Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN TYPHOID ABDOMINALIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Keperawatan


Dosen Pembimbing Dina Zakiyatul F., S.Kep.,Ns.M.Kep

Disusun Oleh:
UPIK DYAN PALUPI
202001110

PROGRAM STUDI S1 ALIH JENJANG KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini disusun untuk memenuhi Tugas
Praktek Klinik Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri pada tanggal 25 Oktober
– 6 November 2021 telah diperiksa, dievaluasi, dan disetujui oleh penguji institusi
Program Studi Alih Jenjang XII Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri.

Nama : Upik Dyan Palupi


NIM : 202001110
Judul : Laporan Penahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Typhoid
Abdominalis

Kediri, Oktober 2021

Mahasiswa Penguji

Upik Dyan Palupi Dina Zakiyatul F., S.Kep.,Ns.M.Kep


LEMBAR PENILAIAN

Nama Mahasiswa : Upik Dyan Palupi


NIM : 202001110
Periode Praktik : Keperawatan Anak
Tanggal : 25 Oktober sd 30 Oktober 2021
Judul Askep : Laporan Penahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Typhoid Abdominalis

Nilai Supervisi Askep

TOTAL
NILAI NILAI
NO. ELEMEN TT Preceptor
(0-100)

Laporan Pendahuluan
1.
(LP)

2. Asuhan Keperawatan

3. Responsi (.....................................)

Nilai Supervisi Skill/SOP

TOTAL
NILAI NILAI
NO. ELEMEN TT Preceptor
(0-100)

Penguasaan konsep
1.
Perasat/Skill
Responsi Prosedur/
2. (.....................................)
SOP Perasat
LAPORAN PENDAHULUAN
TYPHOID ABDOMINALIS

1.1 KONSEP TYPHOID ABDOMINALIS


1.1.1 DEFINISI
Demam Thypoid merupakan penyakit infeksi menular yang terjadi pada anak
maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan yang biasanya banyak
terjadi pada anak usia 5-19 tahun. Penyakit ini berhubungan erat dengan
higiene perorangan dan sanitasi lingkungan (Dewi, 2011).
Typhoid Abdominalis adalah suatu penyakit yang kebanyakan menyerang
anak-anak pada usia sekolah, disebabkan oleh infeksi salmonella thypii ada
usus kecil dan aliran darah. Bakteri ini tercampur di dalam air kotor atau susu
dan makanan yang terinfeksi. Pada usus kecil akan timbul tukak, dan bakteri
kemudian masuk ke aliran darah. Masa tular antara satu atau dua minggu
(Irianto, 2014).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C. Penularan
typhoid abdominalis dapat melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Putri, Yaroseray,
& Rohmani, 2018)
Typhoid Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya menyerang saluran pencernaan dengan gejala demam lebih
dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran
(Anindita, 2020).
Thypoid Abdominalis adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella thypi. Demam thypoid ditandai dengan panas
berkepanjangan yang diikuti dengan bacteremia dan invasi bakteri salmonella
thypi sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limfa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (Sabella, 2021).
1.1.2 KLASIFIKASI
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan
perbedaan gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada
anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa
terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses
(WHO, 2003)
1.1.3 ETIOLOGI
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C.
Ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam
typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari
demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan
air kemih selama lebih dari 1 tahun, ini akan dapat menginfeksi orang lain.
Adapun beberapa macam dari salmonella typhi adalah sebagai berikut:
1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar,
tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu:
1) Antigen O (somatic, terdiri dari zat komplek liopolisakarida)
2) Antigen H (flagella)
3) Antigen K (selaput) dan protein membrane hialin.
2. Salmonella parathypi A
3. Salmonella parathypi B
4. Salmonella parathypi C
5. Feses dan urin yang terkontaminasi dari penderita typhoid (Rahmad Juwono,
2010)
1.1.4 MANIFESTASI KLINIS
Menurut (NANDA, 2015) :
1. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14hari.
2. Demam tinggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke 4, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala dan perut
6. Kembung, mual muntah diare dan konstipasi
7. Pusing, bradikardi, nyeri otot
8. Batuk
9. Epistaksis
10. Lidah berselaput (kotor ditengah, ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegali, splenomegali, meteroismus
12. Gangguan mental serta samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda
sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipertermia.
Periode infeksi demam tifoid, gejala, dan tanda
Keluhan dan Gejala Demam Tifoid
Minggu Keluhan Gejala Patologi
Ke 1 Pada umumnya demam berangsur Saluran Bakterimia.
naik, terutama pada sore hari dan pencernaan
malam hari.panas berlangsung
insidious, tipe panas stepladder
hingga mencapai 39-40⁰C. Dengan
keluhan dan gejala klinis suhu tubuh
meningkat, menggigil, nyeri kepala.
Ke 2 Demam, rash, nyeri pada abdomen, Rose spot,
Vaskulitis,
diare atau konstipasi, delirium. splenomegali, hiperplasi pada
hepatomegali peyer’s patches,
nodul typhoid pada
limpa dan hati.
Ke 3 Komplikasi, perdarahan saluran Melena, ilius, Ulserasi pada
cerna, perforasi, dan syok ketegangan peyer’s patches,
abdomen dan nodul typhoid pada
penurunan limpa dan hati.
kesadaran.
Ke 4 Keluhan pada pasien menurun, Tampak sakit Kolelitiasis, dan
relaps, dan mengalami penurunan berat, kakeksia carrier kronik.
pada BB

Tanda dan gejala klinis penyakit typhoid sangat bervariasi, dari gejala yang
ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas
(sindrom typhoid) sampai dengan gejala klinis berat yang sisertai komplikasi.
Berdasarkan daerah atau negara serta menurut watu di negara berkembang
dapat berbeda dengan negara yang maju, tanda dan gejalaklinis yang timbul.
Tanda dan Gejala Klinis yang sering muncul pada typhoid meliputi :
1. Demam (peningkatan suhu tubuh)
Demam atau peningkatan suhu tubuh adalah gejala utama pada typhoid. Apa
awalnya penerita mengalami demam ringan, selanjutnya suhu tubuh sering
naik turun. Pada pagi hari suhu tubuh lebih rendang atau normal dari pada
sore hari dan malam hari suhu tubuh lebih tinggi (demam intermitten). dari
hari ke hari intensitas demam pada penderita semakin tinggi disertai juga
dengan gejala klinis lainnya seperti sakit kepala (pusing) yang sering
dirasakan pada area frontal, nyeri pada otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam pada
penderita semakin tinggi, kadang pula terus menerus (demam kontinue).
ketika kondisi pasien mulai membaik pada minggu ke-3 suhu badan
berangsur menurun dan padat normal kembali pada minggu ke-3 akhir.
Demam yang khas pada typhoid tersebut tidak selalu ada, tipe demam
menjadi tidak beraturan, hal ini dikarenakan intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, saat
demamtinggi sangat rentang terjadi kejang.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada pasien typhoid sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena
adanya demam yang terlalu lama. Mukosa bibir kering, kadang pecah-pecah,
dan lidah terlihat kotor pucat. Ujung dan tepi pada lidah kemerahan dan
tremor (coated tongue/selaput putih). Pada anak jarang ditemukan, dan pada
umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama pada regio
epigastrik (nyeri ulu hati), desertai dengan mual dan juga muntah. Pada
awalnya pasiena sering mengalami konstipasi. Pada minggu berikutnya
pasien terkadang mengalami diare.
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran, kebanyakan berupa penurunan
kesadaran yang ringan. Sering didapatkan penurunan kesadaran apatis
dengan kesadaran seperti berkabut. Apabila gejala klinis yang timbul sangat
berat tidak jarang pasien sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-
gejala klinis seperti psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada pasien
dengan toksik gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Gejala klinis pada hati atau limpa ditemukan adanya pembesaran, dan
adanya nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif
Pada pasien typhoid, bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin
kerana teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif yaitu
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi.
Bahwa setiap peningkatan suhu 1⁰C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi
8 denyut dalam 1 menit. Gejala lain yang timbul dapt ditemukan pada
typhoid yaitu rose spot (bintik merah) yang biasanya ditemukan diregio
abdomen atas, serta sudamina, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan
dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangatlah jarang
ditemukan, yang lebih sering yaitu epitaksis (gangguan rongga hidung yang
ditandai dengan keluarnya darah dari lubang hidung).
1.1.5 PATOFISIOLOGI
Penularan bakteri Salmonella typhi biasanya dapat tertularkan melalui berbagai
cara, diantaranya yaitu yang dikenal dengan 5F, Food (makanan), Fingers (jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan juga dapat melalui feses. Feses
dan muntah pada seseorang dengan penderita typhoid dapat menularkan kuman
Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara Fly (lalat), dimana lalat akan hinggap dimakanan atau minuman yang
akan dikonsumsi oleh seseorang yang sehat. Apabila seseorang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan dan
makanan yang tercemar bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh
seseorang yang mengonsumsi makanan tersebut melalui mulut. (Sodikin, 2011).
Kemudian bakteri Salmonella typhi tersebut masuk ke dalam lambung,
sebagian bakteri yang masuk akan dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian
lainnya masuk ke dalam usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid
(plak peyer). Di dalam jaringan limpoid bakteri akan berkembang biak, melalui
saluran limfe mesenterik lalu masuk ke aliran darah sistemik (bakterimia I) dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa
inkubasi 7-14 hari. Kemudian dari jaringan ini bakteri dilepas ke sirkulasi
sistemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ
tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.
Bakteri Samonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks
lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis typhoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana
bakteri Salmonella typhi berkembang biak. Sebagai stimulator yang kuat untuk
memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di jaringan yang
meradang..
Sitokin ini merupakan mediator timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflamatory). oleh karena itu bakteri Salmonella typhi bersifat intraseluler
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul infeksi. Kelainan patologis yang utama
terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar
plak peyer. Pada minggu pertama, plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut
menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya
terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang
merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel
limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan rekulo endotelial lain sperti limpa dan kelenjar
mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada
organ tubuh lainnya seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak.
Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses-abses pada
banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis, arthritis septik,
pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan tempat yang
disenangi bakteri Salmonella typhi. Bila penyembuhan tidak sempurna bakteri
Salmonella typhi tetap bertahan dikandung empedu, mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi carier intestinal.
Demikian pula dengan ginjal dapat mengandung bakteri dalam waktu lama
sehingga juga dapat menjadi karier (Urinary carrier) yang memungkinkan
penderita mengali kekambuhan (Relaps). Semula disangka demam dan gejala
toksemia pada typhoid sisebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan
penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia buakn merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endoktoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus.
Demam ini disebabkan karena adanya bakteri Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang.
1.1.7 PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSIS
Menurut Muttaqin, (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien demam thypoid antara lain sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Untuk mengindentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorspi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam pendarahan darah. Leukopenia
dengan jumlah lekosit antara 3000- 4000 mm3 ditemukan pada fase
demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.
Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinophil dari darah tepi. Trombositopenia
terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin laju
endap darah meningkat.
2) Pemeriksaan Leukosit
Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan
darah tepi dalam batas normal, malahan kadang terdapat leukositosis,
walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
3) Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak dapat memerlukan
penanganan khusus.
4) Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan
pada usus dan perforasi.
5) Tes widal
Tes widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan ati bodi
(aglutinin). Agglutinin yang spesifik terhadap sallmonela terdapat dalam
serum pasien demam thypoid, juga pada orang yang pernah ketularan
salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam
thypoid. Anti gen yang digunakan pada tes widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud tes
widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam thypoid. Akibat infeksi oleh kuman
salmonella, pasien membuat anti bodi (agglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella
kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang ditentukan
tinternya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, kemungkinan makin
besar pasien menderita demam thypoid. Pada pasien yang aktif, titer uji
widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
paling sedikit 5 hari.
6) Pemeriksaan Elisa Salmonella Typhi/ Paratyphi IgG dan IgM
Merupakan uju imonologi yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif
dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendeteksi Demam Typoid/
paratypoid. Sebagai tes cepat (rapid test) hasilnya juga dapat segera
diketahui. Diagnosis Demam Typoid/ paratypoid dinyatakan:
a. Bila IgM positif menandakan infeksi akut
b. Bila IgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/
reinfeksi/ daerah endemik.
Perlu diingat bahwa diagnosis demam tifoid tidak hanya berdasarkan
hasil pemeriksaan IgM anti Salmonellla semata, kita harus tetap
memperhatikan klinis pasien
7) Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam thypoid, tetapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan demam thypoid, karena pada pemeriksaan
minggu pertama penyakit berkurang dan pada minggu-minggu berikutnya
pada waktu kambuh biakan akan terjadi positif lagi.
8) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah adanya kelainan atau
komplikasi akibat demam thypoid.
1.1.8 PENATALAKSANAAN
Menurut Inawati(2017) pengobatan/penatalaksanaan pada penderita Demam
thypoid adalah sebagai berikut
1. Penatalaksanaan medis
1) Pasien demam thypoid perlu dirawat, pasien harus mengalami tirah baring
ditempat tidur sampai minimal 7 sampai 14 hari. Maksud untuk tirah
baring ini adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi pendarahan usus
atau perforasi usus. Mobilisasi untuk pasien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihannya kekuatan pasien. Kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisi tubuhnya minimal 2 jam harus diubah-ubah
pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari terjadi adanya dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2) Diet dan terapi penunjang
Diet makanan untuk penderita demam thypoid ini harus mengandung
cukup intake cairan dan tinggi protein, serta rendah serat. Diet bertahap
untuk pasien demam thypoid diberi bubur, kemudian bubur kasar dan
akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dan diet tinggi serat akan meningkatkan kerja
usus sehingga resiko perforasi usus lebih kuat.
3) Pemberian obat
Terapi Obat-obatan atibiotika anti inflamasi dan anti piretik:
Pemberian antibiotika sangat penting dalam mengobati demam thypoid
karena semakin bertambahnya resitensi antibiotic, pemberihan terapi
empirik merupakan masalah dan kadang-kadang controversial.
Kebanyakan regimen antibiotik disertai dengan 20% kumat.
a. Amoksilin adalah obat kemampuan untuk menurunkan demam,
efektivitas amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol
dalam percepatan penurunan suhu tubuh sampai yang normal dan
tingkat kambuh. Dosis yang dianjurkan 100mg/kg/24 jam secara oral
dalam tiga dosis.
b. Kotimoksazol efektivitas kurang lebih sama dengan kloramfenikol.
Dosis yang dianjurkan orang dewasa 2x2 tablet, oral (1 tablet
mengandung 80mg) selama 10 hari.
c. Sefotaksim diberikan 200/kg/hari secara intervena tiap 6 jam dalam
dosis 12g/hari. Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefaloprin degan
spektrum garam negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme
gram positif. Sangat baik dalam kegiatan vitro S typhi dan salmonella
lain dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada demam thypoid.
d. Seftriaxsone dosis yang dianjurkan adalah 80mg/hari. IV atau IM. Satu
kali sehari selama 5 hari, penangkapan dinding sel bakteri sintesis,
yang menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefaloprin
dengan spektrum luas gram negatif aktivitas terhadap organisme gram
positif. Bagus aktivitas ini vitro terhadap S typhi dan salmonella
lainnya.
e. Dexametason 3 mg/kg untuk dosis awal, disertai dengan 1 mg/kg
setiap 6 jam selama 48 jam, memperbaiki angka ketahanan hidup
penderita syok, menjadi lemah stupor atau koma.
f. Anti inflamasi (anti radang). Yaitu kortikosteroid diberikan pada kasus
berat.
g. Dengan gangguan kesadaran. Dosis yang dianjurkan 1-3 mg/hari IV,
dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran membaik.
h. Antipiretik untuk menurunkan demam seperti paracetamol.
i. Antipiretik untuk menurunkan keluhan mual dan muntah.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut (Nugroho, 2011) tindakan keperawatan yang dilakukan untuk
pasien dengan demam thypoid antara lain:
1) Gangguan suhu tubuh (Hipertermi).
a. Kaji penyebab hipertermi
b. Jelaskan pada klien/keluarga pentingnya mempertahankan masukan
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi.
c. Ajarkan/lakukan upaya mengatasi hipertermi dengan kompres hangat,
sirkulasi cukup, pakaian longgar dan kering dan pembatasan aktivitas.
d. Jelaskan tanda-tanda awal hipertermi: kulit kemerahan, letih, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan.
2) Kebutuhan nutrisi dan cairan
a. Tentukan kebutuhan kalori harian yang realistis dan secara adekuat,
konsulkan pada ahli gizi.
b. Timbang BB secara berkala.
c. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat.
d. Ciptakan suasana yang membangkitkan selera makanan: tampilan pada
makanan, sajian makanan dalam keadaan hangat, makan secara
bersamaan, suasana yang tenang, lingkungan yang bersih.
e. Pertahankan kebersihan mulut sebelum dan sesudah makan.
1.1.9 KOMPLIKASI
Menurut Sodikin (2011) komplikasi biasanya terjadi pada usus halus, namun
hal tersebut jarang terjadi, apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak
maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat berupa sebagai
berikut, yaitu:
1. Perdarahan usus
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit perdarahan tersebut
sehingga dapat ditemukan jika dilakukan adanya pemeriksaan feses dengan
benzidin, jika pendarahan banyak maka dapat terjadi melena yang bisa
disertai nyeri pada perut dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus
biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian
usus distal ileum.
2. Perforasi
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat
udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rongten abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
3. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang (defebce musculair) dan adanya nyeri tekan.
Komplikasi ekstraintestinal diantaranya adalah:
1) Komplikasi kardiovaskuler: miakarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombusa penia dan sindrom urenia
hemolitik.
3) Komplikasi paru: pneumonia, emfiema, dan pleuritas.
4) Kompilkasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitaris.
5) Komplikasi ginjal: glumerulonetritis, prelene tritis, dan perine pitis.
6) Komplikasi tulang: ostieomilitis, spondylitis, dan oritis.
4. Komplikasi diluar usus
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bacteremia), yaitu meningitis,
kolesitisis, ensefalopati, dan lain-lain. Kumolikasi diluar usus ini terjadi
karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TYPHOID ABDOMINALIS


PADA ANAK
1.2.1 PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah pertama dalam mengidentifikasi diagnosis
keperawatan dan perencanaan asuhan bagi setiap dewasa. Riwayat keperawatan
awal masuk adalah pengumpulan data yang sistemik tentang anak dan keluarga
yang memungkinkan perawat untuk memecahkan asuhan keperawatan (Wong,
2009). Adapun yang perlu dikaji pada klien dengan thypoid adalah:
1. Data umum identitas klien
Penyakit ini sering ditemukan pada semua usia dari bayi di atas satu tahun
hingga dewasa. Dalam data umum ini meliputi nama klien, jenis kelamin,
alamat, agama, bahasa yang dipakai, suku, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal MRS dan
diagnosa medis (wahid,2013).
2. Kesehatan umum
1) Keluhan utama
Merupakan alasan utama masuk rumah sakit atau keluhan utama klien
masuk dengan menderita demam thypoid yaitu alasan spesifik untuk
kunjungan klinik atau rumah sakit. Dengan adanya berbagai keluhan
tersebut dapat dipandang sebagai topik dari penyakit saat ini sebagai
deskripsi masalah tersebut (Wong, 2009). Pada klien penderita demam
thypoid keluhan utama yang akan muncul berupa demam tinggi
(hipertermi) yang berkepanjangan, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing, dan kurang bersemangat, serta nafsu makan berkurang
(terutama pada masa inkubasi) (Sodikin, 2011).
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan keluhan utama dari paling awal
saat dirumah, lalu saat di rumah sakit, pada saat pengkajian dan sampai
perkembangan saat ini yang membantu untuk membuat rencana tindakan
keperawatan (Wong, 2009).
Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu, bersifat
febris, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama suhu
tubuh berangsur-angsur baik pada setiap harinya, biasanya menurun pada
pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu
kedua, pasien terus berada dalam keadan demam. Saat minggu ketiga,
suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga
(Sodikin, 2011).
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu merupakan berisi tentang informasi yang
berhubungan dengan adanya semua aspek status kesehatan klien yang
telah ada sebelumnya dan memfokuskan untuk beberapa area yang
umumnya dihilangkan dalam pengkajian riwayat orang dewasa, seperti
riwayat kelahiran, riwayat pemberian makanan secara rinci, imunisasi dan
pertumbuhan dan perkembangan (Wong, 2010).
Untuk mengetahui lebih lanjut riwayat dahulu apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami sakit thypoid, sebelumnya masuk rumah sakit dan juga
untuk mengetahui adanya relaps.
4) Riwayat penyakit keluarga
Pada saat pengkajian perlu ditanyakan pada pasien maupun anggota
keluarga apakah sebelumnya ada keluarga yang menderita demam
thypoid sehingga bisa terjadi adanya penularan.
3. Pola Kesehatan Sehari-hari
1) Nutrition
Kecenderungan berat badan penderita demam thypoid ini akan
mengalami perubahan terjadinya berat badan karena mengalami
penurunan nafsu makan. Pada penderita pasien demam thypoid ini yang
akan dirasakannya berupa gejala yang muncul yaitu rasa mual, muntah,
anorexia kemungkinan juga nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(Nugroho, 2011)
2) Elimination and Change
Pada demam thypoid ini biasanya terjadi konstipasi dan diare atau
mungkin normal. Pada sistem integument dengan demam thypoid
ditemukan gejala seperti dada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan reseola (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam
kepiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam
(Sodikin, 2011).
3) Activity/Rest
Data yang sering muncul pada pasien demam thypoid adalah mengalami
kesulitan untuk tidur karena adanya peningkatan suhu tubuh sehingga
pasien merasa gelisah pada saat untuk beristirahat ataupun saatnya untuk
tidur. Klien mengalami penurunan pada aktivitas. Karena badan klien
sangat lemah dan klien dianjurkan istirahat karena adanya peningkatan
suhu tubuh yang berkepanjangan.
4) Personal Hygiene
Untuk memenuhi kebutuhan kebersihan badan pasien demam thypoid ini
akan di bantu oleh keluarga atau perawat, karena pasien merasa lemas
sehingga menghambat dalam melakukan kegiatan perawatan badan.
4. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Pasien lemas dan akral panas
2) Tingkat kesadaran : Perlu di observasi karna akan mengalami penurunan
kesadaran seperti apatis atau samnollen walaupun tidak merosot.
3) TTV : Tekanan darah pada penderita demam thypoid normal
110/80-120/80 mmHg, dan suhu tubuh akan menigkat yang disebabkan
oleh salmonella thypi hingga 390C-400C , respirasi akan mengalami
peningkatan atau tidak karna pasien demam thypoid bisa mengalami
sesak nafas, nadi akan normal/tidak.
4) Pemeriksaan kepala
Inspeksi: bentuk simetris, tidak terdapat lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
5) Pemeriksaan mata
Inspeksi: konjungtiva anemis
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
6) Pemeriksaan hidung
Inspeksi: tidak terdapat cuping hidung
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
7) Pemeriksaan mulut dan Faring
Inspeksi: mukosa bibir pecah-pecah dan kering, ujung lidah kotor dan
tepinya berwarna kemerahan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
8) Pemeriksaan thorax
a. Pemeriksaan paru
Inspeksi: respirasi rate mengalami peningkatan Palpasi: tidak adanya
nyeri tekan
Perkusi : paru sonor
Auskultasi: tidak terdapat suara tambahan
b. Pemeriksaan jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak nampak, tidak adanya pembesaran
Palpasi: biasanya pada pasien dengan demam thypoid ini ditemukan
tekanan darah yang meningkat akan tetapi didapatkan takikardi saat
pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
Perkusi: suara jantung pekak
Auskultasi: suara jantung BJ 1”LUB” dan BJ 2”DUB” terdengar
normal, tidak terdapat suara tambahan.
9) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi: bentuk simetris
Auskultasi: bising usus biasanya diatas normal (5-35x/menit)
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada bagian epigastrium
Perkusi: hipertimpani
10) Pemeriksaan integument
Inspeksi: terdapat bintik-bintik kemerahan pada punggung dan
ekstermitas, pucat, berkeringat banyak
Palpasi: turgor kulit, kulit kering, akral teraba hangat
11) Pemeriksaan anggota gerak
Kekuatan otot menurun, kelemahan pada anggota gerak atas maupun
bawah
12) Pemeriksaan genetalia dan sekitar anus
Pada penderita demam thypoid ini biasanya kadang-kadang terjadi diare
atau konstipasi, produksi kemih pasien akan mengalami penurunan.
5. Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakan diagnosis penyakit demam thypoid, perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium yang mencangkup pemeriksaan- pemeriksaan
sebagai berikut:
1) Tepi darah
2) Terdapat gambaran leukopenia.
3) Limfosiotis relative.
4) Emeosinofila pada permulaan sakit.
5) Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Hasil pemeriksaan ini berguna untuk membantu menentukan penyakit secara
tepat.
1) Pemeriksaan widal
Pemeriksaan positif apabila terjadi reaksi aglutinasi. Apabila titer lebih
dari 1/80, 1/160 dan seterusnya, maka hal ini menunjukan bahwa semakin
kecil titrasi berarti semakin berat penyakitnya.
2) Pemeriksaan darah untuk kultur.
1.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Termoregulasi Tidak Efektif (D.0149) bd fluktuasi suhu lingkungan, proses
penyakit
2. Nyeri Akut (D.0077) bd proses peradangan
3. Defisit nutrisi (D.0019) bd intake yang tidak adekuat
4. Hipovolemi (D.0023) bd intake yang tidak adekuat dan peningkatan suhu
tubuh
5. Diare (D.0020) bd proses inflamasi lokal pada usus halus.

1.2.3 INTERVENSI
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang dikerjakan oleh
perawat didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
tujuan luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018; Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2018).
Diagnosa
No. SLKI SIKI
Keperawatan
1. Termoregulasi Tujuan: setelah dilakukan Regulasi Tempeatur
Tidak Efektif Tindakan keperawatan, Observasi:
(D.0149) bd diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh anak
fluktuasi suhu membaik. 2. Monitor tekanan darah,
lingkungan, proses Kritria Hasil: frekuensi pernapasan dan
penyakit/ inflamasi 1. Menggil menurun nadi
salmonella typhi 2. Kulit merah menurun 3. Monitor warna dan suhu
3. Vasokonstriksi perifer kulit
menurun 4. Monitor dan catat tanda
4. Pucat menurun
gejala hipertermia
5. Takikardia menurun
Terapeutik:
6. Suhu tubuh membaik
1. Tingkatkan asupan cairan
7. Suhu kulit membaik
dan nutrisi yang adekuat
8. Pengisian kapiler
2. Sesuaikan suhu lingkungan
membaik
9. Ventilasi membaik dengan kebutuhan pasien
10. Tekanan darah Kolaborasi:
membaik 1. Kolaborasi pemberian
antipiretik
Managemen Hipertermia
Observasi:
1. Identifikasi penyebab
hipertermia
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar eektrolit
4. Monitor haluaran urine
5. Monitor komplikasi akibat
hipertermia
Terapeutik:
1. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
2. Berikan cairan oral
3. Ganti linen setiap hari/
lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
4. Lakukan pendinginan
eksternal (mis. Kompres
pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
5. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi:
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu

2. Nyeri Akut Tujuan: setelah dilakukan Managemen Nyeri


(D.0077) bd proses Tindakan keperawatan, Observasi:
peradangan diharapkan kontrol nyeri 1. Identifikasi karakteristik,
meningkat. durasi, frekuensi, kualitas,
Kritria Hasil: intensitas nyeri
1. Melaporkan nyeri 2. Idntifikasi skala nyeri
terkontrol meningkat 3. Identifikasi faktor yang
2. Kemampuan memperberat dan
menggunakan teknik memperingan nyeri
nonfarmakologis Terapeutik:
meningkat 1. Berikan teknik
3. Dukungan orang nonfarmakologis untuk
terdekat meningkat mengurangi rasa nyeri
4. Keluhan nyeri 2. Kontrol lingkunagn yang
menurun memperberat rasa nyeri
3. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
1. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
2. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. Defisit nutrisi Tujuan: setelah dilakukan Managemen Nutrisi
(D.0019) bd Tindakan keperawatan, Observasi:
intake yang tidak diharapkan fungsi 1. Identifikasi status nutrisi
adekuat gestrointestinal membaik 2. Identifikasi makanan yang
Kritria Hasil: disukai
1. Toleransi terhadap 3. Monitor asupan makanan
makanan meningkat 4. Monitor berat badan
2. Nafsu makan 5. Monitor hasil pemeriksaan
meningkat laboratorium
3. Mual menurun Terapeutik:
4. Muntah menuun 1. Sajikan makanan secara
5. Nyeri abdomen menarik dan suhu yang
menurun sesuai
6. Frekuensi BAB 2. Berikan makanan tinggi
membaik kalori dan protein
7. Konsistensi feses 3. Berikan suplemen makanan
membaik Edukasi:
8. Peristaltik usus 1. Anjurkan diet yang
membaik diprogramkan
9. Jumlah feses Kolaborasi:
membaik 1. Kolaborasi dengan ahli gizi
10. Warna feses membaik untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhakan.
4. Hipovolemi Tujuan: setelah dilakukan Managemen Hipovolemia
(D.0023) bd intake Tindakan keperawatan, Observasi:
yang tidak adekuat diharapkan status cairan 1. Periksa tanda dan gejala
dan peningkatan membaik. hipovolemia (mis.
suhu tubuh Kritria Hasil: Frekuensi nadi meningkat,
1. Kekuatan nadi nadi teraba lemah, turgor
meningkat kulit menurun, membran
2. Turgor kulit mukosa kering, volume
meningkat urine menurun, hematrokit
3. Output urine meningkat, haus, lemah)
meningkat 2. Monitor intake dan output
4. Perasaan lemah cairan
menurun Terapeutik:
5. Membran mukosa 1. Hitung kebutuhan cairan
membaik 2. Berikan asupan cairan oral
6. Kadar hb membaik Edukasi:
7. Kadar ht membaik 1. Anjurkan memperbanyak
8. Hepatomegali asupan cairan oral
membaik 2. Anjurkan menghindari
9. Intake cairan perubahan posisi mendadak
membaik Kolaborasi:
10. Suhu tubuh membaik 1. Kolaborasi pemberian
cairan intravena isotonis
(mis. NaCl, RL)
Pemantauan Cairan
Observasi:
1. Moitor frekuensi dan
kekuatan nadi
2. Monitor berat badan
3. Monitor waktu pengisapan
cairan
4. Monitor elastisitas atau
turgor kulit
5. Monitor jumlah, warna dan
brat jenis urine
6. Monitor intake output
cairan
7. Identifikasi faktor resiko
ketidakseimbangan cairan
Terapeutik:
1. Atur waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi
pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan.
5. Diare (D.0020) bd Tujuan: setelah dilakukan Managemen Diare
proses inflamasi Tindakan keperawatan, Observasi:
lokal pada usus diharapkan eliminasi fekal 1. Identifikasi penyebab diare
halus. membaik 2. Monitor warna, volume,
Kritria Hasil: frekkuensi dan konsistensi
1. Kontrol pengeluaran tinja
fses meningkat 3. Monitor tanda dan gejala
2. Nyeri abdomen hipovolemia
menurun 4. Monitor iritasi dan ulserasi
3. Konsistensi fess kulit di daerah perianal
membaik 5. Monitor jumlah
4. Frekuensi defekasi pengeluaran diare
membaik 6. Monitor keamanan
5. Peristaltik usus penyiapan makanan
membaik Terapeutik:
1. Berikan asupan cairan oral
(mis. larutan oralit)
2. Pasang jalur intravena
3. Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit
4. Ambil smp feses utk kultur
Edukasi:
1. Anjurkan makan porsi kecil
dan sering secara bertahap
2. Anjurkan menghindari
makanan pembentuk gas,
pedas dan mengandung
laktosa
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
terapi
1.2.4 IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan dari intervensi keperawatan yang telah
dipilih sesuai kondisi klinis pasien. Walaupun intervensi telah direncanakan,
perawat tetap melakukan penilaian sebelum melaksanakan implementasi dan
melakukan penjadwalan kegiatan keperawatan yang akan menentukan saat dan
acara pelaksanaan intervensi tersebut (Potter & Perry, 2010). Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017).
Langkah-langlah dalam pelaksanaan implementasi yaitu menggunakan
komunikasi terapeutik yang terdiri dari:
1. Fase Pra Interaksi
Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien, perawat
mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya sehingga kesadaran dan
kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Fase Perkenalan
Ada fase ini, dimulai dengan pertemuan dengan klien. Hal-hal yang perlu
dikaji adalah alasan klien meminta pertolongan yang akan mempengaruhi
terbinanya rasa percaya antara perawat dengan klien.
3. Fase Orientasi
1) Memberi salam terapeutik
2) Mengevaluasi dan memvalidasi data subjektif dan okjektif yang
mendukung diagnose keperawatan.
3) Membuat kontrak untuk sebuah topik disertai waktu, tempat, dan
mengingatkan kontrak sebelumnya.
4. Fase Kerja
Fase kerja merupakan inti hubungan perawat dengan klien yang terkai
dengan pelaksanaan perencanaan yang sudah ditentukan sesuai dengan
tujuan yang akam dicapai. Pada fase ini, perawat mengesplorasi stressor
yang tepat untuk mendorong perkembangan kesadaran diri dengan
menghubungkan perseosi, fikiran, perasaan, dan perbuatan klien.
5. Fase Terminasi
Merupakan fase yang amat sulit dan penting dari hubungan intim terapeutik
yang sudah terbina dan berada dalam tingkat optimal. Fase terminasi terbagi
menjadi:
1) Terminasi Sementara
Adalah terminasi akhir dari tiap pertemuan antara perawat dengan klien.
2) Terminasi Akhir
a. Mengevaluasi respon klien setelah Tindakan keperawatan.
b. Merencanakan tindak lanjut.
c. Mengeksplorasi perasaan klien (Keliat BA dalam Kartika Sari, 2015).
1.2.5 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat
dan anggota tim kesehatan lainnya (Padila, 2012).
Perawat dapat menggunakan format evaluasi SOAP untuk melakukan evaluasi
hasil intervensi yang dilakukan, diantaranya sebagai berikut:
S :Merujuk pada respon subjektif pasien setelah diberikan intervensi. Dapat
dilakukan dengan menanyakan: “Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah
dilakukan manajemen nyeri distraksi?”
O :Melihat pada respon objektif yaitu dapat diukur pada pasien setelah
dilakukannya intervensi, atau menanyakan kembali apa yang telah
diajarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
A :Yaitu analisis perawat dalam intervensi yang telah diberikan, atas data
subjektif dan objektif untuk menyimpulkan masalah tetap atau muncul
masalah baru atau data yang kontradiktif dengan masalah yang ada.
P :Adalah perencananan terkait dengan tindakan selanjutnya sesuai analisis
yang telah dilakukan sebelumnya (Lestari, 2016).
Rencana tindak lanjut berupa:
1. Rencana terusan, bila maslaah tidak berubah.
2. Rencana dimodifikasi, jika masalah tetap, semua Tindakan sudah dijalankan
tetapi hasil tidak memuaskan.
3. Rencana dibatalkan, jika ditemukan maslaah baru dan bertolak belakang
dengan masalah yang ada serta diagnose lama dibatalkan.
4. Rencana atau diagnosa selesai, jika tujuan sudah tercapai dan diperlukan
untuk memelihara dan mempertahankan kondisi baru (Keliat BA dalam
Kartika Sari, 2015).

1.3 KONSEP TUMBUH KEMBANG


1.3.1 Definisi Tumbuh Kembang
Pertumbuhan (growth) adalah suatu proses alamiah yang terjadi pada
individu,yaitu secara bertahap,berat dan tinggi anak semakin bertambah dan
secara simultan mengalami peningkatan untuk berfungsi baik secara kognitif,
psikososial maupun spiritual (Supartini, 2012).
Perkembangan (development) adalah perubahan secara berangsurangsur dan
bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkatkan dan meluasnya
kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan atau kedewasaan
(maturation), dan pembelajaran (learning). Perkembangan manusia berjalan
secara progresif, sistematis dan berkesinambungan dengan perkembangan di
waktu yang lalu. Perkembangan terjadi perubahan dalam bentuk dan fungsi
kematangan organ mulai dari aspek fisik, intelektual, dan emosional.
Perkembangan secara fisik yang terjadi adalah dengan bertambahnya sempurna
fungsi organ. Perkembangan intelektual ditunjukan dengan kemampuan secara
simbol maupun abstrak seperti berbicara, bermain, berhitung. Perkembangan
emosional dapat dilihat dari perilaku sosial lingkungan anak (Supartini, 2012).
1.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
Pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak yang satu
dengan yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama, karena dipengaruhi oleh
interaksi banyak faktor. Menurut Soetjiningsih (2012), faktor yang
mempengaruhi tumbuh kembang, yaitu:
1. Genetika
1) Perbedaan ras, etnis, atau bangsa.
2) Keluarga, ada keluarga yang cenderung mempunyai tubuh gemuk atau
perawakan pendek.
3) Umur merupakan tahap yang mengalami pertumbuhan cepat
dibandingkan dengan masa lainnya.
4) Jenis kelamin, wanita akan mengalami pubertas lebih dahulu
dibandingkan laki-laki.
5) Kelainan kromosom, dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan,
misalnya sindrom down.
2. Pengaruh hormone
Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa prenatal, yaitu saat janin berumur
empat bulan. Pada saat itu terjadi pertumbuhan yang cepat. Hormon yang
berpengaruh terutama adalah hormon pertumbuhan somatotropin yang
dikeluarkan oleh kelenjar pituitari. Selain itu kelenjar tiroid juga
menghasilkan kelenjar tiroksin yang berguna untuk metabolisme serta
maturasi tulang, gigi, dan otak.
3. Faktor lingkungan
4. Faktor prenatal
1) Gizi, nutrisi ibu hamil akan mempengaruhi pertumbuhan janin, terutama
selama trimester akhir kehamilan.
2) Mekanis, posisi janin yang abnormal dalam kandungan dapat
menyebabkan kelainan conginetal, misalnya club foot.
3) Toksin, zat kimia, radiasi.
4) Kelainan endokrin.
5) Infeksi TORCH atau penyakit menular seks.
6) Kelainan imunologi
1.3.3 Tahap-Tahap Tumbuh Kembang
1. Neonatus (bayi lahir sampai usia 0-28 hari)
Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi perubahan
sirkulasi darah serta organ-organ tubuh mulai berfungsi. Saat lahir berat
badan normal dari ibu yang sehat berkisar 3000 gr - 3500 gr, tinggi badan
sekitar 50 cm, berat otak sekitar 350 gram. Pada sepuluh hari pertama
biasanya terdapat penurunan berat badan sepuluh persen dari berat badan
lahir, kemudian berangsur-angsur mengalami kenaikan. Dalam tahap
neonatus ini bayi memiliki kemungkinan yang sangat besar tumbuh dan
kembang sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh orang tuanya.
Sedangkan perawat membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan
tumbuh kembang bayi yang masih belum diketahui oleh orang tuanya.
2. Bayi (1 bulan-1 tahun)
Dalam tahap ini bayi memiliki kemajuan tumbuh kembang yang sangat
pesat. Bayi pada usia 1-3 bulan mulai bisa mengangkat kepala, mengikuti
objek pada mata, melihat dengan tersenyum dll. Bayi pada usia 3-6 bulan
mulai bisa mengangkat kepala 90°, mulai bisa mencari benda-benda yang
ada di depan mata dll. Bayi usia 6-9 bulan mulai bisa duduk tanpa di topang,
bisa tengkurap dan berbalik sendiri bahkan bisa berpartisipasi dalam
bertepuk tangan dll. Bayi usia 9-12 bulan mulai bisa berdiri sendiri tanpa
dibantu, berjalan dengan dituntun, menirukan suara dll.
3. Todler (1 tahun-3 tahun)
Anak usia toddler mempunyai sistem kontrol tubuh yang mulai membaik,
hampir setiap organ mengalami maturitas maksimal. Pengalaman dan
perilaku mereka mulai dipengaruhi oleh lingkungan diluar keluarga terdekat,
mereka mulai berinteraksi dengan teman, mengembangkan perilaku/moral
secara simbolis, kemampuan berbahasa yang minimal. Sebagai sumber
pelayanan kesehatan, perawat berkepentingan untuk mengetahui konsep
tumbuh kembang anak usia toddler guna memberikan asuhan keperawatan
anak dengan optimal.
4. Pra Sekolah (3 tahun-6 tahun)
Anak usia pra sekolah memiliki karakteristik tersendiri dalam segi
pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal pertumbuhan, secara fisik
anak pada tahun ketiga terjadi penambahan BB 1,8 s/d 2,7 kg dan rata-rata
BB 14,6 kg.penambahan TB berkisar antara 7,5 cm dan TB rata-rata 95 cm.
Kecepatan pertumbuhan pada tahun keempat hampir sama dengan tahun
sebelumnya. BB mencapai 16,7 kg dan TB 103 cm sehingga TB sudah
mencapai dua kali lipat dari TB saat lahir. Frekuensi nadi dan pernafasan
turun sedikit demi sedikit. Pertumbuhan pada tahun kelima sampai akhir
masa pra sekolah BB rata- rata mencapai 18,7 kg dan TB 110 cm, yang
mulai ada perubahan adalah pada gigi yaitu kemungkinan munculnya gigi
permanen sudah dapat terjadi.
5. Usia Sekolah (6 tahun-12 tahun)
Kelompok usia sekolah sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya.
Perkembangan fisik, psikososial, mental anak meningkat. Perawat disini
membantu memberikan waktu dan energi agar anak dapat mengejar hoby
yang sesuai dengan bakat yang ada dalam diri anak tersebut.
6. Remaja (12 tahun–18/20 tahun) Perawat membantu para remaja untuk
pengendalian emosi dan pengendalian koping pada jiwa mereka saat ini
dalam menghadapi konflik (Adriana, 2013).
1.3.4 Tumbuh Kembang Anak Usia 5 Tahun

1.4 KONSEP IMUNISASI


1.4.1 Definisi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat orang tersebut
terpapar dengan penyakit tidak akan sakit atau hanya akan mengalami sakit
ringan (Depkes RI, 2013.)
1.4.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan dari pemberian imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit
menular, dengan diberikan imunisasi anak akan menjadi kebal terhadap
penyakit sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada anak
dan tubuh tidak akan mudah terserang penyakit yang berbahaya dan menular.
Untuk dapat tercapainya target Universal Child Immunization yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa atau
kelurahan, selain itu agar tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
(insiden di bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) (Mulyani &
Rinawati, 2018).
1.4.3 Manfaat Imunisasi
Ada 3 manfaat imunisasi bagi anak, keluarga dan negara. Manfaat imunisasi
bagi anak adalah untuk mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit
dan kemungkinan cacat atau kematian, sedangkan manfaat imunisasi bagi
keluarga yaitu dapat menghilangkan kecemasan dan mencegah pengeluaran
biaya pengobatan yang tinggi jika anak sakit dan bagi bangsa sendiri manfaat
dari imunisasi yaitu dapat memperbaiki tingkat kesehatan dan mampu
menciptakan generasi penerus bangsa yang sehat dan kuat (Dompas, 2014).

1.4.4 Jenis-Jenis Imunisasi


1. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan
(vaksin) agar sistem kekebalan atau imun tubuh dapat merespon secara
spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen. Sehingga bila
penyakit muncul maka tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh
dari imunisasi aktif adalah imunisasi polio atau campak. Dalam imunisasi
aktif terdapat beberapa unsur-unsur vaksin yaitu:
1) Vaksin bisa berupa organisme yang secara keseluruan dimatikan,
ekstoksin yang didetoksifikasi saja atau endotoksin yang terkait pada
protein pembawa seperti polisakarida dan vaksin juga dapat berasal dari
ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya
adalah antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan
vaksin.
2) Cairan pelarut dapat berupa air steril atau cairan kultur jaringan yang
digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya antigen telur, protein
serum, bahan kultur sel.
3) Pengawet, stabilisator atau antibiotic merupakan zat yang digunakan agar
vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan
mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air
raksa atau antibiotic yang biasa digunakan.
4) Adjuvan yang terdiri dari garam almunium yang berfungsi meningkatkan
system imun dari antigen, ketika antigen terpapar dengan antibody tubuh,
antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi
perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibody tubuh.
Imunisasi aktif akan menjadikan tubuh anak membuat sendiri zat anti dari
suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan virus yang
telah dilemahkan pada imunisasi polio dan campak. Setelah rangsangan ini
kadar zat anti dalam tubuh anak akan meningkat. Sehingga anak akan
mempunyai imun yang kebal (Mulyani & Rinawati, 2018).
2. Imunisasi Pasif
Imunisasi Pasif adalah suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan
cara pemberian zat immunoglobulin yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu
proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang
didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang
digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk di dalam tubuh yang
terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah bayi yang baru lahir dimana bayi
tersebut menerima sebagai antibody dari ibunya melalui darah placenta
selama masa kandungan, misalnya antibody terhadap campak (Mulyani &
Rinawati, 2018).
1.4.5 Imunisasi Dasar Pada Bayi/Anak
Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi
dilakukan program imunisasi baik rutin maupun program tambahan, Penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) adalah TBC, difteri, polio,
hepatitis B, campak, pertusis dan tetanus. Bayi seharusnya mendapatkan
imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG 1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4
kali, HB Uniject 1 kali dan Campak 1 kali (Mulyani & Rinawati, 2018).
1. Imunisasi BCG
Menurut Mulyani & Rinawati (2018), vaksin BCG (Bacillus Celmette-
Guerin) diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC (Tuberkulosis).
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis Complex.
Penyakit ini pada manusia akan menyerang saluran pernafasan yang lebih di
kenal dengan istilah TB paru. Penyebab penyakit ini biasanya ditularkan
melalui batuk seseorang. Imunisasi BCG tidak mencegah teradinya infeksi
TB tetapi menggurangi resiko untuk terkena TB berat seperti meningitis TB
atau TB miliar.
Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir
sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0-2 bulan. Hasil yang
memuaskan akan terlihat apabila diberikan menjelang umur 2 bulan.
Imunisasi BCG cukup diberikan satu kali saja. Pada anak yang berumur
lebih dari 2 bulan, di anjurkan untuk melakukan uji mantoux. Bila imunisasi
BCG berhasil, setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan terdapat
suatu benjolan kecil. Imunisasi BCG mempunyai bentuk kemasan dalam
bentuk ampul, bentuk kering dan 1 box berisi 10 ampul vaksin. Sebelum
ampul BCG disuntikan harus dilarutkan terlebih dahulu dengan
menggunakan pelarut air steril sebanyak 4 ml. Dosis 0,05 cc untuk bayi dan
0,1 cc untuk anak secara intracutan di daerah lengan atas kanan.
2. Imunisasi Hepatitis B
Menurut Mulyani & Rinawati (2018), vaksin hepatitis B diberikan untuk
memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit hepatitis B. Penyakit
hepatitis B disebabkan oleh virus yang telah mempengaruhi organ liver
(hati). Pemberian imunisasi hepatitis diberikan sebanyak 3 kali melalui
injeksi intramuscular. Imunisasi hepatitis berbentuk cair, terdapat vaksin B-
PID (Prefill Inection Device) yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat
diberikan pada usia 0- 7 hari. Vaksin B-PID disuntikan dengan 1 buah HB
PID. Vaksin ini menggunakan PID, merupakan jenis alat suntik yang hanya
bisa digunakan sekali pakai dan terisi vaksin dalam dosis tunggal dari
pabrik. Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang masa kecilnya
belum diberi vaksin hepatitis B. Selain itu, orang yang berada dalam rentan
resiko Hepatitis B sebaiknya juga diberi vaksin ini.
3. Imunisasi Polio
Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi polio diberikan dengan
tujuan untuk mencegah penyakit poliomyelitis. Pemberian vaksin polio dapat
di kombinasi dengan vaksin DPT. Poliomyelitis adalah penyakit pada
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang
berhubungan yaitu virus polio type 1,2 atau 3. Imunisasi dasar polio
diberikan melalui mulut sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari
dan selanjutnya vaksin pollio diberikan sebanyak 4 kali. Pemberian vaksin
polio dapat dilakukan bersamaan dengan imunisasi BCG, imunisasi hepatitis
B dan imunisasi DPT.
4. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus)
Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi DPT bertujuan untuk
mencegah 3 penyakit yaitu difteri, pertusis dan tetanus. Pemberian vaksin
DPT dilakukan tiga kali melalui injeksi intramuscular dengan dosis 0,5cc.
Vaksin DPT ini diberikan mulai bayi berumur 2 bulan sampai 11 bulan
dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali karena pemberian
pertama antibody dalam tubuh masih sangat rendah, pemberian kedua mulai
meningkat dan pemberian ketiga diperoleh antibody yang cukup.
5. Imunisasi Campak
Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi campak bertujuan untuk
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Campak, measles
atau rubella adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak.
Dosis vaksin campak sebanyak 0,5 cc dan dilarutkan menggunakan pelarut
air steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut dan diberikan
pada anak usia 9 bulan. Kemudian di suntikkan secara sub kutan walaupun
demikian dapat diberikan secara intra muskular.
Tabel Jadwal Pemberian Imunisasi, Dosis, Cara, dan Tempat Pemberian
Imunisasi Pada Bayi.

1.5 KONSEP HOSPITALISASI


1.5.1 Definisi
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat
yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi
dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan
masalah besar dan menimbulkan ketakutan dan cemas bagi anak (Supartini,
2009).
1.5.2 Stressor Hospitalisasi
1. Faktor lingkungan Rumah Sakit
Rumah Sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat dari sudut
pandang anak-anak. Suasana Rumah Sakit yang tidak familiar, wajah-wajah
yang asing, berbagai macam bunyi dari mesin yang digunakan dan bau yang
khas, dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun
orang tua.
2. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti
Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar
digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan dan juga berpisah
dengan anggota keluarga lainnya.
3. Faktor kurangnya informasi
Kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya ketika akan
menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi
merupakan hal yang tidak umum di alami oleh semua orang. Proses ketika
menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan berbagai
prosedur yang dilakukan.
4. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian
Aturan ataupun rutinitas Rumah Sakit, prosedur medis yang dijalani seperti
tirah baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat mengganggu
kebebasan dan kemandirian anak yang sedang dalam taraf perkembangan.
5. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
Semakin sering seorang anak berhubungan dengan Rumah Sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya.
6. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas Rumah Sakit. Mengingat anak
masih memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitif, bahasa dan
komunikasi (Pena & Juan, 2011).
1.5.3 Reaksi Hospitalisasi Sesuai Usia Tumbuh Kembang Pada Anak
1. Masa Bayi (0-1 Tahun)
1) Menangis kuat
2) Pergerakan tubuh yang banyak
2. Masa Toodler (2-3 Tahun)
Tahap protes, menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.
3. Masa Pra Sekolah (3-6 Tahun)
1) Menolak makan
2) Sering bertanya
3) Menangis perlahan
4. Masa Sekolah (6-12 Tahun)
1) Meninggalkan lingkungan yang dicintai
2) Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan
5. Masa Remaja (12-18 Tahun)
1) Menolak perawatan
2) Tidak kooperatif
3) Bertanya-tanya
4) Menarik diri
1.5.4 Reaksi Orang Tua Pada Hospotalisasi Anak
1. Denial tidak percaya akan penyakit anak
2. Marah/merasa bersalah, merasa bersalah karena tidak bisa merawat anaknya
3. Ketakutan, frustasi dan cemas, tingkat keseriusan penyakit, prosedur
tindakan medis, dan ketidaktahuan
4. Depresi, terjadi setelah masa

1.6 KONSEP BERMAIN


1.6.1 Definisi Bermain
Bermain menurut Hughes, seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya
children, play, and development, mengatakan bahwa permainan merupakan hal
yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Suatu kegiatan bermain harus ada
lima unsur di dalamnya antara lain: Mempunyai tujuan yakni untuk
mendapatkan kepuasan, Memilih dengan bebas atas kehendak sendiri tidak ada
yang menyuruh ataupun memaksa, Menyenangkan dan dapatmenikmati,
Menghayal untuk mengembangkan daya imajinatif dan kreativitas, Melakukan
secara aktif dan standar (Huges, 1999 dalam Ismail, 2006).
1.6.2 Pola Bermain pada Masa Anak-anak
1. Bermain dengan mainan
Pada permulaan masa awal kanak- kanak bermain dengan mainan
merupakan bentuk yang dominan. Minat bermain dengan mainan mulai agak
berkurang pada akhir awal masa kanak- kanak pada saat anak tidak lagi
dapat membayangkan bahwa mainannya mempunyai sifat hidup.
2. Dramatisasi
Sekitar usia 3 tahun dramatisasi terdiri dari permainan dengan meniru
pengalaman-pengalaman hidup, kemudian anak-anak bermain permainan
pura- pura dengan temannya seperti polisi dan perampok, penjaga toko,
berdasarkan cerita- cerita yang dibacakan kepada mereka atau bisa juga
berdasarkan acara filem dan televisi yang mereka lihat.
3. Konstruksi
Anak- anak mulai membuat bentuk- bentuk dengan balok- balok, pasir,
lumpur, tanah liat, manik- manik, cat, pasta, gunting, krayon, sebagian besar
konstruk yang dibuat merupakan tiruan dari apa yang dilihatnya dalam
kehidupan sehari- hari atau dari televisi. Menjelang berakhirnya awalmasa
kanak-kanak, anak-anak sering menambahkan kereativitasnya kedalam
konstruksi-konstruksi yang dibuat berdasarkan pengamatan- pengamatannya
dalam kehidupan sehari- hari.
4. Permainan
Dalam tahun keempat anak mulai lebih mempunyai permainan yang
dimainkan Bersama dengan teman- teman sebayanya dari pada dengan
orang- orang dewasa. Permainan ini dapat terdiri dari beberapa permainan
dan melibatkan beberapa peraturan. Permainan yang menguji ketrampilan
adalah melempar dan menangkap bola.
5. Membaca
Anak- anak senang dibacakan dan melihat gambar dari buku, yang sangat
menarik adalah dongeng- dongeng dan nyanyian anak- anak, cerita tentang
hewan, dan kejadian sehari- hari.
6. Film, radio, dan televisi
Anak- anak jarang melihat bioskop namun anak- anak suka melihat filem
kartun, filem tentang binatang, dan filem rumah tentang anggota keluarga.
Anak- anak juga senang mendengarkan radio tetapi lebih senang melihat
televisi. Ia lebih suka melihat acara anak- anak yang lebih besar dari pada
usia prasekolah (Hurlock, 2002).
1.6.3 Prinsip Bermain pada Anak di RS
1. Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan perawatan yang sedang
dijalankan.
2. Tidak membutuhkan basnyak energi.
3. Harus mempertimbangkan keamanan anak.
4. Dilakukan pada kelompok umur yang sama.
5. Melibatkan orang tua.
Bila keadaan anak masih lemah, maka gunakan bentuk permainan pasif
(Rohmah, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Adriana. D. 2013. Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta: Selemba
Medika.
Anindita, Ade Yuvida (2020) Studi Literatur Perbandingan Efektifitas Pemberian
Kompres Hangat Dan Tepid Water Sponge Terhadap Penurunan Demam Pada
Pasien Typhoid Abdominalis. Diploma Thesis, Poltekkes Kemenkes Surabaya
Dinarti, & Muryanti, Y. 2017. Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi Keperawatan.
1– 172.
Ditjen PPM & PL Dan Pusdiklat SDM Kesehatan Depkes RI. 2016. Modul Pelatihan
Pengolahan Rantai Vaksin Program Imunisasi.
Dompas, R. 2014. Gambaran Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi Usia 0-12 Bulan.
Jurnal Ilmiah Bidan, 2(2).
Huges. 1999 (dalam Ismail, Andang. 2006). Education Games Menjadi Cerdas Dan
Ceria Dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media.
Hurlock. 2002. Psikologi Perkembangan (ed.5). Jakarta: Erlangga.
Kartika, Sari. 2015. Keperawatan Kesehatan: CMHM Basic Course. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pedoman Pelaksanaan: Stimulasi, Deteksi, Dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Depkes RI.
Mulyani, NS., & Rinawati, M. 2018. Imunisasi Untuk Anak. Jogjakarta: Nuha
Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis:
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus
(Jilid 2). Jogjakarta: Medication Publishing.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medical Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter dan Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 (Ed. 7). Jakarta: Salemba
Medika.
Price A. S & Wilson M. L, 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Ed.6). Jakarta: EGC.
Putri, N. K. S. W., Yaroseray, M. M., & Rohmani. (2018). Faktor Yang
Mempengaruhi Penularan Typhoid Abdominalis Pada Pasien Yang Berobat Di
Klinik Doa Bunda Kabupaten Jayapura. Jurnal Keperawatan Tropis Papua, 1.
Diambil dari http://jurnalpoltekkesjayapura.com/index.php/jktp
Rohmah, Nikmatur. 2018. Terapi Bermain. Jember: LPPM Universitas
Muhammdadiyah Jember.
Rubenstein, David. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.
Sabella, Okta (2021) Studi Literature : Efektivitas Kompres Hangat Pada Pasien
Typhoid Abdominalis Dengan Masalah Keperawatan Hipertermi. Tugas Akhir
(D3) thesis, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Smeltzer, S.C., and Bare, B.G. 2015. Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW.
Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I
Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagungseto.
Supartini. 2009. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta. EGC.
Taylor M. Cyntia, Ralhp Sparks Sheila. 2013. Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan, (Ed.10). Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Lauaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai