Anda di halaman 1dari 10

Arus Globalisasi : Lawan Franchise dengan Angkringan

Oleh Aristia Fatmawati


Posel: Aristiafatmawati@gmail.com

Abstrak
Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup yang berkaitan juga dengan spiritualitas
yang tinggi. Arus globalisasi semakin pesat dan membawa dampak untuk kebudayaan Jawa.
Gerakan kapitalis mulai muncul sebagai dampak arus globalisasi. Gerakan itu hanya fokus
kepada hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan distribusi serta pemanfaatannya yang
digunakan untuk mencapai laba. Hal itu akan membawa kekosongan atau ketidakbermaknaan
hidup. Agar dampak tersebut tidak muncul, harus dilakukan pencegahan dengan segera.
Caranya adalah dengan sebuah reinterpretasi dalam memaknai kehidupan sesuai dengan
kebudayaan Jawa yang sakral.
Hal tersebut akan membawa dampak perubahan kebudayaan, masyarakat akan
cenderung menjadi konsumtif dan individualis. Kedua hal tersebut sebenarnya sangat
bertentangan dengan kebudayaan Jawa sebagai identitas bangsa Indonesia. Demi
identitasnya, masyarakat Jawa harus menghadapi arus globalisasi khususnya dalam bidang
ekonomi. Indonesia harus tetap dikenal dengan negara yang memiliki pluralitas budaya.
Kebudayaan Jawa harus tetap memiliki pemilik dan pemakai sehingga dapat bernapas lebih
panjang.
Melalui bidang ekonomi, yaitu dengan pemberdayaan warung angringan yang
menjadi simbol kehidupan Jawa dapat menjadi sektor yang masuk dalam pasar global. Bisnis
fraincise dari luar negeri yang semakin menjamur dan seolah menguasai perekonomian di
Indonesia di bidang kuliner harus mulai dihadapi. Warung angkringan juga harus bisa
mendunia menjadi salah satu wakil dari identitas kebudayaan Jawa dan bangsa Indonesia.
Melalui sektor ekonomi, kita mampu memperkenalkan kebudayaan Jawa kepada masyarakat
dunia. Dengan demikian, Indonesia tidak akan menjadi budak negara yang perekonomiannya
sudah kuat dan tercipta hubungan saling bertukar serta meleburkan dominasi salah satu pihak.
Selain itu, kebudayaan Jawa pun akan tetap lestari.

Abstract
Javanese society has a view of life that is also related to high quality. Globalization
flows are increasingly rapid and have an impact on Javanese culture. The capitalist
movement began to emerge as the impact of globalization. The movement only focuses on
private property rights on the means of production and distribution as well as the utilization
that is used to achieve profits. That will bring emptiness or meaningless life. In order for
these impacts not to arise, immediate prevention must be carried out. The way is by a
reinterpretation in interpreting the desires in accordance with the sacred Javanese culture.
This will have an impact on cultural change, society will tend to be consumptive and
individualistic. Both of these things are actually very contrary to Javanese culture as an
Indonesian identity. For the sake of their identity, Javanese people must face the flow of
globalization, especially in the economic field. Indonesia must remain known as a country
with a plurality of cultures. Javanese culture must still have owners and users so they can
breathe longer.
Through the field of economics, namely by empowering the warringan warrants
which become a symbol of Javanese life can become a sector that is included in the global
market. Fraincise business from abroad which is increasingly mushrooming and as if
controlling the economy in Indonesia in the culinary field must begin to be faced.
Angkringan stalls must also be able to become a representative of the identity of the
Javanese culture and the Indonesian nation. Through the economic sector, we are able to
introduce Javanese culture to the world community. Thus, Indonesia will not be a slave to a
country whose economy is already strong and creating exchanging relationships and fusing
the dominance of one party. In addition, Javanese culture will remain sustainable.

PENDAHULUAN
Perkembangan globalisasi dewasa ini menjadi perbincangan serius dalam berbagai
lini kehidupan di Indonesia. Istilah globalisasi akan menjadi arus yang mengeskploitasi
seluruh sumber lingkungan dan budaya daripada akan membangunnya. Globalisasi ditandai
dengan kemudahan mengakses berbagai informasi dan komunikasi yang tidak mengenal
batasan ruang dan waktu. Berbagai dunia di belahan bumi manapun dapat kita telusuri satu
waktu tertentu. Dengan demikian, saat ini berbagai hal yang sifatnya informatif mudah
didapatkan hanya dengan satu klik dan kegiatan berkomunikasi dapat dengan mudah juga
dilakukan walaupun terpisah jarak yang sangat jauh.
Fenomena tersebut terjadi tanpa bisa kita tolak. Arus globalisasi antara negara maju
dan negara berkembang tidak akan mampu saling memberi dan menerima informasi. Negara
maju akan lebih dominan ketika memberikan berbagai informasi ke negara berkembang
daripada sebaliknya. Oleh karena itu, akhir-akhir ini arus globalisasi dari negara lain yang
lebih maju sangat mudah memasuki wilayah Negara Indonesia, daripada sebaliknya. Hal
tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada berbagai kebudayaan yang telah kita miliki
sebagai ciri khas atau identitas bangsa. Sesuai pendapat Miharja dan Ahmad (2017:2) yang
menyebutkan bahwa Indonesia dikenal sebagai suatu sosok masyarakat yang pluralistik yang
memiliki banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi, kesenian,
kebudayaan, ekonomi dan pandangan nilai hidup yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis
dalam masyarakat asli Indonesia sehingga melahirkan kepercayaan-kepercayaan baru.
Selain beragai hal tersebut, sektor ekonomi juga sangat terpengaruh dengan adanya
arus globalisasi. Indonesia saat ini sedang dalam tahap membangun khusunya dalam bidang
ekonomi yang nantinya akan menjadi penentu kekayaan, kemampuan, kemandirian, dan
kemajuan suatu negara. Pembangunan juga menjadi salah satu tolok ukur bidang ekonomi
dalam suatu negara. Indonesia masih menjadi salah satu negara yang masih berbenah dalam
hal ekonomi.
Kenyataannya dalam pembangunan perekonomian Indonesia sektor yang paling
banyak menyumbang bangunan baru adalah mulai berdiri kokoh berbagai hotel berbintang,
gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik industri, pusat-pusat perbelanjaan,
perdagangan modern, dan berbagai tempat rekreasi yang modern. Kondisi tersebut tanpa
disadari akan membentuk gerakan kapitalisme. Kapitalisme yang ditopang oleh
industrialisme sehingga akan melahirkan suatu pola konsumenrisme di dalam bangsa kita.
Awalnya kapitalisme merupakan ideologi dengan kekuatan raksasa, yang sampai
sekarang mampu mempengaruhi berbagai proses kehidupan ekonomi di seluruh dunia.
Spencer (dalam Sutiyono, 2012: 168) menyatakan bahwa kapitalisme merupakan sistem
organisasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri yaitu hak milik privat atau pribadi atas alat-alat
produksi dan distribusi serta pemanfaatannya digunakan untuk mencapai laba, pemilikan
modal setumpuk-tumpuknya, dan penanaman saham sebanyak-banyaknya. Hal tersebut akan
membawa dampak perubahan kebudayaan, masyarakat akan cenderung menjadi konsumtif
dan individualis. Hal tersebut sebenarnya sangat bertentangan dengan kebudayaan identitas
bangsa Indonesia khususnya kebudayaan Jawa.
Kebudayaan jawa menjadi salah satu identitas bangsa Indonesia yang telah dikenal
hingga mancanegara. Kini bahkan telah dipelajari di berbagai negara karena dianggap sangat
sakral dan mengandung nilai. Masyarakat Jawa memiliki ciri pandangan hidup bahwa
kehidupan ini telah ada garisnya sehingga tinggal dijalankan saja. Hal tersebut akan sangat
bertentangan dengan hadirnya gerakan kapitalisme. Arus globalisasi akan membuat
pandangan hidup orang Jawa pun mulai gusar dan harus mampu mempertahankan diri.
Tingkat ekonomi masyarakat Jawa saat ini masih dalam tingkat yang
memprihatinkan. Perekonomian di Jawa Tengah berdasarkan hasil survei BPS tahun 2017
tumbuh stagnan pada angka 5,27%. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Jawa
masih mempertahankan pandangan hidupnya dalam mencari rezeki yaitu bahwa rezeki itu
sudah ada yang atur, manusia hanya tinggal menjalankan saja tanpa harus memikirkan
banyaknya laba yang akan didapatkan, yang penting bisa untuk hidup sehari-hari sudah
cukup.
Kebudayaan Jawa harus mampu melawan tantangan arus globalisasi khususnya dalam
bidang ekonomi. Menurut Ancok (dalam Sukamto dan Yohanis, 2014:3) dalam bidang
ekonomi, bisnis francise yang mulai menjamur secara perlahan menggeser beberapa usaha
kecil seperti koperasi, warung, toko kelontong. Usaha yang mulai tergeser tersebut sejatinya
adalah warisan budaya asli Indonesia. Hal tersebut akan mengakibatkan adanya kekosongan
atau ketidakbermaknaan hidup sehingga diperlukan adanya sebuah reinterpretasi dalam
memaknai kehidupan.

PEMBAHASAN
A. Arus Globalisasi dan Berbagai Tantangannya
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki identitas cukup kuat. Identitas
adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas dan membedakan dengan
bangsa lain (Ubaedillah, 2013). Dengan demikian, kebudayaan bangsa merupakan pembentuk
identitas nasional Indonesia yang harus tetap dijaga walaupun tergerus arus globalisasi.
Kebudayaan lokal yang dimiliki Indonesia merupakan ciri khas yang membedakan dengan
negara lain di dunia.
Globalisasi saat ini telah menjangkau sudut-sudut dan pelosok-pelosok desa di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Banyak produk berbagai global yang telah dinikmati oleh
masyarakat Indonesia. Abdullah (1995:1) menyatakan bahwa budaya global ditandai dengan
adanya integrasi berbagai budaya ke dalam tatanan global. Berbagai kegiatan dilakukan oleh
masyarakat untuk mengikuti merayakan masuknya arus globalisasi. Mereka mulai
menyesuaikan diri dengan arus budaya yang dibawa oleh globalisasi di kehidupan mereka.
Laju perkembangan globalisasi yang sangat cepat memaksa banyak masyarakat harus
cepat pula dalam menyesuaikan diri. Agar tidak tergerus, masyarakat harus menyesuaikan
diri dengan cara menerima dan memahami dengan cepat berbagai hal yang baru. Kiblat arus
globalisasi adalah negara-negara maju seperti Tiongkok, Amerika, Rusia, Jepang, dan Korea.
Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka masyarakat bangsa Indonesia harus bergerak
mengikuti arus tersebut. Dengan demikian, untuk mengikutinya tentu akan terjadi berbagai
perubahan dalam kehidupan mereka.
Salah satu sektor yang juga menjadi penentu arus globalisasi yaitu sektor ekonomi.
Indonesia sebagai negara berkembang tentu akan sangat mangalah dengan negara maju yang
mulai mendominasi pasar. Industri yang kian maju membuat standar hidup mulai meningkat
dan akan mengubah cara pandang masyarakat menjadi berorientasi profit. Memperoleh laba
yang besar menjadi tujuan hidup utama. Hal tersebut akan menghasilkan perkembangan
konsumenrisme yang pesat. Seuai dengan pendapat Harjana (dalam Sutiyono, 2012: 170)
yang menyatakan bahwa proses globalisasi yang menimbulkan munculnya berbagai industri
masa kini akan menghasilkan pula perkembangan konsumenrisme yang pesat.
Globalisasi juga terbangun oleh interaksi sosial yang melibatkan berbagai nilai termasuk
nilai sosiokultural individu atau kelompok lalu melintasi batas komunikasinya untuk
berhubungan dengan entitas lain (Rahmawati, 2010: 110). Hal ini akan membuat berbagai
pandangan hidup yang dimiliki masyarakat asli juga akan terancam tergerus dengan arus
globalisasi. Pandangan hidup yang juga berdampak pada sektor ekonomi akan ikut
mengalami permasalahan kepunahan.
Bangsa Indonesia kini harus mengkuti perkembangan beberapa negara maju, khususnya
di bidang ekonomi. Indonesia saat ini merupakan negara yang sebagian besar sektor
ekonominya berbentuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Hal tersebut menjadi
salah satu masalah ekonomi Indonesia untuk memasuki pasar global. UMKM memiliki
keterbatasan dalam sektor modal dan teknologi. Berdasarkan hasil strata survei tahun 2017
ditemukan permasalahan bahwa turunnya dinamika bisnis di Jawa Tengah disebabkan
rendahnya persentase jumlah usaha yang inovatif.
Apabila sektor ekonomi kita tidak berubah, dapat diprediksi bahwa Indonesia akan lebih
bergantung kepada kekuatan ekonomi negara lain yang lebih maju. Persaingan global akan
menghasilkan suatu kemenangan bagi mereka yang kuat. Sedangkan mereka yang lemah
akan mengalami kekalahan dalam persaingan ekonomi. Hal inilah yang harus mulai diubah,
Indonesia harus mulai mempersiapkan persaingan dengan memanfaatkan sektor budaya yang
menjadi ciri khas kita.

B. Pengaruh Bisnis Fraincise terhadap Pandangan Hidup Orang Jawa


Bisnis fraincise merupakan salah satu bisnis yang memiliki perjanjian pembelaian hak
untuk menjual produk dan jasa dari pemilik usaha. Bisnis ini kini menjamur di Indonesia.
Banyak bisnis fraincise yang berasal dari luar negeri misalnya Pizza Hut, Mc Donald,
Dunkin Donuts, Starbucks, KFC, dll. Mereka sukses melebarkan sayap di kancah
perekonomian Indonesia. Inilah salah satu dampak globalisasi yang mulai mengikis usaha
masyarakat lokal.
Pemerolehan laba menjadi salah satu fokus atau tujuan utama bismnis tersebut. Hal itu
yang menyebabkan adanya kotradiksi kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa menjadi salah
satu identitas Indonesia. Pandangan hidup orang Jawa menjadi keunggulan Indonesia yang
mampu menembus dunia, namun apakah di tempat asalnya justru akan tekalahkan dengan
pandangan hidup baru yang penuh dengan rayuan janji kehidupan yang lebih baik.
Nampaknya tidak sebanding jika harus mendapatkan hal itu melalui cara meninggalkan
kebudayaan luhur warisan nenek moyang.
Pandangan hidup orang jawa tercermin dalam istilah kejawen. Berikut akan dijelaskan
pandangan hidup kejawen.
1. Awal Penghayatan Kejawen
Dalam memahami kejawen, yang pertama yaitu penghayatan kejawen dapat
bertumpuan pada motivasi intrinsik beserta sejumlah praktik ritual. Seseorang termotivasi
secara internal biasanya ditandai dengan adanya kerja keras yang tanpa dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal. Dengan demikian seseorang akan melakukan usaha denga kerja keras
sampai tujuannya tercapai, meskipun memperoleh banyak rintangan (Dariyo, 2004). Prinsip
ini akan sesuai dengan semangat dalam berbisnis. Akan tetapi, hal inilah yang
mengakibatkan perkembangan globalisasi terkesan tidak seimbang. Artinya masyarakat jawa
akan terkesan tertinggal karena terlalu berpasrah dengan apa yang telah mereka miliki dan
percayai. Mereka percaya kalau sudah berusaha dengan maksimal suatu saat hasilnya juga
akn maksimal, tanpa memperdulikan faktor lain termasuk perkembangan IPTEK.
Masyarakat Jawa juga masih mempertahankan adanya praktik ritual yang bersifat
universal, khas, dan hasil sintesis. Ritual diartikan sebagai serangkaian tindakan yang ditata
oleh adat atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 19840). Hal ini
biasanya berkaitan dengan berbagai peristiwa yang sering terjadi disekitar masyarakat yang
bersangkutan. Ritual ini harus selalu dilakukan oleh generasinya atau anak cucu mereka.

2. Pribadi Kejawen
Kejawen merupakan salah satu budaya yang juga memiliki kepribadian unik dan
beda dari budaya lain. Habermas (1971) menyatakan bahwa pengetahuan yang diproduksi
manusia selalu berhubungan erat dengan epistemologi (cara pandang) tertentu. Epistemologi
ini sesuai dengan tindakan memahami dunia yang kental dengan adanya kepentingan.
Kelanjutan logika Habermas tersebut relevan dengan falsafah “Bhineka tunggal ika”
menurut penghayatan Kejawen. Artinya mereka mempunyai cara tersendiri untuk
merevitalisasi kearifan lokal Jawa demi berkiprah melestarikan bangsa ynag berkepribadian
dalam kebudayaan. Akhirnya semangat dalam mengembangkan ilmu di Indonesia
seharusnya didasari dengan adanya epistemologi yang bersifat kritis dan kultural sehingga
menghasilkan produk yang transformatif dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Berdasarkan hal tersebut terumuskan kerangka rujukan Maslow (dalam Kahija, 2006)
yang menyatakan bahwa perkembangan spiritual para penghayat Kejawen dapat dikatakan
telah memasuki tataran metakebutuhan. Artinya pemenuhan kebutuahnnya bukan hanya
bersangkutan dengan keinginan pribadi, melainkan dorongan dari kepercayaannya. Orang
Jawa cenderung tidak mampu membagi secara terpisah realitas tanpa hubungan satu dengan
lainnya. Pandangan Holistis tersebut inheren dengan kematangan spiritual seseorang
(Sukamto dan Yohanis, 2014:7).

3. Kekhasan Orang Jawa


Orang jawa memiliki sesuatu yang khas. Ciri khas mereka adalah memiliki animo
untuk menyertakan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya jawa demi mewujudkan itegritas
sosial. Mereka menyerah pada alam dan mencoba memahami alam.
Selain itu, orang jawa juga memiliki semangat revitalisasi dan sosialisasi. Semangat
revitalisasi dan sosialisasi nilai-nilai kejawen tidak dapat dilepaskan dari kebermaknaan
hidup mereka. Semangat yang di dalam konsep Jung (dalam Creme, 1986) disebut sebagai
wujud dari arketipe purba yang tersimpan di dalam ketidaksadaran kolektif. Kehidupan
mereka seolah-olah dipenuhi dengan bayang-bayang primordial, yang dalam konteks ini
adalah nilai-nilai kejawen (Sukamto dan Yohanis, 2014: 8).

C. Angkringan sebagai Lawan Bisnis Fraincise


Kebudayaan Jawa yang saat ini mulai luntur sebenarnya tidak bisa jika dikaitkan dengan
pengaruh negatif adanya arus globalisasi. Justru seharusnya arus globalisasi juga ikut
membawa kebudayaan Jawa ke dunia global. Melawan berbagai hambatan dan rintangan
yang ada dengan inovasi yang tidak mengubur kebudayaan Jawa. Bidang ekonomi menjadi
salah satu bidang strategis yang seharusnya mampu memuluskan jalan masyarakat Jawa
mengikuti laju globalisasi yang kian kencang.
Salah satu bidang ekonomi yang saat ini mulai dikenal masyarakat internasional adalah
bidang kuliner. Indonesia memiliki berbagai makanan khas yang bisa digunakan sebagai
suber pertumbungan ekonomi yang menjanjikan. Adanya arus globalisasi membuka peluang
dunia untuk masuk di Indonesia dan memperkenalkan kuliner khas Indonesia yang laku
dipasarkan secara global.
Angkringan adalah salah satu bentuk usaha kuliner yang saat ini menjamur di pelosok
Indonesia. Kebudayaan Jawa yang kental, membuat nuansa keakraban khas masyarakat jawa
yang sederhana mampu digambarkan lewat warung angkringan. Dahulu akngringan hanya
terkenal di kalangan menengah ke bawah, tetapi saat ini mulai merambah ke kalangan
menengah ke atas bahkan memasuki pasar global.
Bisnis fraincise yang menjamur dan laku pesat harus diimbangi dengan bisnis lokal yang
juga sekaligus menjadi perlestari budaya Jawa. Angkringan tidak kalah jika dilihat dari segi
kepraktisannya, sama-sama makanan cepat saji, tanpa harus mengantre panjang. Jumlah
menu yang disajikan pun beragam sesuai dengan menu khas Indonesia. Bedanya adalah
tingkat kepercayaan kepada pembeli. Jika dalam bisnis fraincise, pembelai diharuskan
membayar terlebih dahulu sebelum menyantap makanannya. Berbeda dengan di warung
angkringan, mereka bebas mengambil apa saja lalu menyantapnya dan barulah setelah selesai
pembeli akan menghitung berapa yang harus mereka bayar, modalnya harus jujur kan. Hal
tersebut mengandung nilai spiritual yang cukup besar.
Endaswara (2006) menginformasikan bahwa Indonesia akan menjadi negara adidaya jika
bersedia kembali pada kepribadiannya. Artinya jika kita ingin menjadi bangsa yang besar
harus pandai juga menjadi diri sendiri, menjaga keunikan diri, menjelma menjadi negara
beridentitas dan mampu bersaing secara global. Sebelum hal itu tercipta, upaya
kebermaknaan hidup harus dipahami dalam konteks kebudayaan. Sehingga kualitas hidup
pun akan meningkat dan tidak hanya mengikuti budaya global yang masuk, tetapi juga bisa
saling bertukar budaya meniadakan hubungan saling mendominasi.

SIMPULAN
Perkembangan arus globalisasi tidak mampu dibendung. Indonesia dengan penduduk
mayoritas adalah masyarakat jawa sebaiknya mulai menjadi dirinya sendiri. Memiliki
pandangan hidup sejati yang tidak lupa akan leluhur. Untuk mendapatkan sesuatu memang
harus berpasrah kepada pemilik hidup akan tetapi harus mulai dipikirkan bagaimana agar
tidak tergerus arus globalisasi dan tetap mampu bertahan.
Fokus utama untuk terus bertahan di era globalisasi dan tetap mengikuti arusnya
adalah mulai menghilangkan kekosongan atau ketidakbermaknaan hidup lalu menciptakan
sebuah reinterpretasi dalam memaknai kehidupan. Budaya jawa harus tetap dipegang teguh
dalam menjalankan perekonomian, hanya perlu mengitegrasikan beberapa hal sehingga tetap
mampu membukakan pintu masuk globalisasi dan saling bertukar budaya. Dengan demikian,
mampu menghilangkan kecenderungan dominasi satu pihak.
Bisnis fraincise yang kian menjamur harus menjadi salah satu motivasi untuk
merevitalisasi warung angkringan menjadi sekelas bisnis fraincise yang tidak hanya
mementingkan laba, tetapi mampi juga melestarikan budaya yang kita miliki khususnya
budaya Jawa. Kita juga harus mampu menciptakan warung angkringan di berbagai negara di
seluruh dunia dan memperkenalkan salah satu kebudayaan Indonesia yaitu budaya
keramahtamahan dan spiritualitas budaya Jawa.

REKOMENDASI
Bagi pemerintah pusat, jadikan kebudayaan jawa sebagai salah satu identitas
Indonesia, jangan dianaktirikan. Kebudayaan Jawa juga harus memiliki wadah yang banyak
karena banyak sekali hasil kebudayaan yang mampu disaingkan dengan produk global.
Perbanyak alokasi dana untuk menggiatkan perekonomian Indonesia dengan memberikan
pinjaman modal yang berskala nasional untuk mampu menciptakan warung angkringan yang
mampu berdaya seperti bisnis fraincise orang asing yang ada di Indonesia.
Bagi pemerintah provinsi, sebaiknya mulai sekarang jangan permudah izin bisnis
asing yang akan memasuki Indonesia, pertimbangkan pemberian izin dengan serius. Adakan
seleksi atau persyaratan yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Jika memang akan
membuka fraincise di daerah Jawa, sebaiknya diwajibkan pula menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa pengantar atau menggunakan hasil kebudayaan Jawa untuk melambangkan
bahwa ia berada di tanah Jawa. Adakan ajang untuk perlombaan warung angkringan yang
berskala provinsi sehingga meningkatkan motivasi untuk berkembang menjadi lebih baik.
Bagi pemerintah kabupaten/ kota, sebaiknya adakan perkumpulan yang membahas
mengenai segala keperluan warung angkringan, adakan sesekali workshop yang disertai
tindakan nyata (praktik) tidak hanya teori untuk mengembangkan ilmu pelaku usaha
angkringan. Kemudian sediakan juga wadah untuk berkumpul dan mencurahkan berbagai
pendapat demi kemajuan bisnis mereka.

DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Irawan. 1995. Privitisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referensi Budaya
Lokal?” Makalah Disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Kharisma Warisan Budaya
Islam di Indonesia “Islam dan Kebudayaan Jawa: Akulturasi, Perubahan
Perkembangan”. Balai Kajian Jarahnitra dan Deodikbud DIY.

BPS. 2017 diunduh melalui https://jateng.bps.go.id/pressrelease/2018/02/05/1033/ekonomi-


jawa-tengah-tahun-2017-tumbuh-5-27-persen.html

Cremes, A. 1986. Menjadi Diri Sendiri: Pendekatan Psikologi Analitis. Jakarta: Gramedia.

Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.


Endaswara, S. 2006. Kejawen. Jurnal Budaya Jawa, I (2), 38-40.

Habermas, J. 1971. Knowledge and Human Interest, penerjemah: Jeremy J. Shapiro. Boston:
Beacon Press.

Kahija, Y.F.L. 2006. Pengenalan dan Penyusunan Proposal/ Skripsi Penelitian


Fenomenologis (Versi Bahasa Informal). Seri Metodologi Penelitian Kualitatif Psikologi
Undip.

Miharja, Deni dan Ahmad Saepudin. 2017. Nilai-Nilai Spiritual Kebudayaan Macan Putih.
Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya I. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Rahmawati, Ayu Diasti, et al. 2010. “Globalisasi Budaya dan Bahasa Indonesia sebagai
Identitas Bangsa”. Multiversa, Journal of International Studies, Vol 1 No 1.

Sutiyono. 2012. Greget Joged Jogja. Bale Seni Condroradono dengan ISI Yogyakarta;
Universitas Negeri Yogyakarta; SMKI Yogyakarta.

Sukamto, Pungki A. Dan Yohanis Franz La Kahija. 2014. Bagaimana Penghayatan Kejawen
Memaknai Hidupnya?: Sebuah “Interpretative Phenomenological Analysis”. Universitas
Diponegoro.

Ubaedillah, A& Abdul Rozak. 2013. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group bekerja sama dengan ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai