Secara umum KPH Rinjani Timur memiliki potensi besar apabila dikelola
secara baik. Selain pengembangan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK), KPH Rinjani Timur pula berpotensi dalam pengembangan
jasa lingkungan berupa pemanfaatan air, wisata alam dan karbon. Selain pada
potensi yang telah disebutkan sebelumnya, KPH Rinjani timur juga memiliki
potensi sumber daya hutan kayu yang tentunya difokuskan pada hutan produksi
yang masih open access atau di luar kawasan produksi yang telah memiliki izin
pemanfaatan. Kawasan hutan produksi yang mencapai luas 3000 Ha diarahkan
untuk mengoptimalisasi pemanfaatan kawasan dengan melakukan pengelolaan
bersama masyarakat (kemitraan) atau dengan melibatkan pihak ketiga dengan
melibatkan masyarakat setempat. Pengembangan tanaman hutan lebih
diperuntukkan ke tanaman dengan umur pendek seperti gmelina, sengon, jabon,
dan jenis fast growing species untuk memenuhi permintaan kebutuhan kayu yang
besar baik di NTB atau provinsi lain seperti Bali dan Jawa Timur. Data hasil
potensi tersebut didapat dari kegiatan inventarisasi di KPH Rinjani Timur.
(RPHJP KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)
Selain potensi sumber daya hutan kayu, KPH Rinjani Timur memiliki
potensi sumber daya hasil hutan bukan kayu. Potensi hasil hutan bukan kayu yang
dikembangkan di KPH Rinjani Timur merupakan tanaman yang memiliki pangsa
pasar dan banyak beredar di masyarakat seperti kayu manis, bambu, kemiri, rotan,
lak, buah, kayu putih dan madu, namun potensi ini belum terinventarisasi dengan
baik sehingga ketersediaan data yang sangat terbatas. Wilayah KPH Rinjani
Timur memiliki kekayaan ekosistem alam yang beragam, di samping memiliki
potensi vegetasi yang yang cukup besar, bersamaan dengan itu KPH Rinjani
Timur juga memiliki potensi satwa yang khas dan beragam seperti jenis mamalia
antara lain Babi Hutan (Sus Scrofa), Kera abu-abu (Macaca fascicularis), Lutung
(Tracyphitecus auratus cristatus), Ganggarangan Kecil (Vivvericula indica),
Trenggiling (Manis javanica), Musang Rinjani (Paradoxurus-hermaproditus
rhindjanicus), Leleko/Congkok (Felis bengalensis javanensis), Rusa Timor
(Cervus timorensis floresiensis), Landak (Hystrix javanica) dan beberapa jenis
burung di antaranya Kakatua Jambul Kuning (Cacatua shulphurea parvula),
Koakiau (Philemon buceroides neglectus), Perkici Dada Merah (Trichoglossus
haematodus), Isap Madu Topi Sisik (Lichmera lombokia), Punglor Kepala Merah
(Zootera interpres), Punglor Kepala Hitam (Zootera doherty). Selain jenis-jenis
sebelumnya, ditemukan pula Penyu dan habitat Kelelawar pada kawasan hutan
lindung Sekaroh. (RPHJP KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)
4.2. Kondisi Jalur Pengamatan
Kondisi hutan pada ketinggian paling rendah yang pertama kali dijumpai
serta berbatas langsung dengan manusia merupakan kondisi yang sedikit terbuka,
tidak sedikit pula dijumpai bekas pengerusakan serta penebangan. Selanjutnya
pada pertengahan kawasan merupakan hutan dengan tutupan lebih rapat,
dikarenakan salah satu faktor yaitu jauh dari gangguan. Kemudia pada kawasan
yang tertinggi merupakan kawasan hutan dengan tutupan rapat dan jenis kontur
pegunungan yang sama dengan kontur pada pertengahan kawasan.
Hutan yang berada pada Desa Jeringo ini memiliki ekosistem yang cukup
baik untuk mendukung kehidupan beberapa spesies mamalia seperti lutung
(Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), babi hutan
(Sus scrofa), dan rusa (Rusa timorensis). Kemudian vegetasi yang umum dijumpai
seperti kemiri (Aleurites moluccanus), ketimus (Protium javanicum burm),
kesambi (Schleichera oleosa), sonokeling (Dalbergia latifolia), sengon (Albizia
chinensis), jati putih (Gmelina arborea) rajumas (Duabanga moluccana), binong
(Tetrameles nudiflora), kelicung (Diospyros macrophylla), bajur (Pterosperum
javanicum jungh), walikukun (Schoutenia ovata Korth), dan dadap (Erythrina
variegata).
Kondisi habitat pada kelompok ini merupakan keadaan yang paling baik
atau ideal untuk lutung pada kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur, karena
memiliki strata yang baik dengan intensitas gangguan yang rendah dari manusia
dan hewan lainnya. Selain itu posisi yang berdekatan dengan aliran sungai
membuat kebutuhan air terhadap lutung terpenuhi secara maksimal sehingga
perkembangbiakan lutung pada populasi ini terbilang cukup baik. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Nuritasari (2012) bahwa ruang/habitat dibutuhkan oleh
satwa untuk mendapat cukup pakan, perlindungan air dan tempat kawin,
sementara itu populasi bergantung pada besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas
dan keberagaman habitat.
Rata-rata penemuan jumlah individu relatif terdiri dari belasan anggota
individu yang mencirikan regenerasi yang masih baik. Lutung dipercaya
berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya, hal ini sesuai dengan pengamatan
yang telah dilakukan dengan titik penemuan yang berbeda-beda. Kelangsungan
hidup lutung sangat tergantung pada keutuhan hutan tropis pada alam. Sebagian
besar penelitian yang telah dilakukan terkait dengan populasi lutung, ancaman
terbesar yang berpotensi menyebabkan penurunan populasi yakni hilangnya
habitat akibat perubahan fungsi hutan. Sehingga dengan kondisi kawasan hutan
yang masih baik pada Puncak Cemara ini, diharapkan mampu menyeimbangi
ekosistem di dalamnya terutama spesies lutung.
Kurangnya populasi lutung pada kelompok tiga ini terjadi karena beberapa
faktor antara lain ketersediaan pohon pakan yang minim dijumpai pada pada
habitatnya. Seperti yang diketahui, pada kawasan Puncak Cemara ini didominasi
oleh beberapa pohon yang dijadikan sebagai pohon pakan seperti Ketimus
(Protium javanicum burm), Kesambi (Schleichera oleosa), Walikukun
(Schoutenia ovata Korth), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Kemiri (Aleurites
moluccanus) dan beberapa pohon lainnya. Namun pohon-pohon yang menjadi
sumber pakan tersebut jarang dijumpai pada jalur pengamatan yang memiliki
ketinggian paling tinggi ini. Ketinggian lokasi pengamatan pada kelompok ini
diyakini berpengaruh pada populasi individu lutung yang menempatinya. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Sari et.al (2020) bahwa secara keseluruhan lutung jawa
dapat teramati pada ketinggian mulai dari 565-1.421 mdpl.
Berdasarkan pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kelas umur dewasa lebih
mendominasi dibanding dengan kelas umur remaja dan anakan dengan komposisi
dewasa berjumlah 25 individu, kemudian kelas umur remaja berjumlah 11
individu dan kelas umur anakan sebanyak 5 individu. Apriadi (2018) menyatakan
bahwa kemampuan regenerasi yang masih baik pada lutung apabila nilai anakan
dan remaja lebih tinggi daripada dewasa. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
yang di dapat di mana jumlah dewasa mendominasi jumlah individu remaja dan
anakan. Tingginya jumlah individu dewasa dibanding dengan individu remaja dan
anakan dapat terjadi karena individu yang kurang produktif berjumlah lebih besar
sehingga menyebabkan reproduksi populasi yang rendah (Zainudin & Rezeki,
2016). Lutung remaja jantan yang sudah mendekati kelas umur dewasa akan
memisahkan diri dan membentuk kelompok baru mejadi salah satu hal yang
menyebabkan kurangnya individu remaja pada kelompok (Leksono, 2014).
3.00 70
2.75
2.50 61 60
Gambar 4.1. Struktur umur populasi semua kelompok lutung berdasarkan rata-rata
tahunan
Selain struktur umur lutung secara keseluruhan, analisa nilai struktur umur
juga dilakukan pada setiap kelompok lutung. Pada kelompok satu didapatkan nilai
tertinggi pada kelas umur remaja dengan nilai rata-rata tahunanan sebesar 1.5,
kemudian dewasa 0.67, dan yang paling rendah yaitu kelas umur anakan sebesar
0.25. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada (Gambar 4.2) berikut:
1.6 1.5
1.4
Rata-rata Tahunan
1.2
1
0.8
0.67
0.6
0.4 0.25
0.2
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur
Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok satu berdasarkan rata-rata tahunan
Populasi lutung pada kelompok satu didominasi oleh kelas umur dewasa
sehingga membentuk pola grafik yang tidak beraturan, hal ini menunjukkan
populasi pada kelompok ini yang kurang berkembang dengan baik. Berdasarkan
nilai perbandingan membentuk pola piramida kendi atau tidak beraturan dapat
diartikan bahwa remaja mendominasi kelompok sehingga menyimpulkan bahwa
populasi pada suatu kelompok sedikit terganggu. (Huda, 2020)
Rata-rata Tahunan
0.75
0.8 0.75
0.6
0.4
0.2
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur
Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok dua berdasarkan rata-rata tahunan
Rata-rata Tahunan
0.6
0.5
0.4
0.3 0.25 0.25
0.2
0.1
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur
Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok tiga berdasarkan rata-rata tahunan
Pada penelitian ini, penghitungan nilai sex ratio hanya dilakukan pada
kelas umur dewasa karena diyakini membedakan jenis atau ciri kelamin lebih
mudah diamati pada kelas umur lutung dewasa. Hal ini berdasar pada pendapat
Anita (2015) bahwa identifikasi hanya dilakukan pada umur dewasa saja, karena
lebih mudah melihat alat reproduksinya. Perbedaan jenis kelamin lutung dapat
dilihat dari ukuran tubuh di mana ukuran jantan biasanya lebih besar dari ukuran
tubuh betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sex ratio lutung pada
kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur memiliki perbandingan yang sama
pada kelompok satu dan tiga dan berbeda pada kelompok dua. Hal tersebut
dipengaruhi oleh jumlah individu dewasa di setiap kelompok.
Berdasarkan tabel 4.3, sex ratio pada kelompok lutung yang diamati
menghasilkan nilai di mana pada kelompok satu dan tiga memiliki nilai sama
yaitu 1:7, sedangkan pada kelompok dua memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu
1:8. Individu betina selalu mendominasi jantan pada semua kelompok. Murthafiah
(2015) dalam penelitiannya di Cagar Alam Dungus Iwul Kabupaten Bogor
menggambarkan bahwa sex ratio pada lutung memiliki sifat poligami dalam
sistem perkawinannya, karena jumlah betina dewasa lebih banyak dari jumlah
jantan dewasa.
Habitat (bahasa latin untuk “it inhabits”) atau tempat tinggal makhluk
hidup merupakan unit geografi yang secara efektiv mendukung keberlangsungan
hidup dan reproduksi suatu spesies atau individu suatu spesies. Di dalam suatu
habitat terdapat faktor abiotik yang satu sama lain saling berinteraksi secara
kompleks membentuk satu kesatuan. Faktor abiotik suatu habitat meliputi
makhluk atau benda mati seperti air, tanah, udara maupun faktor kimia fisik
seperti tempratur, kelembaban kualitas udara, serta aspek geometris bentuk lahan
yang memudahkan hewan untuk mencari makan, istirahat, bertelur, kawin,
memelihara anak, hidup sosial dan aktivitas lainnya (Sumarto & Koneri, 2016).
Komponen biotik yang penting dalam habitat lutung yaitu vegetasi yang memiliki
kanopi tinggi dan tutupan yang lebat (Kurniawan, 2019)
Lutung merupakan salah satu satwa yang mampu hidup dalam berbagai
tipe hutan dalam berbagai vegetasi yang berbeda. Dalam penelitian Astriani
(2016) di Resort Balanan Taman Nasional Baluran, memiliki perjumpaan tertinggi
dengan lutung dari ketinggian 0-450 mdpl. Tidak jauh berbeda dengan
perjumpaan lutung pada kawasan hutan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur di
mana perjumpaan tertinggi berkisar pada ketinggian 450 – 1850 mdpl. Pola
sebaran suatu jenis spesies dapat diketahui secara horizontal maupun vertikal yang
dapat berbentuk acak, mengelompok atau seragam (Siburian, 2018). Ketiga
kelompok lutung dapat dibedakan dari lokasi perjumpaan yang cukup jauh dan
dipisahkan oleh keadaan topografi berupa ketinggian dan strata hutan, serta
ukuran kelompok yang berbeda.
Pada lokasi penelitian kali ini terbagi dan dibatasi oleh sungai dan pada
sisi lainnya berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Pada dasarnya jenis
vegetasi yang tumbuh di kawasan ini sama, hanya saja kuantitas vegetasi yang
membedakan setiap lokasi. Titik perjumpaan paling banyak dengan lutung
ditemukan pada kawasan yang berdekatan dengan sumber air atau pinggiran
sungai dan banyak dijumpai juga pada lereng tebing dengan pohon yang tinggi
dan lebat. Hal ini didukung oleh Siburian (2018) perjumpaan yang tinggi pada
pinggiran sungai diyakini karena banyak mendapatkan sinar matahari dibanding
tajuk yang rapat, karena beberapa pohon pakan lutung juga berjenis pohon
intoleran.
Dalam kawasan ini diperkirakan luas wilayah jelajah sekitar 5.94 km2
dengan estimasi jarak jelajah kurang lebih sepanjang 2 km. Zairina (2015)
mengungkapkan luas wilayah jelajah satwa dapat mencapai 25-200 ha. Wilayah
jelajah merupakan salah satu indikasi kebutuhan untuk satwa tertentu. Kondisi
habitat lutung pada kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur ini memiliki
suhu berkisar dari 22° - 29° dengan kelembaban antara 60% - 99%. Kondisi ini
relatif sama dengan yang didapat oleh Aryanti & Azizah (2019) bahwa kondisi
habitat lutung berada pada suhu rata-rata 29,9° C dan kelembaban 85,3%.