasi yang telah terbentuk. Di dalam kerangka
pertimbangan inilah kebenaran observasi Geeorges Gurvitch dapat dilihat bahwa obyek dan metode
tak pernah dapat dipisahkan.12 Tentu, ini merupakan kebenaran yang terasa asing bagi cara pandang
realistik.

Hermeneuein sebagai “ To Translate”

Implikasi dimensi ketiga dari arti Hermeneuein hampir senada dengan dua makna
sebelumnya dari hermeneutika dan teori interpretasi sastra. Pada dimensi ini, “to interpet”
(manafsirkan) bermakna “ to translate” ( menerjemahkan). Ketika sebuah teks berada dalam
bahasa pembaca, benturan antara dunia dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian.
Bagaimanapun, ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka perbedaan perspektif dan horizon
tidak dapat lagi dibiarkan. Namun, seperti yang akan kita lihat, problem-problem seorang penafsir,
bahasa tidak berbeda secara struktural dengan kritik sastra yang bekerja dalam bahasanya sendiri.
Problem-problem seorang penafsir, bahasa tidak berbeda secara struktural dengan kritik sastra yang
bekerja dalam bahasanya sendiri. Problem-problem memungkinkan kita melihat secara jelas situasi
yang ada dalam setiap interpretasi teks.
Menerjemahkan “ to translate” merupakan bentuk khusus dari proses interpretasi dasar
“membawa sesuatu untuk dipahamai.” Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing,
jauh dan tak dapat dipahami ke dala mediasi bahasa seseorang itu sendiri. Seperti Hermes,
penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia lain. Tindakan penerjemahan bukanlah
persoalan mekanis tentang menemukan kata sinonim, seperti hasil-hasil penerjemahan mekanis
yang menggelikan, karena penrjemah menjadi medaitor antara dua dunia yang berbeda.
Penerjemahan membuat kita sadar akan kenyataan bahwa bahasa itu sendiri memuat interpretasi
tentang dunia, bahkan persepsi-persepsi kita. Bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman
kultural; kita eksis di dalam dan melalui media ini; kita dapat melihat melalui penglihatannya.

Penerjemahan Bibel dapat dijadikan sebagai ilustrasi problem penerjemahan secara umum. 13
Bibel hadir pada kita dari dunia yang berbeda baik tempat, waktu, maupun bahasa, sebuah dunia
yang jauh di mana kita harus menginterogasinya (dan yang menginterogasi kita). Bagaimanapun
juga, horizon pemahaman kita harus bertemu dan melebur dengan horizon pemahaman di dalam
teks. Proses mediasi tidak hanya melalui bahasa tapi juga melalui historis (jeda waktu dua ribu
tahun), maka Perjanjian Baru harus dibicarakan dalam bahasa dunia kita, media cara pandang kita.
Bagimana kita berharap mengenai peristiwa peristiwa dalam konteks yang berbeda secara radikal
dari kota sekuler modern, komunikasi massa, konflik dunia, gas, minyak bumi, senjata atom, dan
perang senjata biologis? Haruskah kita mencoba melindungi bentuk literal dari perjanjian Baru, atau
mengetengahkan kata-kata apa yang sepadan dalam masa modern? Misalnya, Eugene Nida dalam
bukunya mengenai ilmu transliterasi mengangkat contoh kata-katanya Paul, “Menyapa orang lain
dengan ciuman suci.” Sementara ciuman merupakan bentuk kebiasaan sapaan pada masa Perjanjian
Baru, bukan sekarang. Akankah bersi abad ke-20 akan menjadi “menyapa orang lain dengan
berjabat tangan?”

Meskipun begitu, contoh ini membentuk problem minor yang berbeda dengan persoalan
lebib dalam tentang cara pandang dunia pada masa Perjanjian Baru yang bergesekan dengan “
sains” modern atau pandangan dunia post-deistic. Isu ini merupakan satu hal yang dicoba oleh
teolog Jerman, Rudolf Bultmann, untuk dikonfrontasikan dengan proyek demitologisasi
kontroversialnya. Butmann mengatakan bahwa pesan Bibel muncul dalam konteks konsepsi
komologis dari surga di atas, bumi di tengah, dan neraka di bawahnya tiga level ala,.
Respon Bultmann terhadap situasi ini adalah untuk menyatakan bahwa pesan Perjanjian Baru tidak
tergntung pada kosmologi itu sendiri yang hanya merupakan konteks dari sebuah pesan tentang
ketaatan individu dan transformasinya menuuju “ manusia baru.” Demitologisasi dalah upaya untuk
memisahkan pesan esensial dari “mitologi” kosmologis yang tiada seorang pun manusia modern
mempercayainya.

Apa pun jasa teologi tentang demitologisasi sebagai sebuah solusi terhadap dilema
interpretasi ini, proyek itu sendiri menitikberatkan pada problem: bagaimana kita harus
“memahami” Perjanjian Baru? Apa yang sedang kita coba pahami? Bagaimana sepenuhnya
pemikiran dan pengalaman historis Perjanjian Baru harus dimasukan sebelum akhirnya ia dapat
ditafsirkan? Apakah segalanya mungkin untuk memperoleh padanan terhadap “pemahaman”
Perjanjian Baru? Dapatkah dengan begitu dunia kita akan diubah ke dalam abad yang pada saat itu
Perjanjian Baru tidak akan dapat dipahami? Saat ini tentu lebih sukar bagi kaum muda di kota untuk
memahami Homer sebab komponen kehidupan Homerik perahu, kuda, alat bajak, kapak, lembing
hanyalah item-item yang seringkali hanya dapat dilihat dalam buku atau museum. Ini tidak
mengasumsikan bahwa Homer akan segera kadaluwarsa, tetapi bahwa sebuah usaha untuk
memahaminya menjaadi sulit seperti halnya kita memekanisir cara hidup kita.

Demitologis bukan persoalan teologi murni; kurang lebih begitu, tetapi masih signifikan,
sangat penting dalam usahanya untuk memahami beberapa karya klasik. Teologi “ Tuhan telah
mati” saat ini merupakan bentuk lain dari demitologis, tetapi ia menjadikan persoalan pemahaman
modern tentang drama Yunani sedikit lebih jelas: bagaimana bisa kita merasakan berbagai makna
untuk kita sendiri dalam drama pementasan Sophoclean, misalnya, jika Tuhan yang metafisik itu
mati dan Tuhan yang hidup dari hubungan antar manusia belum lahir? Apakah drama Yunani
merupakan monumen bagi kematian Tuhan atau tuhan-tuhan? Apakah ia bisa jadi seperti kritik
Raleigh yang dikatakan dalam paradise Lost, sebuah “ monumen ide-ide kematian”? Bagaimana
caranya drama Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa modern? Atau bagaimana istilah-istilah asli
(klasik) dipahami? Bagaimana bisa karya-karya klasik dijaga dari kesan sekedar komedi keliru saja?
Supaya mengasumsikan apa yang telah dilakukan para profesor klasik sebenarnya adalah
demitologisasi ketika mereka mengadakan pembelaan untuk merelevansikan karya pada basis
signifikansi manusia itu sendiri.
Walaupun demikian, “signifikansi manusia” ini harus diinterpretasikan pada pendengar
modern (fase eksplanasi dari interpretasi), dan untuk melakukannya kita harus lebih jelas pada
bagimana sesuatu itu signifikan. Pendekatan dalam interpretasi sastra yang memfokuskan pada
jumlah gambar dari satu rupa atau lainnya, atau yang memfokuskan pada “bentuk” karya, atau yang
melakukan anaisa tematik ke dalam karya atau antarkarya, sebenarnya meninggalkan isu-isu
“signifikansi.” Pendekatan terhadap sastra yang melihat karya sebagai obyek yang terpisah dari
subyek yang dipahami secara mudah dan otomatis, lain dari persoalan apa yang sebenarnya bentuk
signifikansi manusia dari sebuah dari sebuah karya. Meskipun begitu, penelitian sastra Amerika
bisa bangkit di suatu saat untuk menemukan bahwa ketika ia memutuskan dirinya sendiri dari
persoalan tentang bagaimana karya besar dibuat relevan dengan manusia melalui interpretasi, maka
telaah elaborasinya dalam analisi gambar, formal atau tematik telah menjadi hiburan tak berarti bagi
guru-guru Inggris. Pembedahannya akan kehilangan esensinya jika, seperti Tuhan mati, “sastra
telah mati”, sebab para penafsirnya lebih tertarik pada pengetahuan struktur dan fungsi otonomi
manusia. Sastra juga bisa mati, mati karena ketiadaan hubungan dengan pembaca. Interpretasi sastra
dan teologis bisa signifikan ataupun tak berarti bagi manusia sekarang.

Para pengajar sastra harus pakar ahli di dalam “menerjemahkan” ketimbang “menganalisa”;
tugas mereka adalah membawa apa yang jauh, tidak jelas, dan asing maknanya ke dalam sesuatu
yang bermakna pada “pembicaraan bahasa kita.” Ini tidak dimaksudkan untuk “memberikan
peningkatan” karya klasik dan memakaikan model chaucer dalam bahasa inggris pada abad ke-20.
Tapi dimaksudkan untuk mengenal konflik horizon dan mengambil langkah untuk berkenaan
denganya ketimbang menyembunyikan masalah itu dan mengkonsntrasikannya pada permainan
analitik. Pandangan dunia yang implisit dalam sebuah sajak, atau yang dipra-sumsikan olehnya dan
oleh karena itu melekat terhadap pemahaman itu sendiri, tidak seharusnya diperlakukan sebagai
bentuk yang keliru dari perjalanan panjang kritisisme-historis.

Misalnya, prasyarat fundamental untuk memahami The Odysey adalah pengakuan sejak dari
awalnya bahwa sesuatu itu hidup dan bersifat intensional, bahwa alam adalah hal tanah dan air
sejauh seseorang dapat melihatnya, bahwa semua proses alam merupakan hasil kehendak dari
keberadaan supranatural, dan bahwa dewa adalah Maha Kuasa dengan segala kelemahan manusia,
namun dewa adalah yang menggerakkan undang-undang kehprmatan pahlawan Yunani. Hanya
seperti kita memindahkan dunia ini yang tidak lebih riil bagi kita dalam memfokuskan manusia
daari tipu daya yang tiada habis-habisnya. Pahlawan yang mengembara dan tiada takut terhadap
wajah kematian, dongeng yang dapat menceritakan sebuah khikayah seperti kecurangan patron
Athena, pencari yang tak habis-habisnya bagi pengembaraan pengetahuan, Odysseus. Analisa
tekstual sang jenius Erich Auerbach ( kaitannya dengan “ Odysseus scar” , misalnya menempatkan
tidak hanya dalam loyalitas dan responsibilitasnya terhadap cara sejarah diceritkan, tetapi juga
dalam realisasinya bahwa makna realitas yang diketengahkan adalah kunci untuk memahami . 14
Jadi makna realitas dan cara berada di dunia yang dipresentasikan dalam karya harus fokus pada
interpretasi sastra “yang memberdayakannya”, fondasi bagi sebuah bacaan karya yang dapat
merenggut (dan direnggut oleh ) signifikansi manusia dalam tindakanya. Metafisika (definisi
realitas) dan ontologi (karakter dari keberadaan di dunia ) dalam karya merupakan hal fondasional
bagi interpretasi yang membuat pemahaman yang bermakna menjadi mungkin.

Dengan demikian, penerjemahan membuat kita sadar terhadap benturan dunia kesadaran
kita dan dengan karya yang sedang di buat. Sementara rintangan bahasa membuat dua dunia
pemahaman ini lebih kelihatan. Dua dunia pemahaman ini ada dalam beberapa interpretasi karya
tulis di dalam bahasa kita, dan tentu saja dalam beberapa “dialog”, khususnya antara partner yang
dipisah oleh perbedaan letak geografis. Dalam sastra Inggris, jarak 100 tahun menghasilkan
beberapa transformasi bahasa, oleh karena itu problem-problem penafsiran karya-karya
Wordsworth, Pope, Milton Shakespeare, atau Choucer melibatkan pertemuan dua perbedaan dunia
historis dan linguistik, dan bagi orang Amerika yang tak pernah mengunjungi Inggris terdapat
separasi yang lebih dalam.

Usaha imajinasi historis dan “ penerjemahan” dibutuhkan hanya untuk mempertimbangkan


dunia Inggrisnya Wordswoth, pada pinggiran industrialisasi tetapi secara esensial masih pedesaan.
Untuk melihat Italinya Dante dan untuk memindah dunia itu dalam pemahaman Divine Comedy
bukan persoalan penerjemahan linguistik saja ( walaupun bahasa menceritakan banyak hal pada
kita); ia merupakan persoalan penerjemahan historis. Bahkan dengan penerjemahan Inggris yang
paling baik, problem pemahaman yang terlibat dalam pertemuan dengn distingsi horizon yang lain
dari pemahaman eksistensi manusia masih terus ada. Demitologisasi adalah pengakuan terhadap
problem ini dalam bentuk interpretasi Bibel; tetapi pada prinsipnya, seperti telah dikatakan,
demitologisasi harus terkait dengan beberapa bacaan dokumen historis atau teks-teks sastra, bahkan
walaupun demitologisasi tidak berusahaa untuk merampas keaslian kesiapan dramatik itu sendiri.
Singkatnya, penjelasan pandangan dunia yang implist dalam bahasa itu sendiri, dan selanjutnya
dalam penggunaan bahasa di dalam karya sastra, merupakan tantangan fundmental dari interpretasi
sastra.

Dengan terjemahan dan teori terjemahan herneutika modern mendapatkan tempat yang besar
bagi penjelasan “problem hermeneutik.” Tentu saja, hermeneutik dalam tingkat historisawal selalu
terlibat dengan penerjemahan linguistik baik sebagai filsafat hermenutik. “ Tentu saja, hermeneutik
dalam tingkat historis awal selalu terlibat dengan penerjemahan linguistik baik sebagai filsafat
hermeneutik klasik atau hermeneutika Bibel. Fenomena penerjemahan adalah jantung dari
hermeneutik, di dalamnya seseorang mengkonfrontasikan situasi dasar hermeneutik untuk
mendamaikan bersama-sama makna teks, gramatikal, historis, dan perangkat lain dalam
menguraikan teks asli. Namun semua teknik ini, seperti telah kita ketahui, hanya formalisasi
eksplisit dari faktor-faktor yang dilibatkan dalam kontrofrontasi apa pun terhadap teks linguistik,
bahkan dalam bahasa kita. Selalu ada dua dunia, dunia teks dan dunia pembaca, dan
konsekuensinya ada kebutuhan bagi Hermes untuk “menerjemahkan” dari satu dunia ke dunia
lainnya

Diskusi kata asal hermeneien dan hermeneia dan tiga bentuk maknanya dalam penggunaan
aslinya dipergunakan dalam konteks problem hermeneutik secara umum. Karena itu, ia menjadi
sebagai sebuah pengantar bagi beberapa isu dan konsep mendasar hermeneutik yang dijumpai
dalam bagian-bagian berikutnya. Definisi modern hermeneutik akan menekankan pada salah
satunya, atau bentuk lainnya dari makna yang kaya yang ada dalam akar kata Yunani di mana
istilah “hermeneutik” diderivasi. Lapangan hermeneutik digarap dengan baik umtuk kembali lagi ke
signifikansi tiga bentuk makna dalam interpretasi sebagai to say, to explain dan to transite
Catatan

1
Aristoteles, The Basic Works, hh. 40-61. Atau juga dalam: Aristoteles, on Interpretation
yang telah diterjemahkan oleh Jean T. Oesterle dengan komentar St. Thomas.

2
Hermencia dan Hermeneuein, GEL. Lihat juga Johannes Behn, ermeneueuo, ermeneia,
dalam TDNT II, h.661-66.

3
US, HH,. 121-22.

4
Terhadap ungkapan tiga makna langsung ini, lihat artikelnya Gerhard Ebeling,
“Hermeneutik,” RGG, h. 242.

5
Ibid. James R. Robinson memberikan catata dalam NH, hh. 2-3 bahwa hermenia juga
digunakan dalam bentuk aslinya untuk menandai sebuah karya terhadap formulasi yang bersifat
logis atau keahlian menyampaikan (elokusi) secara artistik tentang apa yang ddisebut “interpretasi
oral “ saat ini.

6
Lihat, MW, hh. 370-71

7
Secara intensional, saya telah menggunakan kosa kata populer dari “peristiwa-
pembicaraan” teologi di sini; lihat WF, hh. 295, 313, 318-19, dan passim.

8
Teori-teori modern interpretasi oral tertentu beralih langsung ke peristiwa kata; lihat Don
Geiger, The Sound, Sense, and Perfomance pf Sastra.

9
Lihat, Carl Michalson, The Rationality of Faith.

10
Lihat catatan kaki nomor 1 di atas

11
Ini merupakan kelemahan inheren dalam genre kritisme, misalnya tentang tragedi. Kritik
brilian yang tujukan pada kritisme seperti yang telah di lakukan pada Aeschylus, lihat, H.D.F Kitto,
Form and Meaning in Drama, dan dalam Poiesis

12
Georges Gurvitch, Dialectique et Sociologie.
13.
Eugene A. Nida, Toward a Science of Translating: With Special Reference to Principal
and Prosedures Involed in Bibble Translating.

14
“Odysseus Scar” Mimesis, hh. 1-20
3. Enam Definisi Modern Hermeneutik

SEPERTI yang berkembang pada masa modern, bidang hermeneutika didefinisikan, paling tidak,
dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu
interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah
ditafsrikan (secara kronologisnya ) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara
umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5)
fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik reccollektif
maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.

Masing-masing definisi ini sekedar merupakan tahapan-tahapan historis; ia menunjukan


suatu “ peristiwa” atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi. Definisi-definisi itu dapat
disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik,geisteswessenshafften, eksistensial, dan kultural.1
Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari mana
hermeneutika dilihat; ia melahirkan suatu pandangan berbeda tetapi melegitimasikan kisi-kisi
tindakan interpretasi, khususnya interpretasi teks. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung
dibentuk kembali melalui perubahan sudut pandang ini. Uraian enam peristiwa ini akan
mengilustrasikan poin tersebut dan diperuntukan sebagai pengantar sejarah singkat mengenai
definisi hermeneutika.

Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel

Pemahaman paling awal dan mungkin saja masih tersebar luas dari kata “hermeneutika”
merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Terdapat justifikasi historis menyangkut definisi
ini, karena kata itu memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam
buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Boleh jadi,
peristiwa yang terekam paling awal dari kata itu adalah seperti sebuah judul buku kaya J.C.
Dannhauer, Hermeneutica sacra methouds exponendarum sacrarum iterarum, yang diterbitkan
pada 1654.2 Bahkan dari judul buku ini, seseorang akan sepakat bahwa herneutika dibedakan dari
eksegesis sebagai metodologi interpretasi. Distingsi antara komentar aktual (eksegesis) dan kaidah-
kaidah, metode, atau teori penataanya (hermeneutika) muncul semenjak dari penggunaan paling
awal ini dan tetap menjadi dasar definitif bagi hermeneutika baik dalam teologi maupun, ketika
pendefinisian itu selanjutnya diperluas, dalam referensi sastra non-Bibel.

Setelah terbitnya buku Dannhauer, istilah itu nampaknya mengalami perkembangan cepat,
khususnya di Jerman. Lingkungan Protestan di sana merasa sangat butuh terhadap buku pedoman
interpretasi untuk membantu para pendeta dalam menafsirkan kitab-kitab Bibel. Karenanya,
terdapat suatu motivasi yang kuat untuk mengembangkan bagi interpretasi Bibel; jeda waktu antara
tahun 1720 dan 1820, merupakan masa tanpa kemunculan buku pedoman hermeneutika baru guna
mengarahkan para pendeta Protestan.3

Di Inggris, dan selanjutnya di Amerika, penggunaan kata “hermeneutika” mengikuti arah


kecenderungan umum dalam menunjuk secara khusus penafsiran Bibel. Penggunaan pertama kali
dicatat Oxford English Dictinary tahun 1737: “bersikap bebas dengan tulisan suci, seperti sama
sekali tidak diperkenankan menggunakan beberapa kaidah yang kita ketahui dari sekedar
hermeneutika seperti apa adanya”.4 Longfellow, sekitar satu abad kemudian, punya saudara laki-
laki Bernardus dalam Hyperion mengatakan bahwa ” paper-paperku dan karya besarku tentang
hermeneutika Bibel.”5

Ketika penggunaan kata tersebut semakin luas di Inggris dengan mengarah pada teks non-
Bibel, patut diketahui bahwa teks menjadi tidk jels, yang berkenaan dengan kebutuhan akan
metode-motode khusus untuk membedah makna tersembunyi, Misalnya, referensi untuk
“memperlakukan renungan hermeneutika”, (W. Tylor, 1807)6 dalam satu hal menganjurkan sebuah
interpretasi tertentu, yang berlaku sebagai “metode hermeneutik terhadap maknanya yang
tersembunyi dan terdalam” (D. Hunter, dalam Historical Canon, terj. Reuss, 1884).7 Demikian
juga, pernyataan Edward Burnett Tylor dalam Primitive Culture (1871): “ tidak ada legenda, tidak
ada alegori, tidak ada sajak anak-anak, yanf aman dari hermeneutika teoretikus metologis yang
seksama”.8 Dengan demikian, dalam penggunaan Inggris, kata itu bisa menunjuk pada interpretasi
non-Bibel, tetapi dalam kasus-kasus ini teks secara umum tidak jelas atau simbolik, yang
memerlukan tipe khusus interpretasi untuk mendapatkan makna tersembunyi itu sendiri. Definisi
lebih umum di Inggris tetap menunjuk pada teori tetang penafsira kitab suci.
Sementara isitilah “hermeneutika” itu sendiri tercatat hanya dari abad ke 17, penerapan
penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi keagamaan,sastra,hukum telah mulai sejak jaman
klasik. Dengan demikian, setelah kata itu diterima sebagai petunjuk teori eksegesis, secara umum
bidangnya diluaskan (dapat dikatakan, mundur kembali) di dalam penafsiran Bibel yang kembali ke
masa Perjanjian Lama, ketika terdapat kitab-kitab yang pantas dalam penafsiran Torah.9 Relasi
penting hermeneutis muncul antara Perjanjian Baru dan Lama seperti Yesus menafsirkan dirinya
bagi Yahudi dalam bentuk kenabian skriptual ( scriptual prophecy ). Sarjana Perjanjian Baru dan
Lama bisa mendapatkan tindakan interpretasi Yesus kepada audiennta yang sesuai dengan sistem
pemahaman tertentu dalam Gospel (khususnya John)10 dan dalam surat-surat Pauline. “Teologi”
adalah karya; dalam pengertian tertentu, teologi itu sendiri sebagai tafsir historis pesan Bibel
merupakan hermeneutika. Sejarah hermeneutika Bibel dapat ditelusuri melalui gereja primitif;
patriarkhi; interpretasi ganda Bibel abad pertengahan; perlawanan Luther terhadap interpretasi
mistik,dogmatik, humanistik, dan sistem lain dari interpretasi; munculnya metode kritik historis
pada abad ke-18 dan kekuatan kompleks yang mendominasi pada periode ini dalam membentuk
kembali interpretasi kitab suci; kontribusi Schleiermacher;sekolah sejarah agama kaitannya dengan
interpretasi’ munculnya teologi kontemporer. Sejarah detailnya tidak dipaparan di sini, namun dua
poin akan dikemukakan secara singkat, pertama tentang hakekat hermeneutika seperti yang
ditunjukkan oleh hermeneutika Bibel, dn yang lainnya mengenai persoalan ruang lingkup
hermeneutika.

Meski tidak detail, menarik diketahui tendensi umum dari hermeneutika Bbel yang terletak
pada “sistem” interpretasi di luar peristiwa individu dapat ditafsirkan. Bahkan dalam hermeneutik
Protestan, terdapat pencarian terhadap “prinsip hermeneutis” yang akan membantu sebagai panduan
referensi.11 Teks itu tidak dapat ditafsirkan dalam bentuknya sendiri; tentu saja, ini dapat menjadi
suatu ideal yang tidak mungkin. Misalnya, teks kitab suci pada masa pencerahan merupakan wadah
kebenaran moral; namun kebenaran itu diperoleh di sana karena prinsip interpretasi dibentuk dalam
rangka mendapatkannya. Dalam pengertian, hermeneutika adalah sistem tafsir untuk
mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks.
Persoalan lain mencakup ruang lingkup hermeneutika. Bahkan seandainya seseorang
menjamin legitimasi cakupan retroaktif tentang semua materi eksegesis hermeneutika Bibel dari
masa Perjanjian Lama hingga sekarang, masih terdapat pertanyaan apa saja yang termasuk dalam
hermeneutika baik teorisasi eksplisit yang sebenarnya memperlihatkan kaidah-kaidah eksegesis
maupun teoru eksegesis implisit seperti yang ditampakkan melalui praktek. Misalnya, teolog
Gerhard Ebeling telah melakukan studi tentang “hermeneutiknya Luther”.12 Apakah yang
diperhatikan di sini hanya peryataan Luther tentang subjek interpretasi Bibel, atau juga praktek
eksegesisnya seperti yang dinyatakannya dalam analisis khotbah dan tulisannya yang lain? Studi
Ebeling membahas keduanya. Ini secara luas memperlebar ruang lingkup hermeneutika Bibel, dan
secara instan tugas penulisan, misalnya sejarah hermeneutika Bibel diperluas dari konsiderasi
sumber-sumber secara relatif tertata yang mendikusikan problem hermeneutis nke arah pengujian
sistem interpretasi implisit dalam semua komentar utama tentang Bibel mulai masa awal hingga
sekarang.13 Esensinya, sejarah ini menjadi sejarah teologi.14

Dengan membawa implikasi dari ruang lingkup hermeneutika yang luas ini (sebagai sistem
interpretasi baik implisit maupun ekplisit) ke dalam definisi hermeneutika yang diaplikasikannya
pada sastra Bibel dan non-Bibel, parameter hermeneutika non-Bibel secara historis menjadi sangat
luas seakan tak dapat dikendalikan.. Misalnya, siapa yang dapat berfikir tentang tulisan sejarah
hermeneutika, dapat diketahui? Sistem interpretasi implisit dalam setiap komentar terhadap sebuah
teks (hukum,sastra,keagamaan) menurut pemikiran Barat yang tentunya, mengapa tidak
memasukkan sistem pemikiran Timur juga? Harus dimasukkan. Dalam dua volume masterwork
nya,15 Emilio Betti membuat kontribussi penting ke arah kajian lintas sektoral disiplin interpretasi
yang beragam sebagaimana interpretasi yang dipahami sekarang, namun usaha penerbitan volume
ini hanya merupakan bagian dari apa yang dicakup “ sejarah hermeneutika” tertentu.

Lebih jauh, dapat diajukan pertanyaan, apakah sejarah lengkap hermeneutika ataupun
sintesis inklusif beberapa perbedaan displin teori interpretasi ( yang berasumsi bahwa keduanya
mungkin) akan sungguh membentuk sebuah respon bagi problem hermeneutis sekarang. Kedua
proyek tersebut melihat pada apa yang telah diakutualisasikan, pada masa lalu atau sekarang, dan
dengan begitu merepresentasikan suatu upaya untuk mengkonversi dan konsolidasi. Tetapi
memperbaharui dan memprioritasikan perspektif sebelum mewujudkannya, ketimbang sintesa
sejarah atau saintifik sangat dibutuhkan. Apa yang dibutuhkan ( dan tiada seorang pun menyangkal
nilainya) adalah pemahaman mendalam terhadap fenomena interpretasi itu sendiri, pemahaman
filososfi yang memadai baik secara epistomologis maupun ontologis. Sejarah teori interpretasi
dalam disiplin khusus merupakan hal yang vital untuk melanjutkan pencarian pemahaman yang
lebih dalam dari interpretasi, sebagai sistesis dari beberapa pendekatan dispilin; namun ternyata
tidak memadai bagi dirinya sendiri.

Hermeneutika Sebagai Metodologi Filologis

Perkembangan nasionalisme dan, bersamaan dengannya, lahirnya filologi klasik pada abad
ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika Bibel. Disana muncul metode kritik
historis dalam teologi;16 baik mazhab interpretasi Bibel “gramatis” maupun “historis”, keduanya
menegaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap bibel juga dapat diaplikasikan
pada buku lain. Misalnya, dalam buku pedoman hermeneutisnya emesti tahun 1761; yang
menyatakan bahwa “pengertian verbal kitab suci harus dideterminasikan dengan cara yang sama
ketika ia mengetahui hal itu pada buku-buku lain. 17 Dengan kemunculan rasionalisme,penafsir
merasa berkewajiban untuk mencoba mengatasi penilaian terdahulu.”Norma eksegesis bibel”,
seperti yang dikatakan spinoza “hanya dapat menjadi sinaran nalar yang berlaku bagi semua
norma.”18 “Kebenaran aksidental historis tak perah bisa menjadi bukti dari kebenaran pikiran,” kata
lessing.;19 Tantangan interpretasi selanjutnya adalah untuk membuat Bibel relevan dengan pikiran
rasional manusia masa pencerahan.

Tantangan ini seperti penelitian kurt fror dalam bukunya tentang Hermeneutika bibel,
mengarah pada “intelektualisasi pernyataan-pernyataan Bibel.”20 Karena kebenaran aksidental
historis digambarkan sebagai hal yang inperior bagi “kebenaran pikiran”, para penafsir Bibel
meyakini bahwa kebenaran kitab suci melebihi ruang waktu dan historis; Bibel tidak menceritakan
pada manusia apapun tentang kebenaran yang pada akhirnya dia tidak akan mengakui melalui
penggunaan pikirannya. Ini bersifat rasional (kebenaran moral yang ditampakkan sebelum waktu itu
sendiri). Dengan begitu, tugas eksegesis adalah menerobos kedalam teks, dengan menggunakan
perangkat pikiran, dan mendapatkan kebenaran moral yang dimaksudkan oleh para penulis
perjanjian baru tetapi terselubung didalam perbedaan istilah historis.
Apa yang dibutuhkan, kata mereka, adalah pemahaman historis yang dikembangkan, yang
dapat menangkap spirit (Geist) dibalik karya dan menerjemahkannya kedalam istilah yang dapat
diterima oleh pikiran yang tercerahkan. Seseorang bisa menyembunyikan ini dengan bentuk
pencerahan “demitologisasi”; walaupun istilah itu pada abad ke-20 dimaksudkan untuk
menafsirkan, tidak sekedar membersihkan, unsur mistik pada perjanjian baru.

Berbeda dengan keyakinan masa pencerahan dalam “kebenaran moral”, yang mengarah
pada apa yang nampak sebagai sebuah distorsi pesan Bibel, secara umum pengaruh itu telah
bermanfaat pada hermeneutika dan pada penelitian Bibel. Interpetasi Bibel mengembangkan teknik-
teknik analisis gramatikal untuk perombakannya kembali, 21 dan penafsir menjadi bertanggungjawab
melebihi sebelumnya terhadap pengetahuan maksimal akan konteks historis dari catatan Bibel.
Misalnya J.S. Semler, mengatakan bahwa penafsir sekarang ini “harus punya kemampuan berbicara
tentang subjek ini (dalam Bibel) dengan cara tertentu sebagai yang dibutuhkan oleh perubuhan
waktu dan perbedaan keadaan.”22 Tugas nyata dari penafsir menjadi satu bentuk historis.

Dengan pengembangan ini, metode-metode pengembangan hermeneutika Bibel secara


esensial menjadi sinonim dengan teori interpretasi yang secular-misalnya, filologi klasik. Dan
setidaknya dari masa pencerahan hingga sekarang, metode penelitian Bibel tidak dapat dipisahkan
dari filologi. Jadi, kata “hermeneutika Bibel” menggantikan “hermeneutika” sebagai sebuah
referensi untuk teori eksegesis kitab suci; “hermeneutika” yang tidak dimodifikasi, sebenarnya
merupakan definisi yang tidak dapat dibedakan dengan metodologi filologi. Bagian selanjutnya
akan menjelaskan lebih spesifik filologi pada masa permulaan abad ke-19 dengan mendiskusikan
dua tokoh filologi besar pada masa Schleirmacher, Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.
Cukup disini mengatakan secara sederhana bahwa konsepsi hermeneutika yang jelas-jelas
bernuansa Bibel secara perlahan menjelma kedalam hermeneutika sebagai kaidah-kaidah umum
dari eksegesis filologi, dengan Bibel sebagai salah satu dari obyek-obyek lain yang mungkin
diterapkan dengan kaidah-kaidah ini.
Hermeneutika Sebagai Ilmu Linguistik

Schleirmacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu”


atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu
digarisbawahi disini bahwa konsepsi hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut
padang filologi, karena ia berusaha melebihi konsep sebagai sejumlah kadiah dan berupaya mebuat
hermenutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman
dalam sebuah dialog. Hasilnya bukan hermeneutika filologi tapi “hermeneutik umum” (allgemeine
hermeneutic) yang prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi
teks.

Konsepsi hermeneutika umum ini menandai permulaan “hermeneutika” non-disipliner yang


sangat signifikan bagi diskusi sekarang. Pada awalnya hermenutika mendefinisikan dirinya sebagai
studi pemahaman itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa nama hermeneutika di sini muncul secara
historis dari asal-usulnya dalam eksegesis Bibel dan filologi klasik.

Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschften

Wilhelm Dilthey adalah penulis biografi Schleirmacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapa melayani sebagai
fondasi bagi geisteswissenschften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni,
aksi, dan tulisan manusia).

Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan dengan hukum,karya
sastra,maupun kitab suci,membutuhkan tindakan pemahaman historis. Dilthey menyatakan, suatu
tindakan yang secara fundamental berbeda dari pendekatan kuantitatif, penangkapan ilmu dari dunia
alam; karena dalam tindakan pemahaman historis ini, apa yang harus berperan adalah pengetahuan
pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi
pemahaman historis bagi kritik akal murninya kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam-sebuah
“kritik nalar historis”/
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah
transformasi psikologis. Namu karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya
dihambat sejak awal. Di dalam hermeneutika—disiplin yang memfokuskan pada interpretasi, dan
khususnya terhadap interpretasi objek yang senantiasa bersifat historis, sebuah teks—Dilthey
memperoleh dasar yang lebih humanis dan historis bagi usaha-usahanya untuk memformulasikan
metodologi humanistic yang nyata bagi geisteswissenschften.

Hermeneutikka sebagai fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial.

Martin Heidegger, dalam menhadapi persoalan ontologis, meminjam metode fenomenologis


dari gurunya. Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada
keseharian manusia di dunia. Studi ini sekarang diakui sebagai masterworknya dan sebagai kunci
memahami secara jelas pemikirannya. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya
Being and Time (1927), sebagai “ hermeneutika Dasein”

Hermeneutika dalam konteks ini telah mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau
pada metodologi bagi geisteswissenschften , tetapi pada penjelasan metodologinya tentang
keberadaan manusia itu sendiri. Analisi Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan
“interpretasi” merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian,
“hermeneutika”dasein Heidegger melengkapi, khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi
pemahaman, juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi
sekaligus metode.

Kedalaman konsepsi hermeneutika Heidegger dan hal yang bersifat hermeneutis dalam
Being and time menandai titik balik dalam perkembangan dan definisi baik kata maupun bidang
cakupan hermeneutika. Pada satu sisi hermeneutika dikaitkan dengan dimensi ontologis
pemahaman (dan semua yang terkait dengannya) dan sekaligus diidentifikasi dengan fenomenoligi
khas Heidegger.

Professor Hans-Georg Gadamer, mengikuti metodologi Heidegger, mengembangkan implikasi


kontribusinya Heidgger terhadap hermeneutika (baik dalam Being and Time dan karya-karya yang
sesudahnya) ke dalam karya sistematikanya tentang “filsafat hermeneutika” (Wahreit und Methode
[ Truth and Methode],1960). Gadamer mengikuti perkembangan hermeneutika secara detail dari
Schleirmacher melalui Dilthey dan Heidegger, yang menyediakan laporan historis pertama yang
memadai tentang hermeneutika yang mencakup dan merefleksikan sudut pandang kontribusi
revolusioner Heidegger. Tetapi Wahrheit und Methode lebih dari pada sejarah hermeneutika; ia
merupaka upaya untuk menghubungkan hermeneutika dengan estetika dan dengan filsafat
pemahaman historis. Ia menyajikan dalam bentuk sebelumnya dari Dilthey, dan merefleksikan
beberapa pemikiran hermeneutisnya Hegel yang sama baiknya dengan refleksinya atas Heidegger
tentang konsep “kesadaran operatif historis” yang secara dialektis berinteraksi dengan tradisi seperti
yang ditransmisikan melalui teks.

Hermeneutika dibawah selangkah lebih jauh, ke dalam kata “linguistik”, dengan pernyataan
kontroversial Gadamer bahwa “ada(Being) yang dapat dipahami adalah Bahasa”. Hermeneutika
adalah pertemuan dengan ada(being) melalui Bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter
linguistic realitas manusia itu sendiri, dan hermeneutika larut kedalam persoalan-persoalan yang
sangat filosofis dari relasi Bahasa dengan ada, pemahaman,sejarah,eksistensi, dan realitas. Saat ini
hermeneutika diletakan dalam pusat persoalan filosofis;yang tak bisa lari dari persoalan
epistemologis ataupun ontologis ketika pemahaman itu sebdiri didefinisikan sebagai persoalan
epistemologis dan ontologis.

Hermeneutika sebagai system interpretasi: menemukan makna vs. ikonoklasme

Paul Ricouer, dalam De l’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu


balik pada focus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika.
“Yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks particular atau potensi tanda-tanda
keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.”23 Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi,
merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya
terdapat disana: mimpi adalah teks, teks yang terpenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan
psikoanalisa menggunakan system interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah
pada pemunculan makna tersembunyi. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari
isi dan makna yan nampak kea rah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks
dalam pengertian yang luas, bisa berupa symbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari symbol
dalam masyarakat atau sastra.
Studi Ricouer membedakan antara symbol univocal dengan equivocal;symbol univocal
adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti symbol-simbol dalam logika symbol,
sementara symbol equivocal adalah focus sebenarnya dari hermeneutika. Karena heremeneutika
harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multimakna (multiple meaning);ia dapat
membentuk kesatuan simantik yang memiliki (seperti dalam mitos) makna permukaan yang betul
betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah system
dimana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.

Namun, cara kerja memperoleh makna tersembunyi dalam mimpi dan dalam terpeleset lidah
sebenarnya memperlihatkan rasa tak percaya pada permukaan atau realitas yang nampak; dan ini
merupakan prestasi Freud untuk membuat kita tidak mempercayai kesadaran pemahaman kita
sendiri, da akhirnya, akan menanyai kita untuk membenturkan mitos-mitos dan ilusi kita. Bahkan
keyakinan agama kita sendiri, sebagaimana yang akan diupayakan untuk diperlihatkan Freud dalam
The Future of an Illusion, sebenarnya adalah ilusi kekanakan. Fungsi hermeneutika Freudian,
kemudian, dikenal dengan inconoclasme.

Hal ini membimbing Ricouer untuk mengajukan bahwa ada dua sindrom yang sangat
berbeda dari hermeneutika pada masa modern: pertama, yang dipresentasikan oleh
demitologisasinya Bultmann,yang harmonis berkaitan dengan symbol dalam usaha untuk
memperoleh makna yang tersembunyi didalamnya; kedua, berusaha untuk menghilangkan symbol
sebagai representasi kesemuan realitas. Ia menghancurkan topeng dan ilusi dalam upaya rasional
yang sungguh-sungguh pada model “demistifikasi”. Sebagai contoh bentuk terakhir ini Ricouer
menunjuk tiga tokoh demistifikasi besar: Marx, Nietzsche, dan Freud. Ketiga orang ini menafsirkan
realitas permukaan sebagai hal yang palsu dan meletakan system pemikiran progresif yang
membongkar realitas ini. Ketiga tokoh itu secara aktif menentang agama; bagi mereka, berpikir
benar adalah mewujudkan kecurigaan da keraguan. Mereka menghilangkan keyakinan kesalehan
individu di dalam realitas, dalam kepercayaan dan motivasinya; mereka berdalih atas nama
transformasi titik pandang, system baru dalam menafsirkan isi yang nampak dari dunia kita –sebuah
Hermeneutik baru.
Karena dua pendekatan antithesis ini dalam interpretasi symbol sekarang, demikian Ricouer
menyatakan, maka tidak ada kitab-kitab aturan universal bagi eksegesis, tetapi hanya ada teori-teori
yang terpisah dan bertentangan yang memfokuskan pada kaidah-kaidah interpretasi.24 Aliran
demitologisasi memperlakukan symbol atau teks sebagai jendela bagi realitas suci;aliran
demistifikasi memperlakukan symbol yang sama (baca: teks Bibel) sebagai realtias palsu yang
harus dihancurkan.

Pendekatan Ricouer terhadap Freud itu sendiri merupakan upaya intelektual yang brilian
dalam meletakan tipe interpretasi pertama. Karena Ricouer menemukan dan menafsirkan
signifikansi Freud secara baru bagi moemn historis kekinian. Ricouer merusaha merangkul baik
rasionalitas keraguan maupun kepercayaan interpretasi recollective dalam filsafat relektif yang tidak
surut dalam abstraksu atau terperosok dalam usaha dangkal keraguan, filsafat yang menerima
tantangan hermeneutika di dalam mitos dan symbol dan secara reflektif mentematisasi realitas
dibalik Bahasa,symbol,dan mitos. Filsafat sekarang telah difokuskan pada Bahasa; tantangannya
adalah untuk menjadikannya hermeneutis secara keatif. ●
Catatan

1
Semua karakteristik kata sifat ini agak kurang memadai dan kurang memuaskan. Saya
menggunakannya bersifat tentative dan sementara untuk sekedar menunjukkan perbedaan antara
enam perbedaan pendekatan. Hermeneutika “Bibel” mengandung beberapa perbedaan arah; pada
abad ke-18 ia termasuk dalam wilayah gramatikal, historical, keimanan,dan bentuk yang lain, dan
itu masih digunakan dalam beberapa hal hingga sekarang. Hermeneutika “filologis” jua memiliki
beberapa perkembangan kompleks pada abad ke-18. Hermeneutika “saintifik” agak
membingungkan dalam referensi Schleiermacher dan secara sederhana dimaksudkan untuk
mendorong usahanya dalam meletekan hermeneutika pada fondasi universal dan sistematik.
Hermeneutika sebagai Geisteswissenschaftliche menunjukan pada proyeksi Dilthey, namun ia
sepenuhnya mengacu pada penekanan konsep historical Dilthey. Hermeneutika “eksistensial”
secara jelas ditujukan baik pada konsepsi hermeneutika Heidegger ataupun Gadamer. Terakhir,
hemerneutika “kultural” dapat secara tegas mendorong perluasan aplikasi hermeneutika Ricouer
tentang symbol. Hermeneutik juridis (hukum, penny.) ditiadakan.

2
Ebelling, “Hermeneutik,” RGG III, h. 243.

3
Lihat, Ibid, h. 242; Heinrici, “Hermeneutik” RPTK VII, h. 719; dan E. Dobschutz,
“Interpretation,” ERE VII, hh. 390-95.

4
V, h. 243.

5
Herry Wadsworth Longfellow, Prose Works, II h. 309. Hyperion adalah roman prosa, salah
satu dari dua karya fiksi Prosa Longfellow yang terkenal

6
OED V, h. 243.

7
Ibid.

8
Primitive Culture, I, h. 319.
9
Artikel Ebeling yang dimunculkan di atas membagi perkembangan hermeneutika bibel
pada tujuh periode historis: Pra-kristen, Kristen Awal (Primitif), Pratistik, Pertengahan, Reformasi
dan Ortodok, Modern, dan Kontemporer. Dia juga menawarkan beberapa referensi bibliografis pada
masing-masing periode.

10
Lihat, Frederick W. Herzog, “Historico-Ontological Hermeneutic in yhe Fourth Gospel,”
Understanding God, hh. 65-88.

11
Lihat “Das Hermeneutische Prinzip der theologischen Exegese,” F H III, h. 18.

12
Evangelische Evangelinauslegung: Eine Untersuchung zu Luthers Hermeneutk.

13
Beberapa cara pemecahan yang baik dari hermeneutic Bibel yang memberikan detail
historis adalah E.C Blackman, Biblical Interpretation; Frederic W. Farrar, History of
interpretation; Robert M. Grant, A Short History of the interpretationof the Bible; Stephen Neill,
The Interpretation of the new testament: 1861-1961; B. Smalley, the study of the Bible in The
Middle Ages; dan James D. Wood, The interpretation of the Bible, di jerman, karyanya Lothar
Steiger, Die Hermeneutic als Dogmatisches Problem Direkomendasikan untuk cara pemecahan itu
sendiri bagi hermeneutika teologis mulai Schleiermacher.

14
Lihat, Gerhard Ebelling, Kirchengeschiche als Geschichte der Auslegung der Heiligen
Schrift.

15
TGI, telah diterjemah oleh pengarangnya sendiri ke dalam Bahasa jerman dan
diintisarikan sepertiganya dalam AAMG. Lihat juga, kontribusi Joachim Wach pada proyeksi ini, V,
tiga bagian sejarah hermeneutika pada abad ke-19.

16
Lihat, Hans-Joachim Kraus, Geschichte der Historisch-kristiche Erforschung de Alten
Testaments von der Reformation bis zur Gegenwart, terutama Chapter. 3, hh. 70-102

17
F. W. Farrar,History of Interpretation, h. 402, disebutkan Johann August Ernesti, IINT.
Dua terjemahan risalah Ingrisnya dibuat pada abad ke-19 awal (lihat,biografi dibelakang)
18
Chapter 7 dari Tractatus theologico-politicus (1670); disebut dalam, Ebelling,
“hermeneutic,” RGG III,h. 245.

19
Uber den Beweis des Geistes und der Kraft (1777): “Zufallige Geschichts-wahrheiten
konnen der beweis von nothwendigen Vernuftswahrheiten nie warden,” disebut kurt fror, Biblische
Hermeneutik: Zur Schriftauslegung in predigt und unterricht, h. 26. Lihat, “On the proof of the
Spirit and of power,” dalam lessing’s Theological Writtings, ed. Henry Chadwick, hh. 51-56

20
Ibid

21
Ernesti, IINT, merupakan contoh yang sangat bagus

22
Lihat, H.J. Kraus, op.cit., hh. 93-102, pada semler. Pengertian skriptur diaplikasikan,
semler menyatakan, ketika “der Historisch Vrstehende nun auch imstande ist, von diesen
Gegenstanden auf eine solche weise jetzt zu reden, als es die verandarte Zeit und andere Umstande
der Menschen neben uns erfordern.”

23
“Ainsi, dans la vaste sphere du langage, le lieu de la psychanalyse se precise: c’est a la fois
le lieu des symbols ou du double sens et celui ou s’affrontent les diverses manieres d’interpreter.
Cette circonscription plus vaste que la psychanalyse, mais plus etroite que la theorie du langage
total qui lui sert d’horizon, nous I’ appellerons desormais le’champ hemeneutique;nous entendrons
toujours par hermeneutique la theorie des regles qui president a une exegese, c’est-a-dire a
I’interpretation d’un texte singulier ou d’un ensemble de signes susceptible d’etre considere comme
un texte”(DI, h. 18).

24
Ibid., h.35.
4.

Perdebatan Hermeneutika Kontemporer:

Betti versus Gadamer

ENAM definisi hermeneutika yang saling terkait dan sering tumpeng tindih yang baru saja
didiskusikan membawa kita jauh dari tahun 1654 hingga sekarang. Keenam definisi itu dalam
tingkat berbeda masih ditemukan dalam spectrum pemikiran hemeneutis kontemporer, dan
polarisasinya sekarang masih terus hidup. Terdapat tradisi Schleiermacher dan Dilthey, serta
pengikutnya yang melihat hermeneutika sebagai prinsip-prinsip umum yang mendasari interpretasi.
Dan ada pengikut Heidegger, yang melihat hermeneutic sebagai eksplorasi filosofis dari karakter
dan kondisi yang dibutuhkan bagi semua pemahaman.

Representasi dominan dari dua posisi utama aliran hermeneutika diatas sekarang ini adalah
Emilio Betti, pengarang teori interpretasi. 1 Dan Hans-Georg Gadamer, penulis Wahrheit und
Methode yang telah didiskusikan secara singkat pada bagian yang lalu. Betti pengikut tradisi
dilthey, bermaksud menyediakan teori umum tentang bagaimana “obyektivasi” ekspresi manusia
bisa ditafsirkan; dia menyatakan secara tegas otonomi objek interpretasi dan mungkinnya
“obyektivitas” historis dalam membuat inerpretasi yang valid. Gadamer, pengikut Hiedegge,
mengorientasikan pikirannya pada pernyataan yang lebih filosofis tentang apa pemahaman itu
sendiri. Dia menyatakan dengan pendirian yang sama bahwa pemahaman adalah tindakan historis
dan selalu terkait dengan masa sekarang. Selanjutnya dia menambahkan, untuk membicarakan
interpretasi obyektif yang valid adalah naif karena mengasumsikan bahwa adalah mungkin
menafsirkan dari sudut pandang tertentu di luar historis.

Teolog demitologisasi –Rudolf Bultmann dan dua pentolan Hermeneutik Baru, Gerhard
Ebelling dan Ernst fruchs– dapat dikelompokan seluruhnya sebagai sekutu Gadamer dengan
pendekatan Heideggerian dan fenomenologis. Identifikasi hermeneutic baru dengan gadamer ini
adalah eksplisit dan matual; gadamer memuji ebelling dan fruchs didalam bukunya,2 dan para
theologian menyarankan murid-muridnya guna mempelajari buku gadamer dengan penuh
perhatian.3 juga kritik teologis dan filosofis terhadap hermeneutic baru, seperti Wolfhart
Pannenberg,4 secara eksplisit mengkaitkan kecenderungannya dengan posisi gadamer. Betti
menyerang bultmann, ebelling, dan gadamer sebagai lawan obyektivitas historis dalam artikelnya
tahun1962,due Hermeneutik als allgemenie methodic der Geisteswissenshaften, dan setelah itu E.D
Hirsch ikut meramaikan dan sedikit menjelaskan protes itu dalam artikelnya tentang teori
interpretasi gadamer.5

Tentu saja, ini merupakan pertanyaan terbuka untuk diperdebatkan, siapa yang menyerang,
dan siapa yang bertahan, atau siapa yang memulai. Nampak bahwa betti dan Hirsch menyerang
hermeneutika Heideggerian dan hermeneutic baru.6 Namun mereka memilih untuk reaktif dan
bertahan, karena mereka menyerukan untuk kembali pada “obyektivitas”,juga karena penegasan
kembali bahwa studi historis perlu dibebaskan dari sudut pandang historian sekarang;hermeneutika
klaim mereka, harus berfungsi memberikan prinsip-prinsip bagi interpretasi obyektif. Dalam posisi
bertahannya, gadamer mengatakan bahwa dirinya diminta untuk menjelaskan apa proyeknya itu
dalam setiap bentuk pemahaman; dia berpijak pada ontology, bukan metodologi.7

Dalam kenyataannya, persoalan yang menucul dari ontologinya gadamer yang demikian
adalah bermungkinnya pengetahuan historis obyektif dipertanyakan. Berpijak dari pendapa betti,
Heidegger dan gadamer melakukan kritik destruktif terhadap obyektivitas integritas pengetahuan
historis itu sendiri menerima serangan dan harus dipertahankan sekuat mungkin.

Untuk mengerti objek keberatan betti dan Hirsch terhadap hermeneutika bultmann, ebelling,
dan gadamer, perlu diurai dengan singkat pendekatan yang dilakukan oleh bultmann dan dua
muridnya, Gerhard Ebelling dan Ernst fuchs.

Hermeneutika, Bultmann,Ebelling dan Fuchs

Randlof bultmann dikenal sebagai seorang teolog protestan utama abad ini. Walaupun
namanya sering diasosiasikan dengan proyek kontroversial demitologisasi, reputasinya sebagai
pendeta perjanjian baru diperolehnya sebelum dia menerbitkan essainya yang terkenal Jessus
Christ and Mytology, tahun 1941.8 proyek utama eksistensialnya menekankan pada teologi, hal ini
telah nampak pada awal tahun 1926 dalam essainya, Jessus,9 dan sejak it uterus berlanjut.
Penekanan itu sendiri merupakan usaha mengkonfrontasikan lebih dalam problem hermeneutis yang
lebih bermakna menafsirkan perjanjian baru bagi manusia abad 20.

“Demitologisasi” bisa jadi merupakan pilihan istilah yang tidak menguntungkan. Ia


cenderung mengesankan bahwa perjanjian baru dianggap tidak benar(yaitu, mistis) dan pesan itu
sendiri akan terus disesuaikan dengan pandangan dunia post-deistik kita. Gambaran tersebut sangat
mudah dibentuk seluruhnya dari teolog berbakat yang siap membersihkan unsur-unsur mistik
sebagai ketidakberartian dan menghadirkan pereduksian Bibel dimana hanya unsur-unsur yang
sangat dipercayai yang masih tersisa. Secara empatis, demitologisasi tidaklah demikian. Sebaliknya,
demitologisasi tidak bermaksud menghapus atau menghilangkan elemen mistis itu dari perjanjian
baru tetapi menegaskan keaslian dan keselamatan makna nya. Jauh dari usaha mengakomodasi
kitab Injil kepada cara pandang modern, demitologisasi ditunjukkan untuk literalisme yang dangkal
dalam cara pandang modern, tendensi orang awam bahkan para teolog yang menganggap Bahasa
sebagai informasi belaka ketimbang sebagai mediasi yang digunakan tuhan untuk menyapa manusia
dengan kemungkinan pemahaman-diri baru yang radikal(non-yunani,naturalistic,non-
modern).demitologisasi bukanlah instrument demistifikasi dan ikonocklasme rasioanlis dalam gaya
freud,

Anda mungkin juga menyukai