Anda di halaman 1dari 2

‫ك لَهُ َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن‬ ِ ‫ أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش‬.

الَ ش‬.‫ َوأَ ْم ُرهُ ْم بِتَوْ ِح ْي ِد ِه َوطَا َعتِ ِه‬،‫ق لِ ِعبَا َدتِ ِه‬
َ ‫َر ْي‬ َ ‫ق ال َخ ْل‬َ َ‫َح ْم ُد هللِ الّ ِذي َخل‬ terhadap enam hal ini sampai akhir hayat. Lepas satu salah satu dari enam rukun
‫ص ِّل َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ َ
َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.ُ‫ َوأ ْعظَ َمهُ ْم طَا َعةً لَه‬،ِ‫ق ُعبُو ِديَّةً هلل‬ ْ َ
ِ ‫ أ ْك َم ُل الخَ ل‬،ُ‫َسيِّدَنا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬ ini dari aqidah kita menyebabkan kita terjerumus dalam lubang kekufuran.
َ َّ
َ ‫ق تُقَاتِه َوالَتَ ُموْ تُ َّن إِال َوأنـْتُ ْم ُم ْسلِ ُموْ نَ فَقَ ْد قَا َل هللاُ تَ َع‬
‫الى‬ َّ ‫ اِتَّقوْ ا هللاَ َح‬، َ‫ فَيَااَيُّهَا ْال ُم ْسلِ ُموْ ن‬،ُ‫ اَ َّما بَ ْعد‬.‫َو َعلَى آلِ ِه َوأَصْ َحاِب ِه‬
ُ
‫َص ُموا بِ َحب ِْل هللاِ َج ِميعًا َوالَ تَفَ َّرقُوا َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َمتَ هللاِ َعلَ ْي ُك ْم إِ ْذ ُكنتُ ْم أَ ْعدَآ ًء فَأَلَّفَ بَ ْينَ قُلُوبِ ُك ْم‬ ِ ‫ َوا ْعت‬:‫َري ِْم‬ ِ ‫فِي ِكتَابِ ِه ْالك‬ Namun demikian, setelah mengimani enam rukun iman kita ini lantas semuanya
‫فَأَصْ بَحْ تُم بِنِ ْع َمتِ ِه إِ ْخ َوانًا‬ akan aman-aman saja. Sebab iman sejatinya sangat luas, menyangkut segenap
aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bermasyarakat. Karena itulah kita
Jamaah shalat Jumat hafidzokumullah sering dapati beberapa sikap yang sangat dianjurkan Islam dikaitkan dengan
kesempurnaan iman.
Bila ditanya, apa hal yang yang paling penting dalam Islam? Jawabannya adalah
iman. Iman merupakan sendi paling fundamental seseorang untuk disebut Muslim. ‫اَل ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى ي ُِحبَّ أِل َ ِخي ِه َما ي ُِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه‬
Tanpanya ia bukan apa-apa, seperti bangunan gedung tanpa pondasi.
“Tidaklah (sempurna) iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya
Secara umum para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mendefinisikan iman sebagai sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)
sesuatu yang terdiri dari tiga unsur, yakni at-tashdîqu bil qalbi atau membenarkan
dengan hati, at-taqrîr bil lisâni mengikrarkan dengan lisan, lalu al-‘amalu bil Dalam hadits lainnya Rasulullah ‫ﷺ‬bersabda:
arkân atau mengamalkan dengan anggota badan. َ ‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم َج‬
‫ َو َم ْن‬،ُ‫اره‬ ِ ‫ت َو َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ ِباهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
ْ ‫اآلخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُم‬
ِ ‫َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
ْ ِ ‫َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
َ ‫اآلخ ِر فَليُ ْك ِر ْم‬
ُ‫ض ْيفَهُ َجائِزَ تَه‬
Saat seseorang menyatakan iman kepada Allah misalnya, maka ia tidak hanya
meyakini dalam hati tanpa keraguan, tapi juga berikrar secara ucapan dan “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka seyogianya ia berkata
menajalankan segenap perintah dan laranganan-Nya sebagai pengejawantahan yang baik atau hendaknya diam; barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
atas keimanan tersebut. Artinya, iman merupakan kesatuan antara hati, maka seyogianya dia memuliakan tetangganya; dan barangsiapa beriman kepada
perkataan, dan perbuatan. Allah dan hari akhir, maka seyogianya dia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Suatu hari ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi: Penjelasan ini menunjukkan bahwa iman tidak serta merta bisa dilepaskan begitu
saja dari perbuatan keseharian kita. Bagaimana kita bersikap dan bergaul sehari-
ِ ‫ال أَ ْن تُ ْؤ ِمنَ بِاهللِ َو َماَل ئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر َوتُ ْؤ ِمنَ بِ ْالقَد‬
‫َر َخي ِْر ِه َو َشرِّ ِه‬ ِ ‫أَ ْخبِرْ نِي ع َْن اإْل ِ ي َم‬
َ َ‫ ق‬، ‫ان‬ hari adalah penanda sejauh mana kualitas iman dalam diri kita. Dengan bahasa
lain, akhlak kita kepada Allah sangat terkait dengan akhlak kepada makhluk-
“Kabarkan kepadaku (wahai Rasulullah) apa itu iman?” Nabi ‫ ﷺ‬menjawab,
makhluk-Nya. Secara vertikal kita menjalin hubungan baik kepada Allah, secara
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
horizontal kita pun melakukan hal yang sama kepada manusia, binatang, dan alam
rasul-Nya, hari kiamat, serta takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Tirmidzi)
di sekitar kita.
Dari hadits inilah kita kemudian mengenal enam rukun iman, pilar-pilar keyakinan
yang tidak boleh kita tinggalkan. Manusia dituntut untuk memegang teguh iman Kala seseorang berkata kasar kepada sesama, misalnya, kendati sebelumnya
mengaku sangat beriman, sejatinya ia mengalami penurunan kadar keimanan. Hal
serupa juga terjadi ketika kita gemar membuka aib orang lain, menghujat, dengki,
dan lain sebagainya. Yang mengkhawatirkan dari peristiwa perununan iman ini
adalah prosesnya yang sering tidak disadari oleh pelakunya.

Satu catatan lagi yang tak kalah penting adalah iman tak selalu statis, stagnan,
ajeg. Ketika kita mengimani rukun enam, tidak berarti perkara sudah selesai. Tak
sedikit kasus orang yang ahli ibadah harus berakhir dengan buruk di akhir
hayatnya (sû’ul khatimah), sebagaimana tak kurang-kurang orang yang semula
berlumuran dosa di kemudian hari mencicipi kebahagiaan lantaran pertobatan
yang sungguh-sungguh. Artinya, iman bersifat dinamis, fluktuatif, bisa naik bisa
turun, bisa bertambah bisa berkurang.

Seorang sahabat pernah menimba pelajaran berharga dari Nabi:

‫ت بِاهللِ ثُ َّم ا ْستَقِ ْم‬ َ ‫قُلْ لِي فِي اإْل ِ سْاَل ِم قَوْ اًل اَل أَسْأ َ ُل َع ْنهُ أَ َحدًا َغي َْر‬
ُ ‫ك ؟ قَا َل قُلْ آ َم ْن‬

“Ajarkanlah kepadaku (wahai Rasulullah) suatu ucapan di dalam Islam yang tidak
akan saya tanyakan kepada seorang pun selain dirimu. Beliau menjawab,
Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah’.” (HR. Muslim)
Perintah Rasulullah untuk beristiqamah mengindikasikan bahwa iman
sesungguhnya tidak stabil. Iman bisa meningkat juga bisa menurun. Suatu kali
seseorang sangat beriman, kemudian agak beriman, lalu bahkan tidak beriman
sama sekali. Di kemudian hari, iman itu kembali menguat, bertambah kuat, lalu
turun lagi, dan seterusnya. Sehingga beristiqamah bukanlah perintah yang ringan.
Rasulullah menghendaki keimanan yang teguh tapi juga konsisten. Dikatakan berat
karena istiqamah mengandalkan kemauan yang kuat, dan secara serius mengatasi
hambatan-hambatan yang ada terutama yang muncul dari diri sendiri. Selain
ikhtiar dari diri sendiri, yang perlu kita ingat pula bahwa iman pada hakikatnya
anugerah Allah subhânahu wata‘âlâ.

Anda mungkin juga menyukai