1. Larutan vakuola, berisi gula terlarut serta senyawa N. Susunan ini bisa dijumpai pada
akar Beta vulgaris.
2. Cairan dalam plasma, Cairan dalam plasma, dalam endosperma biji mengandung minyak
dan protein. Susunan ini dapat dijumpai pada Ricinus communis.
3. Kristasi, berisi pati dalam kotiledon, endosperm, buah, dan umbi.
4. Karena sel parenkim kebanyakan memiliki kandungan tannin dan vakuola, maka sel
parenkim tersebut juga memiliki fungsi penyimpanan cadangan air.
Penggolongan Jaringan Dasar Parenkim
Klasifikasi atau penggolongan jaringan dasar parenkim dapat dipisahkan sesuai kategorinya.
1. Menurut Fungsinya
Menurut fungsinya, parenkim dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni:
a) Parenkim Asimilasi
Yaitu parenkim yang memiliki fungsi membuat zat makanan yang diproses melalui proses
fotosintesis pada daun tumbuhan. Pada tepi organ dapat dijumpai parenkim ini, seperti pada
daun, batang dengan warna hijau, dan buah. Karena berperan dalam proses fotosintesis maka
pada selnya terdapat kloroplas.
b) Parenkim Penimbun
Sebagai larutan yang terdapat di vakuola dengan bentuk partikel padat, atau cairan di dalam
sitoplasma, parenkim penimbun mampu menyimpan cadangan makanan yang berbeda pada
tumbuhan. Di dalam sel-sel tersebut memiliki cadangan makanan berupa tepung, gula, protein
atau lemak. Parenkim penimbun tersebut memiliki fungsi untuk tempat penyimpanan cadangan
makanan hasil fotosintesis berupa amilum, protein, lemak, atau gula tepung. Parenkim penimbun
dapat dijumpai pada bagian dalam tubuh, seperti umbi lapis, umbi akar, empelur batang, akar
rimpang, atau biji.
c) Parenkim Air
Parenkim ini merupakan jenis sel parenkim yang memiliki kemampuan menyimpan air.
Parenkim tersebut berfungsi untuk menyimpan air pada tumbuhan yang memiliki kandungan air
yang sedikit (xerofit lepifit) seperti kaktus dan lidah buaya untuk menghadapi kekeringan.
Seperti fungsinya, parenkim ini dapat dijumpai pada tumbuhan yang ada di daerah tandus dan
kering (xerofit), tumbuhan sukulen, dan tumbuhan epifit.
E. Jaringan sklerenkim
Sklerenkim ialah jaringan penguat atau penyokong tumbuhan yang terdiri atas sel – sel
yang mengalami penebalan sekunder di bagian dinding selnya. Adanya dinding sekunder ini
ialah ciri khas pada jaringan yang beguna memperkuat tubuh tumbuhan dengan penebalan
sekunder yang terjadi pada seluruh dinding selnya. Yang membedakan sklerenkim dengan
jaringan penguat lainnya (kolenkim) adalah sel –sel penyusun sklerenkim merupakan sel mati
(tidak melakukan aktivitas metabolisme). Selain itu, sklerenkim juga menyokong bagian tubuh
tumbuhan yang telah dewasa. Penebalan sekunder pada dinding sel sklerenkim tersusun atas
senyawa lignin yang menyebabkan jaringan ini mempunyai daya regang tinggi (elastis).
Sklereid juga terdapat di berbagai bagian tubuh. Sel-selnya membentuk jaringan yang keras,
misalnya pada tempurung kelapa, kulit biji dan mesofil daun. Serabut berbentuk pita dengan
anyaman menurut pola yang khas. Serabut sklerenkim banyak menyusun jaringan pengangkut.
Sklerenkim ada dua jenis, yaitu berbentuk fiber (serat) misalnya rami, dan slereida pada kulit
kacang atau kulit biji. Fungsi jaringan sklerenkim adalah sebagai alat penyokong dan pelindung.
Secara ontogeni, serabut berkembang dari meristem yang berbeda-beda, misalnya prokambium,
kambium, meristem dasar, bahkan pada spesies tertentu dari Gramineae dan Cyperaceae, serabut
berkembang dari protoderm. Serabut mungkin juga berkembang dari sel parenkima, misalnya
pada protofloem banyak tumbuhan dikotil. Serabut yang dibentuk oleh kambium berasal dari
inisial fusiform dan dalam perkembangannya hanya memanjang sedikit atau tidak memanjang
sama sekali.
Serabut sklerenkim biasanya sangat panjang dan sempit dengan ujung runcing dan kadang-
kadang bercabang. Pada Cannabis sativa (hemp) panjang serabutnya 0,5-5,5 cm, pada Linum
usitatissimum (flax) panjangnya 0,8-6,9 cm dan pada rami (Boehmeria nivea) menurut Aldaba
yang mendapatkan serabut rami dengan maserasi khusus didapat serabut yang panjangnya
mencapai 55 cm. Serabut rami tersebut termaksud diantara sel-sel terpanjang pada tumbuhan
tinggi (Setjo, dkk: 2004).