DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS KESEHATAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaika dengan makalah ini
yang berjudul “vct dan dasar-dasar konseling bagi pasien dengan hiv aids”.
Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
SAW. Yang kita nantikan syafaatnya kelak di yaumul qiyamah. Makalah ini berisikan
informasi tentang “masyarakat rumah sakit dan kebudayaan” dan kami berharap makalah
ini dapat memberikan informasi kepada kita”.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT. Senantiasa meridhai
segala usaha kita.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………….……..2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…………………………………………..………………...4
B. Rumusan masalah……………………………………..…………………..4
C. Tujuan………………………………………………..……………………4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………....5
A. Kesimpulan……………………….....……………………………………16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………17
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa VCT secara umum sudah
berjalan lancar, namun beberapa yang masih pawai. Konselor diberikan pelatihan VCT
yang baik untuk membangun kepercayaan dari klien sehingga tujuan komunikasi
kesehatan akan tercapai secara efektif. Konselor yaitu pihak yang memberikan
pertolongan, waktu, perhatian, dan keahliannya untuk membantu klien (ODHA)
B. Rumusanmasalah
Peningkatan pasien HIV kemudian disusul dengan terjadinya peningkatan
prevalensi HIV pada anak menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan dan
pemerintah.Untuk menghindari terjadinya peningkatan kasusHIV,pasien HIV dianjurkan
melakukan konseling dan testing HIV secara periodic untuk mengetahui status HIV
dirinya.Pasien HIV di Puskesmas Pulosaribelum semuanya memanfaatkan layanan
VCT,hal ini didukung oleh factor informasi mengenai layanan VCTyang belum diterima
oleh klien.
C.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap klien terhadap
pemanfaatan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Pulosari Tahun2016.
2. TujuanKhusus
a.Untuk menggambarkan pengetahuan klien terhadap layanan VCT di Wilayah Kerja
Puskesmas Pulosari.
b.Untuk menggambarkan sikap klien dalam layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas
Pulosari.
c.Untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan sikap pasien HIV/AIDS dalam
memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Pulosari Kabupaten Pemalang.
D.ManfaatPenelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah:
a.Bagi Dinas Kesehatan Sebagai masukan dalam menindak lanjuti pengembangan
sosialisasi program pencegahan penularan HIV sebagai masukan.
dalam meningkatkan upaya kerjasama guna meningkatkan efektifitas program layanan
VCT di Kabupaten Pemalang.
c. BagiPeneliti
1). Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain yang akan melakukan
penelitian terkait pemanfaatan layanan VCT.
2). Dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan terkait perilaku kesehatan yang telah
didapatkan di perkuliahan.
PEMBAHASAN
Voluntary Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan oleh World
Health Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th Regional Health Ministers’
lama setelah itu. Namun perundangan secara jelas yang mengatur tentang pemberlakuan
No. 1507 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelayanan dan Tseting HIV/AIDS secara Sukarela
(Depkes RI, 2005). Kini layanan VCT telah banyak dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia baik itu oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta, dimana pelayanan VCT
oleh pihak swasta telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 04 Tahun
2002 tentang Laboratorium Klinik Swasta (LKS) (Depkes RI, 2002). Selain itu aturan lain
mengenai Tim Pelatih Konseling dan Testing HIV Secara Sukarela diatur dalam
Provinsi Bali sendiri telah memiliki beberapa fasilitas layanan VCT yang tersebar
di 9 kabupaten/kota, salah satu layanan VCT yang terdapat di kota Denpasar adalah
layanan VCT di Yayasan Kerti Praja (YKP). YKP merupakan organisasi swasta non-profit
yang bergerak di bidang promosi kesehatan komunitas, deteksi dini penyakit dan prompt
utamanya berfokus pada infeksi HIV dan infeksi menular seksual (IMS). Sejak tahun
2000 YKP telah membuka klinik VCT terakreditasi pertama di Indonesia. Klinik VCT ini
terbuka untuk umum dan mengajak seluruh individu dengan tingakt risiko tinggi HIV
(utamanya pekerja seks) untuk melakukan test HIV reguler dan konseling setiap 2-3 bulan.
Hingga saat ini layanan VCT di Klinik Amertha YKP telah melayani total
17.010 klien dengan jumlah kasus negatif sebanyak 15.549 dan kasus positif
sebanyak 1.461.
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah suatu proses konseling terhadap
suatu individu sehingga individu tersebut memperoleh informasi dan dapat memutuskan
untuk melakukan tes HIV atau tidak, dimana keputusan yang diambil oleh individu
tersebut merupakan keinginan dari dalam dirinya sendiri tanpa paksaan dan hasil tes
sepenuhnya dirahasiakan dari pihak lain. Konseling dalam VCT merupakan kegiatan
berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke
konseling serta pemahaman akan HIV. Adapun pihak-pihak yang membutuhkan VCT
antara lain: mereka yang ingin mengetahui status HIVnya karena merasa telah melakukan
tindakan yang berisiko untuk tertular HIV, mereka yang telah tertular HIV dan
keluarganya, mereka yang membutuhkan VCT untuk kepentingan dinas atau pekerjaan,
serta mereka yang termasuk ke dalam kelompok berisiko tinggi. (UNAIDS, 2000).
Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini
berarti orang itu telah terinfeksi HIV. Kini berbagai varian tes antibodi
(ELISA), Western Blot dan tes lainnya yang prinsip penggunaannya lebih
mudah dan harga lebih terjangkau. Hasil test HIV dapat digolongkan ke
1. Non Reaktif
Hasil tes non reaktif menunjukkan bahwa tidak terdeteksi antibodi di
dalam darah. Hasil ini dapat mempunyai beberapa arti yakni individu
dalam kondisi ini individu tersebut berada dalam status window period
atau 6 berikutnya.
2. Reaktif
Hasil tes reaktif menunjukkan bahwa antibodi HIV terdeteksi di dalam
darah. Hasil ini menunjukkan bahwa individu dengan hasil tes HIV
reaktif berarti telah terinfeksi HIV, tetapi belum tentu individu tersebut
siapa saja yang boleh mengetahui hasil tes. Sedangkan untuk hasil tes
3. Intermediate
Hasil tes intermediate menunjukkan hal sebagai berikut: individu
Salah satu teori mengenai status kesehatan dicetuskan oleh Hendrik L. Blum,
status kesehatan masyarakat atau perorangan ditentukan oleh empat faktor. Faktor
pertama yakni faktor lingkungan yang memiliki pengaruh terbesar yakni sebesar 45%.
Yang kedua yakni faktor perilaku berpengaruh sebesar 30%, karena sehat atau tidaknya
perilaku manusia itu sendiri. Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang
yang terakhir dan sekaligus memberikan pengaruh paling kecil yakni keturunan (genetik)
yang merupakan faktor yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir berperan sebesar 5%
saja (Sudarma, 2008). Bila status HIV positif dihubungkan dengan teori Blum, maka
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap status HIV seseorang adalah sebagai berikut:
1. Faktor Lingkungan
Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor lingkungan dan berhubungan dengan
status HIV positif seseorang, meliputi individu itu sendiri dan karakteristik
wilayah tempat tinggal dan suku atau asal seseorang. Penjelasan lebih lanjut
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tertentu memiliki
dilakukan oleh Jilia Roza pada klien VCT di RSUD Mandau Riau
menyebutkan bahwa dari total 38 klien VCT dengan status HIV 36 orang atau
Penelitian lainnya dilakukan oleh Hutapea dkk pada pasien dengan status
pada kelompok umur 30-39 tahun yakni sebesar 58,6% (Hutapea dkk, 2012).
dengan tahun 2006 jumlah orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) pada
kelompok umur 15-49 tahun (dewasa) adalah sebesar 37,2 juta atau 94,2%
dari jumlah total 39,5 juta. Data-data tersebut menunjukkan bahwa proporsi
klien VCT dengan status HIV positif terbanyak berada pada kelompok usia
produktif hal ini berarti usia produktif memiliki peran besar dalam penularan
sebelumnya yang tidak condong terhadap salah satu gender seperti misalnya
penelitian oleh Hutapea dkk pada klien VCT di RSU HKBP Baliage
menunjukkan bahwa dari 145 sampel klien dengan status HIV positif
ditemukan bahwa sebanyak 109 orang atau 75,2% berjenis kelamin laki-laki
(Hutapea dkk, 2012). Sedangkan menurut WHO proporsi antara laki-laki dan
menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 39% kasus baru HIV/AIDS
untuk perempuan dan sebesar 61% untuk laki-laki. Namun hingga Desember
meskipun proporsi tetap lebih banyak pada jenis kelamin pria namun terdapat
peningkatan kasus baru pada jenis kelamin wanita dari semula 39% menjadi
44% dimana perempuan lebih rentan untuk terjangkit HIV karena peran
Indonesia, 2012).
c. Status Perkawinan
Perkawinan merupakan hubungan Berdasarkan penelitian Roza pada klien
VCT RSUD Mandau Riau pada tahun 2012 dimana dari 38 klien dengan
status HIV positif klien dengan status perkawinan menikah memiliki proporsi
terbanyak untuk status HIV positif yakni sebesar 4,4% (Roza, 2013).
Penelitian lainnya adalah oleh Hutapea pada klien VCT RSUD Baliage
menunjukkan bahwa dari 145 sampel dengan status HIV positif dari tahun
2012). Faktor risiko HIV terkait dengan status perkawinan adalah masalah
istri yang mendapat transmisi dari suaminya, akibat suami yang tidak setia
peningkatan kasus baru HIV pada anak seiring dengan meningkatnya kasus
d. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang,
tentang HIV. Studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di
distrik Rakai, Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan
bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan dengan status HIV
dimana dari 389 sampel dengan status HIV positif sebanyak 203 sampel
2011) Hal ini menguatkan hasil penelitian oleh Suarmiartha (dalam Gunawan,
tetap (Gunawan, 2001). Studi lainnya yakni oleh Hutapea dkk pada klien
VCT RSUD Baliage menunjukkan dari 145 sampe dengan HIV positif
f. Tingkat Penghasilan
Menurut studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di distrik
Rakai, Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan bahwa
terdapat korelasi positif antara tingkat penghasilan dengan status HIV dimana
dari 389 sampel dengan status HIV positif sebanyak 199 sampel tergolong ke
(Kirunga&Notzi, 1997).
bila dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan yang masih kental dan kuat
dalam menganut norma dan etika, sehingga hal ini berhubungan dengan
(Roza, 2014)
2. Faktor Perilaku
Perilaku merupakan suatu kegiatan aktifitas organisme atau makhluk hidup yang
disebaarkan melalui perilaku seksual. Faktor perilaku yang berhubungan status HIV
positif seseorang merupakan perilaku individu yang tergolong ke dalam perilaku berisiko
tertular HIV/AIDS. Perilaku berisiko tersebut dapat kita bagi sebagai berikut:
dalam subjek-subjek rentan untuk tertular HIV seperti contoh pekerja seks,
waria, gay, gigolo, laki-laki pembeli seks maupun istri dengan pasangan yang
telah terinfeksi HIV. Data oleh Unicef Indonesia menunjukkan bahwa pada
dari setengah pengguna narkoba suntik yakni 41% yang secara konsisten
hubungan seksual komersial terakhir mereka. Sekitar 40% laki-laki usia subur
yang berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan menyatakan tidak
ini menunjukkan kelompok dengan risiko tinggi tidak diikuti dengan perilaku
untuk melakukan seks yang aman (dengan menggunakan kondom) dan hal ini
b. Transmisi Penularan
Transmisi penularan HIV berkaitan erat dengan etiologi seseorang terinfeksi
HIV yakni: melakukan seks vaginal berisiko, melakukan seks anal berisiko,
perinatal dari ibu ke anak. Penelitian oleh Hutapea dkk pada klien VCT di
RSUD Baliage menunjukkan dari 145 sampel positif HIV AIDS proporsi
transfusi darah, dan 2,59% tidak diketahui sebabnya (Ditjen PP&PL Depkes
RI, 2006). Data lainnya yakni dari Unicef Indonesia menunjukkan pada tahun
narkoba suntik, 22% pada waria transgender, 10% pada perempuan pekerja
seks dan 8,5% pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
c. Orientasi seksual
Orientasi seksual merupakan pola ketertarikan seksual emosional terhadap
menunjukkan dari 145 sampel positif HIV sebanyak 66,9% memiliki orientasi
Gangamma dkk mengenai risiko HIV pada pemuda pemudi gay, lesbian,
memiliki partner hubungan seks lebih dari satu orang, yaitu 72,0% memiliki
yakni 68,3% hanya memiliki satu orang partner hubungan seksual. Hal ini
negara. Karena tingkat pelayanan kesehatan berbanding lurus dengan derajat kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan terdiri atas empat hal yakni dari segi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Layanan kesehatan untuk kasus HIV/AIDS sendiri
Berkesinambungan (LKB) HIV dimana telah mencakup keempat lini layanan kesehatan
yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terdiri atas: kegiatan Komunikasi
pengendalian faktor risiko, layanan VCT, pencegahan penularan dari Ibu ke anak (PPIA),
pengurangan dampak buruk NAPZA, pencegahan penularan melalui donor darah serta
4. Faktor Genetik
Faktor genetik berperan penting dalam transmisi HIV/AIDS sebab salah satu
etiologi dari infeksi HIV adalah transmisi perinatal yakni dari ibu ke anak, dimana
apabila seorang ibu telah terjangkit virus HIV dan kemudian melahirkan bayi secara
normal serta terjadi kontak cairan tubuh maka anak tersebut juga akan terkena infeksi
Konsep penting
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan berjalannya waktu perkembangan HIV/AIDS semakin meningkat untuk
membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular HIV menurun, maka pemerintah
membuka layanan voluntary counseling and testing. Voluntary counseling and testing terdiri dari
tiga tahap, yaitu Pertama, Konseling Pra Testing. Konseling Pra Testing, yaitu konseling yang
dilakukan sebelum seseorang melakukan tes HIV yang bertujuan untuk membantu klien dalam
membuat keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak, dengan
sebelumnya memberikan informasi tentang tes HIV dan HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA