Anda di halaman 1dari 17

Anemia Defiseiensi Besi pada Anak Berusia 2 Tahun

Deshielanny Narayanan 102014241

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510.

Email : Deshielanny1996@gmail.com

Pendahuluan 

Anemia defesiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia
hipokrom mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong.
Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk
eritropoeisis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial (RES)
berkurang, sedangkan cadangan besiya masih normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan
besi untuk eritropoeisis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan
inkoporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu, ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Anemia defesiensi
besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama dinegara-negara tropik oleh
karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari
sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta
dampak sosial yang cukup serius.1
Pembahasan Isi

1. Anamnesis

Dilihat dari gejala anemia, pasien yang berumur 2 tahun kemungkinan menderita anemia,
oleh karena itu perlu ditanyakan pertanyaan yang lebih rinci kepada ibu pasien untuk
mengetahui anemia jenis apakah yand diderita oleh anak tersebut.

 Gejala apa yang dirasakan oleh pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, mata
berkunang-kunang, atau tanpa gejala? Bila terdapat gejala tersebut, itu merupakan suatu
sindrom anemia yang biasanya dijumpai apabila kadar hemoglobin turun di  bawah 7-8
g/dL. 1

 Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap? Pada anemia defisiensi besi
gejala yang muncul mungkin dapat perlahan karena ada mekanisme kompensasi tubuh. 1

 Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Misal pada anemia defisiensi besi bisa
karena perdarahan interna, infeksi cacing, diet yang tidak seimbang, atau riwayat pernah
menderita penyakit yang kronis.1

 Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten dengan
malabsorpsi dan tanda kehilangan darah dari saluran cerna berupa tinja gelap, pendarahan
rektal, muntah “butiran kopi”.

 Jika pasien seorang wanita tanyakan adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan.
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut.

 Tanyakan juga sumber perdarahan lain.

 Tanyakan apakah ada rasa ingin memakan bahan yang tidak lazim seperti es, tanah, dan
sebagainya. Gejala tersebut dapat ditemukan pada anemia defisensi Fe.
Riwayat Penyakit dahulu

Tanyakan apakah ada dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya, riwayat penyakit kronis
(reumatoid arthritis atau gejala keganasan), tanda kegagalan sumsung tulang (memar,
perdarahan, dan infeksi yang tak lazim atau rekuren), tanda defisiensi vitamin seperti
neuropati perifer (defisiensi vitamin B12 subacute combined degeneration of cord
[SACDOC]), adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis (ikterus, katup buatan yang
bocor), riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan endoksopi gastrointestinal, adakah
disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau ada selaput pada esofagus
akibat anemia defisiensi Fe).1

Riwayat keluarga

Menanyakan adakah riwayat anemia dalam keluarga khususnya pertimbangkan penyakit sel
sabit, talasemia, dan anemia hemolitik herediter. 2

Lain-lain

Menanyakan adakah riwayat bepergian dan pikirkan kemungkinan infeksi parasit seperti
cacing tambang dan malaria, mengkonsumsi obat-obatan misal OAINS yang menyebabkan
erosi lambung atau supresi sumsung tulang akibat obat sitotoksik, penurunan berat badan
yang drastis baru-baru ini dan riwayat operasi seperti gastrektomi.2

Working Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur
kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.3
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua)
dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al)
sebagai berikut: 3

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <31%
dengan salah satu dan a, b, c, atau d.

 Dua dan tiga parameter di bawah ini:


 Besi serum <50 mg/dl
 TIBC >350 mg/dI
 Saturasi transferin: <15%, atau
 Ferritin serum <20 mg/1, atau
 Pewarnaan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
 Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara)selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Pada tahap ketiga ditemukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini
sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi
merupakan tahap yang sangat panting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan somber perdarahan yang membahayakan.
Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADS tidak diketahui
penyebabnya. 2,3

Untuk pasien dewasa fokus utama aalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi anamnesis tentang
menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki
dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak
cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap
sebagai penyebab utama ADB, hams dicari penyebab lainnya.2,3

Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses
(TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing
tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada
perempuan.3

Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing
tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya
eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3%
pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dan 123 kasus anemia defisiensi besi yang
dijumpai. 3

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood
test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah.3

Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan : 3

 Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi
untuk eritropoesis belum terganggu.
 Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi kosong,
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara
laboratorik.
 Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi
Different diagnosis

Talasemia

Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan dan masuk ke dalam kelompok
hoemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat
mutasi di dalam atau dekat gen globin. Terjadi penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan
produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya, dapat
menimbulkan defisiensi produk sebagian atau menyeluruh rantai globin tersebut. Akibatnya,
terjadi talasemia yang jenisnya sesuai dengan rantai globin yang terganggu produksinya.4

Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin satu
atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai
globin (rantai α atau rantai β) menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila
pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang yakni berupa α 2β2, maka pada
thalassemia – β0, di mana tidak disintesis samas sekali rantai β, maka rantai globin yang
diproduksi berupa rantai α yang berlebihan. Sedangkan pada thalassemia α0, di mana tidak
disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai β yang
berlebihan.4

Leukemia limfositik akut

Merupakan leukemia yang sering terjadi pada anak-anak. Insiden LLA berkisar 2-3/100.000
panduduk. Pada anak-anak, insidennya kira-kira 82%, sedangkan pada dewasa 18%. Dan
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Leukemia jenis ini
merupakan 25% dari semua kanker yg mengenai anak-anak di bawah umur 15tahun . Insiden
tertinggi pada anak usia antara 3-5 tahun Leukemia limfositik akut adalah suatu penyakit
yang berakibat fatal. Dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi
limfosit berubah menjadi ganas, dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal dalam
sumsum tulang/dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan oleh
pemeriksaan sumsum tulang atau limpa.5
Pada stadium dini, limpa mungkin tidak membesar, bahkan gambaran darah tepi masih
normal, dan hanya terlihat gejala pucat yang mendadak dengan atau tanpa trombositopenia.
Dalam keadaan ini pemeriksaan sumsum tulang dapat memastikan diagnostik. Pada sel
sumsung tulang adasel blas. Dengan pewarnaan giemsa kromatin kasar dan bergumpal
dengan 1 atau 2 anak inti dan sitoplasma tipis.5

Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang.
Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada),
infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur.5

Anemia pada penyakit kronis

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.
Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan
dan disebut anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis
ditandai oleh kadar hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang
rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. 6

Laporan/data penyakit tuberculosis, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis,


dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif
kronis berkaitan dengan anemia. Untuk terjadi anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah
infeksi terjadi dan menetap.6

Etiologi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: 7

 Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: 7


 Saluran cerna: akibat dari tukak peptic, pemakaian NSAID, kanker lambung,
etc.
 Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia.
 Saluran kemih: hematuria.
 Saluran napas: hemoptoe.
 Faktor nutrisi: akibatnya kurang jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C dan
rendah daging). 7
 Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan. 7
 Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.1

Epidemiologi

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di
klinik maupun di masyarakat. Sering juga dijumpai di negara berkembang. 1 Belum ada data
yang pasti mengenai prevalesi ADB di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakan ADB
pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai
negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan karena defisiensi
besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar
27%. 7

Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di India,
Amerika Latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara 35%
sampai 99%. Sedangkan di Bali, prevalensi anemia sebesar 50% dengan 75% anemia
disebabkan oleh defisiensi besi. 6,7

Di Amerika Serikat, berdasarkan survey gizi thaun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi
dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4% pada
laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan masa reproduksi, dan
5-7% pada perempuan pascamenopause. 6
Patofisiologi

Patofisiologi anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia


mikrositik hipokromik denga penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Dalam keadaan
normal tubuh seorang anak rata-rata mengandung 11-12 mg besi bergantung pada jenis
kelamin dan ukuran tubuhnya. Lebih dari dua pertiga besi terdapat di dalam hemoglobin.
Besi dilepas dengan semakin tua serta matinya sel dan diangkut melalui transferin plasma ke
sumsum tulan untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian mioglobin (otot) dan enzim-enzim
heme dalam jumlah yang sangat sedikit, sisa zat besi disimpan di dalam hati, limpa dan
dalam sumsum tulang sebagai feritinin dan hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih
lanjut.8

Walaupun dalam diet rata-rata mengandung 10-20 mg besi, hanya sekitar 5% hingga 10% (1-
2 mg) yang sebenarnya diabsorbsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak
besi diabsorbsi dari diet. Besi yang diingesti diubah menjadi besi ferro di dalam lambung dan
duodenum serta diabsorbsi dari duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut
oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat
penimpanan di jaringan. Tiap miiliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilanagn besi
umumnya sedikit sekali, dari 0,5 mg – 1mg/hari.8

Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah SDM normal atau hamper normal dan kadar Hb
berkurang. Pada asupan darah perifer, SDM mikrositik dan hipokromik (MCV, MCHC dan
MCH berkurang) disertai poikilositosis dan anisositosis. Jumlah retikulosit dapat normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang sedangkan kapasitas mengikat besi serum total meningkat.8

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun.
Keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai
dengan penurunan kadar ferritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, dan
pengecatan besi dalam sumsung tulang negative. Apabila kekurangan besi berlanjut terus
maka cadangan besi akan kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis akan
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit tapi secara klinis belum
tampak, keadaan ini dinamakan iron deficiency erithropoesis.8
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorpyrin
atau zinc protoporphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun atau TIBC meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin serum.
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun, akibat nya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut
sebagai iron deficiency anemia. Pada saat itu juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta
pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring
serta gejala lainnya. Jika terjadi pengendapan fe yang berlebihan dalam tubuh terutama akan
merusak hati, pancreas, dan miokardium (hemokromatosis).8

Manifestasi Klinik

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan :

 Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi
untuk eritropoesis belum terganggu.9
 Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi kosong,
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara
laboratorik.9
 Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi9

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu : gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.

Gejala umum anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi
secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan
dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena
mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan bails Anemia bersifat simtomatik
jika hemoglobin telah turun di bawah 7g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku. 9

Gejala Khas Defisiensi Besi

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah:

 Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
99
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
 Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang. 9
 Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwama pucat keputihan
 Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
 Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
 Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, tern,
dan lain-lain.

Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

Gejala Penyakit Dasar

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab
anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya penyakit anemia akibat penyakit cacing tambang
dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala
gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker
tersebut.8,9
Gejala Pada Anak

Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat sakit kepala, iritabel dan
sebagainya. Mereka tidak tampak sakit karena perjalanan penyakitnya bersifat menahun.
Tampak pucat terutama pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku,
konjungtiva ocular berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white), papil lidah
tampak atrofi, jantung agak membesar dan terdengar murmur sistolik yang fungsionil.
Pada anak MEP dengan infestasi ankilostoma akan memperlihatkan perut buncit yang
disebut pot belly dan dapat terjadi edema. Tidak ada pembesaran limpadan hepar dan tidak
terdapat diathesis hemoragik. Pemeriksaan radiologis tulang tengkorak akan menunjukkan
pelebaran diploe dan penipisan tabula eksterna sehingga mirip dengan perubahan tulang
pada talasemia. 9

Penatalaksanaan

Terapi terhadap defisiensi besi adalah: 10

 Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.


Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorrhagia,. Terapi kasual harus dilakukan, kalau tidak makan anemia akan kambuh
kembali.

 Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.

Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah, dan aman.
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat merupakan preparat pilihan utama oleh karena
paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg, absorpsi besinya 50 mg per hari
yang dapat menginkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. 10
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering
dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien mengalami intoleransi, sulfas
ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan. 10

Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15
sampai 20% , yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual,
muntaj, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau
dosis dikurangi menjadi 3x100 mg. 10

Pengobatan besi diberikan 3-6 bulan, bisa sampai 12 bulan. Setelah normal dapat diberikan
dosis pemeliharaan yang diberikan 100-200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan,
anemia sering kambuh kembail. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan
preparat vitamin V, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian
diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi. 10

Terapi besi parentral efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal.
Oleh karena risiko ini maka besi parentral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi
pemberian besi parentral adalah: 10

 Intoleransi terhadap pemberian besi oral


 Kepatuhan terhadap obat yang rendah
 Gangguan pencernaan seperti colitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
 Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi
 Keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi
oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic
teleangiectasia
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendekm seperti kehamilan trimestes tiga
atau sebelum operasi
 Defisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal
ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia ialah iron dextran comples, iron sorbitol citric acid, etc. Dapat
diberikan secara intramuscular dalama atau intravena pelan. Pemberian secara intramuscular
memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat
timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing¸mual, munth, nyeri perut dan sinkop. 11

Pengobatan lain

 Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani. 11
 Vitamin C: vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
11

 Transfuse darah: ADB jarang memerlukan transfuse darah. Indikasi pemberian


transfuse darah pada anemia kekurangan besi adalah: 11
 Adanya penyakit jantung anemic dengan ancaman payah jantung.
 Anemia yang sangat simtomatik, misalnya dengan gejala pusing yang
mencolok.
 Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons
baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal
lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu.
Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. 11

Komplikasi

 Anemia defisiensi besi mengurangi kinerja dengan memaksa otot untuk bekerja pada
tingkat yang lebih tinggi dari pada orang sehat, selama metabolisme anaerobik. Hal
ini diyakini karena kekurangan enzim pernapasan yang mengandung besi daripada
anemia.11
 Anemia berat karena penyebab apapun dapat menyebabkan hipoksemia dan
meningkatkan terjadinya insufisiensi koroner dan iskemia miokard. Demikian pula,
dapat memperburuk status paru pasien dengan penyakit paru kronis.11
 Cacat dalam struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada defisiensi besi.
Kuku menjadi rapuh atau kaku dengan perkembangan koilonychia (kuku berbentuk
sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila lingual dan tampak mengkilap.
Angular stomatitis dapat terjadi dengan fisure di sudut-sudut mulut. Disfagia mungkin
terjadi dengan makanan padat, dengan anyaman dari mukosa pada pertemuan
hipofaring dan esofagus (Plummer-Vinson sindrom); hal ini dapat dikaitkan dengan
karsinoma sel skuamosa daerah krikoid. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat
besi dengan kehilangan progresif sekresi asam, pepsin, dan faktor intrinsik dan
 Intoleransi udara dingin berkembang di seperlima dari pasien dengan anemia
kekurangan zat besi kronis dan terjadi oleh karena gangguan vasomotor, nyeri
neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.12
 Anemia defisiensi besi berat dapat dikaitkan dengan papilledema, peningkatan
tekanan intrakranial, dan gambaran klinis cerebri pseudotumor. Manifestasi ini
diperbaiki dengan terapi besi.12
 Gangguan fungsi imun dilaporkan pada pasien kekurangan zat besi, dan ada laporan
bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti bahwa hal tersebut adalah akibat
langsung yang disebabkan oleh kekurangan zat besi kurang meyakinkan karena
adanya faktor lain.12
 Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan gangguan perilaku. Gangguan
perkembangan neurologis pada bayi dan kinerja skolastik berkurang pada anak usia
sekolah. IQ anak-anak sekolah dengan defisiensi zat besi terlihat lebih rendah
daripada aak seusianya. Gangguan perilaku dapat bermanifestasi sebagai gangguan
defisit perhatian. Pertumbuhan terganggu pada bayi dengan defisiensi besi. Semua
manifestasi dapat membaik pada terapi besi.12

Prognosis

Anemia defisiensi besi adalah suatu gangguan yang mudah diterapi dengan prognosis yang
sangat baik. Namun prognosis yang buruk mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi penyerta maupun komorbiditas yang berat seperti neoplasia dan penyakit arteri
koronaria. Anemia defisiensi besi kronik yang sedang maupun berat dapat menyebabkan
hipoksia yang menyebabkan kambuhnya gangguan pulmonar maupun kardiovaskular yang
dimiliki pasien. Kematian akibat hipoksia dapat terjadi pada pasien yang menolak diberi
transfusi darah karena alasan religious atau pada pasien dengan perdarahan akut yang berat.
Pada anak yang lebih muda, anemia defisiensi besi berhubungan dengan IQ yang lebih
rendah,kurangnya kemampuan belajar, dan kecepatan pertumbuhan yang suboptimal.12

Pencegahan

 Pendidikan kesehatan: 12
 Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang12
 Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorpsi besi12
 Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling
sering dijumpai di daerah tropic. Pengobatan masal dengan antihelmentik dan
perbaikan sanitasi.12
 Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen pendidik yang
rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.12
 Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan.
Di negara barat dilakukan dengan mencapur tepung untuk roti atau bubuk susu
dengan besi.12

Kesimpulan

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang sering terjadi, terutama pada negara
berkembang. Penyebab defisiensi besinya banyak, bisa dikarenakan kurangnya asupan, atau
perdarahan yang mengakibatkan keluarnya darah serta besi yang di dalamnya. Terapinya
tentu diberikan preparat besi, bisa oral maupun injeksi. Bila anemianya parah bisa diberikan
transfuse PRC. Secara umum prognosis anemia defisiensi besi baik karena mudah diterapi,
namun akan lebih buruk bila disertai penyakit kormobid seperti neoplasma.

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Anemia. Dalam : At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan
Fisik.Jakarta:Erlangga; 2005. h. 84-5.
2. Silbernagl, Stefan. Anemia Defisiensi Besi. Dalam:. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Jakarta : EGC ; 2007. h.38-9
3. Bickley, Lynn. Bates. Pemeriksaan Konjuctiva dan Sklera. Dalam: Buku Ajar
Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2009.h.151
4. Sudoyo, Aru W. Anemia Defisiensi Besi. Dalam:. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : FK UI; 2006.h.634-40
5. Bickley, Lynn. Pemeriksaan Kelenjar Limfe. Dalam:. Bates Buku Ajar Pemeriksaan
Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2009.h.167-8
6. Bickley, Lynn. Pemeriksaan Hati, Limpa, dan Massa Abdomen. Dalam:. Bates Buku
Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2009. h. 342-9
7. Safitri A. At a glance medicine. Jakata: Penerbit Erlangga; 2005.h. 208-9
8. Vijayaraghanvan K. Anemia karena defisiensi zat besi. Dalam: Widyastuti P,
Hardiyanti EA, editor. Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: Penerbit EGC; 2009.h.
276-82

9. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyono AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jilid ke-2. Jakarta: InternalPublishing; 2009.h. 1127-36

10. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Essensial haematology. Jakarta: EGC;
2005.h.28-31.
11. Iron deficiency anemia. Edisi 2007. Diunduh dari
http://www.aafp.org/afp/2007/0301/p671.html. 1 Mei 20119

12. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2008.h. 84-5

Anda mungkin juga menyukai