30 - Nadilla Choerunnisa - 2bskep
30 - Nadilla Choerunnisa - 2bskep
PERTEMUAN 9-14
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Dosen Pengampu :
Dr. Yohan Frans U, S.H., M.H
Disusun Oleh :
Nadilla Choerunnisa
C1AA20062
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan
kerjasama internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan
International NGOs. Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency
Internasional (TI) misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD
membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A
Framework for Integrity.
Korupsi adalah salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh
masyarakat internasional pada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan
hak-hak dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi dan proses
demokratisasi, namun juga mengancam pemenuhan hak asasi manusia, merusak
lingkungan hidup, menghambat pembangunan dan meningkatkan angka kemiskinan
jutaan orang di seluruh dunia. Keinginan masyarakat internasional untuk
memberantas korupsi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang lebih baik,
lebih bersih dan lebih bertanggung-jawab sangat besar. Keinginan ini hendak
diwujudkan tidak hanya di sektor publik namun juga di sektor swasta. Gerakan ini
dilakukan baik oleh organisasi internasional maupun Lembaga Swadaya
Internasional (International NGOs). Berbagai gerakan dan kesepakatankesepakatan
internasional ini dapat menunjukkan keinginan masyarakat internasional untuk
memberantas korupsi. Gerakan masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta di
tingkat internasional patut perlu diperhitungkan, karena mereka telah dengan gigih
berjuang melawan korupsi yang membawa dampak negatif rusaknya perikehidupan
umat manusia.
1
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, indonesia telah menjadi
negara peserta dalam beebrapa konvensi internasional yang mengatur kejaatan
transnational diantaranya :2
2
meningkatkan kemudahan menangkap seseorang yang melakukan korupsi.
Semua itu harus disertai dengan :3
2) Bank Dunia
3
menyesuaikan dengan kondisi masingmasing negara; dan
e. Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh
negara peserta, diharapkan akan memiliki trickle-down effect dalam arti
masyarakat mengetahui pentingnya pemberantasan korupsi.
4
pendekatan multidisiplin; monitoring yang efektif, dilakukan dengan
kesungguhan dan komprehensif serta diperlukan adanya fleksibilitas dalam
penerapan hukum.
5
dalam memperjuangkan tata pemerintahan yang baik di tingkat internasional.
Hasil survey yang dilakukan oleh Transparency International, karena
diumumkan pada publik, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.
1) TIRI
a. Masalah Pencegahan
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan Peradilan. Namun
6
menurut konvensi ini, salah satu hal yang terpenting dan utama adalah masalah
pencegahan korupsi. Bab yang terpenting dalam konvensi didedikasikan untuk
pencegahan korupsi dengan mempertimbangkan sektor publik maupun sektor
privat (swasta). Salah satunya dengan mengembangkan model kebijakan preventif
seperti:
Pembentukan badan anti-korupsi;
Peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk pemilu dan
partai politik;
Promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
Rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri) dilakukan
berdasarkan prestasi;
Adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai negeri) dan
mereka harus tunduk pada kode etik tersebut.;
Transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
Penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri yang korup;
Dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor publik yang
sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan publik;
Promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik; • untuk pencegahan
korupsi yang efektif, perlu upaya dan keikutsertaan dari seluruh komponen
masyarakat;
Seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan keterlibatan
organisasi non-pemerintah (LSM/NGOs) yang berbasis masyarakat, serta
unsurunsur lain dari civil society;
Peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap korupsi
termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan oleh
masyarakat yang mengetahui telah terjadi TP korupsi.
b. Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai kewajiban
negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi termasuk mengembangkan peraturan perundang-
undangan yang dapat memberikan hukuman (pidana) untuk berbagai tindak
pidana korupsi. Hal ini ditujukan untuk negara- negara yang belum
mengembangkan aturan ini dalam hukum domestik di negaranya. Perbuatan yang
dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana penyuapan dan
penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang perdagangan, termasuk
penyembunyian dan pencucian uang (money laundring) hasil korupsi. Konvensi
juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta.
c. Kerjasama internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah salah
satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang menandatangani
konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan satu sama lain dalam setiap
langkah pemberantasan korupsi, termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan
melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi. Negara- negara yang
menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk memberikan bantuan hukum
7
timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk digunakan di pengadilan serta
untuk mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan
langkah-langkah yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan
hasil tindak pidana korupsi.
PERTEMUAN 10
Dalam beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan bagaimana masyarakat Indonesia
semakin kritis terhadap permasalahan korupsi. Terungkapnya korupsi oleh penyelenggara
negara menjadi kabar buruk hampir setiap waktu, berdampak pada menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara, hingga memunculkan kekhawatiran akan
masa depan bangsa apabila situasi tidak bertambah baik. Kritisisme, keprihatinan dan
kekhawatiran tersebut kemudian menyadarkan berbagai pihak termasuk lembaga negara itu
sendiri untuk tidak berpangkutangan dan ikut berpartisipasi mendukung aksi pemberantasan
korupsi.
8
Memiliki sasaran dan tujuan yang berbeda dengan lembaga perusahaan swasta
dan/atau komersial. Tujuan utama dari lembaga publik adalah untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Lembaga publik bertujuan
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan pelayanan atau
jasa. dan dalam bekerja lembaga ini tidak berorientasi pada mencari keuntungan (non-
profit).
Sektor swasta dan BUMN rentan terlibat dalam tindak pidana kasus korupsi.
Dalam semua kasus korupsi yang ditangani KPK, sekitar 80% melibatkan swasta
antara lain suap-menyuap dan gratifikasi untuk mempengaruhi keputusan
penyelenggara negara atau pegawai negeri (Laporan Tahunan KPK 20). Korupsi tidak
hanya melibatkan oknum pejabat, tetapi melibatkan 2 kali lebih banyak pelaku usaha.
Saat ini semakin banyak gerakan antikorupsi yang lahir dari masyarakat sipil
(civil societ yang mana dalam aksi-aksinya juga melibatkan kerjasama dengan pihak
lain. Umutima bidang-bidang pencegahan menjadi fokus gerakan dan kerjasama
antikorupsi tersebut diantaranya pembangunan karakter integritas, perbaikan sistem
pendidikan/pelatihan antikorupsi partisipasi publik dan penguatan tatakelola
LSM pada umumnya lahir sebagai respon terhadap kurang baiknya kinerja
pemerintah Sebelum era reformasi, banyak LSM harus berhadapan dengan
Pemerintah karena tidak berjalannya proses demokratisasi. Dalam perkembangannya,
saat ini LSM bahkan justru dipandang sebagai mitra pemerintah dalam upaya
menangani suatu isu tertentu. Di Indonesia LSM Antikorupsi tumbuh cukup pesat,
beberapa diantaranya memiliki reputasi nasional seperti Indonesia Corruption Watch
(ICW), Transperancy International Indonesia (TII). Keduanya telah menjadi
pembentuk opini publik dan mitra pemerintah dalam upaya pencegahan korupsi.
9
3. Komunitas-komunitas Antikorupsi
Dalam beberapa tahun semakin banyak gerakan antikorupsi lahir dari basis
komunitas yang beragam seperti anak muda, guru, dosen, seniman, perempuan dan
sebagainya; dan pendekatan yang beragam dalam menyampaikan pesan antikorupsi.
Proses tumbuhnya komunitas antikorupsi diawali dengan menguatnya kesadaran diri
yang kemudian dilanjutkan dengan memilih peran berkontribusi dalam pencegahan
korupsi dengan cara mendirikan komunitas ataupun bergabung dengan komunitas
yang sudah ada.
PERTEMUAN 11
10
pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan
keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang
dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa
militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak
bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan
hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan
demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai
dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam
birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut
Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto,
padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri
Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ
Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan
lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia,
tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
11
korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa
Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan
intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan
dengan pemberantasan korupsi :
GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan
Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara,
Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang
Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak
koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
12
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga
negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia
membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya
pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk prilaku kejahatan yang dapat
merugikan negara, moral bangsa, hak asasi dan perekonomian. Orang yang
melakukan korupsi harus di hukum sesuai dengan peraturan undang-undang yang
telah ditetapkan, Dan juga sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Korupsi
sendiri dapat membawa dampak negatif yang sangat besar dan juga membawa negara
pada titik kehancuran.
Delik korupsi yang diambil dari KUHP, dan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP
Maksud dari delik korupsi yang ditarik secara mutlak adalah delit-delit yang
diambil dari KUHP dan kemudian diadopsi menjadi delit korupsi sehingga
delit tersebut tidak berlaku lagi dalam KUHP.
2. Delit korupsi yang di tarik secara tidak mutlak dalam KUHP
Maksud dari delit korupsi yang ditarik secra tidak mutlat dari KUHP adalah
delit yang diambil dengan keadaan tertentu yakni berkaitan dengan
pemeriksaan tindak pidana korupsi. Jadi berbeda dengan penarikan secara
mutlak, dimana ketentuan delik ini di dalam KUHP tetap berlaku dan dapat
diancamkan kepada seorang pelaku yang perbuatannya memenuhi unsur.
Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan pemeriksaan delik korupsi maka
yang akan diberlakukan adalah delik sebagaimana diatur dalam undang-undang
pemberantasan korupsi. Adapun delik korupsi yang ditarik secara tidak mutlak
dari KUHP ini terdapat di dalam Pasal 23 undang-undang nomor 31 tahun 1999
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu diambil dari Pasal 220, Pasal 231,
Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, dan Pasal 430 KUHP.
14
Pasal 2
Setiap orang yang melawan hukum di mana melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Maka akan
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Tindak pidana yang tidak selesai dapat diancam dengan sanksi pidana
sepanjang memenuhi syarat-syarat percobaan yang dapat dipidana yaitu:
1. Ada niat.
2. Adanya permulaan pelaksanaan.
3. Tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku.
Dan apabila suatu perbuatan pidana yang tidak selesai telah memenuhi ketiga
syarat di atas, maka kepada pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
tersebut.
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Maka dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (UU No. 31 Tahun
1999).
Pasal ini secara terbatas hanya dapat diterapkan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.
Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini,
terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri
sendiri, dan kerugian negara.[1] Ketiga unsur ini harus saling berhubungan dan dapat
dibuktikan keberadaannya. Adapun jenis tindak pidana korupsi terbagi dalam 7
(tujuh) kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12C UU
Tipikor, yaitu:
1. Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Tindak Pidana Korupsi berupa praktek suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 11, Pasal 6 ayat
(1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d;
3. Tindak Pidana Korupsi berupa penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 huruf a, huruf b dan huruf c);
4. Tindak Pidana Korupsi berupa pemerasan (Pasal 12 huruf e, huruf f dan huruf g);
5. Tindak Pidana Korupsi berupa perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
6. Tindak Pidana Korupsi berupa benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12
huruf i);
7. Tindak Pidana Korupsi berupa gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C).
Pelaku dari tindak pidana korupsi ini berasal dari pegawai negeri atau
penyelenggara negara, penegak hukum, atau siapa saja dalam jabatannya yang
merugikan keuangan negara.[2] Setelah pelaku ditangkap, pelaku dari tindak pidana
korupsi ini akan ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan
pengadilan khusus dalam Peradilan Umum.[3]
16
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggelapan yang diatur dalam
ketentuan pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh setiap orang, sementara penggelapan
yang diatur dalam UU Tipikor merupakan penggelapan yang hanya dapat dilakukan
oleh pegawai negeri dalam jabatannya. Selain itu tindak pidana korupsi terbagi dalam
7 bentuk dimana penggelapan dalam jabatan hanya salah satu bentuk dari tindak
pidana korupsi.
Dasar Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berada pada Buku Kedua
tentang Kejahatan Bab XXIV tentang Penggelapan (Lembaran Negara Nomor 127
Tahun 1958, Tambahan Lembaga Negara Nomor 1660).
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3874).
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Nomor 134 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016
D. GRATIFIKASI
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
(Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
Namun, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 30 hari sejak menerima gratifikas (Pasal 12 C
ayat (1) & (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Unsur-unsur Gratifikasi
17
3. “Berhubungan dengan jabatan” tidak perlu berdasarkan undang-undang atau
ketentuan administrasi, tetapi cukup jabatan tersebut memungkinkan baginya
untuk melakukan apa yang dikehendaki pemberi.
4. Penerimaan gratifikasi tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugas
penerima.
5. Penerimaan gratifikasi dilarang oleh hukum yang berlaku. Hal ini tidak dibatasi
aturan hukum tertulis semata, namun juga menyentuh aspek kepatutan dan
kewajaran yang hidup dalam masyarakat;
6. Unsur ini tidak menghendaki berbuat/tidak berbuatnya pegawai
negeri/penyelenggara negarasebelum ataupun sebagai akibat dari pemberian
gratifikasi;
7. Penerimaan yang memiliki konflik kepentingan.
8. Gratifikasi yang diterima tersebut tidak dilaporkan pada KPK dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
diterima.
Laporan gratifikasi disampaikan pada KPK atau saluran lain yang ditunjuk
KPK, seperti Unit Pengendali Gratifikasi pada
Kementerian/Lembaga/Organisasi Lainnya/Pemerintah Daerah (K/L/O/P)
yang telah mengimplementasikan Sistem Pengendalian Gratifikasi;
Laporan gratifikasi harus berisi informasi lengkap yang dituangkan dalam
Formulir Laporan Gratifikasi yang ditetapkan oleh KPK;
Telah dinyatakan lengkap dan diterima oleh KPK.
SANKSI
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
18
1. SK Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 138A/KMA/SK/VIII/2014 tentang
Pembentukan Unit Pengendali Gratifikasi Lingkungan Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan dibawahnya.
2. Peraturan Sekma Nomor: 3 Tahun 2014 tentang Penanganan Gratifikasi di
Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya.
3. Peraturan Sekma Nomor: 01B Tahun 2014 tentang Unit Pengendalian Gratifikasi
di Lingkungan Mahkamah Agung RI.
PERTEMUAN 12
Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau
corruptus yang itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, corruption,
corrupt, Perancis, corruption, dan Belanda, corruptie (korruptie). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Belanda.54 Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
Jika kata perbuatan korupsi dianalisis maka dalam kalimat tersebut terkandung
makna tentang suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan
sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu
kejadian). Dalam perbuatan penyuapan tersebut mungkin terdapat unsur memberi
janji yang dalam perkataan lain sering disebut “dengan menjanjikan sesuatu”, seperti
yang termuat dalam Pasal 209 KUHP, yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah
(=15 kali)”.
19
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.
Jika membicarakan korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah
dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang
sangat luas:
Istilah “korupsi” seringkali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme
yang selalu dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). KKN saat
ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda
pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari
program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency
International memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan
menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.
Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu:
a. Menyalahgunakan kekuasaan;
b. Kekuasaan yang dipercayakan(yaitu baik di sektor publik maupun di sektor
swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
c. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-
temannya).
Menurut Lubis dan Scott sebagaimana dikutip oleh IGM Nurdjana, dalam
pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa “dalam arti hukum, korupsi adalah
tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang
lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas
tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap
korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah
tercela”. Jadi pandangan korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa
tidak dan sebagai perbuatan tercela.
20
masyarakat bangsa kita diwarnai oleh sikap culas, nafsu saling menguntungkan diri
sendiri yang hal itu akan selalu dilakukan dengan segala macam cara.
a. Pasal 1 angka 3
b. Pasal 1 angka 4
c. Pasal 1 angka 5
a. Pasal 2
b. Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
21
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
1. Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan didalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat
(1) dan Pasal 7. a. Pasal 3 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
melakukan merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan,
baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain.
b. Menstrasfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.
c. Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain.
d. Menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri
maupun atas nama pihak lain.
e. Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri maupun atas nama
pihak lain.
22
f. Membawa keluar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana.
g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau
surat berharga lainnya. (Yunus Husein, 2007 : 45)
a. Penempatan
b. Pentrasferan
c. Pembayaran
d. Hibah
e. Sumbangan
f. Penitipan
g. Penukaran
3. Pasal 7
UU ini tidak mengatur subyek hukum bagi WNA dan Korporasi Asing.
Sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah kejahatan yang dilakukan
dalam batas wlayah negara (transnational), sehingga bukan tidak mungkin pelakunya
23
adalah WNA atau Korporasi Asing, tetapi tidak menjadi subyek hukum, dengan
demikian mereka tidak terjangkau undang-undang ini.
Sehingga Pasal 7 ini hanya berkaitan dengan Pasal 3 saja, sekali lagi untuk
WNA atau Korporasi Asing yang ada di Luar Negeri apabila menempatkan atau
mentrasfer Harta Kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana ke wilayah Negara
Ri tidak merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
C. OBSTRUCTION OF JUSTICE
UU Tipikor
24
1. Pada kasus Neneng Sri Wahyuni, ada Datuk Hasan dari Malaysia yang sudah
diputus dan inkraht, sekarang sedang menjalani di Lapas Sukamiskin.
2. Kasus Setya Novanto, ada Fredrich Yunadi, seorang pengacara.
Pasal 8 Kode Etik Advokat Profesi menyebutkan Advokat adalah profesi yang
mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi
selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam
melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan
Kode Etik ini.
D. JUSTICE COLLABORATOR
25
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun
1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat
sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang
selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab
itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice
collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice
collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia
(1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation
Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan
angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk
menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk
disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC,
pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum.
Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang
melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum
dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003).
Norma Hukum Nasional
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor
31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan
Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan
yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara
berbeda oleh penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu. Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak
pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak
pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat,
sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui
atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam
mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para
pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan
hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi
dalam perkara tersebut;
2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan
sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
26
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk
menjatuhkan putusan:
27
1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku
dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak
pidananya;
2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang
diungkapkannya dan/atau:
3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan
terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
3. Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :
Keringanan penjatuhan pidana; atau
Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang
berstatus narapidana.
28
lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka
hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu:
“boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.
E. SABER PUNGLI
a. Intelijen;
b. Pencegahan;
c. Penindakan; dan
d. Yustisi.
29
Organisasi
Menurut Perpres Nomor 87 Tahun 2016 itu, susunan organisasi Satgas Saber
Pungli terdiri atas:
a. Pengendali/Penaggung jawab:
b. Menko bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
c. Ketua Pelaksana: Inspektur Pengawasan Umum Polri;
d. Wakil Ketua Pelaksana I: Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri;
e. Wakil Ketua Pelaksana II: Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan;
f. Sekretaris: Staf Ahli di lingkungan Kemenko bidang Polhukam;
g. Anggota:
1. Polri;
2. Kejaksaan Agung;
3. Kementerian Dalam Negeri;
4. Kementerian Hukum dan HAM;
5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
6. Ombudsman RI;
7. Badan Intelijen Negara (BIN); dan
8. Polisi Militer TNI.
30
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Satgas Saber Pungli,
tulis di laman setkab.go.id, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara melalui Anggaran Belanja Kementerian Koordinator bidang Polhukam.
“Peraturan Presiden itu mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal
14 Perpres Nomor 87 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H. Laoly pada 21 Oktober 2016 itu. (X-2)
PERTEMUAN 13
A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PELAYANAN PUBLIK
31
Unsur pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat
sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda
bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan
atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan.
Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan
publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara
kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan
pelayanan.
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan
atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya
tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak
memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang
mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk
citra pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling
menguntungkan.
Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsure
kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk
menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan
pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi
daerahyang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya
perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma
rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian,
pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai
regulator/pembuat peraturan (rule government/peraturan pemerintah) harus mengubah
pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah,
yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk
terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah
daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk
mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan,
transparansi, akuntabilitas dan keadilan.
1. Pelayanan Barang
32
Pelayanan publik kategori ini bisa dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya merupakan kekayaan negara yang tidak bisa
dipisahkan atau bisa diselenggarakan oleh badan usaha milik pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
(Badan Usaha Milik Negara/BUMN).
2. Pelayanan Administratif
3. Pelayanan Pembangunan
4. Pelayanan Utilitas
33
6. Pelayanan Kemasyarakatan
34
inovasi pelayanan. Maka apabila penilaian kinerja internal ini dilakukan secara
berkala oleh penyelenggara pelayanan publik maka bukan hal sulit untuk mewujudkan
pelayanan prima yaitu pelayanan berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur
yang diberikan oleh penyelenggara layanan kepada penerima/pengguna layanan.
Pengawasan Eksternal
Dalam UU Pelayanan Publik pengawas eksternal terdiri dari masyarakat,
Ombudsman, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Jika leading
sector pengawasan eksternal ini berjalan secara sinergi maka pelayanan publik
berkualitas dan prima bisa dengan mudah kita wujudkan bersama. Sebagaimana kita
ketahui bersama berdasarkan UUD 1945 DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota memiliki 3 tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan. Terkait fungsi pengawasan ini DPR RI, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota dapat melakukan dengan memastikan apakah regulasi terkait
pelayanan publik yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat
diimplementasikan atau tidak oleh eksekutif selaku penyelenggara pelayanan publik.
DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga juga dapat melakukan
fungsi anggaran untuk memastikan bahwa persentasi anggaran yang ada setiap
instansi/lembaga yang bertujuan untuk penyelenggaran pelayanan publik efektif
dalam penggunaannya. DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga
dapat melakukan fungsi legislasinya dengan menyusun peraturan yang berdampak
pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pengawasan eksternal juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
menyampaikan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik kepada instansi terlapor/atasan terlapor dan jika tidak ada tanggapan
dapat menyampaikan laporan atau pengaduan tersebut kepada Ombudsman RI.
Fungsi kontrol dari pengawas eksternal ini menjadi penting untuk saling bersinergi,
sehingga diharapkan penyelenggara pelayanan publik bergerak cepat melakukan
berbagai upaya perbaikan dari setiap rekomendasi yang diberikan oleh pengawas
eksternal tersebut.
Peran Masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Rasanya mustahil kita mendapatkan pelayanan publik yang
berkualitas dan prima di tengah-tengah masyarakat yang apatis karena tidak peduli
apapun yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peran serta masyarakat
sudah dimulai dari proses penyusunan dan penetapan standar pelayanan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pelayanan Publik. Namun lebih jauh dari itu
ternyata masyarakat juga merupakan salah satu pengawas eksternal dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (3) huruf
a UU Pelayanan Publik. Sayangnya kedua peran masyarakat ini belum dilakukan
secara optimal baik oleh penyelenggara dalam proses penyusunan dan penetapan
standar pelayanan, maupun oleh masyarakat dalam melakukan fungsinya sebagai
salah satu pengawas eksternal dengan menyampaikan laporan atau pengaduan
masyarakat kepada instansi penyelenggara atau kepada Ombudsman RI.
Masih belum banyak penyelenggara pelayanan publik yang melibatkan
masyarakat dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan, padahal selain diatur
dalam UU Pelayanan Publik hal ini juga diatur dalam Permenpan RB Nomor 14
35
Tahun 2015 tentang Pedoman Standar Pelayanan (Permenpan RB 14/2015). Dalam
Permenpan RB 14/2015 setelah proses penyusunan rancangan standar pelayanan,
maka sebelum penetapan standar pelayanan maka penyelenggara wajib melibatkan
masyarakat dalam pembahasan rancangan standar pelayanan tersebut. Bentuk
pelibatan masyarakat dalam pembahasan rancangan standar pelayanan dapat
dilakukan dalam bentuk Diskusi Grup Terfokus(Focus Group
Discussion) atau Dengar Pendapat(Public Hearing). Proses pelibatan masyarakat ini
menjadi penting sehingga dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan dapat
memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi
lingkungan. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat berdemokrasi, salah satunya
dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan yang berkaitan
dengan pelayanan publik. Untuk itu peran pengawasan internal dan eksternal harus
berjalan secara optimal demi mewujudkan pelayanan prima yang berdampak pada
terciptanya kesejahteraan masyarakat.
PERTEMUAN 14
A. GERAKAN ANTI KORUPSI
1. Pencegahan
2. Penindakan
3. peran serta masyarakat.
36
B. PERAN STRATEGI MAHASISWA
1. Moralitas
2. Identifikasi korupsi
3. Pelaporan
37
Ketika mahasiswa yang memiliki moralitas tinggi dan memiliki
kemampuan interpersonal tinggi naik dan menggantikan generasi sekarang yang
dianggap penuh dengan koruptor, Tindakan korupsi diharapkan dapat ditekan
bahkan dihapuskan karena adanya kesadaran dalam diri mahasiswa untuk turut
memajukan Negara dengan tidak melakukan korupsi.
C. PERAN MAHASISWA
Dalam memerangi korupsi yang sedang marak terjadi ini, mahasiswa dengan
segala kekuatan kelebihan dan posisi yang strategisnya serta hak dan kewajibannya
sebagai bagian dari masyarakat, maka mahasiswa bisa mempunyai peran penting
dalam situasi ini. Peran atau keterlibatan mahasiswa dalam gerakan antikorupsi pada
dasarnya bisa dilakukan dari lingkup yang paling kecil, yaitu diri sendiri sampai
terlibat dalam upaya yang besar seperti keluarga dan lingkungan masyarakat bahkan
bisa melakukan upaya yang lebih kolosal dalam lingkup global.
38
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/42815425/GERAKAN_KERJASAMA_DAN_INSTRUMEN
_INTERNASIONAL_PENCEGAHAN_KORUPSI
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article?id=144:sejarah-panjang-
pemberantasan-korupsi-di-indonesia
https://penasosiologis.blogspot.com/2018/12/latar-belakang-perundang-undangan.html?
m=1
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/apakah-perbedaan-tindak-pidana-korupsi-dan-
penggelapan/
https://inspektorat.kebumenkab.go.id/wbs/index.php/publik/kategori/1
http://www.pn-watansoppeng.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=347:kenali-gratifikasi-dan-
sanksinya&catid=30&Itemid=151
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1778
9/05.2%2520bab%25202.pdf%3Fsequence%3D7%26isAllowed
%3Dy&ved=2ahUKEwi9tNa6i7b0AhUL_XMBHTczAysQFnoECBYQAQ&usg=AOvV
aw19F-nj7sFdlWMOlg74co7R
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/publications/12331-ID-
tindak-pidana-pencucian-uang.pdf&ved=2ahUKEwih-LyDjLb0AhUwyDgGHZ7-
CH0QFnoECDoQAQ&usg=AOvVaw2tte6o8ufhu6JnvwxDL95s
https://firmancandra.wordpress.com/2019/01/21/pengertian-obstruction-of-justice/amp/
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-
hukumnya/
https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/74500/inilah-fungsi-dan-
kewenangan-satgas-saber-pungli
http://old.programsetapak.org/id/partner/gerakan-anti-korupsi-gerak-anti-corruption-
movement/
https://www.kompasiana.com/amp/ernitatampubolon7843/6007a23e8ede4835500b3aa2/
peran-mahasiswa-dalam-memberantas-korupsi
https://id.scribd.com/document/363287501/Makalah-Peran-Mahasiswa-Dalam-Upaya-
Pemberantasan-Korupsi
1
http://khafidsociality.blogspot.com/2011/07/pelayanan-publik.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/pelayananpublik.id/2019/07/13/pelayanan-publik-
pengertian-karakteristik-hingga-tujuannya/amp/
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--pengawasan-pelayanan-publik-