DISUSUN OLEH:
PO713201191181
(Tk. 2D)
DIII KEPERAWATAN
2021
Laporan Pendahuluan
1. PENGERTIAN
A. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya
orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi
urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
2. ETIOLOGI
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme
3. PATOFISIOLOGI
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla
spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-
otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada
disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat
tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan
sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan
edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,
obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,
nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine
pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung
kemih yang adekuat.
5. PENATALAKSANAAN
a. Gangguan eleminasi urine
1) Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:
a) Pemanfaatan kartu berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b) Terapi non famakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
(1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
(2) Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih
bila belum waktunya.
(3) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
(4) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
(5) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif (berpikir).
c) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
(1) Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
(2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
(3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa
alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
sepertiurinal, komod dan bedpan.
2) Penatalaksanaan medis retensio urine yaitu
a) Kateterisasi urethra.
Kateter urine memiliki berbagai fungsi di bidang medis, mulai dari
menangani penyakit tertentu hingga melakukan prosedur operasi.
Kateter biasanya diperlukan ketika seseorang yang sedang sakit
tidak mampu mengosongkan kandung kemihnya. Jika kandung
kemih tidak dikosongkan, air kencing akan menumpuk pada ginjal
dan menyebabkan kerusakan hingga gagalnya fungsi ginjal itu
sendiri
b) Dilatasi urethra dengan boudy.
c) Drainage supra pubik.
Kateterisasi suprapubic kadang-kadang diperlukan untuk
mengatasi retensi urine, khususnya bila kateterisasi uretral sulit
atau berbahaya misalnya pada pasien dengan pembesaran prostat,
strictur uretra, atau pada pasien quadriplegic. Kateter suprapubic
dimasukkan oleh dokter dengan anastesi lokal. General anestesi
dapat digunakan jika memang diperlukan. Untuk mefasilitasi
penempatan kateter, kandung kemih harus terisi cairan sebelum
kateter dipasang. Jika kandung kemih tidak terisi urine, maka
cairan fisiologis dimasukkan ke kandung kemih lewat kateter atau
csytoscope.
Kulit suprapubic dibersihkan, kemudian dengan tehnik steril
cateter dimasukkan melalui lubang kecil incisi kulit ke kandung
kemih. Canula dipasang, kemudian kateter dimasukkan kedalam
kanula tersebut sehingga membentuk sistem drainase tertutup.
Untuk mencegah bocoran, luka incisi dijarit.
Potensial komplikasi dari drainase suprapubic ini adalah antara
lain pergeseran kateter, hematuria, dan kegagalan penyembuhan
luka yang menimbulkan fistula. Klien dengan kateter suprapubic
membutuhkan perawatan yang sama dengan klien dengan
kateterisasi uretra. Masalah yang paling sering ditemui adalah
obstruksi kateter karena terlipat atau adanya sedimen dan bekuan
darah.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi
langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur yang tidak normal.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
8. PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi
berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu,
diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan
palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna,
konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur
abdomen. Perhatikan tabel berikut :
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan Eliminasi Urine
1) Retensi urine
Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet.
Batasan karakteristik
a) Tidak ada haluaran urine
b) Distensi kandung kemih
c) Menetes
d) Disuria
e) Sering berkemih
f) Inkotinensia aliran berlebih
g) Residu urine
h) Sensasi kandung kemih penuh
i) Berkemih sedikit
I. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Pekerjaan : petani
Alamat : Jl. Mon Emmy Saelan III
Tgl. Masuk RS : 14 Januari 2021
a. Faktor pencetus : pasien mengatakan tidak tahu mengapa merasa tidak ingin BAB tapi
tetap keluar BAB
b. Sifat keluhan :-
c. Lokasi & penyebaranx : -
d. Skala keluhan :-
e. Mulai & lamax keluhan : sejak 5 hari sebelum MRS
f. Hal- hal yang meringankan / memperberat : terasa ringan ketika tertidur, terasa berat ketika
malam hari
Keterangan
Laki – laki
Perempuan
Klien
Meninggal
Serumah
Cerai
V. PENGKAJIAN KEBUTUHAN
1. Kepala
a. Bentuk kepala : simetris kiri dan kanan, tidak ada benjolan
b. Keadaan rambut : tidak rontok
c. Keadaan kulit kepala : bersih
d. Nyeri kepala/ pusing : tidak pusing
e. Komentar : tidak ada
2. Mata / penglihatan
a. Ketajaman penglihatan: baik
b. Peradangan : tidak ada
c. Sclera : normal
d. Pupil, ukuran : normal reaksi / respon : baik(merespon)
e. Gerak bola mata : normal
f. Konjunctiva : normal
g. Lapang pandang : normal
h. Reflex kornea : baik
i. Rasa nyeri : tidak ada
j. Pemakaian alat bantu : kaca mata : - lensa optic: -
k. Komentar : tidak ada
3. Hidung / penciuman
a. Struktur : simetris, tidak ada benjolan dll
b. Polip : normal
c. Sinus : normal
d. Perdarahan : tidak ada
e. Fungsi penciuman : baik
f. Komentar : tidak ada
4. Telinga / pendengaran
a. Stuktur : simetris kiri dan kanan
b. Nyeri : tidak nyeri
c. Cairan : tidak ada
d. Tanda- tanda peradangan : tidak ada
e. Fungsi pendengaran : baik
f. Alat bantu : tidak ada
g. Komentar : tidak ada
5. Mulut
a. Keadaan gigi : bersih
b. Problem menelan : tidak ada
c. Bicara: baik
d. Rongga mulut : bersih, baik
e. Fungsi mengunyah : baik/normal
f. Fungsi pengecap : baik/normal
g. Komentar : tidak ada
6. Leher
a. Vena jugularis : normal
b. Arteri karotis : normal
c. Pembesaran tiroid : tidak ada
d. Pembesaran kelenjar limfa : tidak ada
e. Komentar : tidak ada
7. Pernapasan
a. Bentuk dada : normal/simetris kiri dan kanan
b. Pergerakan / pengembangan thoraks : normal
c. Batuk : tidak batuk
d. Sputum :-
e. Vocal fremitas : baik
f. Resonansi : baik
g. Bunyi napas : normal
h. Bunyi napas tambahan : normal
i. Komentar : tidak ada
8. Jantung
a. Ukuran jantung : normal
b. Denyut jantung : normal
c. Nyeri dada : tidak ada
d. Palpitasi : tidak ada
e. Bunyi jantung : normal
f. Bising jantung : tidak ada
g. Komentar : tidak ada
9. Abdomen
a. Warna kulit : normal
b. Bayangan peristaltic :-
c. Keadaan permukaan abdomen : baik (bersih dan normal)
d. Gerak abdomen : normal
e. Pembesaran abdomen : tidak
f. Keadaan perkusi abdomen : baik
g. Nyeri tekan : tidak ada
h. Peristaltik : normal
i. Komentar : tidak ada
10. Perkemihan
a. Edema kelopk mata : tidak ada
b. Nyeri pinggang / punggung : tidak nyeri
c. Keadaan kandung kemih : normal
d. Bau mulut amoniak : normal
e. Komentar : tidak ada
11. Reproduksi
a. Siklus menstruasi : baik
b. Keadaan organ kelamin luar: baik
c. Pembesaran prostat : tidak ada
d. Kehamilan : tidak hamil
e. Perdarahan : tidak ada
f. Komentar : ridak ada
12. Status Neorologis
a. Tingkat kesadaran : compos mentis
b. Koordinasi : baik
c. Memori : baik
d. Orientasi : baik
e. Kelumpuhan (motorik) : tidak ada
f. Gangguan sensasi : tidak ada
g. Kejang- kejang : tidak
h. Komentar : tidak ada
13. Musculoskeletal
a. Kekuatan otot : normal/baik
b. Tenus otot : normal
c. Kekakuan sendi : tidak ada
d. Trauma : tidak ada
e. Nyeri : tidak ada
f. Pola aktivitas : baik
g. Komentar : tidak ada
14. Kulit
a. Tekstur : baik
b. Turgor : baik
c. Warna : normal
d. Kelembaban : baik
e. Lesi : tidak ada
f. Komentar : tidak ada
15. Endokrin
a. Countur : simetris
b. Warna kulit : normal massa : normal Vena : normal
c. Lesi: tidak ada
d. Auskultasi : bising usus
e. Palpasi: normal
f. Perkusi: pekak
g. Pengukuran lingkaran abdomen : normal
2. Rectal
Inspeksi lesi : lesi : - warna : normal peradangan: -
Hemoroid : -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
NIM: PO713201191181
ANALISA DATA
Nama : Tn. Y
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : laki-laki