Anda di halaman 1dari 16

PENGAJARAN MAHÂRAH AL-KITABAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ilmu allugho Attatbiq
Dosen Pengampu:
Mukhson Nawawi, M. A

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
SEMANTIK LEKSIKAL YANG TERDAPAT PADA TEKS
WAHYU DALAM AL QURAN SURAT AL-IKHLAS

Qurani Izzati Rahmah Muhammad


Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Abstract
The problem of reading the Qur'an has always been a cool object
of discussion, where the use of Arabic including sound or 'nash' is an
important factor in understanding the implied meaning of Arabic
written texts. The Qur'an addresses issues based on the culture of the
people. Al-ikhlas does not only discuss normative theology but also in
sociological contexts and psychological conditions which tend to show
transparency, against fanaticism. And all of that will lead to the first
process of making the meaning of the text in the situational context that
created it.
Key words
Al-Ikhlas, Semantic, Tafsir, Meaning, Lesikal, Wahyu

A. Pendahuluan

Wacana universal yang sering kita dengar dan saksikan di


kalangan masyarakat, termasuk para pemikir kontemporer di dunia
Islam, adalah persoalan pembacaan teks Al wahyu, yang berkaitan
dengan keberadaannya, dan begitu kental dengan ideologi Arab lokal,
yang di posisikan pada tingkat Al-Qur'an. Yang berarti ada hubungan
yang logis.Ketika wahyu ini diturunkan di dunia Arab, terutama ketika
turun nya wahyu ini di sesuaikan dengan bahasa setempat yang
digunakan, itu juga akan memberikan warna atau gaya teks wahyu
dalam berbagai aspek, seperti logis pola, pemikiran, tradisi, budaya dan
lain-lain Peta tatanan sosial, sehingga sulit untuk menentukan apakah
itu perintah tuhan atau memang tradisi budaya mereka sendiri (budaya
Arab), statemen ini sudah jelas ditemukan dalam al-Qur'an dalam
firman-Nya sebagai berikut: "Lisanun Arabiyyun Mubin", artinya: Bahwa
bahasa al-Qur'an menggunakan bahasa Arab yang nyata (QS. AlNahl: 103).
ini dilontarkan oleh kalangan linguis barat semisal Ferdinand
De Saussure, yang mengatakan: "Bahwa bahasa merupakan tanda atau
simbol", dan Ia menganggap teks sama dengan bahasa yang
menyimpan makna-makna dan tanda-tanda, disini tidak dibedakan
antara bahasa biasa seperti bahasa manusia, atau bahasa transendental
seperti bahasa teks wahyu, semua ini berlaku pada keseluruhan bahasa
tanpa kecuali. Ia memberikan penjelasan tentang tanda dalam
hubungan manusia dengan manusia lain atau manusia dengan apapun
yang ada dalam genggaman manusia dengan cara memebedakan antara
penanda dengan petanda atau signified dengan signifiant. Penanda
adalah aspek material bahasa atau suara yang menghasilkan makna
sedangkan petanda adalah aspek mental bahasa yakni konsep atau
pemaknaan dari sebuah bahasa (Kurniawan, 2001:13-14).
Oleh karena itu, perlu membaca dengan cermat untuk
memahami kerangka Al-Qur'an secara rinci, sedangkan pembacaan,
interpretasi dan penakwilan bukan hanya karena itu adalah bahasa
yang diturunkan di dunia Arab atau di wilayah tertentu. Melainkan
juga merupakan produk budaya, hasil dialektika teks apokaliptik dan
realitas masyarakat Arab yang ada.
Melalui asumsi tersebut, penafsiran ini memperoleh maknanya
karena berupaya mengembalikan Al-Qur'an kepada perintah aslinya,
yang tidak dipahami secara asal-asalan, tetapi harus dipahami dalam
konteks untuk menemukan maksud yang sebenarnya. Yang
menyebabkan pembaca mengarahkan makna awal ke makna sekunder
yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu makna yang sesuai untuk
setiap tempat dan setiap zaman. Inilah yang dimaksud dengan Al-
Qur'an mengikuti perkembangan zaman tetapi zaman tidak mengikuti
al-qur'an, Sebab teks wahyu terbatas, turun dalam kurun waktu yang
sangat terbatas pula, sedangkan zaman tidak terbatas terus menerus
berkembang, tidak stagnan.

B. Pembacaan Teks terhadap Wahyu dalam Al-Qur’an

Pembacaan terhadap teks wahyu ada disebabkan bahasa yang


digunakan dalam wahyu banyak mengandung kalimat-kalimat yang
sepadan (musytarak) atau dalam bahasa indonesia dikenal dengan
sebutan polisemi, kalimat majaz, metafora, perumpamaan, dan bahasa
al-Qur'an merupakan bahasa yang sangat luas, mendalam dan tidak
terbatas pada satu makna atau satu tunjukan (Harb, 2003:40).
Di samping berisi ayat-ayat mutsyabihat juga terdapat ayat-ayat
yang berisi ayat-ayat muhkamat, maka pola fikir orang Arab Islam
harus mampu menemukan solusi terhadap fenomena-fenomena yang
penting ini, terutama, untuk para pembaca non Arab, . Jika ahli balagah
membagi konsep majaz untuk mengungkapkan keunikan bayan dari al-
Qur'an, maka ahli (teologi) menciptakan konsep takwil untuk
menghilangkan Persinggunga antara teks dan nalar. Sebab, selama
bahasa teks bersifat metaforis, yaitu menggunakan bahasa tidak
sebagaimana aslinya, maka takwil (penafsiran) harus kembali kepada
signifikansi yang hilang, atau kita harus pindah dari satu signifikansi
kesignifikansi yang lainnya (Harb, 2003:40).
Landasan dasar dari pendapat-pendapat ini adalah kalam wahyu
(AlQur'an) adalah teks paling utama (aula an-nushush), ia adalah kalam
yang paling fasih, paling ringkas, paling banyak simbolnya dan paling
banyak maknanya dan khas dengan takwil. Dalam arti, tidak
mengutamakan satu makna dengan makna lainnya dan mengutamakan
satu signifikansi antara signifikansi lainnya, dan tidak semata-mata
merupakan perbedaan dan perpisahan, perbedaan pandangan dan
pemisahan keinginan yang mengakibatkan perpecahan umat dan
kelompoknya.
Roland Barthes (1982:62-63) berpendapat bahwa di mana
perkataan yang di ucapan menjadi "ensiklopedi" yang memuat semua
definisi, yang di ibarat kan seperti cahaya yang meyorotkan sinarnya
menuju seluruh relasi yang mungkin, dan symbol yang berubah
menjadi sejarah dan esensi. Yang menjadi sebuah konsekwensinya
adalah ditemukan pluralitas dan perbedaan esensi, waktu dan wacana.
Sedangkan jika Al-Qur'an adalah mukjizat bayan (Harb, 2003:42),
maka tidaklah jauh dari realitas keadaan yang ada jika kita katakan
bahwa i'jaz adalah potensi yang tak lekang dari takwil atau penafsiran
(pembacaan ulang), i'jaz bayani bukan hanya sebagai signifikansi final
yang hanya terungkap sekali untuk selamanya.
Pada aspek konseptual nya, pembacaan tidak berhenti dalam
aspek berhentinya teks, apaplagi teks wahyu yang telah lama berhenti
turun semenjak nabi Muhammad sudah meninggal dunia, ini bukan di
artikan putus dari pemaknaan dan proses pembacaan, bahkan akan
terus menerus membutuhkan pembacaan secara intensif yang
melampaui ruang dan waktu sesuai dengan kondisi yang
terjadiataupun situasi dimana tempat terjadi nya, dan bahkan butuh
pembacaan dan pemahaman yang mendalam dengan mengerahkan
segenap pengetahuan yang dimiliki tanpa batas dan tanpa berhenti
berinovasi.
Teks hendaknya menjadi ranah kajian atau pemikiran, ini
menjelaskan bahwa teks membutuhkan sebuah pembacaan yang
mengubah dari sekedar kemungkinan menjadi proses pengetahuan
yang produktif. Oleh karena itu, syarat pembacaan (Harb; 2003:20) dan
alasan keberadaannya, semestinya berbeda dengan teks yang dibaca,
dan hendaknya pembacaan itu membuka tabir apa yang tidak dan
belum ditemukan sebelumnya Agar lebih jelas dan terbukti. Adapun
model pembacaan yang membahas apa yang diucapkan seorang
pengarang maka pada dasarnya ia tidak menjastifikasi asal dari sebuah
karangan tersebut. Karena asal adalah lebih utama dibanding dengan
pembacaan, oleh karenanya tidak membutuhkan pembacaan, tetapi jika
pembacaan itu, secara mendasar, mengakui bahwa dirinya
membicarakan apa yang tidak diungkapkan oleh seorang pengarang,
maka dalam hal ini, pembacaan tidak membutuhkan teks dan bahkan ia
menjadi lebih utama dibanding teks. Demikianlah model pembacaan
yang menyia-nyiakan teks dan yang berlawanan dengan model
pembcaan yang menyia-nyiakan dirinya sendiri, pembacaan yang
seperti ini sama dengan tidak membaca atau pembacaan yang tergolong
sia-sia.
Adapun pembacaan yang hidup adalah suatu usaha
pembacaan
terhadap esensi teks yang berbeda sebagaimana, pada saat yang
sama, teks tersebut berbeda dengan dirinya sendiri. Ia adalah
pembacaan yang aktif produktif (Harb, 2003:21) terhadap berbagai teks.
Perbedaan bukan berarti aib atau berlawanan, sebaliknya, ia merupakan
kemungkinan dan kekuatan.
Pembacaan yang baik bukan berarti pembacaan yang membahas
apa yang dijelaskan oleh teks, tetapi membuka tabir apa yang yang
tidak disentuh dan yang dilupakan oleh teks. Yakni, pembacaan itu
tidak menafsirkan tafsirannya sendiri, tetapi membuka sesuatu yang
dihalangi dalam ucapan dan penjelasan. Oleh karena itu, pembacaan
seperti ini tidak memberlakukan teks sebagai wacana yang jelas dan
sejenis ‚khitab muhkan mutajanis‛ (Harb; 2003:22), tetapi sebagai sebuah
kerancuan, yaitu teks yang beragam dan semu, yang berbeda dengan
dirinya sendiri sebagaimana perbedaan pembacaan terhadap teks,
semisal pembacaan Ibnu Arabi terhadap teks al Quran, dan
pergumulannya dengan teks tersebut.
ini merupakan masalah teks yg mendasar , yang seluruhmya
menjuru kepada konsep membaca produktif yg melampaui segalanya
yang tertulis dalam teks. Secara lebih spesifik, membaca diorientasikan
sebagai membaca teks-teks dan melakukan ekperimentasi-
ekperimentasi untuk menembus hal-hal yg masih ambigu dan hal-hal
yang bersifat mungkin. yaitu membaca yang tidak hanya membaca yg
telah diketahui saja untuk membuka tabir nya serta untuk menilainya,
tapi untuk menyebutkan secara detail segala hal yang majhul, mistik
dan jauh menggunakan asumsi bahwa teks tersebut menjadi sesuatu
yang sangat mungkin buat diteliti dan dikoleksi. Jadi, praksisnya, siapa
pu yang membaca teks, baik pada bentuk teks qashidah, cerita atau
dalam bentuk teks falsafat, secara pasti, jangan sampai membacanya
hanya mengetahui mengetahui nilai-nilainya atau hanya buat
mengungkap empiris serta masa berlakunya saja. tapi harus bagi
seseorang pembaca membaca menggunakan membaca aktif produktif,
kemudian berusaha segala kemungkinan-kemungkinan dengan
mengungkap segala sekat-sekat kelas dan mengeluarkan isi dan atau
berusaha penjelasan dalam teks tadi.
Demikian, membacayang wajib dicapai dalam membaca sebuah
teks,hingga teks wahyu, jadi seseorang pembaca bukan membaca
menggunakan membaca hal-hal yang dogmatis serta hanya membaca
yg ilmiah-epistemologis, adalah bahwa membaca bukan bersifat linier,
dimana si pembaca hanya melihat kebenaran wangsit-ilham dan ayat-
ayat serta hanya mendukung kevalidan wahyu saja, disamping
memang harus kita berusaha memberikan bagiannya, oleh karenanya,
saat membaca ihwal kenabian, ini berarti tidak berinteraksi secara data,
yang mana hanya mengungkap makna yang mengarah pada satu acara
saja, akan tetapi jua asal dimensi realitas itu sendiri, artinya bahwa
eksistensi teks kenabian itu sendiri mirip relaitas teks-teks kebahasaan
yg lain yang merasa lelah dirinya untuk

C. Kerangka Teori dalam Analisis Teks Wahyu Al-Qur’an

Menurut Geoffery Leech, ada beberapa kemajemukan makna


dalam konteks (Leech, 2003:100-101), sehingga sangat dibutuhkan
konteks tertentu untuk memahami segala sesuatu, baik konteks
kebahasaan maupun konteks non kebahasaan, kemajemukan atau
kekhususan makna tersebut dapat dilihat karena posisinya sebagai
berikut:
Pertama, Konteks dapat menghilangkan ketaksaan makna
tertentu atau dapat menghilangkan dualisme makna dalam satu pesan,
misalkan, kita harus mengetahui secara benar bahwa kata page pada
saat tertentu dapat bermakna anak seorang penjaga, bukan bagian dari
kertas.
Kedua, Konteks dapat mengarahkan kepada sumber dari jenis
suatu kata tertentu, yang kita sebut dengan deitic seperti, ini, itu, disini,
disana, sekarang dan sebagainya. Dan dapat mengetahui suatu ekspresi
yang lain dari makna yang sebenarnya, seperti kata saya, kalian, dia,
seorang lelaki dan sebagainya.
Ketiga, Teks juga dapat memberikan imformasi atau berita, yang
mana bagi si pembicara atau si penulis menghilangkannya dengan cara
membuang kalimat sebelumnya atau dengan cara mempersingkat kata,
misalkan kita memanggil Zaid tetapi tidak mengatakan sesuatu apapun
kepadanya kecuali hanya berupa pangggilan saja, sedangkan dia
mengetahui makna panggilan tersebut dari konteks, bahwa panggilan
itu dimaksudkan untuk membuka jendela misalkan, tetapi kalimat
sebelumnya dibuang karena sudah dimaklumi.
Konteks merupakan pasar untuk mengetahui makna secara
mendetail, tidak membedakan antara konteks dalam bentuk kebahasaan
mapun konteks yang berada dalam eksistensi non kebahasaan, Fierth
melukiskan bahwa makna sesungguhnya hanya dapat diungkap
melalui pengkontektualisasian unit-unit bahasa, artinya
memposisikannya dalam berbagai konteks yang berbeda, tanpa ada
dikotomi konteks. (Umar, 1982:21).
Konteks peristiwa artinya proses berlansungnya sebuah
peristiwa, keterkaitan, relasinya antara satu dengan yang lainnya, jadi
apabila ada satu peristiwa bersamaan dengan kondisi yang
melingkupinya, itulah yang disebut sebagai realitas kejadian dalam
konteksnya, dan apabila berlawanan dengan keberadaan waktu atau
kondisi yang ada maka harus mencari peneyebab dari keberlawaanan
ini, seperti misalkan konteks sakit, konteks gejala-gejala kejiwaaan, dan
atau fenomena social (Saliba, 1994:681).
Oleh karenanya, pembahasan terhadap makna-makna kata
menjuru kepada adanya beberapa konteks atau posisi-posisi yang ada
dalamnya, walaupun itu menyangkut sesuatu yang berasal dari non
kebahasaan, dengan demikian makna kata-kata berlandaskan pluralitas
konteks yang ada.
Jelaslah bahwa konteks sangat membutuhkan keberadaan
sesuatu untuk dapat menemukan makan dari sebuah teks, oleh sebab
itu makna harus dilihat dalam setiap konteksnya yang ada, dapat
dirumuskan sebagai berikut:

(Makna = konteks adalah sesuatu yang dapat disaksikan)

Karena terkadang bahasa tidak berkaitan lansung dengan


kenyataan sebagaimana kenyataan juga tidak berhubungan lansung
dengan bahasa, maka, dalam praktiknya sebagian para ahli linguistik
semisal Blomfeld mengatakan: "Bahwa makna mengikuti bentuk
sederhana dari sebuah konteks", dimana hubungan antara konteks dan
makna tidak secara lansung (Leech, 2003:97). Hal ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:

(Makna = Sesuatu yang dapat diperoleh dari konteks yang ada)


(Makna = Sesuatu yang dapat direduksi menjadi konteks yang ada)

Tampak dari sini , bahwa makna dapat diperoleh melalui


pengulangan konteks, atau dapat dijelaskan bahwa keberadaan makna
karena keberadaan konteks, sedangkan makna sangat membutuhkan
tempat untuk dapat dipahami dengan benar dan jelas. Walaupun belum
tentu konteks tidak mesti membawa kepada makna yang sempurna.
D. Mauqif (Situasional Contex) dalam penetap makna Teks
Wahyu

Pendekatan kontektual yang dimotori oleh Fierts sendiri


mengatakan bahwa makna sebuah kata dapat diketahui lewat
penggunaannya dalam bahasa atau metode yang digunakan, atau dapat
dilihat dalam peran yang dimainkannnya (Umar, 1982:56). Misalkan,
pendekatan konteks situasional harus mengetahui kondisi dimana
penggunaan satu kata dalam konteks situasi eksternal seperti
penggunaan kata yarham pada saat mendengar orang bersin dari
kalimat yahamukallah, artinya mendoakannya dalam rangka mengharap
rahmat kesehatan di dunia bukan untuk negeri akhirat, berbeda
dengan kalimat Allahu yarhamuh yang konteknya untuk orang yang
sudah meninggal dunia yang mana artinya adalah memintakan rahmat
untuk negeri akhirat.
Pendekatan konteks mauqif (situasional contex) digunakan karena
sangat singkron dengan penelitian ini, dimana penelitian ini ingin
menggali makna surat al-Kafirun dengan segenap keberadaan teks
dengan realitas yang sedang berkembang pada saat itu.
Mauqif disini dapat diartikan sebagai berikut;
Pertama, Posisi atau keberadaan manusia atau hewan secara
objektif, dan sering dimutlakkan dengan eksistensi dan mengukurnya
kepada keberadaan realitas yang ada.
Kedua, Dalam kajian psikologi atau kajian ilmu-ilmu social
mauqif (konteks situasional) diartikan sebagai penempatan makhluk
hidup atau wujud person yang dilihat dari segi interaksinya dalam satu
dari beberapa kurun waktu beserta lingkungan sosial, lingkungan alam
dan model pemikirannya.
Ketiga, Standar mauqif (konteks situasional) ini sendiri adalah
standar yang diambil berdasarkan ikatan yang diambil dari
premispremis realitas yang ada, khususnya dalam kejadian yang
bersifat parsial, tidak terikat dengan ketentuan undang-undang dan
prinsipprinsip tata nilai secara umum. (Saliba, 1994:450)
Menurut Hasan Hanafi, bahwa membaca sebuah teks sama
dengan proses memahaminya, sedangkan alat untuk memahami adalah
logika bahasa, orientasi teks atau konteks mauqif-nya (situasional contex)
dan semangat zamannya, hal inilah yang akan mampu menunujukkan
kita kepada proses penakwilan. artinya sebuah pembacaan adalah
sebuah proses rekonstruksi makna dalam persepsi si pembaca (Saenong,
2002:125). Sedangkan menurut Ali Harb pembacaan soyogyanya harus
mensyaratkan makna baru, tidak dikatakan membaca kalau tidak
memberikan makna baru pada sebuah pembacaaan.

E. Membaca Surat Al Ikhlas: Perspektif Semantik Leksikal


Terhadap Surat Al-ikhlas

Sebelum mcnerawang lebih jauh dapat di sini diungkapkan


makna secara umum dari surat al Ikhlas yang di jelaskan abu Hurairah
bahwa surat ini adalah surat yang menginformasikan tentang
keyakinan yang ada di dunia Arab khususnya, baik system yang telah
lama berkembang maupun system yang baru datang, yaitu imformasi
tentang keberadaan tiga keyakinan dan konsep ketuhanan system yang
saling berdialektik satu dengan lainnya, dengan membawa idiologi-
idiologi masing-masing. Tidak seperti anggapan para ulama' tafsir
konvensional bahwa surat ini adalah semata termasuk surat tauhid,
artinya surat yang mengandung perintah tauhid karena di dalamnya di
pahami sebagai surat yang berisi perintah pelepasan orang-orang
mukmin dari perbuatan syirik, menyembah patung dll, wallahua'lam.
Secara rinci akan diutarakan sub-sub yang akan dianalisis
dengan mengetengahkan beberapa unsur yang dapat mewakili objek
kajian seperti kata "ahad", "`shomad", "`yalid", “yulad” dan kata "kufuan",
lima kata tersebut –selayang pandang- dianggap sebagai kata yang
transenden lagi sakral.
Tetapi sebelumnya akan didiskripsikan secara singkat tentang
makna awal yang didapatkan dalam beberapa tafsir secara umum
Pertama, kata ahad, anggapan jumhur muslimin dan mayoritas
para ulama' tafsir khususnya dalam surat al-Ikhlas mengenai makna
kata ini adalah sebuah kata yang menyimbolkan bahwa Allah Tuhan
Segala alam yang Esa tidak ada selainnya.
Kedua, kata `Shomad, menunjuk kepada Tuhan sebagai tempat
Meminta segala sesuatu dan tidak ada tempat meminta selainnya.
Ketiga, kata `yalid, menunjuk pada aktivitas Tuhanyang bersifat
semata bahwa dia lah satunya yang ada dan tidak melahirkan anak
yang menghadir kan kuasa baru dan menjadikan iya seperti manusia.
Kempat, kata yulad, menunjuk kepada keyakinan yang dianut
kaum nasrani yang menjadikan nya Tuhan adalah mahluk yang di yang
di lahirkan oleh manusia dan islam membantah perihla itu dengan ayat
ini yang menjelaskan tugan tidak di lahirkan
Kelima, kata kufuan, menunjuk penekanan bahwa tidak ada siapa
pun yang setara dengan Tuhan sang Pencipta alam semesta
Dimulai dengan asumsi para mufassir, dimana mereka tidak
sedikitpun beranggapan bahwa kata-kata tersebut sebagai kata-kata
yang men-sosial dan bersifat humanis atau menyejarah, padahal ayat
ayat tersebut merupakan khitab terhadap apa yang di yakini dan di
pahami oleh keyakinan orang Nasrani, Majusi, dan Yahudi bahkan
kaum penyembah berhala.
Apakah betul khitab Ahad tersebut hanya sebagian penjelasan
bahwa Tuhan itu yang esa? Dan apa esensi dari kalimat Esa?
Sebab ketika mereka bahwa kata Esa itu hanya bilangan dan kata
melahirkan bahwa Tuhan itu melahirkan sebuah mahluk maka itu
sudah melanggar nalar yang menjelaskan bahwa Tuhan berkuasa atas
segala hal, dengan demikian bangsa Arab pada saat itu menganggap
peneyembahan mereka kepada mereka hanya untuk mendekatkan diri
mereka dengan kepada hakikat ESA sekalipun mereka melalaikan
Tuhan mereka karena keyakinan mreka kepada esensi Esa dan
peranakan
Seandainya mereka terbatas kata Esa pada bentuk materialnya
saja dalam keyakinan berarti mereka menyakini banyak tuhan, tetapi
tidak sama sekali, mereka mengakui adanya Pencita tunggal yaitu
Allah.
Jadi, tidak valid jikalau Esa adalah sebuah bilangan yang
menjadikan Tuhan itu berbilang dan banyak, tetapi khitab esa di sana
(dalam konteks ini) berarti ketertutupan mereka terhadap apa yang
dibawa oleh Muhammad saw. berupa sunnah hasanah, yang
berorientasi pada pembenahan tradisi yang meyakini bahwa tuha itu
ada banyak dan mereka yang masih kental dengan paham-paham
Tuhan yang banyak dan Tuhan yang melahirkan, yang mendarah
daging menjadi keyakinan dan idiologi mereka, sedangkan Muhammad
datang membawa bendera hikmah, pembenahan (rekonstruksi) untuk
membawa perubahan system jahiliyah yang ada, mengajak mereka
dibawah kesetaraan dan panji keadilan, tidak lagi menganut corak atau
identitas individual semata. Karena itulah mereka melawan dan
menutup diri dengan sunnah yang baru ini, disebabkan mereka sama
sekali tidak pernah mengenal system seperti ini (egalitarian, keadilan
dan kebersamaan) yang tidak dibatasi oleh kesukuan dan kefanatikan
mereka, tetapi saying mereka hanya tahu kebersamaan sebatas suku
mereka sendiri tidak dengan yang lainnya, diskripsi ini semua
menunjukkan kondisi situasional realitas dari konteks zaman itu.
Jika kita melihat keseluruhan argumentasi tersebut diatas
niscaya kita dapat menemukan imformasi baru dari ungkpan Tuhan
yang mengatakan: " Kul huwa Allah Hu ahad", bahwa hakikat dari khitab
ini berarti klaim dan informasi kepada kaum kafir bahwa Tuhan Allah
ada lah Tuhan yang esa. Tidak ada Sekutu baginya dia ialah yang Esa
tanpa ada bilangan yang meliputi nya, tetapi khitab ini
mengimformasikan kepada kita bahwa di zaman itu kaum Yahudi
menjadikan Tuhan mereka adalah Tuhan bilangan termasuk kaum yang
meyakini dewa dan berhala serta kamu yang masih meyakini hal
animisme.
Kita beralih ke ayat berikutnya (allahu Shomad). Penjelasan dari
kalimat ini sesungguhnya mengisyaratkan Tuhan Allah adalah Tuhan
tempat kita bergantung dan meminta segala hal. Dan dengan penekan
itu jelas bahwa Tuhan Esa yaitu Allah. Benar-benar Tuhan yang mampu
mengabulkan segala permintaan mahluknya. Karena ialah Tuhan satu-
satu nya dan tiada Tuhan selainnya yang mampu mengabulkan
permintaan mahluknya.
Kemudian kita beralih ke ayat berikutnya (lama yalid walam
yulad). Penjelasan dari kalimat ini sesungguhnya mengisyaratkan
adanya perhatian khusus untuk lebih cermat dalam memahami dengan
sebaik-baiknya, bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak di peranakan
seperti apa yang di yakini oelh kaum nasrani yang menyakini Tuhan
mereka itu di lahirkan dari rahim seorang manusia.
Dari sini adalah ada bantahana terhadap apa yang di yakini oleh
kamu nasrani terhadap apa yang di yakini mereka terhadap Tuhan
mereka. Karan ada kata lam yalid yang menjelaskan tidak akan pernah
Tuhan itu di lahirkan. Berarti hingga kapan pun esensi Tuhan yang Esa
tidak akan pernah beranaka. Bekitu pula kata lam yulad yang
menjelaskan bahwa Tuhan juga tidak akan pernah dilahirkan oleh
apapun karna hakikat esensi Tuhan adalah kekelan. Jika kita menjuru
kepada keyakinan kaum nasrani maka ada sebuah keliru an di mana
merek mamahmi bahwa Tuhan mampu beranak dan ia di lahirkan.
Maka batal lah esensi sebua Tuhan yang mampu menjawab permintaan
makhluk. Karena di situ terdapat kelemahan Tuhan karna ia di
peranakan.
Kalau kita melihat secara tektual di dalam ayat ini ada dua kata
yld, yang pertama termasuk susunan kalimat yang menjelaskan pelaku
atau yang melakukannya atau bisa di bilang subjek sedangkan kata
yald yang kedua merupakan susunan kalimat yang menjelaskan ia lah
sebagai objek atau yang sebagai objek pembahasan.
Demikianlah, bagaimana proses pembacaan konteks situasional
terhadap sebuah teks, dengan mengedepankan realitas objektif teks
dengan menghubungkannya dengan keberadaan teks pada saat dan
situasi waktu itu. Artinya pembacaan yang dilakukan dengan melihat
motto atau motivasi konteks situasi yang ada tanpa melibatkan diluar
realitas saat itu
Selanjutnya kita beralih ke ayat terakhir (walam.yakul lahu kufuan
ahad), kata kufuan disini diasumsikan oleh para penafsir konvesional
sebagai bahwa tidak ada yang mampu menyetarakan dan serupa
dengan Tuhan yang esa. Dan tidak ada yang mampu menyaingi ke
esensi dari Tuhan yang mampu menjawab permintaan mahluknya
Kufuan bisa saja diartikan sebagai menyamai, setaraf, sepadan,
menandingi, menyaingi .

F. Penutup

Dengan paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa pembacaan


konteks situasional memberikan wacana baru bagi pembacaan surat al
ikhlas, yang semula ini dianggap sebagai surat yang bernuansa teologis-
normatif, dimana berisi sekumpulan klaim.– malah - sangat bernuansa
sosiologis-humanis dan mensejarah, dimana semua konsep dalam surat
adalah hasil dialektik horizontal antar sesama, bukan persoalan vertikal
hamba dengan Tuhannya, kemudian terisolir menjadi masyarakat. Jadi,
term ahad, shomad, `yalid, yulda dan kufuan tidak lebih dari sebuah tata
nilai yang digunakan dalam interaksi mereka dalam kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Parare J.D,2004, Teori Semantik , Jakarta, Erlangga


zutsu, Toshihiko. 1996. Ethicio Relegious Concepts in The Quran. Canada:
Mc Gill Press Montreal.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barther. Magelang:
Yayasan Indonesiatera.
Leech, Geoffrey. 2003 Semantics. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardalis. 2001. Metode Penetian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Mukhtar, Umar. 1982. Ilm al Dalalah. Kuwait: Maktabah Dar al Urubah li
al Nashr wa al-tauzi’.
Nashr Hamid, Abu Zaid. 2003. Kritik Wanana Agama. Yogyakarta: LKiS.
Putra, Ashimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra.,
Yogyakarta: Galang Press.
Rahardjo, Mudjia. 2002. Pengantar Penelitian Bahasa. Madang: Cendekia
Paramulya.
Saenong, B. Ilham. 2002. Hermenetika Pembebasan; Metodologi Tafsir
alQur’an Hasan Hanafi. Jakarta: Teraju.

Anda mungkin juga menyukai