Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HALUSINASI

A. Halaman Judul

Halusinasi

B. Konsep penyakit

1. Definisi

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghidungan. Klien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada (Damayanti, 2012).

Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak
sebagaian sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang teresepsi (Yosep, 2010).

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang datang disertai gangguan respon
yang kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut (Nanda, 2012).

2. Etiologi gangguan jiwa

a. Faktor prediposisi

Menurut Yosep (2010) factor prediposisi klien dengan halusinasi adalah:

1) Faktor perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga
menyebabkan klien tidak mau mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan
terhadap stress
2) Factor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan
tidak percaya pada lingkungannya.

3) Faktor biologis

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami
seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.

4) Faktor psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalagunaan zat adiktif.
Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

5) Faktor genetik dan pola asuh

Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami
skizofrenia. Hasil studi menunjukan bahwa factor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini

b. Faktor presipitasi

1) Perilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dang
bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatan, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu:

a) Dimensi fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan
obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.

b) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab
halusinasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.

c) Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namum merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

d) Dimensi sosial

Klien mengambil gangguan interaksi sosial fase awal dan comforting klien menganggap bahwa hidup
bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung keperawatan klien
dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

e) Dimensi spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya
aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri irama sirkadiannya
terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memakai takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

3. Manifestasi klinis gangguan jiwa

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:

Klien bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata
yang cepat, respon verbal yang lambat, menarik diri dari orang lain, berusaha menghindari dari orang
lain, tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata, terjadi peningkatan denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah, perhatian dengan lingkungan kurang atau hanya beberapa detik,
berkonsentrasi dengan pengalaman sensori, sulit berhubungan dengan orang lain, ekspresi muka
tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah, tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak
tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton, curiga dan bermusuhan, bertindak merusak
diri, orang lain dan lingkungan, ketakutan, tidak dapat mengurus diri dan biasa terdapat disorientasi
waktu, tempat dan orang.

4. Patofisiologi

Menurut Yosep (2010) tahapan halusinasi ada lima fase, yaitu:

a. Stage I : sleep disorder fase awal seseorang sebelum munculKlien merasa banyak masalah, ingin
menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin
terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, miasalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati
kekasih, masalah kampus. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system
kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus menerus sehingga
terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.

b. Stage II: comforting halusinasi umum ia terima sebagai sesuatu yang alamiKlien mengalami emosi
yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan
sensorinnya dapat dia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien
merasa nyaman dengan halusinnya

c. Stage III condemning secara halusinasi sering mendatangi klienPengalaman sensori klien menjadi
sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari
orang lain, dengan intensitas waktu lama.

d. Stage IV controlling severe level of anxiety fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan
kesepian bila halusinnya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik

e. Stage V conquering panic level of anxiety klien dapat mengalami gangguan dalam menilai
lingkungannyaPengalaman sensorinnya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan datangnya
suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
Pohon Masalah Isolasi Sosial

Sumber : Keliat,2016

5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Direja (2011:145), dalam
pemeriksaan penunjang ada jenis alat untuk memeriksa gangguan struktur otak yang
mempengaruhi gangguan jiwa dapat menggunakan alat sebagai berikut:
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan memberikan
informasi penting tentang kerja dan fungsi otak.
Single Photon EmissonComputed Tomography (SPECT) untuk melihat wilayah otak dan
tanda-tanda abnormalitas pada otak dan menggambarkan perubahan-perubahan aliran
darah yang terjadi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik radiologi dengan menggunakan
magnet, gelombang radio dan komputer untuk mendapatkan gambaran struktur tubuh
atau otak dan dapat mendeteksi perubahan yang kecil sekalipun dalam struktur tubuh
atau otak.
Menurut Copel (2007) yaitu dengan terapi Elektro Convulsif Teraphy (ECT), kejutan
listrik dialirkan ke otak dengan cara menempatkan elektroda–elektroda pada pelipis.

6. Pengobatan
Terapi Psikofarmaka
Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas,
kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya
berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya
untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta dalam
fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi dan
parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi,
gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).

c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik, sindrom
Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek samping
diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah,
bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit,
psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2019).
Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan strategi
pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi pertemuan
yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi
social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila
berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan,
dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam
kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan
satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua
orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan
hariannya (Purba, dkk. 2018)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmam puan
bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang meliputi:
Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.
Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah
laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.
Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan
sesudah mandi.
Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti
pakaian.
Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan
setelah makan dan minum.
Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan
kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan,
rambut, kuku dan lain-lain.
Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga
keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam
sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada
pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena
sering merupakan gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini
yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien
mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam
kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan
hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara
dengan kawannya dan sebagainya.
Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan
hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu
ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.
Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang
lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya
kesungguhan dalam berkomunikasi.
Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan
orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang
harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan
santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.
Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat
mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah
sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya
C. Asuhan keperawatan

1. Masalah keperawatan yang mungkin muncul

2. Diagnosa keperawatan (berdasarkan SDKI)

Definisi

Tanda mayor dan tanda minor

3. Rencana asuhan keperawatan (Tujuan dan kriteria hasil menggunakan

SLKI dan intervensi berdasarkan SIKI)

4. Daftar pustaka (minimal 10 tahun terakhir).

Anda mungkin juga menyukai