LAPORAN PENDAHULUAN
Dari semua pernyataan diatas maka perilaku kekerasan atau agresifitas dapat
didefinisikan sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan
lingkungan yang bervariasi dari intensitas ringan sampai berat/ intens,
dilakukan baik secara verbal, fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan
perusakan harta benda, perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.
Skema 2.2 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen (1995 dalam
Satrio, dkk, 2015)
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan
merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif
berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu
lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam. Postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa
individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Individu yang asertif dapat
menolak permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya
kepada orang lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak
merasa bersalah bila permintaannya di tolak orang lain. Individu yang asertif
ingat untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat,
pujian diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk
perilaku asertif ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015).
b. Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatan tekanan pada
dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan interpersonal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Perilaku
pasif dapat diekpresikankan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya
bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang
sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan
memegang tubuh dengan dekat (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
c. Frustasi
Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia,
2005). Frustrasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang
diinginkan Frustrasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai
memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 1991 dalam
Satrio, dkk, 2015).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif
di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku
agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya
diri (Bushman& Baumeister, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009). Perilaku agresif juga dapat di tunjukkan secara nonverbal, seseorang
yang agresif melanggar batas pribadi orang lain, bicaranya keras dan lantang,
biasanya kontak mata yang berlebihan dan menganggu, postur kaku dan
tampak mengancam (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
e. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain dan lingkungan ( Keliat & Sinaga, 1991). Menurut
Stuart dan Laraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah
sampai tinggi yaitu yang disebut dengan hirarki perilaku agresif dan
kekerasan (Gambar 2.1)
Gambar 2.1 Hirarki perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan
Faktor predisposisi
Sumber koping
Mekanisme koping
Konstruktif Destruktif
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Model Stress Adaptasi Stuart
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologi
Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab
(predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Faktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat
dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor risiko yang dapat mempengaruhi
peran manusia dalam menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam
faktor biologis ini adalah:
1) Struktur otak (Neuroanatomi)
Penelitian telah difokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan
perilaku agresif adalah sistem limbik, lobus frontal, dan hipothalamus.
Neurotransmitter juga diusulkan memiliki peran dalam munculnya perilaku
kekerasan atau penekanan perilaku kekerasan (Niehoff, 2002; Hoptman ,
2003 Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Kerusakan struktur pada sistem limbik dan lobus frontal serta lobus temporal
otak dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresif
sehingga menyebabkan perilaku agresif/ kekerasan (Videbeck, 2008).
Penelitian telah menemukan bahwa epilepsi pada daerah lobus temporal dan
frontal ada pada klien episodik agresif dan perilaku kekerasan, tumor di otak
terutama di sistem limbik dan lobus temporal serta trauma otak menjadi
predisposisi agresif dan perilaku kekerasan (Townsend, 2009; Fontaine, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015).
Sistem limbik dikaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi
serta tingkah laku manusia seperti: makan, agresi dan respon sexual,
termasuk proses pengolahan informasi dan memori. Sintesis informasi ke dan
dari area lain di otak mempunyai pengaruh pada emosional dan perilaku.
Perubahan dalam sistem limbik dapat menyebabkan peningkatan atau
penurunan perilaku agresif. Secara khusus amigdala bagian dari sistem limbik
menjadi mediasi ekspresi kemarahan dan ketakutan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).
Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang berarti dan
berpikir rasional. Lobus ini merupakan bagian dari otak dimana pikiran dan
emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal dapat mengakibatkan
gangguan penilaian, perubahan kepribadian, masalah pengambilan keputusan,
ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan agresif. Hipotalamus di
dasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan otak. Kondisi stress
menaikkan jumlah steroid, hormon yang di keluarkan oleh kelenjar adrenal,
saraf reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensistif dalam upaya
mengkompensasi peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar
pituitari untuk menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang
sistem berespon lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan
mengapa stress traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan
potensi sesorang untuk melakukan perilaku kekerasan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).
2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007).
Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009) menyebutkan bahwa krornosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain yang
juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam
Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang ditransmisikan dari dan ke
seluruh neuron sinapsis, sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan
struktur otak yang lain. Peningkatan atau peneurunan zat ini dapat
mempengaruhi perilaku, perubahan keseimbangan zat ini dapat memperburuk
atau menghambat perilaku agresif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, acetylcholine
dan serotinin) berperan dalam fasilitasi dan inhibisi rangsangan agresif
(Sadock&Sadock, 2007 dalam Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Rendahnya neurotransmiter serotonin dikaitkan dengan perilaku yang
iritabilitas, hipersensitivitas terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu
dengan perilaku impulsif, bunuh diri, dan melakukan pembunuhan,
mempunyai serotonin dengan jumlah lebih rendah daripada rata-rata jumlah
asam 5-hidroxyinoleacetik (5-HIAA)/ produk serotonin (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).
4) Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku kekerasan
adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi di rawat. Penggunaan
NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan
perawatan yang diberikan (Dyah, 2009). Frekuensi dirawat menunjukkan
seberapa sering individu dengan perilaku kekerasan mengalami kekambuhan.
Perilaku kekerasan pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak
terkontrol, putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan
sesuatu atau situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia,
2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Secara umum dua populasi klien
akan meningkatkan risiko kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif
dan penyalahgunaan zat (Nolan et al., 2003 dalam Stuart, 2009). Perilaku
kekerasan juga meningkat pada klien penyalahgunaan zat, skizofrenia dan
tidak mengambil obat yang diresepkan, hidup bersama dalam orang yang
mengalami gangguan jiwa (Citrome & Volavka, 1999 dalam Videbeck,
2008).
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam
proses terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia
(2005 dalam Satrio, dkk, 2015) yang termasuk dalam faktor psikologis
diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi.
1) Teori Psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa
pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman
hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih koping
mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Faktor perkembangan atau
pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut
Stuart dan Laraia (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) sebagai berikut: Gangguan
otak organik, mental retardasi, ketidakmampuan belajar karena kerusakan
kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi; Deprivasi emosional yang
berat atau penolakan terhadap anak, orang tua yang terlalu penyayang dan
berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga diri rendah; Mengalami
kekerasan bertahun-tahun, korban child abuse atau sering melihat kekerasan
dalam keluarga dapat menanamkan pola penggunaan kekerasaan sebagai cara
menyelesaikan masalah.
2) Teori Pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif dipelajari
melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan
eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat penguatan
pribadi ketika melakukan perilaku agresif, kemungkinan sebagai kepuasaan
dalam mencapai tujuan atau pengalaman merasakan penting, mempunyai
kekuatan dan kontrol terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi
selama observasi model peran seperti peran sebagai orang tua, teman sebaya,
saudara, olah raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia, 2005; Struat, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015). Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku
imitasi/meniru perilaku agresif sebagai perilaku yang dapat diterima untuk
memecahkan masalah dan sesuai status sosial. Senada dengan pernyataan
diatas, Fontaine, (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) menyatakan bahwa ketika
individu belajar melakukan perilaku agresif akan membuat individu tersebut
merasa lega dan menjadi adiktif/kecanduan untuk melakukan perilaku
kekerasan/agresif sebagai cara untuk memecahkan masalah dan mengatasi
frustasi. Peran pemodelan merupakan salah satu bentuk pembelajaran terkuat,
model perilaku anak-anak pada fase awal adalah orang tua, bagaimana orang
tua atan orang terdekat mengekpresikan marah menjadi contoh anak dalam
ekpresi marahnya (Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)
Role model/contoh tidak selalu di rumah, penelitian membuktikan bahwa
acara kekerasan di televisi sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
(American Psychological Association, 2006, dalam Townsend, 2009).
Menurut American Psychiatric Association,, (Townsend, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015) menyarankan pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak
lihat dan peraturan tentang acara kekerasan di media untuk mencegah
pemodelan kekerasan. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,
kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005). Kegagalan sering
diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan, respon yang muncul pada
saat individu mengalami kegagalan dapat berupa penyalahan terhadap diri
sendiri, atau orang lain yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah,
2009).
Stessor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada
klien skizofrenia. Pintu mekanisme adalah proses elektrik yang melibatkan
elektolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan
balik yang terjadi pada system saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating
proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih
stimuli secara selektif (Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015). Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat
menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau
lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor
perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio,
dkk, 2015).
b. Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi
yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan
membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan
dirinya, tubuh atau kehidupan. Dalam ruang perawatan perilaku kekerasan
dapat terjadi karena provokasi petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada
setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung
mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa
untuk minum obat, semua itu berkontribusi terjadi konflik petugas dan klien
(Fontaine, 2009). Perilaku agresif/kekerasan dapat terjadi karena beberapa
perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan
(Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)
c. Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih
besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh
sesak, kurang privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al., (2003
dalam Stuat, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015) petugas mungkin secara sengaja
atau tidak sengaja memicu perilaku klien untuk melakukan kekerasan, ketidak
pengalaman petugas, provokasi petugas, manajemen lingkungan yang buruk,
ketidakpahaman petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat, penetapan
batasan yang tidak konsisen dan budaya kekerasan mempengaruhi perilaku
kekerasan klien. Akhirnya pemahaman terhadap situasi dan penerimaan
lingkungan, kognitif dan stress komunikasi serta respon afektif klien perlu di
identifikasi oleh petugas. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural,
waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam
suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio, dkk, 2015). Dengan
demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan
menjadi penyebab ataupun pencetus perilaku kekerasan.
3. Penilaian Stressor
Model Stres Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan
(1994) menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada
hubungan antara jumlah stres dalam pengalaman seseorang dan toleransi
internal terhadap ambang stres. Ini adalah model penting karena
mengintegrasikan faktor budaya biologis, psikologis, dan social, cara ini
mirip dengan Stres Adaptasi Model Stuart yang digunakan sebagai kerangka
kerja konseptual (Stuart, 2009). Menurut Wuerker (2000) model adaptasi ini
membantu menjelaskan hubungan stres dengan skizofrenia, meskipun tidak
ada penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa stres menyebabkan
skizofrenia, namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan yang
tidak hanya menyebabkan stres, tetapi juga diperparah oleh stres (Jones dan
Fernyhougi, 2007 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Penilaian
seseorang tentang stressor, dan masalah yang terkait dengan koping untuk
mengatasi stres dapat memprediksi timbulnya gejala.
4. Sumber Koping
Psikosis atau Skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.
Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi
kognitif (psikosis aktif), (2) pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua
aspek kehidupan (ketetapan kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja
atau tujuan pendidikan (ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat
berlangsung 3 sampai 6 tahun (Moller, 2006, dalam Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015):
a. Efikasi/Kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala
dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu
6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan
realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu
6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan
dukungan yang berkelanjutan.
c. Setelah mencapai pengenalan diri/insight, proses pencapaian kognitif meliputi
keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja.
Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari
mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
sumber daya Keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit,
keuangan, ketersediaan waktu dan energi, dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya
penyesuaian postpsychotic.
5. Mekanisme Koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan
diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang
disebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya
untuk mengelola kegelisahan, menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup
sehari-hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi
membingungkan dengan menetapkan responsibiIity kepada seseorang atau
sesuatu. Penarikan Diri ini berkaitan dengan masalah membangun
kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal.
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari
pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan. Hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor
secara bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychotic proses aktif
menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif, emosi,
interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart,
2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
DO :
1. Wajah memerah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau
berteriak
7. Mondar-mandir
E. Diagnosis Keperawatan
1) Perilaku Kekerasan.
2) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3) Perubahan persepsi sensori.
4) Harga diri rendah kronis.
5) Isolasi sosial