Anda di halaman 1dari 21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Rinjani Timur


Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan
sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.
337/MENHUTVII/2009 tanggal 15 juni 2009 tentang Penetapan Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebanyak 23 unit wilayah KPH
telah dibentuk di NTB pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi, terdiri
sebanyak 11 unit KPHL dan 12 unit KPHP. Kebijakan mengenai KPH sebagai
unit pengelolaan hutan di tingkat tapak telah diisyaratkan melalui UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selanjutnya pemerintah dalam peraturan yang
dibuat mengamanatkan antara lain kebijakan untuk pembentukan Kesatuan
Pengelolaan Hutan di seluruh Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun
2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008. (RPHJP KPHL Rinjani Timur
2014 – 2023)

Wilayah KPH Rinjani Timur berdasarkan administrasi pemerintahan


terletak di Wilayah Kecamatan Sembalun, Sambelia, Pringgabaya, Suwela,
Wanasaba, Aikmel dan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116º 30‟ - 116º 45‟ BT dan 8º
15‟ - 9º 00‟ LS, dibatasi oleh TNGR, Kabupaten Lombok Barat, dan Lombok
Tengah di bagian barat, Selat Alas di bagian timur, laut jawa di bagian utara, dan
bagian selatan berbatas langsung dengan Samudra Hindia. Wilayah kerja KPHL
Rinjani Timur seluas 37.063,67 ha ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 337/Menhut-VII/2009 tanggal 15 Juni 2009 yang terdiri dari
Hutan Lindung (HL) seluas 31.498,67 ha dan Hutan Produksi (HP) seluas 5.565
ha yang meliputi beberapa Kelompok Hutan yaitu KH. Rinjani (RTK1), KH
Sekaroh (RTK 15), KH. Gong (RTK 8), KH Petandakan (RTK 9), KH Kedatu
(RTK 10), KH. Rebanbela (RTK 11), KH. Gili Lawang, Gili Sulat dan Petagan
(RTK 14). Kawasan hutan pada KPHL Rinjani Timur mempunyai posisi yang
strategis yaitu sebagai penyangga kehidupan masyarakat Kabupaten Lombok
Timur terutama menyangkut sumber air, sekaligus memberi ancaman bencana
alam terutama banjir dan longsor, apabila kawasan hutan tidak dikelola dengan
benar. (RPHJP KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)

Kesatuan Pengelolaan Hutan Rinjani Timur memiliki keadaan topografi


wilayah berdasar pada topografi Kabupaten Lombok Timur yaitu terletak pada
ketinggian 0 – 3.726 meter di atas permukaan laut dengan memiliki kemiringan
daerah yang beragam mulai dari kelas lereng antara 0 – 2 persen sampai
kemiringan lereng lebih dari 40 persen. Berdasar pada Peta geologi yang
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1975, KPH
Rinjani Timur mendominasi batuan gunung api muda di daerah Gunung Rinjani
bagian timur dan formasi ekas, batuan terobosan sebagian kecil alluvial. Untuk
jenis tanah, berdasarkan Peta Tanah Tinjau Indonesia (1965) yang dikeluarkan
oleh lembaga penelitian Tanah Bogor, jenis tanah yang mendominasi di Wilayah
KPH Rinjani Timur adalah Asosiasi Latosol Coklat & Latosol Coklat Kemerahan
dan Mediteran Coklat Kemerahan penyebarannya di daerah Rinjani bagian timur.
Keadaan iklim wilayah KPH Rinjani Timur termasuk iklim tropis dengan
tempratur berkisar 20° - 30° C. Menurut hasil evaluasi klasifikasi iklim menurut
Schmidt-Ferguson iklim di Wilayah KPH Rinjani Timur adalah tipe iklim D
(sedang) dan E (agak kering), yaitu nilai perbandingan (Q) rata-rata bulan kering
dibagi rata-rata bulan basah nilainya berkisar antara 60 < Q < 1.670. (RPHJP
KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)

Secara umum KPH Rinjani Timur memiliki potensi besar apabila dikelola
secara baik. Selain pengembangan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK), KPH Rinjani Timur pula berpotensi dalam pengembangan
jasa lingkungan berupa pemanfaatan air, wisata alam dan karbon. Selain pada
potensi yang telah disebutkan sebelumnya, KPH Rinjani timur juga memiliki
potensi sumber daya hutan kayu yang tentunya difokuskan pada hutan produksi
yang masih open access atau di luar kawasan produksi yang telah memiliki izin
pemanfaatan. Kawasan hutan produksi yang mencapai luas 3000 Ha diarahkan
untuk mengoptimalisasi pemanfaatan kawasan dengan melakukan pengelolaan
bersama masyarakat (kemitraan) atau dengan melibatkan pihak ketiga dengan
melibatkan masyarakat setempat. Pengembangan tanaman hutan lebih
diperuntukkan ke tanaman dengan umur pendek seperti gmelina, sengon, jabon,
dan jenis fast growing species untuk memenuhi permintaan kebutuhan kayu yang
besar baik di NTB atau provinsi lain seperti Bali dan Jawa Timur. Data hasil
potensi tersebut didapat dari kegiatan inventarisasi di KPH Rinjani Timur.
(RPHJP KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)

Selain potensi sumber daya hutan kayu, KPH Rinjani Timur memiliki
potensi sumber daya hasil hutan bukan kayu. Potensi hasil hutan bukan kayu yang
dikembangkan di KPH Rinjani Timur merupakan tanaman yang memiliki pangsa
pasar dan banyak beredar di masyarakat seperti kayu manis, bambu, kemiri, rotan,
lak, buah, kayu putih dan madu, namun potensi ini belum terinventarisasi dengan
baik sehingga ketersediaan data yang sangat terbatas. Wilayah KPH Rinjani
Timur memiliki kekayaan ekosistem alam yang beragam, di samping memiliki
potensi vegetasi yang yang cukup besar, bersamaan dengan itu KPH Rinjani
Timur juga memiliki potensi satwa yang khas dan beragam seperti jenis mamalia
antara lain Babi Hutan (Sus Scrofa), Kera abu-abu (Macaca fascicularis), Lutung
(Tracyphitecus auratus cristatus), Ganggarangan Kecil (Vivvericula indica),
Trenggiling (Manis javanica), Musang Rinjani (Paradoxurus-hermaproditus
rhindjanicus), Leleko/Congkok (Felis bengalensis javanensis), Rusa Timor
(Cervus timorensis floresiensis), Landak (Hystrix javanica) dan beberapa jenis
burung di antaranya Kakatua Jambul Kuning (Cacatua shulphurea parvula),
Koakiau (Philemon buceroides neglectus), Perkici Dada Merah (Trichoglossus
haematodus), Isap Madu Topi Sisik (Lichmera lombokia), Punglor Kepala Merah
(Zootera interpres), Punglor Kepala Hitam (Zootera doherty). Selain jenis-jenis
sebelumnya, ditemukan pula Penyu dan habitat Kelelawar pada kawasan hutan
lindung Sekaroh. (RPHJP KPHL Rinjani Timur 2014 – 2023)
4.2. Kondisi Jalur Pengamatan

Keadaan kawasan pada hutan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur


merupakan kondisi hutan yang dibedakan oleh ketinggian topografi yang berbeda.
Secara umum ketinggian tempat ini berada pada 300 – 1500 mdpl, suhu berkisar
dari 22° - 29° dengan kelembaban antara 60% - 99%, dengan keadaan kontur
bebatuan dan memiliki kelerengan yang sedikit curam. Kawasan ini dibatasi oleh
sungai-sungai yang membentang dan sisi lainnya dibatasi langsung oleh jalan raya
yang menghubungkan langsung dengan pemukiman masyarakat.

Kondisi hutan pada ketinggian paling rendah yang pertama kali dijumpai
serta berbatas langsung dengan manusia merupakan kondisi yang sedikit terbuka,
tidak sedikit pula dijumpai bekas pengerusakan serta penebangan. Selanjutnya
pada pertengahan kawasan merupakan hutan dengan tutupan lebih rapat,
dikarenakan salah satu faktor yaitu jauh dari gangguan. Kemudia pada kawasan
yang tertinggi merupakan kawasan hutan dengan tutupan rapat dan jenis kontur
pegunungan yang sama dengan kontur pada pertengahan kawasan.

Hutan yang berada pada Desa Jeringo ini memiliki ekosistem yang cukup
baik untuk mendukung kehidupan beberapa spesies mamalia seperti lutung
(Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), babi hutan
(Sus scrofa), dan rusa (Rusa timorensis). Kemudian vegetasi yang umum dijumpai
seperti kemiri (Aleurites moluccanus), ketimus (Protium javanicum burm),
kesambi (Schleichera oleosa), sonokeling (Dalbergia latifolia), sengon (Albizia
chinensis), jati putih (Gmelina arborea) rajumas (Duabanga moluccana), binong
(Tetrameles nudiflora), kelicung (Diospyros macrophylla), bajur (Pterosperum
javanicum jungh), walikukun (Schoutenia ovata Korth), dan dadap (Erythrina
variegata).

4.2.1. Ukuran Kelompok Lutung (Trachypithecus auratus)


Pengenalan sistem kelompok pada primata yang akan dikonservasikan
sangat penting dilakukan, karena setiap perimata memiliki komposisi kelompok
dengan struktur yang berbeda. Terbentuknya struktur kelompok pada primata
dikarenakan dari beberapa kebutuhan primata terutama kebutuhan dasar seperti
makan, minum, bereproduksi, bergerak, bermain, dan lain-lain (Atmoko, 2012).
Spesies lutung merupakan salah satu satwa yang termasuk memiliki beberapa
struktur kelompok dalam melangsungkan kehidupannya yang disesuaikan dengan
kondisi habitat yang ditempatinya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada Kawasan Puncak


Cemara KPH Rinjani Timur, berjumlah 41 individu. Jumlah tersebeut mencakup
jumlah lutung pada setiap kelompok lutung yaitu 15 individu pada kelompok 1,
16 individu pada kelompok 2, dan 10 individu pada kelompok yang ke 3. Jumlah
keseluruhan lutung ini memiliki komposisi terdiri dari beberapa jumlah pada kelas
umur yang berbeda, lutung dewasa berjumlah 25 individu, 11 individu untuk kelas
umur remaja, dan 5 individu untuk kelas umur anakan. Adanya kelas umur
dewasa, remaja dan anakan pada suatu kelompok menunjukkan reproduksi yang
berjalan dengan baik dan kondisi habitat yang masih baik (Fatmasari, 2017).
Beragamnya populasi lutung yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan kondisi
habitat pada suatu kawasan tersebut, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Eliana et.al (2017) bahwa ukuran kelompok lutung dipengaruhi oleh iklim dan
musim yang berkaitan dengan ketersediaan pakan serta kemampuan adaptasi
terhadap aktivitas manusia. Atmoko (2012) pula mengungkapkan bahwa besar
kecilnya ukuran kelompok dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sumberdaya
yang ada, tingkat reproduksi, penggunaan energi dan keberadaan predator.

Pengamatan lutung ini dilakukan pada jalur pengamatan yang digunakan


sebagai tempat tidur dan makan lutung. Area pengamatan merupakan kawasan
hutan alami yang memiliki tutupan tajuk yang cukup tinggi, sehingga cukup
menyulitkan pengamat untuk melakukan pengamatan secara maksimal.
Pernyataan sebelumnya berbanding terbalik dengan pernyataan Siburian (2018) di
mana lutung tidak ditemukan di areal yang tertutup rapat karena menghindari
serangan pemangsa seperti ular dan biawak, hal ini disebabkan oleh perbedaan
kondisi habitat sehingga setiap individu memiliki cara beradaptasi yang berbeda-
beda.
Untuk lebih jelasnya penjabaran ukuran kelompok lutung pada
pengamatan yang telah dilakukan, berikut tabel ukuran populasi lutung di
Kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur.

Tabel 4.1. Ukuran Populasi Lutung (Trachypithecus auratus)


Kelas Umur Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Total
Dewasa 8 9 8 25
Remaja 6 4 1 11
Anakan 1 3 1 5
Total 15 16 10 41

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 4.1. bahwa ditemukan 3


kelompok di setiap titik pengamatan yang terbagi dalam rata dalam jantan dewasa,
betina dewasa, remaja, dan anakan dengan jumlah perkelompok terdiri dari 10 –
16 individu. pada setiap perjumpaan kelompok, lutung jantan selalu memimpin
kelompok dan berjumlah 1 individu, hal ini menunjukkan bahwa sistem
pengelompokkan lutung pada lokasi ini adalah sitem harem (Atmoko, 2012) atau
dapat pula disebut one male (hanya ada satu jantan pada kelompok), sejalan
dengan penelitian Indah (2020) bahwa lutung jawa termasuk ke dalam uni-group
(one male dan multi female), yaitu jantan hanya ada satu di setiap kelompok.
menurut Rahmawati (2017) bahwa lutung dewasa memiliki usia berkisar 8 – 20
tahun dengan ukuran tubuh lebih besar dari betina, sedangkan betina terlihat
mengawasi dan mengasuh anak, sedangkan lutung remaja berumur antara 4 – 8
tahun berukuran sedang dan uktuk yang jantan mulai terlihat skrotum dan sering
memisahkan diri dari kelompok, dan yang betina terlihat kelenjar susu masih kecil
dan tetap berada dalam kelompok, dan untuk lutung anakan memiliki kisaran
umur 0 – 4 tahun dan masih bergantung pada induknya hingga mencapai usia
kematangan seksual.

4.2.2. Populasi Lutung Kelompok Satu


Ukuran populasi lutung pada kelompok satu memiliki komposisi lutung
dewasa berjumlah 8 individu, remaja 6 individu dan 1 individu untuk kelas
anakan, sehingga ukuran populasi lutung pada kelompok satu ini berjumlah 15
individu. Perjumpaan dengan lutung kelompok satu ini berada pada titik kordinat
X: -8.467365 Y: 116.614865, kelompok ini merupakan kelompok lutung yang
dijumpai pertama saat memasuki kawasan penelitian, sehingga dapat dikatakan
bahwa kelompok ini memiliki intraksi dan gangguan lebih tinggi karna berdekatan
dengan aktivitas manusia dan satwa lainnya. Keberadaan satwa lain seperti
monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) tidak menjadikan perkelahian antar
satwa karena sifat lutung yang sensitiv dan pemalu sehingga membuat lutung
menjauh saat berdekatan dengan monyet, namun pada kedua mamalia tersebut
telah memiliki pembagian wilayah masing-masing walaupun hidup berdampingan
(Apriadi, 2018).

Dengan jumlah anggota individu sebanyak 15 individu pada kelompok ini


dapat dikatakan bahwa kelompok ini cukup kecil bila dibandingkan dengan
penelitian Apriadi (2018) yang dilaksanakan di Bukit Mangsit, Blok Perlindungan
Taman Wisata Alam Kerandangan bahwa ditemukannya 18 individu pada satu
anggota kelompok lutung. Sedangkan hasil yang didapat lebih besar bila
dibanding dengan Astrani (2016) yang menyatakan bahwa lutung pada hutan alam
memiliki jumlah anggota kelompok sebanyak 14 individu. Terlihat dari jumlah
anggota individu tiap kelompok lutung, satwa ini tidak memiliki jumlah anggota
yang tetap di setiap kelompok bergantung pada kondisi dan kebutuhan setiap
kelompok, sehingga ukuran kelompok lutung terbagi dalam beberapa golongan
seperti kelompok kecil, kelompok sedang dan kelompok besar. Menurut
Fatmawati (2017) kelompok lutung yang beranggotakan 9 – 15 individu termasuk
dalam kelompok sedang, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah lutung yang
didapat pada kelompok satu ini termasuk ke dalam kelompok sedang yang
berjumlah 15 individu.

Keberadaan satwa terutama lutung pada kawasan ini dipengaruhi oleh


kondisi hutan yang masih alami sehingga menjadikan kawasan ini mejadi tempat
yang cocok untuk keberlangsungan hidup lutung. Rusdi (2018) mengungkapkan
bahwa keberadaan pohon pakan, pohon tidur dan vegetasi lainnya yang
mendukung kelangsungan hidup lutung yang biasa berpindah dari satu pohon ke
pohon lainnya menjadi alasan kepadatan populasi pada suatu habitat. Kondisi
habitat pada perjumpaan kelompok satu ini merupakan pintu masuk ke kawasan
hutan Puncak Cemara yang memiliki vegetasi tidak terlalu padat dan masih
banyak ditemukan aktivitas manusia seperti perburuan dan beberapa sisa
penebangan pohon. Jenis vegetasi yang umum dijumpai yakni Ketimus (Protium
javanicum burm), Jati Putih (Gmelina arborea), Kesambi (Schleichera oleosa),
Sengon (Albizia chinensis), Sonokeling (Dalbergia latifolia) dengan kontur yang
sedikit curam.

4.2.3. Populasi Lutung Kelompok Dua


Berdasarkan pada hasil pengamatan, kelompok kedua pada lutung ini
memiliki populasi yang lebih besar dibanding dengan kelompok satu dan
kelompok tiga. Sama halnya dengan kelompok sebelumnya, kelompok ini
memiliki komposisi kelas umur yang lengkap yaitu dewasa, remaja dan anakan.
Dari ketiga kelas umur berbeda tersebut didapatkan jumlah individu sebesar 16
individu yang masing-masing didapat dari dewasa berjumlah 9 individu, remaja
sebanyak 4 individu dan pada kelas anakan sejumlah 3 individu. Perjumpaan
dengan penemuan paling banyak ditemukan pada kordinat X: -8.448848 Y:
116.609176 pada pengulangan yang ketiga. Berdasarkan pernyataan Fatmasari
(2017) bahwa jumlah lutung dengan anggota ≥ 16 merupakan kelompok dengan
ukuran besar.

Kondisi habitat pada kelompok ini merupakan keadaan yang paling baik
atau ideal untuk lutung pada kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur, karena
memiliki strata yang baik dengan intensitas gangguan yang rendah dari manusia
dan hewan lainnya. Selain itu posisi yang berdekatan dengan aliran sungai
membuat kebutuhan air terhadap lutung terpenuhi secara maksimal sehingga
perkembangbiakan lutung pada populasi ini terbilang cukup baik. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Nuritasari (2012) bahwa ruang/habitat dibutuhkan oleh
satwa untuk mendapat cukup pakan, perlindungan air dan tempat kawin,
sementara itu populasi bergantung pada besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas
dan keberagaman habitat.
Rata-rata penemuan jumlah individu relatif terdiri dari belasan anggota
individu yang mencirikan regenerasi yang masih baik. Lutung dipercaya
berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya, hal ini sesuai dengan pengamatan
yang telah dilakukan dengan titik penemuan yang berbeda-beda. Kelangsungan
hidup lutung sangat tergantung pada keutuhan hutan tropis pada alam. Sebagian
besar penelitian yang telah dilakukan terkait dengan populasi lutung, ancaman
terbesar yang berpotensi menyebabkan penurunan populasi yakni hilangnya
habitat akibat perubahan fungsi hutan. Sehingga dengan kondisi kawasan hutan
yang masih baik pada Puncak Cemara ini, diharapkan mampu menyeimbangi
ekosistem di dalamnya terutama spesies lutung.

4.2.4. Populasi Lutung Kelompok Tiga


Kondisi populasi pada satwa tidak selalu disebabkan oleh keadaan habitat
yang ditempatinya, namun faktor lain juga berpengaruh dari kelangsungan hidup
dari satwa itu sendiri diantaranya kelahiran, kematian, dan di beberapa satwa ada
yang melakukan perpindahan individu (migrasi). Populasi kelompok tiga ini
merupakan kelompok dengan jumlah yang paling sedikit dibanding dengan
kelompok satu dan dua, di mana jumlah anggota individu yang ditemui saat
pengamatan sebanyak 10 individu dengan komposisi masing-masing dewasa
sebanyak 8 individu serta remaja dan anakan memiliki jumlah yang sama masing-
masing sebesar 1 individu. Jika merujuk pada penelitian Fatmasari (2017) maka
dapat dikatakan bahwa ukuran pada kelompok ini termasuk kelompok kecil, sama
halnya dengan kelompok satu karena memiliki anggota kurang dari 16 individu.

Kurangnya populasi lutung pada kelompok tiga ini terjadi karena beberapa
faktor antara lain ketersediaan pohon pakan yang minim dijumpai pada pada
habitatnya. Seperti yang diketahui, pada kawasan Puncak Cemara ini didominasi
oleh beberapa pohon yang dijadikan sebagai pohon pakan seperti Ketimus
(Protium javanicum burm), Kesambi (Schleichera oleosa), Walikukun
(Schoutenia ovata Korth), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Kemiri (Aleurites
moluccanus) dan beberapa pohon lainnya. Namun pohon-pohon yang menjadi
sumber pakan tersebut jarang dijumpai pada jalur pengamatan yang memiliki
ketinggian paling tinggi ini. Ketinggian lokasi pengamatan pada kelompok ini
diyakini berpengaruh pada populasi individu lutung yang menempatinya. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Sari et.al (2020) bahwa secara keseluruhan lutung jawa
dapat teramati pada ketinggian mulai dari 565-1.421 mdpl.

Selain pada beberapa faktor habitat di atas, sedikitnya jumlah populasi


lutung pada kelompok ini juga disebabkan karena pembentukan kelompo-
kelompok baru yang terjadi karena lutung remaja telah memasuki usia dewasa dan
mulai mengelurkan diri dari kelompok dan membentuk kelompok baru, sehingga
kelompok-kelompok ini relatif berukuran kecil dilihat dari jumlah individunya.
Dalam kaitannya dengan ukuran kelompok, Sumarto & Koneri (2016)
mengatakan bahwa ukuran kelompok yang besar akan lebih stabil dibanding
dengan kelompok ukuran kecil. Dengan ukuran yang kecil maka variasi
genetiknya juga akan semakin kecil sehingga megurangi kapasitas beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Populasi pada densitas rendah relatif tersebar
sehingga lebih sulit terjadinya pertemuan untuk reproduksi, sebaliknya pada
populasi besar memudahkan mendapat makanan, pasangan kawin dan tempat.

4.3. Struktur Umur Lutung (Trachypithecus auratus)

Struktur umur merupakan perbandingan jumlah individu dalam setiap


kelas umur di suatu kelompok (Wijaya et al., 2018), Sampurna (2014)
mengungkapkan bahwa struktur umur dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan dalam perkembangan satwa liar. Hal itu sejalan dengan pernyataan
Santosa (2008) bahwa stuktur umur adalah salah satu karaktristik yang penting
dalam menganalisa dinamika populasi dan menilai perkembangan satwa liar. Pada
pengamatan yang telah dilakukan dijumpai kelas umur yang lengkap pada
masing-masing kelompok yaitu kelas umur dewasa, remaja dan anakan, sehingga
pada penelitian ini menggunakan pendekatan yang mengacu pada pembagian
kelas umur berdasarkan Rahmawati (2017) bahwa komposisi struktur umur yang
lengkap yaitu dewasa jantan dan betina, remaja dan anakan.
Pada penelitian ini tidak dijumpai kelas umur bayi di semua kelompok
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Fatmasari (2017) komposisi kelas
umur yang sangat lengkap yaitu terdiri dari dewasa jantan dan betina, remaja,
anakan dan bayi. Berikut data nilai struktur umur pada lutung disajikan dalam
tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Struktur Umur Lutung (Trachypithecus auratus)


Jumlah Individu Berdasarkan Umur
Kelompok Struktur Umur
Dewasa Remaja Anakan
1 8 6 1 0.67 : 1.5 : 0.25
2 9 4 3 0.75 : 1 : 0.75
3 8 1 1 0.67 : 0.25 : 0.25

Berdasarkan pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kelas umur dewasa lebih
mendominasi dibanding dengan kelas umur remaja dan anakan dengan komposisi
dewasa berjumlah 25 individu, kemudian kelas umur remaja berjumlah 11
individu dan kelas umur anakan sebanyak 5 individu. Apriadi (2018) menyatakan
bahwa kemampuan regenerasi yang masih baik pada lutung apabila nilai anakan
dan remaja lebih tinggi daripada dewasa. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
yang di dapat di mana jumlah dewasa mendominasi jumlah individu remaja dan
anakan. Tingginya jumlah individu dewasa dibanding dengan individu remaja dan
anakan dapat terjadi karena individu yang kurang produktif berjumlah lebih besar
sehingga menyebabkan reproduksi populasi yang rendah (Zainudin & Rezeki,
2016). Lutung remaja jantan yang sudah mendekati kelas umur dewasa akan
memisahkan diri dan membentuk kelompok baru mejadi salah satu hal yang
menyebabkan kurangnya individu remaja pada kelompok (Leksono, 2014).

Mengacu kepada penelitian sebelumnya terkait kondisi struktur umur yang


baik apabila nilai kelas umur remaja dan anakan lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai kelas umur dewasa, maka dapat diketahui bahwa kondisi struktur umur
lutung secara keseluruhan pada kawasan ini cukup terganggu. Hal ini dapat
diketahui melalui perbandingan nilai struktur umur tahunannya yang tertinggi
terdapat pada kelas umur remaja dengan nilai 2.75, sedangkan pada kelas dewasa
sejumlah 2.08, dan nilai yang paling rendah pada kelas umur anakan yaitu 1.25.
Dengan hasil tersebut, kondisi struktur umur tahunan lutung pada kawasan ini
belum cukup baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut:

3.00 70
2.75
2.50 61 60

Persen Populasi (%)


Rata-rata Tahunan
50
2.00 2.08
40
1.50
30
1.25
27
1.00
20
0.50 12
10
0.00 0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur

Gambar 4.1. Struktur umur populasi semua kelompok lutung berdasarkan rata-rata
tahunan

Struktur umur pada seluruh kelompok lutung di kawasan Puncak Cemara


KPH Rinjani Timur menunjukkan pola piramida yang tidak beraturan, Syaputra
et.al (2017) menjelaskan bahwa salah satu penyebab struktur umur tidak beraturan
adalah sedikitnya betina produktif sebagai penghasil individu baru pada suatu
kelompok. Hal itu menunjukkan ketidak seimbangan pada sex ratio atau
perbandingan jantan dan betina pada seluruh kelompok lutung di kawasan ini.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai persen populasi seluruh kelompok lutung,
maka didapatkan kelas umur dewasa memiliki nilai paling tinggi yaitu 61%,
remaja 27%, dan paling rendah adalah anakan sebesar 12%.

Selain struktur umur lutung secara keseluruhan, analisa nilai struktur umur
juga dilakukan pada setiap kelompok lutung. Pada kelompok satu didapatkan nilai
tertinggi pada kelas umur remaja dengan nilai rata-rata tahunanan sebesar 1.5,
kemudian dewasa 0.67, dan yang paling rendah yaitu kelas umur anakan sebesar
0.25. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada (Gambar 4.2) berikut:
1.6 1.5
1.4

Rata-rata Tahunan
1.2
1
0.8
0.67
0.6
0.4 0.25
0.2
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur

Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok satu berdasarkan rata-rata tahunan

Populasi lutung pada kelompok satu didominasi oleh kelas umur dewasa
sehingga membentuk pola grafik yang tidak beraturan, hal ini menunjukkan
populasi pada kelompok ini yang kurang berkembang dengan baik. Berdasarkan
nilai perbandingan membentuk pola piramida kendi atau tidak beraturan dapat
diartikan bahwa remaja mendominasi kelompok sehingga menyimpulkan bahwa
populasi pada suatu kelompok sedikit terganggu. (Huda, 2020)

Struktur umur menentukan kelestarian lutung di alam dalam kaitannya


menjadi salah satu penyeimbang ekosistem pada hutan alam apabila diberi
perhatian yang baik pada kondisi habitat alaminya. Pada kelompok dua yang
merupakan kelompok dengan populasi paling tinggi menunjukkan pola yang sama
dengan kelompok satu yaitu memiliki pola yang tidak beraturan, di mana kelas
umur dewasa dan anakan memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0.75 dan
didominasi kelas umur remaja dengan nilai 1. Untuk lebih jelasnya struktur umur
pada kelompok dua dapat dilihat pada (Gambar 4.3)
1.2
1
1

Rata-rata Tahunan
0.75
0.8 0.75

0.6
0.4
0.2
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur

Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok dua berdasarkan rata-rata tahunan

Struktur umur pada kelompok memiliki nilai paling tinggi dibanding


dengan kelompok satu dan kelompok tiga. Apabila dilihat dari kondisi habitatnya,
kelompok dua mendiami habitat yang paling ideal di atara tiga kelompok.
Walaupun dilihat dari jumlah populasi yang ideal, namun struktur umur pada
kelompok ini menunjukka pola yang sama seperti kelompok sebelumnya. Pada
kelompok ini, perjumpaan individu anakan lebih banyak ditemui sehingga dapat
dikatakan perkembangan populasi pada kelompok dua ini lebih baik daripada dua
kelompok lainnya. Fatmasari (2017) mengungkapkan bahwa semakin banyak
lutung yang mampu bertahan di hutan lindung, maka populasinya akan semakin
meningkat.

Hasil perhitungan menunjukaan, struktur umur kelompok tiga yang ada di


kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur memiliki perbandingan dewasa,
remaja dan anakan yaitu 0.67:0.25:0.25 yang membentuk grafik piramida terbalik
atau menurun. Kelas umur dewasa pada kelompok ini mendominasi kelompok
sehingga dapat diartikan memiliki perkembangan yang tidak baik jika dibanding
dengan penelitian Syaputra et.al (2017) pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Senaru, bahwa nilai struktur umur yang baik yaitu nilai
struktur umur yang meningkat digambarkan dengan piramida tegak dalam
perbandingan anak, remaja dan dewasa adalah 1:0.5:0.33. Untuk lebih jelasnya
struktur umur lutung pada kelompok tiga ini dapat dilihat pada Gambar 4.3:
0.8
0.67
0.7

Rata-rata Tahunan
0.6
0.5
0.4
0.3 0.25 0.25
0.2
0.1
0
Dewasa Remaja Anakan
Kelas Umur

Gambar 4.2. Struktur umur populasi kelompok tiga berdasarkan rata-rata tahunan

Struktur umur pada populasi lutung kelompok tiga menunjukkan keadaan


populasi yang kurang berkembang dikarenakan pola grafik piramida yang identik
terbalik. Sampurna (2014) mengungkapkan bahwa hal ini dicirikan jumlah
individu dewasa melebihi jumlah individu bayi dan anak atau kelas umur muda
yang diharapkan cukup produktif. Ketersediaan jenis pohon pakan pada habitat
menjadikan perbedaan laju perkembangan populasi antar kelompok. Struktur
umur yang memiliki perkembangan tidak beraturan belum dikatakan memiliki
peningkatan populasi yang baik, hal ini merujuk pada pendapat Santosa (2008)
yang mengatakan peningkatan jumlah individu pada ketiga kelas umur
menggambarkan struktur umur meningkat atau progressive population.

4.4. Sex Ratio Lutung (Trachypithecus auratus)

Sex ratio atau nisbah kelamin pada lutung merupakan ukuran


perbandingan antara jumlah jantan terhadap jumlah betina pada suatu kelompok
yang berpotensi berreproduksi (Syaputra et.al, 2017). Selain dari struktur umur,
penilaian terhadap nilai sex ratio pada satwa merupakan salah satu hal yang
penting dilakukan dalam kaitannya dengan perkembangbiakan yang baik pada
alam. Kelompok-kelompok lutung yang ditemukan terdiri dari satu jantan serta
beberapa betina, beberapa individu remaja, dan anakan tidak melebihi individu
remaja dan dewasa.

Pada penelitian ini, penghitungan nilai sex ratio hanya dilakukan pada
kelas umur dewasa karena diyakini membedakan jenis atau ciri kelamin lebih
mudah diamati pada kelas umur lutung dewasa. Hal ini berdasar pada pendapat
Anita (2015) bahwa identifikasi hanya dilakukan pada umur dewasa saja, karena
lebih mudah melihat alat reproduksinya. Perbedaan jenis kelamin lutung dapat
dilihat dari ukuran tubuh di mana ukuran jantan biasanya lebih besar dari ukuran
tubuh betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sex ratio lutung pada
kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur memiliki perbandingan yang sama
pada kelompok satu dan tiga dan berbeda pada kelompok dua. Hal tersebut
dipengaruhi oleh jumlah individu dewasa di setiap kelompok.

Tabel 4.3. Sex Ratio Lutung (Trachypithecus auratus)


Dewasa
Kelompok Sex ratio
Jantan Betina
1 1 7 1:7
2 1 8 1:8
3 1 7 1:7

Berdasarkan tabel 4.3, sex ratio pada kelompok lutung yang diamati
menghasilkan nilai di mana pada kelompok satu dan tiga memiliki nilai sama
yaitu 1:7, sedangkan pada kelompok dua memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu
1:8. Individu betina selalu mendominasi jantan pada semua kelompok. Murthafiah
(2015) dalam penelitiannya di Cagar Alam Dungus Iwul Kabupaten Bogor
menggambarkan bahwa sex ratio pada lutung memiliki sifat poligami dalam
sistem perkawinannya, karena jumlah betina dewasa lebih banyak dari jumlah
jantan dewasa.

Berdasar pada penelitian Apriadi (2018) yang menyimpulkan bahwa


lutung akan mengalami perkembangbiakan yang besar apabila jumlah anggota
individu betina lebih besar dibandingkan dengan jumlah individu jantan dan dapat
dikatakan dalam kondisi produktif, maka dapat disimpulkan bahwa lutung pada
kawasan ini berpeluang memiliki perkembangan yang produktif. Akan tetapi jika
melihat nilai sex ratio yang didapatkan sebesar 1:7 dan 1:8, maka akan
berpengaruh terhadap regenerasi kelompok yang kurang efektif. Apriadi (2018)
juga menyatakan nilai sex ratio pada lutung yang ideal adalah 1:5. Apabila jumlah
individu melebihi jumlah yang ideal maka akan ada beberapa individu betina yang
tidak dibuahi oleh jantan yang membuat regenarasi tidak maksimal.

4.5. Habitat Lutung (Trachypithecus auratus)

Habitat (bahasa latin untuk “it inhabits”) atau tempat tinggal makhluk
hidup merupakan unit geografi yang secara efektiv mendukung keberlangsungan
hidup dan reproduksi suatu spesies atau individu suatu spesies. Di dalam suatu
habitat terdapat faktor abiotik yang satu sama lain saling berinteraksi secara
kompleks membentuk satu kesatuan. Faktor abiotik suatu habitat meliputi
makhluk atau benda mati seperti air, tanah, udara maupun faktor kimia fisik
seperti tempratur, kelembaban kualitas udara, serta aspek geometris bentuk lahan
yang memudahkan hewan untuk mencari makan, istirahat, bertelur, kawin,
memelihara anak, hidup sosial dan aktivitas lainnya (Sumarto & Koneri, 2016).
Komponen biotik yang penting dalam habitat lutung yaitu vegetasi yang memiliki
kanopi tinggi dan tutupan yang lebat (Kurniawan, 2019)

Kawasan hutan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur memiliki beragam


vegetasi yang dapat dijumpai. Penggunaan berbagai jenis tegakan oleh lutung
dalam pengamatan berkenaan dengan fungsi habitat bagi satwa yang dijelaskan
sebelumnya, penggunaan yang teramati terutama untuk sumber pohon pakan dan
untuk dijadikan sebagai pohon tidur.

4.5.1. Pohon Pakan Lutung (Trachypithecus auratus)


Pohon pakan merupakan salah satu penentu kepadatan populasi dari
lutung, selain untuk mendukung mobilitas dalam aktifitas harian, karena lutung
merupakan satwa arboreal yang menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon.
Pada penelitian ini diketahui bahwa jenis pohon yang digunakan sebagai pohon
bagi lutung berjumlah 72 individu dari 12 jenis pohon. Jumlah yang didapat lebih
sedikit bila dibanding dengan Qodri (2018), yaitu sebanyak 14 jenis poho yang
berjumlah 69 individu. Data hasil pengamatan jenis pohon pakan dapat dilihat
pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jenis Pohon Pakan Lutung (Trachypithecus auratus)


No. Nama Pohon Nama Latin Jumlah
1 Ketimus Protium javanicum burm 20
2 Kesambi Schleichera oleosa 7
3 Rajumas Duabanga moluccana 4
4 Bajur Pterosperum javanicum jungh 5
5 Kelicung Diospyros macrophylla 3
6 Binong Tetrameles nudiflora 1
7 Walikukun Schoutenia ovata Korth 7
8 Dadap Erythrina variegata 2
9 Sonokeling Dalbergia latifolia 15
10 Kemiri Aleurites moluccanus 5
11 Jati putih Gmelina arborea 1
12 Sengon Albizia chinensis 2
Total 72

Berdasarkan Tabel 4.4, jenis pohon pakan yang sering dipergunakan


sebagai pohon pakan oleh lutung yaitu Pohon Ketimus (Protium javanicum burm)
berjumlah 20 individu, dilanjutkan dengan Pohon Sonokeling (Dalbergia
latifolia) sebanyak 15 individu dan Kesambi (Schleichera oleosa) berjumlah 7
individu. Penggunaan beberapa jenis pohon pakan tersebut lebih banyak dari jenis
lainnya, diduga karena jenis Pohon Ketimus (Protium javanicum burm) dan
lainnya mendominasi vegetasi yang berada pada Kawasan Puncak Cemara KPH
Rinjani Timur.

Selain dari memakan dedaunan, lutung pula kadangkala memakan buah


dan biji dari beberapa vegetasi tersebut, hal ini juga diyakini menjadi penyebab
penggunaan pohon pakan yang memiliki buah dan biji lebih sering digunakan
oleh lutung. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Aryanti & Azizah (2019) di
mana bagian tumbuhan yang dimakan lutung antara lain buah, bunga, daun,
maupun pucuk daunnya (daun muda).

4.5.2. Pohon Tidur Lutung (Trachypithecus auratus)


Pohon tidur merupakan tempat yang dijadikan untuk tempat tidur lutung
ketika ketika malam hari untuk melindungi diri dari cuaca maupun predator
(Qodri, 2018). Dalam kaitannya dengan perlindungan diri, Kurniawan (2019)
menyatakan lutung menempati habitat pada pohon yang memiliki kanopi tinggi,
sifat hidup yang jarang ditemui di atas tanah menjadikan pohon dengan kanopi
tinggi menjadi kebutuhan penting bagi primata ini. Pada penelitian kali ini
didapatkan hasil 7 jenis pohon tidur dari 5 individu yang digunakan oleh lutung.
Hasil ini relatif lebih tinggi bila dibanding dengan penelitian Murthafiah (2015),
bahwa jumlah individu yang digunakan oleh lutung sebanyak tiga jenis individu.
Jenis pohon tidur yang dipergunakan lutung dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Jenis Pohon Tidur Lutung (Trachypithecus auratus)


No. Nama Pohon Nama Latin Jumlah
1 Ketimus Protium javanicum burm 1
2 Kesambi Schleichera oleosa 1
3 Bajur Pterosperum javanicum jungh 1
4 Kelicung Diospyros macrophylla 2
5 Binong Tetrameles nudiflora 1
Total 7

Berdasarkan penggunaannya, maka dapat diketahui pohon tidur tidak jauh


berbeda dengan pohon pakan, namun hanya penggunaan jenis pohon yang
berbeda. Hal ini didapat dari hasil pengamatan di mana penggunaan Pohon
Kelicung (Diospyros macrophylla) lebih sering disinggahi dibanding dengan
penggunaan paling rendah yaitu pada Pohon Ketimus (Protium javanicum burm).
Lutung sering kali menggunakan pohon sumber pakan sebagai tempat untuk
beristirahat dan biasanya dilakukan pada pohon-pohon bertajuk lebat. Nuritasari
(2012) mengungkapkan pohon tidur merupakan tempat berakhirnya setelah
bergerak aktif dalam mencari sumber pakan dan aktivitas lainnya.

4.6 Persebaran Lutung (Trachypithecus auratus)

Lutung merupakan salah satu satwa yang mampu hidup dalam berbagai
tipe hutan dalam berbagai vegetasi yang berbeda. Dalam penelitian Astriani
(2016) di Resort Balanan Taman Nasional Baluran, memiliki perjumpaan tertinggi
dengan lutung dari ketinggian 0-450 mdpl. Tidak jauh berbeda dengan
perjumpaan lutung pada kawasan hutan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur di
mana perjumpaan tertinggi berkisar pada ketinggian 450 – 1850 mdpl. Pola
sebaran suatu jenis spesies dapat diketahui secara horizontal maupun vertikal yang
dapat berbentuk acak, mengelompok atau seragam (Siburian, 2018). Ketiga
kelompok lutung dapat dibedakan dari lokasi perjumpaan yang cukup jauh dan
dipisahkan oleh keadaan topografi berupa ketinggian dan strata hutan, serta
ukuran kelompok yang berbeda.

Pada lokasi penelitian kali ini terbagi dan dibatasi oleh sungai dan pada
sisi lainnya berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Pada dasarnya jenis
vegetasi yang tumbuh di kawasan ini sama, hanya saja kuantitas vegetasi yang
membedakan setiap lokasi. Titik perjumpaan paling banyak dengan lutung
ditemukan pada kawasan yang berdekatan dengan sumber air atau pinggiran
sungai dan banyak dijumpai juga pada lereng tebing dengan pohon yang tinggi
dan lebat. Hal ini didukung oleh Siburian (2018) perjumpaan yang tinggi pada
pinggiran sungai diyakini karena banyak mendapatkan sinar matahari dibanding
tajuk yang rapat, karena beberapa pohon pakan lutung juga berjenis pohon
intoleran.

Kawasan ini memungkinkan untuk menjadi habitat lutung karena selain


tempatnya yang sangat jarang dikunjungi manusia, letak lokasi yang tinggi
sehingga dapat mempermudah dalam mengawasi keadaan sekitar, (Zairina, 2015)
juga dikarenakan tersedianya beberapa jenis pakan alami dan tumbuhan
pendukung. Dari lokasi perjumpaan langsung dengan satwa pada pagi hari
dimulai dari pukul 06.00 satwa masih berada pada titik pertama yang dijumpai
banyak terdapat pada pohon tidur seperti Kelicung (Diospyros macrophylla),
Kesambi (Schleichera oleosa) dan lainnya setelah melakukan aktivitas tidur,
kemudian menuju waktu siang hari dari pukul 09.00 lutung berpindah tempat
untuk melakukan aktivitas makan dan bermain yang banyak dijumpai pada jenis
Pohon Ketimus (Protium javanicum burm), Sonokeling (Dalbergia latifolia) dan
lainnya. Sehingga sampai berdiam diri kembali ke beberapa pohon tidur dari
pukul 12.00 sampai sore hari untuk melakukaan aktivitas istirahat/tidur. Hal ini
didukung oleh penelitian Meriani (2021) bahwa lutung akan menjelajah pada pagi
hari dari pohon tidur untuk mencari makan, dan beraktivitas pada siang hari dan
kembali ke pohon tidur saat hari mulai gelap.

Dalam kawasan ini diperkirakan luas wilayah jelajah sekitar 5.94 km2
dengan estimasi jarak jelajah kurang lebih sepanjang 2 km. Zairina (2015)
mengungkapkan luas wilayah jelajah satwa dapat mencapai 25-200 ha. Wilayah
jelajah merupakan salah satu indikasi kebutuhan untuk satwa tertentu. Kondisi
habitat lutung pada kawasan Puncak Cemara KPH Rinjani Timur ini memiliki
suhu berkisar dari 22° - 29° dengan kelembaban antara 60% - 99%. Kondisi ini
relatif sama dengan yang didapat oleh Aryanti & Azizah (2019) bahwa kondisi
habitat lutung berada pada suhu rata-rata 29,9° C dan kelembaban 85,3%.

Tabel 4.5. Titik Sebaran Lutung (Trachypithecus auratus)


Kordinat
Kelompok Jumlah (ekor)
Latitude (N) Longitude(E)
I 14 -8.467365 116.614865
II 15 -8.448848 116.609176
III 10 -8.434873 116.599465

Anda mungkin juga menyukai