Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ananda Zico Pratama

NIM : 2021312029P

ANALISIS EKONOMI GASIFIKASI BATUBARA

1. Latar Belakang

Konsumsi LPG semakin meningkat secara nasional sejak keberhasilan konversi


minyak tanah ke LPG. Suplai LPG yang dapat diproduksi dari kilang dalam negeri masih
belum mencukupi sehingga diperlukan impor, dimana impor tersebut dari tahun ketahun
semakn meningkat. Untuk itu, Diperlukan upaya-upaya subtitusi salah satunya adalah
pemanfaatan DME dari batu bara yang diproduksi di dalam negeri.

2. Mengapa DME ?
DME dapat digunakan seperti LPG. DME terbakar dengan nyala biru terang. Sebuah
studi tentang kandungan racun dalam DME menegaskan bahwa kandungan racunnya sangat
rendah, sama dengan kandungan racun di LPG, dan jauh di bawah kandungan racun
methanol. DME memiliki rasio nilai kalor dengan resistasi aliran bahan bakar gas (Number of
Wob Iindex) 52 – 54 atau setara dengan gas alam. Kompor untuk gas alam atau LPG bisa
digunakan untuk DME tanpa modifikasi. Efisiensi termal dan emisinya hampir sama dengan
gas alam.

3. Analisis Ekonomi Konversi Dari LPG menuju DME

Jalan Panjang gasifikasi batubara Indonesia sedang ditempuh, pemerintah mengklaim


upaya gasifikasi batubara untuk memberi nilai tambah batubara yang menjadi komoditas
unggulan Indonesia dan juga meringankan beban impor LPG yang selama ini menjadi
pemberat neraca perdagangan Indonesia. Kita lihat tentunya ada tujuh jenis proyek hilirisasi
batubara yang bisa dilakukan. Dua diantaranya sudah dilakukan yaitu pembuatan briket
batubara dan peningkatan mutu batubara yang terakhir sedang ditempuh oleh pemerintah
melalui PTBA adalah proses gasifikasi batubara, yakni merubah batubara dari bahan padat
menjadi bahan gas dan bisa menjadi substitusi dari LPG.

Kebutuhan LPG dalam negeri harus diimpor dan bisa dikatakan 90% kebutuhan elpiji
di dalam negeri semua itu terserap untuk rumah tangga. Untuk meringankan hal tersebut
maka dari itu pemerintah melakukan proses gasifikasi batubara melalui PTBA. Nah berbicara
soal gasifikasi batubara dan bagaimana penghematan untuk LPG ini menurut Kementerian
ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) kita lihat ya kalau misalnya pemerintah tidak
melakukan proses ataupun tidak melakukan DME batubara atau gasifikasi batubara maka di
tahun 2024 untuk konsumsi LPG diproyeksikan bisa mencapai 11,98 juta ton sementara kita
harus mengimpor sebesar 10,01 juta ton. Itu artinya untuk kebutuhan dalam negeri saja LPG
itu harus diimpor hampir 100% yaitu 10,01 juta ton sementara konsumsinya 11,98 juta ton
artinya produksi dalam negeri tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri
sementara kalau kita berkaca pada saat ini 2019 saja untuk produksi LPG dalam negeri itu
hanya 1,96 juta ton untuk konsumsinya itu 7,76 juta Ton dan kita impor/membeli elpiji dari
luar sebanyak 5,71 juta Ton. Dan di tahun 2020 hingga November kita sudah mengonsumsi
LPG 8,81 juta ton artinya ada peningkatan konsumsi elpiji dari 7,76 juta ton naik ke 8,81 juta
Ton dan impor dari luar adalah 6,84 juta ton. Ada juga peningkatan impor dari 5,71 juta ton
menjadi 6,84 juta Ton. Ini yang dilihat oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM kalau
tidak dilakukan upaya gasifikasi atau DME yang akan menjadi substitusi dari elpiji itu bisa
memberatkan neraca perdagangan kita karena kita harus mengimpor hampir 100% kebutuhan
elpiji dalam negeri. Maka dari itu pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara yaitu
PTBA dan juga Pertamina melakukan upaya gasifikasi batubara. Jadi ada tiga perusahaan
yang saat ini bisa dikatakan sedang bekerjasama untuk mengembangkan proyek gasifikasi
batubara, yaitu Bukit Asam, Pertamina dan juga Air Product (perusahaan swasta).

Lalu bagaimana skema kerjasama diantara PTBA, Pertamina dan Air Products
nantinya?. Nah, investasi yang dilakukan atau semua nilai investasi akan dilakukan oleh Air
Product sebesar 2,1 milyar US Dollar. Jadi disini Air Product adalah pemberi modal, Bukit
Asam menjadi penyuplai dari batubara yang selama ataupun setiap tahunnya akan diubah
menjadi DME. Sebanyak 6 juta ton batu bara akan disuplai oleh Bukit Asam setiap tahunnya
untuk diolah menjadi 1,4 juta ton DME setiap tahunnya. Ini diklaim oleh pemerintah akan
ada penghematan dari pengeluaran negara yang selama ini dianggap kurang hemat dengan
membeli atau mengimpor elpiji dari luar. Faktanya yang tadi saya katakan bahwa akan terjadi
penghematan devisa sebesar Rp. 8,7 Triliun setiap tahunnya jika misalnya proyek gasifikasi
batubara ini berjalan dengan baik dan juga lancar.

Nah, proyek ini akan dilakukan di Tanjung Enim Sumatera Selatan dan sudah
ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Nilai investasi yang tadi saya katakan yang akan
digelontorkan oleh Air Products sebesar USD 2,1 miliar . Artinya Bukit Asam sebagai
penyuplai bahan baku utama dari batubara tersebut untuk diolah menjadi DME, tapi nantinya
skema kerjasamanya bisa saja berubah di satu tahun kedepan jika sudah melakukan produksi.
Dimana Bukit Asam bisa saja mengambil alih saham atau meminta saham dari kerjasama
yang dilakukan dari ketiga perusahaan ini. Bukit Asam juga meminta untuk ada subsidi untuk
DME karena bisa dikatakan untuk produksi DME itu agak lebih mahal ketimbang untuk kita
memproduksi LPG. Nah, karena itulah PTBA meminta ada payung hukum pengalihan
subsidi LPG ke DME. Jadi sebenarnya kalau dilihat ya sama saja, hanya memindahkan
subsidi LPG ke subsidi DME.

Ini juga yang dilihat oleh Institute for energy economics and financial analysis(IEFA)
kalau untuk proyek DME di dalam negeri yang dilakukan Indonesia itu sebenarnya tidak
tepat dilakukan saat pandemi, karena untuk melakukan proyek energi atau membuat sebuah
proyek energi itu membutuhkan dana yang cukup besar dan harus ada subsidi energi juga.
Nah yang kedua adalah dikatakan proyek gasifikasi batubara merugikan kurang lebih USD
377 juta setiap tahunnya jika ini dilakukan. Karena untuk biaya produksinya saja harus
digelontorkan sebanyak kurang lebih USD 470 juta. Jadi bisa dikatakan nilai ini lebih tinggi
ketimbang harus melakukan impor elpiji yang selama ini dilakukan Indonesia, yang biayanya
kurang lebih USD19 juta. Jadi kalau dihitung-hitung menurut dari Institute for energy
economics and financial analysis mending melakukan impor LPG ketimbang harus membuat
DME ataupun upaya gasifikasi dari batubara ini. Karena nilai proyeknya yang besar dan juga
bisa merugikan jika tidak berjalan dengan baik. Nah, untuk mengganti LPG dengan DME
menurut dari Institute for energy economics and Financial Analisys ini mengatakan tidak
masuk akal yang tadi saya katakan jadi ada perbedaan kalori di dalamnya. Nah untuk biaya
produksi DME itu dua kali lipat dari LPG, jadi Institute for energy economics and Financial
analisys mengatakan bahwa rugi sebenarnya pemerintah Indonesia kalau melakukan proyek
gasifikasi batubara. Mungkin menurut Institute for energy economic and financial analysis
lebih baik dijual barang mentah atau langsung dibakar menjadi pembangkit listrik tenaga
diesel, ketimbang melakukan upaya gasifikasi batubara itu sebenarnya yang menjadi
gambaran.

Tapi tentunya pemerintah mempunyai pertimbangan tersendiri untuk melakukan


upaya gasifikasi batubara. Menimbang untung-rugi gasifikasi batubara semua ada di tangan
pemerintah. jangan sampai upaya gasifikasi batubara ini malah membuat kantong pemerintah
menjadi jebol karena harus melakukan subsidi yang jauh lebih besar ketimbang melakukan
impor LPG.

Anda mungkin juga menyukai