Anda di halaman 1dari 17

Ahmad. A., S.Ag., M.Pd.

MAKALAH FIQIH
WASIAT

Disusun oleh :
Kelompok 9

 Nurul Chalisah Mujahidah / 105191115020


 Muh. Nasrun / 105191113620

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu wata'ala, yang telah menciptakan
manusia dan alam seisinya untuk makhluknya serta mengajari manusia tentang al-
qur’an dan kandungannya, yang dengan akal pikiran sebagai potensi dasar bagi
manusia untuk menimbang sesuatu itu baik atau buruk, menciptakan hati nurani
sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah menciptakan fisik dalam
sebagus bagusnya, rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita kepada-Nya. Segala
puji bagi Allah sang Maha Kuasa pemberi hidayah, yang semua jiwa
dalam genggaman-Nya, kasih sayang-Nya mulia tak terperi. Rahman dan Rahim-
Nya telah menyertai kami sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Sholawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada revolusionar muslim
sejati baginda Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, serta para sahabatnya
yang telah membebaskan umat manusia dari lembah kemusyrikan dan
kejahiliyahan menuju alam yang bersaratkan nilai-nilai tauhid dan bertaburan cahaya
ilmu pengetahuan dan kebenaran. Dalam makalah ini, penulis berupaya menyajikan
makalah dalam bentuk yang mudah dibaca. Namun, penulis menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Tiada yang dapat kami ucapkan sebagai balas budi kami selain untaian
ucapan terima kasih dan doa, agar semua amal kebaikan selama ini penuh dengan
iringan rahmat dan ridho Allah Subhanahu wata'ala. Sehingga dicatat sebagai amalan
makbulan’indallah. Amin. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca dan semuanya, khususnya bagi penulis sendiri

Makassar, 15 Desember 2021

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I.............................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

A. Dasar wasiat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah 180 – 182..........................2

B. Dasar wasiat dalam Hadist..............................................................................7

C. Prespektif ulama tentang Wasiat...................................................................10

BAB III PENUTUP.....................................................................................................13

A. Kesimpulan...................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat sempurna yang diturunkan kepada seluruh
umat manusia untuk dijadikan jalan hidup, kesempurnaan Islam bisa diketahui dalam
ajarannya yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di mana secara umum
telah diatur perkara-perkara tentang hubungan Allah SWT dengan manusia,
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan binatang dan manusia dengan
tumbuh-tumbuhan.
Perkara-perkara hubungan manusia dengan manusia ialah suatu yang penting
karena berhubungan langsung bagi kehidupan manusia sehari-hari dalam menjalani
kehidupan ini. Ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur perkara hubungan
manusia dengan manusia disebut dengan Ahkam al-Muamalat dimana di dalamnya
membahas beberapa hukum, seperti hukum orang dan keluarga (hukum pidana Islam
hukum acara dan hukum benda yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah yang
berkaitan dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
penyelesaian perkara waris, perkara wakaf dan hukum-hukum wasiat. Di dalam
ajaran Islam adanya pembagian waris melalui beberapa cara di antaranya yaitu
melalui wasiat.
Wasiat adalah suatu rahmat Allah swt kepada manusia yang pada mulanya
digariskan dalam Al-qur’an sebagai suatu perintah yang wajib ditunaikan oleh tiap-
tiap mukallaf supaya mewasiatkan hartanya kepada bapa-ibunya dan para kerabatnya
yang terdekat. Kemudian perintah itu dinasakh setelah turun ayat yang khusus
membahas tentang perkara-perkara harta warisan.
B. Rumusan Masalah
1. Dasar wasiat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah
2. Dasar wasiat dalam Hadist
3. Prespektif ulama tentang Wasiat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar wasiat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah 180 – 182


1. Al-Baqarah 180

ِ ‫ت اِ ْن َتر َك َخ ْيراالْو‬
‫صيَّةُ لِل َْوالِ َديْ ِن َوااْل َق َْربِْي َن‬ ُ ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ال َْم ْو‬
ِ
َ ‫ب َعلَْي ُك ْم اذَا َح‬ ِ
َ ً َ َ ‫ُكت‬
‫ف َح ًّقا َعلَى ال ُْمت َِّق ْي َن‬
ِ ,ۚ ‫بِال َْم ْع ُر ْو‬
Terjemahnya :
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf (Q.S Al Baqarah Ayat 180) 
Pembahasan ayat 180 poin 1 telah dikatakan bahwa washiat merupakan
kebutuhan seluruh umat manusia. Tetapi kendati demikian, di poin 6 ditegaskan
bahwa washiat terutama menjadi kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi
selain orang-orang yang bertakwa, washiat bisa saja mereka pandang sebagai sesuatu
yang sangat penting di dalam kehidupan, tetapi di tangan orang-orang bertakwalah
perintah itu menemukan bobot teologis dan sosiologisnya sekaligus. Sehingga
perbuatan ber-washiat menjadi suatu tindakan sosial yang harus
diertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena di antara ciri-ciri orang bertakwa
ialah:
a) Perbuatan sosialnya selalu ditandai oleh sikapnya yang adil (5:8);
b) Tindakan-tindakannya selalu bermuara ke Hari Akhirat (59:18);
c) Selalu membawa yang benar dan membenarkan yang benar (39:33);
d) Mengagungkan hukum-hukum Allah (22:32);
e) Mempunyai semangat berkorban dengan harta dan jiwanya (22:37, 9:44);
f) Mengisi tabung jiwanya dan amalan hari-harinya dengan kebajikan yang
sempurna (2:177);

2
g) Mudah memaafkan (2:237);
h) Memenuhi janjinya secara sempurna walau kepada orang musyrik sekalipun
(9:4);
i) Tidak berbuat semena-mena dan melakukan kerusakan di muka bumi (28:83);
j) Menjadikan Alqur’an sebagai sumber pelajaran (69:48).
Dengan sifat-sifat ketakwaan seperti itu harapannya washiat benar-benar
menjadi sumber kebajikan dan kemaslahatan bagi semua pihak, dan bukan
sebaliknya. “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan
(yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya
dan kepada orang-orang mu’min, dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat
takwa dan adalah mereka (orang-orang mukmin) berhak dengan kalimat takwa itu
dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (48:26)

2. Al-Baqarah 181

ۗ ‫فَ َم ۢنْ بَ َّدلَهُ َب ْع َد َما َس ِم َعهُ فَِانَّ َمٓا اِثْ ُمهُ َعلَى الَّ ِذيْ َن ُيبَ ِّدلُْونَهُ ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬
Berdasarkan 5:106-108 (yang telah dikutip pada poin 3 ayat 180) washiat—
lisan ataupun tulisan—harus disaksikan oleh dua orang yang adil. Keadilan mereka
didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat. Sebelum bersaksi, mereka juga
diambil sumpahnya. Keadilan saksi ini penting sebab washiat adalah masalah harta
benda atau sesuatu yang bernilai sehingga sifatnya sangat sensitif. Kalau ada yang
salah, alih-alih mendatangkan kebajikan dan kemaslahatan bagi semua pihak,
washiattersebut bahkan bisa menjadi sumber kekisruhan dan perseteruan. Secara
manusiawi, kendati saksi telah diakui keadilannya, tetapi bukan berarti tertutup sama
sekali pintu kejahatan baginya.
Sebagai manusia biasa, saksi masih tetap bisa menciptakan alibi dan dalih
sebagai celah untuk suatu saat menyalahi kesaksiannya. Di sinilah pentingnya
sakralitas washiat, sehingga para pihak yang terlibat di dalamnya merasa bahwa

3
tindakan-tindakannya itu benar-benar disaksikan juga oleh Allah. Sakralitas itu
menemukan bentuknya setelah washiat diadopsi oleh Kitab Suci. Sehingga kalimat
ancaman berikut ini bukan lagi diungkapkan oleh pemberi washiat (al-Mushī), tetapi

ِ َّ ِ
oleh Allah sebagai pembuat syariat: ُ‫ُيبَ ِّدلُونَه‬ َ ‫فَ َمنبَ َّدلَهُ َب ْع َد َما َسم َعهُ فَِإنَّ َما إِثْ ُمهُ َعلَى الذ‬
‫ين‬
(faman baddalaɦu ba’da mā sami’aɦu fainnamā itsmuɦu ‘alālladzīna
yubaddilūnaɦu, maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya). Saksilah yang terutama menjadi objek dari ancaman ini. Untuk itu,
manakala seseorang telah pernah sekali saja melakukan tuduhan palsu maka tidak
pantas lagi diterima sebagai saksi yang adil. “Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kalian menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (24:4)
Poros penggalan ayat (faman baddalaɦu ba’da mā sami’aɦu fainnamā
itsmuɦu ‘alālladzīna yubaddilūnaɦu, maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu,
setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya) ialah pada kata ‫( إِ ْثم‬itsmun, dosa). Defenisi kata ini telah kita bahas di
ayat 173 poin ke-4. Kata ‫( إِ ْثم‬itsmun,dosa) di ayat 181 ini sudah yang ketiga setelah
sebelumnya di ayat 85 dan 173. Di ayat 85, kata ‫(إِ ْثم‬itsmun, dosa) ditujukan kepada
Bani Israil yang bahu-membahu melakukan perbuatan dosa dan permusuhan:
(tzhāɦarūna ‘alayɦim bil-itsmi wal-‘udwān). Sementara di ayat 173 kata ‫( إِ ْثم‬itsmun,
dosa) berkaitan dengan makanan-makanan haram: (fa-mani-dlthurra ghayra bāghin
wa lā ‘ādin fa-lā itsma ‘alayɦi), tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya]. Maka sesiapa yang mengubah atau mengingkari
kesaksiannya dalam hal washiat, Allah menyematkan kepada mereka sifat Israiliat,

4
yang suka mengingkari perjanjian (2:84-86) dan memakan makanan-makanan haram
(5:42). Terhadap orang seperti itu Allah sebetulnya tak sekedar mengancamnya
dengan dosa, tapi juga dengan kutukan dari langit. “Dan (ingatlah), ketika Kami
berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kalian ke nagari ini
(Baitul Maqdis), dan makanlah daripadanya di mana saja yang kalian sukai
sepuasnya, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah:
‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan
kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat
baik’. Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah (atau wasiat) dengan (wasiat
lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-
orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik.” (2:58-59)
Manusia bisa dikibuli tapi Allah tidak. Karena (innallāɦ samī’un ‘alīm),
sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui). Kita mungkin bisa
mengambil keuntungan materi dari usaha kita mengubah isi washiat, tetapi dengan
keuntungan yang sedikit itu tidak akan mungkin melepaskan diri kita dari murka dan
azab-Nya. Karena tidak ada satupun dari gerak tubuh dan gerak hati kita yang luput
dari pendengaran dan pengetahuan-Nya. Semuanya terekam pada sebuah Kitab Induk
yang ada di sisi-Nya. Murka dan azab-Nya tidak saja kita rasakan nanti di Akhirat,
melainkan juga di dunia, lahir dan batin. Sebab kata ‫( إِ ْثم‬itsmun, dosa) sendiri merujuk
kepada hati yang ternoda.
Dan hati yang ternoda akibat perbuatan kita, secara akumulatif, akan
menggelapi jiwa hingga kehidupan ini berasa sumpek dan menyesakkan. Keputusan-
keputusan hidup akan kacau-balau dan saling berbenturan. Yang kita sangka air
ternyata padang pasir yang menghampar sekolong langit. Yang berkesusahan tak
berkesudahan. “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kalian
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya; dan

5
janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (2:283)
Hadits Nabi saw.: “Telah menceritakan kepada kami as-Shalt bin Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zura’i dari Rauh bin al-Qasim dari
Manshur dari Mujahid dari Abu Ma’mar dari Ibnu Mas’ud mengenai firman Allah:
“Kalian sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran,
penglihatan dan kulitmu kepadamu, bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak
mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.” (41:22). Ada dua orang
Quraisy salah dan seorang lagi dari Tsaqif, atau dua orang dari Tsaqif sedangkan satu
lagi dari Quraisy disisi Ka’bah. Salah seorang mereka berkata kepada yang lainnya;
“Apakah menurut kalian Allah mendengar perkataan kita ini?” Sebagian berkata:
“Dia mendengar sebagian saja.” Sebagian yang lain berkata; “Jika Dia mendengar
sebagiannya pasti Dia mendengar semuanya.” Maka turunlah ayat; “Kalian sekali-
sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu
kepadamu, bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari
apa yang kalian kerjakan.” (41:22). (Shahih Bukhari no. 4442)[2]

3. Al-Baqarah 182

‫صلَ َح َب ْيَن ُه ْم فَٓاَل اِثْ َم َعلَْي ِه ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ غَ ُف ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ِ ٍ ‫اف ِم ْن ُّم ْو‬
ْ َ‫ص َجَن ًفا اَ ْو اثْ ًما فَا‬ َ ‫فَ َم ْن َخ‬
:Terjemahnya
(akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu,
Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka
tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.( Q.S Al Baqarah 182)

Pada ayat ini Allah memberikan penjelasan, yaitu kalau seseorang merasa
khawatir bahwa orang yang berwasiat itu tidak berlaku adil dalam memberikan

6
wasiatnya Maka tidak ada dosa baginya untuk menyuruh yang berwasiat agar berlaku
adil dalam memberikan wasiatnya.
Apabila seseorang mengetahui bahwa wasiat yang telah dibuat itu ternyata
tidak adil kemudian ia berusaha mendamaikan antara orang-orang yang menerima
wasiat itu, sehingga terjadi perubahan-perubahan, maka hal serupa itu tidaklah
dianggap perubahan yang mengakibatkan dosa, tetapi perubahan yang tidak adil
kepada yang adil, yang disetujui oleh pihak yang menerima bagian dari wasiat itu.
(Tetapi barang siapa merasa khawatir terhadap orang yang berwasiat) ada
yang membaca muushin dan ada pula yang membaca muwashshin (berlaku berat
sebelah) menyimpang dari keadilan (atau berbuat dosa) misalnya dengan sengaja
melebihi sepertiga atau mengistimewakan orang kaya, (lalu didamaikannya di antara
mereka) yakni antara yang menyampaikan.

B. Dasar wasiat dalam Hadist

1. Shahih Bukhori : 2587

‫يل اللَّ ِه‬


ِ ِ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم لَ َر ْو َح ةٌ فِي َس ب‬ ٍ ِ ُ ‫ال َو َس ِم ْع‬
َ ‫س بْ َن َمال ك َع ْن النَّبِ ِّي‬ َ َ‫ت أَن‬ َ َ‫ق‬
‫ض ُع قِي ٍد‬ ِ ‫س أَح ِد ُكم ِمن الْجن َِّة أَو مو‬ ِ ِ
ْ َ ْ َ ْ ْ َ ِ ‫اب َق ْو‬ ُ ‫يه ا َولَ َق‬َ ‫أ َْو غَ ْد َوةٌ َخ ْي ٌر م ْن ال ُّد ْنيَا َو َم ا ف‬
‫ت إِلَى أ َْه ِل‬ ْ ‫ْجن َِّة اطَّلَ َع‬ ِ َّ ‫يه ا َولَ ْو أ‬ ِ ُّ ‫َي ْعنِي َس ْوطَهُ َخ ْي ٌر ِم ْن‬
َ ‫َن ْام َرأَةً م ْن أ َْه ِل ال‬ َ ‫الد ْنيَا َو َم ا ف‬
ُّ ‫ص ي ُف َها َعلَى َرأْ ِس َها َخ ْي ٌر ِم ْن‬
‫الد ْنيَا َو َم ا‬ ِ َ‫ت ما ب ْي َن ُهما ولَمأَل َتْهُ ِريح ا ولَن‬
َ ً َ َ َ َ َ ْ َ‫َضاء‬ َ ‫ض أَل‬ ِ ‫اأْل َْر‬
‫يها‬ ِ
َ‫ف‬
Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya.
Berkata, dan aku mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam: "Pergi keluar berperang di jalan Allah pada awal (pagi) hari atau
pergi keluar berperang pada akhir (siang) hari lebih baik dari pada dunia dan seisinya.
Dan sungguh panjang (sehasta) busur panah seorang dari kalian di surga atau tempat

7
(sarung) cambuknya lebih baik dari dunia dan seisinya. Dan seandainya seorang
perempuan (bidadari) penduduk surga muncul di tengah penduduk bumi niscaya ia
akan menerangi apa yang ada diantara keduanya (cakrawala langit dan bumi) dan
arama wanginya akan memenuhi cakrawala itu dan sungguh kerudung yang ada di
kepalanya itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya".

2. Shahih Bukhori :2588

َّ ‫ب أ‬ِ َّ‫س ي‬ ِ ِ ِّ ‫الز ْه ِر‬ ِ


‫َن أَبَ ا‬ َ ‫ال أَ ْخَب َرني َس عي ُد بْ ُن ال ُْم‬ َ َ‫ي ق‬ ُّ ‫ب َع ْن‬ ٌ ‫َح َّد َثنَا أَبُ و الْيَ َم ان أَ ْخَب َرنَ ا ُش َع ْي‬
‫ول َوالَّ ِذي َن ْف ِس ي‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬ َ ‫ت النَّبِ َّي‬ ُ ‫ال َس ِم ْع‬ َ َ‫ض َي اللَّهُ َع ْن هُ ق‬ ِ ‫ُهر ْي رةَ ر‬
َ َ َ
ِ ‫َن ِرج ااًل ِمن الْم ْؤ ِمنِين اَل تَ ِطيب أَْن ُفس ُهم أَ ْن يتَ َخلَّ ُف وا َعنِّي واَل أ‬ ِِ
‫َج ُد َم ا‬ َ َ ْ ُ ُ َ ُ ْ َ َّ ‫بِيَ ده لَ ْواَل أ‬
‫ت أَنِّي‬ ُ ‫يل اللَّ ِه َوالَّ ِذي َن ْف ِسي بِيَ ِد ِه لََو ِد ْد‬ ِ ِ‫ت َع ْن َس ِريٍَّة َتغْ ُزو فِي َسب‬ ُ ‫َح ِملُ ُه ْم َعلَْي ِه َما تَ َخلَّ ْف‬
ْ‫أ‬
ِ ِ ِ‫أُقْتَل فِي سب‬
‫ُحيَا ثُ َّم أُقْتَ ُل‬
ْ ‫ُحيَا ثُ َّم أُقْتَ ُل ثُ َّم أ‬ ْ ‫يل اللَّه ثُ َّم أ‬
ْ ‫ُحيَا ثُ َّم أُقْتَ ُل ثُ َّم أ‬ َ ُ
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu'aib dari Az Zuhriy berkata telah bercerita kepadaku Sa'id in Al Musayyab
bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata aku mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
seandainya ada sebagian orang-orang yang beriman tidak baik hati mereka
dengan tidak mau menggikutiku untuk berperang dan aku tidak mampu lagi
untuk membawa mereka. Sungguh aku tidak akan pernah mau ketinggalan dari
pasukan perang (untuk berperang) di jalan Allah. Dan demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, sungguh aku menginginkan untuk berperang lalu aku terbunuh di
jalan Allah kamudian aku dihidupkan kembali lalu aku terbunuh kemudian
dihidupkan kembali lalu terbunuh lagi kemudian aku dihiidupkan kembali lalu
terbunuh lagi".

8
3. Shahih Bukhori : 2589

‫وب َع ْن ُح َم ْي ِد بْ ِن‬ ِ ِ
ُ ‫ار َح َّد َثنَا إ ْس َماع‬
َ ُّ‫يل بْ ُن عُلَيَّةَ َع ْن أَي‬ ُ ‫الص َّف‬
َّ ‫وب‬ َ ‫ف بْ ُن َي ْع ُق‬
ُ ‫وس‬ُ ُ‫َح َّد َثنَا ي‬
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َف َق‬ ِ‫كر‬ ٍِ ِ َ‫ِهاَل ٍل َع ْن أَن‬
‫ال‬ َ ‫ب النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ال َخط‬ َ َ‫ض َي اللَّهُ َع ْن هُ ق‬ َ ‫س بْ ِن َمال‬
ِ ِ ِ
َ‫اح ة‬َ ‫يب ثُ َّم أَ َخ َذ َها َع ْب ُد اللَّه بْ ُن َر َو‬ َ ‫يب ثُ َّم أَ َخ َذ َها َج ْع َف ٌر فَأُص‬ َ ‫الرايَ ةَ َزيْ ٌد فَأُص‬ َّ ‫أَ َخ َذ‬
‫س ُّرنَا أ ََّن ُه ْم ِع ْن َدنَا‬ َ َ‫يد َع ْن غَْي ِر إِ ْم َر ٍة َف ُفتِ َح لَ هُ َوق‬ ِ ِ‫َخ َذها َخالِ ُد بن الْول‬ ِ
ُ َ‫ال َم ا ي‬ َ ُْ َ َ ‫يب ثُ َّم أ‬ َ ‫فَأُص‬
ِ َ‫ال ما يس ُّر ُهم أ ََّن ُهم ِع ْن َدنَا و َع ْينَاهُ تَ ْذ ِرف‬
‫ان‬ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ‫وب أ َْو ق‬ ُ ُّ‫ال أَي‬َ َ‫ق‬
Telah bercerita kepada kami Yusuf bin Ya'qub Ash-Shoffar telah bercerita
kepada kami Isma'il bin 'Ulayyah dari Ayub dari Humaid bin Hilal dari Anas bin
Malik radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menyampaiklan khothbah lalu bersabda: "Zaid akan memegang bendera perang
lalu dia gugur kemudian bendera itu dipegang oleh Ja'far lalu dia pun gugur
kemudian bendera itu dipegang oleh 'Abdullah bin Rawahah namun diapun
gugur pula. Akhirnya bendera itu diambil oleh Khalid bin Al Walid padahal
sebelumnya dia tidak ditunjuk. Maka lewat dialah kemenangan dapat diraih".
Dan Anas berkata: "Kejadian itu menggembirakan kami seolah mereka ada
bersama kami". Ayyub berkata: "Kejadian itu (karamah para suhada') tidaklah
menjadikan mereka ingin untuk kembali bersama kami (di dunia kecuali bila
mati syahid kembali untuk kedua kali) ". Dan kedua matanya berlinang air mata.

4. Shahih Bukhori : 2590

‫س ْب ِن َمالِ ٍك‬ ِ َ‫ث َح َّدثَنَا يَ ْحيَى عَنْ ُم َح َّم ِد ْب ِن يَ ْحيَى ْب ِن َحبَّانَ عَنْ أَن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُفَ قَا َل َح َّدثَنِي اللَّ ْي‬
َّ َ‫ظ يَتَب‬
‫س ُم‬ ْ ‫سلَّ َم يَ ْو ًما قَ ِريبًا ِمنِّي ثُ َّم ا‬
َ َ‫ستَ ْيق‬ َ ‫ت ِم ْل َحانَ قَالَتْ نَا َم النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫عَنْ َخالَتِ ِه أُ ِّم َح َر ٍام بِ ْن‬
ِ َ ‫ض َر َكا ْل ُملُو ِك َعلَى اأْل‬
ْ‫س َّر ِة قَالَت‬ َ ‫ضوا َعلَ َّي يَ ْر َكبُونَ َه َذا ا ْلبَ ْح َر اأْل َ ْخ‬ ُ ‫اس ِمنْ أُ َّمتِي ُع ِر‬ ٌ َ‫ض َح َك َك قَا َل أُن‬ ْ َ‫فَقُ ْلتُ َما أ‬
‫فَا ْد ُع هَّللا َ أَنْ يَ ْج َعلَنِي ِم ْن ُه ْم فَ َدعَا لَ َها ثُ َّم نَا َم الثَّانِيَةَ فَفَ َع َل ِم ْثلَ َها فَقَالَتْ ِم ْث َل قَ ْولِ َها فَأ َ َجابَ َها ِم ْثلَ َها َفقَالَتْ ا ْد ُع‬
‫ت َغا ِزيًا أَ َّو َل َما َر ِك َب‬ َّ ‫ت ِمنْ اأْل َ َّولِينَ فَ َخ َر َجتْ َم َع ز َْو ِج َها ُعبَا َدةَ ْب ِن ال‬
ِ ‫صا ِم‬ ِ ‫هَّللا َ أَنْ يَ ْج َعلَنِي ِم ْن ُه ْم فَقَا َل أَ ْن‬

9
‫ص َرفُوا ِمنْ َغ ْز ِو ِه ْم قَافِلِينَ فَنَ َزلُوا الشَّأْ َم فَقُ ِّربَتْ إِلَ ْي َها دَابَّةٌ لِت َْر َكبَ َها‬
َ ‫سلِ ُمونَ ا ْلبَ ْح َر َم َع ُم َعا ِويَةَ فَلَ َّما ا ْن‬ ْ ‫ا ْل ُم‬
ْ‫ص َر َع ْت َها فَ َماتَت‬َ َ‫ف‬

Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata telah bercerita
kepadaku Al Laits telah bercerita kepada kami Yahya dari Muhammad bin
Yahya bin Hayyan dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari bibinya, Ummu
Haram binti Milhan berkata: Pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tertidur di dekatku kemudian terbangun sambil tersenyum. Lalu aku bertanya:
"Apa yang membuat Tuan tertawa?" Beliau bersabda: "Ada orang-orang dari
ummatku yang diperlihatkan kepadaku sebagai pasukan perang di jalan Allah
dimana mereka mengarungi lautan yang hijau bagaikan raja-raja di atas
singgasana". Ummu Haram berkata: "Do'akanlah agar Allah menjadikan aku
salah seorang dari mereka". Maka Beliau mendo'akannya. Kemudian Beliau
tertidur kembali untuk kedua kalinya dan kembali berbuat seperti sebelumnya.
Dan Ummu Haram juga bertanya sebagaimana yang sudah ditanyakannnya dan
Beliau pun menjawab sama dengan sebelumnya. Maka Ummu Haram berkata:
"Do'akanlah agar Allah menjadikan aku salah seorang dari mereka".. Beliau
bersabda: "Kamu akan menjadi diantara orang-orang yang pertama kali". Maka
pada suatu masa, Ummu Haram berangkat berperang bersama suaminya
'Ubadah bin ash-Shomit sebagai salah seorang dari Kaum Muslimin yang
pertama kali berperang dengan mengarungi lautan bersama Mu'awiah. Setelah
selesai dari perang, mereka kembali dan singgah di negeri Syam. Kemudian
Ummu Haram diberi hewan untuk ditunggangi namun dia tersungkur jatuh
hinga meninggal dunia.

C. Prespektif ulama tentang Wasiat


Para ulama mujtahid, untuk menerapkan suatu hukum wasiat yang positif dari
Q.S Al Baqarah ayat 180 ini, mereka memerlukan pembahasan dan penelitian pula
terhadap ayat-ayat lain dalam Alquran dan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada

10
hubungannya dengan persoalan ini, sehingga mereka menghasilkan pendapat antara
lain:
1. Jumhur ulama memberikan pendapat bahwa ayat wasiat 180 ini telah
dinasakhkan (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat mawaris yang diturunkan
dengan terperinci pada surat An-Nisa:11,12 dengan alasan antara lain sebagai
berikut:
Sabda Rasulullah SAW:

ٍ ‫صيَّةَ لِوا ِر‬


‫ث‬ ِ ‫إِ َّن اهلل قَ ْد أَ ْعطَى ُك َّل ِذى ح ٍّق ح َّقهُ فَاَل و‬
َ َ َ َ َ
Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. telah memberikan kepada setiap orang haknya
masing-masing, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al
Baihaqi dari Abu Umamah Al Bahali)
Hadis ini walaupun tidak mutawatir, namun telah diterima baik oleh para ulama
Islam semenjak dahulu.
2. Para ulama sependapat bahwa ayat-ayat mawaris tersebut diturunkan sesudah
ayat wasiat ini.
3. Para ulama yang berpendapat bahwa ayat wasiat ini dinasakhkan oleh ayat-ayat
mawaris, terbagi pula kepada 2 golongan: golongan pertama mengatakan: Tidak
ada wasiat yang wajib, baik kepada kerabat yang ahli waris maupun kerabat yang
bukan ahli waris. Golongan kedua berpendapat bahwa yang dinasakhkan hanya
wasiat kepada kerabat ahli waris saja, sesuai dengan ayat-ayat mawaris itu tetapi
untuk karib kerabat yang tidak termasuk ahli waris, wasiat itu tetap wajib
hukumnya sesuai dengan ayat wasiat ini.
4. Menurut Abu Muslim Al-Asfahani (seorang ulama yang tidak mengakui adanya
nasakh dalam ayat-ayat Alquran) dan Ibnu Jarir At-Tabari berpendapat bahwa
ayat wasiat 180 ini, tidak dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris dengan alasan
antara lain:

11
Tidak ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, karena
wasiat ini sifatnya pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang ahli waris bisa
mendapat bagian dari wasiat sesuai dengan Q.S Al Baqarah ayat 180 ini, dan dari
warisan sesuai dengan ketentuan ayat-ayat mawaris.
Andai kata ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris,
maka dapat dikompromikan yaitu ayat-ayat wasiat ini sifatnya umum, artinya
wajib wasiat kepada setiap kerabat, baik ahli waris maupun bukan, sedang ayat-
ayat mawaris sifatnya khusus. Jadi kewajiban berwasiat itu seperti dalam Q.S Al
Baqarah ayat 180 tetap berlaku, sehingga tidak bertentangan dengan ayat-ayat
mawaris.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awalnya sebelum seseorang meninggal hendaknya berwasiat untuk
pembagian harta waris. Namun mengenai hal ini ada perbedaan pendapat para ulama.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini tidak berlaku lagi karena Wasiat dalam
surat al-baqarah Q.S Al Baqarah ayat 180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’ ayat 11-
12. namun sebagian ulama mengatakan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah 180
tetap berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak).
Karena dalam ayat itu harta benda itu tidak disebut mal tapi khairanyang artinya baik.
Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang
banyak.
jika seseorang berwasiat agama menganjurkan adanya saksi atau pada zaman
sekarang yaitu ke notaries. Hal ini karena dikhawatirkan adanya kecurangan atau
kekeliruan dalam wasiat. Wasiat tidaklah bisa diubah kecuali dalam keadaan tertentu,
misalnya adanya maksud pilih kasih oleh si pembuat wasiat. Dalam kondisi seperti ini
tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang dari tindakan berat
sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan urusannya kepada keadilan dan
kesadaran.

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai