Anda di halaman 1dari 58

Case Report Session

STROKE HEMORAGIK

Oleh :

Virly Tiffany

Pembimbing :
dr. Reno Sari Caniago, Sp.S, M.Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD M. NATSIR KOTA SOLOK
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan shalawat beserta
salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan case report session dengan judul “Stroke Hemoragik” yang
merupakan salah satu tugas dalam Program Internsip Dokter Indonesia di RSUD
M. Natsir Kota Solok.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Reno Sari Chaniago,
Sp.S, M.Biomed sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan case report session ini.
Penulis menyadari bahwa didalam penulisan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan setiap saran dan kritik yang
membangun guna kesempurnaan laporan case report session ini. Akhir kata,
semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Solok, April 2021

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke adalah gangguan fungsi saraf otak yang timbul secara mendadak
(beberapa detik atau secara cepat/beberapa jam) dengan gejala atau tanda sesuai
dengan daerah yang terganggu, sehingga dapat menimbulkan defisit neurologis
atau kematian. Penderita stroke dapat mengalami keterbatasan fungsi organ
(impairment) seperti hemiparesis, afasia, disartria, disfagia, dan lain sebagainya
sehingga menyebabkan ketidakmampuan (disability) berjalan, berpakaian,
berkomunikasi, dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan keterbatasan peran sosial
pada penderita stroke, didefinisikan sebagai terganggunya kemampuan aktualisasi
diri untuk berperan secara sosial, budaya, dan ekonomi dalam keluarga, seperti
tidak dapat berperan sebagai ayah atau tidak dapat bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.1
Pada tahun 2012, stroke merupakan penyebab nomor dua kematian secara
global setelah penyakit jantung dengan prevalensi 11,9.1 Angka kematian dan
kecacatan akibat stroke pada tahun 1990 – 2010 mengalami peningkatan yakni
masing-masing sebesar 26% dan 19%.2 Kasus stroke menjadi urutan ketiga
sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker di
negara-negara berkembang. Negara berkembang berkontribusi sebesar 85,5% dari
total kematian akibat stroke diseluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi
di negara-negara yang sedang berkembang. Penderita stroke baru terdapat sekitar
13 juta penduduk setiap tahun, dimana 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12
bulan.1
Prevalensi stroke di Indonesia tahun 2007 menunjukkan angka 8,3 per
1000 penduduk. Namun pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi 12,1
per 1000 penduduk. Prevalensi stroke diberbagai provinsi di Indonesia rata-rata
mengalami peningkatan pada tahun 2013 bila dibandingkan dengan tahun 2007.3
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa insiden stroke adalah 200 per 100.000
penduduk. Angka ini dapat dibagi berdasarkan kelompok usia. Pada kelompok
usia 35 – 44 tahun insidennya 0,2 %; kelompok usia 45 – 54 tahun 0,7%;
kelompok usia 55 – 64 tahun 1,8%; kelompok usia 65 – 74 tahun 2,7%; kelompok
usia 75 – 84 tahun 10,4%; dan kelompok usia 85 tahun keatas 13,9%.4
Seseorang dapat menderita stroke apabila terpapar faktor risiko penyebab
timbulnya stroke. Adapun faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
meliputi usia, jenis kelamin, riwayat stroke dalam keluarga, dan adanya riwayat
stroke sebelumnya. Beberapa faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi yaitu
hipertensi (25-40%), kurang aktivitas fisik (25%), obesitas (25%), diabetes
melitus, dislipidemia, riwayat penyakit jantung, dan merokok.5

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai stroke yang lebih difokuskan pada
Stroke Hemoragik.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan case report ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
mengenai kasus stroke hemoragik.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan case report ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah sindrom klinis
yang ditandai dengan adanya defisit neurologis serebral fokal atau global
yang berkembang secara cepat dan berlangsung selama minimal 24 jam atau
menyebabkan kematian mendadak disebabkan oleh kelainan vaskular, baik
perdarahan spontan pada otak (stroke hemoragik) maupun suplai darah yang
inadekuat pada bagian otak (stroke iskemik) sebagai akibat aliran darah yang
rendah, trombosis, atau emboli yang berkaitan dengan penyakit pembuluh
darah (arteri dan vena), jantung, dan darah.1
Tabel 2.1 Klasifikasi Stroke berdasarkan Penyebab3

Klasifikasi Stroke
1. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik, terdiri atas :
a. TIA
b. Trombosis dan emboli.
2. Stroke hemoragik, terdiri atas:
a. Perdarahan Intra Serebral (PIS)
b.Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)

2.1 Faktor Risiko Stroke


Secara garis besar faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok besar, yaitu faktor yang tidak dapat dirubah dan faktor
yang dapat dirubah.
a. Faktor yang tidak dapat dirubah, seperti; usia, jenis kelamin, ras,
riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke sebelumnya, penyakit
jantung koroner, fibrilasi atrium.
b. Faktor yang dapat dirubah, seperti hipertensi, diabetes mellitus,
merokok, penyalahgunaan obat dan alkohol, kontrasepsi oral,
hematokrit yang meningkat, bruit karotis asimtomatis, hiperurisemia
dan dislipidemia.
a. Hipertensi
Merupakan faktor resiko yang potensial, karena pada hipertensi dapat
meyebabkan pecahnya atau menyempitnya pembuluh darah otak. Jika
pembuluh darah otak pecah maka terjadi perdarahan dan jika menyempit akan
menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sehingga sel otak dapat
mengalami kematian.6,13
b. Diabetes Mellitus
Pada pasien diabetes mellitus akan terjadi penebalan dinding pembuluh
darah otak yang berukuran besar. Hal ini jelas akan mengganggu aliran darah
otak , yang pada akhirnya menyebabkan infark sel otak. 6,13
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung koroner dengan infark jantung, penyakit jantung
rematik, dan gangguan irama jantung dapat menimbulkan GPDO dengan jalan
menimbulkan hambatan aliran darah ke otak, karena jantung melepaskan
gumpalan darah atau sel-sel jaringan yang mati ke dalam aliran darah yang
disebut emboli.6,13
d. Hiperkolesterolemia
Tingginya kadar kolesterol LDL dengan rendahnya HDL dapat
meningkatkan terjadinya aterosklerosis, penebalan dinding pembuluh darah
yang diikuti dengan penurunan elastisitas pembuluh darah, akibatnya terjadi
gangguan aliran darah otak.6,13
e. Merokok
Merokok dapat meningkatkan konsenterasi fibrinogen. Hal ini akan
memudahkan terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan
peningkatan viskositas pembuluh darah, yang akhirnya mempengaruhi aliran
darah ke otak. Selain itu, merokok dapat menyebabkan resiko infark
jantung.6,13
f. Lain-lain
Diantaranya obesitas, peningkatan asam urat, penyakit paru, dan penyakit
darah.
2.2 Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik terjadi akibat kelemahan struktur pembuluh darah otak
yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak. Darah menumpuk dan
menekan jaringan otak yang berada disekitarnya.1
Stroke ini dapat dibagi berdasarkan lokasi lesi di otak, yaitu :
a. Tipe pertama adalah perdarahan intrakranial, yaitu terjadinya
ekstravasasi darah dalam jaringan otak (parenkim). Paling sering
terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur
dari salah satu arteri kecil yang menembus ke dalam jaringan otak
yaitu di basal ganglia kapsula interna.
b. Tipe kedua adalah perdarahan subaraknoid, yaitu terjadinya
ekstavasasi darah diruang subaraknoid. Jenis ini memiliki 2 kausa
utama yaitu ruptur aneurisma sakular yang sebagian besar terletak
disirkulasi Willisi dan malformasi arteriovenous.5

Gambar 1. Pembagian stroke hemoragik

2.3 Perdarahan Subarachnoid (PSA)


Perdarahan subaraknoid (PSA) menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO. Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap
100.000 penduduk. 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun,
kejadian mati mendadak karena PSA sebesar 2% dari seluruh kasus,
sebagian besar (9%) terjadi pada umur dibawah 45 tahun. Pada AVM
(Atrio Vena Malformasi) laki-laki lebih banyak dari perempuan.8
2.3.1 Definisi
Perdarahan subarkniod adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah
kedalam ruang subarknoid baik dari tempat lain (PSA sekunder) atau
sumber perdarahan berasal dari rongga subaraknoid itu sendiri (PSA
primer).8
2.3.2 Klasifikasi
1. PSA spontan primer, yakni PSA yang bukan akibat trauma atau
perdarahan intraserebral.
2. PSA sekunder, yakni perdarahan yang berasal di luar subaraknoid
umpamanya dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak.9

2.3.3 Etiologi10
Perdarahan subaraknoid terjadi karena:
1. Pecahnya aneurisma, aneurisma tersebut biasanya kongenital dan 90%
terjadi di sekitar sirkulus willisi pada dasar otak:
- Arteri komunikans posterior
- Kompleks arteri komunikan anterior
- Arteri serebri media
- Aneurisma sedikit terdapat pada arteri oftalmika, sinus kavernosus,
dan arteri basilaris.
2. AVM (Arteri Vena Malformasi) yang pecah.
3. Hemangioma pecah
4. Sekunder terhadap perdarahan intraserebral

2.3.4 Patofisiologi
Aneurisma hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu
manifestasi akibat suatu gangguan perkembangan emrional, sehingga
dinamakan juga aneurisma sakular (berbentuk seperti saku) kongenital.
Aneurisma berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada
tunika medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang
lemah (lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi
dapat menggembung dan terbentuklah aneurisma.
Aneurismna dapat juga berkembang akibat trauma, yang biasanya
langsung bersambung dengan vena, sehingga membentuk ”shunt” arterivenous.
Apabila aneurisma intraserebral pecah akibat peningkatan tekanan darah atau
karena peningkatan tekanan intraabdominal, maka terjadilah perdarahan yang
menimbulkan gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral
akibat pecahnya aneurisma Charcot-Bouchard. Pada umumnya faktur
presipitasi tidak jelas, oleh karena tidak teringat oleh penderita.9

2.3.5 Tanda dan gejala klinik


Sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang mendadak dan hebat
sebenarnya sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak
memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang
merawatnya.11
- Rangsangan meningeal : Kaku kuduk Brudzinky, dll
- Nyeri kepala yang hebat dan mendadak, mual, muntah, fotofobia.
- Gangguan kesadaran bervariasi: ringan sampai koma
- Gejala motorik dan sensorik: sesuai lesi
- Keringat meningkat, mengigil, takikardi, stress ulser
- Funduskopi: Edem papil 10%
- Sekitar perdarahan: Vasospasme>> iskemik>> infark

Tingkatan klinis:

Tingkat I : Asimtomatik
Tingkat II : Nyeri kepala hebat tanpa defisit neurologik kecuali paralisis
nervus
kranialis
Tingkat III : Somnolen dan defisit ringan
Tingkat IV : Stupor, hemiparese/ hemiplegi, dan mungkin ada rigiditas awal
dan
gangguan vegetatif
Tingkat V : Koma, rigiditas reserebrasi, dan kemudian meninggal dunia.
2.3.6 Pemeriksaan penunjang
1. Darah,urin,feses rutin
2. Profil lipid
3. LP
4. CT Scan dengan kontras
5. MRI
6. Angiorafi

2.3.7 Penatalaksanaan
a. Terapi Umum
- Breathing :
menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi untuk
mencegah lidah jatuh kebelakang, pemberian oksigen 2-3 liter/menit
- Brain :
mengurangi edema dengan mengkontrol jumlah cairan yang masuk dan
keluar. memenuhi intake cairan dengan pemberian isotonis, seperti
asering 12jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.
- Bladder :
gunakan kateter urin untuk control output cairan.
- Bowel :
penuhi kebutuhan nutrisi dengan asupan makanan rendah garam,
kebutuhan kalori, dan elektrolit.
- Burn :
pemberian antipiuretik untuk mengatasi demam.

b. Terapi Khusus
- Analgetik
- Kortikosteroid IV dengan dosis rendah
- Antikonvulsan profilak : perlu di pertimbangkan
- Anti hipertensi dan Anti fibrinolitik
- Antagonis calsium : anti iskemia dan anti vasokontriksi
- Operasi bila perlu
2.3.8 Komplikasi11
- Perdarahan ulang (rekuren)
- Hidrosefalus
- Vasospasme
- Edem serebri

2.3.9 Prognosis
Bergantung kepada:
1. Etiologi : lebih buruk pada aneurisma
2. Lesi tunggal/ multiple : aneurisma multipel lebih buruk
3. Lokasi aneurisma/ lesi : pada a.komunikan anterior dan a.serebri
anterior lebih buruk, karena sering perdarahan masuk ke intraserebral
atau ke ventrikel (perdarahan ventrikel)
4. Umur : prognosis jelek pada usia lanjut
5. Gejala : bila kejang memperburuk gejala /prognosis
6. Kesadaran : bila koma lebih dari 24 jam, buruk hasil akhrinya
7. Spasme, hipertensi,dan perdarahan ulang semuanya merugikan bagi
prognosis.

2.4 Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan salah satu bagian dari
stroke hemoragik di samping perdarahan subaraknoidal (PSA).
Perdarahan intraserebral (PIS) meliputi 10% dari seluruh kasus gangguan
peredaran darah otak (GPDO), terjadi di hemisfer serebri (80%) dan
batang otak serta serebelum (20%).
Sebuah penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa stroke
hemoragik merupakan 8-13% dari semua stroke di USA, 20-30% stroke
di Jepang dan China. Sedangkan di Asia Tenggara menurut penelitian
stroke (Misbach, 1997) menunjukkan stroke perdarahan 26% terdiri dari
lobus 10%, ganglionik 9%, serebelar 1%, brain stem 2%, dan perdarahan
sub arachnoid 4%.12
2.4.1 Definisi dan Epidemiologi
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah otak intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah
dan masuk ke dalam jaringan otak dan menyebabkan timbulnya tekanan
intrakranial sehingga terjadi penekanan pada struktur otak dan pembuluh darah
otak secara menyeluruh yang pada akhirnya akan terjadi kematian sel saraf
sehingga timbul klinis defisit neurologis.8
Usia rata-rata kejadian perdarahan intraserebral yaitu pada umur 55
tahun, interval 40-75 tahun/ jenis kelamin. Insiden pada laki-laki sama dengan
pada wanita. Angka kematian 60-90 %.9

2.4.2 Etiologi9
Penyebab perdarahan intraserebral dibagi atas:
1. Perdarahan intraserebral primer
Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif)
disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati
serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak.
2. Perdarahan intraserebral sekunder
Perdarahan intraserebral sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain
akibat anomali vaskular kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati
non hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, post stroke iskemik dan
obat anti koagulan
Di perkirakan hampir 50% penyebab perdarahan intraserebral adalah
hipertensi kronik, 25% karena anomali kongenital dan sisanya penyebab
lain. Faktor risiko untuk perdarahan intraserebral adalah hipertensi, kelainan
jantung, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, obesitas, polisitemia vera,
merokok, usia lanjut, dan herediter.
Perdarahan intraserebral ini juga dicetuskan oleh stress fisik, emosi,
peningkatan tekanan darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah intraserebral. Sekitar 80 % kasus terjadi pada orang sehat
dalam keadaan aktif, 20 % sisanya terdapat manifestasi yang
mendahuluinya, seperti TIA atau stroke non-hemoragik ringan.
2.4.3 Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan terjadinya perubahan patologik pada
dinding pembuluh darah arteriola berupa hipohialinosis dan nekrosis fibrinoid.
Kedua hal ini dapat melemahkan muskularis arteriol. Hipertensi yang terus
berlangsung akan mendesak dinding pembuluh darah yang lemah dan membuat
herniasi atau pecahnya tunika intima yang kemudian menjadi aneurisma atau
terjadi robekan-robekan. Hal ini meninbulkan perdarahan yang dapat berlanjut
sampai 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak
dan menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang ditimbulkan ukurannya kecil maka massa darah
hanya dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih
“dissecan splitting” tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan
diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologis. Sedangkan pada perdarahan
yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian TIK, dan yang lebih berat
dapat menyebabkan herniasi otak pada falx cerebri atau lewat foramen
magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder. Perembesan darah ke ventrikel otak
terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, pons.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta cascade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar
menentukan prognosis.
Apabila volume darah lebih dari 60cc, maka risiko kematian sebesar 93%
pada perdarahan dalam dan 71% perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi
perdarahan serebelal dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan
kemungkinan kematian sebesar 75%. Volume darah 5 cc dan terdapat di pons
sudah berakibat fatal.

2.4.4 Gejala Klinik


Secara umum gejala perdarahan pada otak adalah:
1. Sakit kepala, muntah, pusing, vertigo, dan gangguan kesadaran.
2. Defisit neurologis tergantung lokasi perdarahan
3. Bila perdarahan kapsular maka ditemukan: hemiparese kontralateral,
hemiplegi, koma.
4. Defisit hemisensorik
5. Hemiparese atau hemiplegi kontralateral
6. Afasia, anosmia, dan mutisme bisa mengenai hemisfer yang
dominant

2.4.5 Pemeriksaan Rutin


 Kimia darah : GDR, ureum, kreatinin
 Urin lengkap : protein, reduksi, sediment, bilirubin, urobilin, keton
 Pemeriksaan elektrolit: natrium, kalium, klorida
 Analisa gas darah : PCO2, PO2
 Profil lipid : kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida
 Elektrokardiografi

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang


 Rontgen thorak
 CT-Scan / MRI
 Ekokardiografi

2.4.7 Penatalaksanaan
1. Terapi umum : sama dengan terapi perdarahan subaraknoid
2. Terapi khusus.
a. Anti edema
Manitol 20% bolus 1 gr/ kg berat badan dalam 20-30 menit,
dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 gr/kgBB/jam sampai maksimal
48 jam. Target osmolaritas 300-320 mosm/l atau dengan gliserol 10
% 10 ml/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan secara rutin,
bila ada indikasi harus diikuti dengan pengamatan yang cepat.
b. Obat homeostasis
Transamic acid 6 gram/hari IV ( 2 minggu), berperan sebagai anti
inflamasi dan mencegah peradangan ulang.
c. Anti Hipertensi
Bila tekanan darah systole > 230 mmHg atau tekanan darah
diastolik >40 mmHg diberikan : Nikardipin 5-15 mg/ jam infus
kontiniu atau Diltiazem 5-40 mg/kg BB/menit infus kontinyu. Bila
tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan sistolik 105-140
mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan :
Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit ulangi atau gandakan
setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis awal
bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg /menit atau Nikardipin 5-
15 mg/ jam infuse kontinyu Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infuse
kontiniyu atau Nimodipin. Bila tekanan darah sistolik <180 mmHg
atau tekanan diastole < 105 mmHg, tangguhkan pemberian obat
anti hipertensi.

- Bila terdapat kejang diatasi sementara dengan Diazepam IV perlahan


atau dengan antikonvulsan yang lain.
- Neurotropik agent : Piracetam 4 x 300 mg.
- Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia atau skala
Glasgow > 4, atau hanya dilakukan dengan : perdarahan serebelum
dengan diameter lebih dari 3 cm dilakukan kraniotomi dekompresi,
hidrosepalus akut akibat perdarahan intra ventrikel atau serebelum
dapat dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan
tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan
ancaman herniasi.
- Rehabilitasi ; penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan di
mobilisasi sesegera mungkin bila klinis neorologis dan hemodinamik
stabil. Perubahan posisi badan dan ektemitas setiap 2 jam untuk
mencegah dekubitus.
2.5. Herniasi Otak

Otak merupakan organ yang besar, kompleks dan sangat penting dalam kehidupan
seseorang. Dalam cranium, reflexi dural dan tulang-tulang memisahkan otak kepada regio-
regio tertentu. Hernia otak merupakan dislokasi secara mekanik organ otak ke regio yang
lain akibat dari adanya massa, trauma, neoplastik, iskemik ataupun penyebab infeksi. 14
Hernia otak , juga dikenali sebagai ‘cistern obliteration’, merupakan akibat dari tekanan
intracranial yang terlalu tinggi. Hernia ini terjadi apabila otak menggeser ke beberapa
struktur dalam otak.

Otak bisa bergeser ke mana-mana struktur otak seperti falx serebri, tentorium
serebella dan bisa sampai ke dalam lubang yang dinamakan foramen magnum pada basis
crania ( tempat lewatnya corda spinalis dan berhubung dengan otak). Herniasi bisa
disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan efek massa dan peningkatan tekanan
intracranial. Hal ini termasuklah trauma otak, stroke, maupun tumor otak. Oleh karena
herniasi itu sendiri menyebabkan tekanan yang tinggi pada struktur otak tertentu, maka ia
bersifat fatal. Makanya pada semua rumah sakit, tindakan pertama yang dilakukan tidak
lain melainkan menurunkan tekanan intracranial. Herniasi juga bisa terjadi tanpa
peningkatan tekanan intracranial seperti adanya lesi massa yaitu hematoma yang terjadi
pada perbatasan kompartemen otak.15,16

Insidensi terjadinya hernia otak adalah tergantung dari penyebab hernia otak. Di
Amerika, sebanyak 42% kasus dilaporkan pada tahun 2000-2003. Di Asia, insidensi
terjadinya hernia otak malah lebih tinggi yaitu 76,3% pada tahun 2002. Tingginya angka
kejadian ini disebabkan oleh tingginya insidens trauma kapitis dan tumor otak di Asia.
Malah dari salah satu sumber penelitianpadatahun 1999, mendapatkan bahwa tingginya
angka kejadian hernia otak disebabkan oleh penanganan peningkatan tekanan intracranial
yang lambat dan kurang adekuat.14
Gambar 2. Herniasi Otak16

2.5.1 Anatomi dan Fisiologi Otak

otak

Batangotak cerebellum forebrain

Diencefalon cerebrum

Gambar 3. Pembagian otak17


Cerebrum, yang benar-benar merupakan bagian terbesar dari otak manusia, dibagi
menjadi dua belahan, yaitu hemisfer cerebrum kiri dan kanan. Keduanya dihubungkan satu
sama lain oleh korpus kalosum, yaitu pita tebal yang mengandung sekitar 300 juta akson
saraf melintang di antara kedua hemisfer.17
Gambar 4. Hemisfer kanan dan kiri dari otak
Setiap hemisfer terdiri dari sebuah lapisan luar yang tipis yaitu substansia grisea
atau korteks serebrum, menutupi bagian tengah yang lebih tebal yaitu substansia alba. Jauh
di sebelah dalam substansia alba terdapat substansia grisea lain, yaitu nukleus-nukleus
basal. Di seluruh system saraf pusat, substansia grisea terdiri dari badan-badan sel yang
terkemas rapat dengan dendrit-dendrit mereka dan sel-sel glia.17
Perlu diketahui bahwa walaupun aktivitas tertentu pada akhirnya dikaitkan dengan
daerah tertentu di otak, tidak ada bagian otak yang berfungsi sendirian. Setiap bagian
bergantung pada hubungan kompleks di antara banyak bagian lain baik untuk pesan-pesan
yang masuk maupunk eluar. Patokan-patokan anatomis yang digunakan dalam pemetaan
korteks adalah lipatan-lipatan dalam tertentu yang membagi setiap belahan korteks menjadi
empat lobus utama: lobus-lobus oksipital, temporalis, parietalis, dan frontalis.17
Gambar 5. Lobus utama pada otak

Lobus oksipitalis yang terletak di sebelah posterior bertanggungjawab untuk


pengolahan awal masukan penglihatan. Sensasi suara mula-mula diterima oleh lobus
temporalis, yang terletak di sebelah lateral. Lobus parietalis dan lobus frontalis, yang
terletak di puncak kepala, dipisahkan oleh sebuah lipatan dalam, sulkus sentralis, yang
berjalan ke bawah di bagian tengah permukaan lateral tiap-tiap hemisfer. Lobus parietalis
terletak di belakang sulkus sentralis pada kedua sisi, dan lobus frontalis terletak di depan
sulkus.17
Lobus parietalis terutama bertanggung jawab untuk menerima dan mengolah
masukan sensorik seperti sentuhan, tekanan, panas, dingin dan nyeri dari permukaan tubuh.
Sensasi-sensasi ini secara kolektif dikenal sebagai sensasi somestetik. Lobus parietalis juga
merasakan kesadaran mengenai posisi tubuh, suatu fenomen yang disebut sebagai
propriosepsi. Korteks somatosensorik, tempat pengolahan kortikal awal masukan
somestetik dan proprioseptif ini, terletak di bagian depan tiap-tiap lobus parietalis tepat di
belakang sulkus sentralis. Setiap daerah di dalam korteks somatosensorik menerima
masukan sensorik dari daerah tertentu di tubuh. Pada apa yang disebutkan homunkulus
sensorik, tubuh digambarkan terbalik di korteks somatosensorik dan yang lebih penting
lagi, bagian-bagian tubuh yang berbeda tidak direpresentasikan setara.17
Korteks somatosensorik tiap-tiap sisi otak sebagian besar menerima masukan
sensorik dari sisi tubuh yang berlawanan, karena sebagian besar jalur asendens membawa
informasi sensorik naik dari korda spinalis menyilang ke sisi yang berlawanan sebelum
akhirnya berakhir di korteks. Dengan demikian kerosakan belahan kiri korteks
somatosensorik menghasilkan defisit sensorik pada sisi kanan tubuh, sementara kehilangan
sensorik pada sisi kiri berkaitan dengan kerosakan belahan kanan korteks.17
Kesadaran sederhana mengenai sentuhan, tekanan, atau suhu dideteksi oleh
talamus, tingkat otak yang lebih rendah, tetapi korteks somatosensorik berfungsi lebih jauh
daripada sekedar pengenalan murni sensasi menjadi persepsi sensorik yang lebih utuh.
Talamus membuat kita sadar bahwa sesuatu yang panas versus sesuatu yang dingin sedang
menyentuh badan kita tetapi tidak memberitahu di mana atau seberapa besar intensitasnya.
Korteks somatosensorik menentukan lokasi sumber masukan sensorik dan merasakan
tingkat intensitas ransangan. Korteks ini juga mampu melakukan diskriminasi spatial,
sehingga korteks mampu mengetahui bentuk suatu benda yang sedang dipegang dan dapat
membedakan perbedaan ringan antara benda-benda serupa yang berkontak dengan kulit.17
Lobus frontalis, yang terletak di korteks bagian depan, bertanggung jawab terhadap
tiga fungsi utama: (1) aktivitas motorik volunter, (2) kemampuan berbicara, dan (3)
elaborasi pikiran. Daerah di lobus frontalis belakang tepat di depan sulkus sentralis dan
dekat dengan korteks somatosensorik adalah korteks motorik primer. Daerah ini memberi
kontrol volunter atas gerakan yang dihasilkan otot-otot rangka. Seperti pada pengolahan
sensorik, korteks motorik di tiap-tiap sisi otak terutama mengontrol otot di sisi tubuh yang
berlawanan. Jaras-jaras saraf yang berasal dari korteks motorik hemisfer kiri menyilang
sebelum turun ke korda spinalis untuk berakhir di neuron-neuron eferen yang mencetuskan
kontraksi otot rangka di sisi kanan tubuh. Dengan demikian, kerusakan di korteks motorik
di sisi kiri otak akan menimbulkan paralisis di sisi kanan tubuh dan demikian sebaliknya.17

Gambar 6. Fungsi dari setiap lobus


Daerah-daerah subkorteks otak berinteraksi secara luas dengan korteks dalam
melaksanakan fungsi mereka. Daerah-daerah ini mencakup nukleus basal yang terletak di
serebrum serta talamus dan hipotalamus yang terletak diensefalon. Nukleus basal terdiri
dari beberapa massa substansia grisea yang terletak jauh di dalam substansia alba
serebrum. Nukleus basal memiliki peran kompleks dalam mengontrol gerakan selain
memiliki fungsi-fungsi nonmotorik yang mash belum begitu diketahui. Secara khusus,
nukleus basal penting dalam (1) menghambat tonus otot di seluruh tubuh; (2) memilih dan
mempertahankan aktivitas motorik bertujuan sementara menekan pola gerakan yang tidak
berguna atau tidak diinginkan; dan (3) membantu memantau dan mengkoordinasi
kontraksi-kontraksi menetap yang lambat, terutama kontraksi yang berkaitan dengan postur
dan penunjang.17
Jauh di dalam otak dekat dengan nukleus basal terdapat diensefalon, suatu struktur
garis tengah yang membentuk dinding-dinding rongga ventrikel ketiga, salah satu ruang
tempat lewatnya cairan serebrospinalis. Diensefalon terdiri dari dua bagian utama, talamus
dan hipotalamus. Talamus brfungsi sebagai ”stasiun penyambung” dan pusat integrasi
sinaps untuk pengolahan pendahuluan semua masukan sensorik dalam perjalanannya ke
korteks. Hipotalamus adalah kumpulan nukleus spesifik dan serat-serat terkait yang
terletak di bawah talamus. Secara spesifik, hipotalamus (1) mengontrol suhu tubuh; (2)
mengontrol rasa haus dan pengeluaran urin; (3) mengontrol asupan makanan; (4)
mengontrol sekresi hormon-hormon hipofisis anterior; (5) menghasilkan hormon-hormon
hipofisis posterior; (6) mengontrol kontraksi uterus dan pengeluaran susu; (7) berfungsi
sebagai pusat koordinasi sistem saraf otonom utama, yang kemudian mempengaruhi semua
otot polos, otot jantung, dan kelenjar eksokrin; dan (8) berperan dalam pola perilaku dan
emosi.17
Serebelum, yang melekat ke belakang bagian atas batang otak, terletak di bawah
lobus oksipitalis korteks. Serebelum terdiri dari tiga bagian yang secara fungsional
berbeda, yang diperkirakan terbentuk secara berurutan selama evolusi.17
1. Vestibuloserebelum penting untuk mempertahankan keseimbangan dan mengontrol
gerakan mata.

2. Spinoserebelum mengatur tonus otot dan gerakan volunter yang terampil dan
terkoordinasi.
3. Serebro serebelum berperan dalam perencanaan dan inisiasi aktivitas volunter
dengan memberikan masukan kee daerah-daerah motorik korteks. Bagian ini juga
merupakan daerah serebelum yang terlibat dalam ingatan prosedural.

Batang otak yang terdiri dari medulla, pons dan otak tengah, adalah penghubung
penting antara bagian otak lainnya dengan korda spinalis. Semua serat-serat yang datang
dan pergi antara pusat-pusat di otak dan perifer harus melewati batang otak, dengan serat-
serat yang datang memancarkan informasi sensorik ke otak dan serat-serat yang keluar
membawa sinyal perintah dari otak untuk keluaran eferen. Fungsi batang otak mencakup
hal berikut: 17
1. Sebagian besar dari kedua belas pasang saraf kranialis berasal dari batang otak.
Dengan satu pengecualian besar, saraf-saraf ini mempersarafi struktur-struktur di
kepala dan leher dengan serat sensorik dan motorik. Saraf-saraf tersebut penting
untuk penglihatan, pendengaran, pengecapan, sensasi wajah, dan salivasi.
Pengecualian yang utama adalah saraf kranialis X, saraf vagus. Saraf ini tidak
hanya mempersarafi daerah-daerah di kepala, namun sebagian besar cabang saraf
vagus mempersarafi organ-organ di rongga toraks dan abdomen. Vagus adalah
saraf utama dalam sistem saraf parasimpatis.

2. Di dalam batang otak terdapat kumpulan saraf atau ’pusat-pusat’ yang


mengontrol fungsi jantung dan pembuluh darah, respirasi dan banyak aktiviti
pencernaan.

3. Daerah ini juga berperan dalam memodulasi sensasi nyeri.

4. Batang otak berperan dalam mengatur refleks-refleks otot yang terlibat dalam
keseimbangan dan postur.

5. Di seluruh batang otak dan ke dalam talamus berjalan suatu jaringan luas neuron
yang saling berhubungan yang disebut formasio retikularis. Jaringan ini
menerima dan mengintegrasikan semua masukan sinaps. Serat-serat asendens
yang berasal dari formasio retikularis membawa sinyal ke atas untuk
membangunkan dan mengaktifkan korteks serebrum. Serat-serat ini menyusun
sistem aktivasi retikuler, yang mengontrol seluruh derajat kewaspadaan korteks
dan penting dalam kemampuan mengarahkan perhatian.
6. Pusat-pusat yang bertanggung jawab untuk tidur juga terletak di dalam batang
otak.

Gambar 7. Anatomi otak

2.5.2 Epidemiologi

Insidens terjadinya hernia otak adalah berdasarkan insidens dari penyebab hernia
itu sendiri. Di Amerika, sebanyak 42% kasus dilaporkan pada tahun 2000-2003. Di Asia,
insidensi terjadinya hernia otak malah lebih tinggi yaitu 76,3% pada tahun 2002. Tingginya
angka kejadian ini disebabkan oleh tingginya insidens trauma kapitis dan tumor otak di
Asia. Malah dari salah satu sumber penelitian pada tahun 1999, mendapatkan bahwa
tingginya angka kejadian hernia otak disebabkan oleh penanganan peningkatan tekanan
intracranial yang lambat dan kurang adekuat.14

2.5.3 Etiologi

Herniasi otak terjadi apabila ada sesuatu di dalam otak yang mendorong jaringan
otak. Termasuklah edema otak akibat dari trauma kapitis. Herniasi otak sering disebabkan
adanya tumor dalam otak termasuklah tumor otak yang bermetastasis dan tumor otak
primer. Selain itu, herniasi otak juga bisa terjadi akibat dari abses otak, adanya perdarahan
dalam otak dan hidrosefalus (akumulasi cairan dalam otak) serta stroke yang menyebabkan
edema otak. Hernia otak sendiri juga sering menyebabkan stroke masif. Hal ini
menyebabkan suplai darah yang berkurang pada bagian otak tertentu dan kompresi pada
struktur vital yang mengontrol pernapasan dan sirkulasi. Hal ini akan menyebabkan
kematian atau kematian otak. Walau bagaimanapun penyebab tersering dari herniasi otak
adalah akibat adanya tekanan massa dalam otak yang mendorong otak itu sendiri.16

2.5.4 Klasifikasi

Gambar 8. Empat tipe herniasi. 1)


Hernia
singulatadimanaotakterjepitdi
bawah falx serebri. 2)
Herniasibatangotakke caudal. 3)
Herniasi uncus dangirus
hippocampal kedalamcelah
tentorium. 4) Herniasi tonsil
serebellar kedalam foramen
magnum.14

Terdapat 2 kelompok
mayor dari herniasi otak; supra tentorial dan infratentorial. Herniasi supratentorial adalah
hernia yang terjadi di atas notch tentorium dan infratentorial pula merupakan hernia yang
terjadi di bawahnya. Dalam 2 kelompok besar ini, hernia otak dinamakan berdasarkan
struktur atau lokasi lewatnya dan bergesernya otak; termasuklah transtentorial, bergeser
keatas, tonsilar, sentral, singulata, dan herniasi transcalvaria. Herniasi uncal, transtentorial,
singulata, dan transcalvaria termasuk dalam kelompok hernia supratentorium. Manakala
transtentorium ke atas dan tosillar termasuk dalam kelompok herniasi infratentorial.18
Herniasi sentral
Pada herniasi sentral (juga dikenali sebagai hernia transtentorial), diensefalon dan
lobus temporal pada kedua-dua hemisfer cerebrii ditekan oleh notch pada tentorium
cerebral. Hernia transtentorium bisa terjadi apabila otak bergeser ke atas maupun ke bawah
melewati batas tentorium yang dikenali sebagai hernia transtentorium asendens dan
desendens. Namun hernia ini bisa menyebabkan robeknya arteri basilar atau nama lainnya
arteri paramedian sehingga berlaku perdarahan yang disebut ‘Duret Hemorrhage’. Herniasi
ini selalunya berakhir dengan kematian. Secara gambaran radiografi, hernia yang mengarah
ke bawah berkarakteristik sebagai obliterasi sisterna suprasellar dari hernia lobus temporal
ke dalam hiatus tentorium dengan kompresi pada pedunkulus cerebral. Hernia yang
mengarah ke atas secara radiografi berkarakteristik sebagai obliterasi sisterna
quadrigeminal. Didapatkan bahwa sindroma hipotensi intracranial adalah sangat mirip
dengan hernia transtentorium yang mengarah ke bawah.18,19
Herniasi Uncal
Pada herniasi uncal, yaitu hernia transtentorium yang sering, bagian paling dalam
pada lobus temporal yaitu uncus bisa sangat terhimpit sehingga melewati tentorium dan
menyebabkan tekanan yang tinggi pada batang otak terutama midbrain. Tentorium
merupakan struktur dalam tengkorak kepala yang terbentuk dari lapisan meningea yaitu
dura mater. Jaringan bisa terkelupas dari korteks cerebral dimana proses ini dinamakan
sebagai dekortikasi. Uncus ini akan menekan nervus kranialis ke-3 yang berfungsi
mengontrol input parasimpatis pada organ mata. Keadaan ini akan mengganggu transmisi
neural parasimpatis sehingga menyebabkan pupil pada mata terkait akan berdilatasi dan
gagal untuk berkonstriksi apabila adanya respon cahaya seperti mana seharusnya. Maka
dengan adanya gejala dilatasi pupil yang tidak berespon dengan cahaya, itu merupakan
tanda penting adanya peningkatan tekanan intracranial. Dilatasi pupil sering diikuti dengan
beberapa gejala lain kompresi nervus kranialis ke-3 yaitu deviasi bola mata kearah atas dan
bawah akibat dari hilangnya innervasi ke semua otot motilitas kecuali otot rektus lateralis
yang diinervasikan oleh nervus kranialis ke-6 dan otot obliqus superior yang diinervasikan
oleh nervus kranialis ke-4. Gejala ini muncul karena fiber esentrik parasimpatik
mengelilingi fiber motorik dari nervus kranialis ke-3 dan makanya ia pertama yang
terkompresi. Arteri kranialis juga akan tertekan semasa herniasi. Kompresi terhadap arteri
serebral posterior akan menyebabkan gangguan pada fungsi penglihatan kontralateral yang
dikenali sebagai homonimus kontralateral hemianopia. Kemudian diikuti dengan symptom
yang juga penting yaitu ‘false localizing sign’ yang berakibat dari kompresi pada krus
serebral kontralateral yang mengandung fiber kortikospinal dan kortikobulbar desendens.
Ini diikuti dengan hemiparesis ipsilateral. Berhubung traktus kortikospinalis secara
predominan menginnervasi otot flexor, maka kaki akan terlihat dalam keadaan ekstensi.
Dengan peningkatan tekanan intracranial, postur dekortikasi akan terlihat. Herniasi tipe ini
juga akan menyebabkan kerusakan pada batang otak, yang berefek letargi, bradikardi,
kelainan respiratori dan dilatasi pupil. Herniasi uncal akan berlanjut dengan herniasi sentral
sekiranya tidak ditangani.18,19
Herniasi serebral
Peningkatan tekanan dalam fossa posterior akan menyebabkan serebelum bergeser
ke atas mendorong tentorium kearah atas atau dikenali sebagai herniasi serebral. Midbrain
akan terdorong ke tentorium. Keadaan ini juga akan menyebabkan midbrain terdorong ke
bawah. 18,19
Herniasi tonsillar
Pada herniasi tonsillar, yang juga dikenali sebagai herniasi serebral kearah bawah,
tonsil serebral akan bergeser ke bawah masuk ke foramen magnum dan menyebabkan
kompresi pada distal batang otak dan proksimal dari korda spinalis servikal. Peningkatan
tekanan pada batang otak akan menyebabkan disfungsi dari system saraf pusat yang
berperan dalam mengontrol fungsi respiratori dan fungsi jantung.18
Herniasi tonsillar juga dikenali sebagai malformasi Chiari, atau Malformasi Arnold
Chiari (ACM). Sekurang-kurangnya terdapat tiga tipe malformasi Chiari yang ditemukan
yang mana masing-masing menimbulkan proses penyakit yang berbeda dengan symptom
dan prognosis yang berbeda. Kondisi ini bisa ditemukan dengan adanya pasien yang
bersifat asimptomatik dan ada pula yang bersifat berat sehingga mengancam nyawa.
Makanya hernia ini lebih sering didiagnosa berdasarkan gambaran radiologi dari
pemeriksaan MRI kepala. Ektopik Serebral merupakan suatu istilah yang digunakan oleh
ahli radiologi untuk mendiskripsikan tonsil serebral namun tidak secara khusus
mendiskripsikan suatu malformasi Chiari. Menurut definisi malformasi Chiari terdahulu
menyatakan bahwa adanya gambaran radiologi tonsillar serebral dengan penonjolan pada
terdorongnya jaringan masuk ke dalam foramen magnum sekurang-kurangnya 5mm di
bawah foramen magnum. Namun beberapa kasus melaporkan bahwa ada pasien yang
dating hanya dengan symptom malformasi Chiari tanpa gambaran radiografi herniasi
tonsillar. Pasien-pasieninididiagnosadengan ‘Chiari type 0’.18
Terdapat beberapa penyebab yang dihubungkan dengan kejadian herniasi tipe ini.
Antaranya berupa korda spinalis yang menonjol, filum terminalis yang menyempit secara
mendadak (menarik turun batang otak dan struktur disekitarnya), penurunan atau
malformasi dari fossa posterior (bagian caudal dan dorsal dari tengkorak) sehingga tidak
memberikan ruang yang cukup untuk serebelum, hidrosefalus atau volume cairan
serebrospinal yang tidak normal sehingga mendorong tonsil keluar. Kelainan jaringan ikat
seperti Sindroma Ehlers Danlos, juga merupakan antara factor penyebab.19,20
Untuk evaluasi herniasi tonsillar yang lebih lanjut, pemeriksaan CINE flow
digunakan. Pemeriksaan MRI tipe ini memeriksa pengaliran cairan serebrospinal pada
sendi kranio-servikal. Bagi pasien yang dating dengan symptom hernia dimana dirasakan
berkurang pada posisi supine dan memburuk pada posisi berdiri, maka pemeriksaan MRI
ini haruslah dilakukan dalam posisi berdiri.19,20
Herniasi Singulata
Pada herniasi singulata atau subfalcine, yaitu hernia yang paling sering, bagian
paling dalam pada lobus frontalis akan terdorong ke falx serebri. Hernia singulata bisa
terjadi apabila salah satu dari hemisfer membengkak dan menolak girus singulata kearah
falx serebri. Walaupun keadaan ini tidak terlalu menekan batang otak seperti tipe-tipe
hernia yang lain, namun bisa memberikan efek pada pembuluh darah yang berdekatan
dengan lobus frontalis tempat trauma yaitu arteri serebral anterior atau bisa berprogresif ke
hernia sentral. Kesan terhadap pembuluh darah akan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial yang berbahaya sehingga bisa memburuk membentuk herniasi yang lebih berat.
Gejala khas pada hernia singulata tidak jelas. Namun seperti yang terjadi pada hernia uncal,
hernia singulata juga akan menyebabkan kelainan pada postur tubuh dan koma. Hernia
singulata dipercayai sering menjadi precursor terhadap tipe hernia yang lain.19,20
Hernia Transcalvarial
Pada hernia transcalvarial, otak akan tertekan pada daerah fraktur atau bekas
operasi. Hernia ini juga dikenali sebagai hernia eksternal di mana ia terjadi sewaktu
kranektomi atau pada apa saja operasi yang melibatkan pengangkatan bagian tertentu
tengkorak.18

2.5.4 Patofisiologi

Herniasi transtentorial

Herniasi transtentorial merupakan pergeseran otak dari lokasi yang sebenar kearah
bawah maupun atas melewati tentorium pada batas insisura. Herniasi transtentorial
desendens terjadi apabila otak yang terletak supratentorial berherniasi kearah bawah dari
batas insisura. Manakala herniasi transtentorial asendens terjadi apabila otak yang terletak
infratentorial berherniasi ke atas dari insisura.21

Hernia transtentorial desendens lebih sering terjadi dibanding dengan asendens dan
termasuk dalam kelompok hernia uncal.Efek massa dalam serebrum mendorong otak pada
supratentorial melewati insisura; dislokasi ini menyebabkan timbulnya gejala neurologik
seperti yang akan dibahaskan.21

Hernia transtentorial asendens selalunya disebabkan adanya tumor pada fossa


posterior sehingga mendorong otak yang terletak di infratentorial kea rah insisura.
Akibatnya terjadilah distorsi midbrain, penekanan pada lempeng quadrigeminal posterior
dan penyempitan sisterna ambient bilateral. Hematoma ekstra-axial dan intra-axial pada
fossa posterior adalah penyebab yang paling jarang.21

Herniasi Subfalcine/Singulata

Herniasi subfalcine terjadi apabila otak terdorong di bawah falx serebri akibat dari
massa.

Gambar 9. Kejadian hernia tentorial dan singulata.22

Herniasi Foramen Magnum/Tonsillar

Herniasi foramen magnum terjadiapabilaotak yang terletak di infratentorial


terdorongke foramen magnum akibat dari massa.21

Herniasi Sphenoid/Alar

Herniasi Sphenoid atau alar terjadi akibat dari otak yang terletak supratentorial
tergelincir secara anterior maupun posterior di atas tulang sphenoid. Herniasi anterior
terjadi apabila lobus temporal mengalami herniasi secara anterior maupun superior di atas
tulang sphenoid. Manakala herniasi posterior terjadi apabila lobus frontalis berherniasi
secara posterior dan inferior di atas tulang sphenoid.21

Herniasi Ekstrakranial

Herniais ekstrakranial terjadi apabila otak mengalami dislokasi akibat dari defek
pada cranium.21

Gambar 10. Postur dekortikasi dengan siku, pergelangan tangan dan jari dalam keadaan
flexi serta kaki yang ekstensi dan berotasi kearah medial.14
Tanda yang sering pada hernia otak adalah postur tubuh yang abnormal dengan
karakteristik posisi ekstremitas bawah yang menjadi tanda khas terjadinya kerusakan otak
yang berat. Pasien ini akan mengalami penurunan kesadaran dengan ‘Glasgow Coma
Scale’ antara 3 sampai 5. Satu atau kedua-dua pupil akan berdilatasi dan reflex cahaya
negatif atau tidak berespon terhadap cahaya.14
Pada pemeriksaan neurologi, didapatkan penurunan derajat kesadaran. Tergantung
dari beratnya herniasi, gangguan pada satu atau beberapa refleks batang otak serta fungsi
dari nervus kranialis bias terjadi. Pasien juga akan menunjukkan ketidak mampuan untuk
bernapas secara konsisten dan didapatkan denyut jantung yang irreguler.21

Herniasi transtentorial

Herniasi transtentorial desendens akan menyebabkan symptom yang bervariasi.


Kompresi terhadap nervus kranialis ke-3 ipsilateral akan menyebabkan dilatasi pupil
ipsilateral dan pergerakan ekstraokuler yang abnormal. Kompresi traktus kortikospinal
ipsilateral pada batang otak akan menyebabkan hemiparesis kontralateral karena traktus
menyilang pada batas medulla. Hemiparesis ipsilateral juag bisa terjadi apbila terdapat
massa yang cukup besar sehingga menekan pedunkulus serebral kontralateral kea rah
insisura.19,20
Komplikasi lain termasuklah terjadinya infark pada lobus occipitalis baik unilateral
maupun bilateral akibat dari penekanan terhadap arteri serebral posterior. Perdarahan
batang otak juga antara komplikasi lain yang timbul akibat dari penekanan pada daerah
pembuluh darah sehingga menyebabkan perforasi. Kompresi pada midbrain bisa
berkomplikasi ke hidrosefalus.19,20

Herniasi Trantentorial Asendens

Herniasi transtentorial asendens akan menyebabkan kompresi pada batang otak


yang akan menimbulkan symptom berupa mual, muntah yang mana bisa berprogressif
sampai koma sekiranya terjadi kerosakan yang mendadak pada intracranial. Pertumbuhan
massa yang perlahan pada fossa posterior akan menyebabkan perubahan pada anatomy
intracranial secara perlahan. Namun ini bukanlah termasuk kasus gawat darurat.19,20

Herniasi Subfalkin/Singulata

Herniasi subfalkin tidak selalu menunjukkan gejala klinis yang berat. Tipe herniasi
ini akan menimbulkan gejala klinis seperti nyeri kepala, dan bisa berlanjut menjadi
kelemahan pada tungkai bawah yang kontralateral atau gejala infark pada lobus frontalis
akibat dari penekanan pada arteri serebral anterior.19,20

Herniasi Foramen Magnum/Tonsillar

Penekanan yang mendadak pada batang otak akan menyebabkan kecacatan dan
kematian. Walau bagaimanapun pasien yang dating dengan malformasi Arnold-Chiari 1
akan menunujukkan gambaran symptom yang lebih sedikit dan bisa dengan gambaran
disethesia pada ekstremitas dengan fleksi servikal. Gambaran ini dikenali sebagai
fenomena Lhermitte.19,20

Herniasi Sphenoid/Alar

Gejala klinis dari herniasi ini adalah sangat minimal dan walaupun tipe hernia ini
adalah yang paling sering terjadi, namun pasien sering datang dengan disertai tipe herniasi
yang lain.19,20
Herniasi Ekstrakranial

Hernia ini sering didapatkan post trauma dan operasi. Region otak yang mengalami
herniasi sering akan menjadi iskemik dan seterusnya infark.19,20

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang

Bagi herniasi transtentorial, ‘computed tomography scanning’ (CT scan) atau


‘magnetic resonance imaging’ (MRI) adalah sangat berperan untuk evaluasi penyakit. MRI
akan memberikan gambaran mengikut potongan aksial, sagital dan koronal. Bagi herniasi
subfalkin/singulata pula, pemeriksaan CT scan maupun MRI kedua-duanya sangat
membantu dalam mengevaluasi penyakit. Herniasi foramen magnum/tonsillar, MRI
merupakan pilihan terbaik oleh karena pemeriksaan ini memberikan gambaran potongan
sagital dan koronal. Namun begitu, oleh karena pasien yang dating kebanyakannya bersifat
akut, maka pemeriksaan CT scan potongan aksial juga bisa membantu dalam mendiagnosa
penyakit.Pada herniasi sphenoid/alar, pemeriksaan MRI bisa memberikan gambaran
terbaik tempat kelainan berdasarkan foto pada potongan parasagital. Namun begitu baik
MRI maupun CT scan bisa menunjukkan gambaran terdorongnya arteri serebral mediana
ipsilateral yang mana merupakan tanda tidak langsung suatu herniasi sphenoid. Untuk
herniasi ekstrakranial, MRI maupun CT scan adalah pilihan terbaik.19,20,21

Gambaran radiologi pada herniasi transtentorial desendens termasuklah perluasan


sisterna ambient ipsilateral dan sisterna prepontin ipsilateral. Hujung temporal kontralateral
juga mengalami perluasan. Penemuan ini adalah bersifat ipsilateral, ventrikel lateralis
terkompresi dengan dilatasi subsequent pada ventrikel kontralateral untuk mengekalkan
volume yang sama. Perluasan sisterna ipsilateral terjadi karena letaknya inferior batang
otak yang begitu dekat dengan korda spinalis sehingga menunjukkan struktur yang rigid
pada foto CT scan potongan koronal. 19,20,21
Gambar 11: Perdarahan intraventrikuler bilateral dan dilatasi ventrikel23

Sisterna ipsilateral melebar oleh disebabkan batang otak terletak di inferior


berdekatan dengan korda spinalis membentukstruktur rigid yang panjang seperti yang
digambarkan pada foto CT scan potongan koronal. Massa pada foto sebelah kanan
menyebabkan pelebaran sisterna ipsilateral. Apabila otak supratentorial terdorong ke
kanan, maka semua aspek yang terdapatdi superior otak tengah (midbrain)
dankordaspinalis juga akan terdorong ke kanan. Hal ini akan menyempitkan sisterna
kontralateral dan menyebabkan pelebaran sisterna ipsilateral pada anterolateral batang
otak.23

2.5.6 Penatalaksanaan

Hernia otak merupakan suatu kasus gawat darurat. Penanganan utama haruslah
menyelamatkan nyawa pasien. Untuk mencegah dari terjadinya kekambuhan dari hernia
otak, maka penanganan haruslah bertujuan untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrkranial dan menurunkan edema otak.

Hal ini dapat ditangani dengan cara berikut:19,20

Penatalaksanaan Awal Sindroma Herniasi : Tujuannya adalah menjaga TIK <20 mmHg,

CPP >60-70 mmHg


Segera:

 Elevasi kepala di tempat tidur (15-30 derajat, atau 30-45 derajat –> guna

meningkatkan aliran keluar vena dari intrakranial

 Cegah hipotensi dengan cairan, Normal saline (0.9%) dengan kecepatan 80–100

cc/jam (hindari cairan hipotonis)

 Intubasi (jika memungkinkan) dan lakukan ventilasi sehingga terjadi normocarbia

(PC02 35-40 mmHg) atau kalau bisa PCO2 = 28–32 mm Hg –> cegah vasodilatasi

serebri

o (cat: jika kadar CO2 lebih besar dari 45 mm Hg, maka akan timbul cerebral

vasodilation.)

 Berikan oxygen prn untuk mempertahankan p02 >60 mmHg –> mencegah hypoxic

brain injury

 Berikan Mannitol 20% 1–1.5 g/kg melalui infus IV secara cepat, pertahankan

Tekanan Darah >90 mmHg dan pemberian diuretik lain.

 Pasang Foley catheter

 Segera konsul ke bedah saraf

Hal lain yang bisa dilakukan

 Sedasi (“ringan” misal dengan codeine hingga “berat” misal dengan

fentanyl/MgS04 ±  muscle relaksan dengan vecuronium –>  dapat mengurangi

tonus simpatis dan hipertensi akibat kontraksi otot)

 Kortikosteroid

o Mengurangi edema, setelah beberapa hari, disekitar tumor otak, abses, darah
o Pemberian kortikosteroid pada kasus cedera kepala dan stroke belum dapat

dibuktikan menguntungkan secara klinis.

 Kortikosteroid seperti deksametason, terutama untuk menurunkan udem


otak.
 Drainase pada otak dengan tujuan untuk mengeluarkan cairan berlebihan
dari otak, terutama pada kasus obstruksi mekanikal yag menyebabkan
hernia.
 Pengaliran darah keluar pada kasus perdarahan masif yang menyebabkan
herniasi, walaupun prognosis pada kasus begini jelek.
 Pemasangan intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi untuk
menurunkan kadar karbon dioksida dalam darah.
 Operasi dengan mengangkat massa tumor yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial atau drain kateter ventrikuler eksterna dengan tujuan
untuk pengaliran LCS keluar pada kasus akut atau dengan cara VP-shunt
 Pungsi lumbar adalah suatu kontraindikasi sekiranya curiga adanya kelainan
massa yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

2.5.6 Prognosis

Sekiranya hernia otak terjadi pada daerah lobus temporalis atau serebellum, maka
prognosisnya adalah jelek yaitu kematian. Namun pada hernia otak di daerah lain
memberikan prognosis yang berbagai tergantung derajat beratnya dan penyebab hernia.23

2.5.7 Komplikasi

 Gangguan neurologi yang persisten


 Kematian otak

2.58 Pencegahan

Penanganan segera terhadap peningkatan tekanan intracranial dan faktor


penyebab lain bias mengurangi risiko terjadinya hernia otak. Mengenali lebih awal
peningkatan tekanan intracranial melalui gejala klinis dan gambaran radiografi adalah
sangat penting untuk langkah pencegahan terjadinya herniasi.23
Gejala klinis dan tanda-tanda dari peningkatan tekanan intracranial akut termasuk
nyeri kepala, muntah, distorsi penglihatan, hilangnya reflek sensoris, disfungsi pupil,
hipertensi, bradikardi, postur tubuh yang fleksi atau ekstensi dan lain-lain. Edema papilla
tidak terjadi pada peningkatan tekanan intracranial akut.23

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. E No. RM : 21.39.16


Usia/ : 50 tahun Pekerjaan : IRT
Jenis Kelamin : Perempuan Suku : Minang
Alamat : Bukik Sileh

3.2 ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS) :


Pasien perempuan usia 50 tahun datang ke IGD RSUD M. Natsir pada 13
Maret 2021, pukul 09.30 WIB, dengan :
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran secara tiba-tiba sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Penurunan kesadaran secara tiba-tiba sejak 5 jam sebelum masuk rumah
sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat.

 Riwayat muntah proyektil ada 2x, berisi makanan yang dimakan

 Lemah anggota gerak kiri ada

 Bicara pelo ada

 Mual tidak ada

 Riwayat pandangan ganda tidak ada

 Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada

 Kejang tidak ada

 Batuk tidak ada

 Sesak napas tidak ada


 Riwayat trauma sebelumnya tidak ada

 Riwayat terpapar pasien terkonfirmasi COVID 19 tidak ada

 BAB dan BAK tidak ada keluhan


Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol dan tidak minum obat.
Riwayat TDS tertinggi 200 mmhg
 Tidak ada riwayat DM, riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat stroke ada 4 tahun yang lalu, lemah anggota gerak kiri
 Tidak ada riwayat keganasan. Tidak ada riwayat trauma di kepala
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat hipertensi, DM, dan kelainan jantung tidak ada
 Tidak ada riwayat stroke, tidak ada riwayat keganasan dalam keluarga.

Riwayat Pribadi dan Sosial :


 Pasien seorang ibu rumah tangga, kegiatan aktivitas ringan-sedang di rumah.
 Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
 Pasien sudah menikah, tidak ada masalah dalam hubungan sosial dan
kejiwaan. Status ekonomi cukup baik.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign
Kesan Umum : sakit berat Tinggi Badan : 150 cm
Kesadaran : sopor (E1M3V1) GCS 5 Berat Badan : 60 kg
Tekanan Darah : 220/130 mmHg Status Gizi : sedang
Nadi : 125 x / menit Suhu : 37,2oC
Nafas : 22 x/ menit
SpO2 : 96%
Status Lokalis
Kulit : Teraba hangat, turgor baik, tidak sianosis, tidak anemis, tidak
ikhterik, tidak ada udem anasarka
Kelenjar Getah : Tidak ada pembesarak Kelenjer Getah Bening di region coli,
Bening region axilaris, dan region inguinalis.
Kepala : Normochepal, tidak ada deformitas.
Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil isokhor,
RC +/+
Telinga : Secret (-), perdarahan (-), gangguan pendengaran sulit dinilai
Hidung : Secret (-), perdarahan (-), hidung tersumbat sulit dinilai,
gangguan penghidu sulit dinilai.
Tenggorokan : Sulit dinilai.
Gigi dan Mulut : Sulit dinilai.
Leher : JVP 5+2 cmH2O, tidak ada deviasi trachea

Thoraks : Paru :
simetris, gerakan kiri = kanan, fremitus sulit dinilai, sonor.
Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing.
Jantung :
iktus cordis tidak terlihat, teraba 1 jari lateral Linea Mid
Clavicula Sinistra RIC V, ukuran jantung normal, irama
regular, tidak ada bising.
Abdomen : Perut flat, tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan dan nyeri lepas sulit dinilai, bising usus (+) normal.
Punggung : Tidak ada gibus, tidak ada kelainan tulang belakang, nyeri
ketok CVA sulit dinilai.
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, udem (-), ROM sulit dinilai
Status Neurologikus
1. Tanda rangsang meningeal

Kaku kuduk : tidak ada Kernig Sign : tidak ada


Brudzinsky I : tidak ada Brudzinsky II : tidak ada

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial


- Pupil isokhor, diameter 4m/4mm , reflek cahaya +/+ minimal
- Funduskopi tidak dilakukan. Papil edema tidak dinilai.
- Riwayat muntah proyektil ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis


N. I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Sulit dinilai Sulit dinilai
Objektif (dengan bahan) Sulit dinilai Sulit dinilai

N. II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam penglihatan Sulit dinilai Sulit dinilai
Lapangan pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
Melihat warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerakan bulbus Sulit dinilai Sulit dinilai
Strabismus Sulit dinilai Sulit dinilai
Nistagmus Sulit dinilai Sulit dinilai
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bulat Bulat
 Bentuk
Positif Positif
 Refleks cahaya
Positif Positif
 Refleks akomodasi
Positif Positif
 Refleks konvergensi

N. IV (Trochlearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VI (Abdusen)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia Sulit dinilai Sulit dinilai

N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
Sulit dinilai Sulit dinilai
 Membuka mulut
Sulit dinilai Sulit dinilai
 Menggerakkan rahang
Sulit dinilai Sulit dinilai
 Menggigit
Sulit dinilai Sulit dinilai
 Mengunyah
Sensorik
 Divisi oftalmika
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Refleks kornea
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sensibilitas
 Divisi maksila
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Refleks masetter
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sensibilitas
 Divisi mandibula
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sensibilitas

N. VII (Fasialis)

Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Fissura palpebral Sulit dinilai Sulit dinilai
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/ bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 depan Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai
Plica nasolabialis Kiri lebih datar

N. VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri
Suara berbisik Sulit dinilai Sulit dinilai
Detik arloji Sulit dinilai Sulit dinilai
Rinne tes Tidak diperiksa
Weber tes Tidak diperiksa
Schwabach tes Tidak diperiksa
Nistagmus Sulit dinilai Sulit dinilai
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala Sulit dinilai Sulit dinilai
N. IX (Glossopharyngeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Sulit dinilai
Refleks muntah (Gag Rx) Sulit dinilai

N. X (Vagus)

Kanan Kiri
Arkus faring Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai
Menelan Sulit dinilai
Suara Sulit dinilai
Nadi Reguler, 125x/menit

N. XI (Asesorius)

Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Sulit dinilai Sulit dinilai
Menoleh ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu kanan Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu kiri Sulit dinilai Sulit dinilai

N. XII (Hipoglosus)

Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Sulit dinilai
Kedudukan lidah dijulurkan Sulit dinilai
Tremor Sulit dinilai
Fasikulasi Sulit dinilai
Atropi Tidak ada
4. Pemeriksaan koordinasi

Cara berjalan Sulit dinilai Tes jari hidung Sulit dinilai


Romberg tes Sulit dinilai Tes hidung jari Sulit dinilai
Reboundphenomen Sulit dinilai Supinasi-pronasi Sulit dinilai
Test tumit lutut Sulit dinilai

5. Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Teratur


Duduk Tidak bisa
b. Berdiri dan Gerakan spontan Tidak ada
berjalan Tremor Sulit dinilai
Atetosis Sulit dinilai
Mioklonik Sulit dinilai
Khorea Sulit dinilai
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Kekuatan Sulit Sulit Sulit Sulit
dinilai dinilai dinilai dinilai
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas

Sensibiltas taktil Sulit dinilai


Sensibilitas nyeri Sulit dinilai
Sensiblitas termis Sulit dinilai
Sensibilitas kortikal Sulit dinilai
Stereognosis Sulit dinilai
Pengenalan 2 titik Sulit dinilai
Pengenalan rabaan Sulit dinilai
7. Sistem Refleks

Refleks Refleks
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fisiologis Patologis
Kornea Sdn Sdn Hoffmann- - -
Berbangkis Sdn Sdn Tromner
Bisep ++ ++ Babinsky + +
Trisep ++ ++ Chaddocks - -
KPR ++ ++ Oppenheim - -
APR ++ ++ Gordon - -
Laring Sulit dinilai Schaeffer - -
Masetter Sdn Sdn Klonus paha - -
Bulbocavernosus Tidak dilakukan Klonus kaki - -
Cremaster Tidak dilakukan Tungkai - -
Sfingter Tidak dilakukan
Dinding Perut
Atas + +
Tengah + +
Bawah + +

8. Fungsi otonom
- Miksi : Terpasang kateter urin.
- Defekasi : Sulit dinilai.
- Sekresi keringat : baik.

9. Fungsi luhur : Sulit dinilai

Kesadaran Tanda Dementia


Reaksi bicara Tidak ada Reflek glabella Sulit dinilai
Fungsi intelek Sulit dinilai Reflek snout Sulit dinilai
Reaksi emosi Sulit dinilai Reflek menghisap Sulit dinilai
Reflek memengang Sulit dinilai
Reflek palmomental Sulit dinilai
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Labor 13 Maret 2021


Haemoglobin 11,8 g/dl Rapid COVID Non reaktif
Ab
Leukosit 15.300 /mm3 Trigliserida 83 mg/dl
Trombosit 273.000 /mm3 Kolesterol total 228 mg/dl
Haematokrit 36 % HDL 60 mg/dl
Ureum 38 mg/dl LDL 151mg/dl
Creatinin 0.98 mg/dl Asam Urat 5.42mg/dl
Gula Darah Sewaktu 116 mg/dl
Na 150.4 mEq/l
K 4.6 mEq/l
Cl 109.0 mEq/l
Hitung Jenis
Basofil 0 %
Eusinofil 1 %
Neutrofil 90 %
Limfosit 6 %
Monosit 3 %
ALC 918 /uL
NLR 15.00
2. Pemeriksaan EKG

Sinus rhythm, QRS rate 120x/menit, axis normal, P wave normal, PR


interval 0,12s, QRS duration 0,06s, ST segment isoelektrik, T wave normal,
LVH(-), RVH(-)

3. Rontgen Thorax
Kesan rontgen thorax : Bronkopneumonia

Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung


4. Brain CT-Scan

Kesan Brain CT-Scan : Perdarahan di nukleus caudatus dan basal ganglia kiri
serta perdarahan di pons. Infark paraventrikel lateral kanan.
Gajah Mada Score: Siriraj Score:
- Penurunan kesadaran (+) Muntah (-), nyeri kepala dlm 2
- Nyeri kepala (+) jam (-) Kesadaran : sopor
- Refleks Babinsky (+) Tekanan Darah 220/130
mmHg
Atheroma marker :
DM (-) PJK (-) Claudikarsio intermiten (-)
= (2.5xkesadaran)+(2xmuntah)+(2xnyeri kepala)
+(0.1xTD diastol)-(3xatheroma)–12
= 2.5 + 0 + 0 + 13 – 0 – 12
= 3.5
Kesan : Kesan :
Stroke Hemorragik Stroke Haemoragik

3.5 Diagnosis :
Diagnosis Klinis : Stroke Haemoragik

Diagnosis Topik : Basal ganglia, Pons, Ventrikel Lateral

Diagnosis Etiologi : Perdarahan intraserebral


Diagnosis Sekunder : Krisis hipertensi

3.6 Diagnosis Banding: Tidak ada

3.7 Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ed malam
Quo ad sanam : dubia ed malam
Quo ad fungsionam : dubia ed malam

Terapi Non Farmakologi Terapi Farmakologi


- Ekstensi kepala 30⁰ - Inj Ranitidin 1 ampul
- Jika MAP ≥ 130 : Captopril 25
- Awasi keadaan umum (ABCD) mg sublingual
- Terapi O2 NRM 10L/menit - IVFD RL 1 kolf habis dalam 4
jam
- Monitoring urin output via kateter - Manitol 5x100 cc
- Amlodipin 10 mg via NGT
Follow Up

1. Tanggal 13-03-2021

S: Demam (+), muntah (-)

O: KU: sakit berat

Kesadaran: E1M3V1

TD: 220/130 mmhg

HR: 125x/i

RR: 22x/i

SpO2: 98%

T: 38.9

Osm = 2xNa + Glukosa/18 x Urea/6 = 313.5 mOsm/L

Mata : pupil isokor +/+, RC +/+

Mulut : NGT alir (+), OPA (+)

Cor : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo : SN vesikuler, Rho-/-, whe -/-

Abdomen : supel, distensi (-), BU (+)

A: Stroke hemoragik + krisis hipertensi

P: Konsul dr. Sp.S

- Rawat HCU neurologi

- Elevasi kepala

- O2 3l/i

- IVFD RL: Panamin: Triofusin = 2:1:1

- Paracetamol 4x500 mg

- Captopril 3x25 mg sublingual

- Amlodipin 1x10 mg

- Manitol 5x 100 cc

- Informed consent keadaan umum berat


2. Tanggal 14-03-2021

S: Demam (+), muntah (-)

O: KU: sakit berat

Kesadaran: E1M3V1

TD; 140/80 Mmhg

HR: 115x/I

RR: 36x/I

SpO2: 96%

T: 38.9

Mata : pupil isokor +/+, RC +/+

Mulut : NGT alir (+) warna kecoklatan, OPA (+)

Cor : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo : SN vesikuler, Rho-/-, whe -/-

Abdomen : supel, distensi (-), BU (+)

Urine : 200 cc/2 jam

A: Stroke hemoragik + hipertensi

P:

IVFD Panamin : RL : Triofusin = 1:2:1 -> 6jam

Inj omeprazole 2x1 amp

Manitol tapering off per hari

3. Tanggal 15-03-2021 12.00

S: Desaturasi

O:

KU: sakit berat

Kesadaran: E1M3V1

TD: 70/40 Mmhg


HR: 102x/i

RR: 12x/i

SpO2: 54%

T: 37.8

A: Stroke hemoragik

P: IVFD RL guyur 500 cc

Bagging

O2 15 L/I via NRM

12.10

Pasien apneu, TD tidak terukur, HR(-), pupil


midriasis maksimal diameter 5 mm/5mm , RC
-/-

EKG : asistol

Pasien dinyatakan meninggal dihadapan


dokter, perawat dan keluarga

P: observasi 2 jam
BAB 4
DISKUSI

Stroke dikelompokan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik


(iskemik). Stroke sendiri didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala / sindroma
klinis yang ditandai dengan deficit neurologis yang terjadi secara cepat, tanpa
didahului dengan trauma atau infeksi. Berdasarkan kasus ini, seorang pasien
perempuan usia 50 tahun dengan diagnosis stroke hemoragik dengan hipertensi
tidak terkontrol. Sesuai dengan teori, dalam menegakan diagnosis perlu dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya untuk
membantu menyingkirkan berbagai diagnosis banding yang mungkin meragukan.
Pada kasus ini, masalah utama pasien datang ke IGD karena penurunan kesadaran.
Dari Alloanamnesis anak pasien menyampaikan bahwa sebelumnya pasien dapat
beraktivitas seperti biasa, riwayat malam hari sebelum tidur pasien mengeluhkan
nyeri kepala hebat disertai muntah 2x.
Pada anamnesis, juga perlu ditanyakan terkait riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga, riwayat pekerjaan, status soial-ekonomi, dan juga
riwayat kebiasaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko dan juga
kemungkinan penyebab yang mengakibatkan stroke pada pasien. Pasien saat ini
ternyata memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Hipertensi kronis dapat
menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah.
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi dengan tekanan darah sistol
tertinggi 200 mmHg dan kontrol tidak teratur. Gangguan vascular yang terjadi
akibat hipertensi menjadi pemicu terjadi gangguan pada otak. Selain itu,
kebiasaan pola makan yang salah juga menjadi salah satu faktor untuk
meningkatkan risiko terjadi stroke, seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan
berlemak, diabetes mellitus, kurang olah raga, dan lain sebagainya. Pada pasien,
riwayat rutin berolahraga tidak ada, riwayat mengonsumsi makanan tinggi lemak
ada seperti jeroan tetapi tidak sering.
Hipertensi yang diderita pasien juga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam
mengklasifikasikan stroke yang terjadi. Dimana hipertensi merupakan etiologi
tersering yang mengakibatkan stroke hemoragik. Skor Gajah Mada juga memiliki
kriteria untuk membedakan stroke haemoragik dengan stroke iskemik. Kriteria ini
dinilai dari 3 gejala yang ada, yaitu penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat,
dan refleks babinsky positif. Dikatakan stroke hemoragik apabila ditemukan tanda
penurunan kesadaran atau nyeri kepala hebat. Apabila ditemukan refleks babinsky
yang positif, maka harus diikuti dengan satu tanda yang lainnya. Pada pasien,
adanya penurunan kesadaran telah menjadi nilai mutlak untuk mengarahkan
diagnosis pada stroke hemoragik. Selain itu, juga terdapat rumus SIRIRAJ Score
yang menjadi pedoman untuk membedakan stroke haemoragik dan iskmeik,
dimana komponen yang dinilai ialah kesadaran, nyeri kepala, riwayat muntah,
atheroma, dan tekanan darah sistolik. Diduga stroke haemoragik apabila
didapatkan hasil > 1, apabila hasil penilaian < (-1) maka dicurigai stroke iskemik.
Jika hasil penilaian dalam rentang -1 hingga 1, dibutuhkan penunjang berupa
imaging untuk lebih membuktikan. Pada pasien ini SIRIRAJ Score didapatkan 3.5
yang berarti dugaan stroke haemoragik.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, vital sign didapatkan kesadaran sopor
dengan GCS 8 (E1M3V1).
Pemeriksaan status neurologis juga sulit dinilai karena kesadaran pasien
terganggu. Pada pasien ini tidak ada ditemukan kaku kuduk, brudzinsky I dan II
negatif, serta kernig sign juga negatif. Pada pemeriksaan pupil, pupil isokor dan
refleks cahaya masih ada. Refleks fisiologi dan patologis positif.
Dari imaging yang dilakukan, ditemukan adanya lesi hiperdens di daerah
ventrikel lateral, ganglia basal dan pons. Hasil dari Brain CT-scan ini menjadi
gold standar untuk ditegakannya diagnosis Stroke Haemoragik pada pasien ini.
Pemberian terapi sesuai dengan literature yaitu 5B. Breathing, Brain,
Bladder, Bowel, dan Burn. Pada pasien dipasang kateter dan juga NGT sebagai
alternative untuk intake makanan dan output cairan. Selain itu NGT dipasang
karena refleks menelan pada pasien tidak ada akibat dari penurunan kesadaran.
Selalu pantau keadaan umum untuk mengetahui adanya tanda-tanda peningkatan
suhu, dan tanda emergensi lainnya. Pasien juga diberikan manitol untuk mengatasi
edema cerebri dan pemberian antipiretik untuk mencegah peningkatan suhu.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi terapi umum dan khusus. Terapi umum
yaitu elevasi kepala 30 derajat, IVFD RL : Triofusin : Panamin G = 2:1:1 /6 jam,
O2 nasal 3 liter/menit, NGT dialirkan, pasien dipuasakan, spooling NGT/6 jam,
dan monitor balance cairan. Dan terapi khususnya adalah manitol 20% 5x100 cc,
Amlodipin 1x10 mg, captopril 3x 25 mg sublingual, omeprazol 2x1 amp IV,
paracetamol 3x750 mg IV, dan sucralfat 3x1 cth. Pada pasien diberikan
paracetamol 4x500 mg untuk mengatasi nyeri kepala yang dirasakan pasien.
Manitol digunakan sebagai anti edema.

Proses herniasi otak juga bisa terjadi akibat adanya perdarahan dalam otak
seperti stroke yang menyebabkan edema otak. Herniasi otak sendiri juga sering
menyebabkan stroke masif. Hal ini menyebabkan suplai darah yang berkurang
pada bagian otak tertentu dan kompresi pada struktur vital yang mengontrol
pernapasan dan sirkulasi. Hal ini akan menyebabkan kematian atau kematian otak.
Pada follow up pasien hari kedua rawatan ditemukan dilatasi pada kedua pupil.
Hal ini terjadi karena gangguan transmisi neural parasimpatis sehingga
menyebabkan pupil pada mata terkait akan berdilatasi dan gagal untuk
berkonstriksi apabila adanya respon cahaya seperti mana seharusnya. Maka
dengan adanya gejala dilatasi pupil yang tidak berespon dengan cahaya, itu
merupakan tanda penting adanya peningkatan tekanan intracranial. Dilatasi pupil
sering diikuti dengan beberapa gejala lain kompresi nervus kranialis ke-3 yaitu
deviasi bola mata kearah atas dan bawah akibat dari hilangnya innervasi ke semua
otot motilitas kecuali otot rektus lateralis yang diinervasikan oleh nervus kranialis
ke-6 dan otot obliqus superior yang diinervasikan oleh nervus kranialis ke-4.
Gejala ini muncul karena fiber esentrik parasimpatik mengelilingi fiber motorik
dari nervus kranialis ke-3 dan makanya ia pertama yang terkompresi.
Selain itu, saat follow up pada pasien ditemukan postur tubuh dekortikasi,
berhubung traktus kortikospinalis secara predominan menginnervasi otot flexor,
maka kaki akan terlihat dalam keadaan ekstensi. Dengan peningkatan tekanan
intracranial, postur dekortikasi akan terlihat. Herniasi tipe ini juga akan
menyebabkan kerusakan pada batang otak, yang berefek letargi, bradikardi,
kelainan respiratori dan dilatasi pupil.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. (2011). The top 10 causes of death. (online


:http://who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index.html#) diunduh
tanggal 12 Maret 2019
2. Hankey GJ (2013). The global and region burden of stroke. Lancet. pp:
239-240.
3. Alway, D & Cole, J W. (2009). Stroke essentials for primary care: a
practical
guide. Trans. Jonatan. Jakarta: EGC. p: 11.
4. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Kecendrungan prevalensi stroke. 2007-
2009. Jakarta, pp: 91-130.

5. NSA (National Stroke Association). (2014). Stroke risk factor. p: 2.


6. Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta. EGC. Halaman 1167.
7. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis. Dian Rakyat. 2008; 391-402.
8. AHA (American Heart Assosiation). (2013). Type of stroke, p: 2.
9. Fauci, Braundwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson. (2008). Harrison’s.
Principles of internal medicine 7th edition. United State of American. The
Mcgraw-hill Companies. p: 980.
10. Freigin VL, Forounzafar MH. (2013). Global and region burden of stroke
during 1990-2010 : finding from the global burden of disease study 2010.
The Lancet. 383(9913), pp: 245-255.
11. Goldstein LB, Bushnell CD. (2011). Guideline for primary prevention of
stroke: a guideline for healthcare professionals from american heart
association. A Journal of Cerebral Circulation. 42(2). pp: 517-584.
12. Goldszmidt, A.J, Caplan, L.R. (2009). Esensial stroke. Jakarta : EGC. p:
52.
13. Harsono. (2011). Buku ajar neurologi klinis. Faktor Risiko GPDO.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. pp: 59-65
14. Wilkinson, I., Lennox, G., 2005. Tentorial Herniation. In:
EssentialNeurology. Wilkinson, I., ed. 4th ed. USA: Blackwell Publishing.
42-43
15. Rohkamm, R., 2004. Intracranial Pressure.In: Color Atlas
ofNeuroanatomy. Taub, E., ed. 1st ed. New York: Stuggart Thime. 160-
161.
16. Ropper AH, Brown RH. Adams Victor’s principles of neurology. Edisi ke
– 8. New York : Mc Graw Hill: 2005
17. Kumar, V., Cotran, R., Robbins, S.L, 2003. Herniasi serebral. Dalam:Buku
ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC. 906-907
18. Price, S.A.,Wilson, L., 2005. Peningkatan Tekanan Intrakranial.
Dalam:Patofisiologi Konsep Klini proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.1170-1171.
19. Mardjono, M., Sidharta, P., 2009. Koma supratentorial diensefalik.
Dalam:Neurologi Klinis Dasar. Edisi 1. Jakarta:Dian Rakyat. 193-195.
20. Toronto Notes 2008, Neurosurgery, Herniation Syndrome.
21. Merritts Neurology Handbook’ (NeuroHB™), Emergency Measures for
ICP Reduction in Unmonitored Patient with Clinical Signs of Herniation.
22. Taufik, M., 2017. Peningkatan Tekanan Intrakranial. Dalam : Buku Ajar
Neurologi . Edisi 1. Jakarta : Kedokteran Indonesia. 36 – 44.
23. Mardjono, M., Sidharta, P., 2009. Koma infratatentorial
diensefalik.Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Edisi 1. Jakarta:Dian Rakyat.
196-197.

Anda mungkin juga menyukai