Disusun Oleh:
UPIK DYAN PALUPI
202001110
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini disusun untuk memenuhi Tugas
Praktek Klinik Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri pada tanggal 25 Oktober
– 6 November 2021 telah diperiksa, dievaluasi, dan disetujui oleh penguji institusi
Program Studi Alih Jenjang XII Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri.
Mahasiswa Penguji
TOTAL
NILAI NILAI
NO. ELEMEN TT Preceptor
(0-100)
Laporan Pendahuluan
1.
(LP)
2. Asuhan Keperawatan
3. Responsi (.....................................)
TOTAL
NILAI NILAI
NO. ELEMEN TT Preceptor
(0-100)
Penguasaan konsep
1.
Perasat/Skill
Responsi Prosedur/
2. (.....................................)
SOP Perasat
LAPORAN PENDAHULUAN
TYPHOID ABDOMINALIS
Tanda dan gejala klinis penyakit typhoid sangat bervariasi, dari gejala yang
ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas
(sindrom typhoid) sampai dengan gejala klinis berat yang sisertai komplikasi.
Berdasarkan daerah atau negara serta menurut watu di negara berkembang
dapat berbeda dengan negara yang maju, tanda dan gejalaklinis yang timbul.
Tanda dan Gejala Klinis yang sering muncul pada typhoid meliputi :
1. Demam (peningkatan suhu tubuh)
Demam atau peningkatan suhu tubuh adalah gejala utama pada typhoid. Apa
awalnya penerita mengalami demam ringan, selanjutnya suhu tubuh sering
naik turun. Pada pagi hari suhu tubuh lebih rendang atau normal dari pada
sore hari dan malam hari suhu tubuh lebih tinggi (demam intermitten). dari
hari ke hari intensitas demam pada penderita semakin tinggi disertai juga
dengan gejala klinis lainnya seperti sakit kepala (pusing) yang sering
dirasakan pada area frontal, nyeri pada otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam pada
penderita semakin tinggi, kadang pula terus menerus (demam kontinue).
ketika kondisi pasien mulai membaik pada minggu ke-3 suhu badan
berangsur menurun dan padat normal kembali pada minggu ke-3 akhir.
Demam yang khas pada typhoid tersebut tidak selalu ada, tipe demam
menjadi tidak beraturan, hal ini dikarenakan intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, saat
demamtinggi sangat rentang terjadi kejang.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada pasien typhoid sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena
adanya demam yang terlalu lama. Mukosa bibir kering, kadang pecah-pecah,
dan lidah terlihat kotor pucat. Ujung dan tepi pada lidah kemerahan dan
tremor (coated tongue/selaput putih). Pada anak jarang ditemukan, dan pada
umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama pada regio
epigastrik (nyeri ulu hati), desertai dengan mual dan juga muntah. Pada
awalnya pasiena sering mengalami konstipasi. Pada minggu berikutnya
pasien terkadang mengalami diare.
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran, kebanyakan berupa penurunan
kesadaran yang ringan. Sering didapatkan penurunan kesadaran apatis
dengan kesadaran seperti berkabut. Apabila gejala klinis yang timbul sangat
berat tidak jarang pasien sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-
gejala klinis seperti psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada pasien
dengan toksik gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Gejala klinis pada hati atau limpa ditemukan adanya pembesaran, dan
adanya nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif
Pada pasien typhoid, bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin
kerana teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif yaitu
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi.
Bahwa setiap peningkatan suhu 1⁰C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi
8 denyut dalam 1 menit. Gejala lain yang timbul dapt ditemukan pada
typhoid yaitu rose spot (bintik merah) yang biasanya ditemukan diregio
abdomen atas, serta sudamina, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan
dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangatlah jarang
ditemukan, yang lebih sering yaitu epitaksis (gangguan rongga hidung yang
ditandai dengan keluarnya darah dari lubang hidung).
1.1.5 PATOFISIOLOGI
Penularan bakteri Salmonella typhi biasanya dapat tertularkan melalui berbagai
cara, diantaranya yaitu yang dikenal dengan 5F, Food (makanan), Fingers (jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan juga dapat melalui feses. Feses
dan muntah pada seseorang dengan penderita typhoid dapat menularkan kuman
Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara Fly (lalat), dimana lalat akan hinggap dimakanan atau minuman yang
akan dikonsumsi oleh seseorang yang sehat. Apabila seseorang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan dan
makanan yang tercemar bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh
seseorang yang mengonsumsi makanan tersebut melalui mulut. (Sodikin, 2011).
Kemudian bakteri Salmonella typhi tersebut masuk ke dalam lambung,
sebagian bakteri yang masuk akan dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian
lainnya masuk ke dalam usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid
(plak peyer). Di dalam jaringan limpoid bakteri akan berkembang biak, melalui
saluran limfe mesenterik lalu masuk ke aliran darah sistemik (bakterimia I) dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa
inkubasi 7-14 hari. Kemudian dari jaringan ini bakteri dilepas ke sirkulasi
sistemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ
tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.
Bakteri Samonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks
lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis typhoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana
bakteri Salmonella typhi berkembang biak. Sebagai stimulator yang kuat untuk
memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di jaringan yang
meradang..
Sitokin ini merupakan mediator timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflamatory). oleh karena itu bakteri Salmonella typhi bersifat intraseluler
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul infeksi. Kelainan patologis yang utama
terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar
plak peyer. Pada minggu pertama, plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut
menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya
terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang
merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel
limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan rekulo endotelial lain sperti limpa dan kelenjar
mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada
organ tubuh lainnya seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak.
Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses-abses pada
banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis, arthritis septik,
pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan tempat yang
disenangi bakteri Salmonella typhi. Bila penyembuhan tidak sempurna bakteri
Salmonella typhi tetap bertahan dikandung empedu, mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi carier intestinal.
Demikian pula dengan ginjal dapat mengandung bakteri dalam waktu lama
sehingga juga dapat menjadi karier (Urinary carrier) yang memungkinkan
penderita mengali kekambuhan (Relaps). Semula disangka demam dan gejala
toksemia pada typhoid sisebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan
penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia buakn merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endoktoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus.
Demam ini disebabkan karena adanya bakteri Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang.
1.1.7 PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSIS
Menurut Muttaqin, (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien demam thypoid antara lain sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Untuk mengindentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorspi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam pendarahan darah. Leukopenia
dengan jumlah lekosit antara 3000- 4000 mm3 ditemukan pada fase
demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.
Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinophil dari darah tepi. Trombositopenia
terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin laju
endap darah meningkat.
2) Pemeriksaan Leukosit
Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan
darah tepi dalam batas normal, malahan kadang terdapat leukositosis,
walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
3) Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak dapat memerlukan
penanganan khusus.
4) Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan
pada usus dan perforasi.
5) Tes widal
Tes widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan ati bodi
(aglutinin). Agglutinin yang spesifik terhadap sallmonela terdapat dalam
serum pasien demam thypoid, juga pada orang yang pernah ketularan
salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam
thypoid. Anti gen yang digunakan pada tes widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud tes
widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam thypoid. Akibat infeksi oleh kuman
salmonella, pasien membuat anti bodi (agglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella
kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang ditentukan
tinternya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, kemungkinan makin
besar pasien menderita demam thypoid. Pada pasien yang aktif, titer uji
widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
paling sedikit 5 hari.
6) Pemeriksaan Elisa Salmonella Typhi/ Paratyphi IgG dan IgM
Merupakan uju imonologi yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif
dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendeteksi Demam Typoid/
paratypoid. Sebagai tes cepat (rapid test) hasilnya juga dapat segera
diketahui. Diagnosis Demam Typoid/ paratypoid dinyatakan:
a. Bila IgM positif menandakan infeksi akut
b. Bila IgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/
reinfeksi/ daerah endemik.
Perlu diingat bahwa diagnosis demam tifoid tidak hanya berdasarkan
hasil pemeriksaan IgM anti Salmonellla semata, kita harus tetap
memperhatikan klinis pasien
7) Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam thypoid, tetapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan demam thypoid, karena pada pemeriksaan
minggu pertama penyakit berkurang dan pada minggu-minggu berikutnya
pada waktu kambuh biakan akan terjadi positif lagi.
8) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah adanya kelainan atau
komplikasi akibat demam thypoid.
1.1.8 PENATALAKSANAAN
Menurut Inawati(2017) pengobatan/penatalaksanaan pada penderita Demam
thypoid adalah sebagai berikut
1. Penatalaksanaan medis
1) Pasien demam thypoid perlu dirawat, pasien harus mengalami tirah baring
ditempat tidur sampai minimal 7 sampai 14 hari. Maksud untuk tirah
baring ini adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi pendarahan usus
atau perforasi usus. Mobilisasi untuk pasien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihannya kekuatan pasien. Kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisi tubuhnya minimal 2 jam harus diubah-ubah
pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari terjadi adanya dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2) Diet dan terapi penunjang
Diet makanan untuk penderita demam thypoid ini harus mengandung
cukup intake cairan dan tinggi protein, serta rendah serat. Diet bertahap
untuk pasien demam thypoid diberi bubur, kemudian bubur kasar dan
akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dan diet tinggi serat akan meningkatkan kerja
usus sehingga resiko perforasi usus lebih kuat.
3) Pemberian obat
Terapi Obat-obatan atibiotika anti inflamasi dan anti piretik:
Pemberian antibiotika sangat penting dalam mengobati demam thypoid
karena semakin bertambahnya resitensi antibiotic, pemberihan terapi
empirik merupakan masalah dan kadang-kadang controversial.
Kebanyakan regimen antibiotik disertai dengan 20% kumat.
a. Amoksilin adalah obat kemampuan untuk menurunkan demam,
efektivitas amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol
dalam percepatan penurunan suhu tubuh sampai yang normal dan
tingkat kambuh. Dosis yang dianjurkan 100mg/kg/24 jam secara oral
dalam tiga dosis.
b. Kotimoksazol efektivitas kurang lebih sama dengan kloramfenikol.
Dosis yang dianjurkan orang dewasa 2x2 tablet, oral (1 tablet
mengandung 80mg) selama 10 hari.
c. Sefotaksim diberikan 200/kg/hari secara intervena tiap 6 jam dalam
dosis 12g/hari. Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefaloprin degan
spektrum garam negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme
gram positif. Sangat baik dalam kegiatan vitro S typhi dan salmonella
lain dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada demam thypoid.
d. Seftriaxsone dosis yang dianjurkan adalah 80mg/hari. IV atau IM. Satu
kali sehari selama 5 hari, penangkapan dinding sel bakteri sintesis,
yang menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefaloprin
dengan spektrum luas gram negatif aktivitas terhadap organisme gram
positif. Bagus aktivitas ini vitro terhadap S typhi dan salmonella
lainnya.
e. Dexametason 3 mg/kg untuk dosis awal, disertai dengan 1 mg/kg
setiap 6 jam selama 48 jam, memperbaiki angka ketahanan hidup
penderita syok, menjadi lemah stupor atau koma.
f. Anti inflamasi (anti radang). Yaitu kortikosteroid diberikan pada kasus
berat.
g. Dengan gangguan kesadaran. Dosis yang dianjurkan 1-3 mg/hari IV,
dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran membaik.
h. Antipiretik untuk menurunkan demam seperti paracetamol.
i. Antipiretik untuk menurunkan keluhan mual dan muntah.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut (Nugroho, 2011) tindakan keperawatan yang dilakukan untuk
pasien dengan demam thypoid antara lain:
1) Gangguan suhu tubuh (Hipertermi).
a. Kaji penyebab hipertermi
b. Jelaskan pada klien/keluarga pentingnya mempertahankan masukan
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi.
c. Ajarkan/lakukan upaya mengatasi hipertermi dengan kompres hangat,
sirkulasi cukup, pakaian longgar dan kering dan pembatasan aktivitas.
d. Jelaskan tanda-tanda awal hipertermi: kulit kemerahan, letih, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan.
2) Kebutuhan nutrisi dan cairan
a. Tentukan kebutuhan kalori harian yang realistis dan secara adekuat,
konsulkan pada ahli gizi.
b. Timbang BB secara berkala.
c. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat.
d. Ciptakan suasana yang membangkitkan selera makanan: tampilan pada
makanan, sajian makanan dalam keadaan hangat, makan secara
bersamaan, suasana yang tenang, lingkungan yang bersih.
e. Pertahankan kebersihan mulut sebelum dan sesudah makan.
1.1.9 KOMPLIKASI
Menurut Sodikin (2011) komplikasi biasanya terjadi pada usus halus, namun
hal tersebut jarang terjadi, apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak
maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat berupa sebagai
berikut, yaitu:
1. Perdarahan usus
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit perdarahan tersebut
sehingga dapat ditemukan jika dilakukan adanya pemeriksaan feses dengan
benzidin, jika pendarahan banyak maka dapat terjadi melena yang bisa
disertai nyeri pada perut dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus
biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian
usus distal ileum.
2. Perforasi
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat
udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rongten abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
3. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang (defebce musculair) dan adanya nyeri tekan.
Komplikasi ekstraintestinal diantaranya adalah:
1) Komplikasi kardiovaskuler: miakarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombusa penia dan sindrom urenia
hemolitik.
3) Komplikasi paru: pneumonia, emfiema, dan pleuritas.
4) Kompilkasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitaris.
5) Komplikasi ginjal: glumerulonetritis, prelene tritis, dan perine pitis.
6) Komplikasi tulang: ostieomilitis, spondylitis, dan oritis.
4. Komplikasi diluar usus
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bacteremia), yaitu meningitis,
kolesitisis, ensefalopati, dan lain-lain. Kumolikasi diluar usus ini terjadi
karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.
1.2.3 INTERVENSI
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang dikerjakan oleh
perawat didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
tujuan luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018; Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2018).
Diagnosa
No. SLKI SIKI
Keperawatan
1. Termoregulasi Tujuan: setelah dilakukan Regulasi Tempeatur
Tidak Efektif Tindakan keperawatan, Observasi:
(D.0149) bd diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh anak
fluktuasi suhu membaik. 2. Monitor tekanan darah,
lingkungan, proses Kritria Hasil: frekuensi pernapasan dan
penyakit/ inflamasi 1. Menggil menurun nadi
salmonella typhi 2. Kulit merah menurun 3. Monitor warna dan suhu
3. Vasokonstriksi perifer kulit
menurun 4. Monitor dan catat tanda
4. Pucat menurun
gejala hipertermia
5. Takikardia menurun
Terapeutik:
6. Suhu tubuh membaik
1. Tingkatkan asupan cairan
7. Suhu kulit membaik
dan nutrisi yang adekuat
8. Pengisian kapiler
2. Sesuaikan suhu lingkungan
membaik
9. Ventilasi membaik dengan kebutuhan pasien
10. Tekanan darah Kolaborasi:
membaik 1. Kolaborasi pemberian
antipiretik
Managemen Hipertermia
Observasi:
1. Identifikasi penyebab
hipertermia
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar eektrolit
4. Monitor haluaran urine
5. Monitor komplikasi akibat
hipertermia
Terapeutik:
1. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
2. Berikan cairan oral
3. Ganti linen setiap hari/
lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
4. Lakukan pendinginan
eksternal (mis. Kompres
pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
5. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi:
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu
Adriana. D. 2013. Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta: Selemba
Medika.
Anindita, Ade Yuvida (2020) Studi Literatur Perbandingan Efektifitas Pemberian
Kompres Hangat Dan Tepid Water Sponge Terhadap Penurunan Demam Pada
Pasien Typhoid Abdominalis. Diploma Thesis, Poltekkes Kemenkes Surabaya
Dinarti, & Muryanti, Y. 2017. Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi Keperawatan.
1– 172.
Ditjen PPM & PL Dan Pusdiklat SDM Kesehatan Depkes RI. 2016. Modul Pelatihan
Pengolahan Rantai Vaksin Program Imunisasi.
Dompas, R. 2014. Gambaran Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi Usia 0-12 Bulan.
Jurnal Ilmiah Bidan, 2(2).
Huges. 1999 (dalam Ismail, Andang. 2006). Education Games Menjadi Cerdas Dan
Ceria Dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media.
Hurlock. 2002. Psikologi Perkembangan (ed.5). Jakarta: Erlangga.
Kartika, Sari. 2015. Keperawatan Kesehatan: CMHM Basic Course. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pedoman Pelaksanaan: Stimulasi, Deteksi, Dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Depkes RI.
Mulyani, NS., & Rinawati, M. 2018. Imunisasi Untuk Anak. Jogjakarta: Nuha
Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis:
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus
(Jilid 2). Jogjakarta: Medication Publishing.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medical Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter dan Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 (Ed. 7). Jakarta: Salemba
Medika.
Price A. S & Wilson M. L, 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Ed.6). Jakarta: EGC.
Putri, N. K. S. W., Yaroseray, M. M., & Rohmani. (2018). Faktor Yang
Mempengaruhi Penularan Typhoid Abdominalis Pada Pasien Yang Berobat Di
Klinik Doa Bunda Kabupaten Jayapura. Jurnal Keperawatan Tropis Papua, 1.
Diambil dari http://jurnalpoltekkesjayapura.com/index.php/jktp
Rohmah, Nikmatur. 2018. Terapi Bermain. Jember: LPPM Universitas
Muhammdadiyah Jember.
Rubenstein, David. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.
Sabella, Okta (2021) Studi Literature : Efektivitas Kompres Hangat Pada Pasien
Typhoid Abdominalis Dengan Masalah Keperawatan Hipertermi. Tugas Akhir
(D3) thesis, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Smeltzer, S.C., and Bare, B.G. 2015. Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW.
Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I
Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagungseto.
Supartini. 2009. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta. EGC.
Taylor M. Cyntia, Ralhp Sparks Sheila. 2013. Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan, (Ed.10). Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Lauaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.