Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Konsep Fitrah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok Pada Matakuliah Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Masykur H.Mansyur, M.M

Disusun Oleh : Kelompok 3


1. Abdunasir (2010632030001)
2. Amelia Sapitri (2010632030003)
3. Fuji Fauziah (2010632030008)
4. Ricky Rahmat (2010632030018)

PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENDIDIKAN


AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2021 M
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alikum Wr.Wb

Dengan mengucap rasa syukur hanya kehadirat Allah SWT, Dzat Yang Maha Agung,
tempat memohon perlindungan dan tempat bergantung semua makhluk atas rahmat dan cinta-
Nya yang tiada pernah terputus. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad Rasulullah SAW, keluarga, sahabat beliau, dan pengikutnya yang setia
sampai akhir jaman.

Alhamdulillah, atas Ridho Allah SWT saya dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Konsep Fitrah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan” dalam rangka memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam. Kami mengucap terima kasih kepada
Bapak dosen Dr. H. Masykur H.Mansyur, M.M yang telah membina dan menuntun kami
untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

“Tiada gading yang tak retak” Penulis menyadari bahwa tugas kelompok ini jauh dari
sempurna dan apabila ada penulisan yang salah, mohon untuk dimaafkan. Maka dari itu,
segala saran dan kritik sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Namun
demikian, penulis tetap berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb

Karawang, 8 Oktober 2021

Hormat Kami

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................................


B. Rumusan Masalah .................................................................................................
C. Tujuan Masalah .....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Fitrah Terhadap Pendidikan Islam ........................................................
B. Implementasi Fitrah Terhadap Pendidikan Islam ...............................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia merupakan makhluk yang sangat istimewa. karena manusia dikaruniai akal
sebagai keistimewaannya dibandingkan dengan dengan makhluk-makhluk yang lain.
Manusia merupakan makhluk yang mulia dari semua makhluk yang ada di alam bumi ini.
Allah yang memberikan manusia dengan berbagai keutamaan dengan ciri khas yang
membedakan makhluk satu dengan makhluk yang lainnya.

Dalam pandangan Islam menyatakan bahwa kemampuan dasar dan keunggulan


manusia dapat dibandingkan dengan makhluk lainnya yang disebut dengan fitrah, kata “
Fitrah” yang dalam pengertian etimologi mengandung arti kejadian. Secara umum makna
fitrah dalam Al-Qur‟an dapat dikelompokan kedalam empat makna

1. Sebagai proses penciptaan langit dan bumi

2. Proses penciptaan untuk manusia

3. Mengatur alam semesta dan isinya secara lebih serasi dan seimbang

4. Memberikan makna pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoma bagi manusia
dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya.(S, 2001)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Fitrah terhadap Pendidikan Islam?
2. Bagaimana Implementasi Fitrah terhadap Pendidikan Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Fitrah terhadap Pendidikan Islam.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Implementasi Fitrah terhadap Pendidikan Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara
etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam
kamus munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala
yang ada pada saat selesai di ciptakan. (Ramayulis, 1994)
Prof. Dr. Abdul Mujib mengutip dari imam al-qurtubi mengartikan fitrah jika
dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna; (1). fitrah dapat berarti suci
(al-thuhr). (2). Fitrah berarti potensi ber-islam (al-din Al-islamiy), ini bermakna bahwa
fitrah berarti beragama islam. (3). Fitrah mengakui keesaan Allah (Tawhid Allah). (4).
Fitrah berarti kondisi selamat(al-salamah) dan kontinuitas (istiqomah). (5). Fitrah berarti
perasaan yang tulus (al-Iklas), manusia dilahirkan membawa potensi baik. (6). Fitrah
berati kesanggupan menerima kebenaran. (7). Fitarh berarti potensi dasar manusia atau
prasaan untuk beribadah. (Mudzakkir, 2010) Hasan Langgulung menambahkan bahwa,
makna fitrah berarti; (8) Fitrah berarti ketetapan atau taqdir asal manusia mengenai
kebahagian (al-sa‟adat) atau kesensaraan (al-syaqawat) hidup. (9). Fitrah berarti tabiat atau
watak asli manusia. (10). Fitrah berarti sifat-sifat Allah, yang ditiupkan kepada manusia
sebelum lahir (Langgulung, 1995)
1. Jenis-Jenis Fitrah
Fitrah memiliki banyak dimensi, tetapi demensi yang terpenting adalah:
a) Fitrah Agama, Manusia sejak lahir mempunyai naluri atau insting yang beragama, dan
mengakui adanya dzat Allah, namun ketika dia lahir cendrung pada al-hanif, yakni
rindu akan kebenaran mutlak Allah..
b) Fitrah Intelek, Intelek adalah potensi bawaan manusia untuk memperolehpengetahuan
yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena daya dan fitrah ini
hingga dapat membedakan antara manusia dan hewan.
c) Fitrah Sosial, kecendrungan manusia untuk hidup berkelompok yang mempunyai ciri
khas yang disebut kebudayaan. Oleh karena itu tugas pendidikan disini adalah
menjadikan kebudayaan islam sebagai proses kurikulum pendidikan islam dalam
seluruh peringkat dan tahapan.
d) Fitrah seni, Kemampuan manusia untuk menimbulkan daya estetika, yang mengacu
pada sifat al-jamal Allah swt. Tugas utama pendidikan memberikan suasana gembira,
senang, dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan adalah proses
kesenian, yang karenanya dibutuhkan seni mendidik.
e) Fitarh kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah
air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainya.

Semua kebutuhan kehidupan manusai merupakan fitrah yang menuntut untuk


dipenuhi,. Sayyid Quthub mengemukakan kebutuhan pokok manusia terbagi menjadi
empat macam, yaitu: (1) Kebutuhan hati nurani setiap manusia untuk memperoleh
kepuasan, ketentraman, dan ketenangan. (2). Kebutuhan akal pikiran, setiap insan untuk
memperoleh kebebasan, kemerdekaan, dam kepastian. (3). Kebutuhan prasaan setiap insan
dapat memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang, dan perdamaian. (4). Kebutuhan
hak dan kewajibansetiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban dan
keadilan.

Sesungguhnya tubuh manusia terdiri dari dua jenis, yaitu: Tubuh kasar dan tubuh
halus, atau jasmani/fisik dan ruhani/ruh. Manusia tanpa jasmani belum bisa dikatakan
manusia, demikian dengan manusia tanpa ruh tidak dapat dikatakan manusia
hidup.Jasmani manusia berasal dari materi tanah, sedangkan ruh manusia berasal dari
Allah yaitu Tuhan semesta alam(Unila, 2014)

2. Konsep Tentang Fitrah

Rasulullah SAW bersabda : “Anak-anak lahir dalam keadaan fithrah, orangtuanyalah


yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Bukhari) Menurut Yasien
Muhammad, pemahaman terhadap konsep fithrah ini ada empat, yaitu pandangan fatalis,
pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis.

a) Pandangan Fatalis
Dalam pandangan fatalis ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan
Allah, adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara
semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Syaikh Abdul Qadir Jailani
mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya
yang telah ditentukan Allah sebelumnya. Dengan demikian, tanpa memandang faktor-
faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh
kehendak Allah untuk menjalani „cetak biru‟ kehidupannya yang telah ditetapkan baginya
sebelumnya.
b) Pandangan Netral
Pandangan netral ini dikomandani oleh Ibnu „Abd al-Barr dengan mendasarkan pada
firman Allah : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun” (QS. an-Nahl ayat: 78)

Penganut pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci,
suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur.
Menurut pandangan netral, iman ataukufur hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai
kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang menjadi bertanggung jawab atas
perbuatannya.

c) Pandangan Positif

Penganut pandangan positif ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
(salaf), Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mufti Muhammad Syafi‟i, Ismail Raji al-Faruqi,
Mohamad Asad, Syah Waliyullah (kontemporer).

Menurut Ibnu Taimiyah, semua anak terlahir dalam keadaan fithrah, yaitu dalam
keadaan kebajikan bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu
menyimpang dari keadaan ini. Muhammad „Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa kebaikan
menyatu pada manusia, sementara kejahatan bersifat aksidental. Manusia secara alamiah
cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Akan tetapi, lingkungan-lingkungan sosial,
terutama orangtua, bisa memiliki pengaruh merusak terhadap fithrahanak.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa terdapat suatu kesesuaian alamiah antara fithrah
dan dien Islam. Agama Islam menyediakan kondisi ideal untuk mempertahankan dan
menyediakan kondisi ideal untuk mempertahankan dan mengembangkan sifat-sifat
bawaan manusia.

d) Pandangan Dualis

Tokoh utama pandangan dualis adalah Sayyid Quthb dan „Ali Shari‟ati. Pandangan
suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Sayyid Quthb, dua unsur pembentuk
esensial dari struktur manusia secara menyeluruh, yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan
kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu
kecenderungan untuk tersesat. Kebaikan yang ada dalam diri manusia dilengkapi dengan
pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu Tuhan sementara kejahatan yang
ada dalam diri manusia dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan kesesatan.

Shari‟ati berpandangan bahwa tanah-simbol terendah dari kehinaan digabungkan


dengan Ruh (dari) Allah. Dengan demikian, manusia adalah makhluk berdimensi ganda
dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tapi juga
berlawanan. Yang satu cenderung turun kepada materi dan yang lain cenderung naik
kepada Ruh Suci (ciptaan) Allah.

B. Konsep Fitrah terhadap Perspektif Pendidikan Islam

Menurut Hasan Langgulung, fitrah adalah potensi yang baik. Haditsh yang
bermakna“Setiap anak-anak dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang
menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna
bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli
behaviorisme. Fitrah adalah sifat-sifat Tuhan yang ditiupkan Tuhan kepada semua
manusia sebelum lahir, dan pengembangan sifat-sifat itu setinggi-tingginya. Senada
dengan hal ini, menurut Dr. Jalaluddin, manusia memiliki beberapa potensi utama yang
secara fitrah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu :

a. Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah)

Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah) Yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk
memelihara keutuhan dan kelanjutan setiap manusia. Diantara dorongan tersebut berupa
instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap
lingkungan dan sebagainya.

b. Hidayatu al-Hassiyat (potensi inderawi)

Hidayatu al-Hassiyat (potensi inderawi) Potensi inderawi erat kaitannya dengan


peluang manusia untuk saling mengenal sesuatu diluar dari dirinya. Melaui alat indera
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, peraba dan lain-lain

c. Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)

Potensi akal memberi kemampuan pada manusia untuk memahami simbol-simbol,


hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan
dapat memilih hal yang benar atau salah. Akal juga dapat mendorong manusia berkreasi
dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.

d. Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)


Pada diri manusia sudah ada dorongan keagamaan yaitu dorongan untuk mengabdi
kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta
isinya.(Jalaludin, 2001)

Dari semua penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas bahwa


lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut mempengaruhi dinamika dan arah
pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka
akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempaan dan
pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari
tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan pendidikan.

Bila pengertian fitrah di atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih
lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan
beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal. Upaya tersebut
adalah pendidikan. Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi manusia yang dapat
mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi lain yang menjadi
kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan
kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan.
Fitrah dapat tumbuhm dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay
yang dijiwai oleh wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam
secara kaffah dan universal. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan Islam,
semakin baik pula perkembangan fitrahnya.

Konsep fitrah menurut Islam tidak sama dengan teori Tabularasa John Locke.
Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki berbagai bentuk potensi yang bisa
dikembangkan. Konsep fitrah manusia menurut Islam juga berbeda jauh dengan teori
nativisme A, Scopenhour, sebab dalam Islam mengakui adanya pengaruh yang besar di
luar diri manusia, baik insani maupun non insani, dalam mengembangkan dan
memodifikasi potensi yang dimilikinya.

Konsep fitrah menurut Islam juga berbeda dengan teori konvergensi William
Stern, sebab dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-
mata dipengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan
kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk
kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih dominan dalam membentuk
kepribandian manusia, tapi ada kalanya lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-
duanya sama-sama dominan. Bahkan dalam Islam, di luar kedua pengaruh tersebut, ada
pengaruh lainnya yang juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan
kepribadian manusia, yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-
Nya yang dikehendaki.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan dari pengertian fitrah manusia
dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang
dikembangkan oleh para ahli pendidikan kontemporer dalam melihat potensi manusia
yang terkesan bersifat parsial dan lepas dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang
sakral dan asasi.

C. Implikasi Fitrah terhadap Pendidikan Islam


Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar manusia
merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan upaya yang membuat
kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu ada upaya. Upaya itu adalah
lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya
mengembangkan sifat dan potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan
dinamis. Potensi itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi,
berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yang berhubungan
langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya. (Faure dkk,
1980: 213)
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang
dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada
pada aspek jasmani maupun rohani: intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam
diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan
dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya.
Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli
bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah
penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd maupun sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun
model atau bentuk yang ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi persoalan.
Terserah kepada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan
pendidikan tersebut tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan potensi
yang dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya untuk senantiasa mengarah pada
fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan situasi dan model pendidikan
Islam yang demokratis-fleksibel.
Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia secara
integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya memiliki natur dan
kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lain, karena hakekat esensial keduanya
berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika
salah satu di antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi
pengembangan totalitas fitrah manusia, untuk itu proses pendidikan Islam harus mampu
menyentuh keduanya secara padu dan harmonis, yaitu dengan jalan mengembangkan dan
memenuhi kebutuhan kedua dimensi tersebut terhadap peserta didik.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses
pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses
pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembanagn
jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan
individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan seluruh umat
(Langgulung, 1995: 13).
Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai
Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan
kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang
ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai
subjek pendidikan. Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami
stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh
kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.
Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan daya
kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insani, serta membekali anak didik
dengan kemampuan yang produktif. (Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa
fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya
daya kreativitas dan produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai ilahi dan insani. Hal
tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari lingkungan
sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program pendidikan.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini
dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasarnya serta
kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan
kemampuan dan bakat yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai
sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan
difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi
elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang membangun pembawaan agresi
manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan untuk mencapai objek-objek
pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat
agresi ini. Jelasnya seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan
menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar
sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik
muslim untuk berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu
tidak dapat berkembang dengan sendirinya.
Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu
pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan yang mengikat manusia
dengan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan manusia akan adanya Allah melalui
fitrahnya tidak dapat disamakan dengan teori yang memandang bahwa monoteisme
sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid merupakan inti dari
semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada manusia, munculnya kepercayaan
tentang banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid telah
dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga masalah
kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah yang
harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum pendidikan Islam.
Di samping fitrah, manusia juga mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah seperti
makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak dapat
dikonsumsikan sebagaimana hewan, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus
dikonsumsikan harmonis untuk mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu
tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, seperti tidak kawin; puasa terus
menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tersebut diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-
Rum : 30
ِ ّ ٰ ‫اَل تا ۡب ِديۡ ال ِمخاـلۡ ِق‬
‫الل‬
“Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30)

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak
boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yang positif. Seorang
pendidik tidak boleh mengubah kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana
firman Allah SWT. dalam surah An-Nisa ayat 119 :

ِ ّ ٰ ‫او ا َٰل ُم ارَّنه ُ ۡم فالا ُي ابـ ِتّ ُك هن ٰا اذ اان ۡ ااَلنۡ اعا ِم او ا َٰل ُم ارَّنه ُ ۡم فالا ُيغ ِ ّ ُاّي هن اخلۡ اق‬
‫اللؕ او ام ۡن يهته ِِ ِِ ام هَّي ۡي ٰٰ ان او ِم ايا ِّم ۡن‬
‫ُِساًنا ُّم ِب ۡيناا‬
‫اِس خ ۡ ا‬ ‫الل فاقادۡ خ ِ ا‬ ِ ّ ٰ ‫د ُۡو ِن‬
… dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau
merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syetan sebagai pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141)

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari‟ati mengungkapkan lima faktor yang secara
kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu :

Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan kasih
sayang dan kelembutan.

1. Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri.


2. Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
3. Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana empiris bagi anak.
4. Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi pengetahuan dan

pengalaman tentang corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64) Kelima faktor di
atas merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah anak didik dalam berbagai
dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yang suci dan bersih, orang tua/pendidik
dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya pada
kebiasaan yang baik, serta melarang mereka membiasakan diri untuk berbuat buruk.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam rangka


mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, baik itu potensi jasmani
maupun rohani, pendidikan memainkan peranan penting yang tidak dapat dipungkiri.
Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer
kebudayaan dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui baik dan buruk
dan lain sebagainya.

Pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang diformulasikan


secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan
potensi peserta didik. Jadi pola pendidikan yang ditawarkan harus disesuaikan dengan
kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan. Jika tidak, proses
pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu,
pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara
utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, D. (2012). Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Al-Ta‟lim2, 1(3), 188–
200.

Arifin, H. M. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Aslan. (2017). Pendidikan Remaja Dalam Keluarga di Desa Merabuan, Kalimantan Barat (
Perspektif pendidikan Islam). Al-Banjari, 16(1), 122–135.

Faturrahman, M. (2016). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Edukasi,


4(1), 1–25.

Fay, B. (2002). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.

Hafidz. (2008). Konsep manusia yang menyejarah sebagai dasar pengembangan epistemologi
pendidikan Islam. Jurnal Filsafat, 18(2), 1–19.

Hidayati. (2016). Pendidikan Anti Korupsi Tinjauan Perspektif Pendidikan Islam. Hikmah:
Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 100–128.

Ibrahim, M. (1990). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Erlangga.

Ismail, S. (2013). Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam.
At-Ta‟dib, 8(2), 242–263.

Jalaluddin. (1997). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jalaludin. (2001). Teologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Langgulung, H. (1995). Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor: Hizbi.

Lutfiyani. (2016). Pendidikan Karakter Dibentuk Dari Fitrah Manusia. Hikmah: Jurnal
Pendidikan Islam, 5(1), 129–145.

Mudzakkir, A. . (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Muhaimin. (2001). Paradigma Pendidkan Islam. Bandung: Rosda Karya.

Muhmidayeli. (2013). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.


Mujib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam (kajian Filosofik dan kerangka Operasionalnya).
Bandung: Trigenda.

Muspiroh, N. (2016). Integrasi Nilai Islam Dalam Pembelajaran IPA ( Perspektif Pendidikan
Islam). Jurnal Pendidikan Islam, 28(3), 484–498.

Nahlawi, A. (1996). Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema
Insani Press.

Najahah. (2016). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal


Lentera Pendidikan LPPM UM Metro, 14(2), 135–147.

Pransiska, T. (2016). Konsepsi Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya
Dalam Pendidikan Islam Kontemporer. Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, 17(1), 1–17.

https://www.researchgate.net/publication/330761648 Diakses Pada Rabu, 06 Oktober 20121

Anda mungkin juga menyukai