PEMBAHASAN
Kebiasaan
Traktat-traktat
Keputusan-keputusan pengadilan
Karya-karya hukum
Keputusan atau penetapan organ-organ lembaga internasional.
Tata urutan materi menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional Court of Justice
diperintahkan untuk menempatkan sumber-sumber berikut:
Traktat-traktat internasional1
Kebiasaan internasional yang terbukti dari praktek umum telah diterima sebagai
hukum
Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana terkemuka berbagai negara
sebagai sumber tambahan untuk menentapkan aturan kaidah hukum
Hal yang diatas tidak sama dengan yang telah dikemukakan dalam lima kategori yang di atas
sebelumnya, juga tidak mencangkup keputusan-keputusan pengadilan arbitrasi yang
menyangkut persoalan hukum, atau keputusan, dan penetapan organ-organ lembaga
internasional, walaupun pasal tersebut meliputi satu materi ”Prinsip-prinsip umum hukum yang
diakui oleh bangsa-bangsa beradab” yang tidak dikemukakan di atas sebagai tanda petik sumber
material. Prinsip-prinsip umum harus digunakan secara analogi dan dapat diambil dengan
menyeleksi konsep-konsep yang diakui oleh sistem hukum nasional. Dalil-dalil hukum yang
dikutip dan dipopulerkan secara luas tidak dengan sendirinya merupakan “Prinsip-prinsip
umum”
1
Hal-hal ini dilukiskan sebagai “konvensi-konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menetapka
kaidah-kaidah yang secara tegas di akui oleh negara-negara yang berpekara.
Dalam beberapa kesempatan permanen Court of Internasional Justice menganggap perlu untuk
menerapkan atau merujuk kepada “Prinsip-prinsip umum” tersebut oleh karena itu Chorozow
Factory (Indemnity) Cast, Permanent Court of Internasional menerapkan prinsip res judicata
dan merujukkan pada “Konsepsi umum hukum”.
Dari segi pandangan teoritis, ketentuan untuk menetapkan “prinsip-prinsip umum” telah
dipandang sebagai “menyuarakan lonceng kematian” bagi positivisme, karenaketentuan tersebut
secara tegas menolak pandangan kaum postivisme yang luas yaitu bahwa kebiasaan dan traktat
harus dipandang sebagai sumber yang eksklusif dari hukum internasional. Ketentuan tersebut
dinyatakan untuk memecahkan persoalan non liquet yakni ketidakmampuan suatu mahkamah
internasional untuk memutuskan suatu perkara secara hukum karena tidak dapat menemukan
suatu kaidah hukum yang tidak dapat diberlakukan2
1. KEBIASAAN (CUSTOM)
Istilah kebiasaan ( custom ) dan “adat istiadat” (usage) sering digunakan secara bergantian.
Secara teas dapat dikatakan, pada suatu perbedaan teknis yang tegas diantara kedua istilah
tersebut. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului ada nya kebiasaan. Kebiasaan mulai
apabila adat istiadat berakhir. Adat istiadat adalah, suatu kebiasaan bertindak yang belum
sepenuh nya memperoleh pengesahan hukum. Adat istiadat mungkin bertentangan, kebiasaan
harus terunifikasi dan bersesuaian (self-con-sistent). Viner’s abrigement, yang berkenaan
dengan kebiasaan dalam hukum inggris, mengemukakan hal tersebut secara singkat3 :
“kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah
memperoleh kekuatan hukum “.
Suatu unsur dari kebiasaan, sebagaimana telah kita lihat, merupakan suatu bentuk kaidah
hukum internasional dari sejak zaman purba sampai dengan zaman modern. Pada masa yunani
kuno, kaidah kaidah hukum perang dan damai timbul dari kebiasaan kebiasaan umum yang
diataati oleh negara negara kota yunani. Kaidah kaidah kebiasaan ini diberi bentuk yang jelas
melalui proses generalisasi dan unifikasi berbagai macam adat istiadat yang sebelumnya secara
sendiri sendiri ditaati oleh masing masing republik kota. Proses serupa berlangsung diantara
2
Pasal 11 model Draft Article on Arbitral Procedure yang dirancang oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada
tahun 1958 menentukan bahwa suatu pengadilan arbitrase tidak untuk mngemukakan suatu penemuan “non-liquet”
atas dasar diamnya atau kaburnya hukum yang harus diterapkan
3
Viner,Abridgement vii, 164, yang mengutip Tanistry Case (1608) Dav Ir 28.
3
negara negara kecil italia pada abad pertengahan. Pada abad ke 16 dan 17 eropa menjadi
wilayah yang penuh dengan negara negara nasional merdeka, proses demikian juga berjalan
dengan taraf yang lebih tinggi dan lebih luas. Dari adat istiadat yang berkembang dalam
hubungan negara negara eropa modern tersebut muncul kaidah kaidah internasional kuno.
Kaidah kadiah kebiasaan yang berasal dari adat istiadat atau praktek-praktek dikembangkang
dalam kurang lebih 3 bidang :
“keputusan ini tidak memberikan kepada statuta setiap negara untuk berlaku di luar batas
teritorialnya. Bukan memperlakukan ketentuan-ketentuan itu sebagai undang undang
maritim umum, tetapi pengakuan atas kenyataan historis bahwa, melalui persetujuan
bersama umat manusia, ketentuan ketentuan ini secara diam diam telah di akui sebagai
kewajiban kewajiban umum. Dengan fakta ini bernasional asing terus benar benar terbukti
sebagai fakta, akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum internasional”.
2. TRAKTAT-TRAKTAT
a. kaidah yang berlaku secara universal dan umum.
b. “ traktat traktat kontrak” ( treaty contras) misalnya, suatu traktat antara 2 atau hanya
beberapa negara, yang berkenan dengan suatu pokok permasalahan khusus yang
secara ekslusfis yang menyangkut negara negara ini.
1. Serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara berulang ulang
dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasinal yang maksudnya
sama.
2. Mungkin saja terjadi dengan sebuah traktat yang pada mulanya dibentuk hanya di
antara sejumlah peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam traktat itu
digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai contoh sebagai kaidah
yang berdiri sendiri.
3. Suatu traktat dapat dianggap mempunyai nilai pembukti (evidentiary value)
mengenai adanya suatu kaidah yang dikristralisasikan menjadi hukum melalui
proses perkembangn yang berdiri sendiri. Hal demikian terjadi otoritas dan
kesungguhanyang dimiliki oleh tipe intrumen tersebut.
4. KARYA-KARYA HUKUM
Karya karya hukum bukan merupakan “sumber” hukum yang berdiri sendiri, walaupun
kadang kadang opini hukum mengarahkan pada pembentukan hukum iternasional. Menurut
laporan sebuah badan ahli pada Liga Bangsa-Bangsa, opini hukum hanya penting sebagai
suatu sarana guna menjelaskan kaidah kaidah hukum internasional dan mempermudah
pembentukan hukum internasional.
“Apabila tidak ada traktat, dan tidak ada pengawasan tindakan eksekutif atau legislatif atau
keputusan pengadilan, harus dilakukan upaya melihat kepada kebiasaan dan adat istiadat
bangsa bangsa beradab, dan sebagai bukti dari hal hal ini, kepada karya-karya para yuris
dan komentator yang bekerja, melakukan riset, dan berpengalaman selama bertahun tahun
yang telah membuat mereka secara khusus memahami, dengan baik pokok-pokok
permasalahan yg mereka dialami. Karya para yuris tsb oleh pengadilan-pengadilan yudisial,
bukan karena pemikiran-pemikiran dari penulisnya sendiri mengenai bagaimana hukum itu
seharusnya, melaikankan karena bukti yang dapat dipercaya mengenai apa sesungguhnya
hukum itu”.
Meskipun ada beberapa penulisa yang membantah opini-opini atau pemikiran-pemikiran
para ahli hukum mengenai apakah suatu kaidah hukum tertentu harus diakui punya
kekuatan5. Dipandang dari segi pembukti (evidentiary), perjalanan waktu akan menambah
bobot otoritas opini hukum, khususnya apabila dipercaya secara umum atau tidak ada lagi
prinsip-prinsip yang bertentangan dengan opini tersebut66. Sampai sejauh ini, karya-karya
hukum dapat memperoleh semacam otoritas yang menentukan. Namun demikian upaya-
upaya dari Komisi Hukum Internasional dan berbagai macam konvensi multilateral yang
dihasilkan dari upaya-upaya tersebut dari sejak permulaan telah menunjukan keharusan
berhati-hati dalam menerima bukti konklusif mengenai kaidah kebiasaan yang diterima
55
Lihat, misalnya opini dari Committee of Jurist yang diangkat pada tahun 1920 oleh council Liga Bangsa-Bangsa
untuk memberikan nasihat mengenai persoalan Aaland Island. Menurut pendapat Committee itu bahwa Konvensi
tahun 1856, dimana rusia setuju untuk tidak membenteng pertahanan Aaland Island, menciptakan suatu status
militer khusus, yang memberkan hak-hak keapada negara yang berdekatan dan berkepentingan meskipun bukan
peserta konvensi tersebut, telah dikutip dengan persetujuan baik secara tegas maupun implisit dalam textbook
terkenal
6
Lihat pembahasan dalam bab 20. Dan Alexandrowicz, The Law-Making Fumctions of the Specialised Agencies of
the United Nations (1973)
secara umum, bahkan terhadap kaidah yang telah memperoleh pengakuan luas (consensus
omnium) diantara para yuridis.
Dalam suatu perkara ekspesional, opini hukum dianggap sangat penting. Apabila tidak
ada kebiasaan atau traktat yang berlaku menyangkut suatu pokok permasalahan tertentu,
maka dapat dicari jalan lain dengan melihat kepada opini hukum sebagai suatu “sumber”
yang berdiri sendiri, di samping pendapat-pendapat yang dinyatakan dalam perkara-perkara
yang diputuskan atau dalam pertukaran nota diplomatik. Dengan demikian dalam perkara Re
Pirace jure Gentium yang diputuskan Privy Council, masalah yang timbul adalah apakah
perampasan (Robbery) merupakan suatu unsur utama dalam kejahatan perompakan menurut
Hukum Internasional7. Berkaitan dengan hal ini, Privy Council berpendapat pihaknya terkait
secara penuh pada opini Hukum, dan menyatakan bahwa untuk itu tidak hanya perlu
mencari konsensu pendapat, tetapi melakukan pilihan apa yang merupakan pendapat yang
lebih baik. Privy Council akhirnya memutuskan bahwa perampasan bukan merupakan suatu
unsur esnsial dalam perompakan Jure gentium, dan bahwa suatu percobaan yang gagal untuk
melakukan perampasan yang sifatnya perompakan sama dengn melakukan perompakan jure
gentium.
5. KEPUTUSAN-KEPUTUSAN ATAU KETETAPAN-KETETAPAN ORGAN-
ORGAN LEMBAGA INTERNASIONAL ATAU KONFERENSI-KONFERENSI
INTERNASIONAL
1. Keputusan atau ketetapan itu dapat merupakan langkah-langkah anatar atau langkah
akhir dalam evolusi kaidah-kaidah kebiasaan, khususnya kaidah yang mengatur fungsi
konstitusional dari lembaga-lembaga ini. Kriteria penentunya dalah sejauh mana
keputuasan, ketetapan atau rekomendasi itu telah dpakai dalam praktek8. Dengan
demikian dari praktek dewan PBB, berkembang kaidah bahwa suatu sikap abstainyang
diambil oleh suatu negara anggota dalam pemungutan suara tidak harus dianggap
sebagai suara tidak setuju untuk menentukan apakah suatu keputusan mengenai
persoalan non-prosedur itu sah diambil oleh dewan kemanan berdasarkan syarat-syarat
7
Secara umum lihat tentang pokok masalah ini F Suy dan lain-lain,The concept of Jus Congens in Imternational
Law (1967) ; J. Sztuccki, Jus Congens and the Vienna Convention on the Law of Treaties; A critical Appraisal
(1974); R. Agio (1971) III Hague Recuil des Cours 320 dst; buergenthal and Maler, op.cit, hal 108-109; D.H. Ott,
op.cit hal 200-201
8
pemungutan suara dalam pasal 27 Piagam PBB. Resolusi-resolusi majelis umum PBB
sejak tahun 1952 telah jauh melangkah menuju pengesahan kaidah bahwa rakyat-rakyat
yang belum bisa merdeka berhak atas penentuan nasib sendiri.