Anda di halaman 1dari 41

MENCARI INFORMASI DAN REFERENSI BAHAN KAJIAN

PERTEMUAN 9-14
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Dosen Pengampu :
Dr. Yohan Frans U, S.H., M.H

Disusun Oleh :
Nadilla Choerunnisa
C1AA20062

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
KOTA SUKABUMI
2021
PERTEMUAN 9

A. GERAKAN KERJASAMA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL


PENCEGAHAN KORUPSI

Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan
kerjasama internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan
International NGOs. Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency
Internasional (TI) misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD
membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A
Framework for Integrity.

Korupsi adalah salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh
masyarakat internasional pada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan
hak-hak dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi dan proses
demokratisasi, namun juga mengancam pemenuhan hak asasi manusia, merusak
lingkungan hidup, menghambat pembangunan dan meningkatkan angka kemiskinan
jutaan orang di seluruh dunia. Keinginan masyarakat internasional untuk
memberantas korupsi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang lebih baik,
lebih bersih dan lebih bertanggung-jawab sangat besar. Keinginan ini hendak
diwujudkan tidak hanya di sektor publik namun juga di sektor swasta. Gerakan ini
dilakukan baik oleh organisasi internasional maupun Lembaga Swadaya
Internasional (International NGOs). Berbagai gerakan dan kesepakatankesepakatan
internasional ini dapat menunjukkan keinginan masyarakat internasional untuk
memberantas korupsi. Gerakan masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta di
tingkat internasional patut perlu diperhitungkan, karena mereka telah dengan gigih
berjuang melawan korupsi yang membawa dampak negatif rusaknya perikehidupan
umat manusia.

Menurut Jeremy Pope, agar strategi pemberantasan korupsi berhasil, penting


sekali melibatkan masyarakat sipil. Upaya apapun yang dilakukan untuk
mengembangkan strategi anti korupsi tanpa melibatkan masyarakat sipil akan sia- sia
karena umumnya negara yang peran masyarakat sipilnya rendah, tingkat korupsinya
akan tinggi.

Ada berbagai macam gerakan atau kerjasama internasional untuk


memberantas korupsi. Gerakan dan kerjasama ini dilakukan baik secara internasional
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, kerjasama antar negara, juga kerjasama oleh
masyarakat sipil atau Lembaga Swadaya Internasional (International NGOs).
Sebagai lembaga pendidikan, universitas merupakan bagian dari masyarakat sipil
yang memiliki peran stategis dalam mengupayakan pemberantasan korupsi.

1. Gerakan Organisasi Internasional

1
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, indonesia telah menjadi
negara peserta dalam beebrapa konvensi internasional yang mengatur kejaatan
transnational diantaranya :2

a. UN convention against lllicit traffic in narcotic drugs and psychotropic


substances yang diratifikasi dengan Undang – Undang No.7 tahun 1997,
b. UN convention against corruption (UNCAC) yang diratifikasi dengan Undang
– Undang No.7 tahun 2006, dan
c. UN convention against transnational organized crime yang diratifikasi dengan
Undang – Undang No.5 tahun 2009.

Beberapa gerakan serta instrumen internasional dan multilateral untuk


pencegahan dan pemberantasan korupsi diantaranya :

1) Perserikatan Bangsa – Bangsa (united nations)

Setiap 5 (lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa


(United Nations) menyelenggarakan Kongres tentang Pencegahan Kejahatan
dan Perlakuan terhadap Penjahat atau sering disebut United Nation Congress
on Prevention on Crime and Treatment of Offenders. Pada kesempatan
pertama, Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955. Sampai saat ini
kongres PBB ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakan di
Salvador pada bulan April 2010. Dalam Kongres PBB ke-10 yang diadakan di
Vienna (Austria) pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi menjadi topik
pembahasan yang utama. Dalam introduksi di bawah tema International
Cooperation in Combating Transnational Crime: New Challenges in the
Twenty-first Century dinyatakan bahwa tema korupsi telah lama menjadi
prioritas pembahasan. Untuk itu the United Nations Interregional Crime and
Justice Research Institute (UNICRI) telah dipercaya untuk menyelenggarakan
berbagai macam workshop dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan dalam
rangka penyelenggaraan Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna
tersebut.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi


disiplin (multidisciplinary approach) dengan memberikan penekanan pada
aspek dan dampak buruk dari korupsi dalam berbagai level atau tingkat.
Pemberantasan juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan pencegahan
korupsi baik tingkat nasional maupun internasional, mengembangkan cara atau
praktek pencegahan serta memberikan contoh pencegahan korupsi yang efektif
di berbagai negara. Beragam rekomendasi baik untuk pemerintah, aparat
penegak hukum, parlemen (DPR), sektor privat dan masyarakat sipil (civil-
society) juga dikembangkan.

Pelibatan lembaga-lembaga donor yang potensial dapat membantu


pemberantasan korupsi harus pula terus ditingkatkan. Perhatian perlu diberikan
pada cara-cara yang efektif untuk meningkatkan resiko korupsi atau

2
meningkatkan kemudahan menangkap seseorang yang melakukan korupsi.
Semua itu harus disertai dengan :3

a. Kemauan politik yang kuat dari pemerintah (strong political will);


b. Adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
peradilan;
c. Pemberdayaaan masyarakat sipil; serta
d. Adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses
informasi pada publik.

2) Bank Dunia

World Bank Institute mengembangkan Anti-Corruption Core


Program yang bertujuan untuk menanamkan awareness mengenai korupsi
dan pelibatan masyarakat sipil untuk pemberantasan korupsi, termasuk
menyediakan sarana bagi negaranegara berkembang untuk mengembangkan
rencana aksi nasional untuk memberantas korupsi. Program yang
dikembangkan oleh Bank Dunia didasarkan pada premis bahwa untuk
memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun tanggung jawab bersama
berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga yang harus
dilibatkan diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum, lembaga
pelayanan umum, watchdog institution seperti public- auditor dan lembaga
atau komisi pemberantasan korupsi, masyarakat sipil, media dan lembaga
internasional. Oleh bank dunia, pendekatan untuk melaksanakan program
anti korupsi dibedakan menjadi 2 (yakni), pendekatan dari bawah (bottom –
up) dan pendekatan dari atas (top – down).
Pendekatan dari bawah berasal dari 5 asumsi yakni :

a. Semakin luas pemahaman atau pandangan mengenai permasalahan yang


ada, semakin mudah untuk meningkatkan awareness untuk memberantas
korupis;
b. Network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh World Bank akan lebih
membantu pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk itu
perlu dikembangkan rasa saling percaya serta memberdayakan modal
sosial (social capital) dari masyarakat;
c. Perlu penyediaan data mengenai efesiensi dan efektifitas pelayanan
pemerintah melalui corruption diagnostics. Dengan penyediaan data dan
pengetahuan yang luas mengenai problem korupsi, reformasi
administratif-politis dapat disusun secara lebih baik. Penyediaan data ini
juga dapat membantu masyarakat mengerti bahaya serta akibat buruk dari
korupsi;
d. Pelatihan-pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox yang
disediakan oleh World Bank dapat membantu mempercepat
pemberantasan korupsi. Bahan-bahan yang ada dalam toolbox harus
dipilih sendiri oleh negara di mana diadakan pelatihan, karena harus

3
menyesuaikan dengan kondisi masingmasing negara; dan
e. Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh
negara peserta, diharapkan akan memiliki trickle-down effect dalam arti
masyarakat mengetahui pentingnya pemberantasan korupsi.

Untuk pendekatan dari atas atau top-down dilakukan dengan


melaksanakan reformasi di segala bidang baik hukum, politik, ekonomi
maupun administrasi pemeritahan. Corruption is a symptom of a weak state
and weak institution, sehingga harus ditangani dengan cara melakukan
reformasi di segala bidang. Pendidikan Anti Korupsi adalah salah satu
strategi atau pendekatan bottom-up yang dikembangkan oleh World Bank
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.

3) OECD (Organization for Economic Co – Operation and Development)

Setelah ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi


Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD,
didukung oleh PBB mengambil langkah baru untuk memerangi korupsi di
tingkat internasional. Sebuah badan pekerja atau working group on Bribery
in International Business Transaction didirikan pada tahun 1989. Pada
awalnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan OECD hanya melakukan
perbandingan atau me-review konsep, hukum dan aturan di berbagai negara
dalam berbagai bidang tidak hanya hukum pidana, tetapi juga masalah
perdata, keuangan dan perdagangan serta hukum administrasi.

Pada tahun 1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in


International Business Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya
instrumen ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana suap
dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini menghimbau negara-
negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman (pidana)
bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah tindak pidana
suap dalam bidang ini. Salah satu kelemahan dari konvensi ini adalah hanya
mengatur apa yang disebut dengan ’active bribery’, ia tidak mengatur pihak
yang pasif atau ’pihak penerima’ dalam tindak pidana suap. Padahal dalam
banyak kesempatan, justru mereka inilah yang aktif berperan dan memaksa
para penyuap untuk memberikan sesuatu.

4) Masyarakat uni eropa

Di negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara


internasional dimulai pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of
Europe Program against Corruption menerima kesepakatan politik untuk
memberantas korupsi dengan menjadikan isu ini sebagai agenda prioritas.
Pemberantasan ini dilakukan dengan pendekatan serta pengertian bahwa:
karena korupsi mempunyai banyak wajah dan merupakan masalah yang
kompleks dan rumit, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan

4
pendekatan multidisiplin; monitoring yang efektif, dilakukan dengan
kesungguhan dan komprehensif serta diperlukan adanya fleksibilitas dalam
penerapan hukum.

Pada tahun 1997, komisi menteri-menteri negara-negara Eropa


mengadopsi 20 Guiding Principles untuk memberantas korupsi, dengan
mengidentifikasi area- area yang rawan korupsi dan meningkatkan cara-cara
efektif dan strategi pemberantasannya. Pada tahun 1998 dibentuk GRECO
atau the Group of States against Corruption yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya
negaranegara Uni Eropa mengadopsi the Criminal Law Convention on
Corruption, the Civil Law Convention on Corruption dan Model Code of
Conduct for Public Officials.

2. Gerakan Lembaga Swadaya Internasional

Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional


non- pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian
mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat
internasional.

Setiap tahunnya TI menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi serta daftar


perbandingan korupsi di negara-negara di seluruh dunia. TI berkantor pusat di
Berlin, Jerman, didirikan pada sekitar bulan Mei 1993 melalui inisiatif Peter
Eigen, seorang mantan direktur regional Bank Dunia (World Bank). Pada tahun
1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index). CPI membuat peringkat tentang prevalensi korupsi di berbagai negara,
berdasarkan survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat
yang diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI
disusun dengan memberi nilai atau score pada negara-negara mengenai tingkat
korupsi dengan range nilai antara 1-10. Nilai 10 adalah nilai yang tertinggi dan
terbaik sedangkan semakin rendah nilainya, negara dianggap atau ditempatkan
sebagai negara-negara yang tinggi angka korupsinya.

CPI yang dikeluarkan oleh TI memang cukup banyak menuai kritik


terutama karena dinilai lemah dalam metodologi dan dianggap memperlakukan
negara-negara berkembang dengan tidak adil, serta mempermalukan pemerintah
negara-negara yang disurvey. Namun di lain pihak, TI juga banyak dipuji karena
telah berupaya untuk melakukan survey dalam menyoroti korupsi yang terjadi di
banyak negara. Pada tahun 1999, TI mulai menerbitkan Bribe Payer Index (BPI)
yang memberi peringkat negara-negara sesuai dengan prevalensi perusahaan-
perusahaan multinasional yang menawarkan suap. Misi utama TI adalah
menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi. TI tidak secara aktif
menginvestigasi kasus-kasus korupsi individual, namun hanya menjadi fasilitator

5
dalam memperjuangkan tata pemerintahan yang baik di tingkat internasional.
Hasil survey yang dilakukan oleh Transparency International, karena
diumumkan pada publik, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.

1) TIRI

TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen


internasional nonpemerintah yang memiliki head-office di London, United
Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara termasuk
Jakarta. TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas,
kesempatan besar untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan
merata di seluruh dunia akan dapat tercapai. Misi dari TIRI adalah
memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang adil dan berkelanjutan
dengan mendukung pengembangan integritas di seluruh dunia. TIRI berperan
sebagai katalis dan inkubator untuk inovasi baru dan pengembangan jaringan.
Organisasi ini bekerja dengan pemerintah, kalangan bisnis, akademisi dan
masyarakat sipil, melakukan sharing keahlian dan wawasan untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis yang diperlukan untuk
mengatasi korupsi dan mempromosikan integritas. TIRI memfokuskan
perhatiannya pada pencarian hubungan sebab akibat antara kemiskinan dan
tata pemerintahan yang buruk. Selain di Jakarta, TIRI memiliki kantor
perwakilan di Jerusalem, dan Ramallah, juga memiliki pekerja tetap yang
berkedudukan di Amman, Bishkek, Nairobi and Yerevan.

Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat


jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum Pendidikan
Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi. Jaringan ini
di Indonesia disingkat dengan nama I-IEN yang kepanjangannya adalah
Indonesian-Integrity Education Network. TIRI berkeyakinan bahwa dengan
mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti
Korupsi, mahasiswa dapat mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan
bangsa

3. Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi

Salah satu instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka


pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention
against Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara.
Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi internasional yang
diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal 31 Oktober 2003.
Beberapa hal penting yang diatur dalam konvensi adalah :

a. Masalah Pencegahan
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan Peradilan. Namun

6
menurut konvensi ini, salah satu hal yang terpenting dan utama adalah masalah
pencegahan korupsi. Bab yang terpenting dalam konvensi didedikasikan untuk
pencegahan korupsi dengan mempertimbangkan sektor publik maupun sektor
privat (swasta). Salah satunya dengan mengembangkan model kebijakan preventif
seperti:
 Pembentukan badan anti-korupsi;
 Peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk pemilu dan
partai politik;
 Promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
 Rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri) dilakukan
berdasarkan prestasi;
 Adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai negeri) dan
mereka harus tunduk pada kode etik tersebut.;
 Transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
 Penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri yang korup;
 Dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor publik yang
sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan publik;
 Promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik; • untuk pencegahan
korupsi yang efektif, perlu upaya dan keikutsertaan dari seluruh komponen
masyarakat;
 Seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan keterlibatan
organisasi non-pemerintah (LSM/NGOs) yang berbasis masyarakat, serta
unsurunsur lain dari civil society;
 Peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap korupsi
termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan oleh
masyarakat yang mengetahui telah terjadi TP korupsi.

b. Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai kewajiban
negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi termasuk mengembangkan peraturan perundang-
undangan yang dapat memberikan hukuman (pidana) untuk berbagai tindak
pidana korupsi. Hal ini ditujukan untuk negara- negara yang belum
mengembangkan aturan ini dalam hukum domestik di negaranya. Perbuatan yang
dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana penyuapan dan
penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang perdagangan, termasuk
penyembunyian dan pencucian uang (money laundring) hasil korupsi. Konvensi
juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta.

c. Kerjasama internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah salah
satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang menandatangani
konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan satu sama lain dalam setiap
langkah pemberantasan korupsi, termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan
melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi. Negara- negara yang
menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk memberikan bantuan hukum

7
timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk digunakan di pengadilan serta
untuk mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan
langkah-langkah yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan
hasil tindak pidana korupsi.

d. Pengembalian aset – aset hasil korupsi

Salah satu prinsip dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam


pengembalian aset-aset hasil korupsi terutama yang dilarikan dan disimpan di
negara lain. Hal ini merupakan isu penting bagi negara-negara berkembang yang
tingkat korupsinya sangat tinggi. Kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para
koruptor harus dapat dikembalikan karena untuk melakukan rekonstruksi dan
rehabilitasi, terutama di negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta
modal yang sangat besar. Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian
kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi. Untuk itu negaranegara yang
menandatangani konvensi harus menyediakan aturan-aturan serta prosedur guna
mengembalikan kekayaan tersebut, termasuk aturan dan prosedur yang
menyangkut hukum dan rahasia perbankan.

Berikut beberapa konferensi internasional dalam konteks implementasi United


Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diselenggarakan
dan dihadiri oleh berbagai negara di dunia :
 The Conference of the States Partiesto the United Nations Convention
against Corruption (Amman, 10-14 December 2006), the first session.
 The Conference of the States Parties to the United Nations Convention
against Corruption (Nusa Dua, Indonesia, 28 January-1 February 2008), the
second session.
 The Conference of the States Partiesto the United Nations Convention
against Corruption (Doha, 9-13 November 2009), the third session.
 Untuk Conference of the States Partiesto the United Nations
Convention against Corruption sesi ke-empat akan diselenggarakan di
Marrakech, 24-28 October 2011

PERTEMUAN 10

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan bagaimana masyarakat Indonesia
semakin kritis terhadap permasalahan korupsi. Terungkapnya korupsi oleh penyelenggara
negara menjadi kabar buruk hampir setiap waktu, berdampak pada menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara, hingga memunculkan kekhawatiran akan
masa depan bangsa apabila situasi tidak bertambah baik. Kritisisme, keprihatinan dan
kekhawatiran tersebut kemudian menyadarkan berbagai pihak termasuk lembaga negara itu
sendiri untuk tidak berpangkutangan dan ikut berpartisipasi mendukung aksi pemberantasan
korupsi.

1. Sektor Publik/Pemerintah Lembaga public

8
Memiliki sasaran dan tujuan yang berbeda dengan lembaga perusahaan swasta
dan/atau komersial. Tujuan utama dari lembaga publik adalah untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Lembaga publik bertujuan
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan pelayanan atau
jasa. dan dalam bekerja lembaga ini tidak berorientasi pada mencari keuntungan (non-
profit).

2. Sektor Swasta dan BUMN

Sektor swasta dan BUMN rentan terlibat dalam tindak pidana kasus korupsi.
Dalam semua kasus korupsi yang ditangani KPK, sekitar 80% melibatkan swasta
antara lain suap-menyuap dan gratifikasi untuk mempengaruhi keputusan
penyelenggara negara atau pegawai negeri (Laporan Tahunan KPK 20). Korupsi tidak
hanya melibatkan oknum pejabat, tetapi melibatkan 2 kali lebih banyak pelaku usaha.

3. Gerakan dan Kerjasama Masyarakat

Saat ini semakin banyak gerakan antikorupsi yang lahir dari masyarakat sipil
(civil societ yang mana dalam aksi-aksinya juga melibatkan kerjasama dengan pihak
lain. Umutima bidang-bidang pencegahan menjadi fokus gerakan dan kerjasama
antikorupsi tersebut diantaranya pembangunan karakter integritas, perbaikan sistem
pendidikan/pelatihan antikorupsi partisipasi publik dan penguatan tatakelola

Model-model gerakan antikorupsi Indonesia

1. Lembaga Pendidikan dan Pusat Studi Antikorupsi

Semakin banyak sekolah dan perguruan tinggi yang memandang pentingnya


pendidikan karakter yang mengutamakan nilai integritas dan antikorupsi. Sekolah
sekolah mengadakan matapelajaran karakter dan Perguruan Tinggi melaksanaan mata
kuliah Pendidikan Antikorupsi bagi anak-anak didiknya, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta KPK sangat
mendukung dan mengandalkan peran lembaga pendidikan dalam membangun
integritas di dunia pendidikan melalui kebijakan, pelatihan guru dan dosen maupun
penyediaan sumber-sumber bahan ajar seperti seperti modul, media belajar berbentuk
film dan sebagainya yang terkait antikorupsi.

2. Lembaga Swadaya Masyarakat Antikorupsi

LSM pada umumnya lahir sebagai respon terhadap kurang baiknya kinerja
pemerintah Sebelum era reformasi, banyak LSM harus berhadapan dengan
Pemerintah karena tidak berjalannya proses demokratisasi. Dalam perkembangannya,
saat ini LSM bahkan justru dipandang sebagai mitra pemerintah dalam upaya
menangani suatu isu tertentu. Di Indonesia LSM Antikorupsi tumbuh cukup pesat,
beberapa diantaranya memiliki reputasi nasional seperti Indonesia Corruption Watch
(ICW), Transperancy International Indonesia (TII). Keduanya telah menjadi
pembentuk opini publik dan mitra pemerintah dalam upaya pencegahan korupsi.

9
3. Komunitas-komunitas Antikorupsi

Dalam beberapa tahun semakin banyak gerakan antikorupsi lahir dari basis
komunitas yang beragam seperti anak muda, guru, dosen, seniman, perempuan dan
sebagainya; dan pendekatan yang beragam dalam menyampaikan pesan antikorupsi.
Proses tumbuhnya komunitas antikorupsi diawali dengan menguatnya kesadaran diri
yang kemudian dilanjutkan dengan memilih peran berkontribusi dalam pencegahan
korupsi dengan cara mendirikan komunitas ataupun bergabung dengan komunitas
yang sudah ada.

PERTEMUAN 11

A. SEJARAH TINDAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam


pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak
luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala
negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi
menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris
tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.

Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan


para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih
untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan
secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut
sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih


terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya
bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda
terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang disampaikan oleh
SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen
yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI,
Soeharto-Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitemn
memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan
bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak
ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat


untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap
periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa

10
pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan
keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang
dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa
militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak
bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan
hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan
demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai
dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam
birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut
Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto,
padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri
Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ
Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan
lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia,
tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”

1. BANJIR PERATURAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena


masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan
yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi
Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970,
pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang
PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik
yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar


Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat
untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena
pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara
di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan


dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi
pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde
Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus

11
korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa
Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan
intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan
dengan pemberantasan korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan
Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara,
Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang
Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

2. REFORMASI : PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH


BERLANGSUNG

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa


mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan
baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur
kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak
koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi


menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.
Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan
saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak
bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

12
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga
negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia
membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya
pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal
Komisi Pemberantasan Korupsi.

3. KPK LAHIR, PEMBERANTASAN KORUPSI TAK PERNAH TERHENTI

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar


ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang
jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag
dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU
KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang
berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan
legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan
pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang
melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah


awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan
Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma
sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem
hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan
umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling
mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.

B. LATAR BELAKANG LAHIRNYA DELIK KORUPSI DALAM PERUNDANG-


UNDANGAN KORUPSI

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu melahirkan suatu


peraturan perundang-undang yang mampu menerapkan ketentuan yang diatur di
dalam undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong para
penegak hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara yang lebih
tegas, beran dan tanpa memandang bulu. Akan tetapi, di samping peraturan yang
tegas juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi tersebut.
13
Namun kesadaran ini dapat timbul apabila masyarakat memiliki pegetahuan dan
pemahaman tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur oleh undang-
undang. 

Tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk prilaku kejahatan yang dapat
merugikan negara, moral bangsa, hak asasi dan perekonomian. Orang yang
melakukan korupsi harus di hukum sesuai dengan peraturan undang-undang yang
telah ditetapkan, Dan juga sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Korupsi
sendiri dapat membawa dampak negatif yang sangat besar dan juga membawa negara
pada titik kehancuran. 

Ada 2 bagian dalam perundang-undangan korupsi terkait lahirnya delit-delit


korupsi yaitu:

a. Delit Korupsi Yang Dirumuskan Oleh Pembuat Undang-Undang


Adapun delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang adalah
delik-delik yang dibuat dan dirumuskan secara khusus sebgai delik korupsi oleh
para pembuat undang-undang. Delik ini dibuat atau dirumuskan hanya meliputi 4
pasal saja di antaranya yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 15 undang-
undang nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia, beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai simbol pemberantasan
korupsi, baik sebagai kegagalan maupun sebagai keberhasilan. 

Delik korupsi yang diambil dari KUHP, dan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP
Maksud dari delik korupsi yang ditarik secara mutlak adalah delit-delit yang
diambil dari KUHP dan kemudian diadopsi menjadi delit korupsi sehingga
delit tersebut tidak berlaku lagi dalam KUHP. 
2. Delit korupsi yang di tarik secara tidak mutlak dalam KUHP
Maksud dari delit korupsi yang ditarik secra tidak mutlat dari KUHP adalah
delit yang diambil dengan keadaan tertentu yakni berkaitan dengan
pemeriksaan tindak pidana korupsi. Jadi berbeda dengan penarikan secara
mutlak, dimana ketentuan delik ini di dalam KUHP tetap berlaku dan dapat
diancamkan kepada seorang pelaku yang perbuatannya memenuhi unsur. 

Akan tetapi apabila ada kaitannya dengan pemeriksaan delik korupsi maka
yang akan diberlakukan adalah delik sebagaimana diatur dalam undang-undang
pemberantasan korupsi. Adapun delik korupsi yang ditarik secara tidak mutlak
dari KUHP ini terdapat di dalam Pasal 23 undang-undang nomor 31 tahun 1999
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu diambil dari Pasal 220, Pasal 231,
Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, dan Pasal 430 KUHP.

Berdasarkan undang-undang no. 31 tahun 1999 jo. uu no. 20 tahun 2001,


terdapat beberapa pasal yang mengatur perbuatan korupsi, antara lain:

14
 Pasal 2
Setiap orang yang melawan hukum di mana melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain.
 Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
 Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya. 
 Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Maka akan
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Tindak pidana yang tidak selesai dapat diancam dengan sanksi pidana
sepanjang memenuhi syarat-syarat percobaan yang dapat dipidana yaitu: 
1. Ada niat.
2. Adanya permulaan pelaksanaan.
3. Tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku.
Dan apabila suatu perbuatan pidana yang tidak selesai telah memenuhi ketiga
syarat di atas, maka kepada pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
tersebut.
 Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Maka dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (UU No. 31 Tahun
1999).
Pasal ini secara terbatas hanya dapat diterapkan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.

C. DELIK KORUPSI MENURUT UU NO 31 TAHUN 1999 TENTANG


PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
yang kemudian mengalami perubahan lagi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016 adalah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan
15
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini,
terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri
sendiri, dan kerugian negara.[1] Ketiga unsur ini harus saling berhubungan dan dapat
dibuktikan keberadaannya. Adapun jenis tindak pidana korupsi terbagi dalam 7
(tujuh) kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12C UU
Tipikor, yaitu:

1. Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Tindak Pidana Korupsi berupa praktek suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 11, Pasal 6 ayat
(1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d;
3. Tindak Pidana Korupsi berupa penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 huruf a, huruf b dan huruf c);
4. Tindak Pidana Korupsi berupa pemerasan (Pasal 12 huruf e, huruf f dan huruf g);
5. Tindak Pidana Korupsi berupa perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
6. Tindak Pidana Korupsi berupa benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12
huruf i);
7. Tindak Pidana Korupsi berupa gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C).

Pelaku dari tindak pidana korupsi ini berasal dari pegawai negeri atau
penyelenggara negara, penegak hukum, atau siapa saja dalam jabatannya yang
merugikan keuangan negara.[2] Setelah pelaku ditangkap, pelaku dari tindak pidana
korupsi ini akan ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan
pengadilan khusus dalam Peradilan Umum.[3]

Sementara itu, pengertian penggelapan berdasarkan dari Pasal 372 Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) adalah:

“Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu


benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada
padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggelapan,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan
hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.”

Penggelapan ini merupakan kejahatan yang hampir sama dengan pencurian,


tetapi pada saat terjadi penggelapan, barang sudah berada pada pelaku tanpa melalui
kejahatan atau melawan hukum.[4] Selain itu, kejahatan ini dapat dilakukan oleh
siapapun sepanjang barang tidak dikuasai pelaku secara melawan hukum. Dalam
proses beracara, pelaku penggelapan akan ditangani di lingkungan Peradilan Umum,
baik di Pengadilan Negeri sebagai pengadilan pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding.[5]

16
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggelapan yang diatur dalam
ketentuan pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh setiap orang, sementara penggelapan
yang diatur dalam UU Tipikor merupakan penggelapan yang hanya dapat dilakukan
oleh pegawai negeri dalam jabatannya. Selain itu tindak pidana korupsi terbagi dalam
7 bentuk dimana penggelapan dalam jabatan hanya salah satu bentuk dari tindak
pidana korupsi.

Dasar Hukum :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berada pada Buku Kedua
tentang Kejahatan Bab XXIV tentang Penggelapan (Lembaran Negara Nomor 127
Tahun 1958, Tambahan Lembaga Negara Nomor 1660).
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3874).
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Nomor 134 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

D. GRATIFIKASI

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
(Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).

Namun, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 30 hari sejak menerima gratifikas (Pasal 12 C
ayat (1) & (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).

Unsur-unsur Gratifikasi

1. Gratifikasi diperoleh dari pihak yang memiliki hubungan jabatan dengan


penerima. Makna dari unsur “berhubungan dengan jabatan” tersebut ditafsirkan
oleh Arrest Hoge Raad (Putusan Mahkamah Agung Belanda) tanggal 26 Juni
1916 sebagai berikut:
2. Tidaklah perlu pegawai negeri/penyelenggara negara berwenang melakukan hal-
hal yang dikehendaki atau diminta oleh pihak pemberi akan tetapi, cukup bahwa
jabatannya memungkinkan untuk berbuat sesuai kehendak pemberi;

17
3. “Berhubungan dengan jabatan” tidak perlu berdasarkan undang-undang atau
ketentuan administrasi, tetapi cukup jabatan tersebut memungkinkan baginya
untuk melakukan apa yang dikehendaki pemberi.
4. Penerimaan gratifikasi tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugas
penerima.
5. Penerimaan gratifikasi dilarang oleh hukum yang berlaku. Hal ini tidak dibatasi
aturan hukum tertulis semata, namun juga menyentuh aspek kepatutan dan
kewajaran yang hidup dalam masyarakat;
6. Unsur ini tidak menghendaki berbuat/tidak berbuatnya pegawai
negeri/penyelenggara negarasebelum ataupun sebagai akibat dari pemberian
gratifikasi;
7. Penerimaan yang memiliki konflik kepentingan.
8. Gratifikasi yang diterima tersebut tidak dilaporkan pada KPK dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
diterima.

Pelaporan gratifikasi dianggap telah dilakukan oleh penerima gratifikasi jika


memenuhi syarat di bawah ini:

 Laporan gratifikasi disampaikan pada KPK atau saluran lain yang ditunjuk
KPK, seperti Unit Pengendali Gratifikasi pada
Kementerian/Lembaga/Organisasi Lainnya/Pemerintah Daerah (K/L/O/P)
yang telah mengimplementasikan Sistem Pengendalian Gratifikasi;
 Laporan gratifikasi harus berisi informasi lengkap yang dituangkan dalam
Formulir Laporan Gratifikasi yang ditetapkan oleh KPK;
 Telah dinyatakan lengkap dan diterima oleh KPK.
 

SANKSI

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

PENERAPAN DI LINGKUNGAN PERADILAN

Program anti gratifikasi juga dicanangkan oleh Mahkamah Agung Republik


Indonesia melalui Reformasi Birokrasi yang harus diikuti pula oleh Badan-badan
Peradilan di bawahnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Road Map Reformasi
Birokrasi Mahkamah Agung RI Tahun 2015-2019, dalam bidang Penguatan
Pengawasan, salah satu hal yang telah dicapai, di antaranya yaitu adanya kebijakan
dalam penanganan gratifikasi dan public campaign anti gratifikasi yang dilakukan
secara berkala. Dalam Road Map tersebut, dinyatakan bahwa kebijakan dalam
penanganan gratifikasi, di antaranya termuat dalam:

18
1. SK Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 138A/KMA/SK/VIII/2014 tentang
Pembentukan Unit Pengendali Gratifikasi Lingkungan Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan dibawahnya.
2. Peraturan Sekma Nomor: 3 Tahun 2014 tentang Penanganan Gratifikasi di
Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya.
3. Peraturan Sekma Nomor: 01B Tahun 2014 tentang Unit Pengendalian Gratifikasi
di Lingkungan Mahkamah Agung RI.

PERTEMUAN 12

A. TINDAK PIDANA KORUPSI

Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau
corruptus yang itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, corruption,
corrupt, Perancis, corruption, dan Belanda, corruptie (korruptie). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Belanda.54 Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak


jujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.
c. Dapat pula berupa:
1. Korup (busuk; suka menerima uang suap uang/sogok; memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);
2. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya);
3. Koruptor (orang yang korupsi).

Dalam Kamus Hukum Inggris-Indonesia yang dikarang oleh S. Wojowasito,


WJS. Poerwadarminta, SAM. Gaastra, JC. Tan (Mich), arti istilah corrupt ialah busuk,
buruk, bejat, lancung, salah tulis, dan sebagainya, dapat disuap, suka disogok.
Corruption, artinya korupsi, kebusukan, penyuapan.

Jika kata perbuatan korupsi dianalisis maka dalam kalimat tersebut terkandung
makna tentang suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan
sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu
kejadian). Dalam perbuatan penyuapan tersebut mungkin terdapat unsur memberi
janji yang dalam perkataan lain sering disebut “dengan menjanjikan sesuatu”, seperti
yang termuat dalam Pasal 209 KUHP, yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah
(=15 kali)”.

19
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.
Jika membicarakan korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah
dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang
sangat luas:

a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan


sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
b. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Istilah “korupsi” seringkali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme
yang selalu dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). KKN saat
ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda
pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari
program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency
International memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan
menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.

Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu:

a. Menyalahgunakan kekuasaan;
b. Kekuasaan yang dipercayakan(yaitu baik di sektor publik maupun di sektor
swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
c. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-
temannya).

Menurut Lubis dan Scott sebagaimana dikutip oleh IGM Nurdjana, dalam
pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa “dalam arti hukum, korupsi adalah
tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang
lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas
tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap
korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah
tercela”. Jadi pandangan korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa
tidak dan sebagai perbuatan tercela.

Perbuatan korupsi pada dasarnya merupakan perbuatan yang anti sosial,


bertentangan dengan moral dan aturan hukum, maka apabila perbuatan tersebut tidak
dicegah atau ditanggulangi, akibatnya sistem hubungan masyarakat akan tidak
harmonis dan akan berproses ke arah sistem individualisme, main suap dan yang
semacamnya. Pada gilirannya mentalitas individu, kelompok atau sebagian

20
masyarakat bangsa kita diwarnai oleh sikap culas, nafsu saling menguntungkan diri
sendiri yang hal itu akan selalu dilakukan dengan segala macam cara.

Secara konstitusional pengertian tindak pidana korupsi disebutkan di dalam


Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang juga
menyebutkan mengenai kolusi (pada Pasal 1 angka 4) dan nepotisme (pada Pasal 1
angka 5), yaitu sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 3

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan


perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

b. Pasal 1 angka 4

Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar


Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

c. Pasal 1 angka 5

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan


hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, yaitu sebagai berikut:

a. Pasal 2

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar
rupiah).

b. Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

21
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan uraian mengenai tindak pidana korupsi di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan moral dan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan
dan/atau memperkaya diri sendiri dengan meyalahgunakan kewenangan yang ada
pada dirinya yang dapat merugikan masyarakat dan negara.

B. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pencucian Uang, Ada 3 (tiga) pengertian, yakni :

1. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003


adalah perbuatan menempatkan, mentrasfer, membayarkan, membelanjakan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya.
2. Atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil
Tindak Pidana.
3. Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Sedangkan
pengertian Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003, adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud.

Delik Pencucian Uang

1. Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan didalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat
(1) dan Pasal 7. a. Pasal 3 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
melakukan merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan,
baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain.
b. Menstrasfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.
c. Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain.
d. Menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri
maupun atas nama pihak lain.
e. Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri maupun atas nama
pihak lain.

22
f. Membawa keluar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana.
g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau
surat berharga lainnya. (Yunus Husein, 2007 : 45)

Dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asalusul Harta


Kekayaan yang diketahuinya, atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

2. Pasal 6 ayat (1) (1)

Setiap orang yang menerima atau menguasai :

a. Penempatan
b. Pentrasferan
c. Pembayaran
d. Hibah
e. Sumbangan
f. Penitipan
g. Penukaran

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil


tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah).

3. Pasal 7

Setiap Warga Negara Indonesia dan / atau Korporasi Indonesia yang


berada di Luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian
uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian
uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

Subyek hukum dari Pasal 7 adalah

1. Setiap Warga Negara Indonesia (WNI)


2. Korporasi Indonesia.

UU ini tidak mengatur subyek hukum bagi WNA dan Korporasi Asing.
Sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah kejahatan yang dilakukan
dalam batas wlayah negara (transnational), sehingga bukan tidak mungkin pelakunya

23
adalah WNA atau Korporasi Asing, tetapi tidak menjadi subyek hukum, dengan
demikian mereka tidak terjangkau undang-undang ini.

Sehingga Pasal 7 ini hanya berkaitan dengan Pasal 3 saja, sekali lagi untuk
WNA atau Korporasi Asing yang ada di Luar Negeri apabila menempatkan atau
mentrasfer Harta Kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana ke wilayah Negara
Ri tidak merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

C. OBSTRUCTION OF JUSTICE

Definisi Obstruction of Justice

Obstruction of Justice merupakan sutau tindakan seseorang yang menghalang-


halangi proses hukum. Dalam terminologi hukum pidana Obstruction of Justice
dikategorikan sebagai tindakan yang tidak patut dan bisa dikategorikan tindakan
kriminal.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Obstruction of Justice


adalah sebagai berikut :

UU Tipikor

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah


diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi : “ Setiap orang yang dengan sengaja merintangi, atau
menggagalkan langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan
sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga tahun ) dan paling lama
12 ( dua belas tahun ) atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 ( seratus lima puluh
juta rupiah ) dan paling banyak Rp 600.000.000 ( enam ratus juta rupiah ).

Pasal 221 KUHP Ayat (1)

1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan


atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan
kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman
atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang
terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan
kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau
penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda
terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan
lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat
kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan
undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan
jabatan kepolisian.

Beberapa kasus yang terjadi terkait Obstruction of Justice :

24
1. Pada kasus Neneng Sri Wahyuni, ada Datuk Hasan dari Malaysia yang sudah
diputus dan inkraht, sekarang sedang menjalani di Lapas Sukamiskin.
2. Kasus Setya Novanto, ada Fredrich Yunadi, seorang pengacara.

Advokat/Pengacara sebagai salah satu dari 4 Pilar Penegak Hukum

Advokat dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum,


undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada
kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian,
Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku
penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu
satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para
penegak hukum lainnya serta memiliki kode etik profesi sesuai Pasal 8.

Pasal 8 Kode Etik Advokat Profesi menyebutkan Advokat adalah profesi yang
mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi
selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam
melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan
Kode Etik ini.

Advokat dalam menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi


tanggung jawabnya berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan (lihat pasal 15 UU Advokat). Kemudian, di dalam pasal 26 ayat (2) UU
Advokat juga diatur bahwa advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi
advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Di pihak lain, advokat berharap kejujuran dari klien dalam menjelaskan


semua fakta mengenai kasus yang dihadapinya kepada advokat. Advokat juga
berharap klien mempercayai bahwa advokat menangani dan membela
kepentingan klien dengan profesional dan dengan segala keahlian yang
dimilikinya.

D. JUSTICE COLLABORATOR

Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius,


karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang
sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku
suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan  penegak hukum.
Peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak
pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai
kepada negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus
sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya
dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan  hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan.
Terminologi

25
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun
1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat
sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang
selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab
itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice
collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice
collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia
(1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation
Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan
angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk
menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk
disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC,
pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan  (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum.
Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang
melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum
dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003).
Norma Hukum Nasional
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam  Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor
31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan
Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan
yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara
berbeda oleh penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu. Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak
pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak
pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat,
sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui
atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam
mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para
pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan
hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi
dalam perkara tersebut;
2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan
sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.

26
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk
menjatuhkan putusan:

 Pidana percobaan bersyarat dan atau;


 Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam
masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-
hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat
jaksa maupun bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan
peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice
collaborator mendapatkan perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan
perlindungan terhadap justice collaborator.  KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur
posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif
kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu,
perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice
collaborator.
Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana
peraturan tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan
hukum namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang
ditemukan adalah  penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. 
Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang
tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum
lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak
saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan
khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014
khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut:
1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang
akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut
diberikan tidak dengan iktikad baik.
2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan
atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah
diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia
laporkan atau ia berikan  kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses


pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

27
1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku
dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak
pidananya;
2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang
diungkapkannya dan/atau:
3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan
terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
3. Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :
 Keringanan penjatuhan pidana; atau
 Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang
berstatus narapidana.

Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara
tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan
Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan  bersyarat, remisi tambahan, dan
hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan
rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No.


31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan  dalam pelaksanaannya.
Kelemahan pertama adalah untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke
LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas
diatur. Pada kondisi demikian, muncul pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK,
apakah permohonan sebagai justice collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau
kepada keduanya? Dalam praktik, ada tiga jawaban atas pertanyaan tersebut di atas.
Pertama; permohonan sebagai justice collaborator diajukan kepada KPK. Kedua,
untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang
menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa
dikategorikan sebagai justice collaborator atau tidak bisa, keputusannya ditentukan
oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan justice
collaborator menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan dalam
menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status justice collaborator atau
tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya
tidak mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap
pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman
seorang justice collaborator. Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk
mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada justice
collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat
dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP
merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh
dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut,
sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-
lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK,

28
lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka
hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu:
“boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.

E. SABER PUNGLI

Dengan pertimbangan bahwa praktik pungutan liar (Pungli) telah merusak


sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pemerintah memandang
perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu
menimbulkan efek jera. Dalam upaya pemberantasan pungutan liar itu, pemerintah
memandang perlu dibentuk satuan tugas sapu bersih pungutan liar.Atas dasar
pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2016 telah
menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan
Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, yang selanjutnya disebut Satgas Saber Pungli.
“Satgas Saber Pungli berkedudukan di bawah bertanggung jawab kepada Presiden,”
bunyi Pasal 1 ayat (2) Perpres ini.

Menurut Perpres ini, Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan


pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan
pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di
kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.

Dalam melaksanakan tugasnya, menurut Perpres ini, Satgas Saber Pungli


menyelenggarakan fungsi:

a. Intelijen;
b. Pencegahan;
c. Penindakan; dan
d. Yustisi.

Adapun wewenang Satgas Saber Pungli adalah:

a. Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar;


b. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak
lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi;
c. Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan
pungutan liar;
d. Melakukan operasi tangkap tangan;
e. Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, serta kepala
pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas lain unit Saber
Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayaan publik kepada pimpinan
kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan
g. Melakukan evaluasi pemberantasan pungutan liar.

29
Organisasi

Menurut Perpres Nomor 87 Tahun 2016 itu, susunan organisasi Satgas Saber
Pungli terdiri atas:

a. Pengendali/Penaggung jawab:
b. Menko bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
c. Ketua Pelaksana: Inspektur Pengawasan Umum Polri;
d. Wakil Ketua Pelaksana I: Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri;
e. Wakil Ketua Pelaksana II: Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan;
f. Sekretaris: Staf Ahli di lingkungan Kemenko bidang Polhukam;
g. Anggota:
1. Polri;
2. Kejaksaan Agung;
3. Kementerian Dalam Negeri;
4. Kementerian Hukum dan HAM;
5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
6. Ombudsman RI;
7. Badan Intelijen Negara (BIN); dan
8. Polisi Militer TNI.

Menurut Perpres ini, untuk melaksanakan tugas Satgas Saber Pungli,


Pengendali/Penanggung jawab Satgas Saber Pungli dapat mengangkat kelompok ahli
dan kelompok kerja sesuai kebutuhan. “Kelompok ahli sebagaimana dimaksud berasal
dari unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan unsur lain yang mempunyai keahlian di
bidang pemberantasan pungutan liar,” bunyi Pasal 6 ayat (2) Perpres ini.

Sementara Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud, keanggotaannya terdiri


dari unsur-unsur kementerian/lembaga.

Pepres ini juga menegaskan, bahwa kementerian/lembaga dan pemerintah


daerah melaksanakan pemberantasan pungutan liar di lingkungan kerja masing-
masing, dan membentuk unit pemberantasan pungutan liar pada satuan pengawas
internal atau unit kerja lain di lingkungan kerja masing-masing.

“Unit pemberantasan pungutan liar yang berada pada masing-masing


kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan tugasnya
berkoordinasi dengan Satgas Saber Pungli,” bunyi Pasal 8 ayat (5)

Perpres ini.Perpres ini juga menegaskan, masyarakat dapat berperan serta


dalam pemberantasan pungutan liar, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui media elektronik atau non elektronik, dalam bentuk pemberian informasi,
pengaduan, pelaporan, dan/atau bentuk lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

30
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Satgas Saber Pungli,
tulis di laman setkab.go.id, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara melalui Anggaran Belanja Kementerian Koordinator bidang Polhukam.

“Peraturan Presiden itu mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal
14 Perpres Nomor 87 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H. Laoly pada 21 Oktober 2016 itu. (X-2)

PERTEMUAN 13
A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PELAYANAN PUBLIK

Konsep dasar atau pengertian Pelayanan Publik (Public Services);

Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan:


“Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk
barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”
Departemen Dalam Negeri (2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik
adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu
proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan
kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap
pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan
tersebut, dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan
sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau
organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan
kepuasan kepada penerima pelayanan.
Penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh penyelenggara pelayanan
publik yaitu penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan
pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan
usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi
pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak
untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat
umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik
yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah.
Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah
organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua,
adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi
yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan
dan/atauditerima oleh penerima layanan (pelanggan).

31
Unsur pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat
sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda
bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan
atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan.
Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan
publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara
kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan
pelayanan.
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan
atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya
tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak
memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang
mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk
citra pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling
menguntungkan.
Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsure
kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk
menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan
pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi
daerahyang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya
perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma
rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian,
pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai
regulator/pembuat peraturan (rule government/peraturan pemerintah) harus mengubah
pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah,
yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk
terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah
daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk
mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan,
transparansi, akuntabilitas dan keadilan.

B. KATEGORI PELAYANAN PUBLIK

Ada beberapa jenis pelayanan publik yang diselenggarakan untuk masyarakat.


Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan
keputusan MENPAN No.63/KEP/MENPAN/7/2003 kegiatan pelayanan umum atau
publik antara lain:

1. Pelayanan Barang

Pelayanan pengadaan dan penyaluran barang bisa dikatakan mendominasi


seluruh pelayanan yang disediakan pemerintah kepada masyarakat.

32
Pelayanan publik kategori ini bisa dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya merupakan kekayaan negara yang tidak bisa
dipisahkan atau bisa diselenggarakan oleh badan usaha milik pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
(Badan Usaha Milik Negara/BUMN).

Pelayanan barang Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk


atau jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon,
penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

2. Pelayanan Administratif

Pelayanan publik dalam kategori ini meliputi tindakan administratif


pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam perundang-undangan
dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta
benda juga kegiatan administratif yang dilakukan oleh instansi nonpemerintah
yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam perundang-undangan serta
diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.

Pelayanan administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai


bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status
kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap
suatu barang dan sebagainya.

Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat


dalam tugas-tugas umum pemerintahan seperti pelayanan Kartu Keluarga/KTP,
IMB, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi.

3. Pelayanan Pembangunan

Pelayanan Pembangunan merupakan pelayanan masyarakat yang terkait


dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada
masyarakat dalam aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan
jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya.

4. Pelayanan Utilitas

Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air,


telepon, dan transportasi.

5. Pelayanan Kebutuhan Pokok

Pelayanan Kebutuhan Pokok merupakan pelayanan yang menyediaan


bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti
penyediaan beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah.

33
6. Pelayanan Kemasyarakatan

Pelayanan Kemasyarakatan merupakan pelayanan yang berhubungan


dengan sifat dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan,
penjara, rumah yatim piatu dan lainnya. 

C. PENGAWASAN TERHADAP PELAYANAN PUBLIK

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi


penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.  Selama 2 dekade
ini tentunya masih banyak hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan oleh
Ombudsman RI dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Dalam hal pengawasan pelayanan publik, selain menjadi tugas, fungsi dan
kewenangan Ombudsman RI masih belum banyak yang mengetahui bahwa ada
elemen lain yang memiliki tugas tersebut. Pasal 35 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) mengatur bahwa pengawas pelayanan
publik terbagi menjadi 2 yaitu pengawas internal dan eksternal. Pengawasan internal
penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: (1) Pengawasan
penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas
eksternal. (2) Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan
melalui: a. pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan b. pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (3) Pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik
dilakukan melalui: a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, b. pengawasan oleh
Ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan c. pengawasan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 
Pengawasan Internal
Jika kita berharap pelayanan publik semakin hari semakin baik maka
pengawasan internal menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. UU Pelayanan Publik membagi pengawas internal
yaitu pengawasan oleh atasan langsung dan pengawasan oleh pengawas fungsional
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu yang dapat dilakukan oleh
pengawas internal, khususnya oleh atasan langsung yaitu dengan melakukan evaluasi
kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik ini telah diatur dalam
Permenpan RB Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit
Penyelenggara Pelayanan Publik (Permenpan RB 17/2017), dalam Permenpan RB
tersebut ada 6 aspek yang dinilai yaitu  kebijakan pelayanan, profesionalisme SDM,
sarana prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, dan

34
inovasi pelayanan. Maka apabila penilaian kinerja internal ini dilakukan secara
berkala oleh penyelenggara pelayanan publik maka bukan hal sulit untuk mewujudkan
pelayanan prima yaitu pelayanan berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur
yang diberikan oleh penyelenggara layanan kepada penerima/pengguna layanan.
Pengawasan Eksternal
Dalam UU Pelayanan Publik pengawas eksternal terdiri dari masyarakat,
Ombudsman, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.  Jika leading
sector pengawasan eksternal ini berjalan secara sinergi maka pelayanan publik
berkualitas dan prima bisa dengan mudah kita wujudkan bersama.  Sebagaimana kita
ketahui bersama berdasarkan UUD 1945 DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota memiliki 3 tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan. Terkait fungsi pengawasan ini DPR RI, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota dapat melakukan dengan memastikan apakah regulasi terkait
pelayanan publik yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat
diimplementasikan atau tidak oleh eksekutif selaku penyelenggara pelayanan publik. 
DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga juga dapat melakukan
fungsi anggaran untuk memastikan bahwa persentasi anggaran yang ada setiap
instansi/lembaga yang bertujuan untuk penyelenggaran pelayanan publik efektif
dalam penggunaannya.  DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga
dapat melakukan fungsi legislasinya dengan menyusun peraturan yang berdampak
pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pengawasan eksternal juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
menyampaikan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik kepada instansi terlapor/atasan terlapor dan jika tidak ada tanggapan
dapat menyampaikan laporan atau pengaduan tersebut kepada Ombudsman RI. 
Fungsi kontrol dari pengawas eksternal ini menjadi penting untuk saling bersinergi,
sehingga diharapkan penyelenggara pelayanan publik bergerak cepat melakukan
berbagai upaya perbaikan dari setiap rekomendasi yang diberikan oleh pengawas
eksternal tersebut.
Peran Masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Rasanya mustahil kita mendapatkan pelayanan publik yang
berkualitas dan prima di tengah-tengah masyarakat yang apatis karena tidak peduli
apapun yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peran serta masyarakat
sudah dimulai dari proses penyusunan dan penetapan standar pelayanan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pelayanan Publik. Namun lebih jauh dari itu
ternyata masyarakat juga merupakan salah satu pengawas eksternal dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 35  ayat (3) huruf
a UU Pelayanan Publik. Sayangnya kedua peran masyarakat ini belum dilakukan
secara optimal baik oleh penyelenggara dalam proses penyusunan dan penetapan
standar pelayanan, maupun oleh masyarakat dalam melakukan fungsinya sebagai
salah satu pengawas eksternal dengan menyampaikan laporan atau pengaduan
masyarakat kepada instansi penyelenggara atau kepada Ombudsman RI.
Masih belum banyak penyelenggara pelayanan publik yang melibatkan
masyarakat dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan, padahal selain diatur
dalam UU Pelayanan Publik hal ini juga diatur dalam Permenpan RB Nomor 14

35
Tahun 2015 tentang Pedoman Standar Pelayanan (Permenpan RB 14/2015).  Dalam
Permenpan RB 14/2015 setelah proses penyusunan rancangan standar pelayanan,
maka sebelum penetapan standar pelayanan maka penyelenggara wajib melibatkan
masyarakat dalam pembahasan rancangan standar pelayanan tersebut.  Bentuk
pelibatan masyarakat dalam pembahasan rancangan standar pelayanan dapat
dilakukan dalam bentuk Diskusi Grup Terfokus(Focus Group
Discussion) atau Dengar Pendapat(Public Hearing). Proses pelibatan masyarakat ini
menjadi penting sehingga dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan dapat
memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi
lingkungan. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat berdemokrasi, salah satunya
dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan yang berkaitan
dengan pelayanan publik. Untuk itu peran pengawasan internal dan eksternal harus
berjalan secara optimal demi mewujudkan pelayanan prima yang berdampak pada
terciptanya kesejahteraan masyarakat.

PERTEMUAN 14
A. GERAKAN ANTI KORUPSI

Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya pemberantasan


korupsipun sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Berbagai
peraturan perundangan tentang pemberantasan korupsi juga sudah dibuat Demikian
juga berbagai institusi pemberantasan korupsi silih berganti didirikan, dimulai dari
Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967 sampai dengan pendirian KPK pada
tahun 2003. Namun demikian harus diakui bahwa upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil maksimal. Hal ini antara lain terlihat
dari masih rendahnya angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, walaupun ada
peningkatan akhir-akhir ini

Berdasarkan UU No. 30 tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


dirumuskan sebagai serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan
undang-undang tersebut menyiratkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak akan
pernah berhasil tanpa melibatkan peran serta masyarakat.

Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga) unsur


utama, yaitu:

1. Pencegahan
2. Penindakan
3. peran serta masyarakat.

36
B. PERAN STRATEGI MAHASISWA

Demikianlah perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan idealismenya, untuk


memerangi ketidakadilan. Namun demikian, perjuangan mahasiswa belumlah
berakhir. Di masa sekarang ini, mahasiswa dihadapkan pada tantangan yang tidak
kalah besar dibandingkan dengan kondisi masa lampau. Kondisi yang
membuatBangsa Indonesia terpuruk, yaitu masalah korupsi yang merebak di seluruh
bangsa ini. Mahasiswa harus berpandangan bahwa korupsi adalah musuh utama
bangsa Indonesia dan harus diperangi Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat
melakukan peran preventif terhadap korupsi dengan membantu masyarakat dalam
mewujudkan ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak,
sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat.

Berikut adalah peran mahasiswa dalam pemberantasan korupsi :

1. Moralitas

Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa diharapkan memiliki


kemampuan interpersonal yang lebih tinggi sehingga memiliki moral, rasa peduli
dan rasa bertanggung jawab untuk turut memajukan Negara Indonesia dengan
memberantas korupsi. Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikannya cenderung
memiliki tenggang rasa yang lebih baik terhadap Negara dan masyarakat
sekitarnya dan cenderung benci terhadap tindakan korupsi.

2. Identifikasi korupsi

Mahasiswa fakultas tertentu (khususnya hukum dan ekonomi) memiliki


kemampuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa suatu tindakan korupsi lebih
baik daripada masyarakat pada umumnya. Mahasiswa memiliki pengetahuan
mengenai standar standar identifikasi dan analisis korupsi dari segi finansial
maupun hukum. Dengan kemampuan ini mahasiswa diharapkan dapat
memperbaiki kualitas penegakkan hukum di Indonesia.

3. Pelaporan

Seorang mahasiswa yang telah mengidentifikasi adanya tindakan korupsi


oleh suatu entitas, cenderung berhasil melaporkan tindakan korupsi tersebut
kepada pemerintah karena mahasiswa dianggap memiliki suara yang lebih
didengarkan oleh pemerintah dan mampu menekan pemerintah. Selain itu
mahasiswa cenderung lebih berani untuk melaporkan tindakan korupsi tersebut
karena mereka memiliki pengetahuan akan prosedur dan langkah hukum untuk
melaporkan suatu tindakan korupsi.

4. Generasi masa depan

37
Ketika mahasiswa yang memiliki moralitas tinggi dan memiliki
kemampuan interpersonal tinggi naik dan menggantikan generasi sekarang yang
dianggap penuh dengan koruptor, Tindakan korupsi diharapkan dapat ditekan
bahkan dihapuskan karena adanya kesadaran dalam diri mahasiswa untuk turut
memajukan Negara dengan tidak melakukan korupsi.

Kualitas kualitas professional maupun interpersonal yang ditanamkan pada


mahasiswa saat ini diharapkan mampu untuk memberantas korupsi yang terus
menggerogoti Negara Indonesia. Dengan artikel peran mahasiswa dalam
pemberantasan korupsi ini, kami harapkan anda dapat lebih mengerti pentingnya
pendidikan bukan hanya untuk memperoleh hard skill, namun juga untuk
mendapatkan kemampuan interpersonal dan moralitas yang lebih baik
Mahasiswa harus berani berpikir lebih luas, bahwa penilaian akademik hanyalah
angka, tidak terlalu berdampak dalam membentuk karakternya sebagai mahasiswa.
Hal yang sesungguhnya dapat membentuk karakter seorang mahasiswa adalah
kepekaan mereka terhadap fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Mereka harus
dapat lebih reaktif terhadap segala yang terjadi di bangsa ini. Sehingga peran
mahasiswa sebagai Agent of Change dapat lebih terasa, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah. Mereka berfungsi sebagai wakil masyarakat dalam mengawal segala
kebijakan pemerintah. Termasuk juga mengawal pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Untuk mewujudkan hal tersebut, mahasiswa dapat memulai dari lingkup
yang lebih kecil. Yaitu menciptakan lingkungan kampus yang berintegritas. Oleh
karena mereka adalah calon pemimpin bangsa di masa depan, melatih diri sejak dini
untuk menghilangkan perilaku-perilaku koruptif adalah termasuk langkah dalam
pencegahan korupsi di masa mendatang.

Kemudian mashasiswa juga dapat berperan untuk melakukan pencegahan


dengan terjun langsung ke masyarakat. Mahasiswa dapat mensosialisasikan segala hal
yang merupakan pencegahan terjadinya korupsi dan menghilangkan budaya perilaku
koruptif di dalam masyarakat. Kemudian yang lebih vital lagi adalah mahasiswa harus
mengontol segala kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Pemerintah butuh untuk
diawasi dan dikritisi supaya terwujud kebijakan-kebijakan yang dapat menghasilkan
keadilan dan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Termasuk hal terkait pemberantasan
korupsi, mahasiswa bisa menuntut pemerintah untuk lebih aktif dan serius dalam
segala upaya pemberantasan korupsi.

C. PERAN MAHASISWA
Dalam memerangi korupsi yang sedang marak terjadi ini, mahasiswa dengan
segala kekuatan kelebihan dan posisi yang strategisnya serta hak dan kewajibannya
sebagai bagian dari masyarakat, maka mahasiswa bisa mempunyai peran penting
dalam situasi ini. Peran atau keterlibatan mahasiswa dalam gerakan antikorupsi pada
dasarnya bisa dilakukan dari lingkup yang paling kecil, yaitu diri sendiri sampai
terlibat dalam upaya yang besar seperti keluarga dan lingkungan masyarakat bahkan
bisa melakukan upaya yang lebih kolosal dalam lingkup global.

38
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/42815425/GERAKAN_KERJASAMA_DAN_INSTRUMEN
_INTERNASIONAL_PENCEGAHAN_KORUPSI

https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article?id=144:sejarah-panjang-
pemberantasan-korupsi-di-indonesia

https://penasosiologis.blogspot.com/2018/12/latar-belakang-perundang-undangan.html?
m=1

https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/apakah-perbedaan-tindak-pidana-korupsi-dan-
penggelapan/

https://inspektorat.kebumenkab.go.id/wbs/index.php/publik/kategori/1

http://www.pn-watansoppeng.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=347:kenali-gratifikasi-dan-
sanksinya&catid=30&Itemid=151

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1778
9/05.2%2520bab%25202.pdf%3Fsequence%3D7%26isAllowed
%3Dy&ved=2ahUKEwi9tNa6i7b0AhUL_XMBHTczAysQFnoECBYQAQ&usg=AOvV
aw19F-nj7sFdlWMOlg74co7R

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/publications/12331-ID-
tindak-pidana-pencucian-uang.pdf&ved=2ahUKEwih-LyDjLb0AhUwyDgGHZ7-
CH0QFnoECDoQAQ&usg=AOvVaw2tte6o8ufhu6JnvwxDL95s

https://firmancandra.wordpress.com/2019/01/21/pengertian-obstruction-of-justice/amp/

https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-
hukumnya/

https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/74500/inilah-fungsi-dan-
kewenangan-satgas-saber-pungli

http://old.programsetapak.org/id/partner/gerakan-anti-korupsi-gerak-anti-corruption-
movement/

https://www.kompasiana.com/amp/ernitatampubolon7843/6007a23e8ede4835500b3aa2/
peran-mahasiswa-dalam-memberantas-korupsi

https://id.scribd.com/document/363287501/Makalah-Peran-Mahasiswa-Dalam-Upaya-
Pemberantasan-Korupsi

1
http://khafidsociality.blogspot.com/2011/07/pelayanan-publik.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/pelayananpublik.id/2019/07/13/pelayanan-publik-
pengertian-karakteristik-hingga-tujuannya/amp/

https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--pengawasan-pelayanan-publik-

Anda mungkin juga menyukai