Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI RESIKO PERILAKU KEKERASAN


1. RESIKO PERILAKU KEKERASAN
a. Bereisko membahayakan secara fisik, emosi, dan/atau seksual pada diri
sendiri atau orang lain, SDKI (2016).
b. Risiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2010).
c. American Psychological Association (Townsend, 2009, dalam Satrio, dkk,
2015) mengemukakan bahwa kekerasan/kemarahan adalah keadaan
emosional yang bervariasi dalam intensitas ringan hingga kemarahan yang
intens (berat), hal ini disertai dengan perubahan fisiologis dan biologis,
seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan kadar hormon
epinerphrine dan norepinerphine.
d. Stuart, (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) mengemukakan perilaku agresif
adalah suatu kondisi dimana seseorang mengabaikan hak orang lain, dia
menganggap bahwa harus berjuang untuk kepentingannya dan mengharapkan
perilaku yang sama dari orang lain, bagi dia hidup adalah pertempuran yang
dapat mengakibatkan kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif sering
terjadi akibat kurang kepercayaan diri.
e. Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien
dengan skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline,
gangguan perilaku dan ketergantungan obat (Fontaine, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015).
f. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik
dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek,
agresif dan perilaku kekerasan merupakan sebuah rentang kontinum dari
perilaku yang mencurigakan kepada tindakan ekstrim yang mengancam
keselamatan orang lain atau mengakibatkan cedera atau kematian
(Herper&Reimer, 1992 dalam Videback, 2008).
g. Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada
orang lain (NANDA-I, 2012-2014, Herdman, 2012 dalam Satrio, dkk, 2015)

Dari semua pernyataan diatas maka perilaku kekerasan atau agresifitas dapat
didefinisikan sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan
lingkungan yang bervariasi dari intensitas ringan sampai berat/ intens,
dilakukan baik secara verbal, fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan
perusakan harta benda, perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.

2. RENTANG RESPON RISIKO PERIAKU KEKERASAN


Perilaku Kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat
berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Keliat & Sinaga, 1991
dalam Satrio, dkk, 2015). Rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen
(1995 dalam Satrio, dkk, 2015) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana agresif
dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentang respon yang maladaptif.

Skema 2.2 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen (1995 dalam
Satrio, dkk, 2015)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustrasi Agresif Amuk

a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan
merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif
berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu
lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam. Postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa
individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Individu yang asertif dapat
menolak permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya
kepada orang lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak
merasa bersalah bila permintaannya di tolak orang lain. Individu yang asertif
ingat untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat,
pujian diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk
perilaku asertif ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015).

b. Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatan tekanan pada
dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan interpersonal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Perilaku
pasif dapat diekpresikankan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya
bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang
sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan
memegang tubuh dengan dekat (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
c. Frustasi
Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia,
2005). Frustrasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang
diinginkan Frustrasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai
memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 1991 dalam
Satrio, dkk, 2015).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif
di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku
agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya
diri (Bushman& Baumeister, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009). Perilaku agresif juga dapat di tunjukkan secara nonverbal, seseorang
yang agresif melanggar batas pribadi orang lain, bicaranya keras dan lantang,
biasanya kontak mata yang berlebihan dan menganggu, postur kaku dan
tampak mengancam (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
e. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain dan lingkungan ( Keliat & Sinaga, 1991). Menurut
Stuart dan Laraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah
sampai tinggi yaitu yang disebut dengan hirarki perilaku agresif dan
kekerasan (Gambar 2.1)
Gambar 2.1 Hirarki perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya


Tinggi
Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah
Rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku kekerasan


mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah yaitu
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang
tertinggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.

3. TAHAPAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN


Tahapan perilaku agresif atau risiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015)
a. Tahap 1: Tahap Memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat : Mengidentifikasi faktor pemicu, mengurangi
kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.
b. Tahap 2 : Tahap Transisi
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan Perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak kompromi,
mencari dampak; meminta bantuan.
c. Tahap 3 : Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang
disekitar, berkata kotor; berteriak
Tindakan Perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam lipatan ruang
pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga
komunikasi

d. Tahap 4 : Perilaku Merusak


Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan Perawat : Lindungi klien lain, menghindar, melakukan
pengekangan fisik

e. Tahap 5: Tahap Lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destuctive,
pengurangan tingkat gairah
Tindakan Perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam

f. Tahap 6: Tahap Peralihan


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan Perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama
4. Faktor Resiko RPK Menurut SDKI (2016)
a. Pemikiran waham/delusi
b. Curiga pada orang lain
c. Halusinasi
d. Berencana bunuh diri
e. Disfungsi sistem keluarga
f. Kerusakan kognitif
g. Disorientasi atau konfusi
h. Kerusakan kontrol implus
i. Persepsi pada lingkungan tidak akurat
j. Alam perasaan depresi
k. Riwatar kekerasan pada hewan
l. Kelainan neurologis
m. Lingkungan tidak teratur
n. Penganiayaan atau pengabaian anak
o. Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain
p. Impulsif
q. Ilusi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah.
Marah adalah emosi yang kuat; ketika ditolak atau dipendam dapat memicu
masalah fisik seperti sakit kepala migrain, ulcers, radang usus dan bahkan
penyakit jantung koroner; ketika ditujukan kedalam diri sendiri, marah dapat
mengakibatkan depresi dan harga diri rendah; ketika diungkapkan tidak
dengan tepat, dapat memperburuk hubungan; ketika ditekan/supresi, marah
dapat berubah menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan dengan
perilaku diri yang negatif dari pasif sampai agresif (Townsend, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).
Kemarahan terjadi ketika individu mengalami frustasi, terluka atau takut
(Videback, 2008). Kesulitan dalam mengekspresikan kemarahan sering
dikaitkan dengan gangguan jiwa ( Koh, Kim & Park, 2002 dalam
Videback, 2008). Perilaku kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang
ekstrim atau ketakutan (panik). Alasan khusus dari perilaku agresif bervariasi
dari setiap orang (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015).
Penyebab kemarahan atau risiko perilaku kekerasan secara umum adalah:
kebutuhan yang tidak terpenuhi, menyinggung harga diri dan harapan tidak
sesuai dengan kenyataan. Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa
memandang perilaku manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas
biologis, psikologis dan sosiokultural dan aspek- aspek tersebut saling
berintegrasi dalam perawatan. Komponen biospikososial dari model tersebut
termasuk dalam faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor,
sumber koping dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Menurut Stuart (2009 dalam Satrio, dkk, 2015), masalah Risiko perilaku
kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan psikodinamika masalah
keperawatan jiwa seperti skema 2.1 dibawah ini.

Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural


Stresor presipitasi

Nature Origin Timing Number

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan person Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon adaptif Respon


Maladaptif

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Model Stress Adaptasi Stuart
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologi
Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab
(predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Faktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat
dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor risiko yang dapat mempengaruhi
peran manusia dalam menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam
faktor biologis ini adalah:
1) Struktur otak (Neuroanatomi)
Penelitian telah difokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan
perilaku agresif adalah sistem limbik, lobus frontal, dan hipothalamus.
Neurotransmitter juga diusulkan memiliki peran dalam munculnya perilaku
kekerasan atau penekanan perilaku kekerasan (Niehoff, 2002; Hoptman ,
2003 Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Kerusakan struktur pada sistem limbik dan lobus frontal serta lobus temporal
otak dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresif
sehingga menyebabkan perilaku agresif/ kekerasan (Videbeck, 2008).
Penelitian telah menemukan bahwa epilepsi pada daerah lobus temporal dan
frontal ada pada klien episodik agresif dan perilaku kekerasan, tumor di otak
terutama di sistem limbik dan lobus temporal serta trauma otak menjadi
predisposisi agresif dan perilaku kekerasan (Townsend, 2009; Fontaine, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015).

Sistem limbik dikaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi
serta tingkah laku manusia seperti: makan, agresi dan respon sexual,
termasuk proses pengolahan informasi dan memori. Sintesis informasi ke dan
dari area lain di otak mempunyai pengaruh pada emosional dan perilaku.
Perubahan dalam sistem limbik dapat menyebabkan peningkatan atau
penurunan perilaku agresif. Secara khusus amigdala bagian dari sistem limbik
menjadi mediasi ekspresi kemarahan dan ketakutan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang berarti dan
berpikir rasional. Lobus ini merupakan bagian dari otak dimana pikiran dan
emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal dapat mengakibatkan
gangguan penilaian, perubahan kepribadian, masalah pengambilan keputusan,
ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan agresif. Hipotalamus di
dasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan otak. Kondisi stress
menaikkan jumlah steroid, hormon yang di keluarkan oleh kelenjar adrenal,
saraf reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensistif dalam upaya
mengkompensasi peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar
pituitari untuk menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang
sistem berespon lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan
mengapa stress traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan
potensi sesorang untuk melakukan perilaku kekerasan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007).
Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009) menyebutkan bahwa krornosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain yang
juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam
Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab


memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat
secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal, dimana bagaian ini
berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007
dalam Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar


yang menunjukkan anak kembar identik berisiko mengalami skizofrenia
sebesar 50%, sedangkan pada kembar non identik/ fraternal berisiko 15%
mengalami skizofrenia. Risiko 15 % jika salah satu orang tua menderita
skizofrenia, angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis
menderita skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008; Stuart,
2009; Townsend, 2009; Fontaine, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk
mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor
keturunan.

3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang ditransmisikan dari dan ke
seluruh neuron sinapsis, sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan
struktur otak yang lain. Peningkatan atau peneurunan zat ini dapat
mempengaruhi perilaku, perubahan keseimbangan zat ini dapat memperburuk
atau menghambat perilaku agresif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, acetylcholine
dan serotinin) berperan dalam fasilitasi dan inhibisi rangsangan agresif
(Sadock&Sadock, 2007 dalam Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Rendahnya neurotransmiter serotonin dikaitkan dengan perilaku yang
iritabilitas, hipersensitivitas terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu
dengan perilaku impulsif, bunuh diri, dan melakukan pembunuhan,
mempunyai serotonin dengan jumlah lebih rendah daripada rata-rata jumlah
asam 5-hidroxyinoleacetik (5-HIAA)/ produk serotonin (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Penelitian ini telah menunjukkan adanya hubungan antara agresif impulsif


dengan rendahnya level neurotransmitter serotonin. Hasil temuan menyatakan
bahwa serotonin berperan sebagai inhibitor utama perilaku agresif, dengan
demikian kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan
perilaku agresif, selain itu peningkatan aktivitas dopamine dan norpenefrin di
otak dikaitkan dengan peningkatan perilaku kekerasan yang impulsif
(Kavoussi et al., 1997 dalam Videbeck, 2008; Franlde et al, 2005;. Perusse &
Gendreau, 2005; Pihl & Benkelfat, 2005 dalam Fontaine, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015).
Neurotransmitter lain yang berkaitan dengan perilaku agresif adalah
dopamine, norpenefrin, dan acetylcholine serta asam amino Gamma-
aminobutyric acid (GABA). Korteks prefrontal juga berperan penting dalam
menghambat perilaku agresif. Area spesifik pada korteks prefrontal adalah
region orbitofrontal. Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif.
Lesi pada area ini menyebabkan perilaku impulsif (Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

4) Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku kekerasan
adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi di rawat. Penggunaan
NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan
perawatan yang diberikan (Dyah, 2009). Frekuensi dirawat menunjukkan
seberapa sering individu dengan perilaku kekerasan mengalami kekambuhan.
Perilaku kekerasan pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak
terkontrol, putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan
sesuatu atau situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia,
2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Secara umum dua populasi klien
akan meningkatkan risiko kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif
dan penyalahgunaan zat (Nolan et al., 2003 dalam Stuart, 2009). Perilaku
kekerasan juga meningkat pada klien penyalahgunaan zat, skizofrenia dan
tidak mengambil obat yang diresepkan, hidup bersama dalam orang yang
mengalami gangguan jiwa (Citrome & Volavka, 1999 dalam Videbeck,
2008).

b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam
proses terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia
(2005 dalam Satrio, dkk, 2015) yang termasuk dalam faktor psikologis
diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi.
1) Teori Psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa
pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman
hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih koping
mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Faktor perkembangan atau
pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut
Stuart dan Laraia (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) sebagai berikut: Gangguan
otak organik, mental retardasi, ketidakmampuan belajar karena kerusakan
kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi; Deprivasi emosional yang
berat atau penolakan terhadap anak, orang tua yang terlalu penyayang dan
berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga diri rendah; Mengalami
kekerasan bertahun-tahun, korban child abuse atau sering melihat kekerasan
dalam keluarga dapat menanamkan pola penggunaan kekerasaan sebagai cara
menyelesaikan masalah.

2) Teori Pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif dipelajari
melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan
eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat penguatan
pribadi ketika melakukan perilaku agresif, kemungkinan sebagai kepuasaan
dalam mencapai tujuan atau pengalaman merasakan penting, mempunyai
kekuatan dan kontrol terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi
selama observasi model peran seperti peran sebagai orang tua, teman sebaya,
saudara, olah raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia, 2005; Struat, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015). Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku
imitasi/meniru perilaku agresif sebagai perilaku yang dapat diterima untuk
memecahkan masalah dan sesuai status sosial. Senada dengan pernyataan
diatas, Fontaine, (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) menyatakan bahwa ketika
individu belajar melakukan perilaku agresif akan membuat individu tersebut
merasa lega dan menjadi adiktif/kecanduan untuk melakukan perilaku
kekerasan/agresif sebagai cara untuk memecahkan masalah dan mengatasi
frustasi. Peran pemodelan merupakan salah satu bentuk pembelajaran terkuat,
model perilaku anak-anak pada fase awal adalah orang tua, bagaimana orang
tua atan orang terdekat mengekpresikan marah menjadi contoh anak dalam
ekpresi marahnya (Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)
Role model/contoh tidak selalu di rumah, penelitian membuktikan bahwa
acara kekerasan di televisi sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
(American Psychological Association, 2006, dalam Townsend, 2009).
Menurut American Psychiatric Association,, (Townsend, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015) menyarankan pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak
lihat dan peraturan tentang acara kekerasan di media untuk mencegah
pemodelan kekerasan. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,
kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005). Kegagalan sering
diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan, respon yang muncul pada
saat individu mengalami kegagalan dapat berupa penyalahan terhadap diri
sendiri, atau orang lain yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah,
2009).

c. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya
seperti: usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan dan tingkat
sosial ekonomi (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009), riwayat perilaku
kekerasan di masa lalu (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Penelitian
menunjukkan bahwa individu dengan gangguan jiwa mempunyai faktor risiko
melakukan kekerasan sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan
jiwa seperti kepribadian psikopat dan kepribadian antisosial (Stuart, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015). Faktor lingkungan dan situasi perawatan bisa
sebagai memicu perilaku kekerasan klien, faktor ini meliputi fasilitas fisik,
keberadaan petugas dan klien lain. Beberapa penelitian telah menemukan
bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan
dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang privasi atau tidak bebas.
1) Jenis Kelamin
Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin merupakan
salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin adalah ciri fisik, karakter
dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih sering melakukan perilaku agresif
(Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio, dkk, 2015). Berdasarkan hasil
penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan
kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001) dan klien laki-laki dua
kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, serta usia yang paling banyak 30
tahun ke bawah (Keliat, 2003). Namun berdasarkan penelitian Keliat dkk,
(2008) pada penelitian karakteristik klien yang dirawat di bangsal MPKP
menyebutkan ada 63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada
golongan umur dewasa yaitu umur 33 tahun sampai 55 tahun. Selain itu
penelitian yang dilakukan Keliat (2003) menyebutkan karakeristik
pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi dalam kejadian
perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan menengah dan
rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk pertama kali di rumah
sakit.

2) Tingkat sosial ekonomi


Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan seperti :
kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah
perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan
mempertahankan hubungan interpersonal dalam keluarga, struktur keluarga,
dan kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam
Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Kepercayaan (spiritual), nilai dan
moral mempengaruhi ungkapan marah individu (Keliat & Sinaga, 1991).
Keyakinan akan membantu individu dalam memilih ekspresi kemarahan yang
diperbolehkan. Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang
terkait dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. al,
1993 dalam Keliat, 2003). Secara umum seseorang menuntut kebutuhannya
dari orang lain atau lingkungan sehingga timbul frustrasi apabila tidak
terpenuhi dan selanjutnya timbul marah sehingga mempengaruhi kualitas
spiritual seseorang.
Faktor lain yang berhubungan dengan kekerasan secara sosial termasuk
kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau masalah keuangan,
akses yang mudah ke senjata dan kecenderungan budaya Amerika Serikat
untuk memaafkan perilaku kekerasaan sebagai solusi untuk pemecahan
masalah (Woodside & McClum, 2006 dalam Fontaine, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015).
3) Ras/ Suku
Faktor sosiokultural lainya adalah norma budaya yang dapat membantu
mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong untuk
mengekspresikan marah secara asertif sehingga membantu menjaga
kesehatan diri. Hukuman diterapkan terhadap perilaku kekerasan melalui
norma hukum atau adanya kontrol sosial. Norma yang mereinforcement
perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi marah dengan cara destruktif.
Sindroma ikatan dua budaya mencakup perilaku agresif, Bouffee delirante
suatu kondisi yang terlihat pada masyarakat Afrika Barat dan Haiti, ditandai
dengan ledakan perilaku agresif dan agitasi secara tiba-tiba, kebingungan
yang nyata dan psychomotor excitement, episode ini dapat mencakup
halusinasi pendengaran dan penglihatan serta pikiran panaoid yang
menyerupai episode psikotik singkat (Mezzich et al., 2000 dalam Videbeck,
2008). Amok adalah episode disosiatif yang ditandai dengan periode
perenungan dan diikuti oleh ledakan perilaku kekerasan, agresif atau
pembunuhan yang ditujukan pada orang lain dan benda-benda, perilaku ini
dicetuskan oleh suatu hinaan atau ejekan yang di persepsikan dan terlihat
pada pria, semula ditemukan pada orang Melayu, pola yang sama juga
ditemukan di Laos, Filipina, Papua Nugini, Polinesia, Puerto Riko dan di
antara orang Navajo (Mezzich et al., 2000 dalam Videbeck, 2008).
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor
biologi dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur
jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan
pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk
diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan terlalu banyak
pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal
mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan di ingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal. Penurunan
fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan balik
dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload
(Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Stessor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada
klien skizofrenia. Pintu mekanisme adalah proses elektrik yang melibatkan
elektolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan
balik yang terjadi pada system saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating
proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih
stimuli secara selektif (Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015). Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat
menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau
lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor
perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio,
dkk, 2015).

b. Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi
yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan
membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan
dirinya, tubuh atau kehidupan. Dalam ruang perawatan perilaku kekerasan
dapat terjadi karena provokasi petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada
setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung
mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa
untuk minum obat, semua itu berkontribusi terjadi konflik petugas dan klien
(Fontaine, 2009). Perilaku agresif/kekerasan dapat terjadi karena beberapa
perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan
(Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)
c. Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih
besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh
sesak, kurang privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al., (2003
dalam Stuat, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015) petugas mungkin secara sengaja
atau tidak sengaja memicu perilaku klien untuk melakukan kekerasan, ketidak
pengalaman petugas, provokasi petugas, manajemen lingkungan yang buruk,
ketidakpahaman petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat, penetapan
batasan yang tidak konsisen dan budaya kekerasan mempengaruhi perilaku
kekerasan klien. Akhirnya pemahaman terhadap situasi dan penerimaan
lingkungan, kognitif dan stress komunikasi serta respon afektif klien perlu di
identifikasi oleh petugas. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural,
waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam
suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio, dkk, 2015). Dengan
demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan
menjadi penyebab ataupun pencetus perilaku kekerasan.

3. Penilaian Stressor
Model Stres Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan
(1994) menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada
hubungan antara jumlah stres dalam pengalaman seseorang dan toleransi
internal terhadap ambang stres. Ini adalah model penting karena
mengintegrasikan faktor budaya biologis, psikologis, dan social, cara ini
mirip dengan Stres Adaptasi Model Stuart yang digunakan sebagai kerangka
kerja konseptual (Stuart, 2009). Menurut Wuerker (2000) model adaptasi ini
membantu menjelaskan hubungan stres dengan skizofrenia, meskipun tidak
ada penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa stres menyebabkan
skizofrenia, namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan yang
tidak hanya menyebabkan stres, tetapi juga diperparah oleh stres (Jones dan
Fernyhougi, 2007 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Penilaian
seseorang tentang stressor, dan masalah yang terkait dengan koping untuk
mengatasi stres dapat memprediksi timbulnya gejala.

4. Sumber Koping
Psikosis atau Skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.
Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi
kognitif (psikosis aktif), (2) pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua
aspek kehidupan (ketetapan kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja
atau tujuan pendidikan (ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat
berlangsung 3 sampai 6 tahun (Moller, 2006, dalam Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015):
a. Efikasi/Kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala
dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu
6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan
realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu
6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan
dukungan yang berkelanjutan.
c. Setelah mencapai pengenalan diri/insight, proses pencapaian kognitif meliputi
keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja.
Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari
mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
sumber daya Keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit,
keuangan, ketersediaan waktu dan energi, dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya
penyesuaian postpsychotic.

5. Mekanisme Koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan
diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang
disebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya
untuk mengelola kegelisahan, menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup
sehari-hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi
membingungkan dengan menetapkan responsibiIity kepada seseorang atau
sesuatu. Penarikan Diri ini berkaitan dengan masalah membangun
kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal.
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari
pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan. Hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor
secara bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychotic proses aktif
menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif, emosi,
interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart,
2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

D. Pohon Masalah dan Data Yang Perlu Dikaji


1) Pohon Masalah
Menurut Keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut :
Risiko Mencederai Diri Sendiri Resiko Mencederai Orang Lain

Risiko Perilaku Kekerasan

Halusinasi, Isolasi Sosial, HDR, Mekanisme Koping Tidak Effektif


2) Masalah Yang Perlu Dikaji
NO. DATA MASALAH
1. DS : Risiko Perilaku
1. Ungkapan berupa ancaman Kekerasan
2. Ungkapan kata-kata kasar
3. Ungkapan ingin memukul/melukai

DO :
1. Wajah memerah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau
berteriak
7. Mondar-mandir

E. Diagnosis Keperawatan
1) Perilaku Kekerasan.
2) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3) Perubahan persepsi sensori.
4) Harga diri rendah kronis.
5) Isolasi sosial

Anda mungkin juga menyukai