Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lutung Jawa

2.1.1 Klasifikasi Lutung Jawa

Lutung dalam bahasa lain disebut Langur tergolong ke dalam genus

Trachypithecus. Lutung merupakan salah satu primata endemik pulau Jawa.

Klasifikasi Lutung Jawa menurut Grove (2001) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Kelas : Mammalia
Ordo : Primata
Famili : Cercopithecidae
Sub family : Colobinae
Genus : Trachypithecus
Spesies : Trachyphitecus. auratus (Geoffroy 1812).

2.1.2 Morfologi Lutung Jawa

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) Lutung Jawa mempunyai panjang

tubuh dari ujung kepala hingga tungging, jantan dan betina dewasa rata-rata 517

mm, dan panjang ekornya rata-rata 742 mm. Sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3

kg. Warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakan. Bagian ventral,

berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak Lutung Jawa yang baru

lahir berwarna kuning jingga dan tidak berjambul. Setelah meningkat dewasa

warnanya berubah menjadi hitam kelabu. Perbedaan antara Lutung Jawa jantan dan

betina secara morfologi terletak pada perkembangan alat kelamin sedangkan untuk

kelompok umur pada Lutung Jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan

aktivitas hariannya. Pada Lutung jantan dewasa mempunyai ukuran tubuh relatif

besar, sedangkan pada betina dewasa memiliki ukuran tubuh lebih kecil atau hampir

5
sama dengan ukuran jantan dewasa. Pada Lutung Jawa betina rambut bagian
punggung lebih hitam dari pada warna punggung Lutung Jawa jantan (Nugraha,

2011).

2.1.3 Habitat Lutung Jawa

Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan fauna. Kekayaan ini

merupakan aset bangsa yang harus dijaga kelestariannya demi kepentingan masa

depan Indonesia. Salah satu dari keanekaragaman fauna tersebut adalah satwa

Lutung dari jenis primata, di mana populasinya pada saat ini diperkirakanmenurun

dan terancam punah. Dengan cara mempertahankan dan menjaga populasi dan

habitat yang ada dapat mencegah kepunahan satwa liar. Habitat adalah suatu

lingkungan dengan kondisi tertentu di mana suatu spesies atau komunitas hidup.

Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di

dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung

pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas untuk mendukung organisme

disebut daya dukung habitat (Mc convey, 2002).

Habitat Lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan

mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang

cukup luas sehingga memerlukan wilayah untuk pergerakannya. Daerah jelajahnya

berkisar antara 15-32 ha. Hal ini menunjukan bahwa Lutung Jawa membutuhkan

areal yang luas untuk hidup dan berkembang dengan baik. Primata yang hanya

memakan daun saja akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil

dibandingkan dengan primata yang memakan beraneka ragam daun, bunga dan

buah (Wirdateti, 2004). Primata yang hanya memakan daun saja harus bergerak dan

berpindah-pindah cukup jauh untuk mencari daun yang akan dia makan, berbeda

dengan primata yang memakan beraneka ragam daun, bunga dan buah tidak terlalu

harus bergerak terlalu jauh untuk mencari makanan (Anonim, 1994).


6
Lutung Jawa merupakan jenis primata endemik Pulau Jawa dan Bali yang

popular kemampuannya untuk bereproduksi. Habitat Lutung Jawa meliputi hutan

primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan mangrove maupun hutan hujan tropis.

Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga memerlukan koridor

untuk pergerakannya. Lutung Jawa memulai aktivitasnya sejak dari bangun tidur

yaitu sekitar pukul 05:30 WIB, kemudian berpindah untuk makan di pohon sumber

pakan di sekitar pohon tempat tidur. Akhir dari aktivitas harian ditandai dengan

adanya aktivitas berpindah memasuki pohon tempat tidur, untukmemasuki pohon

tempat tidurnya yaitu sekitar pukul 18.00 WIB. Lutung Jawa mempunyai jalur-jalur

tertentu dalam menempuh perjalanan harian, mencari makan dan tempat tidurnya,

tiga strata pohon secara vertikal untuk tempat tidurnya yaitu bagian pucuk kanopi,

ditengah-tengah pohon dan di bawah pohon, sedangkan untuk aktivitas perjalanan

harian dan mencari makan, ruang habitat secara vertikal dibagi empat strata yaitu

puncak kanopi, tengah-tengah pohon, di bawah pohon dan di lantai hutan (Abdilah,

2014).

Lutung Jawa membutuhkan tajuk pohon maupun tiang yang saling berhimpitan

agar dapat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dan berlindung. Keberadaan

pohon dengan kanopi bersambung merupakan kondisi ideal sebagai habitat Lutung

Jawa untuk keselamatan dan untuk menghindari predator darat dan udara hutan

musim sekunder dan hutan musim primer. Lutung mampu hidup di tipe hutan

dataran rendah hingga dataran tinggi. Lutung Jawa juga dapat hidup di tipe hutan

bakau,hutan rawa, daerah yang terkena pasang surut seperti tepian sungai besar atau

tepian danau (Leksono, 2014).

7
2.2 Javan Langur Center (JLC)

The Aspinal Foundation (TAF) yang berpusat di Inggris merupakanorganisasi

non pemerintah yang berkegiatan di bidang konservasi satwa liar langkah diseluruh

dunia. TAF Indonesia Program mengelola Javan Langur Center (JLC) atau pusat

rehabilitasi Lutung Jawa Jawa Timur dan merupakan bagian dari Javan Primata

Project yang pusatnya dibangun di kawasan Patuha Jawa Barat. Pusat lembaga

rehabilitasi Lutung Jawa (JLC) yang lebih fokus dengan spesifikasinya yaitu

merehabilitasi Lutung Jawa sub spesies Jawa bagian timur yang berkedudukan di

Coban Talun-Batu Jawa Timur. Lutung Jawa (Tracypithecus auratus) yang berada

di pusat rehabilitasi akan melewati berbagai tahapan sebelum akhirnya

dilepasliarkan kembali di habitat aslinya seperti yang sudah pernah dilakukan

beberapa kali yakni di kawasan hutan Coban Talun Batu dan kawasan hutan lindung

Kondang Merak Malang Selatan. Pada pusat rehabilitasi Lutung Jawa hasil

penyerahan/sitaan akan diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui kesehatannya

dan kemudian akan di masukkan ke dalam kandang karantina selama enam bulan

dan dilanjukan ke kandang sosialisasi selama tiga-enam bulan (Kompasiana, 2017).

Kegiatan yang ada di Javan Lagur meliputi kegiatan pembersihan kandang

yang dimana kegiatan ini dilakukan oleh team keeper disamping melakukan kegiatan

bersih kandang petugas yang ada di JLC juga memberikan makan kepada Lutung –

Lutung yang direhabilitasi dimana pemberian makan pada jam 08.00 WIB dan 15.00

WIB, lutung-lutung yang akan dilepasliarkan akan dicheck kesehatannya melalui

medical-checkup yang terdiri dari 3 tahapan yaitu pra-karantina, pra- sosialsiasi dan

sebelum dilepasliarkan. Selain itu pusat rehabilitasi Lutung Jawa juga sering

digunakan sebagai media pembelajaran untuk mahasiswa yang mnegerjakan tugas

akhir/magang mengenai Lutung Jawa tidak hanya kalangan mahasiswa saja


8
yang menjadi JLC sebagai media pembelajaran tetapi pihak JLC beberapa kali

kedatangan siswa-siswi SMP maupun SMA hingga Taman Kanak-Kanak untuk

belajar mengenai konservasi khususnya Lutung Jawa. Sebelum Lutung dilepaskan

ke habitatnya, setiap lutung yang direhabilitasi akan diberikan chip. Chip ini

berfungsi sebagai tanda pengenal bahwa Lutung yang sudah dilepaskan kehabitatnya

merupakan Lutung hasil rehabilitasi sehingga team monitoring dari pihak JLC

mampu memonitorig setiap pergerakan Lutung Jawa yang direhabilitasi

(Kompasiana, 2017)

2.2.1 Sejarah Javan Langur Center

Javan Langur Center merupakan pusat rehabilitasi Lutung Jawa yang

berlokasi di Coban Talun Dusun Wonorejo, Desa, Tulungrejo, Kec. Bumiaji, Kota

Batu, Jawa Timur . Tahun 2009-2010 menjadi awal mula Javan Langur Center

terbentuk dengan nama awal Javan Langur Conservation Program (JLCP) dalam

perkembangannya JLCP diubah menjadi Javan Langur Center (JLC), sebelum

berpindah ke Coban Talun lokasi rehabilitasi Lutung Jawa bertempat di PPS Petung

Sewu. Tahun 2011 Javan Langur Center menjadi bagian dari The Aspinall

Foundation Indonesia melalui program Javan Primate Project yang berfokus

terhadap upaya penyelamatan satwa liar khususnya Lutung Jawa (Trachyphitecus

auratus), hal ini perlu dilakukan mengingat Lutung Jawa merupakan satwa yang

dilindungi dan populasi Lutung Jawa yang kian menurun akibat degredasi lahan

serta pemburuan liar menyebabkan Lutung Jawa perlu dilestarikan. (Kompasiana,

2017).

2.3 Faktor Penyebab Populasi Lutung Jawa Berkurang

2.3.1 Hilangnya Habitat Asli Lutung

Ancaman terbesar bagi satwa liar adalah degredasi habitat yang disebabkan

9
oleh manusia. Pertambahan penduduk dan peningkatan dalam pemanfaatan

sumberdaya alam ikut menyusutkan luasan ekosistem secara dramatis adanya

kegiatan pembukaan lahan untuk pertanian, pembangunan rumah penduduk dan

pembangunan infrastruktur transportasi telah menjadi penyebab hilangnya habitat

Menurut Ehrlich (2010), degredasi habitat merupakan faktor terbesar yang telah

menurunkan jumlah keanekaragaman jenis satwa liar dan populasinya. Selain itu,

degredasi habitat juga telah menyebabkan berkurangnnya komunitas spesies asli

dan merubah proses-proses yang ada dalam ekosistem.

2.3.2 Eksploitasi Satwa

Banyak kelangkaan satwa liar disebabkan oleh ekploitasi yang dilakukan

secara berlebihan. Kegiatan eksploitasi berlebihan ini tidak terlepas dari adanya

keinginan manusia untuk mendapatkan satwaliar sebagai satwa peliharaan, sumber

makanan, atau untuk diambil bagian-bagian tubuhnya seperti gading gajah, cula

badak, kulit dan tulang harimau karena diyakini memiliki khasiat obat (Cadman,

2007).

Satwa sebagai mahluk hidup juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan

hukum, karena satwa merupakan mahluk hidup yang memberikan manfaat bagi

kehidupan manusia baik secara langsung atau tidak langsung, hingga bentuk

perlindungan hukum terhadap satwa harus ditegakkan secara tegas dan dijalankan secara

nyata melalui penegakan hukum. Tidak terdapat pembenaran bagi manusia untuk

memperbudak atau memanfaatkan hewan guna mendapatkan keuntungan sepihak.

Kesejahtraan hewan digambarkan bukan saja segala urusan yang berhubungan dengan

keadaan fisik dan mental hewan namun, keinginan untuk mencegah penderitaan hewan

yang tidak perlu seperti memberikan kehidupan yang baik baginya dan kematian yang

layak. Kenyamana hewan yang baik dapat diukur dari terpenuhinya 5 aspek yang
10
meliputi kebebasan dari rasa lapar dan haus, rasa tidak nyaman, rasa sakit, rasa takut dan

frustasi, dan yang terakhir hewan tersebut dapat berprilaku dengan perilaku alaminya

(Widodo, 2007).

2.4 Reintroduksi Spesies

Kegiatan konservasi tidak hanya didasari oleh manfaat translokasi individu, namun

didasari oleh hasil penilaian manfaat yang diberikan baik terhadap level populasi,

spesies, maupun ekosistem. Proses translokasi merupakan kegiatan yang efektif apabila

dilakukan berdampingan dengan justifikasi, mengingat banyaknya dampak yang

ditimbulkan dari proses translokasi (Airana, 2016). Perancangan dan implementasi

translokasi harus didasari oleh tahapan standar termasuk mengumpulkan informasi dasar

mengenai analisis ancaman dan pengelolaan pengawasan yang disesuaikan dengan

kebutuhan setelah proses translokasi dilakukan yang dapat menjamin keseluruhan

proses dan perkembangan yang dilakukan tercatat dengan baik yang kemudian dapat

dijadikan acuan sebagai bahan evaluasi untuk adaptasi pengelolaan (Anonim, 2013).

Reintroduksi didefinisikan sebagai kegiatan pelepasliaran individu organisme

didalam wilayah yang termasuk historic range dari organisme tersebut. Pelaksanaan

translokasi dapat dilakukan apabila; memiliki manfaat dalam konservasi yang

diikuti dengan resiko dalam kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi; telah

dilaksanakan penilaian translokasi yang meliputi identifikasi potensi manfaat dan

dampak negatif (sosial, ekonomi dan ekologi), justifikasi dari kesiapan individu

yang akan ditranslokasi beradaptasi pada wilayah pelepasliaran (ekologi, dan

kepentingan sosial dan ekonomi dari kelompok masyarakat sekitar), memastikan

bahwa tingkat resiko yang didapatkan seimbang dengan tingkat manfaat dan apabila

tingkat ketidakpastiaan atau kesiapan tinggi dalam translokasi, maka perlu ada

11
perencanaan kegiatan konservasi dalam bentuk lainnya (Widjaja, 2014).

Pelaksanaan translokasi perlu mengakomodasi kepentingan lokal yang

beragam, begitu juga dengan sikap masyarakat yang dapat bersifat kontradiktif

dengan kegiatan translokasi, maka dari itu perlunya perencanaan translokasi yang

dapat mengakomodasi keadaan sosial ekonomi, nilai dan sifat, motivasi dan

ekspektasi, perubahan sikap serta antisipasi dari biaya dan manfaat yang dipahami

oleh kalangan masyarakat sebelum kegiatan dilaksanakan. Mekanisme dalam

komunikasi untuk membangun keterlibatan dan memecahkan masalah merupakan

kunci dalam keberhasilan penanggulangan dampak dan kekhawatiran dari publik

mengenai translokasi yang perlu dilakukan oleh pengelola kegiatan konservasi.

Selain itu perlu adanya pemahaman mengenai manfaat yang didapatkan setelah

translokasi berhasil dilaksanakan, seperti kesempatan pengembangan program

translokasi untuk ekowisata maupun kegiatan lainnya yang dapat membangun

masyarakat sekitar yang memungkinkan. Keberhasilan translokasi tidak hanya

memberikan dampak terhadap kelestarian satwa yang ditranslokasi, tetapi juga

memberikan manfaat kepada stakeholder yang memiliki beragam kepentingan

(Airana, 2016).

2.5 Pengertian Stakeholder

Para pemangku kepentingan di sebuah institusi manapun memiliki pengaruh

yang penting bagi keberlasungan institusi ataupun lembaga. Para pemangku

kepentingan itu lebih sering disebut dengan stakeholder (Wiguna, 2011).

Stakeholder merupakan sebuah frasa yang terbentuk dari dua buah kata, stake dan

holder. Secara umum, kata dapat diterjemahkan dengan pemangku kepentingan.

Berdasarkan penjabaran di atas secara garis besar konsep stakeholder sebagai

individu atau organisasi baik profit maupun non profit yang memiliki kepentingan
12
dengan perusahaan sehingga dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh

pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu, stakeholder semua pihak baik internal

maupun eksternal yang memiliki hubungan mempengaruhi maupun dipengaruhi,

bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan (Munawaroh, 2016).

Stakeholder merupakan semua pihak baik internal maupun eksternal yang

mempunyai hubungan yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat

langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Batasan tersebut mengisyaratkan

bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholders, karena mereka adalah

pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung

atas aktivitas serta kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Jika perusahaan tidak

memperhatikan stakeholders bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat

mengeleminasi legitimasi stakeholder (Adam, 2011).

2.6 Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder menurut Reed (2009), yaitu mempelajari bagaimana

manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan

cara memisahkan peran stakeholder ke dalam rights (hak), responsibilities

(tanggung jawab), revenues (pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar

peran tersebut). Analisis stakeholder perlu dilakukan dengan : 1) mendefinisikan

aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau

tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi

atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan

kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan

Analisis stakeholder mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam

pengelolaan. Menurut Colfer (1999), untuk menentukan siapa yang perlu

dipertimbangkan dalam analisis stakeholder, dilakukan dengan mengidentifikasi

13
dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana

stakeholder dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:

1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang

berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan.

2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan

dihormati.

3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak

mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga

mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.

4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia

sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.

5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat

dalam menjaga kelestarian hutan.

6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan,

sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat

dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat

terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh

kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang

berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri.

7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat

lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari

tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang

merusak.

14

Anda mungkin juga menyukai