Anda di halaman 1dari 208

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL
PETERNAKAN BERKELANJUTAN KE-10
Jatinangor, 13-14 November 2019

“Peranan Teknologi Peternakan Aplikatif dalam Akselerasi


Pencapaian SDGs dan Peranan Perguruan Tinggi dalam
Pemberdayaan Masyarakat”

Reviewer:
Ir.Diky Ramdani, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D., IPM
Dr. Nurcholidah Solihati, S.Pt., M.Si.
Dr.Ir. Heni Indrijani,S.Pt., M.Si., IPU
Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.
Dr.Iin Susilawati,S.Pt., MP
Dr.Wendry Setiyadi Putranto, S.Pt., M.Si
Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D

Tim Penyunting :
Dr.Ir. Heni Indrijani,S.Pt.,M.Si.,IPU
Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.
Dr.Iin Susilawati,S.Pt.,MP
Dr.Wendry Setiyadi Putranto,S.Pt.,M.Si

Steering Committee:
Prof. Dr. Ir. Husmy Yurmiaty, M.S.
Dr. Ir. Iman Hernaman, M.Si.
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PETERNAKAN BERKELANJUTAN KE-10

Diky Ramdani, dkk

Cetakan pertama, 2020

Penerbit : Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran


Redaksi : Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21 Sumedang 45363
Website : http://peternakan.unpad.ac.id
ISBN : 978-602-74116-7-8

Hak cipta dilindungi undang-undang, dilarang mencetak dan menerbitkan


sebagian atau seluruhnya isi buku dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa
seijin penerbit.
SUSUNAN KEPANITIAN

Pelindung dan Penasehat : Prof. Dr. Ir. Husmy Yurmiaty, M.S.


Dr. Ir. Iman Hernaman, M.Si.
Ketua : Diky Ramdani, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D.
Sekretaris : Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
Ganesha Ade Riemas, S.Pt.
Bendahara : Dr. Nurcholidah Solihati, S.Pt., M.Si. Aldena
Bina Salimah, S.Pt.

Kesekretariatan : Raden Febrianto Christi, S.Pt., M.Si.


Andry Pratama, S.Pt., M.P.
Dr. Rahmad Fani Ramadhan, S.Pt.
Ken Ratu Gharizah Alhuur, S.Pt., M.Si.
Beti Nurbainah, S.IP.
Akhmad Hidayatulloh, S.Pt.
Ema Tri Wigiyanti, S.Pt.
Hana Nurlela, S.Pt
Acara : Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.
Nurhaeni, S.Sos., M.M.
Dadang Hermawan, S.Sos.
Kinsa Raehan Hasanah, S.Pt.
Muhammad Ifan F., S.Pt.
Itang Purnama, S.Pt.
Artikel dan Prosiding : Dr. Heni Indrijani, S.Pt., M.Si.
Dr. Wendry S. Putranto, S.Pt., M.Si.
Dr. Iin Susilawati, S.Pt., M.P.
Dr. Achmad Firman, S.Pt., M.Si.
Ayu Kamila Haya, S.Pt.
Ina Nuraeni, S.Pt.

Logistik : An An Nurmeidiansyah S., S.Pt., M.Si. Moch.


Ali Mauludin, S.Pt., M.Si.
Zayana Rauna, S.Pt.
Jois Harsa, S.Pt.

Konsumsi : Dr. Ir. Budi Ayuningsih, M.Si.


Dr. Nena Hilmia, S.Pt., M.Si
Namira Dwianti, Spt.

IT, Publikasi, dan Dokumentasi : Dr. Andre Rivianda Daud, S.Pt., M.Si.
Toni Pramulyadi, S.Pt., M.IL.
Bayu Nugraha Saputra, S.Ikom.
Slamet Riyanto, S.I.Pust.
Bambang Kholiq Mutaqin, S.Pt., M.Si
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10


dengan tema “Peranan Teknologi Peternakan Aplikatif dalam Akselerasi Pencapaian SDGs
dan Peranan Perguruan Tinggi dalam Pemberdayaan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tanggal 13-14 November 2019 telah dapat
diselesaikan.
Prosiding ini tersusun atas makalah yang merupakan hasil penelitian dan pengabdian
kepada masyakatan dalam bidang produksi ternak, nutrisi dan hijauan makanan ternak,
teknologi hasil ternak serta sosial ekonomi pertakan.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Seminar
Nasional Peternakan Berkelanjutan Ke-10 berjalan lancer dan Prosiding dapat diterbitkan.

Jatinangor, 27 Januari 2020

Tim Editor
DAFTAR ISI
No Halaman
1 Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Di Kelompok Ternak Kerbau 2-5
Rawa (Bubalus bubalis carabauesis) Desa Tampakang Kecamatan
Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan

Abd. Malik1, Neni Widaningsih1, dan Siti Erlina1

2 Karakter Morfologi Rumput Benggala (Panicum maximum CV Purple 6-11


Guinea) yang ditanam Menggunakan Benih Biji dan PolS

Achmad Fanindi1, Sajimin1, I. Herdiawan1, E. Sutedi1

3 Teknologi Pembuatan Kolam Terpal Sebagai Alternatif Pertanian – 12-21


Perikanan Terpadu Sebagai Wujud Peduli Gambut di Desa Sawahan
Kabupaten Baritokuala

Achmad Jaelani1, Gusti Khairun Ni’mah1, Muh. Syarif Djaya1

4 Pertambahan Bobot Badan Pedet Belgian Blue dan Persilangannya 22-25


Umur 1 Hari hingga 30 Hari

Hapsari, A.A.R1 , Talib, C.2 dan Sianturi, G.S.3

5 Kecernaan Protein Kasar dan Produksi Mikroba Rumen Secara In vitro 26-32
dengan Penambahan Suplemen Tepung Daun Katuk (Sauropus
androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa) dan S-proteinat

Angger Lintang Pungkashaning Rubai1, Dian Wahyu Harjanti2, Anis Muktiani3

6 Pengaruh Pemberian Gelatin Kulit Ikan Gabus Terhadap Kualitas 33-41


Organoleptik Permen Jelly Susu Kambing

Anna Fitriani, Zulfa Elymaizar, Ima Yus Santi

7 Respon Fisiologis dan Hematologis Kambing Boerka yang 42-49


digembalakan

Arie Febretrisiana1, Alfian Destomo1, Ade Syahrul Mubarak1

8 Faktor Koreksi Bobot Prasapih Domba Garut Berdasarkan Jenis 50-60


Kelamin dan Tipe Kelahiran di UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Ayu Kamila Hayaa, Asep Anang


9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), 61-67
Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan
dan Efisiensi Konversi Heksosa pada Sapi Perah Secara In vitro

Heny Sintya Nengsih1), Anis Muktiani2), Dian Wahyu Harjanti3)*

10 Pengaruh Pola Pemberian Ransum (Konsentrat-Jerami) yang Berbeda 68-78


terhadap PBBH dan Konversi Ransum pada Sapi Potong

Hikmat Angga Restu1, M. Fatah Wiyatna2, Rahmat Hidayat3

11 Produktivitas dan Daya Adaptasi Rumput Brachiaria Decumbens CV 79-86


Basilisk dalam Perbaikan Padang Penggembalaan di Lahan Sub Optimal

Iwan Herdiawan, E. Sutedi dan A. Panindi

12 Pengaruh Pemberian Gliserol Terhadap Kualitas Organoleptik Edible 87-92


Film dari Gelatin Usus Ayam

Jajang gumilar1, Wendry S. Putranto1, Andry Pratama1

13 Evaluasi Kinerja Pertumbuhan pada Sapi Silangan Belgian blue dan PO 93-98

Jakaria1, Edwar3, Mokhamad Fakhrul Ulum2 dan Rudy Priyanto1

14 Distribusi Pola Warna Sapi Pasundan di Jawa Barat 99-107

Johar Arifin, Asep Anang dan Heni Indrijani1)

15 Studi Awal Performa Kerbau Rawa, Murrah dan Persilangannya (F1) di 108-113
Balai Penelitian Ternak

Lisa Praharania), Ria Sari Gail Sianturi dan Yeni Widiawati

16 Karakteristik Eksterior Kerbau Banten pada Pemeliharaan di Pusat 114-122


Pembibitan dan Sentra Peternakan Rakyat

Lisa Praharania), Riasari Gail Sianturi dan Chalid Talib

17 Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam 123-131


Ransum terhadap Kadar Hemoglobin dan Eritrosit Ayam Sentul

Muhamad Yusro1,a, Abun2, Kurnia A. Kamil2

18 Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Produksi 132-138


dan Kualitas Rumput Millet (Pennisetum glaucum L.) Sebagai Sumber
Hijauan Pakan Ternak

Sajimin1, A. Fanindi1, I. Herdiawan1 dan Soeharsono1


19 Peningkatan Kualitas Beras Siger Berbasis Teknologi ASUH 139-145
(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal)

Suraya Kaffi Syahpura1), Zulfahmi2)

20 Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam 146-154


Ransum terhadap Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul

Syakir Fathul Mubin1, Abun2, Kurnia A. Kamil2

21 Identifikasi Keragaman dan Reproduksi Kambing 155-163

Umi Adiati dan S. Rusdiana

22 Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah Untuk Pakan Ternak dengan 164-173
Menggunakan Pisau Tipe Reel

Wahyu K Sugandi1, Asep Yusuf1, Muhammad Saukat1

23 Inovasi Strategi Screening Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) yang 174-183
Diisolasi dari Daging dan Susu Sebagai Penghasil Milk Clooting
Enzyme (MCE)

Wendry S Putranto1, Lilis Suryaningsih1, Apon Z Mustopa2, Lita Triratna2,


Andry Pratama1

24 Pemberian Pakan Aditif untuk Menurunkan Kandungan Sel Somatic 184-192


Susu Sapi Perah

Y. Widiawati1, E. Wina1 dan A. Anggraeni1

25 Perbandingan Produksi dan Nilai Ekonomis Plasma Nutfah Itik Lokal 193-200
Sumatera Barat dalam Upaya Konservasi

Zasmeli Suhaemi1,a, Febriani2 , Sabrina3 dan Nita Yessirita4


Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Di Kelompok Ternak Kerbau Rawa (Bubalus


bubalis carabauesis) Desa Tampakang Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai
Utara Kalimantan Selatan

1
Faculty of Agriculture, Islamic University of Kalimantan
*Korespondensi: nieasgar2@gmail.com

Abstrak
Produktivitas dan Reproduktivitas Kerbau Rawa di Desa Tampakang, Kecamatan Paminggir
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, tergolong masih rendah. Selama mereka
beternak, hasil yang dipeoleh kurang memuaskan bahkan mengalami kerugian, karena strategi
pemasaran belum dilaksanakan secara efektif dan efisien. Kondisi tersebut disebabkan karena tingkat
pengetahuan peternak yang masih rendah tentang manajemen pemeliharaan dan strategi pemasaran
kerbau rawa. Oleh karena itu Program Kemitraan Masayarakat(PKM) sangat diperlukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Khalayak sasaran program ini adalah masyarakat yang belum
produktif secara ekonomi tetapi berhasrat kuat menjadi wirausahawan. Target luaran adalah jasa dan
Teknologi /alat/ produk/barang. Metode yang digunakan adalah penyuluhan dan demonstrasi dan
pendampingan usaha. Kelompok mitra mendapatkan penyuluhan tentang cara meningkatkan
produksi, reproduksi, dan strategi pemasaran kerbau rawa secara efektif dan efisien. Solusi yang
ditawarkan tim pelaksana untuk meningkatkan produksi kerbau rawa adalah dengan penambahan
suplemen Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) dan untuk meningkatkan
reproduktivitasnya adalah dengan sinkronisasi birahi. Solusi tersebut merupakan implementasi atau
penerapan hasil Penelitian Hibah Dikti tahun anggaran 2018 yaitu skema Penelitian Terapan
Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) yang telah dilakukan oleh tim pelaksana. Disamping
penyuluhan, kelompok mitra juga diberikan praktik langsung (demonstrasi) cara pembuatan suplemen
Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) sekaligus pendampingan pemeliharaan usaha
pemeliharaan kerbau rawa dengan menggunakan suplemen Urea Molases Multinutrien Moringa Blok
(U3MB) dan tim pelaksana juga mentransfer teknologi berupa alat press untuk pembuatan Urea
Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) yang merupakan hasil modifikasi tim pelaksana untuk
memudahkan dalam pembuatan Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB). Kegiatan ini
tentunya akan dapat membuka wawasan peternak, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
peternak dalam beternak kerbau rawa dengan penerapan teknologi secara lebih baik dan benar yang
akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak.

Kata Kunci: PKM, Kerbau Rawa, Kelompok Ternak.

Pendahuluan
Keberhasilan suatu usaha peternakan sangat dipengaruhi oleh tatalaksana yang dilakukan.
Apabila tidak adanya pelaksanaan tatalaksana yang teratur dan baik pada usaha peternakan tersebut
maka tidak akan menghasilkan produksi yang optimal. Manajemen pemeliharaan ternak memegang
peranan yang paling besar dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu sebesar 50%, adapun pakan
dan bibit masing-masing mempunyai peranan 30 dan 20%. Itulah sebabnya pengetahuan tentang
manajemen pemeliharaan sangat penting dikuasai.
Kerbau rawa yang dipelihara dengan manajemen yang baik mempunyai prospek yang baik
untuk dikembangkan sebagai penyedia daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah mampu
mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan dengan sapi. Persentase karkas yang dimiliki kerbau

1
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

juga relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianti, 2006). Oleh karena itu manajemen pemeliharaan kerbau
rawa yang baik dan teratur sangat penting di kuasai, dilakukan dan diterapkan, sehingga
pemeliharaan kerbau tersebut dapat memberikan nilai ekonomis yang potensial untuk meningkatkan
kesejahteraan peternak.
Salah satu alternatif upaya peningkatan produktivitas kerbau rawa guna meningkatkan
pendapatan petani peternak adalah dengan melakukan manajemen pemeliharaan Kerbau rawa yang
baik dan benar, akan tetapi masih banyak petani peternak yang masih memelihara ternaknya secara
tradisional. Sebagai salah satu contoh peternak tidak pernah memberikan pakan suplement berupa
UM3B (Urea Molases Multinutrien Moringa Blok) serta vitamin dan antibiotik. Walaupun kerbau
rawa mempunyai tingkat ketahanan hidup tinggi, tetapi dengan sistem pemelihaan tradisional yang
tidak berorientassi pada kebutuhan ternak menyebabkan populasi kerbau rawa terus menurun.
Di Desa Tampakang Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara terdapat
kelompok ternak kerbau rawa. Selama mereka beternak, hasil yang dipeoleh kurang memuaskan
bahkan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan karena manajemen pemeliharaan yang masih
bersifat tradisonal, dan tingginya angka mortalitas. Tingginya angka mortalitas tersebut disebabkan
karena wabah penyakit dan manajemen pemeliharaan yang masih tradisional yaitu membiarkan
ternak kerbau rawa lepas di area rawa begitu saja tanpa adanya pengecekan kesehatan dan pemberian
vitamin dan antibiotik. Para peternak tidak melakukan hal tersebut dikarenakan kurangnya
pengetahuan peternak akan pentingnya manajemen pemeliharaan kerbau rawa.
Rendahnya Produktivitas dan Reproduktivitas Kerbau Rawa di Desa Tampakang,
Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan tersebut disebabkan
karena tingkat pengetahuan peternak yang masih rendah tentang manajemen pemeliharaan dan
strategi pemasaran kerbau rawa. Oleh karena itu Program Kemitraan Masayarakat(PKM) sangat
diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
Melihat keadaan tersebut tim pelaksana merasa terpanggil untuk menginformasikan bahkan
memberikan transfer teknologi kepada kelompok tani/ternak tersebut terkait pemeliharaan Kerbau
rawa yang baik dan benar.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan
Tujuan kegiatan Ipteks bagi Masyarakat ini adalah:
1. Memberikan informasi bagi masyarakat setempat tentang Pemeliharaan dan Potong Paruh pada
Ayam buras
2. Membantu masyarakat ini dalam Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras sehingga
dapat meningkatkan pendapatannya.

2
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Manfaat
Hasil dari Kegiatan ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi masyarakat
Bertambahnya pengertian dan pengetahuan tentang Tatalaksana Pemeliharaan dan Potong
Paruh pada Ayam buras sehingga dapat menambah pendapatan keluarga.
2. Bagi pelaksana kegiatan
Memperoleh kesempatan untuk mengamalkan ilmu bagi kepentingan masyarakat sebagai
bentuk nyata dari pelaksanaan dharma ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi.
3. Bagi Pemerintah
Membantu dalam rangka penyuluhan dan demonstrasi tentang Pemeliharaan dan Potong Paruh
pada Ayam buras

Metode Penelitian
Target Kegiatan
Anggota khalayak sasaran yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah:
a. Masyarakat desa setempat sebagai sasaran kegiatan.
b. Tokoh masyarakat sebagai penggerak masyarakat yang diharapkan mampu mengajak
masyarakat untuk melaksanakan Tatalaksana Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras
dengan baik dan benar.
c. Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai mediator penyaluran teknologi modern.

Luaran Kegiatan
Luaran kegiatan Ipteks bagi Masyarakat ini adalah:
1. Jasa
Berupa penyuluhan dan demonstrasi tentang tatalaksana pemeliharaan dan potong paruh pada
ayam buras.
2. Teknologi tepat guna/alat
yaitu dengan mentransfer teknologi berupa alat potong paruh (‘debeaker‘ hasil modifikasi tim
pelaksana IbM).

Metode Pelaksanaan
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah:
1. Penyuluhan tentang tatalaksana pemeliharaan ayam buras terutama cara potong paruh dengan
penerapan teknologi yang baik dan benar
2. Demonstrasi Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras.
3. Mentransfer teknologi berupa alat potong paruh (debeaker) yang di modifikasi khusus,
sederhana dan murah (debeaker hasil modifikasi dari tim pelaksana).

3
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kedua kelompok baik ketua beserta anggotanya mengikuti pembelajaran Teori dengan rasio
pertemuan sebesar 20 % dan praktik dengan rasio pertemuan 80 %.
Materi Kegiatan
Materi kegiatan yang diberikan kepada kelompok mitra adalah:
a. Penyuluhan tentang:
- Tatalaksana pemeliharaan ayam buras mulai bibit sampai produksi.
- Potong Paruh pada ayam buras
- Manajemen Pemasaran Ayam buras
b. Perkenalan alat potong paruh (Debeaker dan Debeaker modifikasi) dan demonstrasi
penggunaan alat tersebut
c. Demonstrasi pemeliharaan Ayam buras
d. Evaluasi, berupa tanya jawab/diskusi dengan kelompok mitra untuk memecahkan potret
permasalahan lain yang terekam yang di hadapi peternak.

Hasil Dan Pembahasan


Analisis Evaluasi dan Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan tim
pelaksana IbM dapat diketahui bahwa peserta/mitra IbM sangat tertarik dan antusias dengan adanya
kegiatan IbM ini, hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan atau pertanyaan yang diajukan dan
keinginan yang besar untuk memelihara/beternak kembali pasca kegiatan ini.
Dari hasil tanya jawab dapat diketahui bahwa kelompok mitra tidak mengetahui tentang alat
potong paruh (debeaker) sehingga mereka belum pernah melakukan potong paruh pada ternaknya.
Kelompok mitra sangat antusias ketika Tim pelaksana IbM memperkenalkan alat potong paruh. Alat
tersebut memang mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun pada prinsifnya
mempunyai Tujuan dan manfaat yang sama yaitu:
1. Mengefisiensikan penggunaan pakan. Ayam yang dipotong paruhnya tidak akan pilih-pilih
makanan sedang pada ayam yang tidak dipotong paruhnya akan lebih memilih jenis makanan
yang berbutir (crumble dan pellet) daripada jenis tepung (mash). Sehingga kebanyakan
makanan yang tersisa adalah jenis tepung.
2. Mengeliminasi sifat kanibal, baik kanibal antar ayam atau kanibal makan telurnya. Sifat
kanibal antar ayam dapat dicegah dengan cara isolasi atau memisahkannya. Sedangkan
kanibal memakan telur merupakan sifat genetik yang akan muncul apabila sifat fenotif
mendukung seperti kepadatan kandang yang terlalu tinggi, keterlambatan pemberian pakan,
ventilasi kurang, dan pakan yang kekurangan NaCl dan lain sebagainya.
3. Meningkatkan pertumbuhan dan produksi telur, dengan efisiensi penggunaan pakan maka
laju pertumbuhan diharapkan meningkat pula.
Di samping memberikan manfaat, potong paruh juga mempunyai sisi negatif seperti:

4
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

1. Menimbulkan stress, karena setelah beberapa waktu pelaksanaan potong paruh unggas akan
mengeluarkan darah walaupun jumlahnya kecil dan ini menghalanginya untuk makan dan
aktifitas lainnya.
2. Meningkatkan mortalitas, karena unggas yang stress tidak menutup kemungkinan akan
sampai menyebabkan kematian kalau penanganan pasca potong paruh kurang mendapat
perhatian.
Walaupun potong paruh mempunyai sisi negatif, akan tetapi kelompok mitra tidak merasa khawatir
lagi, karena mereka telah membuktikan sendiri bahwa ayam yang dipotong paruhnya akan
menampilkan produksinya lebih baik daripada ayam yang tidak dipotong paruhnya.

Kesimpulan Dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:
a. Pengetahuan mitra menjadi meningkat, mitra mengetahui bagaimana tatalaksana pemeliharan
usaha Ayam Buras yang baik dan benar
b. Mitra dapat menggunakan alat potong paruh (debeaker)
c. Mitra mengetahui tentang strategi pemasaran ayam buras yang efektif dan efisien

Saran
Masyarakat kecamatan Pengaron Khususnya dan masyarakat di Kalimantan Selatan
umumnya agar dapat terus mengembangkan usaha peternakannya untuk meningkatkan pendapatan
keluarga.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Produksi Ternak. 2003. Statistik Peternakan Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Indarto, P.,A.Zakaria, Muharlien, E.Sudjarwo dan Wiharto. 2006. Manajemen Ternak Unggas.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Murtidjo, B.A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.
Nurjana, G; Ruwendra,R ;Zaynanto,S; Suprapto, H; Dedy,K; Furqon,O; Indra,P; Mangunkusuma dan
Nuriyanto, R. 1983. Pedoman Praktis Pemeliharaan Ayam Petelur dan Pedaging/Pejantan.
PT.Pyridam. Jakarta.
Rasyaf, M., 1992. Memelihara Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rasyaf, M., 1992. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.
Supriyatna,E ; U Atmomarsono dan R.K. Sudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Susilorini,T.E; M.E.Sawitri dan Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya.
Jakarta.

5
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Karakter Morfologi Rumput Benggala (Panicum maximum CV Purple Guinea) yang


ditanam Menggunakan Benih Biji dan PolS

Achmad Fanindi1, Sajimin1, I. Herdiawan1, E. Sutedi1


1
Balai Penelitian Ternak
email: afanindi@gmail.com

Abstrak
Reproduksi rumput benggala sebagian besar dilakukan secara apomiksis, sehingga keturunannya akan
memiliki karakter yang sama dengan induknya. Sifat apomiksis ini menjadi penting untuk
menentukan metodologi seleksi dalam kegiatan pemuliaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengamatan karakter morfologi rumput benggala yang diperbanyak menggunakan asal benih dari
generatif (biji) dan vegetatif (pols) sebagai salah satu dasar untuk menetapkan metode pemuliaan yang
tepat bagi rumput benggala. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penilitian Ternak Ciawi Bogor,
menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 10 ulangan, perlakuan berupa 2 asal bahan tanam,
yaitu bahan tanam yang berasal dari pols (vegetatif) dan bahan tanam yang berasal dari biji
(generatif). Tanaman yang digunakan adalah rumput benggala kultivar Purple guinea yang ada di
koleksi Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi. Parameter yang diamati adalah morfologi tanaman,
waktu bunting, berbunga, waktu produksi biji dan produksi biji per malai (rataan di 3 malai/rumpun).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua karakter morfologi yang diamati tidak
menunjukkan perbedaan antara tanaman yang berasal dari benih biji maupun benih pols. Perbedaan
yang nyata hanya terjadi pada tinggi saat berbunga dan panjang kuntum bunga. Fase generatif yang
ditandai umur bunting, awal berbunga, berbunga sempurna dan umur produksi biji menunjukkan
perbedaan yang nyata antara tanaman yang berasal dari biji dan pols, dimana tanaman yang berasal
dari pols memiliki umur yang lebih lama dibandingkan tanaman yang berasal dari biji. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan karakter morfologi secara signifikan, bisa menjadi
indikasi awal bahwa rumput benggala kemungkinan besar bersifat apomiksis. Perbedaan dalam umur
reproduksi, mungkin lebih disebabkan adanya pengaruh fisiologis tanaman.

Kata kunci: Panicum maximum, benih, karakter morfologi, apomiksis

Pendahuluan
Rumput benggala kultivar guinea, dapat berkembang hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
Memiliki produksi yang tinggi (6,7-15 ton bahan kering/har/tahun) dengan persentase daun sekitar
75%, dan meningkat menjadi 90% pada musim hujan (Hare et al. 2009), mudah dalam pemanenan,
dan bisa tumbuh kembali setelah dilakukan pemotongan, membutuhkan pestisida yang relatif sedikit
dan manajemen budidaya tidak intensif. Rumput benggala relatif tahan kering dan berkembang luas
pada berbagai tipe tanah, termasuk juga toleran pada naungan, sehingga dapat tumbuh dibawah
naungan pohon atau semak (Andrade et al. 2004).
Rumput Benggala (Panicum maximum) sebagian besar tetraploid dengan 2n=32 kromosom,
dimana reproduksinya dengan fakultatif apomixis. Dua bentuk dari reproduksi apomixsis, yaitu
apospory dan pseudogamy dapat secara jelas tergambar pada spesies rumput benggala (Warmke,
1954), keduanya menyebabkan pembentukan biji tanpa melakukan pembuahan atau fertilisasi,
sehingga secara genetik akan identik dengan induknya. Rumput ini pada dasarnya memiliki potensi
produksi biji yang tinggi, namun dilapangan produksi bijinya rendah karena mudah rontok dan

6
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

berukuran kecil, selain itu daya kecambahnya rendah (Sukhchain and Sidhu, 1989). Sehingga di
peternak, kebanyakan rumput ini diperbanyak menggunakan pols (vegetatif), walaupun rumput ini
bisa diperbanyak menggunakan biji (generatif).
Melihat potensi rumput benggala ini dan cara bereproduksinya secara apomiksis fakultatif,
serta metode penanaman di peternak yang menggunakan pols dan biji, maka perlu dilakukan
penelitian karakter agronomi rumput benggala kultivar Purple guinea menggunakan asal benih secara
generatif (biji) dan vegetatif (pols) untuk melihat bagaimana produktivitasnya, sehingga dapat
ditentukan benih apa yang dapat digunakan untuk menanam rumput benggala kultivar purplr guinea.

Materi dan Metode


Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan 10 ulangan, perlakuan berupa
dua jenis benih, yaitu jenis benih dari biji dan jenis benih dari pols. Tanaman yang digunakan adalah
Panicum maximum cv Purple yang telah dikoleksi dan dievaluasi di Balai Penelitian Ternak (BPT)
Ciawi. Peubah yang diamati adalah morfologi tanaman, sifat reproduksi dan produksi biji per malai,
pengamatan reproduksi dilakukan pada 3 malai setiap potnya. Selanjutnya data yang diperoleh
dianalisa dan dilanjutkan dengan uji t.
Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai penelitian ternak Ciawi. Alat yang digunakan
berupa pot berdiameter 40 cm, menggunakan media tanam berupa tanah dari kebun percobaan Ciawi
(Latosol). Benih yang digunakan adalah biji dan pols rumput benggala kultivar Purple guinea yang
berada di koleksi Balai penelitian ternak bagian agrostologi. Benih berasal dari biji, sebelum
dilakukan penanaman di pot, terlebih dahulu dilakukan persemaian biji di cawan petri, bila radicula
mencapai panjang + 2 cm dipindahkan ke polybag, setelah umur 1 bulan (jumlah daun 5 helai)
kemudian dipindahkan ke pot. Sedangkan benih yang berasal dari pols, terlebih dahulu dicari pols
yang ukuran tinggi dan jumlah daunnya sama dengan tanaman yang berasal dari biji, kemudian
ditanam di pot. Setelah tanaman dalam kondisi stabil di pot dilakukan pemupukan menggunakan
pupuk buatan dan pupuk kandang. Dosis Urea 100 kg/ha, TSP 150 g/ha, KCl 100 kg/ha dan pupuk
kandang setara dengan 10 ton/ha,

7
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hasil dan Pembahasan


Analisis tanah penelitian dianalisis di Balai Tanah dan disajikkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisa tanah sebagai media tanam rumput Benggala kultivar Purple Guinea.
No Parameter Nilai Satuan Nilai Standar
1 Tekstur Tanah
Pasir (%) 27
Debu (%) 26
Liat (%) 47
2 pH (H2O) 6,2
Agak masam
(KCl) 5,7
3 C-organik (%) 1,82 Rendah
4 N-organik (%) 0,14 Rendah
5 C/N 13 Tinggi
6 P2O5 Olsen (ppm) 10,9 Sedang
7 K2O Morgan (ppm) 14,21
8 Susunan Kation (cmol/kg)
Ca 13,03 Tinggi
Mg 3,87 Tinggi
K 2,79 Sangat tinggi
Na 1,17 Sangat tinggi
9 Kapasitas Tukar Kation (cmol/kg) 11,89 Rendah
10 Kejenuhan Basa >100 Sangat tinggi
Hasil analisis Balai Penelitian Tanah Bogor

Media tanah yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kondisi masih tergolong agak masam. Kondisi tanah yang masam ini mewakili
kondisi lahan yang tersebar luas di Indonesia. Luas lahan kering masam di Indonesia yaitu 27,5 juta
ha dengan penyebarannya terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Hidayat dan Mulyani, 2004).
Pada tanah masam terdapat kendala secara kimia dan interaksi di antara mereka membatasi
pertumbuhan tanaman, misalnya, di tanah pH rendah, biasanya ion hidrogen yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman tidak bersifat toksis, tetapi yang lainnya bersifat toksis, seperti aluminium (Al)
dan mangan, serta kekurangan fosfor, nitrogen, kalium, kalsium, magnesium, dan molibdenum
(Takita et al. 1999). Kondisi tanah ini memerlukan pemupukan, terutama pupuk kandang dan
pengapuran, selain itu untuk mengoptimalkan pertumbuhan rumput benggala dilakukan juga
pemupukan menggunakan pupuk kimia dengan dosis yang telah ditentukan. Perlakuan ini diharapkan
dapat mnjadikan rumput benggala tumbuh secara optimal dan menunjukan potensi pertumbuhannya
secara optimal juga.

8
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Rataan karater morfologi rumput benggala kultivar Purple guinea yang menggunakan benih
dari biji dan pols
Kultivar
No Karakteristik Purple Guinea asal Purple Guinea asal
biji pols
1 Sifat Tumbuh Tegak (17,70o) Tegak (17,13o)
2 Warna daun Hijau Hijau
3 Tinggi Tanaman 187,90 194,90
4 Tinggi tanaman saat muncul kuntum 144,50* 182,02*
bunga
5 Daun bendera pada muncul bunga 15,78 11,52
6 Lebar daun bendera 1,43 1,44
7 Panjang batang terpanjang 215,93 232,15
8 Panjang kuntum bunga 42,33* 51,19*
9 Jumlah spikelet 26,33 28,56
10 Tekstur permukaan daun Kasar Kasar
11 Tepi daun Kasar Kasar
12 Warna tepi daun Putih Putih
13 Lebar daun 2,91 2,91
14 Jumlah anakan 34,20 28,40
15 Tekstur batang Tidak berbulu Tidak berbulu
16 Diameter batang 0,33 0,33
17 Warna batas buku
- Atas Hijau Hijau
- Bawah Hijau keunguan Hijau keunguan
18 Tekstur batas buku Tidak berbulu Tidak berbulu
19 Lebar batas buku 0,35 0,34
20 Warna putik Ungu Ungu
21 Panjang Ruas 17,90 18,81
22 Warna kaki Ungu Ungu

Karakter morfologi rumput benggala kultivar Purple guinea disajikan pada Tabel 2. Hasil
peneltian menunjukkan bahwa hampir semua karakter morfologi yang diukur menunjukan perbedaan
yang tidak nyata (P>0.05) antara tanaman yang ditanam menggunakan benih biji dan pols. Perbedaan
nyata (P<0.05) hanya terjadi pada karakter tinggi tanaman saat muncul bunga dan panjang kuntum
buga. Karakter morfologi yang tidak berbeda antara tanaman yang menggunakan benih biji dan pols,
disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah sifat apomiksis pada reproduksi rumput benggala
(Savidan 1989). Reproduksi secara apomiksis ini akan menghasilkan keturunan yang identik secara
genetik dengan induknya. Berbeda dengan reproduksi secara generatif yang akan menghasilkan
keragaman pada keturunannya (Hand dan Koltunow 2014). Karakter morfologi yang tidak berbeda
pada rumput benggala kultivar Gatton, juga dilaporkan Fanindi et.al (2014). Tanaman yang
bereproduksinya tidak secara apomiksis rata-rata menunjukkan perbedaan secara morfologi antara
tanaman yang ditanam secara generatif dan vegetatif, Pasaribu (2016) melaporkan bahwa karakter
morfologi pada tanaman Eucalyptus sp, menunjukkan perbedaan yang nyata pada karakter morfologi
tanaman yang ditanam secara generatif dan vegetatif. Perbedaan pertumbuhan pada tanaman yag

9
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

diperbanyak secara generatif dan vegetatif juga dapat dilihat pada tanaman pasak bumi (Fitriani et.al
2017).

Tabel 3. Rataan umur generatif dan produksi biji rumput benggala kultivar Purple guinea yang
menggunakan benih dari biji dan pols
Benih kultivar Purple Guinea
No Karakteristik
biji pols
1 Umur bunting (HST) 42,20* 63,92*
2 Umur mulai berbunga (HST) 44,80* 67,80*
3 Umur bunga sempurna (HST) 52,90** 76,20**
4 Umur panen biji (HST) 90,13** 115,57**
5 Produksi Biji (g) 2,19 1,68
6 Produksi biji bernas (g) 1,22 1,05
7 Produksi biji hampa (g) 0,57 0,39

Benih yang berasal dari biji dan pols, berpengaruh nyata pada fase generatif, yaitu umur
bunting, umur mulai berbunga, berbunga sempurna dan umur panen biji. Rumput benggala yang
berasal dari pols memiliki umur bunting, mulai berbunga, bunga sempurna dan produksi biji,lebih
lama jika dibandingkan rumput benggala asal biji. Sedangkan produksi biji tanaman yang berasal dari
pols dan biji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Beberapa faktor berpengaruh terhadap fase
generatif pada tanaman, diantarnya adalah adanya faktor interaksi antara genetik dengan lingkungan
(Saragih et al. 2013). Selain itu pengaruh adanya perbedaan benih juga berpengaruh terhadap fase
generatif suatu tanaman. Tanaman yang diperbanyak melalui perbanyakan vegetatif biasanya akan
lebih cepat bereproduksi dibandingkan menggunakan biji (Pudjiono 1996). Namun demikian pada
penelitian ini, umur bereproduksi pada tanaman yang diperbanyak menggunkan biji lebih cepat jika
dibandingkan dengan tanaman yang diperbanyak melalui pols. Hal ini karena terdapat beberapa
tanaman yang masih belum menunjukkan pembungaan pada tanaman yang diperbanyak menggunkan
pols. Hal ini harus dipelajari lebih lanjut, terutama dengan mengamati tanaman-tanaman yang lambat
dalam berbunga. Tanaman yang lambat berbunga ini bagi tanaman pakan, sangat berguna, karena
akan cenderung memiliki produksi dan kaualitas yang baik sebagai TPT. Selain itu hasil penelitian
pada rumput benggala kultivar Gatton menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pemangkasan
(treming) tanaman yang diperbanyak menggunakan pols lebih cepat berbunga, namun setelah
dilakukan pemangkasan (treeming) tanaman yang menggunakan pols akan lebih lambat jika
dibandingkan tanaman yang diperbanyak menggunakan biji (Fanindi et al. 2014)

Kesimpulan
Karakter agronomi tanaman rumput benggala sebagian besar tidak berbeda antara tanaman
yang ditanam menggunakan biji dan pols. Begitu juga dengan produksi bijinya, perbedaan terjadi
pada fase generatif tanaman, yaitu umur bunting sampai produksi biji, dimana tanaman yang

10
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

menggunakan biji lebih cepat mencapai fase generatif jika dibandingkan dengan tanaman yang
menggunkan pols. Sehingga pemilihan benih yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan tujuan
yang diinginkan.

Daftar Pustaka
Andrade CMS, Valentim JF, Carneiro JC, Vaz FA. 2004. Crescimento de gramíneas forrageiras
tropicais sob sombreamento. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 39 (3):263-270
Fanindi A, Sutedi E. 2014. Karakter morfologi rumput Benggala (Panicum maximum Cv Gatton)
yang ditanam menggunakan jenis benih berbeda. JITV 19(1):1-8
Fitriani S, Astiani D, Wahdina 2017. Perbanyakan tanaman pasak bumi (eurycoma longifolia jack)
secara generatif dan vegetatif di persemaian. JURNAL HUTAN LESTARI . 5 (1): 113 - 120
Hare MD, Phengphet S, Songsiri T, Sutin N, Stern E. 2013. Effect of cutting interval on yield and
quality of two Panicum maximum cultivars in Thailand . Tropical Grasslands – Forrajes
Tropicales 1: 87−89.
Hidayat A, Mulyani A. 2004. Lahan Kering untuk pertanian. Sumberdaya Lahan di Indonesia dan
Pengelolaannya. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian.Bogor.1-34
Pasaribu DI, Mardhiansyah M, Sulaeman R. 2016. Kualitas pertumbuhan eucalyptus sp. dari
perbanyakan vegetatif dan generative. JomFaperta 3 (1): 1-6.
Pudjiono S, 1996. Dasar-dasar Umum Pembuatan Stek Pohon Hutan. Informasi Teknis No. 1/1996.
Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Yogyakarta
Saragih SHY, Bayu ES, Bangun MK. 2013. Karakter vegetatif dan generatif beberapa varietas padi
sensitif aluminium. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):1374-1383
Savidan YH, Jank L, Costa JCG, do Valle CB. 1989. Breeding Panicum maximum in Brazil. 1.
Genetic resources,modes of reproduction and breeding procedures. Euphytica 41:107-112.
Sukhchain, Sidhu BS. 1992. Correlation and path coefficients and analysis for reproductive traits in
Guinea grass. Euphytica. 60:57-60.
Takita E, Koyama H, Hara T. 1999. Organic acid metabolism in aluminum-phosphate utilizing cells
of carrot (Daucus carota L.). Plant Cell Physiol. 40: 489–495
Warmke HE. 1954 Apomixis in Panicum maximum. Amer. J. Bot. 41: 5-11.

11
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Teknologi Pembuatan Kolam Terpal Sebagai Alternatif Pertanian – Perikanan


Terpadu Sebagai Wujud Peduli Gambut di Desa Sawahan Kabupaten Baritokuala

Technology of Making Tarpaulin Ponds as an Alternative of Agriculture - Integrated


Fisheries as a Form of Peat Concern in Sawahan Village, Baritokuala Regency

Achmad Jaelani1, Gusti Khairun Ni’mah1, Muh. Syarif Djaya1


1
Fakultas Pertanian Universitas Islam kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, Banjarmasin
*Korespondensi: jaelaniborneo@gmail.com

Abstrak
Desa peduli gambut disandang oleh Desa Sawahan Kecamatan Cerbon kabupaten Barito Kuala. Desa
ini dihuni oleh para petani transmigran asal pulau Jawa. Petani yang tinggal hingga sekarang terdiri
atas 34 keluarga yang semuanya adalah petani. Luas lahan Desa Sawahan adalah 5.950 ha yang
sebagian besar merupakan lahan gambut dengan pH berkisar 3,5 – 4 ha. Dengan kondisi seperti ini
hanya petani tangguh yang bisa bertahan karena perlu adanya pengaturan tata air dan pemilihan
tanaman serta ikan dan ternak yang cocok dengan kondisi tersebut. Upaya pertanian terpadu yang
tetap mengakomodir kearifan lokal dengan tetap peduli terhadap gambut. Pertanian terpadu perikanan
dan pertanian bisa dilakukan dengan Pembuatan kolam terpal dalam upaya memodifikasi kolam yang
sesuai kondisi gambut sangat tepat dilakukan. Beberapa kolam bisa juga digunakan sebagai reservoir
air untuk penyiraman tanaman hortikultura. Namun perlu upaya penyesuaian kondisi air gambut
dengan penambahan kapur agar diperoleh pH kolam yang mendekati netral sehingga ikan patin dan
nila yang tergolong yahan pada kondisi air di lahan gambut dapat dibudidayakan. Adapun Tanaman
hortikultura juga dapat berlanjut karena keberadaan air yang sudah dinetralkan untuk tanaman
sayuran. PKM ini dilaksanakan mulai Juni hingga September 2019 dengan adanya Penyuluhan model
PRA (Participatory Rural Appraisal), dan demonstrasi. Dengan adanya PKM initerdapat penghasilan
tambahan petani menjadi meningkat karena petani bisa mengatasi kendala lahan gambut dalam
budidaya ikan dan tanaman secara terpadu.

Kata Kunci: Pertanian terpadu, peduli gambut, kolam terpal, hotikultura

Abstract
Peat care village is carried by Sawahan Village, Cerbon District, Barito Kuala Regency. The village
is inhabited by transmigrant farmers from Java. Farmers who have lived up to now consist of 34
families who are all farmers. The area of Sawahan Village is 5,950 ha, which is mostly peat land with
a pH ranging from 3.5 - 4 ha. With these conditions only tough farmers can survive because there is a
need for water regulation and selection of plants and fish and livestock that are suitable for these
conditions. Integrated agricultural efforts that continue to accommodate local wisdom while still
caring for peat. Integrated fisheries and agriculture can be done with the creation of tarpaulin ponds
in an effort to modify the ponds in accordance with peat conditions is very appropriate. Some ponds
can also be used as a water reservoir for watering horticultural plants. However, it is necessary to
adjust the condition of peat water by adding lime to obtain a pool pH that is near neutral so that
catfish and tilapia which are classified as yah in the water conditions in peatlands can be cultivated.
Horticultural crops can also continue because of the presence of neutralized water for vegetable
crops. This PKM is held from June to September 2019 using the Participatory Rural Appraisal, and
demonstration methods. With the existence of an integrated PKM, farmers' additional income can be
increased because farmers can overcome peatland constraints in integrated fish and crop cultivation.

Keywords: Integrated agriculture, caring for peat, tarpaulin ponds, horticulture

12
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pendahuluan
Desa Sawahan adalah salah satu desa Transmigrasi di Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito
Kuala Provinsi Kalimantan Selatan. Desa ini mempunyai hamparan sawah yang sangat luas dan
masyarakatnya 90% bekerja sebagai petani. Desa Sawahan memiliki luas wilayah 5.950 Ha dengan
lahan produktif sebesar 1.200 Ha yang sebagian besar berupa lahan gambut. Kelompok ―Tani
Makmur‖ adalah Kelompok Tani di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala
dengan jumlah 34 Kepala Keluarga yang sebagian besar adalah Transmigran. Namun sekarang sudah
berkurang hampir sepertiga penduduknya yang masih bertahan di Desa karena kondisi alam yang
cukup berat, Sehingga yang bertahan adalah benar-benar petani yang ulet. Akhir tahun 2007 mitra
telah mencoba bertani tanaman padi dan sayuran dan sebagai hasil produksinya berupa padi siam unus
dengan masa panen 2 kali setahun, dan beberapa jenis sayuran.
Lahan Desa Sawahan terletak di dekat aliran sungai pasang surut yang mengandung pH
dengan tingkat keasaman tinggi berkisar antara 3,5 – 4,5. Lahan didaerah tersebut termasuk jenis
lahan gambut (berwarna coklat hitam), sehingga lahan seperti ini tidak semua tanaman, ternak dan
ikan bisa tumbuh/hidup terkecuali dengan tanaman, ikan, yang bisa beradaptasi dengan kondisi ini.
Lahan gambut memiliki kesulitan tersendiri dalam pengelolaanya. Terdapat kendala dalam
pengelolaan pertanian peternakan dan perikanan, salah satunya adalah tingkat keasaman air di lokasi
ini.
Untuk hal tersebut diperlukan terobosan baru agar masalah ini bisa diatasi dan petani mampu
menanam, ikan dan ternak yang spesifik lahan gambut. Beberapa hasil percobaan Fakultas Pertanian
Uniska yang mencobakan beberapa tanaman yang adaptif dengan kondisi lahan gambut seperti Kweni
Anjir, Limau Kuit, Rambutan Antalagi dan kasturi. Selain tanaman buah, juga terdapat tanaman
hortikultura yang sudah dicobakan di lahan gambut ini adalah kacang panjang, terung ungu, pare,
cabe tiyung (cabe mini yang sangat pedas). Untuk Ikan ada ikan haruan (gabus) dan patin.
Budidaya ikan di lahan gambut bukan suatu masalah asalkan bisa mengatur tata air kolamnya.
Adapun upaya tersebut adalah dengan pembuatan kolam terpal dimana lumpur endapan pada kolam
terpal bisa digunakan sebagai pupuk organik tanaman sayuran.

Tujuan Kegiatan
1. Memberikan informasi bagi petani tentang pengelolaan pertanian terpadu peduli gambut
dengan pembuatan kolam terpal yang dikombinasikan dengan budidaya tanaman hortikultura
yang tepat untuk kondisi lahan gambut
2. Membantu petani dalam pemanfaatan potensi lahan gambut untuk kegiatan pertanian terpadu
namun tetap mengakomodir peduli akan lahan gambut.

13
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Manfaat Kegiatan
1. Bagi Petani/Peternak, bertambah pengertian dan pengetahuan tentang budidaya ikan dengan
menggunakan kolam terpal dengan kombinasi tanaman hortikultura yang tepat pada kondisi
lahan gambut.
2. Bagi Pelaksana Kegiatan, memperoleh kesempatan untuk mengamalkan ilmu bagi kepentingan
masyarakat sebagai bentuk nyata tri Dharma Perguruan Tinggi
3. Bagi Pemerintah, membantu dalam usaha penyuluhan dan demontrasi tentang optimalisasi
lahan gambut melalui budidaya pertanian terpadu.

Khalayak Sasaran
1. Pengurus Kelompok Ternak Tani Makmur Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito
Kuala yang diharapkan mampu mengajak masyarakat petani/peternak lain diluar anggota
kelompok agar tertarik ikut mengusahakan budidaya ikan pada kolam terpal dan budidaya
tanaman hortikultura di lahan gambut.
2. Penyuluh Pertanian lapangan (PPL)/staf teknis sebagai mediator penyaluran teknologi
3. Masyarakat Kelompok Tani Makmur Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito
Kuala.

Materi dan Metode Pelaksanaan


Solusi yang ditawarkan
Rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi persoalan mitra adalah:
1. Pelatihan teoritis (metode kelas) teknik pembuatan kolam terpal pada lahan gambut serta
pemilihan tanaman hortikultura yang cocok dibudidayakan pada lahan gambut.
2. Pendampingan terhadap mitra selama kegiatan.
3. Evaluasi kegiatan keberhasilan program PKM dengan indikator sebagai berikut:
a. Mitra mampu memelihara ikan pada kolam terpal di lahan gambut, memilih dan
mengindentifikasi bibit tanaman yang baik dan tahan kondisi pada lahan gambut secara
terpadu
b. Tanaman yang dipelihara mitra memperlihatkan peningkatan produksi dan tumbuh baik.
c. Kualitas hasil budidaya ikan dan tanaman hortikultura di lahan gambut diterima pasar
dengan baik.

Lokasi dan Waktu Kegiatan


Kegiatan PPM ini berlokasi di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala yang
merupakan desa Transmigrasi. Kegiatan dilaksanakan mulai bulan Juni hingga September 2019.

14
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Metode Pelaksanaan Kegiatan


Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini sangat komprehensif, dimana kegiatan
yang dibuat dan dilaksanakan dijalankan sesuai tahapan yang runut dan membantu petani/peternak
atau peserta kegiatan memahami visi kegiatan dari awal hingga akhir berupa output optimalisasi lahan
gambut untuk produksi pertanian secara terpadu. Selain itu konsep pemahaman tentang manfaat dan
fungsi lahan gambut di introduksi secara deduktif. Metode yang dikembangkan pada pelaksanaan
kegiatan adalah:
1. Penyuluhan model PRA (Participatory Rural Appraisal), dilakukan menggunakan modul
pelatihan dihadiri oleh mentor dan peserta pelatihan yaitu petani/peternak di sekitar lokasi
kegiatan. Mentor berasal dari pelaksana kegiatan dan nara sumber ahli. Modul penyuluhan yang
diberikan dalam memberi pondasi dasar kegiatan ini adalah:
a) Pembuatan Kolam terpal untuk budidaya ikannila dan patin yang tahan pada kondisi gambut.
Pada awalnya pembuatan kolam terpal adalah dengan membuat lubang yang agak lebar
kemudian ditutupi terpal plastik terpal. Sebelum diisi air, kolam terpal ditaburi kapur pertanian
dengan dosis 10 kg kapur untuk setiap 5 meter kubik kolam. Air kolam dibiarkan diiarkan
hingga air kolam menjadi jernih dan pHnya menjadi netral berkisar 6,8-7.
b) Pemilihan tanaman hortikultura (sayuran) yang cocok dengan kondisi lahan gambut. Kegiatan
penyuluhan sepenuhnya dilakukan dengan secara aktif mengikut sertakan peserta dalam setiap
topik yang dibicarakan dan diharapkan muncul banyak saran , tanggapan, pertanyaan dan
pendapat dari sebanyak mungkin peserta (curah pendapat / brain storming). Hal ini dirasakan
akan mampu menarik minat lebih tinggi peserta untuk selalu ingin tahu dan mempercepat
proses adopsi teknologi yang disuluhkan.
2. Demonstrasi (demo), dilakukan uji coba pembuatan kolam terpal dan bididaya ikan nila serta
patin, serta budidaya hortikultura yang sesuai kondisi lahan gambut.

Pelaksanaan Kegiatan
Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan pengabdian ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Survey lapangan
b. Mengurus perizinan kegiatan
c. Konsultasi kerja tim pelaksana pengabdian
d. Pemantapan jadwa kerja kegiatan
e. Menyiapkan bahan dan alat
f. Observasi ke lokasi kegiatan
2. Operasional di lapangan
a. Pembuatan kolam terpala dan budidaya ikan nila dan patin di kolam terpal

15
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

b. Pemilihan tanaman hortikultura yang cocok dengan kondisi lahan gambut


c. Bimbingan, penyuluhan dan demontrasi
d. Evaluasi dan tindak lanjut
3. Penyusunan laporan kegiatan
a. Menyusun Konsep laporan kemajuan
b. Menyusun konsep laporan Akhir
4. Penggandaan dan penyerahan laporan Akhir
a. Penggandaan laporan sesuai format yang ditentukan
b. Penyerahan laporan Akhir Pengabdian Kepada Masyarakat
5. Publikasi Hasil PKM
a. Media online
b. Seminar Nasional Pengabdian Kepada masyarakat

Hasil dan Pembahasan


Analisis Evaluasi dan Hasil
1. Pembuatan Kolam Terpal dan Budidaya Ikan
Budidaya ikan di lahan gambut bukan suatu masalah asalkan bisa mengatur tata air kolamnya.
Salah satunya adalah dengan pembuatan kolam terpal. Pada awalnya adalah dengan membuat lubang
yang agak lebar kemudian ditutupi terpal plastik. Kolam terpal diisi air gambut sampai penuh. Taburi
kapur pertanian dengan dosis 10 kg kapur untuk setiap 50 meter kubik kolam. Biarkan hingga air
kolam menjadi jernih dan pHnya menjadi netral berkisar 6,8-7. Terlebih apabila ditambahkan pupuk

Penggalian lubang Pemberian kapur Penutupan dengan Terpal

Ditanami Didiamkan 3 Ditumbuhi kayapu


pH air netral
ikan hari

Lumpur kolam Dialirkan ke kebun sayur/ Air jernih ditampung ke kolam


Disedot ditampung di tangki air penampungan di kebun

kandang pH air kolam bisa menjadi 9.

16
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Gambar 1. Bagan Alir Kegiatan Program Kemitraan Masyarakat Di Desa Sawahan Kecamatan
Cerbon Kabupaten Barito Kuala.

Di permukaan kolam ditumbuhkan tanaman gulma air kayapu, namun dibatasi dengan bambu
agar tidak berpindah ke tempat lain. Tujuan ditumbuhkannya tanaman kayapu ini adalah untuk
membuat suhu di kolam menjadi lebih sejuk karena sinar ultra violet tidak masuk bagian dalam
kolam. Apabila suhu lingkungan cukup tinggi, maka bisa saja pada bagian atas kolam dipasang
paranet dengan kerapatan 30% untuk mengurangi penguapan air kolam. Selain itu tanaman kayapu
juga akan mengendapkan komponen lain yang masuk ke dalam kolam dan menjadikan air menjadi
lebih jernih.
Kolam dengan ukuran 5 x 10 meter dimasukan bibit ikan patin sebanyak 1000 ekor atau nila
sebanyak 4000 ekor. dengan kapasitas 10 kg untuk luasan 5 m kubik. Dalam jangka waktu 1 bulan,
lumpur yang mengendap di dasar kolam disedot dan dipindahkan kedalam tangka air atau kolam kecil
dengan ukuran 1 x 2 x 1 m3 untuk penampung air guna penyiraman tanaman sayuran, namun bisa juga
disalurkan dengan selang untuk disemprotkan pada tanaman sayuran dan buah jeruk.
Keuntungan Penggunaan lumpur Kolam terpal untuk tanaman sayuran adalah: 1. Mengurangi
jumlah pupuk yang digunakan buat sayuran 2. Selain pupuk juga air dari lumpur tadi akan membuat
tanah yang ditumbuhi tanaman sayuran tadi tetap basah 3. Terjadi keterpaduan antara budidaya
perikanan dan pertanian yang saling menguntungkan. 4. Meningkatkan minat masyarakat untuk
melakukan system keterpaduan ini karena secara ekonomis lebih banyak hasil yang diperoleh.

Gambar 1. Tim Pelaksana PKM Gambar 2. Penggalian kolam

17
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Transfer Teknologi
Tim pelaksana juga mentransfer teknologi berupa Teknologi penetralaan keasaaman air
gambut melalui pengaturan pH kolam terpal dan pengayaan unsur hara melalui penggunaan pupuk
dari endapan kolam terpal. Partisipasi mitra Kelompok Tani Makmur yang dilibatkan dalam kegiatan
ini berpartisipasi aktif dalam seluruh rangkaian kegiatan. Kelompok Tani Makmur mengikuti
pembelajaran Teori dengan rasio pertemuan sebesar 20 % dan praktik dengan rasio pertemuan 80 %.
Kolam Buatan yang akan digunakan untuk budidaya ikan, pertama dilakukan pengapuran. Hal
ini disebabkan pH air yang ada berada pada kisaran 3 – 3,5 sehingga tidak bisa semua ikan hidup pada
kondisi tersebut. Seelah dilakukan pengapuran kondisi pH menjadi 6,7. Jumlah kapur yang diberikan
adalah 10 kg per 50 m3.

Pemeliharaan ikan
Pemeliharaan ikan dilakukan setelah pH mencapai 6,7 – 7. Adapun jenis ikan yang dipelihara
adalah ikan nila dan ikan patin sungai. Pada kolam ini untuk mengurangi penguapan air maka
dipasang paranet 30%. Disamping I pada anaman ditumbuhkan duck weed, gulma rawa untuk
mengendapkan lumpur pada kolam. Ukuran kolam 4 x 5 meter.
Evaluasi Pelaksanaan dan Tindak lanjut Evaluasi kegiatan diukur dari partisipasi peserta
kegiatan dalam setiap kegiatan yang dilakukan dan terlaksananya semua kegiatan yang telah
direncanakan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini adalah kelompok Tani Makmur dapat
mengembangkan usaha yang mandiri secara ekonomis dan terciptanya ketentraman, kenyamanan
dalam kehidupan bermasyarakat serta meningkatnya ketrampilan berpikir, membaca dan menulis atau
keterampilan lain yang dibutuhkan (softskill dan hardskill).
Penyedotan lumpur kolam
Setelah 1 bulan pemeliharaan ikan di kolam tepal, lumpur pada kolam terpal disedot unuk
dialirkan pada tanaman hortikultura saledri dan daun bawang, sehingga mengurangi penggunaan
pupuk kimia. Lumpur kolam bermanfaat dalam membuat tanah bedengan menjadi tetap basah
sehingga mammpu mempertahankan kadar air dan kelembaban tanah yang sangat diperlukan bagi
tanaman hortikultura.

Faktor pendukung dan Penghambat


Faktor pendukung dalam kegiatan ini adalah:
a. Tanggapan pemerintah daerah yang sangat besar sehingga segala kegiatan dapat berjalan
dengan lancar dan mendapat restu kalangan terkait.
b. Minat kelompok Tani Makmur yang sangat tinggi untuk mengikuti kegiatan ini

18
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hambatan yang dijumpai selama pelaksanaan kegiatan ini adalah jarak lokasi peserta sangat
jauh dengan lokasi tim. Lokasi kegiatan yang cukup jauh (45 km) dan medan yang agak sulit yakni
jalan aspal yang sudah berlubang cukup menjadi kendala dalam rangka keberlanjutan program ini.
Namun karena pesertanya sangat antusias sekali dengan program ini, maka tim pelaksana menjadi
termotivasi untuk terus memberikan pembinaan/pendampingan kedepannya.

Gambar 3. Kolam terpal ditumbuhi duckweed Gambar 4. Kolam sudah ditanami ikan patin

Gambar 5. Penyemaian bibit daun bawang Gambar 6. Tanaman bibit daun bawang

Potret permasalahan lain yang terekam adalah Modal usaha. Modal usaha menjadi salah satu
masalah bagi Masyarakat umumnya, kelompok tani pada khususnya dan mereka kurang percaya diri
dalam Memulai usaha, sehingga perlu pendampingan yang agak lama untuk bisa meyakinkan mereka.
Selain itu kandungan pH air yang sangat masam sehingga beberapa jenis tanaman, ternak dan ikan
tertentu yang bisa tumbuh.

Gambar 7. Pembuatan kolam penampung air Gambar 8. Pemasangan mulsa untuk tanaman

19
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Luaran:
1. Mitra dapat menguasai teknik budidaya ikan pada kolam terpal dan budidaya tanaman
hortikultura yang sesuai di lahan gambut dengan spesifikasi: Tanaman hortikultura adaptif
pada lahan gambut, minimal terdapat 5 tanaman hortikultura yang berproduksi baik pada
lahan gambut dengan frekwensi panen 3 kali setahun.
2. Ikan yang dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi kolam modifikasi menggunakan terpal
serta lumpur pada kolam ikan dapat digunakan sebagai pupuk sayuran hortikultura.

Kesimpulan
Kelompok Tani Makmur di Desa Cerbon dengan segala keterbatanya pada pertanian lahan
gambut, mampu mengelola peduli lahan gambut untuk pertanian terpadu tanaman hortikultura,
perikanan melalui kolam terpal yang mampu menopang ekonomi masyarakat

Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah
membiayai dana Pengabdian Kepada Masyarakat melalui skim PKM tahun anggaran 2019.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Pengertian, Istilah, Definisi, dan Sifat Tanah
Gambut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal. 20.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Laporan Teknis No.
1/Dok./BBSDLP/2014. Luas, Penyebaran dan Potensi Sumberdaya Lahan Pertanian
Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/ 2/2009.
Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 154 hal.
Driessen, P.M., and M. Sudjadi. 1984. Soils and specific soil problem of tidal swamp. Workshop on
Research Priority in Tidal Swamp Rice. Pp 143-160. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation Service
Land and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome. 79 hal.
(PDF) Kesesuaian Lahan Gambut untuk Pertanian. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/323476309_Kesesuaian_Lahan_Gambut_untuk_P
ertanian [accessed Sep 02 2018].
Hartatik, W. dan K. Idris. 2008. Jurnal Tanah dan Iklim No. 27/2008, Hal: 45-56.
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and
utilization on peat in Malaysia. P. 7-8. In Aminuddin, B.Y. (ed). Tropical Peat. Proceed of the
Inern. Symp. On Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991.
Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto, C. 2011. Peta
Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000).
Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor,
Indonesia. ISBN: 978-602-8977-16-6.

20
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E. Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk
Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 168 hal.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit.
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012, hal: 55 - 66.
Subagjo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Hal.17-55.
Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,
25-27 Juni 1996.
Subagjo, H., dan I.P.G. Widjaja-Adhi.1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk
pengembangan pertanian di Indonesia. Kasus Sumatera Selatan.

21
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pertambahan Bobot Badan Pedet Belgian Blue dan Persilangannya Umur 1 Hari
hingga 30 Hari

Body Weight Gain of Belgian Blue Calf and It Crossbred on Day 1 to Day 30

Hapsari, A.A.R1 , Talib, C.2 dan Sianturi, G.S.3


Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
a)
nama penulis yang berkorespondensi: ranihapsari8080@gmail.com

Abstrak
Sapi Belgian Blue merupakan rumpun sapi yang baru dikembangkan di Indonesia. Sapi ini menjadi
istimewa karena memiliki delesi gen myostatin yang menyebabkan otot daging cepat berkembang
menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan rumpun sapi potong lainnya. Pengamatan dilakukan
pada pertumbuhan yang difokuskan pada bobot badan dan pertambahan bobot harian pada sapi
Belgian Blue dan persilangannya dengan rumpun sapi Holstein Indonesia. Data bobot badan diperoleh
dari hasil penimbangan pada saat lahir dan sapi mencapai umur tiga puluh hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sapi Belgian Blue memiliki bobot lahir 54,08 ± 10,37, pertambahan bobot badan
harian 1,20 ± 0,13 dan bobot umur 30 hari 84,62 ± 12,64 menunjukkan bahwa ketiga ukuran tersebut
lebih tinggi dari persilangannya. Sapi persilangan Belgian blue x Holstein Indonesia menunjukkan
bobot lahir, pertambahan bobot badan harian dan bobot badan pada usia 30 hari secara berturut-turut
adalah 40,97 ± 7,61; 1,01 ± 0.24; dan 71,36 ± 8,45.

Kata kunci: Sapi Belgian Blue, pertumbuhan, bobot badan, persilangan

Abstract
Belgian Blue was a new beef cattle in Indonesia. This cattle was special because of the deletion at
myostatin gene, which causes the muscle to rapidly develop within some areas of their bodies to
become much larger compared to other beef cattle breeds. Observations were performed on growth,
focused on body weight and daily weight gain in Belgian Blue cattle and the crossbred with Indonesia
Holstein. Data on body weight were obtained from weighing at birth and up to thirty days. The
observations showed that the Belgian Blue cattle was higher in terms of birth weight 54,08 ± 10,37;
daily weight gain 1,20 ± 0.13; and also, body weight at 30 days 84,62 ± 12,64, which those three
measurements were higher than their crossbred. Belgian Blue cattle crossbreded with Holstein
Indonesia cattle were performed the birth weight; daily weight gain and body weight at 30 days
respectively were (40,97 ± 7,61); (1,01 ± 0.24); dan (71,36 ± 8,45).

Keywords: Belgian Blue cattle, growth, body weight

Pendahuluan
Daging telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia yang
ketersediaannya harus dipenuhi secara mandiri, dan berdasarkan Road Map Pengembangan Sapi dan
Kerbau yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2017. Target terdekat untuk
saat ini adalah mencapai swasembada daging dan mampu melakukan rintisan ekspor daging pada
tahun 2022 melalui berbagai usaha (1). Salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan melakukan
pengembangan sapi yang mampu menghasilkan potensi karkas yang lebih banyak yaitu sapi Belgian
Blue, karena jenis sapi ini memiliki tipe perototan yang lebih besar dan berbeda dengan jenis sapi lain
sebagai akibat dari delesi gen myostatin 11-bp di area exon 3, dan sifat ini bisa diwariskan kepada
keturunannya baik murni maupun F1 (2,3), walaupun dampak pewarisan ini pada F1 tertutup karena

22
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

delesi ini bersifat resesif, sehingga tidak terlihat double mucles. Data pertumbuhan merupakan data
yang sangat penting digunakan pada program seleksi terkait sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomis
(4). Data pertumbuhan sapi Belgian Blue dan persilangannya masih terbatas di Indonesia.

Materi dan Metode


Pengamatan dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 hingga Maret 2019 di Balai Penelitian
Ternak, Ciawi, Bogor Jawa Barat. Sapi jenis Belgian Blue yang digunakan dalam studi ini berjumlah
4 ekor hasil transfer embrio, terdiri dari 3 ekor sapi jantan dan 1 ekor sapi betina. Persilangan dengan
dengan inseminasi buatan (IB) sapi betina Holstein Indonesia menghasilkan 14 ekor sapi crossbred,
yang terdiri dari 8 ekor sapi jantan dan 6 ekor sapi betina. Pengamatan bobot badan berupa bobot lahir
dan bobot usia 30 hari, dilakukan dengan menggunakan New Zealand iconix FX1 Indicator Series
Electronic Weighing, dengan tingkat akurasi +/- 0,5% dari yang ditampilkan di layar, untuk
penimbangan 50 – 200 kg berkisar antara +/- 0,5 kg dan untuk penimbangan 200 – 500 kg berkisar
antara +/- 1 kg. Data yang diamati merupakan data penimbangan ketika lahir hingga bobot badan di
usia 30 hari. Penimbangan dilaksanakan sekali tiap dua minggu. Data penimbangan kemudian
dianalisa menggunakan Minitab® Release 14.12.0.

Hasil dan Pembahasan


Terdapat dua kelompok sapi Belgian Blue dalam pengamatan ini, yaitu; sapi Belgian Blue
hasil transfer embrio (BB) dan sapi Belgian Blue hasil inseminasi buatan (BBH). Hasil pengamatan
bobot badan pada kedua jenis sapi ini cukup berbeda, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1, Sapi BB
lebih berat dibandingkan dengan sapi BBH. Hal ini disebabkan karena perototan berupa double
muscle yang telah ditampilkan oleh sapi BB sejak lahir. Sapi BB yang diperoleh melalui embrio
transfer membutuhkan bedah caesar dalam proses melahirkan dikarenakan ukuran anak yang cukup
besar saat lahir (5–7), tetapi pada sapi crossbred tidak ditemukan persoalan kesulitan melahirkan yang
membutuhkan bedah caesar. Sementara jika dilihat dari jenis kelamin, ditampilkan pada gambar 1 dan
2, bobot lahir sapi BB betina lebih besar jika dibandingkan dengan sapi jantan, hal ini kemungkinan
dikarenakan jumlah sampel yang terbatas dan kebetulan sapi betina yang lahir memiliki bobot lahir
yang cukup besar. Tetapi dalam pertumbuhan lanjutan, ketika mencapai umur 30 hari, bobot sapi BB
jantan sudah lebih tinggi dari sapi betina tersebut.

Tabel 1. Hasil pengamatan bobot badan sapi BB dan BBH


Sapi Belgian Blue Bobot Badan
Bobot lahir 30 hari PBbH
BB 54,08 ± 10,37 84,62 ± 12,64 1.02 ± 0,13
BBH 40,97 ± 4,51 71,36 ± 8,45 1,01 ± 0,24

23
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Sebaliknya pada sapi crossbred BBH ternak jantan lebih tinggi bobot lahir dari sapi betina,
tetapi pertumbuhan sapi betina lebih baik dari sapi jantan. Hasil ini lihat pada bobot umur 30 hari
pada sapi betina yang lebih tinggi dari sapi jantan. Penyebabnya hal ini terjadi belum dapat dijawab
dengan detail. Hal penting dalam perbandingan kedua kelompok sapi BB tersebut terlihat bahwa baik
pada bobot lahir maupun bobot umur 30 hari, sapi BB menunjukkan bahwa mereka memiliki ukuran
bobot yang jauh lebih baik dari sapi BBH. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sejak lahir
sampai umur 30 hari (Gambar 2) pada sapi BB lebih baik dari sapi BBH baik pada sapi yang jantan
maupun betina.

Rataan Bobot Sapi BB


90 83 85.16

80
70
60 57
53.10
Average of BL
50
40 Average of BB
30
30
20
10
0.87 1.07
0
B J

Gambar 1. Rataan bobot sapi BB

Hasil lain yang ditunjukkan oleh gambar 1 dan 2, bahwa pertumbuhan kedua kelompok sapi
BB ini telah menampilkan PBbH yang tinggi walaupun masih dalam usia yang sangat dini yaitu dapat
mencapai 0.8 – 1 kg per ekor per hari. Pertumbuhan yang cepat tersebut merupakan harapan yang
diinginkan oleh Indonesia dalam mengejar ketertinggalan produksi daging dari permintaan konsumen.
Harapan yang ada pada rumpun sapi BB ini adalah bahwa petumbuhan selanjutnya akan memberikan
peningkatan pada PBbH sehingga dapat mencapai hampir 2 kg/ekor/hari. Tentunya harapan ini perlu
didukung dengan penerapan manajemen yang lebih baik lagi. Oleh karena itu pelatihan pemeliharaan
untuk pelaksanaan penggemukan sapi BB dan crossbreed nya perlu direncanakan sejak awal yaitu
mulai dari sekarang.

24
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Rataan Bobot Sapi BBH


80 73.19
69.99
70

60

50
[VALUE]0 Average of BL
39.10
40
Average of BB 30
30 Average of PBbH
20

10
1.12 0.92
0
B J

Gambar 2. Rataan bobot sapi BBH


Kesimpulan
Hasil pengamatan pada rataan pertambahan bobot badan harian hingga usia 30 hari dapat
disimpulkan bahwa sapi BB jantan dan sapi BBH betina memiliki potensi lebih besar untuk
dikembangkan menjadi sapi potong harapan untuk pemenuhan target swasembada daging di
Indonesia.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim penelitian sapi Belgian Blue di Balai
Penelitian ternak, yang terdiri dari peneliti-peneliti senior serta tim pelaksana di kandang percobaan
atas segala fasilitas, kepercayaan, bimbingan dan bantuan selama pengamatan berlangsung.

Daftar Pustaka
Agung PP, Said S, Sudiro A. Myostatin gene analysis in the first generation of the Belgian Blue cattle
in Indonesia. JIndonesian TropAnimAgric. 2016;41(March):13–20.
Aprily NU, Sambodho P, Harjanti DW. Evaluasi kelahiran pedet sapi perah di Balai Besar Pembibitan
Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden. J Peternak Indones. 2016;18(1):36–
43.
Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak. Pedoman Umum Pengembangan Sapi Belgian Blue di
Indonesia. BETPress; 2018.
Handiwirawan E, Munawaroh I., Sukmana Y, Sudrajat, Hasinah H, Pamungkas F., et al. Laporan
tahunan 2017. Prasetyo LH, editor. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan;
2017. 1-39 p.
Putra WPB. Teknik persilangan pada sapi Belgian Blue (Bos taurus) untuk menghasilkan bibit unggul
di Indonesia. BioTrends. 2017;8(1):1–4.
Sulaiman AA, Inounu I, Torang S, Maidaswar. SIWAB Solusi Cerdas Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau. Iwantoro S, Yulianto A, editors. Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian
Republik Indonesia; 2017.
Sulistiyoningtiyas I, Nurgiartiningsih V. A, Ciptadi G. Evaluasi Performa Bobot Badan dan Statistik
Vital Sapi Madura Berdasarkan Tahun Kelahiran. J Ilm Peternak Terpadu. 2017;5(2):40–3.

25
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kecernaan Protein Kasar dan Produksi Mikroba Rumen Secara In vitro dengan
Penambahan Suplemen Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam
(Nigella sativa) dan S-proteinat

Crude Protein Digestibility and Rumen Microbial Production In Vitro Supplemented with
Sauropus Androgynus, Nigella Sativa and S-proteinate

Angger Lintang Pungkashaning Rubai1, Dian Wahyu Harjanti2, Anis Muktiani3


1
Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
2
Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
3
Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
1
Email: lintangger23@gmail.com
2
Email: dianharjanti@undip.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan
hitam dan S-proteinat terhadap kecernaan protein kasar (KcPK), produksi NH 3 dan kadar protein
mikroba rumen pada sapi perah secara in vitro. Materi penelitian adalah cairan rumen sapi perah,
tepung daun katuk, tepung jintan hitam dan S-proteinat. Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah T0: ransum
kontrol, T1: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan), T2:
ransum kontrol + ( S-proteinat 0,25% BK pakan) dan T3: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK
pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan + S-proteinat 0,25% BK pakan). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan suplemen tepung daun katuk (Sauropus androgynus), jintan hitam (Nigella
sativa) dan S-proteinat tidak mempengaruhi kecernaan PK, produksi NH 3 dan kadar protein mikroba.
Rata-rata kecernaan PK, produksi NH3 dan kadar protein mikroba yang diperoleh dari penelitian ini
sebesar 57,52%, 4,99 Mm dan 29,6 Mm/dl. Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung
daun katuk, tepung jintan hitam dan S-proteinat tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar
produksi NH3 dan protein mikroba rumen.

Kata kunci: daun katuk, jintan hitam, s-proteinat, kecernaan PK, protein mikroba

Abstract
This study is aimed to determine the effect of Sauropus androgynus leaves, Nigella sativa and
S-proteinate supplementation on crude protein (CP) digestibility, NH 3 production and rumen
microbial protein levels in vitro. The material used was dairy rumen fluids, Sauropus androgynus
(SA), Nigella sativa (NS) and S-proteinate. The study used was Completely Randomized Design
(CRD) for 4 treatments and 4 replications. The treatments were T0: control, T1: control + (SA 0,5%
dry matter + NS 0,5% dry matter), T2: control + (S-proteinate 0,25% dry matter) dan T3: control +
(SA 0,5% dry matter + NS 0,5% dry matter + S-proteinate 0,25% dry matter). The result showed that
SA, NS and S-proteinate supplementation did not affect the CP digestibility, NH 3 production and
rumen microbial protein levels. The CP digestibility was 57%, NH 3 production was 4,99 Mm and
microbial protein levels was 29,6 Mm/dl. In conclusion, Sauropus androgynus leaves, Nigella sativa
and S-proteinate supplementation did not influence the crude protein digestibility, NH 3 production
and rumen microbial protein levels.

Keywords: Sauropus androgynus, Nigella sativa, s-proteinate, crude protein digestibility, microbial
protein

Pendahuluan
Sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein
(PFH). Sapi PFH merupakan sapi persilangan antara sapi Frisian Holstein (FH) dengan sapi lokal

26
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

sehingga dapat bertahan pada iklim tropis Indonesia. Jumlah populasi sapi perah di Indonesia setiap
tahun meningkat sesuai dengan meningkatnya konsumsi susu. Produksi sapi perah di Indonesia belum
mampu memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan mutu pakan.
Pakan utama sapi perah yaitu hijauan berupa rumput. Rumput memiliki kandungan protein
yang rendah sehingga perlu adanya pakan aditif yang digunakan untuk meningkatkan produksi susu.
Pakan aditif dapat berupa herbal dan non herbal. Aditif herbal merupakan pakan yang berasal dari
bahan alami antaralain daun katuk dan jintan hitam. Daun katuk dapat meningkatkan produksi susu
dengan meningkatkan penyerapan nutrisi dalam rumen. Sedangkan jintan hitam digunakan sebagai
substitusi antibiotik herbal dan sebagai immunostimulan. Selain pakan aditif herbal perbaikan mutu
pakan juga dapat dilakukan dengan menambahkan mineral. Mineral sangat dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya milk fever.
Substitusi pakan menggunakan bahan herbal dapat meningkatkan kandungan NH3 pada
rumen sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk mensintesis protein. Jumlah NH3
yang meningkat akan meningkatkan kecernaan protein pakan dan dimanfaatkan untuk memproduksi
susu. Daun katuk (Sauropus androgynus) dikenal sebagai tanaman obat yang berguna untuk
meningkatkan produksi air susu baik pada manusia maupun pada hewan. Hal ini disebabkan oleh
adanya hormon prostaglandin yang membantu perkembangan sel sekretoris penghasil susu sekaligus
memperlama jangka waktu produksi air susu dan senyawa lain yang membantu meningkatkan
penyerapan asupan gizi sehingga meningkatkan metabolisme dan produksi susu meningkat (Retnani
dkk., 2012).
Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang dapat dijadikan
alternative pengganti antibiotik sintetik, memiliki kandungan senyawa timokuinon berfungsi sebagai
imunostimulan (Beandrade, 2018). Sistem kekebalan tubuh yang meningkat membantu pencegahan
terhadap penularan berbagai macam penyakit. Senyawa timokuinon selain meningkatkan sistem
kekebalan tubuh juga berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, antitumor dan antiinfeksi (Ragheb
dkk., 2009).
Sulfur berperan sebagai penyokong dalam pembentukan asam amino sulphur dan sintesis
protein mikroba dalam rumen (Nurhaita dkk., 2008). Sulfur penting bagi pencernaan serat di dalam
rumen apabila berbentuk mineral organik dengan dibuat menjadi mineral proteinat karena tidak
menyebabkan keracunan pada ternak dalam penambahan mineral lain dan meningkatkan kecernaan
pakan (Kurniawan dkk., 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh penambahan suplemen
tepung daun katuk, jintan hitam dan S-Proteinat terhadap karakteristik cairan rumen sapi perah FH.
Manfaat penelitian ini yaitu dapat mengetahui pengaruh bahan herbal dan mineral terhadap kecernaan
protein kasar, kandungan NH3 dan sintesis protein mikroba rumen.

27
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Materi dan Metode


Penelitian ini dilksanakan pada Februari - Juni 2019 di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak,
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Materi yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari tepung daun katuk, jintan hitam, sulfur proteinat, cairan rumen sapi perah
sebagai donor mikrobia, Mc Doughall, pepsin HCl. Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi
grinder disk mill, blender, pH meter elektronik, timbangan analitik, tabung fermentor, water bath,
penutup karet, sentrifuge, gelas ukur, spluit.
Daun katuk kering di grinder menggunakan grinder tipe disk mill dan jintan hitam digiling
menggunakan blender sampai menjadi tepung. Bahan pembuatan sulfur proteinat terdiri dari onggok
dan bungkil kedelai yang telah dihaluskan, natrium sulfat dan aquades. Semua bahan tersebut
dicampur menjadi adonan kemudian diaduk setiap 4 jam sekali selama 24 jam. Sulfur proteinat
dijemur dibawah sinar matahari sampai kering. Rumput gajah, konsentrat, tepung daun katuk, jintan
hitam dan sulfur proteinat dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bahan
pakan.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan


Analisis Proksimat (%)
Bahan Pakan
KA BK Abu PK LK SK BETN
Rumput Gajah 84,24 16,66 14,51 6,94 0,13 42,44 35,98
Konsentrat 17,47 82,53 5,32 15,74 4,65 4,65 48,09
T. Daun Katuk 14,43 85,57 10,20 24,59 2,76 29,36 33,09
Jintan Hitam 7,82 92,18 3,84 20,39 28,82 22,92 24,03
Sulfur Proteinat 11,32 88,68 58,10 14,36 0,41 9,06 18,07

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan, meliputi:
T0 = ransum kontrol
T1 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung
jintan hitam 0,5 % BK pakan).
T2 = ransum kontrol + Sulfur proteinat 0,25 % BK pakan.
T3 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung
jintan hitam 0,5 % BK pakan) dan sulfur proteinat 0,25 % BK pakan

Pengambilan cairan rumen


Pengambilan cairan rumen dilakukan di RPH Penggaron, Semarang. Termos diisi air dengan
suhu 39 - 40oC, selanjutnya air dalam termos dibuang dan dalam termos akan dikondisikan bersuhu
39oC menggunakan thermometer. Termos kemudian diberi corong untuk memasukkan cairan rumen.
Isi rumen dari sapi perah yang telah dipotong diambil dan diletakkan pada kain kasa. Kain kasa

28
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kemudian diperas diatas corong yang telah tersambung dengan termos untuk kemudian disimpan
dengan suhu 39oC.
Pengukuran Kecernaan Protein Kasar
Menghitung kecernaan protein dilakukan dengan sampel ditimbang 0,55 g kemudian
dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Disiapkan water bath yang diisi air dipanaskan sampai suhu
air mencapai 39°C. jika suhu dalam water bath sudah mencapai 39°C maka tabung fermentor
dimasukkan kedalam water bath. Masing-masing tabung fermentor diberi larutan McDougall 40 ml
dan cairan rumen 10 ml. Tabung fermentor diberi pipet yang dialiri CO 2 dan ditutup rapat dengan
karet. Fermentasi selama 48 jam dan digojok setiap 6 jam sekali. Setelah 48 jam sampel disentrifuse
selama 15 menit dan endapan sampel disaring dan diambil 0,3 g kemudian dimasukkan kedalam labu
destruksi. Sampel dicampur dengan katalisator campuran (selenium + natrium sulfat + cupri sulfat)
kurang lebih 0,3 g. Kemudian ditambahkan asam sulfat pekat (teknis) 10 ml dan didestruksi sampai
berubah menjadi warna hijau jernih di dalam almari asam dan kemudian didinginkan. Proses destilasi
diawali dengan menggunakan larutan penangkap H 3BO3 4% sebanyak 20 ml dan diberikan 2 tetes
indikator MR + MB. Sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 50 ml aquades dan
40 ml NaOH 45%. Diamati perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Hasil destilasi kemudian
dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terbentuk warna ungu. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus:


Kadar protein =

Pengukuran Kadar NH3


Menghitung NH3 dilakukan dengan cara sampel ditimbang sebanyak 0,55 g kemudian
dimasukkan ke dalam tabung fermentor dan ditambah dengan setiap bahan perlakuan. Dimasukkan
larutan McDougall sebanyak 40 ml ke dalam tabung fermentor dan diikuti 10 ml cairan rumen.
Tabung fermentor yang ditutup rapat dengan karet dilengkapi pipet yang dialiri CO 2. Tabung
fermentor diambil didinginkan dengan air es selama 15 menit untuk menghentikan proses fermentasi
kemudian sampel disentrifuse selama 10 menit untuk menghasilkan supernatan. Supernatan hasil
fermentasi diambil sebanyak 1 ml dan ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan conway yang
sebelumnya cawan conway beserta tutup diolesi dengan vaselin. Larutan Na 2CO3 jenuh sebanyak 1 ml
ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan conway berseberangan dengan supernatan. Larutan
asam Borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan di cawan kecil yang terletak di tengah cawan
conway. Cawan conway ditutup sampai rapat kedap udara kemudian digoyang-goyangkan dan
dimiringkan agar larutan Na2CO3 dan supernatan bercampur secara merata, kemudian didiamkan
selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam berada dalam suhu kamar cawan conway dibuka,
asam borat berindikator dititrasi dengan H 2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari merah
menjadi biru. Konsentrasi produksi NH3 dapat dihitung dengan rumus:

29
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Produksi NH3 (mM) = ml titran x N H2SO4 x1000


Pengukuran sintesis protein mikroba rumen
Pengukuran sintesis protein mikroba dimulai dengan pengujian secara in vitro. Sampel
diinkubasi pada suhu 39oC selama 3 jam. Sampel disentrifus dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15
menit untuk mendapatkan supernatan. Supernatan disentrifus kembali dengan kecepatan 8.000 rpm
pada suhu ruang selama 15 menit untuk mendapatkan endapan mikroba.
Sintesis protein mikroba diukur menggunakan metode Lowry (Plumer, 1971). Langkah-
langkah yang dilakukan yaitu: sampel hasil sentrifus ditambahkan 1 ml larutan NaOH 0,1 N,
dihomogenkan. Sampel dimasukan ke tabung reaksi, dipanaskan pada suhu 90oC selama 15 menit
kemudian didinginkan pada suhu ruang selama 10 menit. Sampel diambil 1 ml, ditambahkan 5 ml
larutan Lowry B kemudian divortex. Sampel didiamkan selama 10 menit pada suhu kamar. Se-
lanjutnya ditambahkan larutan Lowry A 0,5 ml, divortex, didiamkan selama 30 menit. Sampel dibaca
menggunakan spektrofotometer digital dengan panjang gelombang 670 nm.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis ragam penelitian penambahan tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur
proteinat terhadap kecernaan protein kasar, kadar NH 3 dan sintesis protein mikroba ditunjukkan pada
Tabel 2.

Tabel 2. Kecernaan protein kasar, kadar NH3 dan sintesis protein mikroba
Perlakuan
Parameter
T0 T1 T2 T3
Kecernaan Protein Kasar (%) 54,37 58,11 60,10 57,49
Kadar NH3 (mM) 4,53 5,34 5,32 4,78
Sintesis Protein Mikroba (mg/ml) 0,27 0,26 0,30 0,36

Kecernaan protein kasar


Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05),
artinya suplementasi pakan yang dilakukan tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar. Protein
kasar dapat mempengaruhi aktivitas mikroba rumen. Oleh karena itu beberapa faktor yang harus
diperhatikan untuk memilih sumber protein untuk ransum ternak yakni sanggup mendukung aktivitas
protein mikroba dengan menghasilkan kadar NH 3 sesuai dengan kebutuhan protein mikroba dan tahan
terdegradasi oleh mikroba. Menurut Mc Donald et.al., (2002) defisiensi protein menyebabkan kadar
NH3 dalam rumen menjadi rendah, melambatkan laju pertumbuhan mikroba rumen dan menurunkan
kecernaan pakan.

30
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kadar NH3
Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada
tiap perlakuan terhadap kadar NH3 dalam rumen dengan rataan pada kisaran normal untuk
mendukung kehidupan mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutardi (1979) yang
menyatakan bahwa kisaran kadar NH3 yang sesuai untuk mendukung aktivitas mikroba rumen
berkisar antara 4 – 12 mM. Kadar NH3 dipengaruhi oleh tingkat degradabilitas bahan pakan, bahan
pakan yang mudah terdegradasi maka kadar NH 3 akan tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Cahyani et.al., (2012) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya degradasi PK akan
mempengaruhi kadar NH3. Menurut Mackie et.al., (2002), bahwa aktivitas mikroba dalam saluran
pencernaan dapat mempengaruhi pemanfaatan NH 3 menjadi protein mikroba sebagai sumber protein
ternak.

Sintesis Protein Mikroba


Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada
tiap perlakuan terhadap sintesis protein mikroba rumen. Peningkatan sintesis protein mikroba
disebabkan oleh konsumsi PK dan tingginya bahan organik yang tercerna yang terdapat pada ransum.
Hal ini sesuai dengan Suryani (2014) yang menyatakan bahwa konsumsi BK maupun PK dapat
meningkatkan sintesis protein mikroba. Gosselink et.al., (2003) menambahkan bahwa PK sangat
berpengaruh pada produksi sintesis protein mikroba karena ketersediaan N bagi mikroba rumen
diindikasi oleh PK selama konsentrasinya tidak digunakan sebagai sumber energi. Selain itu sintesis
protein mikroba rumen dipengaruhi juga oleh kadar NH3.

Kesimpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan hitam dan
S-proteinat tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar produksi NH 3 dan protein mikroba
rumen.

Daftar Pustaka
Beandrade, M. U. (2018). Formulasi dan karakterisasi SNEDDS ekstrak jinten hitam (Nigella sativa)
dengan fase minyak ikan hiu cucut botol (Centrophorus sp) serta uji aktivitas imunostimulan.
Pharmaceutical Science and Clinical Research Journal. 2018(1), 50-61.
Cahyani, R.D., L.K. Nuswantara dan A. Subrata. (2012). Pengaruh Proteksi Protein Tepung Kedelai
dengan Tanin Daun Bakau Terhadap Kosentrasi Amonia, Undegraded Protein dan Protein
Total Secara In Vitro. Animal Agriculture Journal. 1(1), 159-166.
Gosselink, J.M.J., Poncet, C., Dulphy, J.P. and Cone, J.W. (2003). Estimation of the duodenal flow of
microbial nitrogen in ruminants based on the chemical composition of forages. Anim. Res, 52,
229-243.INRA, IDP Sciences.
Kurniawan, K., Liman dan Y. Widodo. (2014). Pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam dan
mineral organik untuk meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik
pada ransum sapi. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 2(2), 67-69.

31
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Mackie, R.I., C.S. McSweeney dan A.V. Klieve. (2002). Microbial ecology of theovine rumen.
Dalam: M.Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO Plant Industry. Canberra
Australia, 73-80.
Mc Donald, P., R. Edwards, and J. Greenhalgh. (2002). Animal Nutrition. Edisi VI. New York.
Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L. Warly dan Z. Mardianti. (2008). Efek suplementasi mineral
sulfur dan phosphor pada daun sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in vitro
dan karakteristik cairan rumen. Jurnal Tropikal Animal Agricultur. 33(1), 51-58.

Plummer, D. T. (1971). An introduction to practical biochemistry. McGraw-Hill Publ., London


Regheb, A., A. Attia, W. S. Eldin, F. Elbarbry, S. Gazarin dan A. Shoker. (2009). The protective
effect of thymoquinone, an anti-oxydant and anti-inflammatory agent, againt renal injury: A
Review. Saudi J Kidney Dis Transpl. 20(5), 741-752.
Retnani, Y, Permana, I. G, Herawaty, L dan Komalasari, N. R. (2012). Biskuit Biosuplemen Pakan
untuk Meningkatkan Produktivitas Kambing Perah. Prosiding Seminar Hasil-hasil Peneltian
IPB 2012. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suryani, N. N., I. K. M. Budiasa dan I. P. A. Astawa. (2014). Fermentasi rumen dan sintesis protein
mikroba kambing peranakan ettawa yang diberi pakan dengan komposisi hijauan beragam dan
level konsentrat yang berbeda. J. Makalah Ilmiah Peternakan 17(2) , 56 – 60.
Sutardi, T., (1979). Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan
manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Dalam: Prosiding Seminar Penelitian dan
Penunjang Peternakan, LPP. Bogor, 2, 91-103.

32
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Pemberian Gelatin Kulit Ikan Gabus Terhadap Kualitas Organoleptik


Permen Jelly Susu Kambing

The Effect of Cork Fish Skin Gelatin Concentration on Organoleptic Quality of Goat Milk
Jelly Candy

Anna Fitriani, Zulfa Elymaizar, Ima Yus Santi


Universitas Jambi
email: annafitri92@yahoo.com

Abstract
This research was conducted to find out the effect of cork fish skin gelatin on organoleptic
quality of goat milk jelly candy, and to determine the concentration of use of cork fish skin gelatin
which is favored by panelists. The research was designed using a Completely Randomized Block
Design with gelatin concentration as a single factor consisting of four levels, namely 0%, 1%, 2%,
and 3. The research was repeated 30 times. Data were analyzed with Analysis of Varians to find out
the treatment effects, then continued tested using Least Significant Difference (LSD) test to find out
the best treatment which was determined by the highest score of color, flavor, texture and taste. The
result showed that gelatin concentration had significant effect on color and taste and highly
significant effect on texture of the goat milk jelly candy, but no significant effect (P> 0.05) on the
preferred value of the flavor of goat milk jelly candy. The conclusion of this study is that among the
treatment of cork fish skin gelatin, jelly candy with cork fish skin gelatin 3% (P3) is preferred by
panelists, both in terms of color, aroma, texture and taste.

Keywords: cork fish skin gelatin, goat milk, jelly candy.

Pendahuluan
Susu merupakan salah satu bahan makanan yang mempunyai gizi yang tinggi yang diperlukan
oleh tubuh. Susu diperoleh dari pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kambing, kuda dan unta. Susu
kambing memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Jika dibandingkan dengan susu sapi, susu
kambing mengandung beberapa komponen zat gizi dalam jumlah lebih banyak. Komposisi susu sapi
untuk komponen air, energi, lemak, dan protein secara berurutan adalah 87,2%, 66,0 kkal, 3,7 g, dan
3,3 g, sedangkan susu kambing adalah 87,5%, 67,0 kkal, 4,0-7,3 g, dan 3,3-4,9 g (Budiana dan
Susanto, 2005).
Banyak keistimewaan yang menjadikan susu kambing perlu disosialisasikan agar diminati
masyarakat. Salah satu perbedaan terbesar antara susu kambing dan susu sapi adalah komposisi dan
struktur globula lemaknya. Globula lemak susu kambing lebih kecil dari susu sapi dan globula lemak
yang lebih kecil akan lebih mudah untuk dicerna (Bihaqi and Jalal, 2010). Globula lemak yang kecil
lebih tahan terhadap penggumpalan sehingga lebih panjang umur simpannya. Selain itu, Legowo dan
Al-Baarri (2005) menyatakan bahwa susu kambing juga memiliki rantai asam lemak yang lebih
pendek dengan globula lemak lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi sehingga mudah dicerna
oleh tubuh. Susu kambing tidak dikonsumsi sebanyak nilai konsumsi susu sapi karena dikenal
memiliki bau prengus yang tidak disukai. Selain itu, Buckle et al. (2009) menyatakan bahwa susu

33
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

adalah bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi oleh mikroba karena susu
merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, diperlukan suatu
upaya untuk mencegah kerusakan susu kambing yaitu dengan cara mengolah susu menjadi produk
olahannya. Pengolahan susu kambing menjadi produk olahan diharapkan dapat meningkatkan nilai
konsumsi susu kambing. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan potensi susu
kambing adalah mengolah susu kambing menjadi permen jelly.
Permen jelly biasanya terbuat dari susu atau sari buah yang diberi bahan pengenyal atau
gelatin. Gelatin ikan saat ini cukup populer di masyarakat karena ikan mudah didapat serta harganya
yang cukup terjangkau. Ikan yang digunakan juga beragam seperti ikan lele, patin, tenggiri, gabus dan
lain-lain. Di Provinsi Jambi, ikan gabus merupakan ikan yang cukup digemari karena memiliki daging
yang tebal serta rasanya yang enak. Pengolahan ikan akan menghasilkan produk samping berupa kulit
dan tulang yang dapat diolah menjadi gelatin. Penggunaan gelatin ikan gabus dalam pembuatan
permen jelly ini masih belum banyak diteliti, sehingga masih belum banyak diketahui kualitas
organoleptiknya. Penelitian mengenai pembuatan permen jelly susu kambing untuk mendapatkan
konsentrasi bahan pembentuk gel yang tepat pada gelatin ikan gabus belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi gelatin yang dapat menghasilkan
permen jelly susu kambing dengan sifat organoleptik terbaik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI
3547.2-2008) yang memiliki keadaan dengan bau, rasa, warna, dan tekstur yang normal, kadar air
maksimal 20%, kadar abu maksimal 3%, dan kadar gula reduksi maksimal 25%.

Bahan dan Peralatan


Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah susu kambing, gelatin kulit ikan gabus,
glukosa, sukrosa, tepung tapioka, air, asam asetat 0,1 M, etanol, dan gula halus. Alat yang akan
digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, termometer, pengaduk, refrigerator, kompor,
stopwatch, loyang, gelas ukur, pisau, sendok, baskom, nampan, wajan teflon, panci, saringan, neraca
analitik, gelas piala, oven, dan seperangkat alat untuk uji organoleptik.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 30
panelis sebagai kelompoknya. Perlakuan pada penelitian ini adalah:
P1: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 0% + Tepung Tapioka
P2: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 1%
P3: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 2%
P4: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 3%
Model matematika untuk rancangan ini adalah sebagai berikut:
Yij = μ + βj + δi+ εij
Y = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j

34
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

μ = Nilai tengah populasi


δi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
ε = Pengaruh kesalahan percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
i = 1,2,3,4
j = 1,2,3,4, …,30
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas organoleptik meliputi warna, aroma,
tekstur dan rasa. Data yang diperoleh kemudian diolah mengggunakan analisis ragam (ANOVA)
dengan taraf 5%, apabila berpengaruh nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan
Multiple Test (DMRT) (Steel dan Torrie, 1991).

a. Pembuatan Gelatin Kulit Ikan Gabus


Menurut Tatami et al. (1992), pengolahan gelatin dapat dilakukan melalui tahapan – tahapan
sebagai berikut:
1. Tahap persiapan bahan. Kulit ikan gabus dicuci dengan air mengalir agar kotoran yang
melekat dan sisa daging hilang. Kemudian kulit ikan gabus dipotong-potong. Tujuannya
untuk mempermudah perlakuan penggembungan (swelling), kemudian dicuci kembali.
Setelah itu potongan kulit gabus direndam dalam larutan asam asetat 0,1 M selama 24 jam.
Setelah itu kulit ikan yang telah direndam dicuci kembali.
2. Tahap ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dalam 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama: kulit direbus
dalam air pada suhu 80 – 95 oC selama 2 jam. Perbandingan bahan baku dan air adalah 1:2
dan selama perebusan dilakukan pengadukan. Setelah 2 jam perebusan, larutan akan terlihat
berwarna putih dan lengket. Dalam keadaan panas tersebut larutan disaring dan hasil saringan
harus dijaga agar tetap panas. Tahapan kedua, sisa hasil penyaringan direbus kembali pada
suhu 100 oC selama 1 jam dengan perbandingan bahan baku air adalah 1:1. Setelah itu
dilakukan penyaringan untuk mendapatkan filtrat. Filtrat hasil perebusan pertama dan kedua
dicampur dan pencampuran ini harus dalam keadaan panas, kemudian ditambah etanol 1:1.
Filtrat dimasukkan ke dalam gelas piala untuk proses pengeringan.
3. Tahap pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan oven. Suhu
pengeringan sebaiknya berada 60 – 70 oC selama 168 jam (7 hari). Produk gelatin kering
ditepungkan dan dimasukkan dalam botol kaca, untuk dipergunakan selanjutnya.
b. Pembuatan Permen Jelly Susu Kambing
Pembuatan permen jelly susu kambing ini dilakukan berdasarkan penelitian Eletra et al.,
(2013) yaitu:
1. Masukkan 100 ml susu kambing ke dalam panci dan tambahkan 43% sukrosa dan 20%
glukosa bubuk.

35
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

2. Setelah itu ditambah gelatin kulit ikan gabus sesuai perlakuan, yang sebelumnya sudah
dilarutkan dengan air hangat (60-70 oC) sebanyak 75 ml.
3. Kemudian dipanaskan sampai semua bahan yang telah dicampurkan mengental sambil
diaduk.
4. Setelah mengental, tetap lanjutkan proses pemasakan dan pengadukan hingga 15 menit.
5. Setelah itu tuang hasil yang diperoleh ke dalam loyang dan didinginkan pada suhu ruang
selama 1 jam, kemudian dinginkan dalam refrigerator selama 24 jam.
6. Setelah itu keluarkan permen jelly dari refrigerator dan didiamkan pada suhu ruang selama 1
jam.
7. Permen jelly lalu dipotong-potong bentuk dadu dengan ukuran 1x1 cm, kemudian lumuri
dengan tepung tapioka sangrai dan gula halus dengan perbandingan 1:1.
8. Selanjutnya lakukan pengamatan terhadap sifat organoleptik permen jelly susu kambing yang
dihasilkan.

Hasil dan Pembahasan


Uji Organoleptik Warna
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi gelatin berpengaruh sangat nyata
terhadap kesukaan warna permen jelly susu kambing. Nilai rata-rata skor parameter warna produk
berkisar antara 2,98-3,75 (agak suka – suka). Hasil uji lanjut BNT warna disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) warna permen jelly susu kambing
Perlakuan Nilai Tengah
P0 (gelatin 0%) 2.98a
P1 (gelatin 1%) 3.67b
P2 (gelatin 2%) 3.72b
P3 (gelatin 3%) 3.75b
Fhit kelompok = 2.45** Fhit perlakuan = 5.55**
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Hasil uji BNT skor kesukaan warna permen jelly susu kambing menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi gelatin 0% (P0) berbeda sangat nyata dengan perlakuan konsentrasi gelatin 1%
(P1), 2% (P2), dan 3% (P3). Sedangkan konsentrasi gelatin 1% (P1), 2% (P2), dan 3% (P3) tidak
berbeda nyata. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi gelatin dalam pembuatan permen
jelly susu kambing. Semakin tinggi konsentrasi gelatin, semakin tinggi penilaian panelis terhadap
warna permen jelly susu kambing. Hal ini diduga karena penampakan produk yang terlalu lunak
(gelatin 0%) sehingga memengaruhi tingkat kesukaan panelis.
Permen jelly susu kambing P0 memiliki warna putih susu, hampir sama dengan warna
permen jelly P1. Sementara permen jelly susu kambing P2 dan P3 memiliki warna yang hampir sama

36
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

yaitu kuning kecoklatan yang keruh, dan semakin keruh pada konsentrasi gelatin yang lebih tinggi.
Unsur warna susu masih terdapat pada permen jelly susu kambing P1.
Pada dasarnya permen jelly tidak memiliki warna khusus yang menjadi ciri khas karena
warna permen jelly bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Pada penelitian ini, permen
jelly susu kambing berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan akibat pengaruh warna gelatin yang
digunakan. Gelatin yang digunakan dalam penelitian ini berwarna kuning kecoklatan, sehingga dapat
mempengaruhi produk akhir permen jelly susu kambing. Hal ini menyebabkan warna produk yang
semakin gelap seiring meningkatnya konsentrasi gelatin yang digunakan. Menurut Malik (2010),
gelatin dapat berfungsi sebagai pembentuk gel, pengikat air, juga penjernih. Semakin tinggi
konsentrasi gelatin, warna produk akan semakin bias menuju warna kuning kecoklatan yang jernih.
Selain warna gelatin yang digunakan, hal lain yang mempengaruhi warna permen jelly susu kambing
adalah reaksi Maillard yang mungkin terjadi selama pemasakan akibat adanya gula pereduksi yang
bereaksi dengan asam amino dari susu kambing dan gelatin sehingga menimbulkan warna kecoklatan.
Gelatin melengkapi bahan-bahan pangan lain sebagai sumber protein dalam menyediakan
kebutuhan asam amino. Gelatin mengandung 18 jenis asam amino, termasuk 7 jenis dari 8 jenis asam
amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia (PB Gelatins, 2009). Keberadaan asam amino di
dalam permen jelly susu kambing mempengaruhi reaksi Maillard yang terjadi. Semakin banyak
gelatin, maka semakin banyak asam amino yang akan bereaksi dengan gula pereduksi pada bahan dan
membentuk reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara asam amino (protein) dan gula
yang melibatkan kondensasi dan rearrangement. Reaksi tersebut merupakan reaksi kompleks yang
biasanya terjadi selama proses pemasakan dan penyimpanan (Shimamura dan Ukeda, 2012)

Uji Organoleptik Aroma


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi gelatin berpengaruh tidak nyata
terhadap aroma permen jelly susu kambing. Skor parameter aroma produk berkisar antara 3,23-3,70
(agak suka - suka). Hasil uji lanjut BNT aroma disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) aroma permen jelly susu kambing
Perlakuan Nilai Tengah
P0 (gelatin 0%) 3.45a
P1 (gelatin 1%) 3.33a
P2 (gelatin 2%) 3.23a
P3 (gelatin 3%) 3.70a
Fhit kelompok = 2.40** Fhit perlakuan = 1.78tn
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Berdasarkan uji BNT, perlakuan penambahan gelatin 1% (P1), 2% (P2) dan 3%(P3) tidak
berbeda dengan perlakuan 0% gelatin (P0). Perbedaan aroma pada permen jelly susu kambing
disebabkan perbedaan konsentrasi gelatin. Semakin sedikit konsentrasi gelatin dalam permen jelly

37
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

maka akan semakin dominan aroma susu kambingnya. Perubahan aroma pada bahan pangan dapat
disebabkan oleh banyak hal, seperti interaksi antar komponen, proses pemasakan, irradiasi, enzim dan
mikroba, faktor fisik, reaksi induksi katalis, dan oksidasi udara (Zuhra, 2006). Faktor perubahan
aroma yang terjadi dalam pembuatan permen jelly susu kambing adalah reaksi komponen pada bahan
selama proses pemasakan.
Selama proses pemasakan permen jelly susu kambing terjadi reaksi Maillard akibat adanya
reaksi antara susu, gelatin, dan gula reduksi. Susu mengandung protein dan gula berupa laktosa.
Laktosa adalah bentuk disakarida dari karbohidrat yang dapat dipecah menjadi bentuk lebih sederhana
yaitu galaktosa dan glukosa. Pada kasus susu, laktosa bereaksi dengan sisi rantai asam amino bebas
dalam protein susu menuju tahapan awal, menengah, dan lanjutan dari reaksi Maillard (Shimamura
dan Ukeda, 2012).
Gelatin tersusun dari beberapa jenis asam amino seperti glisin, prolin, hidroksiprolin, asam
glutamat, dan alanin, sehingga menambah komponen asam amino yang akan bereaksi dengan laktosa
dan glukosa yang ditambahkan dalam pembuatan permen jelly susu kambing. Semakin tinggi
konsentrasi gelatin, aroma khas susu kambing semakin samar karena semakin banyak asam amino
yang akan bereaksi dengan komponen gula pereduksi.
Menurut Zuhra (2006), susu merupakan medium yang terbaik untuk tipe reaksi ini. Perubahan
kimia pada reaksi tersebut dapat mengubah sifat sensori dari makanan. Pencoklatan Maillard dalam
susu menyebabkan aroma apak dan rasa pahit. Meskipun pada permen jelly susu kambing ini aroma
khas susu kambing tidak hilang, tapi reaksi tersebut diduga telah menyebabkan berkurangnya
kekhasan aroma asli susu kambing.

Uji Organoleptik Kekenyalan


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin berpengaruh sangat
nyata terhadap kekenyalan permen jelly susu kambing. Skor parameter kekenyalan permen jelly susu
kambing berkisar antara 1,93-3,83 (kurang kenyal — kenyal). Hal ini menunjukkan bahwa
kekenyalan permen jelly hasil uji skoring adalah kurang kenyal sampai kenyal. Hasil uji lanjut BNT
kekenyalan permen jelly susu kambing disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) tekstur permen jelly susu kambing
Perlakuan Nilai Tengah
P0 (gelatin 0%) 1.93a
P1 (gelatin 1%) 3.13b
P2 (gelatin 2%) 3.27b
P3 (gelatin 3%) 3.83c
Fhit kelompok = 3.83** Fhit perlakuan = 37.05**
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

38
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Berdasarkan uji BNT, perlakuan konsentrasi 0% gelatin (P0) berbeda dengan semua
perlakuan. Perlakuan (P3) dengan konsentrasi gelatin tertinggi yaitu 3% juga berbeda dengan semua
perlakuan. Perlakuan konsentrasi gelatin sebanyak 1% (P1) tidak berbeda dengan perlakuan P2.
Perbedaan kekenyalan yang terjadi disebabkan oleh perbedaan penambahan konsentrasi gelatin dalam
pembuatan permen jelly. Gelatin berfungsi mengubah tekstur dengan cara membentuk jaringan dari
molekul-molekul dalam bentuk sol yang telah menyerap air. Gelatin membentuk gel dengan cara
menyerap air. Tiap partikel gelatin bubuk akan menyerap air sehingga terbentuk sol yang masih
berbentuk cairan. Ketika didinginkan, molekul gelatin yang sebelumnya berbentuk gulungan kompak
dalam bentuk cairan tersebut akan terurai dan membentuk ikatan silang antar molekul lainnya yang
berdekatan sehingga membentuk jaringan dan terbentuk gel. Menurut Desideria et al. (2019) semakin
tinggi konsentrasi gelatin yang diberikan maka sineresis yang dihasilkan pada suatu produk akan
semakin rendah, sehingga akan menghasilkan konsistensi gel yang lebih tinggi dan permen jelly yang
dibuat akan menjadi lebih kenyal dan lebih disukai.

Uji Organoleptik Rasa


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin berpengaruh nyata
terhadap rasa permen jelly susu kambing. Skor parameter rasa permen jelly susu kambing berkisar
antara 3,08-3,90 (netral — suka). Hal ini menunjukkan bahwa kesukaan terhadap permen jelly hasil
uji skoring adalah netral sampai suka. Hasil uji lanjut BNT rasa permen jelly susu kambing disajikan
dalam Tabel 4.

Tabel 4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rasa permen jelly susu kambing
Perlakuan Nilai Tengah
P0 (gelatin 0%) 3,08a
P1 (gelatin 1%) 3,48ab
P2 (gelatin 2%) 3,85b
P3 (gelatin 3%) 3,90b
Fhit kelompok = 2.35** Fhit perlakuan = 6.28**
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Nilai rataan tertinggi pada perlakuan P3 dan rataan terendah pada perlakuan P0. Perbedaan
rataan tersebut disebabkan oleh adanya penambahan gelain kulit ikan gabus pada permen jelly susu
kambing, namun perbedaan tersebut tidaklah terlalu signifikan terbukti dengan nilai rataan kesukaan
rasa permen jelly yang tidak terpaut jauh. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi pemberian gelatin
kulit ikan gabus yang masih sedikit.
Pada setiap perlakuan rasa permen jelly hampir sama yaitu memiliki rasa yang manis dan
dominan rasa susu kambing, namun pada perlakuan P3 dengan pemberian gelatin kulit ikan gabus 3%
rasa manis dan rasa susu kambingnya sedikit berkurang, hal tersebut diduga menjadi penyebab
perlakuan P3 lebih disukai panelis karena rasa manis permen jelly tidak berlebihan serta rasa susu

39
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kambing nya sedikit berkurang. Menurut Basuki et al. (2014) semakin banyak penambahan
konsentrasi gelatin dan karaginan akan meningkatkan pembentukan gel sehingga dapat menurunkan
rasa pada permen jelly. Menurut Rahmi et al. (2012) dengan semakin banyaknya konsentrasi gelatin
yang diberikan maka jumlah air yang terperangkap pada molekul-molekul gelatin akan semakin besar.
Hal tersebut yang mengakibatkan rasa dari permen jelly akan semakin hambar.

Penentuan Perlakuan Terbaik


Penentuan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dilakukan dari hasil uji organoleptik untuk
parameter warna, aroma, tekstur dan rasa. Karakteristik permen jelly yang baik adalah permen jelly
yang memiliki rasa, aroma, warna, dan tekstur yang normal (Standar Nasional Indonesia, 2008).
Aroma yang diharapkan untuk permen jelly susu kambing adalah yang masih memiliki kekhasan susu
kambing, sementara tekstur produk dilihat dengan menguji kekenyalannya. Parameter warna tidak
memiliki standar khusus karena bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Data uji
organoleptik permen jelly susu dari setiap parameter disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi hasil uji organoleptik permen jelly susu kambing


Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Warna 2.98a 3.67b* 3.72b* 3.75b*
Aroma 3.45a 3.33a 3.23a 3.70a
Tektur 1.93a 3.13b* 3.27b* 3.83c**
Rasa 3.08a 3.48ab 3.85b* 3.90b*
∑ (*) 0 2 3 4

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah permen jelly susu kambing dengan
konsentrasi gelatin sebesar 3% (P3). Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah terbanyak tanda bintang
yang diperoleh pada perlakuan gelatin 3% pada setiap parameter uji organoleptik. Permen jelly susu
kambing P3 bersifat agak kenyal dan memiliki aroma agak khas susu kambing dengan warna kuning
kecoklatan dan penerimaan keseluruhan suka.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian gelatin
kulit ikan gabus berpengaruh nyata terhadap warna, tekstur dan rasa permen jelly susu kambing,
namun tidak memberi pengaruh nyata terhadap aroma dari permen jelly susu kambing. Diantara
perlakuan pemberian gelatin kulit ikan gabus, permen jelly dengan pemberian gelatin kulit ikan gabus
3% (P3) lebih disukai oleh panelis, baik dalam segi warna, aroma, tekstur dan rasa.

40
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Saran
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk meningkatkan konsentrasi gelatin kulit ikan
gabus pada permen jelly agar pengaruh pada warna, aroma, tekstur dan rasa permen jelly lebih
terlihat.

Daftar Pustaka
Basuki, E.K., Mulyani S, T., Hidayati, L., 2014. Pembuatan permen jelly nanas dengan penambahan
keragenan dan gelatin. J. Rekapangan 8(1): 39–49.
Bihaqi S. F. And H. Jalal. 2010. Goaty odour in milk and its prevention. Research Journal of
Agricultural Sciences 1(4):487-490.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh
Purnomo H. dan Adiono. UI Press. Indonesia. 365 pages.
Budiana, N. S. dan D. Susanto. 2005. Susu Kambing. Penebar Swadaya. Depok. 80 Hal.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2008. SNI 3547.2 Kembang Gula - Bagian 2: Lunak. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta
Desideria, D., Kunarto, B., Fitriana, I., 2019. karakteristik permen jelly sari kunyit putih (Curcuma
mangga val) yang diformulasi menggunakan konsentrasi gelatin. J. Mahasiswa, J. Teknologi
Hasil Pertanian 2: 1–9.
Eletra, Y., Susilawati, dan S. Astut. 2013. Pengaruh Konsentrasi Gelatin Terhadap Sifat Ordanoleptik
Permen Jelly Susu Kambing. J. Teknol. Ind. Dan Has. Pertan. 18, 185–195.
Harianti, H., 2011. Ikan Gabus (Channa striata) Dan Berbagai Manfaat Albumin Yang Terkandung Di
Dalamnya. J. Balik Diwa 2, 18–25.
Hastuti, D., I. Sumpe. 2007. Pengenalan dan Proses Pembuatan Gelatin. Mediagro 3, 39–48.
Legowo, A. M. dan A. N. Al-Baarri. 2005. Identifikasi dan karakterisasi aroma ‗prengus‘ (―goaty
flavor‖) susu kambing serta produk olahannya. (Skripsi). Universitas Diponegoro. Semarang.
Hlm 16-20.
PB Gelatin. 2009. Gelatin Technical Info. Edition 5. Tessenderlo Group. Belgium. 8 pages.
Rahmi, S.L., F. Tafzi, dan S. Anggraini. 2012. Pengaruh Penambahan Gelatin Terhadap Pembuatan
Permen Jelly Dari Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn). J. Penelit. Univ. Jambi Seri
Sains 14, 36–44.
Saputra, R.H., I. Widiastuti, dan A. Supriadi. 2015. Karakteristik Fisik dan Kimia Gelatin Kulit Ikan
Patin (Pangasius pangasius) dengan Kombinasi Berbagai Asam dan Suhu. J. Teknol. Has.
Peternak. 4, 29–36.
Shimamura, T. and H. Ukeda. 2012. Maillard Reaction in Milk–Effect of Heat Treatment. InTech.
http://dx.doi.org/10.5772/50079
Standar Nasional Indonesia. 2008. Standar Nasional Indonesia Kembang Gula. SNI 3547.2-2008.
Badan Standarisasi Nasional. Indonesia.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang
Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tatami, S., T. Yamamoto, M. Kumakura, H. Noda, N. Sakamoto, T. Ito, E. Fuse, K. Suzuki, H.O.
Dental, dan T. Monitor. 1992. United States Patent (19).
Wulandari, W., A. Supriadi, dan B. Purwanto. 2013. Pengaruh Defatting dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Karakteristik Fisik Gelatin Tulang Ikan Gabus (Channa striata). Fishtech 2, 38–45.
Zuhra, C. F. 2006. Karya Ilmiah Flavor (Citarasa). Departemen Kimia. Universitas Sumatera Utara.
Sumatera Utara. Hal 1-27.

41
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Respon Fisiologis dan Hematologis Kambing Boerka yang digembalakan

The Physiological and Hematological Responses of the Boerka Goat are Herded

Arie Febretrisiana1, Alfian Destomo1, Ade Syahrul Mubarak1


1
Loka Penelitian Kambing Potong, 20585 Galang
*Korespondensi: febre_arie@yahoo.com

Abstrak
Kambing Boerka adalah salah satu jenis kambing unggul yang dihasilkan dari persilangan kambing
Boer dan Kacang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon fisiologis dan
hematologis kambing boerka yang digembalkan. Sebanyak 10 ekor kambing jantan Boerka berumur
1-1,5 tahun dengan berat badan ±32 kg. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (Januari-Maret 2018).
Kambing dibagi dalam 2 kelompok kambing yang digembalakan (G) dan tanpa digembalakan (TG)
(masing-masing 5 ekor). Pengembalaan dilakukan setiap hari dimulai pukul 10.00 – 16.00 WIB.
Pengambilan data fisiologis meliputi data suhu rektal, denyut jantung, laju respirasi dan paramater
hematologis darah meliputi sel darah merah, sel darah putih, haemoglobin dan haemotokrit. Data di
tabulasi dalam bentuk rata-rata dan kemudian dianalisa dengan Uji Sidik Ragam (ANOVA). Hasil
penelitian menunjukkan suhu lingkungan tertinggi adalah diluar kandang mencapai 32,9˚C dengan
kelembapan 53,8. Suhu rektal kambing yang digembalakan lebih tinggi (P<0,05) bila dibandingkan
pada kambing yang tidak digembalakan masing-masing 39,6 ˚C dan 39,1 ˚C. Begitu pula laju respirasi
dan denyut jantung masing-masing 41,3 dan 32,9 kali/ menit; 91,8 dan 86,4 kali/menit (P<0,05). Sel
darah putih mengalami kenaikan (P>0,05) masing-masing 0,04x103/µl dan 1,7x103/µl. Kadar
hematokrit (TG) mengalami penurunan (P<0,05) 0,6% sedangkan pada kelompok G naik (P<0,05)
5,4%. Kondisi yang sama juga terjadi pada kadar sel darah merah yang mengalami kenaikan pada
kelompok G (P<0,05) masing-masing 0,92 7x106/µl dan 1,167x106/µl. Kadar hemoglobin darah baik
dari G maupun TG keduanya mengalami penurunan (P>0,05) masing-masing 0,7 g/dl dan 0,8g/dl.
Dari peneltian ini terlihat adanya perubahan baik pada parameter fisiologis maupun haematologis
kambing boerka yang digembalakan sebagai respon terhadap lingkungan pengembalaan.

Kata Kunci: Kambing Boerka, fisiolofis, haematologis, suhu, kelembapan

Abstract
Boerka Goat is one of the superior types of goats that crossing of Boer and Kacang goat. The purpose
of this study was to determine the physiological and haematological responses of the herded boerka
goats. A total of 10 male goats Boerka goats 1-1.5 years with a body weight of ± 32 kg. This research
was conducted for 3 months (January-March 2018). Goats are divided into 2 groups of goats that are
grazed (G) and without grazing (TG) (each of 5 animals). The grazing is done every day starting at
10:00 - 16:00 WIB. Retrieval of physiological data includes rectal data, heart rate, respiration rate
and hematologic parameters of red blood cells, white blood cells, hemoglobin and haemotocrit. The
data is tabulated in the average form and then analyzed by the Variance Test (ANOVA). The results
showed that the popular environment was 32.9 C height with 53.8 humidity. Rectal goat herding
temperature was higher (P <0.05) compared to 39.6 39C and 39.1 ˚C, respectively. The respiration
rate and heart rate were 41.3 and 32.9 times / minute, respectively; 91.8 and 86.4 times / minute (P
<0.05). White blood cells increased in height (P> 0.05) respectively 0.04x103 / μl and 1.7x103 / μl.
Hematocrit (TG) levels decreased (P <0.05) 0.6% while those in the G group increased (P <0.05)
5.4%. The same condition also occurred in red blood cell levels that increased in group G (P <0.05),
each 0.92 7x106 / μl and 1.167x106 / μl. Blood hemoglobin levels both from G and TG decreased (P>
0.05) respectively 0.7 g / dl and 0.8 g / dl. From this research, it is seen that there are changes in both
physiological and haematological parameters of the boerka goats that are pastured in response to the
grazing environment.

Key Word: Boerka Goat, phisiologys, haematologys, tempherature, humidity

42
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pendahuluan
Kambing Boerka merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer dan Kacang.
Pembentukan kambing ini dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Tujuan
persilangan ini dilakukan adalah untuk meningkatkan kualitas dan performa kambing kacang sebagai
jenis kambing yang populer dipelihara oleh petani di Indonesia. Kambing kacang memiliki
keunggulan tahan terhadap parasit, adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi lingkungan dan bersifat
prolifik. Akan tetapi dibalik keunggulannya kambing kacang memiliki kekurangan yaitu pertumbuhan
bobot badan yang sangat rendah (Pamungkas et al., 2009). Oleh karena itu diharapkan dengan
persilangan yang dilakukan akan dapat meningkatkan performans kambing kacang.
Sistem pemeliharaan semi-intensive adalah sistem pemeliharaan yang umum digunakan
peternak dalam memelihara ternak mereka. Ternak akan digembalakan dalam waktu tertentu dan akan
terpapar panas matahari. Interaksi antara lingkungan dan ternak menjadi hal yang sangat penting
untuk diperhatikan untuk dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik (Mirkena et al., 2010).
Dan Temperatur lingkungan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performans ternak.
Cekaman panas dapat ditandai apabila terjadinya kenaikan temperatur tubuh dan laju respirasi ternak
yang tidak lagi dalam batas normal. Secara lebih luas kenaikan suhu tubuh akan mengakibatkan
penurunan asupan pakan, distribusi aliran darah dan terjadi perubahan metabolisme lainnya yang
dapat memberikan pengaruh buruk terhadap produktivitas dan reproduksi ternak (Narendra, 1990).
Cekaman panas diketahui akan mengganggu fisiologis normal, haematologi dan metabolisme ternak
(Bagha et al., 2009).
Kambing Boer merupakan jenis kambing eksotis yang berasal dari negara dengan kondisi
lingkungan yang berbeda dengan Indonesia. Wilayah Indonesia adalah daerah tropis dengan intensitas
paparan sinar matahari yang tinggi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
paparan panas pada kambing boerka yang merupakan kambing persilangan anatara kambing boer dan
kacang yang digembalakan terhadap kondisi fisiologis dan haemotologinya.

Materi dan Metode


Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih.
Suhu udara rata-rata adalah 23-33˚C dan kelembapan udara 45-80%. Sampel penelitian dianalisa
dilaboratorium Patologi Klinis Balai Veteriner Medan, Kementerian Pertanian.
Materi Penelitian
Sebanyak 10 ekor kambing jantan Boerka berumur 1-1,5 tahun dengan berat badan ±32 kg.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (Januari-Maret 2018). Sebelum pengambilan data
penelitian pertama dilakukan, dilakukan adaptasi pada kambing selama 2 minggu.

43
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pemeliharaan Ternak
Kambing dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kambing yang digembalakan dan tanpa
digembalakan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor kambing. Masing-masing
kelompok kambing dipelihara di dalam kandang berukuran 5x5 m2. Kambing diberi pakan konsentrat
pada pukul 08.00 WIB. Pemberian rumput dilakukan dua kali yakni pada pagi dan sore hari. Air
minum diberikan ad libitum. Pengembalaan dilakukan setiap hari selama 6 jam dimulai pukul 10.00 –
16.00 WIB.
Pengukuran Kondisi Lingkungan
Pengukuran suhu dan kelembapan dilakukan didalam kandang dan di padang pengembalaan
dan dilakukan pada pagi dan sore hari.
Koleksi Data
Pengambilan data fisiologis (suhu rektal, denyut jantung, laju respiras)i dan paramater
hematologis darah (Sel darah merah, Sel darah putih, Haemoglobin dan Haemotokrit). Suhu rektal
diukur menggunakan termometer tubuh dengan memasukkan ujung termometer ke dalam anus.
Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah denyut jantung selama 15 detik
menggunakan steteskop. Laju respirasi dicatat dengan menghitung jumlah respirasi yang dirasakan
dengan menempelkan telapak tangan luar pada hidung kambing. Parameter hematologis dievaluasi
dengan memeriksa kandungan darah dengan mengambil sampel darah dari semua kambing dan
dianalisa dilaboratorium.
Analisa Data
Data suhu rektal, denyut jantung, laju respirasi, berat badan dan parameter darah di tabulasi
dalam bentuk rata-rata dan kemudian dianalisa dengan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dan jika
ditemukan perbedaan akan di uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Dunken. Data dianalisa dengan
bantuan program SPSS.

Hasil dan Pembahasan


Suhu dan Kelembapan Lingkungan
Pengukuran suhu udara didalam kandang dan diareal pengembalaan dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu dan kelembapan pada keduannya. Hasil pengukuran
menunjukkan adanya perbedaan suhu dan kelembapan didalam kandang dengan diareal
pengembalaan. Tren suhu pada pagi hari dimulai pukul 06.00 WIB menunjukkan suhu didalam
kandang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara diluar kandang. Namun dimulai pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB suhu udara diluar kandang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan suhu udara di dalam kandang. Suhu udara baik di dalam maupun diluar kandang mengalami
kenaikan mulai pukul 06.00 WIB dan mulai menurun mulai pukul 16.00 WIB. Kelembapan udara di
dalam kandang pada pukul 06.00 WIB tercatat 79,2 dan naik pada pukul 08.00 sampai 14.00 WIB dan
kembali naik pada pukul 16.00 WIB.

44
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tren yang sama terjadi pula pada kelembapan pada areal di luar kandang. Suhu udara disuatu
tempat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah lamanya penyinaran matahari, kemiringan
sinar matahari, keadaan awan dan keadaan permukaan bumi. Hal ini menyebabkan suhu udara di areal
pengembalaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di dalam kandang. Suhu udara
berkorelasi terhadap kelembapan udara di suatu tempat. Kelembapan udara berarti banyaknya uap air
yang terkandung di dalam udara yang dipengaruhi oleh ketersediaan air, sumber air, suhu udara,
tekanan udara dan angin (Fadholi, 2013). Hal ini terlihat pada penelitian ini dimana terlihat apabila
suhu udara turun maka kelembapan udara akan naik dan sebaliknya apabila suhu udara naik maka
kelembapan udara akan cendrung turun.

(A) (B)

Grafik 1. Suhu (A) dan kelembapan (B) udara di dalam kandang dan di areal pengembalaan

Tabel 1. Suhu dan kelembapan udara di dalam kandang dan di areal pengembalaan
Suhu (˚C) Kelembapan (%)
Waktu
Dalam Luar Dalam Luar
06.00 25,0 24,6 79,2 82,2
08.00 24,4 26,2 85,5 85,0
10.00 28,5 30,7 70,2 62,6
12.00 29,7 32,9 59,1 53,8
14.00 31,0 32,5 57,4 56,4
16.00 30,5 31,6 62,4 62,4

Parameter Fisiologis
Pengujian paramater fisiologis pada penelitian ini yang meliputi evaluasi suhu rektal, laju
respirasi dan denyut jantung kambing boerka yang dikandangkan maupun yang digembalakan (Tabel
2). Tercatat adanya kenaikan suhu rektal baik pada kambing yang dikandangkan maupun yang
digembalakan. Suhu rektal kambing setelah digembalkan mencapai 39,6 ˚C lebih tinggi (P<0,05) bila
dibandingkan kambing yang tidak digembalkan yaitu hanya 39,1 ˚C. Hal ini kemungkinan

45
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

diakibatkan karena pengaruh kondisi lingkungan luar kandang dan aktivitas tubuh. Menurut Rahardja
et al (2011) kambing yang terpapar cahaya matahari secara langsung akan mengalami kenaikan suhu
tubuh. Tingkat cekaman atau beban panas yang disebabkan tingginya suhu dan radiasi matahari pada
kambing yang tidak mendapatkan naungan pelindung dapat meningkatkan suhu rektal (Qisthon dan
Suhariyati, 2012). Dalam penelitian ini kenaikan suhu rektal kambing yang di gembalakan lebih
tinggi, dikarenakan kambing yang digembalakan langsung terpapar sinar matahari dan suhu
lingkungan luar kandang lebih tinggi (Tabel 1). Selain itu konsumsi pakan ( Novianti et al,2013) dan
mencerna pakan (Shibata dan Mukai, 1979) juga akan dapat meningkatkan panas tubuh. Kambing
yang digembalakan memiliki kesempatan lebih besar dalam memilih rumput segar dibandingkan
rumput yang diberikan kepada kambing yang dipelihara di kandang. Kesempatan memperoleh pakan
yang lebih banyak dengan kualitas sesuai keinginan kambing di padang penggembalaan dapat
meningkatkan aktifitas makan. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan panas yang diproduksi dari
dalam tubuh, akibat dari tingginya proses metabolisme sebab semakin tinggi jumlah pakan yang
diberikan,maka energi juga semakin meningkat (Rasyid, et al., 1994),
Keadaan yang sama juga terlihat dari hasil evaluasi laju respirasi pada kedua kelompok
kambing. Perubahan jumlah respirasi kambing yang digembalakan lebih besar (P<0.05) dari kambing
yang digembalakan. Laju respirasi kambing yang digembalakan adalah 41,43 kali/menit sedangkan
yang dikandangkan hanya 32,91 kali/menit. Peningkatan ini kemungkinan berkaitan dengan kenaikan
suhu tubuh kambing yang digembalakan lebih tinggi akibat paparan sinar matahari. Untuk menjaga
stabilitas suhu tubuh ternak akan berusaha melepaskan pada dari tubuhnya dengan cara meningkatkan
laju respirasi (Ramadhan et al., 2017). Tingginya tingkat respirasi kambing yang digembalakan juga
akibat aktivitas fisiologis panting untuk mempercepat pengeluaran panas dalam tubuh. McKinley et
al.,(2009) menyatakan bahwa Panting adalah upaya thermoregulasi tubuh selain berkeringat.Selain
itu menurut Suwignyo et al. (2016) tingkat respirasi kambing dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan
pencernaannya yang berkaitan dengan kebutuhan oksigen Kambing yang digembalakan memiliki
kesempatan mendapat pakan yang disukai lebih banyak dibandingkan dengan kambing yang
dikandangkan, sehingga diduga konsumsi pakannya lebih banyak. Selanjutnya Campbell et al (2003)
berpendapat bahwa tubuh membutuhkan oksigen untuk merombak zat makananan menjadi energy.
Pendapat ini sesuai dengan kondisi kambing yang digembalakan akan membutuhkan energy lebih
banyak untuk bergerak mencari makan.

Tabel 2. Kondisi hematologis kambing yang dikandangkan dan digembalakan


Parameter Pemeliharaan Pra Pasca Selisih
Kandang 39.04±0.22 39.14±0.27 0.09±0.09b
Suhu Rectal(oC)
Gembala 38.68±0.09 39.66±0.15 0.98±0.15a
Kandang 29.94±1.88 32.91±2.20 2.97±1.24b
Respirasi (kali/ menit)
Gembala 29.14±3.20 41.43±4.32 22.29±11.6a

46
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kandang 93.94±8.11 86.40±6.51 -7.54±6.63b


Denyut Jantung (kali/ menit)
Gembala 81.71±6.63 91.89±5.43 10.17±5.43a
Keterangan: huruf superskip (a,b) menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05) antar baris

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui perubahan denyut jantung permenit kambing yang
digembalakan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kambing yang dikandangkan. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan kedua kelompok kambing. Menurut Frandson (1996)
faktor yang mempengaruhi jumlah denyut nadi adalah jumlah pakan dalam saluran pencernaan akibat
kontraksi rumen. Selain itu Penyebabnya adalah kondisi ternak, suhu lingkungan, aktivitas otot dan
stress. Pada kambing yang digembalakan suhu lingkungan diluar kandang lebih tinggi dan
kelembaban lebih rendah. Selain itu aktivitas fisik kambing lebih banyak saat kambing bergerak
mencari pakan. Minimnya naungan dapat juga menyebabkan cekaman panas pada kambing sehingga
menyebabkan stress. Peningkatan suhu lingkungan dapat menimbulkan rangsangan pada
thermoreceptor di dalam hipotalamus, dimana hipotalamus akan melepaskan hormon kortisol yang
akan mempengaruhi terjadinya pelebaran pembuluh darah dan meningkatkan penyebaran darah ke
seluruh tubuh sebagai upaya untuk melepaskan panas Ramadhan et. al. (2017).

Parameter Haematologis
Pada penelitian ini dilakukan pengujian paramater haematologi meliputi pengukuran kadar sel
darah merah, sel darah putih, haemoglobin dan hematokrit. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
kenaikan kadar sel putih merah pada kambing yang dikandangkan maupun pada kambing yang
digembalakan (Tabel 3). Kadar sel darah putih pada kambing yang dikandangkan mengalami
kenaikan sebesar 0,04 x103/µl sedangkan pada kambing yang digembalakan mengalami kenaikan
sebesar 1,7 x103/µl namun jika dibandingkan antara keduanya, kenaikan ini tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P>0,05). Pada pengukuran kadar hematokrit darah pada kambing yang
dikandangkan menunjukkan perubahan yang signifikan (P<0,05) jika dibandingkan dengan kadar
hematokrit darah kambing yang digembalakan. Terlihat adanya penurunan kadar hematokrit darah
kambing-kambing yang dikandangkan sebesar 0,6% sebaliknya kadar hematokrit darah kambing-
kambing yang digembalkan justru mengalami kenaikan sebesar 5,4%.
Kadar sel darah merah yang dievaluasi dari kedua kelompok ternak terlihat terjadi penurunan
kadar sel darah merah pada kambing-kambing yang dikandangkan (-0,92 x106/µl) dan sebaliknya
kadar sel darah merah pada kambing yang digembalakan mengalami kenaikan sebesar 1,16x106/µl.
Jika dibandingkan perubahan yang terjadi pada kadar sel darah merah signifikan berbeda (P<0,05)
antara keduanya. Parameter selanjutnya adalah mengukur kadar haemoglobin dari kedua kelompok
kambing. Hasil pengukuran terlihat bahwa kadar haemoglobin dari kedua kelompok kambing
menunjukkan penurunan sebesar 0,76 g/dl pada kambing yang dikandangkan dan 0,8 g/dl pada
kambing yang digembalakan. Penurunan kadar haemoglobin dari kambing yang dikandangkan tidak

47
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

menunjukkan perbedaan (P>0,05) jika dibandingkan dengan penurunan pada kambing yang
digembalakan.
Saat terpapar panas matahari, suhu tubuh ternak akan meningkat dan akan menyebabkan
perubahan pada perbandingan volume sel darah merah didalam cairan darah (hematokrit). Seperti
yang terlihat didalam penelitian ini kadar hematokrit darah kambing yang digembalakan mengalami
kenaikan sebaliknya pada kambing yang dikandangkan justru mengalami penurunan. Hal ini
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya kaitan antara peningkatan suhu tubuh ternak akibat terpapar
sinar matahari saat digembalakan menyebabkan berkurangnya cairan tubuh. Cairan tubuh yang
berkurang ternyata dapat mempengaruhi turunnya volume plasma darah yang berakibat meningkatnya
konsentrasi hematokrit (El-Nouty et al., 1990).

Tabel 3. Kondisi hematologis kambing yang dikandangkan dan digembalakan


Parameter Tipe Pemeliharaan Sebelum Sesudah Selisih Perubahan
Dikandangkan 14.84±3.31 14.88±3.21 0.04±4.57a
Sel darah putih (x103/µl)
Digembalakan 14.66±3.38 16.36±2.8 1.7±5.26a
Dikandangkan 22.2±1.09 21.6±0.89 -0.6±1.67b
Hematocrit (%)
Digembalakan 15.4±5.13 20.8±1.48 5.4±4.22a
Dikandangkan 15.48±0.76 14.56±0.26 -0.92±0.72b
Sel darah merah (x106/µl)
Digembalakan 12.7±1.44 13.86±1.77 1.16±1.87a
Dikandangkan 10±0.84 9.24±0.47 -0.76±1.22a
Haemoglobin (g/dl)
Digembalakan 9.82±1.24 9.02±0.69 -0.8±1.69a
Keterangan: huruf superskip (a,b) menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05) antar baris

Kenaikan hematokrit ternyata berkaitan pula dengan meningkatnya kadar sel darah merah dan
hemoglobin yang terdapat dalam darah. Sel darah merah atau eritrosit adalah salah satu komponen
kedua terbanyak yang mengisi darah selain plasma darah. Sel darah merah memiliki fungsi
mengedarkan oksigen keseluruh tubuh untuk membantu proses oksidasi pada jaringan-jaringan tubuh.
Sel darah merah dapat mengedarkan oksigen dengan adanya suatu protein yang terikat pada eritrosit
yang mampu mengikat oksigen yaitu haemoglobin (Reid et al., 2004). Selain mampu mengikat
oksigen hemoglobin juga dapat mengikat karbondioksida dan karbonmonoksida (Guyton & Hall,
2006). Kadar sel darah merah dan hemoglobin dalam darah akan meningkat dengan adanya
peningkatan hematokrit darah sebagai akibat dari berkurangnya cairan darah sehingga volume sel
darah merah akan meningkat (Shandya et al., 2015). Sehingga penting untuk menjaga agar ternak
tidak mengalami dehidrasi jika dipelihara dengan sistem pengembalaan.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sistem pengembalaan pada ternak kambing Boerka akan
menyebabkan perbedaan fisiologis maupun kondisi hematologis dengan kambing boerka yang tidak
digembalkan. Perlu memperhatikan ketersediaann air yang cukup untuk mencegah ternak kambing

48
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

yang digembalakan dari kondisi dehidrasi pada saat digembalakan agar dapat menjaga kondisi
tubuhnya.

Daftar Pustaka
Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2003. Biologi Jilid 1 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga
El-Nouty, F.D., Al-Haidary, A.A., Salah, M.S. 1990. Seasonal variations in hematological values of
high and average-yielding Holstein cattle in a semi-arid environment. K. S. U. Agric Sci.
2:172–173.
Fadholi, A. 2013. Pemanfaatan suhu udara dan kelembaban udara dalam persamaan regresi untuk
simulasi prediksi total hujan bulanan di Pangkalpinang. Jurnal CAUCHY. Volume 3 (1): 1-9.
Frandson, R. D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed Ke-4. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia: Elsevier Inc.
McKinley, M.J., Weissenborn, F., Mathai, M.L., 2009. Drinking-induced thermoregulatory panting in
rehydrated sheep: influences of oropharyngeal/esophageal signals, core temperature, and thirst
satietyAm J Physiol Regul Integr Comp Physiol .296:1881–1888.
Mirkena, T., Duguma, G., Haile, A., Tibbo, M., Okeyo, A.M., Wurzinger, M., Solkner, J. 2010.
Genetics of adaptation in domestic farm animals: a review. LivestSci. 132:1–12.
Novianti, J., Purwanto, B.P., Atabani. 2013 .Respon Fisiologis dan Produksi Susu Sapi Perah FH pada
Pemberian Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Pemotongan yang
Berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan .1(3): 138-146
Pamungkas, F.A., Aron, B., Meruwald, D., Erwi, S. 2009. Petunjuk Teknis Potensi beberapa kambing
plasmanutfah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. ISBN: 978-602-
8475-04-4
Qisthon, A. dan Suharyati, S. 2007. Pengaruh naungan terhadap respons termoregulasi dan
produktivitas kambing peranakan ettawa. Majalah Ilmiah Peternakan. 10(1):13-16.
Ramadhan, A.F., Dartosukarno, S., Purnomoadi, A. 2017. Pengaruh Pemberian Vitamin B Komplek
terhadap Pemulihan Fisiologi, Konsumsi Pakan, dan Bobot Badan Kambing Kacang Muda
dan Dewasa Pasca Transportasi. Jurnal Ilmi-Ilmu Peternakan. 13(1).: 23-33
Rahardja, D.P., Toleng, A.L., Lestari, V.S. 2011. Thermoregulation and water balance in fat-tailed
sheep and Kacang goat under sunlight exposure and water restrictionin a hot and dry
area.Animal. 5(10):1587–1593.
Rasyid, Mariyono, A., Affandhy, L., Yusran, M.A. 1994. ―Tampilan Fisiologis SapiMadura yang
Dipekerjakan di Lahan Kering dengan Pakan Berbeda.‖ Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil
Penelitian Peternakan Lahan Kering 4 (Departemen Pertanian. Malang):325–327.
Reid, S.A., Speedy D.B., Thompson J.M., Noakes T.D., Mulligan G., Page T., Campbell R.G., Milne
C. 2004. 2004. Study of Hematological and Biochemical Director Association 5: 395- 400
Shandya S, Singh V.K, Upadhyay R.C, Puri G, Odedara A.B, Patel P.A. 2015. Evaluation of
physiological and biochemical responses in different seasons in Surti buffaloes. Vet. World.
8(6):727–731.
Shibata, M., Mukai, A., 1979. Effect of heat stress and hay concentrate rations on milk production,
heat production and some physiological responses to lactating cows. Jpn. J. Zoot. Sci. 50, 630
– 644.
Suwignyo, B., Wijaya, U.A., Indriani, R., Kurniawati, A., Widiyono, I., Sarmin. 2016 .Konsumsi,
Kecernaan Nutrien, Perubahan Berat Badan dan Status Fisiologis Kambing Bligon Jantan
dengan Pembatasan Pakan. Jurnal Sains Veteriner. 34(2): 210-219

49
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Faktor Koreksi Bobot Prasapih Domba Garut Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tipe
Kelahiran di UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Correction Factor of Garut Sheep Preweaning Weight Based on Sex and Birth Type in
UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Ayu Kamila Hayaa, Asep Anang


Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang
45363
a)
Email: ayukamilaa@gmail.com

Abstrak
Performa prasapih dapat dipengaruhi oleh efek tetap pada domba, seperti jenis kelamin dan
tipe kelahiran, sehingga perlu pengkajian faktor koreksi perlu dilibatkan untuk melakukan evaluasi
genetik Domba Garut dengan adil. Penelitian dilaksanakan di Unit Pelayanan Teknis Dasar Balai
Pengembangan Perbibitan Ternak Domba dan Kambing (UPTD-BPPTDK) Margawati Garut pada
Tanggal 22 Agustus – 18 September 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan
faktor koreksi bobot prasapih jantan dan betina berdasarkan tipe kelahiran. Sifat-sifat yang telah
diamati, yaitu bobot lahir, bobot 30, 60, 90 hari dan bobot sapih (100 hari) Domba Garut. Sifat-sifat
tersebut dianalisis dari 6.349 ekor ternak terdiri atas 3.214 ekor jantan dan 3.135 ekor betina dari
Tahun 2012-2019 menggunakan Microsoft excel dan persamaan regresi Vapor pressure model
menggunakan curve expert. Berdasarkan hasil penelitian, persamaan regresi faktor koreksi bobot
badan jantan ke tipe kelahiran tunggal, yaitu (bobot lahir),
(bobot 30 hari), (bobot 60
hari), (bobot 90 hari), (bobot
sapih), dan persamaan regresi faktor koreksi bobot badan jantan ke tipe kelahiran ganda, yaitu
(bobot lahir), (bobot 30
hari), ,(bobot 60 hari),
(bobot 90 hari), (bobot sapih),
sedangkan persamaan regresi faktor koreksi bobot badan betina ke tipe kelahiran tunggal, yaitu
(bobot lahir), (bobot 30 hari),
(bobot 60 hari), (bobot 90
hari), (bobot sapih), dan persamaan regresi faktor koreksi bobot
badan betina ke tipe kelahiran ganda, yaitu (bobot lahir),
(bobot 30 hari), (bobot 60 hari),
(bobot 90 hari), (bobot sapih).
Tingkat akurasi persamaan-persamaan tersebut sangat tinggi, yaitu sebesar 0,9926, sehingga dapat
dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di balai Margawati.

Kata Kunci: Faktor Koreksi, Bobot Lahir, Bobot 30, 60, 90 Hari, Bobot Sapih, Domba Garut

Abstract
Preweaning weight performances can be affected by fixed effect on sheep, such as sex and
birth type, then the study of correction factor is important to be involved to do genetic evaluation on
Garut sheep fairly. The study was held on Unit Pelayanan Teknis Dasar Balai Pengembangan
Perbibitan Ternak Domba dan Kambing (UPTD-BPPTDK) Margawati Garut in August 22 nd –
September 18th 2019. This study was addressed to study the correction factor equation of preweaning

50
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

weight on rams and ewes based on the birth type. The traits that has been observed is birth weight,
30, 60, 90 days weight, weaning weight (100 days) of Garut Sheep. The following traits were analyzed
on 6.349 heads, from 3.214 rams and 3.135 ewes in 2012-2019 by Microsoft excel and Vapor
pressure model regression equation by Curve Expert. Based on the results, the regression equation of
the rams body weight correction factor to single birth type is (birth
weight), (30D weight),
(60D weight), (90D weight),
(weaning weight), and the regression equation of the rams body weight
correction factor to twin is (birth
weight), (30D weight),
,(60D weight), (90D
weight), (weaning weight), then the regression equation of the
ewes body weight correction factor to single birth type is (birth
weight), (30D weight),
(60D weight), (90D weight),
(weaning weight), and the regression equation of the ewes body
weight correction factor to twin is (birth weight),
(30D weight), (60D weight),
(90D weight), (weaning
weight). The accuracy level of those equations is very high, which is 0.9926, then the regression
equations can be used fot estimating the correction factor of Garut Sheep body weight in Margawati.
Key Words: Birth Weight, 30, 60, 90 Days Weight, Weaning Weight, Garut Sheep

Pendahuluan
Domba Garut merupakan rumpun domba yang dibudidayakan di Indonesia khususnya Jawa
Barat. Domba Garut juga merupakan sumber daya genetik ternak Jawa Barat yang harus
dikembangkan, karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, sehingga
tidak memerlukan sistem pemeliharaan yang intensif. Domba Garut memiliki ciri khas yaitu
kombinasi antara kuping rumpung (lebih kecil dari 4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm) dengan ekor
ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong (Heriyadi, 2001), dan juga memiliki profil muka cembung,
serta bulu pada bagian di seputar lehernya yang dibiarkan tumbuh memanjang (Heriyadi, 2011).
Domba Garut dijadikan sebagai ternak fancy atau juga dikenal dengan domba tangkas, dan ternak
penghasil daging.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah populasi domba tertinggi di Indonesia Tahun
2014 – 2018, yaitu 10.612.726, 11.575.359, 10.038.828, 11.425.574, dan 11.608.559 ekor.
Berdasarkan hal tersebut, tingkat konsumsi daging domba tertinggi Tahun 2014 – 2018 juga berada di
provinsi Jawa Barat, yaitu 360.929, 370.237, 491.482, 411.723, dan 382.288 ekor (Kementerian
Pertanian, 2018). Hal ini menjadi alasan untuk dilakukannya pengembangan sumber daya genetik
ternak Jawa Barat, yakni Domba Garut guna memenuhi permintaan daging domba tersebut.
Pengembangan domba tentunya bergantung atas adanya ketersediaan bibit domba jantan dan betina

51
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

yang unggul. Cara mendapatkan ketersediaan bibit-bibit unggul tersebut tidak terlepas dari kegiatan
pemuliaan yaitu seleksi berdasarkan catatan performa domba pada suatu populasi.
Pengaruh efek tetap (fixed effect) pada domba, seperti jenis kelamin dan tipe kelahiran tentu
saja mempengaruhi performa yang dihasilkan. Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir,
pertambahan bobot prasapih, dan bobot sapih (Faid et al., 2016; Boujenane dan Diallo, 2017). Bobot
lahir domba jantan lebih tinggi dibandingkan betina, karena domba betina memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi terhadap hormon insulin dibandingkan jantan, sehingga domba betina membutuhkan
insulin yang lebih sedikit (Carr et al., 2015). Hormon insulin merupakan hormon yang
bertanggungjawab terhadap transpor glukosa dan asam amino ke dalam sel sebagai bahan baku
sintesis protein (daging), maka semakin tinggi bahan baku sintesis protein, maka semakin tinggi pula
pertambahan bobot badan ternak (Muktiani et al., 2013). Bobot lahir yang tinggi juga memiliki
kemampuan hidup yang lebih tinggi pula, pertumbuhan yang lebih cepat, sehingga juga akan
menghasilkan bobot prasapih dan bobot sapih yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bobot
prasapih dan bobot sapih domba jantan juga akan lebih tinggi dibandingkan betina.
Tidak hanya jenis kelamin, tipe kelahiran juga memiliki pengaruh terhadap bobot lahir,
pertumbuhan domba sebelum sapih, dan bobot sapih. Semakin tinggi tipe kelahiran, maka semakin
rendah pula rataan bobot badan domba yang dihasilkan. Tipe kelahiran tunggal lebih besar bila
dibandingkan tipe kelahiran kembar, karena tidak ada saingan pada anak tunggal dalam menyerap
nutrisi saat masa prenatal dan tidak ada saingan dalam mengonsumsi air susu induk, sehingga anak
domba yang dilahirkan tunggal dapat mengonsumsi air susu sesuai kebutuhannya (Boujenane dan
Diallo, 2017).
Kualitas genetik domba perlu dievaluasi dengan cara mengkaji faktor-faktor atau efek tetap
yang mempengaruhi keragaman bobot badan domba yaitu jenis kelamin dan tipe kelahiran. Jika efek
tetap tersebut tidak diperhatikan dan dilibatkan pada program pemuliaan, maka hasil analisis
parameter genetiknya akan bias, dan konsekuensinya yaitu seleksi yang dilakukan tidak tepat. Hal ini
menyebabkan perlu dilakukan pengkajian faktor koreksi untuk menstandarkan data terhadap suatu
patokan tertentu. Beberapa negara lain telah melakukan pengkajian dari faktor koreksi, namun faktor
koreksi yang dihasilkan belum tentu dapat digunakan di Indonesia, karena terdapat perbedaan keadaan
lingkungannya. Menurut Anang et al. (2013), pengembangkan faktor koreksi juga perlu dilakukan
karena meskipun sudah dilakukan tatalaksana budidaya ternak secara baik, namun secara alamiah
masih terjadi keragaman pada sifat-sifat domba, sehingga menimbulkan keragaman performanya. Hal
tersebut yang menjadi alasan perlunya dilakukan pengkajian faktor koreksi untuk Domba Garut ini
sendiri.
Pengetahuan tentang faktor koreksi bobot prasapih tipe kelahiran dan jenis kelamin terhadap
bobot badan domba pada umur yang berbeda-beda penting dilibatkan dalam proses seleksi untuk
memperoleh bibit domba unggul dalam rangka pengembangan Domba Garut. Berdasarkan hal
tersebut, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor koreksi bobot prasapih berdasarkan jenis

52
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kelamin dan tipe kelahiran terhadap bobot prasapih, yaitu bobot lahir, bobot 30, 60, 90 hari dan bobot
sapih (100 hari) Domba Garut di UPTD-BPPTDK Margawati Garut, dan dengan menggunakan sifat-
sifat tersebut sebagai kriteria seleksi, seleksi dapat dilakukan sedini mungkin, sehingga balai terhindar
dari kerugian karena memelihara ternak yang kurang produktif.

Materi dan Metode


Penelitian ini dilaksanakan di UPTD-BPPTDK Margawati Garut pada bulan Juli-Agustus
2019. Ternak yang menjadi objek pengamatan pada penelitian ini yaitu Domba Garut. Jumlah ternak
yang diamati yaitu 6.349 ekor yang terdiri dari 3.214 ekor jantan dan 3.135 ekor betina Tahun 2012-
2019. Hal tersebut disebabkan sistem rekording balai yang bersangkutan mulai disempurnakan untuk
kegiatan seleksi dimulai dari Tahun 2012.
Penelitian dilakukan dengan metode sensus. Variabel yang diamati, yaitu bobot lahir, bobot
30, 60, 90 hari, dan bobot sapih (100 hari). Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin dan tipe kelahiran sebagai efek tetapnya. Data yang berasal dari hasil rekording diambil,
setelah itu data ditabulasi dan dianalisis menggunakan Pivot Table dengan software Microsoft Excel.
Faktor koreksi dihitung dengan cara membagi rataan bobot badan domba sesuai jenis kelamin dengan
tipe kelahiran yang berbeda-beda. Kemudian, hasil perhitungan faktor koreksi dibuat ke dalam suatu
persamaan regresi dengan menggunakan software Curve Expert. Faktor koreksi dan persamaan
regresi dianalisis terkoreksi tipe kelahiran tunggal dan tipe kelahiran ganda atau kembar dua.
Persamaan regresi yang digunakan yaitu vapor pressure model dengan persamaan sebagai berikut.

Vapor pressure model:


Keterangan:
Y : Faktor koreksi
a,b,c : Koefisien persamaan Vapor pressure model
x : Tipe Kelahiran
e : Bilangan eksponen 2,718

Kemudian, dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R 2), untuk mengetahui nilai


kebenarannya. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1, bila R2 mendekati 1, maka model yang
digunakan mendekati kebenaran. Koefisien determinasi R 2 dihitung dengan rumus sebagai berikut.
KD = (r)2 x 100%
Keterangan:
KD : Koefisien Determinasi
r : Koefisien Korelasi

53
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hasil dan Pembahasan


Deskripsi Data
Rataan bobot lahir, bobot 30, 60, 90, hari, dan bobot sapih 3.214 ekor Domba Garut jantan
disajikan pada Tabel 1. Rataan bobot lahir pada Tabel 1 pada tipe kelahiran tunggal, kembar dua,
kembar tiga, dan kembar empat yaitu sebesar 3,02; 2,31; 1,82; 1,58 kg. Hasil tersebut tidak berbeda
jauh dengan bobot lahir Domba Garut jantan menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 2,8 kg. Adanya
perbedaan nilai bobot lahir tersebut disebabkan oleh banyak faktor, yaitu kondisi intra-uterin,
lingkungan induk, nutrisi induk saat bunting, Body Condition Score (BCS) induk, lama kebuntingan,
dan umur induk (Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Tabel 1. Rataan Performa Prasapih Domba Garut Jantan.


Bobot lahir
Bobot 30 Bobot 60 Bobot 90
Tipe Kelahiran Bobot sapih (100 hari)
hari hari hari
………………………………….kg…………..…………………………….
Tunggal 3,02 6,61 9,24 11,66 12,92
Kembar 2 2,31 5,20 6,95 8,95 9,82
Kembar 3 1,82 4,72 6,33 8,24 9,11
Kembar 4 1,58 4,61 6,11 7,28 8,13

Rataan bobot 30, 60, 90 hari yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan hasil yang tidak
berbeda jauh dengan hasil penelitian Anang et al. (2013) di balai yang sama, menurut hasil penelitian
tersebut, rataan bobot 30,60,90 hari Domba Garut jantan, yaitu sebesar 6,44; 8,46; 10,29 kg. Hasil
tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan pada Tabel 1 yaitu kisaran 4,61-6,61 kg (bobot
30 hari), 6,11-9,24 kg (bobot 60 hari), dan 7,28-11,66 kg (bobot 90 hari). Adanya perbedaan tersebut
disebabkan karena perbedaan manajemen pemeliharaan, pakan, dan adanya fixed effect pada domba,
yaitu jenis kelamin dan tipe kelahiran. Rataan bobot sapih pada Tabel 1 pada tipe kelahiran tunggal,
kembar dua, kembar tiga, dan kembar empat, yaitu sebesar 12,92; 9,82; 9,11; 8,13 kg. Hasil tersebut
tidak berbeda jauh dengan bobot sapih Domba Garut jantan menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar
11,5 kg, dan dengan hasil penelitian Sumadi et al. (2017) di balai yang sama yaitu 14,63 kg. Namun,
adanya perbedaan tersebut disebabkan karena banyak faktor, seperti kondisi pakan, BCS induk,
paritas, dan tipe kelahiran (Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).
Pengamatan yang baik tidak hanya dilakukan pada Domba Garut jantan saja, namun Domba
Garut betina juga harus diamati, karena menurut Anang et al. (2013), hal ini perlu dilakukan karena
performa anak merupakan kombinasi yang sebanding antara gen pejantan dan induknya. Rataan bobot
lahir, bobot 30, 60, 90, hari, dan bobot sapih 3.135 ekor Domba Garut betina disajikan pada Tabel 2.
Rataan bobot lahir pada Tabel 2 pada tipe kelahiran tunggal, kembar dua, kembar tiga, dan kembar
empat yaitu sebesar 2,89; 2,18; 1,76; 1,46 kg. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan bobot lahir

54
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Domba Garut betina menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 2,4 kg. Adanya perbedaan nilai bobot
lahir tersebut disebabkan oleh banyak faktor yaitu kondisi intra-uterin (lingkungan fetus), lingkungan
induk, jenis kelamin anak, tipe kelahiran, nutrisi induk saat bunting, Body Condition Score (BCS)
induk, lama kebuntingan, dan umur induk (Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).
Rataan bobot 30, 60, 90 hari yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan hasil yang tidak
berbeda jauh dengan hasil penelitian Anang et al. (2013) di balai yang sama, menurut hasil penelitian
tersebut, rataan bobot 30,60,90 hari Domba Garut betina, yaitu sebesar 6,15; 8,00; 9,58 kg. Hasil
tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan pada Tabel 2 yaitu kisaran 4,46-6,37 kg (bobot
30 hari), 5,71-8,72 kg (bobot 60 hari), dan 7,05-10,93 kg (bobot 90 hari). Adanya perbedaan tersebut
disebabkan perbedaan manajemen pemeliharaan, pakan, dan adanya fixed effect pada domba, seperti
jenis kelamin dan tipe kelahiran. Rataan bobot sapih pada Tabel 2 pada tipe kelahiran tunggal, kembar
dua, tiga, dan empat, yaitu sebesar 12,10; 9,17; 8,73; 7,94 kg. Hasil tersebut tidak berbeda jauh
dengan bobot sapih Domba Garut betina menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 9,1 kg, dan dengan
hasil penelitian Sumadi et al. (2017) di balai yang sama yaitu 10,60 kg. Namun, adanya perbedaan
tersebut disebabkan karena banyak faktor, seperti kondisi pakan, BCS induk, paritas, dan tipe
kelahiran (Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Tabel 2. Rataan Performa Prasapih Domba Garut Betina


Bobot lahir
Bobot 30 Bobot 60 Bobot 90
Tipe Kelahiran Bobot sapih (100 hari)
hari hari hari
……………………………….kg…………………………………….
Tunggal 2,89 6,37 8,72 10,93 12,10
Kembar 2 2,18 4,98 6,60 8,43 9,17
Kembar 3 1,76 4,52 6,16 7,94 8,73
Kembar 4 1,46 4,46 5,71 7,05 7,94

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 dan 2, bobot badan prasapih Domba Garut jantan dan
betina pada tipe kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan tipe kelahiran lainnya. Semakin besar tipe
kelahiran anak, maka semakin kecil besar bobot badannya. Hal ini disebabkan karena ada saingan
pada anak tunggal dalam menyerap nutrisi saat masa prenatal dan tidak ada saingan dalam
mengonsumsi air susu induk, sehingga anak domba yang dilahirkan tunggal dapat mengonsumsi air
susu sesuai kebutuhannya (Boujenane dan Diallo, 2017).

Faktor Koreksi
Faktor koreksi dihitung dengan cara membagi rata-rata bobot badan domba sesuai jenis
kelamin dan tipe kelahiran yang berbeda-beda. Hasil perhitungan faktor koreksi berdasarkan bobot
badan Domba Garut jantan ke tipe kelahiran tunggal dan ganda disajikan pada Tabel 3 dan 4. Setelah
didapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, kemudian dibuat ke dalam persamaan regresi Vapor pressure
model.

55
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 3. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Jantan ke Tipe Kelahiran Tunggal
Bobot 60
No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 90 hari Bobot Sapih
hari
1 Tunggal 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
2 Kembar 2 1,31 1,27 1,33 1,30 1,32
3 Kembar 3 1,66 1,40 1,46 1,42 1,42
4 Kembar 4 1,91 1,43 1,51 1,60 1,59

Tabel 4. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Jantan ke Tipe Kelahiran Ganda
Bobot 60
No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 90 hari Bobot Sapih
hari
1 Tunggal 0,76 0,79 0,75 0,77 0,76
2 Kembar 2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
3 Kembar 3 1,27 1,10 1,10 1,09 1,08
4 Kembar 4 1,46 1,13 1,14 1,23 1,21

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut jantan terkoreksi tipe kelahiran tunggal menggunakan
persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)
1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut jantan terkoreksi tipe kelahiran ganda menggunakan
persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)
1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

56
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Hasil perhitungan faktor koreksi berdasarkan bobot badan Domba Garut betina ke tipe kelahiran
tunggal dan ganda disajikan pada Tabel 5 dan 6. Serupa dengan jantan, setelah didapatkan nilai-nilai
koefisien tersebut, kemudian dibuat ke dalam persamaan regresi Vapor pressure model.

Tabel 5. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Betina ke Tipe Kelahiran Tunggal
Bobot 60
No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 90 hari Bobot Sapih
hari
1 Tunggal 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
2 Kembar 2 1,33 1,28 1,32 1,30 1,32
3 Kembar 3 1,64 1,41 1,42 1,38 1,39
4 Kembar 4 1,98 1,43 1,53 1,55 1,52

Tabel 6. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Betina ke Tipe Kelahiran Ganda
Bobot 60
No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 90 hari Bobot Sapih
hari
1 Tunggal 0,75 0,78 0,76 0,77 0,76
2 Kembar 2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
3 Kembar 3 1,24 1,10 1,07 1,06 1,05
4 Kembar 4 1,49 1,12 1,16 1,20 1,15

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut betina terkoreksi tipe kelahiran tunggal menggunakan
persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)
1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

57
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut betina terkoreksi tipe kelahiran ganda menggunakan
persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)
1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Nilai faktor koreksi yang dapat digunakan untuk menghitung bobot dugaan, dapat dilihat pada
Tabel 3,4,5, dan 6. Bobot badan Domba Garut jantan dan betina dikoreksikan ke tipe kelahiran
tunggal dan tipe kelahiran ganda (kembar dua). Hal ini juga didukung dengan pendapat
Hardjoesoebroto (1994), standarisasi diperlukan untuk membandingkan performa domba pada tipe
kelahiran yang berbeda-beda. Domba Garut dengan tipe kelahiran tunggal dan ganda (kembar dua)
cenderung bobotnya lebih besar dibandingkan domba tipe kelahiran kembar tiga dan empat. Jika
dibandingkan potensi genetiknya, sudah pasti domba tipe kelahiran kembar tiga dan empat akan lebih
rendah potensi genetiknya dibandingkan domba tipe kelahiran tunggal dan kembar dua, namun jika
tipe kelahirannya disetarakan, hasilnya belum tentu seperti itu. Kemudian, sudah pasti semakin tinggi
tipe kelahiran, maka semakin besar pula nilai faktor koreksinya, baik dikoreksikan ke tunggal maupun
ganda. Berdasarkan hal-hal tersebut pembuatan nilai faktor koreksi bobot badan Domba Garut di
UPTD-BPPTDK Margawati dapat menghilangkan perbedaan yang ditimbulkan sebagai akibat adanya
pengaruh jenis kelamin dan tipe kelahiran.
Setelah didapatkan nilai faktor koreksinya, dapat dilakukan bobot badan domba terkoreksi
untuk jenis kelamin jantan dan betina, yang dapat diduga dengan cara mengalikan bobot badan nyata
dengan nilai faktor koreksinya. Hasil perhitungan faktor koreksi yang sudah dilakukan, dimasukkan
ke dalam rumus persamaan regresi Vapor pressure model, untuk mengetahui faktor koreksi yang tidak
diketahui yaitu misalkan tipe kelahiran 5 (lima), jika ingin mengetahui faktor koreksi untuk tipe

58
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kelahiran 5 (lima), hanya dengan memasukkan tipe kelahiran yang dicari pada rumus persamaan
regresi tersebut, maka hasil nilai faktor koreksinya akan didapatkan.

Koefisien Determinasi (R2)


Koefisien determinasi dapat dihitung dengan cara mengkuadratkan nilai koefisien korelasi
hasil dari menghitung persamaan regresi Vapor pressure model dan mengalikannya dengan 100%.
Nilai R2 ini digunakan untuk mengetahui keakuratan data dalam menggunakan persamaan regresi
Vapor pressure model. Nilai R2 berkisar antara 0-1,00 (Sugiyono, 2007). Semakin besar nilai R 2,
maka persamaan Vapor pressure model yang telah dibuat semakin akurat. Nilai R 2 yang telah dihitung
menggunakan rumus dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Koefisien Determinasi Faktor Koreksi

Bobot 30 Bobot 60 Bobot 90


Jenis Kelamin/Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot Sapih
Hari hari hari
Jantan Tunggal 0,9979 0,9966 0,9997 0,9906 0,9870
Jantan Kembar 2 0,9977 0,9978 0,9997 0,9897 0,9883
Betina Tunggal 0,9997 0,9956 0,9954 0,9807 0,9853
Betina Kembar 2 0,9998 0,9968 0,9929 0,9776 0,9835

Hasil rata-rata keseluruhan R2 yang didapatkan dari hasil perhitungan yaitu sebesar 0,9926,
dapat disimpulkan bahwa tingkat akurasi dalam menggunakan persamaan regresi Vapor pressure
model termasuk tinggi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Anang dan Indrijani (2012), bahwa
Vapor pressure model sangat baik digunakan sebagai penduga, karena memiliki simpangan yang kecil
dan ketepatan pendugaan yang hampir sempurna. Berdasarkan hal tersebut, model persamaan regresi
baik untuk dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di
UPTD-BPPTDK Margawati dan analisis parameter genetik untuk kegiatan seleksi pun akan berjalan
lebih efektif

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Domba Garut di UPTD-BPPTDK Margawati Garut berbasis data
rekording Tahun 2012-2019, rataan keseluruhan koefisien determinasi keseluruhan yang didapatkan
sebesar 0,9926, maka tingkat akurasi menggunakan persamaan regresi tersebut tinggi, sehingga dapat
dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di balai Margawati.
Penggunaan faktor koreksi yang baik dan benar akan memberikan manfaat dalam meminimalisir
adanya keragaman performa yang disebabkan karena efek non-genetik, maka evaluasi genetik dan
seleksi yang dilakukan di balai akan lebih mencerminkan kemampuan genetik Domba Garut.

59
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ucapan Terimakasih
Penulis berterimakasih kepada Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat
serta Kepala dan Staf UPTD-BPPTDK Margawati yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan
penelitian di balai Margawati, dan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian dan analisis,
sehingga artikel ini dapat diselesaikan.

Daftar Pustaka
Anang A., H. Indrijani. 2012. Faktor Koreksi Lama Laktasi Produksi Susu 305 Hari pada Sapi
Frisian Holstein di BBPTU SP Baturaden. Proceeding Seminar Nasional Peternakan
Berkelanjutan ke-3. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang. Hal 39-47.
Anang A., H. Indrijani, D. Rahmat, dan Dudi. 2013. Uji Performance Domba Garut di UPTD BPPTD
Margawati Garut Jawa Barat. Laporan Penelitian. Balai Pengembangan Perbibitan Ternak
Domba Jawa Barat- Fakultas Peternakan Univeristas Padjadjaran. Bandung.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Bibit Domba Garut (SNI:
7532:2009). Jakarta.
Boujenane, I. dan I.T. Diallo. 2017. Estimates of Genetic Parameters and Genetic Trends for Pre-
Weaning Growth Traits in Sardi Sheep. Small Ruminant Research. 146:61-68.
https://doi.org/10.1016/j.smallrumres.2016.12.002
Carr D.J., J.S. Milne, R.P. Aitken, C.L. Adam, dan J.M. Wallace. 2015. Hepatice IGF1 DNA
Methylation is Influenced by Gender but Not by Intrauterine Growth Restriction in The
Young Lamb. Journal of Development Origins of Health and Disease 6(6): 558-572.
https://doi.org/10.1017/S2040174415001415
Faid-Allah E., E. Ghoneim, dan A.H.M. Ibrahim. 2016. Estimated Variance Components and
Breeding Values for Pre-Weaning Growth Criteria in Romney Sheep. JITV. 21(2): 73-82.
Hardjoesoebroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta. Hal. 6-7, 28-30, 210-213.
Heriyadi, D., A. Sarwestri, dan D.C Budinuryanto. 2001. Ngawangkong Peternak Domba Tangkas.
Laporan Penelitian. Kerjasama antara Fakultas Peternakan, IKA Fakultas Peternakan, dan
Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Heriyadi, D. 2011. Pernak Pernik Senarai Domba Garut. Unpad Press. Bandung. Hal. 1-8, 188.
Ilham, F. 2015. Bobot Lahir, Bobot 90 hari, dan Bobot 180 Hari Domba Lokal yang Dipelihara di
Padang Penggembalaan. Jurnal Ilmiah Agrosains Tropis.
Istiqomah L., C. Sumantri, dan T.R. Wiradarya. 2006. Performa dan Evaluasi Genetik Bobot Lahir
dan Bobot Sapih Domba Garut di Peternakan Ternak Domba Sehat Bogor. J. Indon. Trop.
Anim. Agric. 31(4): 232-242.
Kementrian Pertanian. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sumadi, T. Hartatik, D. Maharani, A. Fathoni, A. Nurrudin, dan D.N.H. Hariyono. 2017. The
Estimation of Breeding Value of Rams at Technical Implementation Unit Development
Center for Livestock Breeding in Margawati Garut, West Java. Proceeding of The 1st
International Conference on Tropical Agriculture. 445-452. https://doi.org/10.1007/978-3-
319-60363-6_47
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal. 231.
Thomas R.A.C., R.E Hickson, S.T. Morris, P.J. Back, A.L. Ridler, K.J. Stafford, dan P.R. Kenyon.
2015. Effects of Body Condition Score and Nutrition in Lactation on Twin-Bearing Ewe and
Lamb Perfomance to Weaning. New Zealand of Agricultural Research 58(2): 156-169.
https://doi.org/10.1080/00288233.2014.987401.

60
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam


(Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi Konversi
Heksosa pada Sapi Perah Secara In vitro

The Effects of Sauropus androgynous, Nigella sativa and S-proteinate Supplementation on


Partially Volatile Fatty Acid Concetration, Methane and Hexose Conversion Efficiency

Heny Sintya Nengsih1), Anis Muktiani2), Dian Wahyu Harjanti3)*


1
Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
2
Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
3
Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
*Email: dianharjanti@undip.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan
hitam dan sulfur proteinat terhadap konsentrasi volatile fatty acid (VFA) parsial dan efisiensi konversi
heksosa pada sapi perah secara in vitro. Materi penelitian adalah cairan rumen sapi perah, tepung daun
katuk, tepung jintan hitam, dan S-proteinat. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan
acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah T0: ransum
kontrol, T1: ransum kontrol + herbal (daun katuk 0,5% BK pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan), T2:
ransum kontrol + ( S-proteinat 0,25% BK pakan) dan T3: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK
pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan + S-proteinat 0,25% BK pakan). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata konsentrasi VFA parsial yaitu 24,33 mMol asetat, 5,57 mMol propionat dan 4 mMol
butirat. Rata-rata produksi metan yaitu 12,84 mMol. Rata-rata efisiensi konversi heksosa yaitu
72,08%. Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung herbal daun katuk, jintan hitam dan
S-proteinat serta kombinasi keduanya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA
parsial, produksi gas metan dan efisiensi konversi heksosa menjadi VFA di dalam rumen.

Kata kunci: daun katuk, jintan hitam, s-proteinat, in vitro

Abstract
This study aimed to determine the effect of Sauropus androgynous leaves, Nigella sativa seeds
and sulfur proteinate supplementation on the concentration of partially volatile fatty acids (VFA) and
the efficiency of hexose conversion in vitro. The material used were dairy rumen fluids, Sauropus
androgynus (SA), Nigella sativa (NS) and S-proteinate. The study used was Completely Randomized
Design (CRD) for 4 treatments and 4 replications. The treatments were T0: control, T1: control + (SA
0.5% dry matter + NS 0.5% dry matter), T2: control + (S-proteinate 0.25% dry matter) dan T3:
control + (SA 0.5% dry matter + NS 0.5% dry matter + S-proteinate 0.25% dry matter). The results
showed that SA, NS and S-proteinate supplementation did not affect the partial VFA concentration
and hexose conversion efficiency (P> 0.05). The VFA concentration was 24.33 mMol acetate, 5.57
mMol propionate and 4 mMol butyrate. The methane production was 12.84 mMol. The efficiency of
hexose conversion was 72.28%. The conclusion of this study is Sauropus androgynous leaves, Nigella
sativa and S-proteinate supplementation did not influence the partial VFA concentration and hexose
conversion efficiency.

Keywords: sauropus androgynous, nigella sativa, s-proteinate, in vitro

Pendahuluan
Sapi perah merupakan ternak dengan produksi susu yang tinggi sebagai produk utamanya.
Rata–rata produksi susu sapi perah di Indonesia yaitu 6 – 8 lt/hari. Produksi susu sapi perah dapat

61
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah dan kualitas pakan yang diberikan (Pasaribu et.al., 2015).
Tingkat kecernaan pakan berpengaruh pada produktivitas ternak, pakan dengan kecernaan tinggi
membuat produktivitas ternak meningkat. Faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan dalam
rumen adalah aktivitas mikroba yaitu bakteri, protozoa dan fungi (Hapsari et.al., 2018). Pemberian
suplemen pakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan.
Daun katuk (Sauropus androgynous) merupakan salah satu tanaman obat yang berfungsi
untuk meningkatkan produksi susu baik pada manusia ataupun hewan mamalia. Dalam uji in vitro,
suplementasi daun katuk dapat meningkatkan konsentrasi VFA cairan rumen (Marwah et.al., 2010).
Daun katuk mengandung senyawa kimia berupa tanin, saponin, alkaloid, polifenol, glikosida dan
flavonoid (Susanti et.al., 2014). Senyawa tannin dapat menurunkan produksi gas metan dikarenakan
populasi protozoa dan bakteri metanogen menurun (Tan et.al., 2011).
Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi untuk
digunakan sebagai additive pakan (Ridwan et.al., 2014). Biji jintan hitam mengandung senyawa
thymoquinone yang memiliki fungsi imunomodulator, antioksidan, antiparasit dan antbakterial
(Chaieb et.al., 2011). Suplementasi herbal berbasis jintan hitam dalam pakan sapi perah dapat
meningkatkan efisiensi pakan, mengurangi efek stress lingkungan, meningkatkan produktifitas dan
kesehatan ternak (Bhatt et.al., 2009).
Sulfur proteinat merupakan mineral sulfur organik yang dibuat untuk memudahkan kecernaan
mineral dalam rumen. Fungsi utama sulfur adalah untuk membantu pembentukan asam amino dan
sistesis protein mikroba yaitu metionin, sistin dan sistein (Widodo et.al., 2017). Mineral dalam bentuk
mineral organik lebih baik karena dapat meningkatkan kecernaan pakan dan mengurangi resiko
keracunan pada ternak terhadap penambahan mineral (Kurniawan et.al., 2014). Mineral proteinat
adalah salah satu bentuk mineral organik yang biasa digunakan. Pembuatan mineral proteinat dengan
cara menambahkan garam mineral terlarut dengan asam amino atau hidrolisat protein (Supriyati et.al.,
2000).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan suplemen tepung daun
katuk, jintan hitam dan sulfur proteinat terhadap fermentabilitas pakan dalam rumen sapi perah secara
in vitro. Manfaat penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai pengaruh perlakuan
terhadap VFA parsial, produksi metan dan efisiensi konversi heksosa pada sapi perah secara in vitro
dan sebagai dasar informasi pada penelitian selanjutnya secara in vivo.

Materi dan Metode


Penelitian ini dilaksanakan pada Februari - Juni 2019 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Materi yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tepung daun katuk, jintan hitam, sulfur proteinat, cairan
rumen sapi perah sebagai donor mikrobia dan Mc Doughall. Alat yang digunakan dalam penelitian

62
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

meliputi grinder disk mill, blender, pH meter elektronik, timbangan analitik, tabung fermentor, water
bath, penutup karet, sentrifuge, gelas ukur, spluit.
Daun katuk kering di grinder menggunakan grinder tipe disk mill dan jintan hitam digiling
menggunakan blender sampai menjadi tepung. Sulfur proteinat yang digunakan mengandung 21%
sulfur. Rumput gajah, konsentrat, tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur proteinat dianalisis
proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bahan pakan.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan


Analisis Proksimat (%)
Bahan Pakan
KA BK Abu PK LK SK BETN
Rumput Gajah 84,24 16,66 14,51 6,94 0,13 42,44 35,98
Konsentrat 17,47 82,53 5,32 15,74 4,65 4,65 48,09
T. Daun Katuk 14,43 85,57 10,20 24,59 2,76 29,36 33,09
Jintan Hitam 7,82 92,18 3,84 20,39 28,82 22,92 24,03
Sulfur Proteinat 11,32 88,68 58,10 14,36 0,41 9,06 18,07

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan, meliputi:
T0 = ransum kontrol
T1 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung jintan
hitam 0,5 % BK pakan).
T2 = ransum kontrol + Sulfur proteinat 0,25 % BK pakan.
T3 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung jintan
hitam 0,5 % BK pakan) dan sulfur proteinat 0,25 % BK pakan

Pelaksaan penelitian melalui beberapa tahap yaitu:


1. Metode in vitro, dilakukan sesuai dengan metode Tilley dan Terry (1963) yaitu bath culture.
metode ini diawali dengan pengambilan cairan rumen sapi perah yang dilakukan di RPH
Penggaron, Semarang. Cairan rumen disimpan dalam termos yang suhunya 39 – 40 oC. Di
laboratorium, cairan rumen diukur suhu dan pH-nya kemudian cairan rumen dimasukkan ke
dalam tabung fermentor yang sudah berisi Mc Doughall dan pakan perlakuan. Tabung
fermentor diisi dengan CO2 kemudian ditutup rapat menggunakan penutup karet. Tabung
fermentor dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 39 oC dan diinkubasi selama 3 jam.
Fermentasi dihentikan dengan cara merendam tabung fermentor dalam air es selama 15 menit.
Sampel kemudian disentrifuse selama 10 menit. Sampel yang mengendap dibuang dan
supernatan diambil sebanyak 5 ml.
2. Konsentrasi Asetat, Propionat dan Butirat. Pengukuran konsentrasi asam asetat, propionat dan
butirat dilakukan dengan alat gas chromatography (GC). Sampel supernatan dimasukkan

63
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

dengan menggunakan microsyringe sebanyak 1μm. Suhu injeksi port diatur pada suhu 2400 oC,
suhu kolom diatur pada 1450oC, dan suhu detektor diatur pada 2400 oC. Gas pembawa yang
digunakan adalah helium yang terhubung ke injeksi port yang berfungsi untuk memasukkan
sampel. Injeksi port yang terhubung ke kolom jenis kapiler akan terhubung ke detektor dan
membentuk kromatogram.
3. Gas Metan (CH4), diperoleh dari perhitungan/pendugaan berdasarkan konsentrasi VFA parsial
menurut Ørskov dan Ryle (1990), yaitu:
M = 0,5 a – 0,25 p + 0,5 b
4. Efisiensi konversi heksosa, diperoleh dari perhitungan/pendugaan berdasarkan konsentrasi
VFA parsial menurut Ørskov dan Ryle (1990), yaitu:

E=

Data yang diperoleh diuji ANOVA dengan tingkat signifikan pada taraf 5 % untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Jika uji ANOVA menunjukkan
adanya pengaruh pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji duncan.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis ragam penelitian penambahan tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur
proteinat terhadap konsentrasi asetat, propionat dan butirat, gas metan dan efisiensi konversi heksosa
pada Tabel 2.
Konsentrasi asetat, propionate, butirat
VFA merupakan hasil dari proses fermentasi karbohindrat oleh mikroba di dalam rumen.
Karbohidrat polisakarida diubah menjadi monosakarida dan selanjutnya akan diubah menjadi asetat,
propionate dan butirat, serta metan dan CO 2. VFA parsial merupakan proporsi asetat, propionate dan
butirat dalam VFA total (Lamid, 2010). Suplementasi herbal (tepung daun katuk dan jintan hitam) dan
sulfur proteinat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi asetat, propionat dan butirat
(p>0,05). Nilai rata-rata konsentrasi asetat pada masing-masing perlakuan T0 (22,67 mMol), T1
(27,53 mMol), T2 (27,06 mMol) dan T3 (20,06 mMol). Nilai rata-rata konsentrasi propionat pada
masing-masing perlakuan T0 (4,58 mMol), T1 (6,59 mMol), T2 (6,25 mMol) dan T3 (4,87 mMol).
Nilai rata-rata konsentrasi butirat pada masing-masing perlakuan T0 (3,31 mMol), T1 (4,58 mMol),
T2 (4,47 mMol) dan T3 (3,64 mMol).

64
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Hasil analisis ragam konsentrasi asetat, propionat dan butirat, gas metan dan efisiensi
konversi heksosa
Perlakuan
Parameter
T0 T1 T2 T3
Asetat (mM) 22,67 27,53 27,06 20,06
Propionat (mM) 4,58 6,59 6,25 4,87
Butirat (mM) 3,31 4,58 4,47 3,64
Metan (mM) 11,85 14,62 14,20 10,71
Efisiensi konversi heksosa (%) 71,21 71,98 72,49 72,63

Produksi VFA parsial dapat dipengaruhi oleh komposisi pakan dalam ransum dan tergantung
pada hasil fermentasi karbohidrat dan sebagian dari hasil fermentasi protein (Wahyuni et.al., 2014).
Kadar pH rumen serta jenis mikroba dalam rumen juga dapat mempengaruhi produksi VFA parsial,
mikroba pencerna serat yang menyebabkan konsentrasi asam asetat, propionate dan butirat meningkat
(Ramadhani et.al., 2018).
Konsentrasi VFA parsial tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan herbal (T1), yang
diduga dipengaruhi oleh senyawa tanin yang terdapat dalam tepung herbal. Senyawa tanin dapat
menghambat tumbuhnya protozoa sehingga pertumbuhan mikrobia dalam rumen lebih baik (Wahyuni
et.al., 2014). Katuk dalam tepung herbal juga mengandung oxocyclopenthyl yang dapat merangsang
pertumbuhan mikrobia rumen, sehingga proses fermentasi pakan lebih optimal (Yusuf, 2012).

Produksi Metan
Metan merupakan gas yang terbentuk dari proses fermentasi anaerob bahan pakan di dalam
rumen oleh bakteri metanogen (Patra dan Saxena, 2010). Suplementasi herbal (tepung daun katuk dan
jintan hitam) dan sulfur proteinat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan produksi gas
metan. Nilai rata-rata produksi gas metan pada masing-masing perlakuan T0 (11,85 mM), T1 (14,62
mM), T2 (14,20 mM) dan T3 (10,71 mM).
Gas metan dibentuk dari CO2 hasil fermentasi karbohidrat dan H2 hasil pembentukan asetat
dan butirat oleh mikroba (Ramadhani et.al., 2018). Dalam proses pembentukan VFA yaitu propionate
membutuhkan H2, sedangkan dalam pembentukan asetat dan butirat menghasilkan H2 yang dapat
dimanfaatkan bakteri metanogen untuk membentuk CH 4 (Martin et.al., 2008). Produksi propionate
yang tinggi membutukkan banyak H2, sehingga dapat menekan pembentukan CH 4 oleh bakteri
metanogen (Hidayah, 2016).
Konsentrasi metan terendah terdapat pada perlakuan penambahan tepung herbal dan sulfur
proteinat (T3), yang diduga dipengaruhi oleh tanin dan saponin yang terdapat pada tepung herbal,
yang dapat menekan pertumbuhan protozoa. Bateri metanogen bersimbiosis dengan protozoa,
sehingga penurunan jumlah protozoa akan diikuti dengan penurunan bakteri metanogen (Hidayah,
2016). Penurunan konsentrasi metan juga diduga dipengaruhi oleh sulfur dalam S-proteinat, yang

65
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

merupakan mineral esensial bagi mikroba pencerna serat. Fungsi utama sulfur adalah untukmembantu
pembentukan asam amino dan sistesis protein mikroba (Nurhaita et.al., 2008).

Efisiensi konversi heksosa


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap efisiensi konversi heksosa (p>0,05). Rata-rata efisiensi konversi heksosa pada setiap
perlakuan yaitu T0 (71,21%), T1 (72,52%), T2 (72,49%) dan T3 (72,90%). Nilai efisiensi konversi
heksosa mencerminkan energi yang terbuang selama proses fermentatif dalam bentuk metan. Semakin
tinggi nilai efisiensi maka sistem fermentasi rumen mengarah pada sistesis propionat sehingga energi
yang terbuang dalam bentuk metan berkurang (Krehbiel et.al., 2003).

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian herbal
(daun katuk dan jintan hitam) dan sulfur proteinat tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA
parsial, gas metan dan memberikan nilai yang baik terhadap efisiensi konversi heksosa.

Daftar Pustaka
Akbar, M., Sjofjian, O., & Minarti, S. 2013. Produksi air susu induk dan tingkat mortalitas anak
kelinci yang diberi pakan tambahan tepung daun katuk (Sauropus androgynous L. Merr).
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 18(4), 233-238.
Bhatt, N., Singh, M., & Ali, A. 2009. Effect of feeding herbal preparations on milk yield and rumen
parameters in lactating crossbored cows. Int. Journal Agric. Biol., 11, 721-726.
Chaieb, K., Kouidhi, B., Jrah, H., Mahdouani, K., & Bakhrouf, A. 2011. Antibacterial activity of
thymoquinone, an active principle of Nigella sativa and its potency to prevent bacterial biofilm
formation. BMC Compl. Altern. Med., 11, 29-35.
Hapsari, N. S., Harjanti, D. W., & Muktiani, A. 2018. Fermentabilitas pakan dengan imbuhan ekstrak
daun babadotan (Ageratum conyzoides) dan jahe (zingiber officinale) pada sapi perah secara in
vitro. Jurnal Agripet, 18(1), 1-9.
Krehbiel, C. R., Rust, S. R., Zhang, G., & Gilliland, S. E. 2003. Bacterial diect-fed microbials in
ruminants diets: performance response and mode of action. Journal Animal Science. 81,E120-
E132.
Kurniawan, R., Liman, & Widodo, Y. 2014. Pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam dan mineral
organik untuk meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pada
ransum sapi. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(2), 67-69.
Marwah, M. P., suranindyah, Y. Y., & Murti, T. W. 2010. Produksi dan komposisi susu kambing
peranakan Ettawa yang diberi suplemen daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) pada
awal masa laktasi. Buletin Peternakan, 34(2), 94-102.
Pasaribu, A., Firmansyah, & Idris, N. 2015. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu
sapi perah di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 13(1),
28-35.
Ramandhani, A., Harjanti, D. W., & Muktiani, A. 2018. Pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya
(Carica papaya Linn) dan kunyit (Curcuma domestica) terhadap fermentabilitas rumen sapi
Perah in vitro. Jurnal Ilmu – Ilmu Peternakan, 28(1), 73-83.
Ridwan, T., Ghulamadi, M., & Kurniawan, A. 2014. Laju pertumbuhan dan produksi jintan hitam
(Nigella sativa L.) dengan aplikasi pupuk kandang sapid an fosfat alam. Jurnal Agro Indonesia,
42(2), 158-165.

66
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Supriyanti, Yulistiani, D., Wina E., & Haryanto B. 2000. Pengaruh suplementasi Zn, Cu dan Mo
anorganik dan organik terhadap kecernaan rumput secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner, 5(1), 32-37.
Susanti, N.M.P., Budiman, I.N.A., & Warditiani, N.K. 2014. Skrining fitokimia ekstrak etanol 90%
daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Farmasi Udayana, 13 (1), 83-86.
Tan, H. Y., Sieo, C. C., Abdullah, N., Liang, J. B., Huang, X. D., & Ho, Y. W. 2011. Effects of
condensed tannins from Leucaena on methane production, rumen fermentation and populations
of methanogens and protozoa in vitro. Jurnal Animal Feed science and Technology, 169, 185-
193.
Tilley, J. M. A., & Terry, R. A. 1963. A two stage technique for the in vitro. Digestion of Crops.
British Grassl. Journal British Grassland Society, 18, 104-111.
Widodo, Y., Qisthon, A., & Liman. 2017. Optimalisasi pemanfaatan onggok melalui pengolahan
biologis terhadap parameter rumen dan kecernaan zat-zat makanan sapi. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan. 11(3), 137-142.
Yusuf, R. 2012. Kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu sapi perah Friesian Holstein
akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katuk (Sauropus androgynous (L.) merr)
yang berbeda. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry, 2(1), 40-46.

67
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Pola Pemberian Ransum (Konsentrat-Jerami) yang Berbeda terhadap PBBH


dan Konversi Ransum pada Sapi Potong

The Effect of Different Feed Patterns (Concetrate-Rice Straw) to Averge Daily Gain and
Feed Conversion on Beef Cattle

Hikmat Angga Restu1, M. Fatah Wiyatna2, Rahmat Hidayat3


1
Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019
2
Lab. Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
3
Lab. Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
*Korespondensi: muhibrahimmaulana@gmail.com

Abstrak
Penelitian dilaksanakan di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak (BPPT) Sapi Potong Cijeunjing,
Ciamis, Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengaruh imbangan pakan
hijauan – konsentrat terhadap PBBH dan konversi ransum pada sapi Pasundan dan sapi PO.
Penelitian menggunakan 14 sapi Pasundan dengan bobot badan awal 131 – 288 kg dan 14 sapi PO
dengan bobot badan awal 212 – 306 kg. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji T
tidak berpasangan yang terdiri atas 2 perlakuan dan 7 ulangan untuk masing – masing bangsa sapi,
yaitu P1 (50% Jerami Padi + 50% konsentrat) dan P2 (30% Jerami Padi + 70% konsentrat). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan
bobot badan harian dan konversi ransum pada sapi Pasundan dan sapi PO.

Kata Kunci: Pola Pemberian Ransum, Sapi PO, Sapi Pasundan, PBBH, Konversi Ransum

Abstract
The research was conducted at Balai Pengembangan Perbibitan Ternak (BPPT) Sapi Potong
Cijeunjing, Ciamis, West Java. The objective of this study was to find out the effect of forage –
concetrate ratio in the ration to average daily gain and feed conversion of Pasundan and Peranakan
Ongole (PO) cattles. This study used 14 Pasundan cattles with the range of body weight from 131 -
288 kg and 14 PO cattles which have origin body weight 212 – 306 kg. The data was analyzed by
unpaired T test which consist of 2 treatments and replication for each breed. The treatment was
arranged as follow: P1 (50% rice straw + 50% concentrate) and P2 (30% rice straw + 70%
concentrate). The result of the research showed that the treatments had no effect (P>0,05) to average
daily gain and feed conversion.

Keywords: Different Feed Patterns, Ongole Cross Cattle, Pasundan Cattle, Average Daily Gain,
Feed Conversion

Pendahuluan
Rendahnya populasi sapi potong di Indonesia merupakan permasalahan umum yang sampai
saat ini belum terselesaikan. Hal tersebut membuat pemerintah harus mengimpor sapi dari luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Selain populasinya yang rendah,
salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak potong adalah sistem pemeliharaan yang masih
tradisional di masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan pola pemberian pakan
sehingga pakan yang diberikan mampu memenuhi kebutuhan nutrien yang diperlukan sapi potong.
Kasus yang sering terjadi di peternakan tradisional diantaranya adalah rendahnya mutu
pakan, kontinuitas yang kurang terjamin, kecernaan rendah, dan ketidakseimbangan antara asupan

68
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

nutrien asal ransum dan nutrien yang dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Pola
pemberian ransum yang berpengaruh ketika imbangan sumber energi dan sumber protein sesuai
dengan kebutuhan untuk produktivitas yang optimal.
Ransum merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak. Namun banyak
peternak yang kurang memperhatikan persyaratan kualitas, kuantitas, maupun pola pemberian
ransum. Peternak sapi lokal di Indonesia tidak dapat bersaing dengan peternakan industri sapi impor,
karena pertumbuhan dan produkivitas sapi lokal masih terbilang kurang optimal dibandingkan dengan
sapi dari peternakan sapi impor. Hal tersebut dipengaruhi oleh besarnya biaya untuk ransum yang
dikeluarkan dan kurang efisien dalam pemberian ransum. Biaya yang dikeluarkan ransum dalam
pemeliharaan bisa mencapai 80% dari keseluruhan biaya produksi.
Pemberian pakan tunggal hijauan tidak akan memenuhi kebutuhan nutrien karena kandungan
energi maupun protein hijauan relatif rendah. Oleh karena itu, perlu diberikan pakan tambahan yang
mengandung energi dan protein yang tinggi berupa konsentrat. Imbangan pakan hijauan dan
konsentrat yang seimbang serta memenuhi kebutuhan nutriennya akan membuat biaya dan harga yang
ekonomis dan mendapatkan produktivitas yang optimal. Pakan yang optimal harus dibarengi dengan
bibit sapi yang memiliki potensi genetik yang bisa dikembangkan agar produktivitas yang optimal
tercapai.
Sapi lokal Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sapi pedaging
diantaranya adalah sapi Pasundan dan sapi Peranakan Ongole (PO). Salah satu keunggulan sapi
Pasundan dan PO di Jawa Barat, yaitu memiliki daya tahan tubuh yang baik dan kemampuan
reproduksi cukup baik. Namun akibat pemberian pakan yang tidak terpenuhi nutriennya,
keunggulannya tidak teroptimalkan dengan demikian perlu penambahan pakan berupa konsentrat
untuk mengimbangi pemberian pakan tunggal seperti hijauan.
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan kajian tentang imbangan pemberian pakan hijauan dengan
konsentrat terhadap sapi Pasundan dan sapi PO. Diharapkan pola pemberian pakan yang sesuai
dengan kebutuhan ternak akan menghasilkan produktivitas yang optimal dan biaya pakan yang
efisien.

Bahan dan Metode Penelitian


Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunkan sapi Pasundan dan sapi PO berkelamin jantan berumur 1,5 – 2
tahun. Sapi Pasundan yang digunakan sebanyak 14 ekor dengan bobot awal 131 kg – 288 kg dan sapi
PO sebanyak 14 ekor dengan bobot awal 212 kg – 306 kg yang ada di BPPT Sapi Potong Cijeunjing,
Ciamis, Jawa Barat.
Ransum yang digunakan terdiri atas jerami dan konsentrat disusun berdasarkan kebutuhan
sapi potong tabel Kearl (1982). Jerami yang digunakan adalah jerami padi diambil dari daerah sekitar
lokasi penelitian, yang di chopper agar mempermudah konsumsi ternak dengan memperkecil ukuran

69
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

jerami. Konsentrat penelitian yang digunakan adalah konsentrat komersil produk Nutrifeed dalam
bentuk pellet.
Kandungan nutrien pada bahan pakan yang dipergunakan untuk menyusun ransum selama penelitian
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien Makanan Bahan Pakan


Kandungan Zat Makanan Jerami Padi* Konsentrat**
Air (%) 15,88 11,69
Abu (%) 18,1 12,00
Protein Kasar (%) 4,60 14,02
Serat Kasar (%) 28,86 16,02
Lemak Kasar (%) 1,40 3,80
TDN(%) 41,68 66,10
Sumber: - Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Sapi Potong Cijeungjing Ciamis*
- Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak Cikole Lembang**

Imbangan bahan jerami dan konsentrat ransum penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Imbangan Jerami dan Konsentrat Ransum Penelitian


Perlakuan
Bahan Pakan
P1 P2
Konsentrat (%) 50 70
Jerami (%) 50 30

Kandungan nutrien pada ransum yang dipergunakan untuk ransum setiap hari selama penelitian
disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian


Nutrien P1 P2
Bahan Kering (%) 86,22 87,05
Abu (%) 15,05 13,83
Protein Kasar (%) 9,31 11,19
Serat Kasar (%) 26,29 25,26
Lemak Kasar (%) 2,60 3,08
TDN (%) 53,90 58,78

Metode Penelitian
1) Periode Pendahuluan
Sapi penelitian ditempatkan pada kandang individu secara acak. Masing-masing mendapat 1
macam ransum perlakuan. Ternak diadaptasi terhadap ransum perlakuan selama 1 minggu.
2) Periode Pengamatan
Periode pengamatan dilakukan selama 60 hari. Ransum diberikan 2 kali pada pukul 08:00 dan
14:30 WIB. Pada periode ini dilakukan pencatatan sisa ransum pada hari sebelumnya.

70
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Peubah yang Diukur


1) Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
PBBH dihitung dengan cara berat akhir dikurangi berat awal lalu dibagi dengan lamanya
masa penggemukan, yaitu selama 60 hari. PBBH dihitung dengan rumus:

PBBH = Bobot Akhir – Bobot Awal (Kg)


Lama Pemeliharaan (Hari)

2) Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan pertambahan bobot badan harian dengan banyaknya
ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum dihitung dengan menggunakan
rumus:

FCR = Konsumsi BK Ransum ( Kg )


PBBH ( Kg )

Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik


Penelitian ini dilakukan pada 2 bangsa sapi yang berbeda dan terpisah. Masing-masing
bangsa diberikan 2 perlakuan dengan 7 ulangan sehingga diperoleh 14 unit percobaan. Adapun
perlakuan penelitian sebagai berikut:
1) Sapi Pasundan
Ps1 = Sapi Pasundan 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
Ps2 = Sapi Pasundan 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)
2) Sapi PO
Po1 = Sapi PO dengan 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
Po2 = Sapi PO dengan 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Analisis Statistika
Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental dengan menggunakan uji-T tidak
berpasangan. Hipotesis yang diuji:
H0 : Tidak terdapat perbedaan antara pola pemberian ransum konsentrat dan jerami dengan
imbangan 50:50 dan 70: 30.
H1 : Ada perbedaan antara pola pemberian ransum konsentrat dan jerami dengan imbangan 50:50
dan 70: 30.
Kaidah keputusan:
- Bila thitung < ttabel maka tolak H0

71
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

- Bila thitung > ttabel maka terima H1


Untuk menentukan rumus uji-T tidak berpasangan akan dipilih pengujian hipotesis maka
perlu di uji dulu varians kedua sampel homogen atau tidak. Pengujian homgenitas varians digunakan
uji- F dengan rumus sebagai berikut:

Maka model matematika dengan varian homogen atau jumlah sampel n1= n2 dapat digunakan rumus
uji – T, yaitu:

Hasil Dan Pembahasan


Pengaruh Perlakuan terhadap PBBH
1. PBBH Sapi Pasundan
Pertumbuhan dapat diidentifikasikan sebagai pertambahan bobot sebagian urat daging dan
jaringan lain dan merupakan masa tumbuh dalam kurun waktu tertentu (Morrison, 1961; Maynard
dan Loosli, 1979). Kecepatan pertumbuhan untuk setiap jenis hewan akan berbeda. Berbagai faktor
keturunan dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Hasil rata-rata
perhitungan pengukuran pertambahan bobot badan ternak selama penelitian dari masing-masing
perlakuan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Pasundan


Perlakuan
Ulangan
P1 (kg) P2 (kg)
1 0,78 0,55
2 0,73 0,53
3 0,58 0,60
4 0,67 0,55
5 0,65 0,58
6 0,67 0,68
7 0,53 0,67
Rataan 0,60 0,61
Keterangan: P1 = Sapi Ps 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
P2 = Sapi Ps 30 % Jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

72
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa rataan pertambahan bobot badan harian (PBBH)
sapi Pasundan pada P1 bervariasi antara 0,4 – 0,8 kg/ekor per hari dengan rataan total dari seluruh
individu adalah 0,60 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan sapi Pasundan pada P2 antara 0,5 – 0,7
kg/ekor/hari dengan rataan total seluruh individu adalah 0,61 kg/ekor/hari. Hasil penelitian ini
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penelitian Herni (2018) yang mendapatkan
PBBH sapi Pasundan sebesar 0,34 kg/hari dengan diberi pakan konvensional.
Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan,
maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji T. Berdasarkan hasil analisis uji T, didapatkan
bahwa t hit < t tabel (0,51 < 2,44) yang berarti terima H 0 dan tolak H1. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemberian pakan dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan harian sapi
Pasundan. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Pasundan sudah mampu memberikan pertambahan bobot
badan harian yang optimal dengan imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat 50:50.
Penambahan imbangan bahan kering yang berasal dari konsentrat lebih dari 70% tidak diiringi
peningkatan pertambahan bobot badan harian yang signifikan. Hal ini dikarenakan pemberian
imbangan hijauan dan konsentrat 50%: 50% sudah memenuhi kebutuhan nutrien Sapi Pasundan.
Sapi Pasundan tidak memerlukan biaya yang tinggi dalam pemeliharaanya untuk mencapai
produktivitas yang bisa dikatakan optimal. Hal ini sesuai dengan Arifin (2017) yang menyatakan
bahwa manajemen pemeliharaan sapi Pasundan sangat sederhana dan relatif murah (input produksi
rendah) cukup tahan dengan kondisi pakan berkualitas rendah. Dan dapat dikatakan bahwa biaya
pakan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan optimal sapi Pasundan relatif rendah.
Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian minimum pakan hijauan sebesar 0,5-0,8% bahan
kering dari bobot badan, sedangkan pakan konsentrat tidak dapat diberikan dalam jumlah yang sangat
tinggi. Pemberian konsentrat lebih dari 60% dalam komponen ransum dapat menyebabkan gangguan
pencernaan pada ternak, dan biaya yang relatif mahal (tidak ekonomis lagi) (Siregar, 1994).

2. PBBH Sapi Peranakan Ongole (PO)


Pertambahan bobot badan harian (PBBH) ternak adalah salah satu tolok ukur produktivitas
ternak yang merupakan manifestasi dari respon ternak terhadap pakan yang dikonsumsi. PBBH
adalah respon ternak yang merupakan perpaduan dari genetik dan lingkungan (pakan). PBB
berkorelasi positif dengan jumlah nutrien yang dikonsumsi. Apabila ternak mampu mengkonsumsi
pakan dengan baik (sesuai dengan kebutuhannya), maka dapat dipastikan ternak tersebut akan
menghasilkan PBBH yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Berikut ini
disajikan PBBH ternak hasil penelitian (Tabel 5).

73
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi PO


Perlakuan
Ulangan
P1 (kg) P2 (kg)
1 1,22 0,78
2 0,85 1,07
3 0,80 0,57
4 0,70 0,72
5 1,07 0,57
6 0,72 0,58
7 0,90 0,70
Rataan 0,92 0,71
Keterangan: P1 = Sapi PO 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
P2 = Sapi PO 30 % Jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 5 di atas, memperlihatkan bahwa sapi PO yang diberi pakan dengan P1
mempunyai rataan PBBH yang bervariasi antara 0,7 – 1,2 kg/ekor/hari dengan rataan total seluruh
individu sebesar 0,92 kg/ekor/hari. Demikian pula halnya dengan sapi PO yang diberi pakan dengan
P2 menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang bervariatif pula berkisar antara 0,6 – 1,1
kg/ekor/hari dengan rataan total individu sebesar 0,71 kg/ekor/hari. PBBH pada penelitian ini berkisar
antara 0,5 sampai 1,2 kg/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Misa (2019) yang menyatakan
bahwa PBBH sapi PO mencapai 0,9 kg/ekor/hari.
Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan
maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,
didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,84 < 2,17). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan
dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 pada sapi PO tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan harian.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa sapi PO bisa memberikan pertambahan bobot
badan harian yang optimal pada imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat 50:50. Pemberian
imbangan pakan bahan kering yang berasal dari konsentrat melebihi 70% tidak diiringi peningkatan
pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Pemberian konsentrat akan dapat meningkatkan
jumlah konsumsi protein kasar yang dapat meningkatkan daya cerna, namun menurut Siregar (1994)
menyatakan pemberian konsentrat lebih dari 60% dalam komponen ransum dapat menyebabkan
gangguan pencernaan pada ternak. Hal tersebut juga didukung Muh Yusuf (2008) yang menyatakan
apabila konsumsi protein telah melebihi batas optimal maka penambahan konsumsi protein justru
akan menurunkan daya cernanya, bahkan dapat menyebabkan penurunan daya cerna zat –zat
makanan lainnya.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi PO relatif efisien karena
dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan hasil pertambahan

74
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

bobot badan harian yang optimal. Dapat dikatakan bahwa biaya pakan untuk menghasilkan
pertambahan bobot badan optimal sapi PO relatif rendah.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum


1. Konversi Ransum Sapi Pasundan
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan kenaikan satu
satuan bobot hidup (Pond dkk., 1995). Konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi
produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Semakin rendah nilai konversi pakan maka
efisiensi penggunaan pakan makin tinggi. Konversi ransum digunakan sebagai tolak ukur efisiensi
produksi, semakin rendah nilai konversi berarti efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi. Konversi
ransum merupakan pembagian antara konsumsi ransum dengan bobot tubuh yang dicapai (Siregar,
2002). Hasil perhitungan pengukuran konversi ransum pada sapi Pasudan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Sapi Pasundan


Perlakuan
Ulangan
P1 P2
1 11,05 12,25
2 10,86 10,35
3 13,81 12,97
4 13,25 8,73
5 13,77 11,62
6 9,36 8,50
7 11,20 9,90
Rataan 13,17 10,62
Keterangan: P1 = Sapi Ps 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
P2 = Sapi Ps 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa nilai konversi ransum P1 bervariasi antara 9,36 kg
– 13,81kg dengan rataan total sebesar 13,7 kg, sedangkan nilai konversi ransum P2 berkisar antara
8,50 kg – 12,97 kg dengan rataan total sebesar 10,62 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar
(2008), yang menyatakan bahwa konversi pakan untuk sapi yang baik adalah 8,56-13,29 kg. Hasil
penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian Herni (2018), dimana konversi
ransum pada sapi Pasundan yang diperoleh berbeda, yaitu 10,29 kg. Hal tersebut memberikan arti
bahwa sapi Pasundan dapat menghasilkan nilai konversi ransum yang optimal dengan imbangan 30%
hijauan: 70% konsentrat maupun dengan imbangan 50% hijauan: 50% konsentrat.
Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum maka
dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,
didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,63 < 2,44). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan
dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat P1 (50:50) dengan P2 (30:70) pada sapi Pasundan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini memberikan arti bahwa sapi Pasundan

75
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

sudah mampu memberikan konversi ransum yang baik pada imbangan hijauan: konsentrat 50: 50.
Menurut Soeparno (2005) bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan
komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia pada tubuh. Menurut Ayu Astuti
dkk., (2015) yang menyatakan bahwa keadaan rumen yang stabil mengakibatkan mikroba rumen
dapat mencerna pakan dengan baik dan menghasilkan konversi pakan yang rendah. Menurut
Martawidjaja (2001), konversi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot tubuh, dan
kecernaan artinya bahwa semakin baik kualitas pakan yang di konsumsi akan menghasilkan
pertambahan bobot tubuh yang lebih tinggi dan lebih efisien dalam penggunaan pakan.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi Pasundan relatif efisien
karena dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan konversi
ransum yang baik. Dapat dikatakan bahwa biaya pakan untuk menghasilkan konversi ransum yang
baik pada sapi Pasundan relatif rendah.

2. Konversi Ransum Sapi Peranakan Ongole (PO)


Konversi pakan adalah perbandingan atau rasio antar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh
ternak dengan produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut (Anggorodi, 1994). Perry dkk., (2005)
menambahkan bahwa konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan
kenaikan satu-satuan bobot hidup. Konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi
produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi, semakin rendah nilai konversi pakan maka
efisiensi penggunaan pakan makin tinggi. Serat kasar yang tinggi dalam pakan akan menyebabkan
daya cerna menjadi kecil, sehingga konversi pakan merupakan integrasi dari daya cerna (Anggorodi,
1994). Hasil perhitungan pengukuran konversi ransum pada sapi PO disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Sapi PO


Perlakuan
Ulangan
P1 P2
1 6,65 7,27
2 8,93 7,42
3 9,18 13,39
4 10,96 11,42
5 7,70 13,97
6 9,83 12,67
7 9,55 9,04
Rataan 8,82 10,62
Keterangan: P1 = Sapi PO 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)
P2 = Sapi PO 70 % Jerami + 30% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 7, nilai konversi ransum P1 berkisar antara 6,65 – 10,96 dengan nilai
rataan sebesar 8,82, sedangkan pada konversi ransum P2 berkisar antara 7,27 – 13,97 dengan nilai
rataan sebesar 10,62. Hasil penelitian ini dikatakan sejalan dengan pendapat Siregar (2002) yang
menyatakan konversi pakan yang baik adalah 8,56—13,29. Penelitian ini menghasilkan konversi

76
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

ransum yang berbeda dibandingkan Umar dkk., (2007) yang memperoleh konversi pakan sapi PO
sebesar 9,63. Penelitian mengenai nilai konversi pada sapi PO ini juga dilakukan Purnomoadi dkk.,
(2007) yang mendapatkan hasil sebesar 11,20 dan Hamdan dkk., (2004) yang memperoleh konversi
pakan yang lebih baik dari penelitian ini, yaitu 8,12. Hal ini menunjukkan bahwa ada keragaman
genetik yang berbeda pada sapi PO yang ditunjukkan oleh respon yang berbeda pada individu
terhadap hasil konversi ransum.
Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum maka
dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,
didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,48 < 2,26). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan
dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 pada sapi PO tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini memberikan arti bahwa sapi PO sudah mampu
menghasilkan konversi ransum yang optimal pada imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat
50: 50. Penambahan pakan di atas 70% bahan kering konsentrat pada ransum tidak diikuti penurunan
konversi ransum. Hal tersebut menunjukkan bahwa imbangan pakan hijauan: konsentrat 50:50
mempunyai kestabilan dalam rumen sehingga daya cerna lebih baik sehingga nutrien tercena dengan
baik yang akan membantu dalam pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan Ayu Astuti dkk., (2015) yang
menyatakan bahwa keadaan rumen yang stabil mengakibatkan mikroba rumen dapat mencerna pakan
dengan baik dan menghasilkan konversi pakan yang rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa potensi
sapi PO cukup baik meskipun hanya perlu pengelolaan dan perbaikan pakan. Kondisi demikian
menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi PO relatif efisien karena dengan imbangan bahan
kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan konversi ransum yang baik. Dapat dikatakan
bahwa biaya pakan untuk menghasilkan konversi ransum yang baik pada sapi PO relatif rendah.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pola imbangan
pemberian pakan hijauan dan konsentrat sebesar 50: 50 dan 30: 70 memberikan respon terhadap
PBBH dan konversi ransum yang sama pada sapi Pasundan dan sapi PO.

Saran
Pemberian pakan sapi Pasundan dan sapi PO hendaklah dengan pola imbangan hijauan dan
konsentrat 50: 50. Pola pemberian pakan ini mampu menghasilkan PBBH dan konversi ransum yang
optimal. Dengan demikian biaya pakan lebih efisien dan ekonomis.

Daftar Pustaka
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-6. PT Gramedia, Jakarta.
Arifin J. 2017. Konservasi Sumberdaya Genetik Sapi Pasundan di Jawa Barat. Disertasi. Universitas
Padjadjaran. Bandung.

77
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ayu A, Erwanto dan Purnama E. S. 2015. Pengaruh Cara Pemberian Konsentrat –Hijauan Terhadap
Respon Fisiologis dan Performa Sapi Peranakan Sapi Simmental. Jurnal ilmiah Peternakan
terpadu. Vol. 3 (4): 201-207.
Hamdan, A., N. Ngadiyono dan A. Agus. 2004. Konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan sapi
Bali dan sapi PO jantan yang diberi pakan basal jerami padi dan suplemen konsentrat.
Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Vol. 2.: 126-131.
Herni. 2018. Kecernaan Nutrien dan Performa Sapi Pasundan yang Diberi Suplemen Pakan
Mengandung Daun Lamtoro dalam Bentuk Wafer. Tesis . Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminant in Developing Countries. International
Feedstuff Institute, Utah Agriculture Experiment Station. Edisi Pertama. Utah State
University, Logan.
Martawidjaja, M., Kuswandi, dan B. Setiadi. 2001. Pengaruh Tingkat Protein Ransum terhadap
Penampilan Kambing Persilangan Boer x Kacang Muda. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Maynard, LA and IK Loosly. 1979. Animal Nutrition. 4th Edition. Mc Grow Hill Book Co. Inc. New
York.
Misa D. 2019. Karakteristik Sapi Peranakan Ongole (PO). Ww.berbagiilmupeternakan.com. diakses
tgl 11 januari 2019. Pukul 14.35.
Morrison, F.B. 1961. feed and feeding. Abridge. 9th Ed. The Morrison Publishing Company, New
York.
Muh Yusuf A. K. 2008. Pengaruh tingkat pemberian konsentrat terhadap daya cerna bahan kering
dan protein kasar ransum pada sapi bali jantan yang mendapatkan rumput raja. J. Agroland.
Vol. 15 (4): 343 – 348.
Perry, T. W., A. E. Cullison, dan R. S. Lowrey. 2005. Feed and Feeding. 6nd Ed. Person Education,
Inc. Upper Sadle River. New Jersey.
Pond, W.G., D.C. Church, and K.R. Pond, 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. Fourth edition.
John Wiley & Sons, New York.
Siregar, S. B. 2008. Penggemukan sapi . PT Penebar Swadaya, Jakarta.
.2002. Ransum Ternak Ruminansia. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
.1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan III. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

78
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Produktivitas dan Daya Adaptasi Rumput Brachiaria Decumbens CV Basilisk dalam


Perbaikan Padang Penggembalaan di Lahan Sub Optimal

Productivity and Adaptation Power of Gracisis Brachiaria Decumbens CV in Improvement


of Governments in Sub Optimal Land

Iwan Herdiawan, E. Sutedi dan A. Panindi


Balai Penelitian Ternak, Ciawi, PO Box 221 Bogor
email: herdiawanmaliq@gmail.com

Abstrak
Berdasarkan pola curah hujan, Indonesia memiliki tiga zona iklim yaitu zona iklim basah
untuk Wilayah Barat Indonesia, zona iklim sedang Wilayah Indonesia Tengah dan zona iklim kering
berada di wilayah bagian timur Indonesia. Pembagian zona iklim ini berdampak pada kegiatan pola
usahatani, distribusi tanaman, hewan, dan pembentukkan agroekosistem yang berbeda. Pola usahatani
Wilayah Timur Indonesia yang memiliki iklim kering dengan jumlah curah hujan rataan kurang dari
1000 mm/tahun adalah padi/palawija-bera, dan padang rumput (savana) karena curah hujannya sangat
rendah. Padang rumput savana dan steve merupakan sumber hijauan alami bagi hewan dan ternak
ruminansia di daerah kering. Optimalisasi padang rumput alam dapat dilakukan melalui introduksi
rumput unggul yang toleran spesifik lokasi. Rumput Brachiaria decumbens cv Basiliskcv Basilisk
memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas dari daerah sub-tropis sampai dengan tropis kering,
yang memilki cekaman abiotik tanah masam, salin, dan kering. Kandungan protein kasar Brachiaria
decumbens cv Basiliskcv Basiliskcv Basilisk berkisar antara 9-20%, dengan nilai kecernaan antara 50-
80%. Produksi bahan kering cukup tinggi sekitar 10-30 ton/ha/tahun dengan prakiraan daya tampung
sekitar 1,67-5,01 UT.

Kata kunci: Brachiaria decumbenscv Basilisk, produktivitas, daya adaptasi

Abstract
Based on the rainfall pattern, Indonesia has three climate zones, namely a wet climate zones for the
Western Region, temperate zone region of Central and arid climate zone is located in the eastern. The
distribution of climatic zones is impacting on activity patterns of farming, distribution of plants,
animals, and the formation of the different agro-ecosystems. Eastern Indonesia farming pattern which
has a arid climate with rainfall amounts averaging less than 1000 mm / year are rice / crops-fallow
and grasslands (savanna) due to very low rainfall. Savanna grasslands and steppes are a source of
natural forage for animals and ruminants in arid and semi-arid area. Optimization of natural
pastures can be done through the introduction of superior grass on local specific. Brachiaria
decumbens cv Basilisk grass has wide spread on region of sub-tropical to tropical dry, which has
abiotic stress acid soil, saline, and droght. The crude protein content of Brachiaria decumbens cv
Basilisk ranged from 9-20%, with digestibility values ranging between 50-80%. Dry matter
production is high enough around 10-30 tonnes / ha / year with forecast of carrying capacity about
1.67 to 5.01 Au.

Keywords: Brachiaria decumbens cv Basilisk, productivity, adaptability

Pendahuluan
Pembangunan peternakan Indonesia kedepan harus berorientasi pada kemandirian dan
mengoptimalkan kemampuan daya dukung sumber daya alam yang ada. Potensi sumber daya alam
kita cukup melimpah dari laut sampai daratan yang dapat menjamin akan ketahanan pangan, apabila
dikelola secara baik. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju

79
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk (Haryono, 2013). Negara kita tidak bisa terus
menerus mengandalkan bantuan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk
komoditas peternakan. Untuk menghasilkan pangan dari komoditas peternakan tidak memerlukan
lahan yang subur karena sudah banyak para ahli melakukan penelitian jenis tanaman pakan yang
toleran pada kondisi lahan marjinal sebagai sumber pakan utamanya. Wilayah Timur Indonesia
sampai dengan saat ini masih merupakan sentra produksi ternak sapi potong, karena didukung oleh
sumber hijauan yang berasal dari padang rumput alam (savana). Sebagai contoh di Timor Barat
merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang
memiliki padang savana yang luas yaitu 1.399.980,824 ha (1999), dan yang digunakan sebagai
padang penggembalaan seluas 736.981 ha. Kawasan pulau Timor memiliki kondisi alam yang
dipengaruhi oleh sistem angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (3-4 bulan)
dan musim kemarau yang panjang (8-9 bulan) (Manu, 2010). Lamanya musim kemarau secara
langsung berpengaruh terhadap penurunan kualitas dan kuantitas hijauan pakan yang tersedia dan
berdampak pada penurunan produktivitas ternak. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan teknik
perbaikan kualitas dan kuantitas padang penggembalaan melalui introduksi tanaman pakan unggul
(rumput/leguminosa) yang toleran kekeringan. Brachiaria decumbens cv Basilisk merupakan salah
satu jenis rumput pangonan (grazing) yang sangat toleran terhadap cekaman kekeringan dan
penggembalaan berat.

Karakteristik Morfologi Rumput B. Decumbens cv Basilisk


Ciri morfologi rumput ini yaitu tumbuh rendah, tegak atau menjalar, membentuk rizoma dan
tanaman tahunan berstolon dengan daun berbulu sedang dan berwarna hijau terang, lebar 7-20 m, dan
panjang 5-25 cm. Daun tumbuh dari stolon yang merambat yang berakar pada buku-bukunya, bunga
rumput ini berbentuk mayang menjari. Rumput ini biasanya ditanam untuk padang penggembalaan
permanen, tetapi juga ditanam untuk sistem cut and carry. Rumput ini ditanam sebagai penutup tanah
yang digembalai pada perkebunan dan sebagai penutup yang baik untuk menahan erosi pada daerah
yang miring (Miles et al., 1996). Kandungan nutrisi rumput ini cukup tinggi dan palatabilitas yang
baik (seperti rumput tropis yang lain) tetapi bergantung pada status kesuburan tanah. Kecernaan
rumput ini dapat mencapai (5080%), protein kasar (PK) berkisar dari 9-20% tergantung pada
kesuburan tanah dan manajemen, tetapi dapat menurun dengan cepat tergantung pada umur dan
kondisi lingkungannya. Potensi produksi bahan kering cukup tinggi yaitu sekitar 10 ton/ha/tahun
(Schultze dan Teitzel, 1992). Kandungan nutrien hijauan ini yaitu BK 81%, PK 7%, abu 6,5%, SK
35,1% dan BETN 49,2 % (Hartadi et al., 1980).

Klasifikasi dan Penyebaran Rumput B. decumbens CV Basilisk


Rumput Signal (Brachiaria decumbens cv Basilis) adalah tanaman asli dari tropis Afrika
(Uganda) dan telah diperkenalkan dan didistribusikan ke daerah tropis lain termasuk Hindia Barat,

80
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Venezuela, Suriname, dan Australia (Fukumoto dan Chin, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa
rumput ini sangat cocok untuk dikembangkan dengan daerah tropis lembab dengan curah hujan
minimal 60 inci per tahun dan musim kering tidak lebih dari 4-5 bulan. Rumput Brachiaria
decumbens cv Basiliskcv Basilisk dapat tumbuh baik pada ketinggian 0-1200 m (dataran rendah
sampai dataran tinggi) dengan curah hujan 762-1500 mm/tahun, kemasaman tanah (pH) 6-7 (Kismono
dan Susetyo, 1977).
Klasifikasi Rumput B. decumbens cv Basilisk (Signal grass)
Divisi : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Graminales
Family : Graminaea
Genus : Brachiaria
Species : Brachiaria Decumbens
Di Indonesia rumput B. decumbens banyak dijumpai di pinggir jalan, pinggir selokan,
lapangan, pematang sawah dan di tempat-tempat lainnya yang berbatu. Perkembangbiakan rumput
bede di Indonesia sebenarnya sudah tersebar luas, namun pengembangan secara budidaya dan secara
ekonomis masih sangat terbatas dibandingkan dengan pengembangan rumput raja (P. purporhoides)
dan rumput gajah (P. purpureum) yang sudah dikenal lebih dahulu oleh petani peternak. Jarak tanam
yang sering digunakan untuk penaman rumput bede adalah 30x30 cm atau 40x40cm (Akk, 1983).
Rumput B. decumbens cv Basilisk disebut juga rumput signal berasal dari Afrika timur. B.
decumbens mempunyai ciri-ciri, tinggi tanaman 30-45 cm, daun kaku dan pendek, ujung daun
meruncing, mudah berbunga, bunga berbentuk seperti bendera. B. decumbens disebut rumput
gembalaan yang tumbuh menjalar dengan stolon membentuk hamparan yang lebat. Rumput bede
termasuk rumput berumur panjang, dapat tumbuh dengan membentuk hamparan lebat dan
penyebarannya sangat cepat melalui stolon. Rumput B. decumbens tahan penggembalaan berat, tahan
injakan dan renggutan serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan nitrogen. Selain itu
rumput ini juga cepat tumbuh dan berkembang sehingga mudah menutup tanah, tetapi tidak tahan
terhadap genangan air. Rumput ini merupakan bahan hay yang balk, karena batangnya kecil mudah
menjadi kering.

Budidaya Rumput B. decumbens CV Basilisk


Pemilihan bibit adalah faktor yang sangat penting dan menentukan dalam budidaya rumput B.
decumbens. Bibit yang digunakan harus sesuai dengan lingkungan setempat dan mudah
dikembangkan serta dikelola, agar diperoleh mutu dan produksi yang balk. Rumput B. decumbens
dapat diperbanyak dan dikembangbiakan dengan pots (anakan) atau biji. Penggunaan pots (anakan)
lebih baik karena disamping cepat tumbuh, juga cepat menyebar dan resiko kematian di lapangan
lebih kecil. Pada penanaman rumput dengan pots dipilih tanaman yang sehat, mempunyai banyak akar

81
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

dan calon anakan baru (bagian tepi). Selain itu bagian ujung vegetatifnya harus dipotong. Hal ini
dimaksudkan agar tanaman baru tersebut tidak tertampau banyak penguapan atau menghindari
pelayuan. Waktu tanam yang baik adalah awal musim hujan atau pertengahan musim hujan, karena
pertumbuhan awal tanaman rumput B. decumbens membutuhkan air lebih banyak. Pada penanaman
dengan pots sebelum bibit ditanam di lapangan, bagian atas pots harus dipotong terlebih dahulu dan
disisakan kira-kira 15-20 cm . Akar pots yang terlalu panjang dapat dipotong untuk memudahkan
penanaman. Kebutuhan benih dan bibit tiap hektarnya adalah bibit pols, tergantung jarak tanam yang
dipergunakan mencapai ±40.000 - 60.000 pols. Menggunakan biji/benih kira-kira 2-4 kg/ha.
Sedangkan menurut Fukumoto dan Chin (2002), penanaman dengan menggunakan biji
direkomendasikan sebanyak 10 pound per acre atau sekitar 454 g/0,4 ha, pada kondisi kelembaban
yang memadai dan tingkat kesuburan tanah baik. Per kilogram berat biji B. decumbens cv. Basilisk
mengandung lebih kurang 450.000 butir/kg. Rumput B. decumbens secara agresif akan menyebar dan
membentuk hamparan yang sangat rapat. Daya kecambah biji rumput B. decumbens sangat baik yaitu
sekitar 60%, dan biji akan berkecambah pada hari ke 14 setelah tanam (Fukumoto dan Chin, 2002).
Untuk menjamin pertumbuhan rumput B. decumbens yang optimal dengan kandungan gizi
tinggi maka defoliasi atau panenan harus dilakukan pada periode yang tepat. Panenan pada rumput B.
decumbens bisa dilakukan dengan pemotongan atau penggembalaan ternak. Pemotongan atau
penggembalaan pertama dapat dilakukan setelah tanaman rumput bede berumur 2 bulan bila keadaan
memungkinkan (cukup hujan) dengan tujuan untuk meratakan dan merangsang pertumbuhan akar
tanaman. Pemotongan/penggembalaan berikutnya dilakukan setiap 5-6 minggu (40 hari) pada musim
hujan, sedangkan musim kemarau diperpanjang sampai 8 minggu (60 hari). Tinggi potong rumput
bede biasanya 5-15 cm dari permukaan tanah pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
biasanya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah.

Produksi Rumput B. decumbens CV Basilisk


Dengan pengolahan tanah yang balk, pemupukan yang tepat serta interval potong yang cocok
rumput B. decumbens dapat menghasilkan produksi segar 171 ton/ha/th dengan produksi kering 36,1
ton/ha/th dengan interval potong 6 minggu (Siregar, 1987). Di Koronivia, daerah basah Fiji,
menghasilkan 34,1 ton/ha/th bahan kering, sedangkan di kepulauan Solmon dicapai produksi bahan
kering 30,0 tonlha/th (Skerman, 1990).
Osawake (2007), melaporkan hasil penelitiannya bahwa produksi biomasa rumput B.
decumbens alley croping Gliricidia sebesar 23 t /ha lebih tinggi dibandingkan dengan rumput P.
Purpureum-Gliricidia sebesar 13t/ha, tetapi tidak berbeda nyata dengan P. Maximum-Gliricidia
sebesar 22 t /ha. Selanjutnya dilaporkan bahwa produksi biomasa mengalami penurunan sejalan
dengan peningkatan periode merumput. Hal ini sejalan dengan temuan Mears dan Humphreys (1974),
yang melaporkan bahwa penurunan produksi biomasa rumput Kikuyu (Pennisetum clandestinum)
sejalan dengan taraf tekanan penggembalaan dan lamanya hari penggembalaan. Wong et al. (1982),

82
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

melaporkan bahwa produksi bahan kering B. decumbens sebesar 19,0 t/ha pada pemberian pupuk N
sebesar 224 kg/ha/tahun dan dapat meningkat cukup signifikan sebesar 24,0 t dengan memberikan
pupuk N sebanyak 300 kg/ha/tahun. Selanjutnya menurut Crowder dan Chheda (1982), variation
produksi bahan kering bisa terjadi dalam batas yang luas tergantung pada kondisi cuaca dalam
setahun, pasokan air, kesuburan tanah, jumlah pupuk yang diaplikaasikan dan manajemen
pemeliharaan.

Tabel 1. Produksi dan komposisi nutrisi rumput B. decumbens cv Basilisk pada berbagai kondisi
agroklimat
Produksi PK SK Ca P
Sumber pustaka Agroklimat
(t/ha/panen) (%) (%) (%) (%)
Maia et al. Lahan kering iklim kering CH
2.700,6 12 27,0% 0,39 0,17
(2014) 600 mm/th, Ultisol (pH=5)
Batubara dan
Munurung, Lahan kering masam 2.659,4 8,3 38,3 0,40 0,13
(1990)
Lahan kering iklim kering
Herdiawan dkk
masam CH <1000 mm/th, tanah 2.591,97 9,7 37,6 0,54 0,21
(2015)
Acrisol (pH = 3,8-4,5)

Kandungan Nutrisi Rumput B. decumbens CV Basilisk


Kandungan isi sel rumput B. decumbens mengalami penurunan dengan meningkatnya tingkat
kedewasaan tanaman, sedangkan kandungan fraksi serat (NDF, ADF, dan Lignin) meningkat dengan
meningkatnya tingkat kedewasaan tanaman. Kualitas serat terbaik ditunjukkan oleh hijauan rumput B.
decumbens yang dipotong pada umur 30 hari, dan pemotongan rumput masih tetap dapat dilakukan
sampai umur 40 hari. Keistimewaan rumput ini adalah tahan hidup di musim kemarau (tahan kering),
selain itu karena mempunyai perakaran yang sangat kuat dan cepat menutup tanah sehingga dapat
mengurangi erosi (Siregar, 1987). Kandungan protein kasar dan serat kasar pada berbagai taraf
pemotongan dilaporkan oleh Siregar dan Djajanegara (1972) adalah, 13,8% dan 29,69% pada
pemotongan 20 hari, 8,86% dan 30,63% pada pemotongan 30 hari, 6,24 dan 33,27 pada pemotongan
45 hari serta 5,90 dan 34,1 pada pemotongan 60 hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa protein
kasar pada B. decumbens akan cenderung menurun dan serat kasar akan meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur potong rumput (http://peternakan.litbang.deptan.go.id/). Hasil analisis bahan
kering rumput bede di Kenya menunjukkan persentase protein kasar 11,2, serat kasar 28,0, abu 9,9 .
Di Indonesia lokasi Sumatera Utara persentase protein kasar 8,3 serat kasar 38,3 abu 10,6 (Batubara
dan Manurung, 1990). Kecernaan rumput ini dapat mencapai (50-80%), protein kasar (PK) berkisar
dari 9-20% tergantung pada kesuburan tanah dan manajemen, tetapi dapat menurun dengan cepat
tergantung pada umur dan kondisi lingkungannya. Potensi produksi bahan kering cukup tinggi yaitu
sekitar 10 ton/ha/tahun (Schultze dan Teitzel, 1992). Kandungan nutrien hijauan ini yaitu BK 81%,
PK 7%, abu 6,5%, SK 35,1% dan BETN 49,2 % (Hartadi et al., 1980).

83
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Sumber: Fukumoto dan Chin (2002).

Pemanfaatan Rumput B. decumbens


Total kecernaan bahan kering domba yang merumput P. maximum-Gliricidia lebih tinggi
sebesar 1,33 kg BK/hari, dibandingkan yang merumput P. Purpureum-Gliricidia sebesar 0,43 kg
BK/hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang merumput B. decumbens-Gliricidia yaitu sebesar
0,86 kg BK /hari (Osakwe, 2007). Pertumbuhan domba yang merumput pada plot P. maximum-
Gliricidia paling tinggi tingkat pertumbuhan yaitu sebesar 38 g/hari dibandingkan domba yang
merumput pada plot B. decumbens-Gliricidia sebesar 23 g/hari dan tidak berbeda nyata dengan yang
merumput pada plot P. Purpureum-Gliricidia sebesar 21 g/hari (Osakwe et al., 2006). Hasil penelitian
Herdiawan et al (2015), menyatakan bahwa produksi biomasa tertinggi dicapai oleh B. decumbens
dengan alley croping ketiga jenis leguminosa cover crop yaitu sebesar 2.591,97 g/m 2, dan terendah
pada C. gayana sebesar 1.073,12 g/m2.

Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan Rumput B. decumbens


Jika rumput ini dipergunakan sebagai rumput gembala, ternak dilepas saat rumput bede
berumur 2 bulan setelah tanam di lapangan, setelah berumur 2 bulan biasanya akar rumput sudah
cukup kuat sehingga lebih tahan injakan dan renggutan. Penggembalaan selanjutnya dapat dilakukan
setiap 40 hari pada musim hujan dan 60 had pada musim kemarau. Di Colombia dengan
penggembalaan sapi 2 ekor/ha pada rumput B. decumbens dapat menghasilkan pertambahan bobot
badan 0,60 kg/hari (Crowder dkk., 1970). Chen et al. (1982) melaporkan bahwa dengan perlakuan
pemberian pupuk N sebanyak 300 kg/ha/tahun mampu meningkatkan stocking rate secara optimum
sebesar 7 ekor/ha dengan pertambahan bobot badan yang baik sebesar 1018 kg/ha/tahun. Rataan
kapasitas tampung rumput tertinggi dicapai oleh alley croping B. decumbens dan P. phaseloides yaitu
sebesar 2,61 UT/ha/th, sedangkan kapasitas tampung terendah dicapai oleh alley croping P. notatum

84
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

dan A. glabrata sebesar 0,70 UT/ha/th untuk ternak kerbau dengan bobot hidup ± 350 kg (Herdiawan
et al, 2015).

Kesimpulan
Rumput Brachiaria decumbens cv Basilisk merupakan rumput jenis pangonan (grazing)
sangat adaptif dan memiliki produktivitas tinggi pada berbagai agroekosistem terutama lahan sub-
optimal. Sistem pertanaman campuran antara Brachiaria decumbens cv Basilisk dengan berbagai
jenis leguminosa cover crops sangat compatible dan memberikan hasil paling baik dibandingkan
ditanam secara monokultur.

Daftar Pustaka
Chen, C. P., Bong Julita, I. and Othman, O' (1982). Grazing managernent on pasture and beef
production (in Bahasa Malaysia). Tek. Pert. MARDI 3:98-108
Crowder, Chaverra and Lotero . 1970 . Animal Production . In Tropical grasses. Food and
Agriculture Organization of the United Nation . Ed. P.J . Skerman and F. Riveros. Rome.
1990.
Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical grass lands husbandry (Trop. Agric. Series) p . 433.
London: l.ongman
Fukumoto GK, Chin N L. 2002. Signalgrass for Forage. Livestock Management. College of Tropical
Agriculture and Human Resources (CTAHR) University of Hawaii at Manoa, Department of
Human Nutrition, Food and Animal Sciences. Pp. 1-3.
Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S. 1980. Tabel Komposisi Bahan Makanan ternak untuk
Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Suboptimal
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
―Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian
Pangan Nasional‖, Palembang 20-21 September 2013.
Herdiawan I, E. Sutedi, Sajimin, dan A. Panindi. 2015. Introduksi Tanaman Pakan Unggul Toleran
Kekeringan Dengan Sistem Alley Cropping Dalam Upaya Perbaikan Padang Penggembalaan
Di Daerah Kering Beriklim Kering (Laporan Hasil Penelitian, 2015)
Kismono, I. Dan S. Susetyo. 1977. Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting. Produksi Hijauan
Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . Bplpp. Lembang, Bandung. 1977.
Leo P. Batubara dan T. Manurung . 1990 . Evaluasi Beberapa Jenis Rumput Untuk Padang
Penggembalaan Domba 1 . Produktivitas dan uji Palatabilitas beberapa jenis rumput
lntroduksi. Dalam Ilmu Dan Peternakan Volume 4 No 1 Juni 1990. 4 (1): Halaman 209-210.
L.'t Mannetje and R.M . Jones. 1992. Plant Resources of South East Asia No 4. Forages PROSEA
Bogor. Indonesia.
Maia GA, Kátia Aparecida de Pinho Costa, Eduardo da Costa Severiano, Patrícia Soares Epifanio,
José Flávio Neto, Matheus Gonçalves Ribeiro, Patrick Bezerra Fernandes, José Fausto
Guimarães Silva, Wainer Gomes Gonçalves. 2014. Yield and Chemical Composition of
Brachiaria Forage Grasses in the Offseason after Corn Harvest. American J of Plant Sci. 5:
933-941
Manu AE. 2010. Produktivitas padang penggembalaan sabana Timor Barat. Prosiding Semnas II
HITPI. Pp. 184-351.
Mears PT, Humphreys LR. 1974. Nitrogen response and stocking rate of Pennisetum clandestinum
pastures. 1. Pasture nitrogen requirement and concentration, distribution of dry matter and
botanical composition. Journal of Agricultural Science, Cambridge, 83: 451-467.

85
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Miles, J.W., B.L. Maass, & C.B. do Valle. 1996. Brachiaria: Biology, Agronomyand Improvement.
Joint publication by CIAT, Cali, Colombia and Embrapa/CNPGC, Campo Grande, MS,
Brazil.
Osakwe I.I. Performance of sheep grazing Brachiaria decumbens, Panicum maximum and Pennisetum
purpureum in Gliricidia sepium alley plots. In: Priolo A. (ed.), Bion di L. (ed.), Ben Salem H.
(ed.), Moran d-Feh r P. (ed.). Advanced nutrition and feeding strategies to improve sheep and
goat . Zaragoza: CIHEAM, 2 007 . p.365-369 (Option s Méditerran éen n es: Série A. Sémin
aires Méditerran éen s; n . 7 4)
Osakwe II, NWAKPU, Petrus Emeka. 2006. Performance of sheep grazing Brachiaria decumbens,
Panicum maximum and Pennisetum purpureum in combination with Gliricidia sepium.
Animal Research International 3: 399 – 402
Schultze-Kraft R, Teitzel JK. 1992. Brachiaria decumbens cv Basiliskcv BasiliskStapf. In: Mannetje,
L. and Jones, R.M. (eds) Plant Resources of South-East Asia No. 4. Forages. pp. 58-59. Pudoc
Scientific Publishers, Wageningen, the Netherlands.
Siregar, M.E. 1987. Produktivitas Dan Kemampuan Menahan Erosi Species Rumput Dan Leguminosa
Terpilih Sebagai Pakan Ternak Yang Ditanam Pada Tampingan Teras Bangku Di Das
Citanduy, Ciamis.
Siregar, M.E dan A. Djajanegara. 1974. Pengaruh Tingkat Pemupukan Zwavelzuur Kalium (Zk)
Terhadap Produksi Segar 5 Jenis Rumput. Buletin L.P.P. Bogor No 12, 1-8
Skerman, P .J . and F . Riveros . 1990 . Tropical grasses . Food and Agriculture Organization of the
United Nations. Rome, 1990.

86
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Pemberian Gliserol Terhadap Kualitas Organoleptik Edible Film dari


Gelatin Usus Ayam

Jajang gumilar1, Wendry S. Putranto1, Andry Pratama1


1
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
email: j.gumilar@unpad.ac.id

Abstrak
Gelatin merupakan salah satu produk yang sangat dibutuhkan dalam industri pangan, industri farmasi,
industri fotography, dan industri lainnya. Gelain dihasilkan dari hasil hidrolisis kolagen yang berasal
dari bagian tulang, kulit, jaringan pengikat dan jaringan-jaringan lainnya pada bagian tubuh ternak
maupun ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuallitas organoleptik edible film dari gelatin
usus ayam. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan berbagai tingkat gliserol (0,
10, 20, 30, dan 40%), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali ulangan. Analisis yang
digunakan adal analisis deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan
memiliki warna yang beragam, semakin tinggi gliserol menghasilkan edible film yang kuat.

Kata Kunci: Gliserol, Organoleptik, Gelatin, Usus Ayam.

Abstract
Gelatin is one of the products that are highly needed in the food industry, the pharmaceutical
industry, the photography industry, and other industries. Gelain is produced by the collagen
hydrolysis from bone, skin, connective tissue and other tissues in the body parts of livestock or fish.
This study aims to determine the quality of organoleptic edible films from chicken intestinal gelatin.
The method used was an experimental method with various levels of glycerol (0, 10, 20, 30, and
40%), each treatment was repeated 4 times. The analysis used descriptive. The results showed that the
edible film had a variety of colors, the higher the glycerol produces a strongest edible film.

Keywords: Glycerol, Organoleptic, Gelatin, Chicken Intestine.

Pendahuluan
Gelatin merupakan salah satu produk yang sangat dibutuhkan dalam industri pangan, industri
farmasi, industri fotography, dan industri lainnya. Gelain dihasilkan dari hasil hidrolisis kolagen yang
berasal dari bagian tulang, kulit, jaringan pengikat dan jaringan-jaringan lainnya pada bagian tubuh
ternak maupun ikan. Gelatin dapat dihidrolisis dengan merendam bagian jaringan pada air dengan
suhu diatas 40oc . Gelatin akan larut di dalam air panas dengan suhu diatas 71,1 oc, membentuk jel
pada suhu dibawah 48,9oc, dan stabil pada ph antara 4 sampai dengan 10.
Gelatin diantaranya dimanfaatkan untuk membuat biopolimer, dalam industri makanan pada
umumnya dibuat menjadi edible film. Film yang berasal dari protein sifat permiabilitas uap air nya
lebih baik dari pada film sintetis tetapi rapuh dan tidak lentur, oleh karena itu berbagai penelitian
sedang dikembangkan untuk meningkatkan kualitas film dari protein tersebut melalui penambahan
plastizicer, lemak, zat kimia, enzim, dan zat-zat penguat lainnya (Wihodo dan Moraru, 2013).
Banyaknya interaksi rantai protein, karena kombinasi ikatan disulfida intermolekul, ikatan hidrogen,
interaksi hidrofobik, dan kekuatan elektrostatik, menyebabkan kerapuhan pada film dari protein
(Sothornvit dan Krochta, 2001). Untuk mengurangi interaksi rantai protein agar film lebih fleksibel

87
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

maka penggunaan plasticizer sangat dibutuhkan. Molekul plasticizer memiliki kemampuan untuk
memposisikan diri dalam jaringan protein tiga dimensi, sehingga meningkatkan volume dan
pergerakan rantai polimer lebih bebas (Vieira dkk., 2011). Sebagai konsekuensinya, penambahan
plasticizer menyebabkan film menjadi lebih rigid tapi tidak kaku dan tahan patah, dengan tingkat
permeabilitas meningkat terhadap uap air dan gas (Sothornvit dan Krochta, 2001; Jongjareonrak dkk.,
2006).
Karakteristik fisikokimia biopolimer mempegaruhi sifat dari film yang dihasilkan (Sothornvit
dan Krochta, 2001). Untuk meningkatkan kelenturan edible film diperlukan penggunaan plasticizer
dalam jumlah tertentu, penggunaan plasticizer berkisar antara 10 – 60% dari berat kering polimer,
tergantung kepada kualitas yang diinginkan (Guilbert, dkk. 1996). Plasticizer yang biasa digunakan
pada pembuatan film diantaranya adalah monosakarida (glukosa), disakarida (sukrosa), oligosakarida,
polyols (gliserol, sorbitol, manitol, poliethilen glikol), dan beberapa lemak serta turunannya seperti
phospholipid, asam lemak, surfaktan (Han, 2000).
Penggunaan sorbitol 30% sebagai plasticizer menghasilkan kualitas edible film dari gelatin
kaki ayam lebih baik dibandingkan dengan penggunaan gliserol dan poliethilen glikol (Taufik dan
Fatma, 2013). Jahit dkk. (2016) menggunakan gliserol sebanyak 30% untuk pembuatan edible film
dari gelatin, cmc, dan citosan. Farahnaky dkk (2012), menyimpulkan bahwa penggunaan gliserol 20
dan 30% memberikan kualitas edible film terbaik.

Bahan dan Metode


Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: water bath, oven, desikator, plat
teflon diameter 13 cm, gelatin usus ayam, gliserol, dan aquades. Proses pembuatan edible film
berbahan dasar usus ayam adalah sebagai berikut: dalam proses pembuatan edible film yang berbahan
dasar gelatin usus ayam, digunakan beberapa macam plasticizer, yaitu gliserol, dengan konsentrasi
10%, 30%, dan 50%. Larutan pembentuk film dibuat dengan konsentrasi 8 gr/100ml dengan prosedur
sebagai berikut: gelatin dilarutkan dalam water bath suhu 50oc sambil diaduk menggunakan mixer
selama 20 menit. Setelah gelatin larut, selanjutnya ditambahkan plasticizer dengan konsentrasi sesuai
dengan perlakuan. Dihomogenisasi dengan cara diaduk selama 5 menit pada suhu kamar. Larutan film
yang terbentuk selanjutnya dituang ke plat teflon diameter 13 cm, kemudian dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 60oc selama 18 jam. Film dilepas dari plat dengan hati-hati, lalu
disimpan di dalam wadah yang berisi silika gel yang dialasi dengan aluminium foil, sebelum
dilakukan analisis. Analisis organoleptik dilakukan secara deskriptip dengan cara mengamati edible
film yang terbentuk menggunakan alat indra yang terdiri atas warna.

88
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa bahan edible film yang terbentuk
bervariasi seiring dengan penambahan gliserol yang dilakukan. Gambar edible film yang dhasilkan
dapat dilihat pada ilustrasi 1 dibawah ini,

Ilustrasi 1. Edible film dari gelatin usus ayam menggunakan plastisizer berbagai tingkat gliserol.

Berdasarkan warna yang dihasilkan maka edible film yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:

Tabel 1. Karakteristik edible film yang berasal dari gelatin usus ayam berdasarkan warna
No Perlakuan Karakteristik warna
1 Kontrol Warna bening,
2 Gliserol 10% Warna bening, kecoklatan tua
3 Gliserol 20% Warna bening, kecoklatan muda
4 Gliserol 30% Warna bening, kecoklatan muda
5 Gliserol 40% Warna bening,
6 Gliserol 50% Warna bening, kecoklatan muda

Edible film hasil penelitian menununjukkan bahwa warna edible film yang dihasilkan ada
sedikit perbedaan diantara beberapa perlakuan. Edible film kontrol yang dibuat dari gelatin komersial
menunjukkan warna bening, hampir sama dengan warna edible film dari usus ayam yang diberi
gliserol sebanyak 40%. Warna edible film dari usus ayam yang diberi gliserol 10% sampai 30%
memiliki warna yang relatif seragam. Perbedaannya terletak pada pegangannya yaitu untuk
penambahan gliserol 30% edible film warnanya lebih coklat dan pegangan lebih kasat dan agak kaku,
sedangkan untuk penambahan gliserol 40% warna sedikit muda dan agak lemas serta untuk
penambahan gliserol 50% warna mendekati putih dengan pegangan sedikit lengket dan lemas.

89
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Karakteristik edible film yang berasal dari gelatin usus ayam berdasarkan kekuatan
No Perlakuan Karakteristik kekuatan
1 Kontrol Mudah pecah (rapuh)
2 Gliserol 10% Sangat rapuh
3 Gliserol 20% Rapuh, fleksibel
4 Gliserol 30% Kuat, feksibel
5 Gliserol 40% Kuat, agak kaku
6 Gliserol 50% Kuat, kaku

Tabel 2 menunjukkan bahwa edible film dari usus ayam. Hal ini disebabkan semakin banyak
protein dalam edible film semakin banyak asam amino hidrofobik yang tersedia. Ikatan-ikatan antara
polimer pada konsentrasi yang lebih tinggi lebih kuat. Menurut Poeloengasih (2002), semakin banyak
jumlah asam-asam amino, maka interaksi protein-protein yang terjadi juga semakin banyak.
Dijelaskan juga oleh Jungchud dan Chinan (1999) bahwa konsentrasi protein yang tinggi dalam
larutan film akan membentuk ikatan yang kuat antara polimer, sehingga dibutuhkan gaya tarik yang
lebih besar untuk memutus film. Meningkatnya level gliserol menyebabkan penurunan kekuatan tarik
edible film. Hal ini disebabkan karena titik jenuh telah terlewati sehingga molekul-molekul pemlastis
yang berlebih dalam fase tersendiri diluar fase polimer dan akan menurunkan gaya intermolekuler
antar rantai polimer (Jaya dkk.,2010). Menurut Gennadios dkk.,(1998), bahwa plasticizer memiliki
sifat hidrofilik, yang menyebabkan timbulnya sifat lentur pada edible film karena terbentuknya rongga
yang dapat mengganggu gaya tarik antar molekuler. Film yang semakin lentur menyebabkan gaya
yang dibutuhkan untuk menarik film kecil, sehingga kekuatan tariknya juga kecil. (Gontard dkk.,
1993) menjelaskan bahwa plasticizer gliserol merupakan molekul hidrofilik yang relative kecil dan
dapat masuk diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen antara gugus amida pada gluten
protein. Pada saat gliserol bergabung dengan jaringan gluten protein , interaksi langsung antara rantai
protein dan kedekatan jaraknya menjadi berkurang, sehingga jika film dikenai tekanan gerakan rantai
protein akan dipermudah dengan adanya gliserol yang bertindak sebagai plasticizer menurut
Gennadios dkk., (1998), bahwa struktur film adalah matriks protein yang dibentuk oleh interaksi
protein-protein, ikatan hidrofobik ikatan hidrogen dan ikatan disulfide. Film dengan level gelatin 6%
memiliki kadar protein lebih banyak dari pada yang mengandung gelatin 4%, sehingga matriks
protein yang terbentuk oleh interaksi protein lebih banyak yang menyebabkan ikatan molekul protein
semakin kuat. Film yang kuat mempunyai kemuluran yang rendah.
Tabel 2 menunjukkan peningkatan level gliserol menyebabkan kemuluran edible film menjadi
naik, namun tidak ada perbedaan yang nyata. Peningkatan jumlah plasticizer akan meningkatkan
kemuluran edible film. Plastizicer memiliki sifat plastis sehingga dapat menghasilkan kemuluran yang
tinggi (Lim dkk., 1999). Plasticizer dapat mengurangi ikatan hidrogen internal molekul dan
menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga
mengurangi daya regang putus. Penambahan plasticizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan
film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Lai dkk., 1997). Penambahan plasticizer mampu

90
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film polimer dengan cara mengganggu ikatan
hidrogen antara molekul polimer yang berdekatan sehingga kekuatan tarik-menarik intermolekul
rantai polimer menjadi berkurang. Menurut di Gioia dan Guilbert (1999), bahwa mekanisme proses
plasticizer polimer sebagai akibat penambahan plasticizer melalui adsorbsi, pemecahan, difusi,
pemutusan pada bagian amorf, dan pemotongan struktur.
Tingginya persentase kemuluran film gliserol kemungkinan disebabkan molekul gliserol
relatif kecil dengan karakteristik hidrofobik, sehingga dengan mudah masuk diantara rantai-rantai
protein dan membuat ikatan hidrogen dengan grup amida dan rantai samping asam amino dari protein
(Gontard dkk., 1993). Ketika gliserol disatukan dalam jaringan film gelatin, interaksi langsung dan
kekuatan ikatan rantai protein berkurang.

Kesimpulan
Warna edible film bervariasi satu dengan lainnya. Semakin banyak plasizer yag digunakan
maka edible film menjadi kurang fleksibel.

Ucapan terimakasih
Penelitian ini didanai dari program hibah internal unpad, melalui skema riset fundamental
unpad (RFU) tahun anggaran 2019.

Daftar pustaka
Frahnaky A., Saberi B., dan Majzoobi M. 2012. Effect of Glycerol on Physical and Mechanical
Properties of Wheat Starch Edible Films.
Genadios,A and C.L. Weller.1998. Edible Film and Coatingfrom Wheat and Corn Proteins. J.Food
Technology. 44: 63-69.
Gioia, D. L., & Guilbert, S., 1999, Corn Protein-Based Thermoplasticresins: Effect of Some Polar and
Amphiphilic Plasticizers, J. Agric.Food Chem, Vol. 47, 1254-1261.
Gontard, N., Guilbert., S., dan Cuq, J.L., 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect Mechanical
and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58(1): 206 -
211.
Guilbert, S., Gontard, S., Gorris, L. G. M., 1996. Prolongation of the Shelf-Life of Perishable Food
Products Using Biodegradable Films and Coatings. Lebensmittel-Wissenchraft Und
Technplogie. 29, 10-17
Han J.H, 2000. Antimicrobial Food Packaging. Food Technology. 53 (4): 56 – 65.
Jahit, I. S., Nazmi, N. N. M., Isa, M. I. N., & Sarbon, N. M. (2016). Preparation and physical
properties of gelatin/CMC/chitosan composite films as affected by drying temperature.
International Food Research Journal, 23(3), 1068–1074.
Jaya, D and E. Sulistyawati. 2010. Pembuatan Edible Film dari Tepung Jagung. Eksergi vol X . No 2
Jongjareonrak, S. S. Benjakul, W. Vissanguan, T. Prodpran. 2006. Characterization of edible film
from dkin gelatin. Food Hydrocoloid. 20: 492-501
Jangchud, A and M.S. Chinnan.1999. Peanut Protein Film as Affected by Drying Temperature and pH
of film Forming Solution. J. Food Science. 64: 153-157
Lai, H.M., G.W., Padua & L.S., Wei, 1997, Properties and Microsrucure of Zein Sheets Plastisized
With Palmitic And Stearic Acids, Cereal Chem, Vol. 74, No. 1, 83-90.

91
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Lim, L.T., M.A. Tung and Y.Mine. 1999. Barrier and Tensile Strenght Properties of Transglutaminase
Cross-Linked Gelatin Film as Affected by Relative Humadity, Temperature and Glikol
Content. J. Food Science. (64): 616- 622.
Poeloengasih, C.D. 2002. Karakterisasi Edible Film Komposit Protein Biji kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC) dan Tapioka. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Sothornvit, R. dan Krochta, J. M. 2001. Plasticizer Effect on Mechanical Properties of β-lactoglobulin
films. J. Food Eng. 50, 149-155.
Viera, M. G. A., Silva, M. A., Santos, L. O., Beppu, M. M., 2011. Natural-based Plasticizers and
Biopolymer Films: a Review. Eur. Polym. J. 47, 254-263.
Wihodo, M., Moraru, C. I., 2013. Physical and Chemical Methodes Used to Enhance the Structure
and Mechanical Properties of Protein Films: a Review. J. Food Eng. 114, 291-302.

92
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Evaluasi Kinerja Pertumbuhan pada Sapi Silangan Belgian blue dan PO

Evaluation of Growth Performance in Belgian Blue and PO Crossbreeding

Jakaria1, Edwar3, Mokhamad Fakhrul Ulum2 dan Rudy Priyanto1


1
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB University, Bogor Indonesia
2
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB Univerity, Bogor Indonesia
3
Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Bogor, Indonesia
Korespondensi: jakaria_karman@yahoo.co.id

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja pertumbuhan sapi silangan Belgian Blue (BB) dan
sapi PO pada turunan pertama (F1). Sapi silangan (BB dan PO) yang digunakan sebanyak 15 ekor
terdiri atas jantan 6 ekor dan betina 9 ekor. Selain itu digunakan sapi PO sebanyak 8 ekor betina yang
dipelihara di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor. Peubah yang diamati bobot lahir (BW),
bobot sapih (WW) 205 hari, bobot 1 tahun (YW) 365 hari, pertambahan bobot badan harian dari lahir
(GBW) sampai sapih (GWW) dan pertambahan bobot badan harian dari sapih (GWW) sampai umur 1
tahun (GYW). Data dianalisis secara deskriptif dan perbedaan antar sapi silangan (BB-PO) dengan
sapi PO dilakukan uji t. Hasil analisis bobot badan dan pertumbuhan menunjukkan bahwa sapi
silangan BB dan PO lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO pada WW 205 hari (165.2±21.3 kg
dan 115±15.2 kg), YW (365 hari) (240.7±28.1 kg dan 194.9±26.1 kg) dan GBW sampai GWW
(0.675±0.097 kg dan 0.441±0.059 kg). BW dan GWW sampai GYW tidak berbeda antara sapi
silangan BB-PO dengan PO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program cross-breeding sapi
BB dengan PO dapat meningkatkan kinerja bobot badan dan pertembuhan.

Kata kunci: Cross-breeding, sapi Belgian Blue, sapi PO, pertumbuhan

Abstract
The purpose of this study was to evaluate the growth performance of cross-breeding of Belgian Blue
(BB) and PO cattle in the first generartion (F1). Cross-breeding of BB and PO cattle used as many as
15 heads consisting of 6 males and 9 females. Also, 8 heads PO females are used which are kept in
the Livestock Embryo Center (BET) Cipelang, Bogor. The observed variables were birth weight (BW),
weaning weight (WW) 205 days, weight 1 year (YW) 365 days, daily body weight gain from birth
(GBW) to weaning (GWW) and daily body weight gain from weaning (GWW) until the age of 1 year
(GYW). Data were analyzed descriptively and the difference between cross-breeding (BB-PO) cattle
and PO cattle was done by t-test. The results of body weight and growth analysis showed that
crossbreed BB and PO cattle were higher than PO cattle at WW 205 days (165.2 ± 21.3 kg and 115 ±
15.2 kg), YW (365 days) (240.7 ± 28.1 kg and 194.9 ± 26.1 kg ) and GBW to GWW (0.675 ± 0.097 kg
and 0.441 ± 0.059 kg). BW and GWW to GYW do not differ between crossbreed BB-PO and PO
cattle. The results of this study indicate that the cross-breeding program for BB cattle with PO cattle
breeds can improve the performance of body weight and growth.

Keywords: Cross-breeding, Belgian Blue cattle, PO cattle, growth

Pendahuluan
Di beberapa negara yang memiliki potensi peternakan besar, program cross-breeding intensif
dilakukan khususunya pada ternak sapi baik sapi pedaging maupun sapi perah (VanRaden & Sanders,
2003; Schutt et al., 2009; Theunissen et al., 2014; Sing, 2016; Manzi et al., 2018; Bunning et al.,
2019). Terdapat dua keunggulan penting yang diperoleh dari program persilangan (cross-breeding)
yaitu mendapatkan pengaruh heterosis atau hybrid vigor dan mendapatkan pengaruh kombinasi

93
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

terbaik dari kedua tetua yang disilangkan (Weaber, 2015). Sapi Belgian Blue sebagai sapi double
muscle yang berasal dari Belgia telah diintroduksikan (dalam bentuk embrio dan semen) di Indonesia
pertama kali pada tahun 2013 dan mulai dikembangkan pada tahun 2015 di Balai Embrio Ternak
(BET) Cipelang Bogor. Pengembangan Belgian Blue tersesebut telah menghasilkan sapi Belgian Blue
murni dan silangannya dengan bangsa sapi lainnya yang sudah ada di Indonesia.
Pemanfaatan sapi Belgian Blue untuk tujuan cross-breeding dengan bangsa sapi lain telah
dilakukan seperti persilangan sapi Belgian Blue dengan bangsa sapi Piemontese (Bittante et al.,
2018), bangsa sapi Brown Swiss, Simmental dan Rendena (Tagliapietra et al., 2018), sapi perah
Jersey (Goni et al., 2016) dan sapi Herford dan Angus (Freetly et al., 2011). Cross-breeding pada sapi
pedaging dan sapi perah memberikan dampak positif dan menghasilkan beberapa keuntungan
(Weaber, 2015) baik dengan metode terminal crossing atau grading up (Singh, 2016). Program cross-
breeding sapi Belgian Blue dengan sapi lokal khususnya sapi Peranakan Ongole (PO) pada keturunan
pertama (F1) yang dilakukan di BET Cipelang Bogor berlum pernah dievaluasi terkait dengan
performa pertumbuhannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja
performa pertumbuhan pada sapi silangan (cross-breeding) (F1) Belgian Blue dengan sapi PO
termasuk sapi murni PO.

Materi dan Metode


Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas hasil silangan (cross-breeding)
turunan pertama (F1) Belgian Blue dan PO sebanyak sebanyak 15 ekor terdiri atas 6 ekor jantan dan 9
ekor betina. Selain itu digunakan sapi PO murni sebanyak 8 ekor betina yang dipelihara di Balai
Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor. Pemeliharaan sapi hasil cross-breeding (F1) Belgian Blue dan
PO dilakukan secara koloni termasuk sapi PO pada kandang terpisah sesuai SOP (Standard
Operational Procedure) dan GFM (Good Farming Practices). Susu diberikan sebanyak 3-4 liter ekor
per hari dari umur 1-6 bulan. Setelah umur 6 bulan ke atas, konsentrat diberikan sebanyak 3.8 kg dan
rumput 25 kg per ekor per hari. Komposisi nutrisi terutama kandungan protein kasar (PK) 21%
sampai umur 12 bulan, sedangkan umur diatas 12-18 bulan kandungan protein kasar (PK) 18%.
Adapun air minum diberikan secara ad-libitium baik pada sapi hasil cross-breeding (Belgian Blue-
PO) dan sapi PO.
Pebuah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot lahir (BW), bobot sapih (WW) yang
distandarisasi ke umur 205 hari, bobot 1 tahun (YW) yang distandarisasi ke umur 365 hari,
pertambahan bobot badan harian dari lahir (GBW) sampai sapih (GWW) dan pertambahan bobot
badan harian dari sapih (GWW) sampai umur 1 tahun (GYW). Rumus bobot sapih terkoreksi umur
205 hari (WW) dan bobot setahun terkoreksi umur 365 hari (YW) serta pertambahan bobot badan
harian (PBBH) disajikan sebagai berikut (Harjosubroto, 1994):
Keterangan:
[ ]

94
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

= Pertambahan Bobot Badan Harian


= Bobot pada saat peningbangan ke-i
= Bobot lahir

Keterangan:
[ ]
= Bobot sapih terkoreksi umur 205 hari
= Bobot pada saat peningbangan ke-i
= Bobot lahir

Keterangan:
[ ]
= Bobot sapih terkoreksi umur 365 hari
= Bobot pada saat peningbangan ke-i
= Bobot lahir

Adapun koreksi terhadap perbedaan antar jenis kelamin jantan dan betina dilakukan dengan
pendekatan rumus sebagai berikut:

x
xiterkoreksi  standar
x xpengamatan kei
x pengamatan

Keterangan:

x i  t erkoreksi = data yang telah dikoreksi salah satu jenis kelamin

x standar = rataan data yang dijadikan standar

x pengamatan = rataan data yang akan dikoreksi

x pengamatankei = data yang akan dikoreksi ke-i

Data bobot lahir (BW), bobot sapih 205 hari (WW), bobot 365 hari (YW), pertambahan bobot
badan harian (PBBH) dari BW sampai WW dan dari WW sampai YW dianalisis secara deskriptif dan
perbedaan antar sapi hasil silangan (BB-PO) dengan sapi PO dilakukan uji t menggunakan program
Minitab (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian menjukkan bahwa performan bobot badan dan pertambahan bobot badan
harian sapi hasil persilangan (cross-breeding) pada turunan pertama (F1) sapi Belgian Blue dengan

95
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

sapi PO disajikan pada Tabel 1, sedangkan perbandingan sapi hasil silangan (F 1) (Belgian Blue-PO)
dan sapi PO disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Rataan dan simpangan baku performan F1 hasil cross-breeding Belgian Blue dan sapi PO
Jantan Betina
Peubah yang diamati
(n=9 ekor) (n=6 ekor)
Bobot lahir (BW) (kg) 29.73 ± 6.44 26.83 ± 4.85
Bobot sapih 205 hari (WW) (kg) 159.57 ± 28.01 165.20 ± 16.77
Bobot 365 hari (YW) kg) 242.40 ± 25.73 240.75 ± 31.40
Pertambahan bobot badan harian (BW-WW) (kg) 0.63 ± 0.13 0.67 ± 0.08
Pertambahan bobot badan harian (WW-YW) (kg) 0.52 ± 0.14 0.47 ± 0.11

Tabel 2. Performa F1 hasil cross-breeding (Belgian Blue dan sapi PO) dan sapi PO
F1 (Belgian Blue-PO) PO
Peubah yang diamati
(n=15 ekor) (n=8 ekor)
Bobot lahir (BW) (kg) 26.83 ± 5.1 25.38 ± 4.6
Bobot sapih 205 hari (WW) (kg) 165.2 ± 21.3a 115.8 ± 15.2b
Bobot 365 hari (YW) kg) 240.7 ± 28.1a 194.9 ± 26.1b
Pertambahan bobot badan harian (BW-WW) (kg) 0.6749 ± 0.097a 0.4411 ± 0.059b
Pertambahan bobot badan harian (WW-YW) (kg) 0.472 ± 0.112 0.4945 ± 0.095
Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (p<0.05)

Tabel 1 menujukkan bahwa performan bobot badan dan pertumbuhan sapi hasil cross-
breeding (F1) antara jantan dan betina tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Adapun performan
hasil silangan cross-breedingf F1 dengan sapi PO (Tabel 2) memperlihatkan bahwa bobot sapih 205
hari (WW), bobot 365 hari (YW) dan pertambahan bobot badan harian (BW-WW) bahwa sapi F1 hasil
silangan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO (p<0.05), sedangkan bobot lahir (BW) dan
pertambahan bobot badan harian (WW-YW) tidak berbeda. Dengan demikian persilangan sapi
Belgian Blue dengan sapi PO memberikan dampak terhadap peningkatan bobot sapih 205 hari, bobot
badan umur 365 hari dan pertambahan bobot badan harian dari lahir sampai dengan sapih.
Pertambahan bobot badan harian dari sapih sampai dengan umur 365 hari tidak berbeda pada sapi
silangan Belgian Blue dengan PO mengalami penurunan dari 0.6749 kg menjadi 0.472 kg, sebaliknya
pada sapi PO terdapat peningkatan pertambahan bobot badan harian yaitu dari 0.4411 kg menjadi
0.4945 kg. Penurunan pertambahan bobot badan pada sapi silangan F1 Belgian Blue dan PO mungkin
disebabkan oleh faktor lingkungan terutama aspek pakan yang harus diperhatian sesuai dengan
kebutuhan baik kualitas maupun kuanititas terutama kebutuhan energi yang tinggi terutama untuk
pertumbuhan (Fiems et al., 2015).
Secara genetik, pengaruh cross-breeding sapi Belgian Blue dengan sapi PO dengan komposisi
50%:50% memberikan dampak heterosis 100%, sehingga hasil silangan F 1 sebagai terminal crossing
dapat digunakan sebagai ternak komersial atau siap dipotong. Menurut Weaber (2015) menyatakan
bahwa program persilangan (cross-breeding) akan mendapatkan dua keuntungan yaitu pengaruh
heterosis atau hybrid vigor dan mendapatkan pengaruh kombinasi terbaik dari kedua tetua yang

96
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

disilangkan. Pengaruh heterosis tertinggi (100%) didapatkan pada hasil cross-breeding dari dua
bangsa adalah dengan komposisi 50%:50%, sedangkan tiga bangsa adalah dengan komposisi 50%:
25%; 25% (Kirkpatrick, 2017). Heterosis didapatkan dari hasil cross-breeding dari bangsa sapi yang
berbeda, sedangkan pengaruh heterosis tidak diperoleh jika persilangan dilakukan pada bangsa yang
sama (Bunning et al., 2019). Cross-breeding sapi PO sebagai sapi lokal Indonesia yang sudah
beradaptasi dengan lingkungan tropis (Hartati et al., 2015) dengan sapi Belgian Blue yang memiliki
beberapa keunggulan seperti konformasi tubuh dan produksi karkas tinggi serta memiliki kualitas
daging tinggi yaitu memiliki asam lemak tidak jenuh tinggi (Fiems, 2012) perlu didapatkan kombinasi
genetik terbaik untuk menghasilkan bangsa baru atau bangsa komposit dengan daya dukung pakan
yang sesuai (Fiems et al., 2015).

Kesimpulan
Hasil silangan (Cross-breeding) F1 sapi Belgian Blue dengan sapi PO memberikan pengaruh
nyata terhadap peningkatan bobot sapih umur 205 hari, bobot badan umur 365 hari dan pertambahan
bobot badan harian dari BW sampai WW akan tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot lahir dan
pertambahan bobot badah harian dari WW sampai YW.

Ucapan Terima Kasih


Kegiatan penelitian ini didanai melalui skema Penelitian Terapan (Strategis Nasional) dengan
Nomor 4313/IT3.L1/PN/2019. Selain itu, penelitian ini juga dapat terlaksana atas fasilitasi Kepala
Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor.

Daftar Pustaka
Bittante, G., Cecchinato, A., Tagliapietra, F., Verdiglione, R., Simonetto, A., & Schiavon, S. (2018).
Crossbred young bulls and heifers sired by double-muscled Piemontese or Belgian Blue bulls
exhibit different effects of sexual dimorphism on fattening performance and muscularity but
not on meat quality traits. Meat Sci. 137, 24–33.
Bunning, H., Wall, E., Chagunda, M. G. G., Banos, G., & Simm, G. (2019). Heterosis in cattle
crossbreeding schemes in tropical regions: Meta-analysis of effects of breed combination, trait
type, and climate on level of heterosis. J. Anim. Sci. 97, 29–34.
Fiems, L. O. (2012). Double muscling in cattle: Genes, husbandry, carcasses and meat. Animals 2,
472–506.
Fiems, L. O., De Boever, J. L., Vanacker, J. M., & De Campeneere, S. (2015). Maintenance energy
requirements of double-muscled Belgian blue beef cows. Animals 5, 89–100.
Freetly, H. C., Kuehn, L. A., & Cundiff, L. V. (2011). Growth curves of crossbred cows sired by
hereford, angus, belgian blue, brahman, boran, and tuli bulls, and the fraction of mature body
weight and height at puberty. J. Anim. Sci. 89, 2373–2379.
Goni, S., Christiaan Muller, C. J., Dube, B., & Dzama, K. (2016). Effect of Crossbreeding on Beef
Production of Jersey Herd Using Fleckvieh Sires Maintained on a Pasture-Based Feeding
System. Open J. Anim. Sci. 06, 163–168.
Hartati, H., Utsunomiya, Y. T., Sonstegard, T. S., Garcia, J. F., Jakaria, J., & Muladno, M. (2015).
Evidence of Bos javanicus x Bos indicus hybridization and major QTLs for birth weight in
Indonesian Peranakan Ongole cattle. BMC Genet. 16, 1–9.

97
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hardjosubroto. (1994). Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID): Gramedia


Widiasarana Indonesia.
Kirkpatrick, F. D. (2017). Crossbreeding in Beef Cattle. W 471 12/17 18-0164 Programs in
agriculture and natural resources, 4-H youth development, family and consumer sciences, and
resource development. University of Tennessee Institute of Agriculture, U.S. Department of
Agriculture and county governments cooperating. UT Extension provides equal opportunities
in programs and employment.
Manzi, M., Rydhmer, L., Ntawubizi, M., Karege, C., & Strandberg, E. (2018). Growth traits of
crossbreds of Ankole with Brown Swiss, Holstein Friesian, Jersey, and Sahiwal cattle in
Rwanda. Trop. Anim. Health Prod. 50, 825–830.
Mattjik A dan Sumertajaya. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab, Bogor
(ID): IPB press.
Schutt, K. M., Burrow, H. M., Thompson, J. M., & Bindon, B. M. (2009). Brahman and Brahman
crossbred cattle grown on pasture and in feedlots in subtropical and temperate Australia. 1.
Carcass quality. Anim. Prod. Sci. 49, 426–438.
Singh, C. (2016). Cross-breeding in Cattle for Milk Production: Achievements, Challenges and
Opportunities in India-A Review. Adv. Dairy Res. 4, 1–14.
Sutarno, S., & Setyawan, A. D. (2016). The diversity of local cattle in Indonesia and the efforts to
develop superior indigenous cattle breeds. Biodiversitas J. Biol. Divers. 17, 275–295.
Tagliapietra, F., Simonetto, A., & Schiavon, S. (2018). Growth performance, carcase characteristics
and meat quality of crossbred bulls and heifers from double-muscled Belgian Blue sires and
Brown Swiss, Simmental and Rendena dams. Ital. J. Anim. Sci. 17, 565–573.
Theunissen, A., Scholtz, M. M., Neser, F. W. C., & MacNeil, M. D. (2014). Crossbreeding to increase
beef production: Additive and non-additive effects on fitness traits. South African J. Anim.
Sci. 44, 335–341.
VanRaden, P. M., & Sanders, A. H. (2003). Economic merit of crossbred and purebred US dairy
cattle. J. Dairy Sci. 86, 1036–1044.
Weaber, R. L. (2015). Crossbreeding Strategies : Including Terminal Vs . Maternal Crosses. Range
Beef Cow Symp., 117–130.

98
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Distribusi Pola Warna Sapi Pasundan di Jawa Barat

The color pattern distribution of Pasundan Cow in West Java

Johar Arifin, Asep Anang dan Heni Indrijani1)


1)
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Sumedang
Email: johararifin74@gmail.com

Abstrak
Distribusi pola warna Sapi Pasundan merupakan komponen penting dalam konservasi sumberdaya
genetic ternak (SDGT). Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pola warna tubuh, hidung, sekitar
mata, gelambir, kaki bawah, pelvis dan rambut ekor sebagai bahan inventarisasi SDGT. Penelitian ini
dilaksanakan sejak September sampai Desember 2018 di basis populasi Sapi Pasundan Jawa Barat.
Metode penelitian menggunakan survey, analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa distribusi pola warna tubuh Sapi Pasundan Betina di Jawa Barat
adalah merah bata, krem, coklat tua dan kuning padi, pada jantan berturut-turut hitam legam, merah
bata dan krem. Pola warna mulut didominasi oleh warna hitam legam dan hitam terang, sisanya semir
putih. Pada sekitar mata memiliki kesamaan dengan pola warna pada tubuhnya, namun di sekitar
gelambir didominasi putih untuk betina namun pada jantan terdapat kecenderungan mengikuti pola
warna tubuhnya. Warna rambut ekor dominasi hitam, kaki bagian bawah didominasi putih, pelvis
didominasi putih dengan batasan yang tidak kontras. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa distribusi
pola warna Sapi Pasundan memiliki kesamaan ciri fenotipik dengan Bos sondaicus yaitu Sapi Bali
dan Sapi Madura, dengan tingkat kegaraman fenotipik kualitatif yang lebih tinggi.

Kata Kunci: Sapi Pasundan, konservasi sumberdaya genetik, pola warna

Abstract
The distribution of Pasundan cattle color patterns is an important component in the conservation of
animal genetic resources (AnGR). The purpose of this study is to explore the color patterns of the
body, nose, around the eyes, whip, lower leg, pelvis and tail hair as an inventory of AnGR. This
research was conducted from September to December 2018 in the population base of Pasundan Cow
in West Java. The research method uses surveys, data analysis uses descriptive analysis. The results
showed that the distribution of the body color patterns of Pasundan Cattle in West Java was brick
red, cream, dark brown and yellow rice, in Bull successively jet black, brick red and cream. The
mouth color pattern is dominated by jet black and bright black, the rest is white polish. Around the
eyes have similarities with the color patterns on the body, but around the wattle is predominantly
white for females but in males there is a tendency to follow the pattern of body color. the tail hair
color is predominantly black, the lower leg is predominantly white, the pelvis is predominantly white
with no contrasting boundaries. The conclusion of this study is that the distribution of the Pasundan
Cow's color pattern has the same phenotypic characteristics with Bos sondaicus namely Bali Cow
and Madura Cow, with a higher level of qualitative phenotypic salinity.

Keywords: Pasundan cattle, conservation of genetic resources, color patterns

Pendahuluan
Konservasi sumber daya genetik merupakan kegiatan manusia meliputi strategi, perencanaan
dan aksi dalam mempertahankan atau melestarikan serta mengembangkan sumber daya genetik ternak
(SDGT) melalui pengelolaan yang tepat dapat dimanfaatkan atau disumbangkan bagi manusia secara
luas (pangan, produktivitas, pertanian, pariwisata, budaya dan nilai lain) untuk masa sekarang dan
yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetiknya (Arifin, 2017). Sapi Pasundan

99
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

merupakan bagian dari SDGT yang layak dikonservasi melalui pengelolaan yang tepat agar kekayaan
fauna di Jawa Barat dapat menjadi ekosistem yang harmonis dalam sosiokultur masyarakat Jawa
Barat.
Sapi Pasundan merupakan rumpun ternak dalam bangsa Bos sondaicus, terbentuk dari proses
sejarah yang cukup panjang. Menurut Arifin (2017) bahwa rumpun Sapi Pasundan terbentuk dari
sejarah program grading up antar Bos sondaicus dan cross breeding antara Bos sondaicus dengan sapi
Zebu India di wilayah Jawa Barat pada zaman Kolonial Belanda. Perjalanan sejarah menunjukkan
bahwa peternak di Jawa Barat tidak mempertahankan karakteristik ternak hasil persilangan di atas,
peternak melakukan inbreeding dan seleksi negatif dalam sistem perkawinan yang tidak terarah
selama lebih dari sepuluh generasi. Proses perjalanan genetik ternak tersebut membentuk karakter
ternak yang kecil dan ramping sebagai ciri Bos sondaicus namun memiliki gelambir seperti ciri Bos
indicus.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa kegiatan pengelolaan SDGT Sapi Pasundan dimulai
dari inventarisasi keragaman genetiknya. Data awal keragaman genetic suatu SDGT diindikasi dari
keragaman fenotipiknya. Fenotipik ternak yang dipengaruhi oleh factor genetic (tidak ada faktor
lingkungan) adalah fenotip kualitatif (Warwick, dkk,1995). Fenotip kualitatif dibagi menjadi dua,
yakni karakter intra kualitatif dan ekstra kualitatif. Karakter ekstra kualitatif meliputi pola warna
tubuh, ada tidaknya tanduk, bentuk tubuh, ada tidaknya gumba dan lain sebagainya (Arifin, 2017).
Berdasarkan proses pembentukkan rumpun Sapi pasundan, maka pola warna yang dimiliki
SDGT tersebut memiliki distribusi yang bervariasi. Variasi pola warna ternak yang menyebar di basis
populasi di Jawa Barat perlu dieksplorasi secara detail. Kegiatan eksplorasi ini diharapkan dapat
memberikan dukungan data inventarisasi fenotipik dalam rangka konservasi SDGT Sapi Pasundan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian distribusi pola warna Sapi Pasundan di Jawa
Barat menjadi penting. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pola warna tubuh, hidung, sekitar
mata, gelambir, kaki bawah, pelvis dan ekor pada populasi Sapi Pasundan di Jawa Barat sebagai
bahan inventarisasi SDGT.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September sampai desember 2018. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara survey, penentuan
sampel sapi dilakukan secara acak menggunakan multi stage random sampling. dengan melakukan
pemeringkatan wilayah sampel kelompok ternak dalam desa dalam kecamatan. Alat analisis untuk
mengukur dan atau membandingkan antar dan di dalam populasi digunakan koasi eksperimen. Berikut
sampel wilayah diambil dalam penelitian ini.

100
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Johar Arifin, Fakultas


Peternakan UNPAD,
2019

Gambar 1. Wilayah Pengamblilan Sampel

Dari gambar 1 ditampilkan sampel kecamatan dan desa dengan kelompok ternak yang
menjadi basis populasi Sapi Pasundan, disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Wilayah Terpilih Sebagai Sampel Penelitian


No Kabupaten Desa Terpilih
1 Ciamis Desa: Tambaksari, Kec: Tambaksari
Kelompok: Al-Hidayah
2 Ciamis BPPT Sapi Potong Cijeungjing
3 Tasikmalaya Desa: Sirnajaya Kec: Sukaraja
4 Kuningan Desa: Tegal Panjang Kec: Cibingbin
Kelompok: Tegal panjang
5 Purwakarta Desa: Pesanggrahan Kec: Tegalwaru
Kelompok: Gunung Parang III
6 Majalengka Desa: Mekarjaya Kec: Kertajati
Kelompok: Mulya Abadi
7 Cianjur Desa: Sukamanah Kec: Agrabinta
Kelompok: Karya Mukti
8 Sukabumi Desa: Sumberjaya Kec: Tegalbuleud
Kelompok: Sugih Jaya
9 Sumedang Desa: Cipelang Kec: Ujungjaya
Kelompok: Rimba Mekar
10 Garut Desa: Sancang Kec: Cibalong
Kelompok: Sancang Lestari
11 Indramayu Desa: Lajem Kec: Terisi
Kelompok: Gapoktan Terisi
12 Pangandaran Desa: Cijulang Kec: Cijulang
Kelompok: Taruna Muda Tiga

101
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Setelah data kualitatif terkumpul selanjutnya dianalisis deskriptif kualitatif

Keterangan:
= Frekuensi Relatif
= Warna i
n = Jumlah data
Adapun vareabel yang diamati meliputi pola warna tubuh, warna hidung, warna sekitar mata, warna
gelambir, warna kaki bagian bawah, warna pelvis pelvis dan warna rambut ekor.

Hasil dan Pembahasan


Kegiatan inventarisasi genetik ternak dimulai dari karakterisasi fenotipik eksterior. Sifat
kualitatif menjadi indikator utama dalam karakteristik suatu SDGT, hal ini disebabkan fenomena
biologis menurut Warwick, dkk (1995) bahwa sifat kualitatif dipengaruhi oleh factor genetik dengan
peran lingkungan yang nihil. Sifat kualitatif yang penting dalam kegiatan karakterisasi adalah pola
warna populasi SDGT. Pola warna pada sapi asli Indonesia (Bos sondaicus) memiliki variasi yang
tinggi dengan jenis warna yang relative seragam. Penetapan berbagai rumpun sapi dari Bos sondaicus
seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi Pasundan memberikan tantangan bagi dunia konservasi untuk
menggambarkan ciri khas rumpun SDGT tersebut dalam tindakan inventarisasi.
Variasi pola warna ini dipengaruhi oleh sistem perkawinan alamiah yang terjadi di
masyarakat sesuai dengan kultur dan budaya lokal dimana SDGT tersebut hidup dan berkembang.
Sebagai contoh pada Sapi Madura secara kultural terbangun performa ternak yang kuat
pertulangannya karena digunakan untuk ternak kerja, karapan sapi, dan sonok melalui sistem
perkawinan alamiah namun terarah yang dilakukan peternak. Kondisi ini berbeda dengan Sapi
Pasundan yang secara alamiah SDGT ini tidak digunakan untuk kerja maupun kontes. Ilustrasi diatas
menggambarkan adanya perbedaan fundamental dinamika populasi SDGT yang pada ujungnya
berpengaruh terhadap distribusi pola warna.
Berdasarkan hasil penelitian menujukkan bahwa distribusi pola warna Sapi Pasundan di Jawa
Barat disajikan dalam tabel berikut.

102
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Betina di Jawa Barat

Pola Warna Tubuh


No Wilayah Warna di luar
Merah Coklat Kuning Merah Hitam Hitam
Krem dari Bos
Bata Tua padi Tua Terang Legam
sondaicus
1 Ciamis 40 30 20 0 5 5 0 Spot putih 5%
2 Pangandaran 35 40 15 7 0 2 0 Spot putih 10%
3 Tasikmalaya 30 20 30 10 2 8 0 Spot putih 7 %
4 Garut 50 20 10 20 0 0 0 Spot putih 2 %
5 Cianjur 40 20 20 10 4 5 1 Spot putih 4 %
6 Sukabumi 60 10 10 10 6 2 1 Spot putih 4 %
7 Kuningan 70 10 10 5 5 0 0 Spot putih 2 %
8 Sumedang 40 10 35 5 7 3 0 Spot putih 8 %
9 Majalengka 20 42 13 25 0 0 0 Spot putih 6 %
10 Indramayu 45 30 5 10 2 6 1 Spot putih 7 %
11 Purwakarta 20 45 12 8 5 5 0 Spot putih 15 %

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Betina di
Jawa Barat berturut-turut adalah merah bata, krem, coklat tua dan kuning padi dengan warna modus
merah bata. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Noval, dkk (2016) yang menemukan
dominasi warna krem di kelompok ternak sapi pasundan Pasir Pogor Kecamatan Pameungpeuk
Kabupaten Garut. Perbedaan ini disebabkan oleh factor budidaya, menurut Arifin, dkk (2018) bahwa
peternak sapi di wilayah Pasir Pogor Garut mengalami migrasi gen dari sapi-sapi PO dari luar
populasi. Migrasi gen PO dalam populasi Sapi Pasundan menyebabkan perubahan frekuensi gen.

Tabel 3. Distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Jantan di Jawa Barat

Pola Warna Tubuh


No Wilayah Merah Coklat Kuning Merah Hitam Hitam Warna di luar dari
Krem
Bata Tua padi Tua Terang Legam Bos sondaicus
1 Ciamis 20 10 10 0 20 10 30 Spot putih 2%
2 Pangandaran 40 10 0 5 0 20 25 Spot putih 4%
3 Tasikmalaya 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 5 %
4 Garut 13 2 0 0 0 30 55 Spot putih 2 %
5 Cianjur 5 0 5 0 20 25 45 Spot putih 4 %
6 Sukabumi 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 5 %
7 Kuningan 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 2 %
8 Sumedang 40 10 0 5 0 20 25 Spot putih 5 %
9 Majalengka 30 20 0 5 0 20 25 Spot putih 5 %
10 Indramayu 40 10 0 15 0 20 20 Spot putih 5 %
11 Purwakarta 40 20 0 5 0 10 20 Spot putih 17 %

Distribusi pola warna tubuh Sapi Pasundan juga memiliki kemiripan dengan bangsa Bos
sondaicus lain yaitu Sapi Bali dan Sapi Madura. Menurut Hartatik (2014) bahwa Sapi Bali betina
memiliki sebaran merah bata, hitam dan putih, sedangkan Sapi Madura betina memiliki dominasi

103
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

warna merah terang. Sapi Pasundan Jantan memiliki distribusi pola warna tubuh yang dijabarkan pada
Tabel 3.
Distribusi pola warna pada jantan berturut-turut Hitam legam, Merah bata dan krem.
Kemiripan Sapi Pasundan Jantan dengan Sapi Bali adalah pola warna tubuh hitam legam, dan pada
Sapi Madura tidak memiliki pola warna tubuh hitam. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dijelaskan
bahwa Sapi Pasundan memiliki sebaran pola warna yang lebih beragam dibanding Sapi Bali dan Sapi
Madura.
Distribusi pola warna pada hidung atau moncong memberikan gambaran ciri fenotipik
eksterior pada SDGT, Sapi Pasundan di Jawa Barat memiliki distribusi warna hidung tersaji dalam
Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Pola Warna Hidung/Moncong Sapi Pasundan Jantan dan Betina di Jawa Barat
Distribusi Warna
No Wilayah
Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih
1 Ciamis 87 10 3 0
2 Pangandaran 85 10 5 0
3 Tasikmalaya 93 4 3 0
4 Garut 95 2 3 0
5 Cianjur 96 2 2 0
6 Sukabumi 95 2 3 0
7 Kuningan 96 2 2 0
8 Sumedang 85 10 5 0
9 Majalengka 83 12 5 0
10 Indramayu 85 10 5 0
11 Purwakarta 82 13 5 0

Distribusi pola warna mulut Sapi Pasundan didominasi oleh warna hitam legam dan hitam terang,
sisanya semir putih. Pola warna mulut pada Sapi Pasundan memiliki kesamaan Sapi Bali dan Sapi
Madura. Hasil penelitian distribusi pola warna di sekitar mata disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5. Distribusi Pola Warna Di Sekitar Mata Sapi Pasundan Betina


Distribusi Warna Sekitar Mata
No Wilayah Merah Coklat Kuning Merah Hitam
Krem Hitam Legam
Bata Tua padi Tua Terang
1 Ciamis 38 28 20 0 5 5 0
2 Pangandaran 32 40 17 7 0 3 0
3 Tasikmalaya 30 20 30 10 2 8 0
4 Garut 50 20 10 20 0 0 0
6 Sukabumi 62 10 10 8 6 2 1
7 Kuningan 72 10 12 5 5 0 0
8 Sumedang 35 10 32 8 7 5 0
9 Majalengka 20 42 13 25 0 0 0
10 Indramayu 45 30 5 10 2 6 1
11 Purwakarta 20 45 12 8 5 5 0

104
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Distribusi pola warna di sekitar mata pada Sapi Pasundan Jantan ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Pola Warna Di Sekitar Mata Sapi Pasundan Jantan


Distribusi Warna Sekitar Mata
No Wilayah Merah Coklat Kuning Merah Hitam Hitam
Krem
Bata Tua padi Tua Terang Legam
1 Ciamis 19 10 11 0 20 10 30
2 Pangandaran 37 12 0 5 0 20 26
3 Tasikmalaya 5 0 5 0 20 28 42
4 Garut 13 3 0 0 0 30 56
6 Sukabumi 5 0 5 0 20 25 45
7 Kuningan 5 0 6 0 22 30 37
8 Sumedang 5 0 5 0 20 27 43
9 Majalengka 40 10 0 5 0 21 26
10 Indramayu 30 20 0 6 0 21 27
11 Purwakarta 40 10 0 15 0 17 23

Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6 menunjukkan bahwa pola warna sekitar mata memiliki
kesamaan dengan pola warna pada tubuhnya. Sehingga dapat dideskripsikan bahwa Sapi Pasundan
memiliki warna sekitar mata yang sama dengan tubuhnya. Pola warna yang penting berikutnya adalah
pada sekitar gelambir. Variasi distribusi warna sekitar gelambir disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Pola Warna Pada Sekitar Gelambir Betina


Distribusi Warna
No Wilayah
Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih Merah Bata
1 Ciamis 2 2 70 20 6
2 Pangandaran 2 0 75 10 13
3 Tasikmalaya 3 0 83 10 4
4 Garut 1 0 66 8 25
5 Cianjur 3 0 75 11 11
6 Sukabumi 4 1 73 12 10
7 Kuningan 4 0 76 9 11
8 Sumedang 5 2 75 10 8
9 Majalengka 3 0 76 8 13
10 Indramayu 3 0 75 8 14
11 Purwakarta 0 0 74 11 15

105
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Disribusi pola warna sekitar gelambir pada Sapi Pasundan Jantan tersaji dalam Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Pola Warna Pada Sekitar Gelambir Jantan


Distribusi Warna
No Wilayah
Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih Merah Bata
1 Ciamis 40 20 2 0 38
2 Pangandaran 55 10 6 0 29
3 Tasikmalaya 43 10 6 0 41
4 Garut 46 15 7 0 32
5 Cianjur 36 20 8 0 36
6 Sukabumi 37 12 9 0 42
7 Kuningan 42 9 9 0 40
8 Sumedang 45 10 5 0 40
9 Majalengka 40 12 5 0 43
10 Indramayu 42 10 7 0 41
11 Purwakarta 44 11 7 0 38

Distribusi pola warna sekitar gelambir pada Sapi Pasundan memiliki dominasi putih untuk populasi
ternak betina sedangkan pada jantan terdapat kecenderungan mengikuti pola warna tubuhnya.
Kondisi distribusi warna rambut ekor Sapi Pasundan. Sapi Pasundan memiliki pola warna
dominasi hitam 95 persen dan mengikuti pola warna tubuh 5 persen baik jantan ataupun betina. Pola
warna pada kaki bagian bawah pada ternak jantan dan betina didominasi putih 96 persen dan sisanya
mengikuti warna tubuh. Demikian juga warna pelvis didominasi putih dengan batasan yang tidak
kontras 87 persen dan sisanya mengikuti warna tubuh. Pola warna pada rambut, kaki bagian bawah
dan pelvis memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Noval, dkk (2016).
Berdasarkan fenomena distribusi pola warna pada Sapi Pasundan, ternyata memiliki
kemiripan fenotipik antara Sapi Pasundan dengan Sapi Bali dan Sapi Madura. Namun demikian pola
warna Sapi Pasundan memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua rumpun
tersebut. Hal ini disebabkan ketiga rumpun ternak dari bangsa Bos sondaicus ini memiliki kedekatan
genetic atau hubungan kekerabatan yang tinggi. (Sulasmi, 2016). Variasi pola warna yang tinggi pada
Sapi Pasundan disebabkan oleh tidak adanya arah seleksi dan sistem perkawinan yang jelas di
masyarakat.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa distribusi pola warna Sapi Pasundan memiliki
kesamaan ciri fenotipik dengan Bos sondaicus yaitu Sapi Bali dan Sapi Madura, dengan tingkat
kegaraman fenotipik kualitatif yang lebih tinggi.

Ucapan Terima Kasih


Pada penelitian ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat.

106
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Daftar Pustaka
Arifin, J, Daud AR, Asmara IY. 2016. Pengembangan sumberdaya genetik ternak di kawasan geopark
Ciletuh. [Development of genetic resources of livestock in geopark Ciletuh area]. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan (seri IV) Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokwerto. 4 (1):281‒287.
Arifin. J, Sri Bandiati, Unang Yunasaf dan Endang Y Setyowati. 2017. Sebaran Populasi Sumberdaya
Genetik Sapi Pasundan Di Wilayah Priangan Utara Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan 9. Universitas Padjadjaran. Sumedang. 9 (1):381-385.
Arifin.J, 2017. Konservasi Sumberdaya Genetik Sapi Pasundan di Jawa Barat. Disertasi. Program
Pasca Sarjana Ilmu Peternakan. Universitas Padjadjaran. Sumedang.
Arifin.J, Umi Halwati, Endang Y. Setyowati, Heni Indrijani dan Asep Anang. 2018. Dampak Migrasi
Gen PO terhadap Homosigositas Populasi Sapi Pasundan di Purwakarta Jawa Barat. [The
Migration Gen PO Effect on Homosigosity of Pasundan Cattle Popuation at Purwakarta West
Java]. Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan (seri VI).
Universitas Jenderal Soedirman. Purwokwerto. 4 (1): 210‒214.
Arifin.J, Daud AR., Rija Sudirja. 2018. Kajian Pewilayahan Sumber Bibit di Jawa Barat. Laporan
Penelitian. Pusat Riset Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Faris Naufal, Endang Yuni Setyowati, Nono Suwarno. 2016. Karakteristik Kualitatif Sapi Pasundan
Di Peternakan Rakyat. http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/10147/4579. 5(4): 1-13
Hartatik.T, 2014. Analisis Genetik Ternak Lokal. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta
Sulasmi, Gunawan,A., Priyanto, R., Sumantri, C., Arifin, J. 2016. Keseragaman dan Kedekatan
Morfometrik Ukuran Tubuh Sapi Pasundan. Jurnal Veteriner FKH Unud Vol. 18 No. 2: 263-
273 http://ojs.unud.ac.id/php.index/jvet
Sulasmi. 2016. Karakterisasi Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Pasundan Berdasarkan Indeks
Morfometri Dan Pendekatan Kraniometri. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Ternak. IPB
Bogor
Warwick, E.J, J.Maria Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

107
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Studi Awal Performa Kerbau Rawa, Murrah dan Persilangannya (F1) di Balai
Penelitian Ternak

A Preliminary Study on Performance of Swamp Buffaloes, Murrah and Crossbreds (F1) at


Research Institute for Animal Production

Lisa Praharania), Ria Sari Gail Sianturi dan Yeni Widiawati


Balai Penelitian Ternak
a)
Korespondensi: lisapraharani@pertanian.go.id

Abstrak
Ternak kerbau (Bubalus bubalus) memiliki peran utama sebagai penghasil daging (kerbau rawa) dan
susu (kerbau sungai). Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui berat dan ukuran badan F1
persilangan kerbau rawa dan kerbau Murrah serta pengaruh heterosis. Sebanyak 11 ekor ternak kerbau
yang terdiri dari 3 ekor kerbau Murrah, 5 ekor kerbau rawa dan 3 ekor kerbau F1 persilangan
digunakan dalam penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak. Peubah yang diamati adalah
berat lahir (BL), berat setahun (BS), pertambahan berat badan harian (PBBH), tinggi pundak (TP),
lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB). Data dianalisa menggunakan model linear umum dan uji-
PDIFF antar genotipa. Hasil penelitian menunjukkan genotipa kerbau berpengaruh nyata terhadap BL,
BS, PBBH, TP, LD, dan PB (P<0,05). Ternak kerbau Rawa memiliki BS, PBBH, TP dan PB terendah
(P<0,05). Ternak F1 memiliki BL dan LD tertinggi (P<0,05). BL menampilkan pengaruh heterosis
terbesar (21,91%). Performa ternak F1 lebih tinggi dari rataan tetuanya akibat pengaruh heterosis.
Penelitian ini merupakan informasi awal yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam
pengembangan ternak kerbau persilangan mendukung produksi daging nasional. Penelitian lanjutan
diperlukan dengan menggunakan jumlah ternak lebih banyak.

Kata kunci: berat badan, ukuran tubuh, kerbau, persilangan

Abstract
Buffalo (Bubalus bubalus) has a important role for meat (buffalo swamp) and milk (river buffalo). A
study was conducted to evaluate body weights and size in F1 crossbreds of swamp and Murrah
buffaloes. A total of 11 buffaloes consisting of 3 Murrah, 3 F1 crossbreds and 5 swamp buffaloes
were used in research conducted at the Research Institute for Animal Production. The variables
observed were birth weight (BW), yearling weight (YW), average daily gain (ADG), body length (BL),
wither height (WH), heart girth (HG). Data were analyzed using general linear models and PDIFF to
determine differences between genotypes. The results showed that weight traits and body size were
affected by genotype (P<0,05). The swamp buffaloes had the lowest BW, ADG, WH and BL (P<0,05).
The F1 crossbreds had the highest BW and HG (P<0,05). BW had the highest heterosis effect
(21,91%). Performance of F1 crossbreds was higher than the parental means due to heterosis effect.
This research is preliminary information that can be used as a recommendation in the development of
crossbreeding in buffaloes supporting national meat production. Further research using larger
sample size to obtain more accurate results.

Keywords: body weights, body size, buffalo, crossbreeding

Pendahuluan
Ternak kerbau memiliki peranan dalam penyediaan daging dan susu meskipun tidak sebesar
daging sapi. Kontribusi daging kerbau dilaporkan sebesar 11,5% dari total produksi daging
ruminansia (Cruz, 2015) dan mampu menghasilkan 8,9 juta ton susu per-tahun (FAO, 2015). Di
Indonesia peran ternak kerbau sebagai penghasil daging hanya berkontribusi < 5% dari total konsumsi

108
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

daging (Ditjen PKH, 2018), meskipun di beberapa daerah seperti Sumatra Utara, Sumatera Barat,
Sulawesi Selatan, Banten dan Nusa Tenggara Barat konsumsi daging kerbau kemungkinan lebih
tinggi berkaitan dengan sosial dan budaya.
Berbagai penelitian menyebutkan keunggulan daging kerbau antara lain cholesterol 40% lebih
rendah, kalori 55% lebih rendah, protein 11% lebih tinggi, dan mineral 10% lebih tinggi dan amino
acid (Naveena & Kiran 2014). Namun konsumsi daging kerbau pada kenyataannya masih lebih
rendah dibandingkan daging sapi, kambing dan domba, disebabkan oleh keempukan dagingnya lebih
rendah dibandingkan sapi (Borghese, 2013). Bila kerbau dipotong pada umur < setahun, kualitas
keempukannya tinggi (Hamid et al. 2017). Di Australia ternak silangan kerbau Rawa dan kerbau
sungai (Tenderbuff) memiliki keempukan daging yang tinggi Lemcke (2011).
Berdasarkan karyotipe kromosomnya, kerbau diklasifikasikan menjadi 2 sub-species (yaitu
kerbau rawa atau Rawa (swamp) yang memiliki 48 kromosom dan kerbau sungai (riverine) memiliki
50 kromosom (Hamid et al. 2017). Morfologi eksterior kualitatif kerbau rawa dan sungai sangat
berbeda seperti warna tubuh, warna kaki bawah, bentuk tanduk dan kepala, dimana kerbau Rawa lebih
kecil dengan perototan yang lebih kompak dibandingkan kerbau sungai yang memiliki produksi susu
lebih tinggi (Pérez-Pardal, 2018).
Persilangan antara kerbau Rawa dan sungai telah banyak dilakukan seperti di Philipina, Cina,
Australia, dan Vietnam untuk memperbaiki genetik ternak, dimana anak persilangan memiliki
performa lebih baik akibat pengaruh heterosis dan komplementaritas (Cruz, 2015). Dalam reviewnya,
Praharani (2009) membandingkan performa reproduksi (umur kawin dan beranak pertama lebih
muda, siklus berahi lebih pendek, lama kebuntingan dan jarak beranak lebih pendek) dan performa
produksi (pertumbuhan lebih cepat, berat potong lebih tinggi, umur potong lebih muda, produksi susu
lebih tinggi dan kualitas lemak dan protein lebih baik) dibandingkan kerbau Rawa. Namun di
Indonesia, persilangan kerbau belum dilakukan disebabkan adanya berbagai keterbatasan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui performa F1 persilangan kerbau rawa dan
kerbau (sungai) Murrah. Penelitian ini merupakan informasi awal yang dapat digunakan sebagai
rekomendasi dalam pengembangan ternak kerbau persilangan mendukung produksi daging nasional.

Materi dan Metode


Penelitian pendahuluan ini dilakukan di Kandang Percobaan Ternak Kerbau, Balai Penelitian
Ternak Ciawi-Bogor. Lokasi penelitian pada ketinggian 350-450 meter diatas permukaan laut dengan
suhu udara rataan 20-30oC dan curah hujan 3500-4000 mm/tahun. Sebanyak 11 ekor ternak kerbau
yang terdiri dari 3 ekor kerbau Murrah, 5 ekor kerbau rawa dan 3 ekor kerbau F1 persilangan
digunakan dalam penelitian. Materi ternak kerbau yang diamati sangat terbatas sehingga ternak jantan
dan betina tidak dipisahkan dalam analisa data.
Semua ternak dipelihara dalam manajemen pemeliharaan yang sama dalam kandang individu.
Pemberian pakan sesuai dengan pertambahan umur dimana hijauan king grass sebanyak 15-20

109
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kg/ekor/hari (10% dari berat badan) dengan tambahan konsentrat 1-3 kg/ekor/hari (1% dari berat
badan) yang mengandung protein kasar 15% dan TDN 60%. Air minum disediakan secara ad libitum.
Anak kerbau segera ditimbang setelah lahir. Induk dan anak kerbau ditempatkan dalam kandang
bersama sampai umur 4 bulan masa penyapihan. Hijauan pakan dan konsentrat mulai diberikan
setelah umur 2 bulan.
Parameter yang diamati adalah berat badan meliputi berat lahir (BL), berat setahun (BS), dan
pertambahan berat badan harian (PBBH) antara lahir dan setahun. Ukuran tubuh pada umur setahun
meliputi tinggi pundak (TP), panjang badan (PB) dan lingkar dada (LD). PBBH diukur berdasarkan
pertambahan berat badan harian sejak lahir sampai umur setahun (Berat badan umur setahun-berat
lahir)/365 hari). TP merupakan jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah
diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. LD diukur melingkar tepat dibelakang
scapula, dengan menggunakan pita ukur, satuan dalam cm. Panjang badan (PB), jarak garis lurus dari
tepi tulang Processus spinosus sampai dengan benjolan tulang lapis (Os ischium), diukur
menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. Pengaruh heterosis dihitung berdasarkan rumus:
H (%) = {[PF1 – (PR + PM)/ 2] x 100};
H (%) = Heterosis;
PF1 = rataan F1;
PR = rataan kerbau Rawa;
PM = rataan kerbau sungai (Murrah).
Data dikelompokan berdasarkan genotipa. Data dianalisa menggunakan model linear umum (SAS,
2003) dengan genotipa sebagai peubah tetap. Jenis kelamin ternak tidak dimasukan dalam model
karena keterbatasan jumlah ternak sampel. Model persamaan linier yang digunakan untuk analisa BL,
BS, PBBH, TP, PB dan LD adalah:
Yij = µ + Gi + εij
dimana:
Yij = karena pengaruh genotipa ke-i, dan ulangan ke-j
µ = rataan umum
Gi = pengaruh genotipa ke-i, (i=1 (Murrah), 2 (F1) dan 3 (Rawa))
εij = Pengaruh acak karena pengaruh genotipa ke-i dan ulangan ke-j

Sementara P-DIFF digunakan untuk membedakan signifikansi antara genotipa.

Hasil dan Pembahasan


Berat badan
Tabel 1 ditampilkan rataan (least square means) dan standard error berat badan kerbau
berdasarkan genotipa. Berat lahir (BL), berat setahun (BS) dan pertambahan berat badan harian
(PBBH) dipengaruhi oleh genotipa (P<0,05). Penelitian lain (Momin et al 2016) melaporkan genotipa

110
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

mempengaruhi berat badan antara ternak kerbau persilangan dan tetuanya (kerbau Rawa dan sungai).
Sedangkan Gerli et al (2013) membandingkan berat badan kerbau rawa dan Murrah di Balai
Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Kerbau Siborongborong pada umur yang sama tidak terdapat
perbedaan.
Ternak kerbau Rawa memiliki BS (185,4 kg) dan PBBH (0,48 kg/hari) terendah (P<0,05).
Ternak F1 persilangan memiliki BL (42,73 kg) nyata (P<0,05) tertinggi. Sedangkan BS (253,33 vs
229,36 kg) dan PBBH 0,70 vs 0,63 kg/hari) kerbau Murrah dan F1 tidak berbeda (P>0,05).
Perkawinan silang kerbau Rawa dan kerbau Murrah menghasilkan peningkatan BL sebesar 21,91%,
BS 4,56% dan PBBH 6,77% sebagai pengaruh heterosis. Praharani et al (2019) melaporkan nilai
heterosis yang rendah pada berat badan (-2,6%). Persilangan kerbau Rawa dengan kerbau Murrah
dapat meningkatkan BL, BS dan PBBH.
Penelitian Momin et al (2016) yang melakukan persilangan kerbau sungai dan Rawa di Iran
melaporkan BL hasil persilangan (F1) sebesar 28 kg, lebih rendah dari hasil penelitian ini disebabkan
perbedaan induk (Rawa vs Sungai). Dalam penelitian ini induk kerbau Murrah disilangkan dengan
pejantan kerbau Rawa. Sementara Momin et al (2016) dan Cruz (2015) serta Yore et al (2018)
menyilangkan induk kerbau Rawa dan pejantan kerbau Murrah, sehingga menghasilkan BL, BS dan
PBBH anak F1 yang berbeda. Rumpun induk mempengaruhi berat lahir anak dalam perkawinan
silang disebabkan pengaruh maternal (dam effect) (Prastowo et al. 2018).
Hasil penelitian persilangan kerbau sungai dan Rawa yang dilakukan Momani et al (2016)
melaporkan berat badan pada umur 3 tahun kerbau Rawa terrendah (305 kg), kerbau sungai tertinggi
(354 kg) dan F1 (340 kg) diantara tetuanya. Penelitian ini sama dengan Cruz (2015) dan Yore et al
(2018) bahwa persilangan dengan kerbau sungai dapat meningkatkan performa kerbau Rawa. Dalam
reviewnya, Yore (2018) melaporkan berat badan umur 5 tahun kerbau Rawa (398-443 kg) dan
persilangannya F1 (479-530 kg) sama dengan kerbau Murrah (476-531 kg). Selanjutnya dilaporkan
juga bahwa heterosis (%) tertinggi pada berat badan umur 36 tahun yaitu 31,2% lebih tinggi
dibandingkan penelitian ini (21,9%) disebabkan perbedaan genetik dan lingkungan.
Penelitian Gerli et al (2013) yang dilakukan di BPTU Kerbau Siborongborong melaporkan
Rataan berat badan kerbau Murrah jantan dan betina pada kelompok umur 2 tahun 258 dan 241 kg,
sedangkan kerbau rawa jantan dan betina adalah 246 dan 223 kg. Hasil penelitian ini hampir sama
dengan Gerli et al (2013) disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang sama yaitu sistem intensif.

Tabel 1. Rataan (LSM±SE) berat badan kerbau Murrah, Rawa dan F1, heterosis dan P-value
Genotipa
Parameter Heterosis (%) P-value
Murrah F1 (Murrah x Rawa) Rawa
Berat lahir 35.50±2.23a 42.73±2.58b 33.60±2.58a 21,91 0,0055
Berat setahun 253.33±12.18a 229.36±12.18a 185.42±10.55b 4,56 0,0047
PBBH 0.70±0.03a 0.63±0.03a 0.48±0.03b 6,77 0,0058
ab
superscript pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

111
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ukuran tubuh
Berdasarkan Tabel 2, terdapat pengaruh nyata (P<0,05) genotipa terhadap tinggi pundak (TP),
lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB). Penelitian ini seperti yang dilaporkan oleh Momin et al
(2016) yang menyatakan bahwa ukuran tubuh berbeda antara ternak kerbau persilangan (F1) dan
tetuanya (kerbau Rawa dan Murrah).
Ternak kerbau Rawa memiliki TP (124,00 cm) dan PB (122,00 cm) nyata (P<0,05)terendah.
Lingkar dada kerbau F1 (188,33 cm) nyata (P<0,05) tertinggi. Sedangkan TP (132,66 vs 130,66 cm)
dan PB (135,3 vs 132,6 cm) kerbau F1 tidak berbeda dengan kerbau Murrah (P>0,05). Hasil
persilangan (F1) memiliki ukuran tubuh lebih tinggi dibandingkan tetuanya kerbau Rawa.

Tabel 2. Rataan (LSM±SE) ukuran tubuh kerbau Murrah, Rawa dan F1, heterosis dan P-value
genotipa
Parameter Heterosis P-value
Murrah F1 (Murrah x Rawa) Rawa
Tinggi pundak 130,66±1,87a 132.66±1,89a 124.00±1,77b 4,18 0,0389
Lingkar dada 182.66±1,83ab 188.33±1,86b 180.33±1,89a 3,76 0,0445
Panjang badan 132.6±2,78a 135.3±2,78a 122.00±2,7b 6,28 0,0322
ab
superscript pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Kerbau rawa umur 2-3 tahun hasil pengamatan Gerli et al (2013) didapat tinggi pundak 115,5
cm, panjang badan 105,5 cm, lingkar dada 182,5 cm, dan kerbau Murrah berturut-turut 115,5, 122 dan
162,5 cm. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Gerli et al (2013) disebabkan perbedaan
genetik.
Perkawinan silang kerbau Rawa dan Murrah menghasilkan peningkatan ukuran tubuh kerbau
Rawa berturut-turut 4,18%, 3,76% dan 6,28% untuk tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan.
Pengaruh heterosis ukuran tubuh kerbau silangan (F1) tergolong rendah, seperti yang dilaporkan oleh
Praharani et al (2019) bahwa pengaruh heterosis ukuran tubuh rendah berkisar -9,44% sampai 6,06%,
meskipun nilainya ukuran tubuh diantara tetua tetapi lebih rendah dari salah satu tetuanya.

Kesimpulan
Berat lahir, berat setahun, pertambahan berat badan harian dan ukuran tubuh kerbau
persilangan antara kerbau Rawa dan kerbau Murrah (F1) diatas rataan tetuanya akibat pengaruh
heterosis. Penelitian lanjutan disarankan dengan menggunakan sampel ternak yang lebih banyak
sehingga dapat menghasilkan kesimpulan lebih akurat.

Daftar Pustaka
Borghese A. (2013). Buffalo livestock and products in Europe. Buffalo Bull. 32:50-74.
Cruz, L. C. (2015). Institutionalization of Swamp Buffalo Development in The Philippines.
Proceeding of International Seminar: Improving Tropical Animal Production, for food
security, 3-5 November 2015, Universitas Halu Oleo, Kendari, Southeast Sulawesi, Indonesia:
15-37

112
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ditjen PKH. (2018). Statistik peternakan 2018. Jakarta (Indonesia): Direktoral Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
FAO. (2015). Livestock database, http://faostat.fao.org
Gerli, Hamdan dan A. H. Daulay. (2013). Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau Murrah Dan
Kerbau Rawa di BPTU Siborongborong. J. Peternakan Integratif Vol. 1 (3): 276-287
Hamid, M.A., M.A. Zaman, A. Rahman and K.M. Hossain, 2017. Buffalo Genetic Resources and
their Conservation in Bangladesh. Research Journal of Veterinary Sciences, 10: 1-13.
Lemcke B. 2011. Is there a major role for buffalo in Indonesia‘s beef self sufficiency program by
2014? Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Lebak, 2-4
November 2010. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 1-6.
Momin M.M., M.K.I. Khan and O.F. Miazi. (2016). Performance Traits of Buffalo under Extensive
and Semi‐Intensive Bathan System. Iranian Journal of Applied Animal Science 6(4), 823-831
Naveena BM, Kiran M. (2014). Buffalo meat quality, composition, and processing characteristics:
Contribution to the global economy and nutritional security. Anim Front. 4:18-24
Pérez-Pardal, L., S. Chen, V. Costa, X. Liu, J. Carvalheira and A. Beja-Pereira. (2018). Genomic
differentiation between swamp and river buffalo using a cattle high-density single nucleotide
polymorphisms panel. Animal Volume 12 (Issue 3): 464-471
Praharani L. (2009). Tinjauan performa persilangan kerbau sungai × kerbau Rawa. Dalam: Bamualim
AM, Talib C, Herawati T, penyunting. Peningkatan Peran Kerbau dalam Mendukung
Kebutuhan Daging Nasional. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak
Kerbau. Tana Toraja, 24-26 Oktober 2008. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 29-37.
Praharani L., dan RSG Sianturi. (2018). Tekanan Inbreeding dan Alternatif Solusi pada Ternak
Kerbau. Wartazoa Vol. 28 No. 1 Th. 2018 Hlm. 001-012
Praharani, L., A. Anggraeni and A.A.R. Hapsari. (2019). Heterosis on morphometric traits of
crossbreds from Anglo Nubian and Etawah Grade goats. Proceeding Earth and Life Science.
IOP (in process)
Prastowo S, Nugroho T, Nurhidayati A dan Widyas N. (2018). Konfirmasi dam effect pada sifat berat
lahir silangan kambing Boer. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol. 2, No. 2
SAS 2003. SAS User‘s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC.
Yore, K., C. Gohain, T. C. Tolenkhomba, N. S. Singh, S. Kalyan and P. Mayengbam. (2018).
International Journal of Genetic Improvement of Swamp Buffalo through Cross Breeding and
Backcrossing with Riverine Buffalo. Livestock Research Vol 8 (10): 30-45.

113
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Karakteristik Eksterior Kerbau Banten pada Pemeliharaan di Pusat Pembibitan dan


Sentra Peternakan Rakyat

Exterior Characteristics of Banten Buffaloes Raised in Breeding Center and Smallholders

Lisa Praharania), Riasari Gail Sianturi dan Chalid Talib


Balai Penelitian Ternak
a)
korespondensi: lisapraharani@pertanian.go.id

Abstrak
Ketersediaan bibit sesuai standar merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi usaha
Kerbau Banten. Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui karakteristik calon bibit Kerbau Banten
pada beberapa sentra dan pusat pembibitan. Penelitian dilakukan pada lingkungan pemeliharaan
berbeda yaitu pusat pembibitan daerah, peternakan kelompok dan peternakan rakyat di Povinsi
Banten. Sebanyak 89 ekor ternak kerbau jantan dan betina berumur 1-5 tahun digunakan dalam
penelitian. Peubah kualitatif meliputi warna tubuh, kaki, bentuk tanduk, kepala dan leher. Peubah
kuantitatif meliputi tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada,
panjang badan, lingkar scrotum dan nilai kondisi tubuh. Data kuantitatif dianalisa dengan model linear
umum dan data kualitatif menggunakan chi-square. Kerbau Banten memiliki dominasi warna tubuh
abu-abu gelap, kaki putih, tanduk melingkar ke belakang, garis punggung datar, garis kalung leher
ganda, unyeng-unyeng pada bagian badan Karakteristik kuantitatif kerbau Banten dipengaruhi oleh
lingkungan pemeliharaan dan umur (P<0,05), kecuali nilai kondisi tubuh. Ukuran tubuh dan tampilan
kualitatif eksterior kerbau Banten sesuai standard ukuran kerbau nasional. Informasi karateristik calon
bibit kerbau Banten bermanfaat dalam mendukung penentuan standar bibit daerah Kerbau Banten.

Kata kunci: eksterior kualitatif, ukuran tubuh, kerbau Banten

Abstract
The availability of breeding stock meat to national standards is important aspect in the production
process of the Banten Buffalo farms. A study was conducted to determine the characteristics of
Banten Buffaloes in some breeding center and smallholders. The study was done at a regional
breeding center, group farms and community farms in Banten rovince. A total of 89 male and female
buffalo aged 1-5 years were used in this study. Parameters observed were body coat color, legs, horn
shape, back line and chevron. Parameters measured were shoulder height, hip height, hip width, chest
width, chest depth, chest circumference, body length, scrotal circumference. Qualitative and
quantitative characteristic data were analyzed with general linear models and using chi-square. Body
coat color of Banten buffaloes were dominantly dark grey with white legs, half circle horn shape, flat
back line and 2 white chevron. Morphometric were affected by management, environment and age of
buffaloes (P<0.05). Body size and qualitative exterior of Banten buffaloes were in the range of
national standard for buffalo. Information on the menyukai daging kerbau daripada sapi (Ali, 2018).
Selanjutnya Nuraeni et al (2018) melaporkan bahwa Provinsi Banten termasuk characteristics of
Banten buffalo is useful in supporting the determination of regional standard for Banten buffalo
breeding stock.

Keywords: qualitative exterior, morphometric, Banten buffaloes

Pendahuluan
Ternak kerbau merupakan salah satu sumber daya genetik Provinsi Banten yang berperan
penting dalam kehidupan masyarakat Banten antara lain sebagai ternak kerja, penghasil daging, dan

114
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

status sosial. Peran kerbau sebagai penghasil daging memiliki posisi yang penting, mengingat
masyarakat Banten merupakan salah satu provinsi dengan konsumsi daging kerbau tertinggi.
Ternak kerbau Banten tersebar hampir di seluruh wilayah Provinsi Banten meliputi
Kabupaten Lebak, Tangerang, Serang, dan Pandeglang. Kerbau Banten telah lama berkembang dan
dipelihara oleh peternak secara turun temurun (Ali, 2018). Provinsi Banten, termasuk urutan ke -7
populasi kerbau terbanyak yaitu sebesar 103.195 ekor atau 7,6% dari total populasi kerbau Indonesia
(Ditjen PKH, 2018). Populasi ternak kerbau di Provinsi Banten mengalami penurunan sebesar 6,063
ekor/tahun atau 3,7%/tahun sejak sepuluh tahun terakhir (2008) dari 163.834 ekor.
Program pengembangan pembibitan ternak kerbau di Banten diarahkan untuk meningkatkan
populasi dan produktivitas kerbau, membentuk kawasan sumber bibit, membentuk kelompok
pembibit yang mandiri dan berkelanjutan, dan sekaligus ikut melestarikan plasma nutfah kerbau lokal.
Sebagai tahap awal diperlukan penyediaan ternak bibit yang siap untuk disebarkan dengan cara
penyediaan calon ternak kerbau terseleksi. Calon bibit pada populasi dasar terutama tersebar di sentra
peternakan kerbau yang sebagian besar dipelihara oleh peternak secara tradisional dan semi intensif
(Dudi et. al., 2012).
Seleksi pada kerbau masih berdasarkan penampilan fenotip (Dudi et. al., 2012). Sifat
kualitatif yang diseleksi adalah pola warna bulu, dan bentuk tanduk. Sifat kuantitatif yang dijadikan
kriteria seleksi antara lain adalah tinggi pundak, panjang badan dan bentuk teracak. Morfometri
merupakan salah satu indikator menyatakan ukuran besar dan bentuk tubuh jenis ternak sebagai
pembeda penampilan eksternal suatu rumpun. Ukuran tubuh memiliki hubungan korelasi dengan
produktivitas ternak kerbau (Javed et. al., 2013; Sapkota et. al., 2017).
Informasi data penampilan dan potensi ternak kerbau Banten masih terbatas padahal
informasi tersebut sangat berguna untuk menentukan kebijakan pengembangan ataupun perbaikan
mutu genetik kerbau (Dudi et. al, 2012). Pengamatan terhadap sifat-sifat kuantitatif melalui analisis
morfometrik sekaligus dapat menganalisa keragaman genetik kerbau sehingga mempermudah seleksi.
Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik kerbau Banten pada beberapa sentra dan
pusat pembibitan. Informasi karateristik kerbau Banten bermanfaat dalam mendukung penentuan
standar bibit daerah kerbau Banten

Materi dan Metode


Penelitian dilakukan di Kabupaten Serang, Lebak dan Pandeglang yang merupakan wilayah
sentra kerbau di Provinsi Banten. Kabupaten Serang mewakili kelompok sekolah peternakan rakyat
(SPR), Kabupaten Lebak mewakili unit pembibitan daerah (UPT) ternak kerbau. Kabupaten
Pandeglang mewakili peternakan rakyat.
Sebanyak 89 ekor ternak kerbau jantan dan betina berumur 1-5 tahun digunakan dalam
penelitian. Pemilihan ternak dilakukan secara acak, disebabkan sulitnya melakukan pengukuran
karena ternak kerbau umumnya tidak menggunakan keluhan (tali hidung) dan dipelihara dengan

115
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

sistem penggembalaan. Ternak jantan berumur > 2 tahun tidak tersedia saat pengukuran. Pengamatan
ternak jantan dilakukan di pedagang pengumpul wilayah Kabupaten Pandeglang.
Ternak kerbau dipelihara pada lingkungan yang berbeda yaitu pada perkebunan sawit
(Pandeglang) dan persawahan (Serang) dengan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu
penggembalaan pada pagi sampai sore hari dan malam hari dikandangkan. Sedangkan pada UPT
(Lebak) ternak dipelihara secara intensif dalam kandang koloni dimana pakan dan air minum
disediakan dalam kandang.
Peubah kualitatif meliputi warna kulit tubuh, warna kaki, bentuk tanduk, garis punggung,
garis kalung leher (chevron) dan letak unyeng-unyeng. Peubah kuatitatif meliputi tinggi pundak,
tinggi pinggul, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, panjang badan, panjang kepala,
lebar kepala, lingkar scrotum dan nilai kondisi tubuh. Data kuantitatif dianalisa dengan model linear
umum (SAS, 2003) dan data kualitatif menggunakan chi-square. P-DIFF digunakan untuk
menganalisa perbedaan lingkungan dan umur ternak sebagai sumber keragaman peubah kuantitatif.

Hasil dan Pembahasan


Sifat kualitatif
Karakteristik morphometric seperti tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, panjang
telinga, berat badan, panjang ekor, tinggi pinggul, ukuran kepala, teracak dan lingkar skrotum
merupakan salah satu indikator pembeda antar rumpun kerbau, seleksi dan penilaian (Paudel, 2017;
Zhang 2017). Berdasarkan survey lapang di kabupaten Serang (SPR), Pandeglang dan Lebak, proporsi
tertinggi sifat-sifat kualitatif, dapat dirangkum komponen yang menggambarkan sifat kualitatif kerbau
yang diamati (Tabel 1).
Warna kulit adalah salah satu sifat kualitatif yang biasa digunakan sebagai kriteria dalam
seleksi. Dalam Tabel 1 menunjukan bahwa warna kulit tubuh dominan pada kerbau Banten 59%
berwarna abu-abu gelap 34% berwarna abu-abu terang dan 6% albino. Sedangkan warna kaki kerbau
Banten terbanyak adalah putih (57%). Variasi warna kulit kerbau Banten merupakan manifestasi
antara beberapa pasang gen. Di lahan basah berwarna abu-abu terang dan memiliki bulu yang agak
panjang dan lebih jinak sedangkan di lahan kering berwarna abu-abu gelap dan bulu sedikit hampir
tidak ada dan kurang jinak (Dudi et al. 2011).
Kerbau Banten di wilayah Pandeglang memiliki warna dominan abu-abu gelap (64,8%) dan
albino (18,9%) tertinggi. Praharani et al (2010) menyebutkan tingginya warna albino pada kerbau
Banten merupakan indikator terjadinya inbreeding. Selanjutnya Praharani dan Sianturi (2018)
menyarankan introduksi pejantan dari sub populasi jauh (outbreeding) merupakan solusi untuk
mengurangi tingkat inbreeding.
Kerbau Banten memiliki dominan warna kaki putih sebesar 56,96%, namun warna kaki abu-
abu terang juga cukup banyak (31,85%). Warna putih pada kaki menyerupai kaos kaki seperti yang
dilaporkan oleh (Ihsan, 2015, Pudel 2017) yang merupakan karakteristik dari kerbau lumpur (swamp

116
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

buffalo). Kerbau Banten di Kabupaten Serang yang dipelihara di SPR memiliki warna kaki dominan
abu-abu terang tertinggi (52,9%) dan warna putih terendah (29,5%). Kendala pengamatan warna kaki
pada kerbau adalah sebagian besar kerbau diamati setelah berkubang sehingga menyulitkan penentuan
warna kaki, disebabkan oleh lumpur.
Sebanyak 88% kerbau Banten memiliki bentuk tanduk melengkung datar kebelakang dan
12% melengkung kebawah (dungkul). Kerbau di wilayah Pandeglang memiliki bentuk tanduk
dungkul tertinggi (27%). Praharani et al (2010) menyebutkan salah satu indikator inbreeding yang
terjadi pada kerbau di wilayah Pandeglang dan Lebak adalah genetic defect yang ditunjukkan melalui
bentuk tanduk dungkul. Peningkatan jumlah kerbau dengan tanduk yang menggantung (dungkul)
seiring dengan meningkatnya ternak albino sebagai akibat dari inbreeding (Muhakka et al. 2013).
Garis punggung datar 85,9% dan garis punggung melengkung 14%. Garis punggung pada
ternak ruminansia dapat digunakan sebagai indikator kondisi tubuh ternak, dimana garis punggung
datar berkaitan dengan kondisi tubuh gemuk. Tingginya frekuensi garis punggung datar pada kerbau
lokal di lokasi penelitian mengindikasikan bahwa kerbau di Propinsi Banten tergolong dalam kategori
gemuk. Hal ini diduga akibat ketersediaan hijauan pakan cukup melimpah, dimana ternak
digembalakan pada perkebunan sawit (musim penghujan) dan lahan persawahan setelah panen
(kemarau). Komariah et al. (2018) menambahkan potensi hijauan pakan ternak ruminansia besar di
Propinsi Banten baru terisi sekitar 40 persen dari daya tampung yang ada.
Warna putih pada dasar hitam yang menyerupai pita merupakan karakteristik pada kerbau
lumpur dan sering disebut dengan chevron. Keberadaan kalung putih pada kerbau lumpur merupakan
karakter yang dipertimbangkan dalam seleksi kerbau lumpur (Kusnadi et al, 2016; Zhang, 2017).
Kerbau Banten memiliki garis kalung leher ganda 96% dan 4% tunggal. Ternak kerbau yang
dipelihara oleh SPR (Serang) memiliki garis chevron yang cukup banyak (29,4%). Sifat fenotip
kualitatif berdasarkan garis kalung leher kerbau rawa dalam penelitian ini telah sesuai dengan standar
bibit kerbau rawa (SNI 7706.1.2011).
Ihsan et. al., (2015) menyebutkan bahwa garis kalung putih (chevron), tanda putih dalam
bentuk garis-garis dibawah leher dekat pangkal atau sekitar dada dan diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu tidak ada, garis kalung putih tunggal dan garis kalung putih ganda. Selanjutnya
dilaporkan juga. Kusnadi et. al., (2016) menyatakan bahwa ada juga garis kalung putih kerbau yang
didominasi oleh garis kalung putih tunggal.

117
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 1. Tampilan Kualitatif Eksterior Calon Bibit Kerbau Banten


Betina Jantan
Parameter (%) Serang Pandeglang Pandeglang Rataan
Lebak (UPT)
(SPR) (Peternak) (Pedagang)
N 17 22 37 10
Warna tubuh:
Abu-abu gelap 52,9 52,17 64,86 60 59,01a
Abu-abu terang 47,1 47,83 16,23 40 34,68b
Albino 0 0 18,91 0 6,31c
Warna kaki:
Abu-abu terang 52,9 30,43 35,13 30 31,85a
Abu-abu gelap 17,6 17,40 16,21 0 11,20b
Putih 29,5 52,17 48,66 70 56,96c
Bentuk tanduk:
Melingkar ke blgkg 100 91,30 72,97 100 88,09a
Melingkar ke bawah 0 8,70 27,03 0 11,91b
Garis Punggung:
Melengkung 17,6 26,08 16,21 0 14,09a
Datar 82,4 73,92 83,79 100 85,91b
Garis Kalung:
Tunggal 29,4 4,34 6,06 0 3,46a
Ganda 70,6 95,66 93,94 100 96,54b
Letak Unyeng-unyeng:
Kepala 6,60 26,66 25,19 20,83 24,22a
Pundak 32,60 37,77 41,22 37,51 38,83b
Pinggul 60,80 35,57 33,59 41,66 36,95b
SPR: sekolah peternakan rakyat; UPT unit pembibitan ternak
abc
superscript yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05) pada parameter yang sama

Letak unyeng-unyeng di kepala 24%, di pundak 38% dan di pinggul 36%. Penyebaran
unyeng-unyeng cukup merata pada tubuh kerbau Banten, namun letak unyeng-unyeng pada bagian
kepala kerbau Banten di wilayah Serang (SPR) yang paling rendah (6,6%). Jumlah unyeng-unyeng
(whorls) merupakan sifat kualitatif yang paling menonjol pada kerbau. Pada kerbau lumpur
mempunyai keseragaman untuk letaknya diseluruh tubuh namun jumlahnya spesifik untuk setiap
individu.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Dudi et al (2011) disebabkan oleh lokasi
survey lapang berdekatan pada masing-masing kabupaten. Dudi et al (2011) melaporkan warna kulit
tubuh kerbau Banten 65% berwarna abu-abu gelap, 34% abu-abu terang dan 2% albino. Warna kaki
kerbau Banten terbanyak adalah abu-abu gelap (44%), putih 32% dan warna abu-abu terang 23%.
Sebanyak 72% kerbau Banten memiliki bentuk tanduk melengkung, garis punggung datar 79% dan
garis kalung ganda 88% serta letak unyeng-unyeng di bagian kepala 60%.
Secara umum, sebagian besar kerbau Banten dalam penelitian ini telah memenuhi standard
kualitatif kerbau nasional. Menurut SNI 7706.1.2011 tentang standar bibit kerbau rawa menyebutkan
bahwa mempunyai spesifikasi warna kulit hitam ke abu-abuan, kemerah-merahan, hitam, belang
kemerah-merahan dan hitam keabu-abuan.

118
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Sifat Kuantitatif
Tampilan eksterior kuantitatif kerbau Banten ditampilkan berdasarkan lingkungan
pemeliharaan yang berbeda (Tabel 2). Ukuran tubuh kerbau Banten dipengaruhi oleh lingkungan
pemeliharaan (P<0,05), selain dalam dada, lingkar kepala dan kondisi tubuh (P>0,05). Penelitian
Javed et al (2013) melaporkan bahwa ukuran tubuh dipengaruhi oleh manajemen dan lingkungan.

Tabel 2. Tampilan kuantitatif Kerbau Banten pada lingkungan berbeda


Betina Jantan P-value
Peubah Serang Lebak Peternak (Pedagang)
(SPR) (UPT) (Pandeglang)
N 17 22 37 10
TP 120,48±0,56a 116,57±0,59b 118,45±0,38c 116,40±0,59 0,0001
TPa 121,50±0,62a 118,34±0,66b 119,71±0,42b 118,66±0,78 0,0040
LP 49,03±0,71a 45,72±0,76b 47,19±0,49b 47,95±0,86 0,0092
PB 120,91±1,30a 126,30±1,39b 130,11±0,89c 126,97±1,50 0,0001
LD 178,50±1,19a 168,91±1,26b 175,15±0,81c 169,60±1,46 0,0001
DD 69,69±1,19 69,53±0,89 69,34±0,81 67,45±1,10 0,0654
LeD 39,71±0,57a 33,01±0,61b 36,63±0,39c 36,49±0,21 0,0001
PK 39,64±0,40 42,67±0,37 40,8±0,27 39,70±0,25 0,1328
LK 19,50±0,40 19,11±0,43 19,29±0,27 19,08±0,31 0,8103
LS 21,22±0,23
KT 3,21±0,08 3,10±0,09 3,2±0,06 3,36±0,07 0,6514
TP:tinggi pundak; TPa:tinggi panggul; LP:lebar pinggul; LD:lingkar dada; DD:dalam dada: LeD: lebar dada;
PK:panjang kepala; LK:lebar kepala; LS:lingkar scrotum; KT:kondisi tubuh
abc
superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0,05)

Secara umum, kerbau Banten di SPR Serang memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan
Pandeglang dan Lebak. Kerbau di SPR Serang memiliki tinggi pundak, tinggi panggul, lebar panggul,
lingkar dada dan lebar dada tertinggi, namun panjang badan kerbau di Pandeglang besar. Tinggi
pundak kerbau Banten dalam penelitian ini berkisar 116-120 cm; tinggi panggul 118-121 cm; lebar
pinggul berkisar 45-49 cm; panjang badan 120-130 cm; lingkar dada 169-178 cm; lebar dada 33-40
cm; panjang kepala 39-42 cm; lebar kepala 19,0-19,6 cm; dan nilai kondisi tubuh 3,1-3,6.
Pengukuran terhadap pejantan dilakukan di pedagang pengumpul disebabkan oleh tidak
tersedianya ternak pada lokasi pengamatan. Rataan lingkar scrotum kerbau Banten (Pandeglang)
sebesar 21, 22 cm. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan lingkar scrotum yang
dilaporkan oleh Dudi et al (2011) yaitu 15-16 cm, disebabkan oleh perbedaan genetik dimana kerbau
jantan dalam penelitian ini adalah kerbau jantan terseleksi oleh pedagang pengumpul.
Hasil penelitian ini, tinggi badan kerbau Banten lebih tinggi, namun lingkar dada dan panjang
badan lebih kecil dibandingkan Anggraeni et al (2011). Sedangkan pada penelitian Dudi et al (2011)
tinggi pundak dan lingkar dada kerbau Banten lebih kecil. Anggraeni et al (2011) melaporkan kerbau
Banten memiliki tinggi pundak berkisar 117-127 cm, panjang badan 122 cm, lingkar dada 165-169

119
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

cm. Dudi et al. (2011) menampilkan ukuran tubuh kerbau Banten dengan tinggi pundak antara 118-
129; tinggi panggul 103-129; lebar pinggul 30-32; panjang badan 119-129; lingkar dada 160-172;
dalam dada 57-66; lebar dada 38-41; panjang kepala 40-42; lingkar scrotum 15-47.
Ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan dan betina pada pemeliharaan yang berbeda (Serang,
Lebak dan Pandeglang) berbeda. Hal ini diduga akibat pengaruh lingkungan dan manajemen
pemeliharaan yang relatif berbeda yaitu persawahan (Serang), perkebunan sawit (Pandeglang) dan
intensif (Lebak) sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas pakan. Cruz et al (2014) menyebutkan
adanya perbedaan produktivitas kerbau pada sistem dan lingkungan pemeliharaan berbeda akibat
perbedaan suhu, kelembaban dan curah hujan yang berdampak pada jenis hijauan pakan (kualitas)
pakan yang berbeda. Selain itu juga adanya perbedaan komposisi botani hijauan, kaasitas tampung
yang terdapat pada ketiga lingkungan pemeliharaan dan sistem pemeliharaan berdampak pada kualitas
pakan, terutama pada kerbau yang dipelihara di Pandeglang dan Serang (Prihantoro et al. 2018).
Performan ternak secara umum dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan habitatnya dan
mutu genetik warisan tetuanya (Komariah et al. 2015). Perbedaan ukuran-ukuran linear tubuh yang
ditemukan antar sub populasi kerbau yang berbeda disebabkan oleh pengaruh faktor genetik,
lingkungan dan interaksi antar keduanya.
Tampilan eksterior kuantitatif kerbau ditampilkan berdasarkan pada umur berbeda (Tabel 3).
Ukuran tubuh kerbau Banten dipengaruhi oleh umur kerbau (P<0,05), kecuali kondisi tubuh (P>0,05).
Secara umum kerbau Banten lebih muda memiliki ukuran tubuh lebih kecil (P<0,05) dibandingkan
yang lebih tua. Penelitian ini setuju dengan Nur et. al., (2018) dimana pengaruh umur terhadap ukuran
tubuh kerbau rawa. Perbedaan umur kerbau menunjukan adanya perbedaan sifat kuantitatif lingkar
dada, tinggi, badan, tinggi pinggul, panjang badan dan bobot badan kerbau rawa (Nur et. al., 2018).

Tabel 3. Tampilan Kuantitatif Eksterior Kerbau Banten pada Umur Berbeda


Betina Jantan P-value
Peubah
1-2 tahun 2-4 tahun >4 tahun 2 tahun 3 tahun
N 10 19 47 6 4
TP 113,79±0,58a 118,63±0,4b 123,08±0,46c 112,00±3,27a 123,83±1,79b 0,0001
TPa 114,93±0,65a 119,90±0,51b 124,70±0,51c 113,66±2,02a 123,66±1,80b 0,0001
LP 42,97±0,75a 47,56±0,59b 51,41±0,58c 39,66±0,57a 46,00±1,54b 0,0001
PB 116,65±1,36a 126,34±1,08b 134,34±1,07c 119,33±1,75a 130,00±2,54b 0,0001
LD 163,63±1,24a 174,04±0,9b 184,90±0,97c 156,67±4,19a 176,83±1,42b 0,0001
DD 61,70±0,92a 68,91±0,99b 74,73±1,00c 60,33±1,04a 69,00±1,61b 0,0001
LeD 32,67±0,60a 36,46±0,47b 40,22±0,47c 37,33±0,57a 40,33±1,22b 0,0001
PK 37,87±0,43a 40,48±0,34b 43,89±0,33c 38,66±0,76a 43,33±0,71b 0,0001
LK 18,38±0,22a 19,30±0,17b 20,88±0,17c 18,66±0,28 19,83±0,16 0,0001
LS 18,33±0,28a 22,66±1,14b 0,0389
KT 3,12±0,09 3,25±0,07 3,12±0,08 3,33±0,14a 4,17±0,11b 0,3822
abc
superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

120
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Fenotip hewan merupakan hasil proses pertumbuhan berkesinambungan dengan setiap bagian
tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan berbeda. Pola pertumbuhan dapat
diduga melalui perubahan ukuran-ukuran tubuh yang erat kaitannya dengan pertumbuhan kerangka
tubuh. Ukuran-ukuran tubuh serta komponen-komponen tubuh merupakan suatu keseimbangan
biologis yang bisa dimanfaatkan untuk menduga gambaran bentuk tubuh sebagai penciri khas suatu
spesies, phylum, bangsa dan tipe ternak (Safari et al. 2018).

Kesimpulan
Kerbau Banten memiliki dominasi warna abu-abu gelap, kaki putih, tanduk melingkar ke
belakang, garis punggung datar, garis kalung leher ganda, unyeng-unyeng pada bagian badan. Ukuran
tubuh dipengaruhi oleh lingkungan pemeliharaan dan umur dengan rataan kondisi tubuh baik.
Karakter kualitatif dan kuantitatif kerbau Banten sesuai dengan SNI 7706.1.2011 tentang standar bibit
kerbau rawa.

Daftar Pustaka
Ali MF. (2018). Kerbau dalam masyarakat Banten. RMOL Banten. 12 Mei. 2018
Anggraeni, A., Sumantri, C., Praharani, L., Dudi, & Andreas, E. (2011). Estimasi jarak genetik kerbau
rawa lokal melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner, 16(3):
199–210.
De la Cruz, R., Guerrero-Legarreta I, Ramirez-Necoechea R, Roldan-Santiago P, Mora-Medina P,
Hernandez-Gonzalez R, Mota-Rojas D. (2014). The behaviour and productivity of water
buffalo in different breeding systems: A review. Vet Med (Praha). 59:181-193.
Ditjen PKH. 2018. Statistik Peternakan 2018. Jakarta (Indonesia): Direktoral Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Dudi, C. Sumantri, H Martojo dan Anang, A. (2011). Keragaan Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif
Kerbau Lokal Di Propinsi Banten. Jurnal Ilmu Ternak, Desember 2011, 11, (2): 61 – 67
Dudi, Sumantri, C., . Martojo, H. , & Anang, A. 2012. Kajian pola pemuliaan kerbau lokal yang
berkelanjutan dalam upaya mendukung kecukupan daging nasional. (the sustainable local
buffalo breeding scheme as effort to support national meat sufficien). Jurnal Ilmu Ternak,
12(1): 11–19.
Ihsan A, Fatah,M., dan Dudi. 2015. Identifikasi Sifat Kuantitatif dan Kualitatif pada Kerbau Belang
Betina Dewasa Jenis Bubalus bubalis di Pasar Bolu Kabupaten Toraja Utara.
http://journal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/6912.
Javed, K., . Mirza, R.H., . Abdullah, M and Akhtar, T.N.P.M. (2013). Studies on linear type Traits
And Morphometric Measurements In Nili Ravi Buffaloes of Pakistan. Buffalo Bulletin 32
(Special Issue 2): 780-783
Komariah, K., Sumantri, S., Nuraini, H., Nurdiati, S., & Mulatsih, S. (2015). Performans kerbau rawa
dan strategi pengembangannya pada daerah dengan ketinggian berbeda di kabupaten Cianjur.
Jurnal Veteriner, 16(4): 606–615.
Komariah A, Burhanuddin, & Permatasari, N. (2018). Analisis Potensi dan Pengembangan Kerbau
Lumpur di Kabupaten Serang. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 6 (3):
90-97
Kusnadi, A., Rahmat, D., dan Dudi. (2016). Identifikasi Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif Kerbau
Betina Dewasa (Studi Kasus Di Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut).
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/8495/3947
Muhakka, M., Riswandi, R., & M. Ali, A. I. (2013). Karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau
pampangan di propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 8(2): 111–120.

121
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Nur, E. A., . Nugroho, H., Kuswati. (2018). Karakteristik Fenotip Kerbau Rawa (B. Bubalis
Carabenesis) Di Wilayah Sentra Pengembangan Kerbau Desa Guosobokerto Kecamatan
Welahan Kabupaten Jepara. J. Ternak Tropika 19 (2): 156-166
Nuraini, H., Aditia, E.L., Brahmantiyo, B. (2018). Meat Quality of Indonesian Local Cattle and
Buffalo. http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.79904
Praharani L, Juarini E, Budiarsana IGM. (2010). Parameter indikator inbreeding rate pada populasi
ternak kerbau di Kabupaten Lebak, Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau.
Brebes, 11-13 November 2009. Bogor (Indonesia):Puslitbangnak. hlm. 93-99.
Praharani L., dan Sianturi, R.S.G. (2018). Tekanan Inbreeding dan Alternatif Solusi pada Ternak
Kerbau. WARTAZOA 28 (1): 001-012
Prihantoro I, Aryanto AT, Karti PDMH. (2018). Kemadirian Pakan Berbasis Hijauan Lokal Untuk
Kerbau Di Provinsi Banten. Pastura 7 (2): 83 – 87
Paudel L. N. (2017) Breed improvement through intensive local selection of indigenous buffaloes for
food & nutritional security and livelihood improvement In mid-hills of Nepal1. Proceedings
of International Buffalo Symposium: 34
Safari, A., Ghavi Hossein-Zadeh, N., . Shadparvar, A.A., & Arpanahi, R.A. 2018. A review on
breeding and genetic strategies in Iranian buffaloes (Bubalus bubalis). Tropical Animal
Health and Production. https://doi.org/10.1007/s11250-018-1563-1
SNI. (2011). Bibit Kerbau (1st ed.). Indonesia.
Sapkota, S., Gorkhali,N.A., Bhattarai, N,, Pokharel, B.R., P.K. Jha, P.K., Shrestha,Y.K. (2017).
Morphological and productive traits of buffaloes of eastern terai, Nepal. Proceedings of
International Buffalo Symposium 81-85
SAS 2003. SAS User‘s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC.
Zhang S. (2017). Genetic Studies in Water Buffalo In China. Proceedings of International Buffalo
Symposium: 44.

122
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam Ransum terhadap


Kadar Hemoglobin dan Eritrosit Ayam Sentul

The Effect of Use of Fermentation Products of Shrimp Waste in Diet on The Levels of
Eritrosit and Hemoglobin Sentul Chicken

Muhamad Yusro1,a, Abun2, Kurnia A. Kamil2


1
Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019
2
Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
a
email: muhamadyusrooo@gmail.com

Abstrak
Penelitian telah dilaksanakan mulai dari bulan Maret hingga April 2019 yang bertempat di kandang
ayam Desa Cileles serta Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran, jatinangor-Sumedang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan
mendapatkan tingkat penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum
yang menghasilkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah yang optimal pada ayam Sentul.
Penelitian menggunakan 20 ekor ayam Sentul fase developer umur 18 minggu dalam 20 unit kandang.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan terdiri atas R0
(Ransum tanpa Feed supplement (FS) berbasis Limbah Udang Fermentasi), R1 (Ransum mengandung
0,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi), R2 (Ransum mengandung 1,0% FS berbasis Limbah
Udang Fermentasi), R3 (Ransum mengandung 1,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi), dan R4
(Ransum mengandung 2,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi). Setiap perlakuan diulang
sebanyak empat kali dengan peubah yang diamati adalah jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin
darah. Hasil penelitian diperoleh bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang
fermentasi dalam ransum optimal pada taraf 2,0% terhadap jumlah eritrosit dan 0,5% terhadap kadar
hemoglobin darah ayam Sentul.

Kata kunci: Feed supplement, Limbah Udang, Ayam Sentul, Eritrosit, Hemoglobin

Abstract
The research was conducted from March to April 2019 which took place in the chicken coop of
Cileles Village and the Laboratory of Animal Physiology and Biochemistry, Faculty of Animal
Husbandry, Padjadjaran University, jatinangor-Sumedang. The purpose of this research was to
determine and obtain the level of use of feed supplement based on fermented shrimp waste in diet that
produced optimal the number of erythrocytes and blood hemoglobin levels in Sentul chickens. The
study used 20 Sentul phase developer chickens aged 18 weeks in 20 cage units. The study used a
Completely Randomized Design (Rancangan Acak Lengkap) with five treatments consisting of R0 (diet
without Feed Supplement (FS) based Fermented of Shrimp Waste), R 1 (diet containing 0.5% FS based
Fermented of Shrimp Waste e), R 2 (diet containing 1.0% FS based Fermented of Shrimp Waste), R 3
(diet contains 1.5% FS based Fermented of Shrimp Waste), and R4 (diet contains 2.0% FS based
Fermented of Shrimp Waste). Each treatment was repeated four times with the variables observed
were the number of erythrocytes and blood hemoglobin levels. The results showed that the use of feed
supplement based on fermented shrimp waste in the diet optimal in level 2,0% in the number of
erythrocytes and 0,5% in blood hemoglobin levels in Sentul chickens

Keywords: Feed supplement, Shrimp Waste, Sentul Chicken, Erythrocytes, Hemoglobin

Pendahuluan
Ayam Sentul merupakan salah satu jenis ayam lokal yang berasal dari kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Hasil produk dari ayam Sentul ini masih sangat digemari di Indonesia seperti telur dan

123
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

dagingnya, harganya pun lebih tinggi dibandingkan dengan ayam ras, namun tingkat produktivitasnya
masih kalah dengan ayam ras, untuk itu salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya adalah
dengan pemberian pakan tambahan (feed supplement) yang baik agar potensi dari ayam Sentul dapat
optimal.
Limbah udang dapat digunakan sebagai feed supplement karena memiliki kandungan nutrisi
yang cukup baik. Namun, limbah udang memiliki kecernaan yang rendah karena zat kitin yang
dikandungnya untuk itu harus melalui proses pengolahan agar kecernaannya dapat meningkat.
Kandungan kitin yang terikat dengan protein dapat diputus dengan bantuan mikroorganisme seperti
Saccharomyces cereviseae, Bacillus licheniformis dan kemudian dilanjutkan dengan proses
demileralisasi dengan Lactobacillus sp sehingga kecernaan dari limbah udang dapat meningkat.
Feed supplement berbasis limbah udang fermentasi mengandung zat astaxanthin dan
selenium (pada proses pembuatannya) memiliki fungsi sebagai antioksidan dalam tubuh yang dapat
menghambat terjadinya proses oksidasi dari radikal bebas dan senyawa lainnya serta memiliki
kandungan betakaroten yang berperan dalam meningkatkan sistem imun. Kekurangan vitamin dapat
mengakibatkan terganggunya proses metabolisme tubuh yang dapat menurunkan produktivitas ternak.
Penelitian tentang penambahan tepung buah mengkudu yang mengandung asam askorbat
sebagai antioksidan pada taraf 0,75% dalam ransum dapat mengurangi stres oksidatif dan
meningkatan jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin pada burung puyuh (Andriani dkk., 2017).
Adapun penelitian menggunakan ekstrak jahe yang mengandung senyawa aktif gingerol sebagai
antioksidan pada taraf 1,0% dalam ransum dapat mengurangi efek stres panas dan meningkatkan
kadar hemoglobin dan eritrosit terbaik pada ayam broiler (Selim dkk., 2013).
Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi (yang memiliki kandungan zat
astaxanthin dan selenium) diharapkan dapat mempertahankan kondisi fisiologis atau sehat sehingga
produktivitasnya tetap berlangsung dengan baik yang dapat dilihat dari status atau gambaran
darahnya. Ternak yang sehat dengan mendapat nutrisi yang cukup dapat terlihat dari gambaran
darahnya yaitu jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin yang stabil atau normal.

Bahan dan Metode


Penelitian menggunakan ayam Sentul fase developer sebanyak 20 ekor umur 18 minggu.
Ayam dibagi ke dalam 5 jenis perlakuan dan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Rataan bobot
badan awal ayam Sentul memiliki koefisien variasi sebesar 9,62 %. Kandang yang digunakan
sebanyak 20 unit kandang percobaan. Tiap kandang berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, tinggi
depan 37 cm dan tinggi belakang 30 cm. Setiap kandang diisi oleh satu ekor ayam serta dilengkapi
tempat pakan dan tempat air minum. Alat yang digunakan yaitu timbangan duduk, timbangan digital,
hammer mill, tempat pakan dan minum, lampu, kamera, laptop, kertas label, alat tulis, alat suntik,
vaccumtube EDTA, cooling box dan hematology analyzer.

124
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Ransum yang digunakan dalam penelitian berupa ransum yang disusun atas kebutuhan protein
dan energi metabolis ayam Sentul pada fase awal produksi secara berturut- turut 15 % dan 2750
kkal/kg (Widjastuti, 1996). Ransum diberikan sebanyak 80 gram/hari/ekor dengan lima perlakuan
yaitu:
R0 = Ransum tanpa Feed Supplement (FS) berbasis Limbah Udang Fermentasi
R1 = Ransum mengandung 0,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi
R2 = Ransum mengandung 1,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi
R3 = Ransum mengandung 1,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi
R4 = Ransum mengandung 2,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi

Tabel 1. Kandungan Energi Metabolis dan Nutrien Ransum Percobaan


Kandungan Nutrien R0 R1 R2 R3 R4 Kebutuhan
EM (kkal/kg) 2761 2760 2759,5 2759 2758 2750*
Protein Kasar (%) 15,07 15,18 15,31 15,43 15,55 15*
Lemak Kasar (%) 5,097 5,107 5,115 5,127 5,136 5,0 -7,0**
Serat Kasar (%) 3,5 3,521 3,542 3,565 3,586 3,0-6,0**
Ca (%) 3,066 3,087 3,104 3,119 3,139 2,75- 3**
P (%) 0,804 0,815 0,825 0,834 0,845 0,70-0,90**
Lisin (%) 0,99 1 1,01 1,021 1,031 ≥ 0,70**
Metionin (%) 0,345 0,35 0,356 0,361 0,367 ≥ 0,3**
Keterangan: *Kebutuhan berdasarkan Widjastuti, T (1996).
**Zainuddin (2006)

Prosedur pembuatan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat dilihat pada
Ilustrasi berikut.

Produk Limbah Feed Supplement berbasis


Udang Bioproses limbah udang fermentasi

Suplementasi dengan
mineral Se (Selenium) Penambahan Na-Alginat Penggilingan dengan
0,15 ppm (73 ppm dalam 5% ukuran partikel 60 mash
bentuk selenit)

Metode Penelitian
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap sebagai berikut:
1) Tahap Persiapan penelitian. Persiapan penelitian berupa:
a. Pembersihan kandang, bahan dan alat yang digunakan pada saat penelitian.

125
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

b. Penyusunan formulasi ransum dan penyediaan bahan pakan yang dibutuhkan selama
penelitian.
c. Pembuatan ransum
1. Menggiling bahan pakan
Menggiling bahan pakan menggunakan hammer mill dengan screen ukuran 5 mm. dalam
proses ini harus diperhatikan dan dijaga agar tidak ada bahan yang terbuang.
2. Penimbangan dan Pencampuran Bahan
a) Menimbang bahan baku yang telah digiling sesuai dengan kebutuhan penelitian.

b) Teknik pencampuran bahan-bahan baku menggunakan mixer.


d. Penyediaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi.
e. Penyediaan jumlah ayam yang dibutuhkan selama penelitian sebanyak 20 ekor ayam sentul
fase develpoer umur 18 minggu
2) Tahap Pelaksanaan penelitian
Ayam dimasukan ke dalam kandang individu (Individual cage) yang sudah di beri kode acak
pada setiap perlakuan dan ulangan dengan jumlah satu ekor ayam tiap unit percobaannya, untuk
menghindari kesalahan saat penelitian, setiap kandang diberi label yang ditempel di depan
kandangnya dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan selama 45 hari.
3) Tahap pengambilan Data
pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 2 kali pada awal dan akhir penelitian dari
masing-masing unit perlakuan melalui vena pectoralis dengan menggunakan jarum suntik. Darah
ditampung dalam tabung yang berisi antikoagulan.

Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian adalah kadar eritrosit dan hemoglobin dengan rumus
secara berturut- turut sebagai berikut:
a) Jumlah Eritrosit. Perhitungan jumlah eritrosit (sel/µL) dilakukan secara otomatis
menggunakan alat hematology analyzer.
b) Kadar Hemoglobin. Perhitungan Kadar hemoglobin (g/dl) dilakukan secara otomatis
menggunakan alat hematology analyzer.

126
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Gambar 1. Hematology analyzer

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental dan menggunakan Rancangan Acak


Lengkap (RAL) dengan 5 macam perlakuan ransum dan diulang sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh
dianalisis dengan Anova menggunakan sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji
menggunakan Uji Duncan

Hasil dan Pembahasan


Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Eritrosit
Rataan jumlah eritrosit pada penelitian ayam Sentul yang diberi feed supplement berbasis
limbah udang fermentasi dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Rataan jumlah eritrosit dalam darah ayam Sentul (x106/mm3)


Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3 R4
………………………..…(x106/mm3)……………………………
U1 1,85 2,21 2,80 2,79 3,18
U2 2,37 2,48 2,60 2,55 3,03
U3 2,76 2,34 2,72 2,93 3,04
U4 2,56 3,08 2,42 2,67 3,11
Rataan 2,39a 2,53a 2,64a 2,74ab 3,09b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh antar perlakuan berbeda
nyata (P<0,05)

Berdasarkan data Tabel 2. menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah
udang fermentasi 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5%, dan 2,0% dalam ransum memberikan hasil rataan eritrosit
ayam Sentul berkisar antara 2,39-3,09 x 106/mm3. Kisaran tertinggi terdapat pada perlakuan R4 (3,09
x 106/mm3) dan terendah pada perlakuan kontrol R0 (2,39 x 10 6/mm3). Kisaran rataan jumlah eritrosit
yang diperoleh dalam penelitian berada dalam kisaran normal jumlah eritrosit dalam darah ayam lokal
yaitu pada kisaran 2,3-3,5 x 106/mm3 (Darmawan, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ayam Sentul
yang diberikan pakan yang mengandung feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam
keadaan sehat dan tidak menggangu fisiologis tubuh ayam.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang
fermentasi dalam ransum terhadap jumlah eritrosit ayam Sentul memberikan pengaruh nyata
(P<0,05). Hasil uji lanjut menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement
berbasis limbah udang fermentasi dosis 0,5% (R1), 1,0% (R2) dan 1,5% (R3), dalam ransum tidak
berbeda nyata (P>0,05) dengan ransum kontrol (R0) tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan dosis 2,0%
(R4) terhadap jumlah eritrosit darah ayam Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang
fermentasi dosis 2,0% (R4) dan 1,5% (R3) tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit
darah ayam Sentul.

127
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat meningkatkan eritrosit
pada taraf normal dengan perlakuan terbaik didapat pada perlakuan R4 (3,09 x 10 6/mm3) dengan nilai
yang berada diluar dari ambang bawah dan ambang atas kisaran normal eritrosit ayam lokal 2,3-3,5 x
106/mm3 (Darmawan, 2002). Hal ini disebabkan feed supplement yang digunakan mengandung bahan
aktif astaxanthin dan dari penambahan selenium pada proses pembuatannya yang berperan sebagai
antioksidan dapat mencegah terjadinya stres oksidatif sehingga ayam Sentul tetap sehat dan
produktivitas stabil dalam cuaca yang sering berubah-ubah. Hal ini sesuai pendapat Etim dkk (2014)
yang menyebutkan bahwa eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi
telur, bangsa, panjang hari, suhu lingkungan dan faktor iklim.
Antioksidan merupakan salah satu sistem pertahanan dalam tubuh. Antioksidan bekerja
dengan beberapa cara antara lain berinteraksi langsung dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen
tunggal, mencegah pembentukan senyawa oksigen reaktif, atau mengubah senyawa reaktif menjadi
kurang reaktif (Winarsi, 2007). Radikal bebas tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh bila dalam
kadar seimbang karena tubuh secara alami memproduksi antioksidan yang dapat menetralisir
pengaruh dari radikal bebas yang dapat menyebabkan efek negatif yang disebut stres oksidatif yang
dapat menyebabkan hemolisis pada sel sehingga dapat menurunkan jumlah eritrosit dan menyebabkan
anemia. Winarsi (2007) menyebutkan bahwa pada kondisi stres oksidatif, imbangan normal antara
produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan antioksidan alami tubuh
untuk mengeliminasinya mengalami gangguan sehingga menggoyahkan rantai reduksi-oksidasi
normal yang menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan.
Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan eritrosit adalah kecukupan nutrisi. Penggunaan 2% feed supplement berbasis limbah
udang fermentasi dalam ransum (R4) nyata (P<0,05) meningkatkan jumlah eritrosit darah ayam
Sentul karena unsur-unsur pendukung pembentukan eritrosit dalam jumlah yang cukup, selain itu
adanya bahan aktif astaxanthin dan selenium (dalam proses pembuatannya) sebagai antioksidan yang
dapat mempertahankan dari kerusakan sel yang dapat disebabkan oleh radikal bebas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hemoglobin


Rataan kadar hemoglobin pada penelitian ayam Sentul yang diberi feed supplement berbasis
limbah udang fermentasi dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 3

128
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Table 3. Rataan kadar hemoglobin dalam darah ayam Sentul (g/dL)


Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3 R4
………………………………(g/dL)……………………………...
U1 9,78 14,98 14,80 14,28 14,80
U2 11,16 13,15 12,10 14,03 14,05
U3 12,77 12,73 15,45 13,38 14,95
U4 12,37 12,50 13,15 14,90 13,58
Rataan 11,52a 13,34b 13,88 b 14,14 b 14,34 b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh antar perlakuan berbeda
nyata (P<0,05)

Berdasarkan data Tabel 3. menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah
udang fermentasi 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5%, dan 2,0% dalam ransum memberikan hasil rataan kadar
hemoglobin ayam Sentul berkisar antara 11,52-14,34 g/dL. Kisaran tertinggi terdapat pada perlakuan
R4 (14,34 g/dL) dan terendah pada perlakuan kontrol R0 (11,52 g/dL). Kisaran rataan kadar
hemoglobin yang diperoleh dalam penelitian lebih tinggi dari kisaran normal. Darmawan (2002)
mengemukakan bahwa kisaran normal kadar hemoglobin dalam darah ayam berada pada kisaran 7,0-
13,0 g/100ml.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang
fermentasi dalam ransum terhadap kadar hemoglobin ayam Sentul memberikan pengaruh nyata
(P<0,05). Hasil uji lanjut menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement
berbasis limbah udang fermentasi dosis 0,5% (R1), 1,0%
(R2), 1,5% (R3), dan 2,0% (R4) dalam ransum berbeda nyata (P<0,05) dengan ransum kontrol (R0),
namun antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kadar hemoglobin darah ayam Sentul.
Kenaikan kadar hemoglobin berkolerasi positif dengan kenaikan jumlah eritrosit, semakin
tinggi jumlah eritrosit maka semakin tinggi juga kenaikan kadar hemoglobin. Menurut Schalm (2010)
kadar hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit sehingga ada kecenderungan
jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah
rendah, maka tubuh terangsang meningkatkan produksi eritrosit dan hemoglobin.
Kenaikan kadar hemoglobin yang melebihi kisaran normal disebabkan kurangnya oksigen
karena ventilasi udara yang kurang baik pada kandang penelitian dan dipengaruhi juga oleh
ketinggian tempat pemeliharaan ayam Sentul. Menurut Guyton dan Hall (2006), kondisi darah yang
mengandung oksigen sedikit menyebabkan kenaikan produksi hemoglobin. Kenaikan metabolisme
tubuh juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Andi Mushawwir (2005) menyebutkan bahwa
ketika laju glukoneogenesis meningkat untuk pemenuhan energi (sebagai dampak peningkatan THI)
maka asam-asam amino pembentuk hemoglobin (terutama glisin dan methionine) selain terlibat dalam
lintasan siklus krebs untuk sintesis energi, juga dapat memenuhi prekursor pembentukan heme sebagai
komponen hemoglobin.

129
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kadar hemoglobin yang melebihi kisaran normal dapat disebabkan kandungan mineral besi
(Fe) yang berlebih. Menurut Murtini (2009), menyatakan sintesis hemoglobin dipengaruhi oleh
keberadaan zat gizi dalam pakan, seperti keberadaan Fe dan protein. Mineral Fe sangat berperan
dalam pembentukan hemoglobin. Menurut Parulian (2009), kelebihan mineral Fe bisa menyebabkan
keracunan dimana terjadi kerusakan usus, diabetes, infeksi, mudah gelisah dan gangguan penyerapan
vitamin.
Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi pada taraf 0,5% dalam
ransum sudah efektif dalam meningkatkan kadar hemoglobin darah ayam Sentul walaupun sedikit
melebihi kisaran normal. Wirakusumah (1999) berpendapat bahwa konsumsi Fe yang berlebih,
sebagian akan disimpan dalam stroma sumsum tulang sebagai ferritin dan sebagian akan dipakai
untuk keperluan metabolik.
Ayam yang sehat cenderung terus meningkatkan metabolisme tubuhnya agar kecukupan
energi untuk kelangsungan hidup dan produksinya tetap berlangsung. Feed supplement berbasis
limbah udang fermentasi yang memiliki kandungan bioaktif astaxanthin dan selenium (pada proses
pembuatanya) berperan sebagai antioksidan yang dapat melindungi hemoglobin dari oksidasi
(Chattopadhyay dkk., 2004). Meyer dan Harvey (2004) menyebutkan bahwa reaksi oksidatif dapat
merusak hemoglobin, enzim (terutama kelompok sulfhidril), dan lipid membran. Kerusakan oksidatif
membran juga dapat mengakibatkan hemolisis intravaskular atau eritrofagositosis dan pemendekan
masa hidup eritrosit.

Kesimpulan
Penggunaaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum memberikan
pengaruh terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah ayam Sentul yang optimal pada taraf
2,0% terhadap jumlah eritrosit dan 0,5% terhadap kadar hemoglobin darah ayam Sentul. Feed
supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat digunakan pada tingkat 0,5-2,0% dalam formula
ransum untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah ayam Sentul fase developer.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abun, M.P. yang telah memberikan
kesempatan untuk turut serta dalam riset Insentif Sistem Inovasi Nasional (INSINAS) dan telah
memberikan fasilitas selama penelitian dilakukan.

Daftar Pustaka
Andi Mushawwir. 2005. Kondisi Hematologik Ayam Ras Pedaging yang Dipelihara dengan
Menggunakan Pemanas Induk Buatan yang Berbeda dan Penambahan Ferro Sulfat
(FeSO4).Thesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

130
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Andriani, L., N. Indrayati, D. Rusmana, E. Hernawan, A. Rochana. 2017. Effect of Noni (Morinda
citrifolia) Fruit Flour on Antioxidant Status and Hematological Indices of Laying Japanese
Quail. International Journal of Poultry Science. Volume 16 (3): 93-97.
Chattopadhyay, I., K. Biswaws, U. Bandyopadhyay, R. K. Banarjee. 2004. Turmeric and curcumin:
Biological actions and medicinal applications. J. Current Science. 87:44-53.
Dharmawan, N. S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Pelawasari.
Denpasar.
Etim, N., E. Enyinihi, U. Akpabio, Edem. 2014. Effects of nutrition on haemotology of rabbits: A
review. J. European Sci. 10 (3): 413-423.
Guyton AC, JE. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. Pennsylvania: Elsevier Inc
Meyer, D. J. dan J. W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation rd & Diagnosis.
3 ed. Saunders, USA.
Murtini, S., I. Rahayu, dan I. Yuanita. 2009. Status Kesehatan Ayam Pedaging yang Diberi Ransum
Mengandung Ampas Buah Merah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner.
Parulian, Alwin. 2009. Monitoring dan Analisis Kadar Aluminium (Al) dan Besi (Fe) Pada
Pengolahan Air Minum PDAM Tirtanadi Sunggal. Pascasarjana – Universitas
SumateraUtara(USU).Medan.
Piliang, W. G., dan S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume ke-2. IPB Pr. Bogor.
Schalm, O. W. 2010. Vetenary Hematology. 6nd Edition.Lea and Febriger, Phidelpia.
Selim, N. A., S. F. Youssef, A. F. Abdel-Salam, Sh. A. Nada. 2013. Evaluation of Some Natural
Antioxidant Sources in Broiler Diets: 1-Effect on Growth, Physiological, Microbiological and
Immunological Performance of Broiler Chicks. International Journal of Poultry Science.
Volume 12 (10): 561-571.
Widjastuti, T. 1996. Penetuan Efisiensi Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Energi Untuk
Pertumbuhan dan Produksi Telur Ayam Sentul pada Kandang Sistem Cage dan Sistem Litter.
Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 189-90
Wirakusumah, E. S. 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. PT. Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara. Jakarta.
Zainuddin, D. 2006. Teknik Penyusunan Ransum dan Kebutuhan Gizi Ayam Lokal. Materi Pelatihan
Teknologi Budidaya Ayam Lokal dan Itik. Kerjasama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.

131
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Produksi dan Kualitas
Rumput Millet (Pennisetum glaucum L.) Sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak

Sajimin1, A. Fanindi1, I. Herdiawan1 dan Soeharsono1


1
Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III Banjarwaru Ciawi Bogor
*Korespondensi: djiemin@yahoo.com

Abstrak
Penelitian produksi dan kualitas millet (Pennisetum glaucum L) untuk sumber pakan ternak telah
dilakukan di rumah kaca Balitnak. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak kelompok dengan 10
ulangan. Perlakuan percobaan menggunakan pupuk organik dari kotoran sapi, ayam, kelinci masing-
masing 10 % dicampur saat pengisian tanah kering 15 kg berasal dari kebun percobaan Ciawi.
Penggunaan pupuk kimia urea 5 gram + TSP 2,5 gram dan KCl 2,5 gram diberikan setelah tanaman
tumbuh umur 2 minggu. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, tunas, produksi hijauan
segar dan kering serta diakhir percobaan dianalisa proksimat proterin kasar, NDF, ADF dan kecernaan
bakan kering dan bahan organik. Hasil penelitian penggunaan pupuk kandang rata lebih tinggi dari
penggunaan pupuk kimia. Pemberian pupuk kelinci menghasilkan produksi hijauan tertinggi (66.03
g/tanaman) dibanding pupuk kimia (29.91 g/tanaman). Kualitas hijauan penggunaan pupuk kandang
ayam kandungan protein kasar tertinggi 15,1 %, NDF 58,43 % dan ADF 35,46% dengan kecernaan
invitro bahan kering 82,68 % dan kecernaan bahan organik 80,30%. Hasil penelitian disimpulkan
P.glaucum untuk sumber pakan ternak penggunaan pupuk organik menghasilkan kualitas nyata lebih
tinggi P<0.05 dari pupuk kimia.

Kata kunci: Pennistum glaucum, pupuk kandang, kualitas, produksi hijauan

Pendahuluan
Peningkatan produksi ternak ruminansia diperlukan hijauan pakan yang cukup sepanjang
tahun. Pengembangan tanaman pakan ternak di Indonesia belum menjadi prioritas dan umumnya
ditanam di lahan marginal yang tidak digunakan untuk tanaman pangan. Sejalan dengan peningkatan
populasi ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan protein hewani perlu diiringi ketersediaan
hijauan pakan.
Hijauan pakan ternak di Indonesia telah berkembang dan dikenal petani adalah jenis rumput
gajah, rumput raja (Pennisetum purpureum, P.purpureophoides). Produksi bahan kering hijauan
mencapai 40 -110 ton/ha/th (Siregar, 1989). Produksi di Thailand mencapai 71,4 ton/ha/th (witjiphan
et al, 2009). Produktivitas yang tinggi tersebut di Indonesia diketahui masih ada beberapa kelemahan
seperti porsi batang lebih tinggi dengan serat kasar 31,6 – 35,7 %, kadar air hijauan 80 - 90 %
sehingga mengalami kesulitan saat pengeringan (Siregar, 1991 dan Sajimin et al, 2004). Selain itu
rumput tersebut tidak toleran kekeringan dan sagat peka pada kesuburan tanah.
Populasi ternak di Indonesia tertinggi di lahan kering sehingga perlu diupayakan jenis
tanaman pakan ternak yang mendekati rumput gajah/raja yang dapat tumbuh diberbagai agroklimat,
toleran kekeringan salah satunya Pennisetum glaucum (millet).
Millet (P.glaucum) adalah salah satu jenis tanaman hijauan pakan ternak tumbuhnya tegak,
tahan pangkas dan kekeringan karena kebutuhan airnya yang relatif rendah dibandingkan tanaman

132
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

lain (Sheahan, 2014 dan Rostamza et al., 2011), produksi biomassa yang tinggi pada kondisi stres
pada curah hujan rata-rata 200 mm/th (Ibrahim et al., 2015). Produksi bahan kering millet per panen
di Brasil dapat mencapai 3,2 – 4,3 ton/ha (Kollet et al, 2006). Millet di negara-negara Afrika dan Asia
telah banyak digunakan untuk produksi biji-bijian kemampuan tumbuh didaerah kering (Morales et al.
2015). Dari hasil penelitian tersebut rumput millet memiliki potensi besar untuk sumber hijauan pakan
di daerah kering/tidak subur seperti di Indonesia.
Peningkatan produksi hijauan tanaman memerlukan pemupukan untuk memenuhi unsur-unsur
hara yang kurang ( Zahroh et al, 2016). Penggunaan pupuk kimia seperti urea, TSp, KCl dapat
meningkatkan produksi dan mudah penggunaannya sehingga petani umumnya memupuk tanaman
berlebihan. Menurut Karama et al (1991) penggunaan urea mencapai 400 – 600 kg/ha pada padi
sawah. Kemudian Siregar (1991) rumput gajah dipupuk yang digunakan urea 900 kg/ha/tahun,TSP
500 kg dan KCl 500 kg/ha/th. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan mengakibatkan pencemaran
lingkungan seperti degradasi tanah, polusi lingkungan (Tisdale et al 1985). Pupuk kimia yang
diberikan tidak dapat dimanfaatkan tanaman karena beberapa unsur menguap, terlindi, termobilisasi
sehingga tidak tersedia bagi tanaman maka peningkatan hasil dari penggunaan pupuk tidak seimbang
dan tidak efisien. Menurut Jacobs (1990) penggunaan N berlebihan akibatkan pencemaran NO3-N
diperairan. Kemudian Jo (1990) penggunaan P dalam jangka panjang akan membentuk lapisan padat
(cementing)di lapisan tanah bajak.
Penggunaan pupuk organik akhir-akhir ini semakin menguat karena kesadaran akan masalah
lingkungan hidup dan dampaknya pada lingkungan. Pupuk kandang dari ternak sapi, domba, kelinci,
dan ayam memiliki kandungan nitrogen dan potassium yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk
kandang untuk meningkatkan produksi tanaman (Sajimin, 2004). Jenis pupuk kandang tersebut
memiliki respon yang berbeda terhadap tanaman. Pemupukan tanaman yang efektif memenuhi syarat
kuntitatif dan kulitatif terutama dosis dan unsur hara yang diberikan relevan yang dapat diserap
tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis pupuk organic dari ternak
sapi, kelinci dan ayam yang optimal terhadap produksi dan kualitas hijauan rumput millet
(P.glaucum).

Materi dan Metode


Penelitian dilakukan dirumah kaca Balitnak Ciawi Bogor pada ketinggian tempat 500 m dpl
dengan suhu maximum 28,8 0C dan minimum 25,1 0C. Bahan penelitian menggunakan tanah kering
dari Kp Ciawi termasuk tanah ultisol sebanyak 15 kg/pot yang dicampur dengan pupuk organik dari
kotoran sapi, kelinci, ayam. Pemberian pupuk 10 % dari berat tanah yang diberikan saat pengisian
tanah. Sebelum penelitian tanah dilakukan analisa tanah yaitu: pH 5,28; kandungan P2O5 99 mg/100
g; K2O 8,75 mg/100 g; Ca 7,01mg/100 g dan C/N rasio 9,27. Kandungan hara pupuk kandang (Tabel
1).

133
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 1. Kandungan unsur hara tiga jenis pupuk kandang


Jenis pupuk Persentase (%) kandungan unsur hara
N P K Ca Mg S
Kelinci 2.62 2.46 1.86 2.08 0.49 0.39
Ayam 5.00 3.00 1.50 4.00 1.00 2.00
Sapi 2.45 1.13 3.50 1.47 0.76 0.52

Benih millet yang digunakan berasal dari peternakan Tapos-Bogor dan diperbanyak di
Balitnak bagian Agrostology. tiap pot ditanam 3 biji dan setelah tumbuh ditinggalkan satu tanaman
dan umur satu bulan dilakukan pemankasan (trimming). Setelah tanaman berbunga 50 % dipotong
untuk pengukuran produksi hijauan umur satu bulan.
Rancangan percobaan acak kelompok dengan empat perlakuan 1) penggunaan pupuk kimia 5
gram Urea), 2,5 gram (TSp), 2,5 gram KCl)/pot; 2) penggunaan pupuk ayam 10 %; 3) penggunaan
pupuk kelinci 10 % dan 4). Penggunaan pupuk sapi 10 %. masing-masing perlakuan 10 ulangan.
Parameter yang diamati jumlah tunas, tinggi tanaman dan produksi hijauan segar dan kering
serta analisa kualitas hijauan akhir percobaan meliputi protein kasar,NDF, ADF dan kecernaan bahan
kering dan bahan organik. Data dianalisa dengan uji beda nyata terkecil (Gomez and Gomez, 1983).

Hasil dan Pembahasan


Tinggi tanaman
Hasil pengamatan rumput P.glaucum (millet) untuk pakan ternak dengan pemberian pupuk
kandang yang berbeda seperti pada Tabel 3

Tabel 3. Rataan tinggi dan jumlah tunas per rumpun tanaman millet dengan pemupukan tiga jenis
pupuk kandang di Ciawi Bogor

Perlakuan Tinggi (cm) Tunas/rumpun


b
Pupuk kimia 94.96 1.88b
Pupuk ayam 89.68b 2.14b
Pupuk kelinci 116.12a 3.13a
Pupuk sapi 81.89b 1.50b
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak berbeda nyata P<0,05

Tabel 3 terlihat pengaruh pada tinggi dan tunas tanaman rumput millet dengan pemberian
pupuk kandang berpengaruh nyata (P<0,05). Pertumbuhan tertinggi pada perlakuan penggunaan

134
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

pupuk kandang kelinci rata-rata 116,12 cm; kemudian diikuti pupuk kimia 94,96 cm, pupuk ayam
89,68 cm dan terendah pupuk sapi 81,89 cm. perbedaan disebabkan pengaruh kandungan hara tiap
jenis yang berbeda. Tinggi tanaman hasil penelitian lebih tinggi dari yang dilaporkan Shanableh et al
(2016) rumput millet di Palestine 49 – 70 cm. menurut Brambaiah et al (2018) peningkatan jumlah
tunas dengan N yang lebih tinggi pada pupuk kelinci. Hal ini peran nitrogen dalam sintesis sitokinin
yang meningkatkan pembelahandan pemanjangan sel, sehingga menghasilkan jumlah anakan yang
lebih tinggi. Sedangkan jumlah tunas tertinggi penggunaan pupuk kelinci 3,13, kemudian diikuti
pupuk ayam 2,14 pupuk kima 1.88 dan terendah pupuk sapi 1,5. Jika dibandingkan jumlah per
rumpun penggunaan pupuk organik dari kelinci memberikan hasil pertumbuhan dan jumlah tunas
yang tertinggi. Perbedaan tinggi dan tunas tiap perlakuan juga kandungan unsur hara yang berbeda.
Unsur N yang tinggi merupakan unsur yang paling berperan pada laju pertumbuhan tinggi tanaman.
Sutedjo (2010), menyatakan nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang
pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan bagian-bagian vegetative tanaman, seperti
daun, batang dan akar. tetapi kalau terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan
pada tanamannya. Pengaruh jenis pupuk juga terlihat dari hasil pengukuran produksi (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan berat segar dan berat kering per panen rumpet millet (gram) dengan pemupukan tiga
jenis pupuk kandang di Ciawi Bogor
Perlakuan Berat segar (gram) Berat kering (gram)
c
Pupuk kimia 29.91 5.03c
Pupuk ayam 40.83b 7.40b
Pupuk kelinci 66.03a 11.09a
Pupuk sapi 19.21c 3.04c
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak berbeda nyata P<0,05

Pada Tabel 4 memperlihatkan produksi berat segar maupun berat kering rumput millet yang
diberi pupuk kelinci tertinggi (66,03 gram/rumpun), kemudian diikuti pupuk ayam (40,83
gram/rumpun), pupuk kimia (29,91 gram/rumpun) dan terendah pupuk sapi (19,21 gram/rumpun).
Hasil penelitian ini nampaknya jenis pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap produksi hijauan
secara significant (P<0,05) dengan produksi lebih tinggi 40 % dari penggunaan pupuk kimia. Kecuali
pupuk sapi yang terendah kandunan haram aka produksi maupun tunas per rumpun juga rendah.
Perbedaan produksi dengan perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda disebabkan hasil
analisa unsur hara yang berbeda terutama N dan P di pupuk kelinci lebih tinggi dari jenis lainnya.
Hasil yang sama juga dilaporkan Sajimin et al (2011) penggunaan pupuk kelinci mendapatkan hasil
hijauan rumput P.maximum cv Riversdale lebih tinggi dari penggunaan pupuk sapi. Menurut
Bramhaiah et al (2018) peningkatan hijauan dengan peningkatan nitrogen berkorelasi posistif yang
lebih tinggi.

135
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hasil penelitian dengan penggunaan pupuk kimia maupun pupuk ayam yang kandungan N
lebih tinggi dari pada pupuk kelinci dan sapi. Nampaknya N yang lebih tinggi tidak dimanfaatkan
semua untuk pertumbuhan rumput millet untuk mencapai efisiensi pemupukan yang optimal, pupuk
harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk
berlebihan dapat mengakibatkan keracunan pada tanaman yang tidak dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Sebaliknya jika terlalu sedikit pengaruh pemupukan pada tanaman mungkin tidak akan
tampak. Menurut Dwidjoseputro (1997) suatu tanaman kekurangan unsur hara laju pertumbuhan
tanaman terhamat dan tidak optimal.

Kualitas hijauan
Hasil analisa kualitas hijauan pada rumput millet menjelang berbunga seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisa kandungan protein kasar, NDF, ADF dan kecernaan bahan kering, bahan
organik umur 2 bulan rumput millet
NDF ADF
Perlakuan protein kasar g/100 KCBK (%) KCBO (%)
g/100 g/100
Pupuk kimia 14.34 62.45 38.57 76.49 72.36
Pupuk ayam 15.10 58.14 35.46 82.68 80.30
Pupuk kelinci 12.12 58.43 35.37 82.38 80.63
Pupuk sapi 13.67 59.52 35.74 86.69 85.41
PK: protein kasar, NDF: netral detergent fiber, ADF: Acid detergent fiber, KCBK: Kecernaan bahan kering,
KCBO: Kecernaan bahan organik

Tabel 5 terlihat kandungan protein kasar tertinggi pada rumput millet yang diberi pupuk ayam
(15,10 %) kemudian pemberian pupuk kimia (14,34 %), pupuk sapi 13,67 % dan terendah pemberian
pupuk kelinci 12,12 %. Kemudian kandungan NDF dan ADF berturut-turut 38,57 % dan 38,57 %
pada penggunaan pupuk kimia tertinggi daripada penggunaan pupuk kandang NDF dan ADF berturut-
turut tertinggi 59,52 % dan 35,74 %. Pemberian pupuk kandang dengan unsur hara yang tinggi
menyebabkan tanaman terpenuhi kebutuhan hara sehingga kualitas lebih tinggi. Hal yang sama juga
dilaporkan Namihira et al (2011) pada rumput P.maximum cv Gatton yang diberi pupuk dengan N
lebih tinggi maka kandungan proteinnya lebih tinggi dibanding dengan diberi pupuk N lebih rendah.
Kemudian Syam (2015) bahwa turunnya kandungan ADF disebabkan karna semakin tingginya
pemupukan dan pemberian unsur hara, sehingga membantu sistem perakaran dan penyerapan air yang
baik pada tanaman dengan demikian proses lignifikasi menjadi terhambat. Hasil penelitian rumput
millet ini kecernaan lebih tinggi dari yang dilaporkan Arora et al (1977) kualitas milet dilaporkan
bahan kering hijauan (15,2 - 28,5%), protein kasar (3,5 - 6%), NDF (60,3 - 64,5%), ADF (37,1 - 41%)
dan kecernaan bahan kering in-vitro 53,9 - 68,7% .
Penggunaan pupuk kimia kecernaannya terendah hal ini kandungan ADF 62,45 % dan ADF

136
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

38,57 % yang tertinggi dibanding perlakuan pupuk kandang NDF 58,14 -59,52 %, ADF 35,46 –
55,74. Menurut Suparjo (2010) rendahnya kecernaan karena kandungan NDF tinggi dengan dinding
sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa sehingga ternak ruminansia dengan kemampuan
pemanfaatan serat yang kecil. Selanjutnya Tillman et al (1989), dan Sudirman dkk., 2015
mengemukakan daya cerna yang rendah bahan pakan hijauan kandungan ADF dan NDF. Penurunan
kadar NDF disebabkan karena meningkatnya lignin pada tanaman mengakibatkan menurunnya
hemiselulosa. Tingginya kadar lignin menyebabkan mikroba tidak mampu mengurai hemiselulosa dan
selulosa secara sempurna.

Kesimpulan dan Saran


Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa P.glaucum (rumput millet) dengan pemberian pupuk
kandang rata-rata produksi hijauan lebih tinggi 40 % dari penggunaan pupuk kimia. Kualitas hijauan
dengan kandungan protein kasar tertinggi pupuk ayam 15,10 %. Kecernaan bahan kering penggunaan
pupuk kandang tertinggi 86,69 % dan bahan organic 85,41 % sedangkan pupuk kimia kecernaan
bahan kering 76,49 % dan kecernaan bahan organic 72,36 %. Kandungan NDF dan ADF pada kimia
berturut 62,45 % dan ADF 38,57 % lebih tinggi dari penggunaan pupuk kandang 58,14 % dan 35,46
%.

Daftar Pustaka
Arora SP. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bramhaiah U, Chandrika V, Nagavani AV , Latha P. 2018. Performance of fodder pearl millet
(Pennisetum glaucum L.) varieties under different nitrogen levels in southern agro- climatic
zone of Andhra Pradesh. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. vol 7(2): 825-827
Dwidjosaputro. 1997. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta. Hlm 232.
Gomez KA, Gomez AA. 1983. Statistical procedur for Agricultural Research. 2 nd edition. IRRI. John
Wiley and Sons New York.
Ibrahim HIM, Hassanen SAA, Hassan EA. 2015. Performance of Forage Millet in Response to
Different Combinations of Organic-, Inorganic- and Bio- Fertilizers. World Journal of
Agricultural Sciences 11 (6): 423-431, Forage Crops Research Department,
Field Crops
Research Institute, Agricultural Research Center, Giza, Egypt
Jacobs LW. 1990. Potential hazards when using organic materials fertilizers for crop production.
Paper presented at Seminar on The use of organic fertilizer in crop production at soweon.
South Korea. 18 – 24 June 1990.
Jo LS. 1990. Effect of fertilizer on soil physical properties and plant growth. Paper presented at
Seminar on The use of organic fertilizer in crop production at soweon. South Korea. 18 – 24
June 1990.
Karama AS, Marzuki AR, Manwan I. 1991. Penggunaan pupuk organic pada tanaman pangan. Pros.
Lokakarya Nasional Efiiensi penggunaan pupuk V. Cisarua 12 -13 September 1990.
Puslitanak. Bogor. Hal: 305 – 464.
Kollet JL, J. M. da Silva Diogo dan GG. Leite 2006. Forage yield and chemical composition of pearl
millet varieties (Pennisetum glaucum (L.) R. BR.). Revista Brasileira de Zootecnia Sociedade
Brasileira de Zootecnia. v.35, n.4, p.1308-1315.
Morales JU, Hernández Alatorre JA, Nieto CAR, Becerra JFC. 2015.Forage production and
nutritional content of silage from three varieties of pearl millet (Pennisetum glaucum)
harvested at two maturity stages. Journal of Animal &Plant Sciences. Vol.27 (1): 4161- 4169.

137
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Namihira T, Shizako N, Akmine H, Nakamura I, Maekawa H, Kawamoto Y, Matsui. 2011. The effect
of nitrogen fertilizer to the sward on guinea grass silage fermentation. Asian-Australia.J.
Anim.Sci. VoL 24 (3): 358 – 363.
Nuryani E, Haryono G, Historiawati. 2019. pengaruh dosis dan saat pemberian pupuk p terhadap hasil
tanaman buncis (phaseolus vulgaris, l.) tipe tegak. vigor: jurnal Ilmu Pertanian Tropika dan
Subtropika 4 (1): 14 – 17.
Rostamza M, Chaichi M, Jahansouz M, Alimadadi, A (2011). Forage quality, water use and nitrogen
utilization effeciencies of pearl millet (Pennisetum amercanum L.) grown under different soil
moisture and nitrogen levels. Agricultural Water Management, 98: 1607-1614.
Sajimin, YC. Rahardjo dan ND Purwantari. 2004. Evaluasi produksi tanamana pakan ternak
P.maximum cv Riversdale dengan penggunaan manure kelinci. Makalah dibawakan pada
semnas Klinik Teknologi Pertanian sebagai basis pertumbuhan usaha agribisnis menuju petani
nelayan mandiri. BPTP Sulut Manado. 9 – 10 Juni 2004.
Sajimin, Rahardjo YC, Fanindi A. 2011. Penggunaan beberapa jenis pupuk organic untuk peningkatan
produki hijauan rumput P.maximum cv Riversdale di Bogor. Pros. Semiloka Nasional. BPTP
Jawa Tengah dan Undip. 866 – 871.
Shanableh R, Qaoud AH, Myzied N, Shtaya MJ, 2016. Forage yield of pearl millet (Pennisetum
glaucum) under different water quality and accessions. Indian J. Agric. Res., 50 (3): 264-
267

Sheahan CM 2014. Plant guide for pearl millet (Pennisetum glaucum). USDA-Natural Resources
Conservation Service, Cape May Plant Materials Center, Cape May, NJ. Published 08/2014.
Siregar ME 1989. Produksi hijauan dan nilai nutrisi tiga jenis rumput Pennisetum dengan system
potong ankut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Puslitbangnak Bogor. P:1-4.
Siregar ME. 1991. Kebutuhan pupuk untuk pengembangam tanaman makanan ternak. Prosiding
lokakarya Nasional Efisiensi penggunaan pupuk IV. Puslitanak. Bogor.
Sudirman, Suhubdy, S. D. Hasan, S. H. Dilaga, dan I. W. Karda. 2015. Kandungan Neutral Detergent
Fibre (NDF) dan Acid Detergent Fibre (ADF) bahan pakan lokal ternak sapi yang dipelihara
pada kandang kelompok. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia. 1(1):66- 70.
Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan Secara Kimiawi: Analisis Proksimat dan Analisis Serat.
Labolatorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi.
Sutejo, M. M. 1990. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rhineka Cipta. Jakarta.
Syam, N. 2015. Pengaruh pemberian pupuk hijau cair kihujan (Samanea saman) dan azolla (Azolla
pinnata) terhadap kandungan NDF dan ADF pada rumput signal (Brachiaria decumbens).
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tisdale, SL, Nelson WL dan JD Beaton. 1985. Soil fertility and fertilizers (4 th Edition). Macmillan
Publishing Company. New York USA.
Wijitphan,S., P.lorwilai and C. Arkaseang. 2009. Effect of cutting heights on prodctivity and quality
of King Napier Grass under irrigation. Pakistan Jurnal Nutr., 8: 1244 – 1250.
Zuhroh, F. Muizzudin, Chamisijati,L. 2016. Pengaruh Jenis dan Dosi Pupu kandang terhadap tinggi
tanaman, luas daun dan berat basah rumput gajah odot (Pennisetum purpureum cv Mott).
Pros. Semnas II. Fakultas Biologi dan pusat Studi Lingkungan Universitas Muhammadiyah
Malang. Malang 26 Maret 2016.

138
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Peningkatan Kualitas Beras Siger Berbasis Teknologi ASUH


(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal)

Quality Improvement of Siger Rice Based on ASUH Technology


(Safe, Healthy, Whole, And Halal)

Suraya Kaffi Syahpura1), Zulfahmi2)


1)
Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung, Jalan Soekarno-Hatta no 10 Rajabasa Bandar Lampung-
Lampung 35144
2)
Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampun, Jalan Soekarno
Hatta no 10 Rajabasa Bandar Lampung-Lampung 35144
Email: ivisoraya@polinela.ac.id

Abstrak
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam rangka
mengatasi problematika pembangunan daerah dan tertuang dalam Rencana Pembangunann Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lampung Timur Tahun 2014-2019, dan sinergi dengan
Program Strategis Provinsi Lampung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi Lampung, yang salah satu programnya Ketahanan Pangan yaitu meningkatkan
produksi Beras Siger. Salah satu program yang di upayakan untuk meningkatkan produksi dengan
kualitas dan kuantitas yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) adalah dilakukannya transfer ilmu
dari perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan pengadaan fasilitas produksi yang memadai
meliputi sarana dan prasarana (alat teknologi mesin) sederhana dan dapat dimanfaatkan oleh
kelompok tani, usaha yang sudah ada selama ini dari segi kualitas dan kuantitas produksi masih
dibawah standar seharusnya. Beras siger adalah produk beras analog berbahan baku singkong yang
mengadopsi proses pembuatan tiwul yang telah dimodifikasi dengan sentuhan teknologi, warna lebih
cerah, bentuk yang lebih seragam, serta bersifat instan (siap saji). Proses pengolahan beras siger
direkayasa pada tahap penyiapan tepung dengan cara mempersingkat waktu pengeringannya sehingga
menghasilkan warna yang cerah. Sedangkan bentuk yang lebih seragam direkayasa melalui
penggunaan alat pembentuk butiran (granulator). Beras siger memiliki sifat fungsional dapat
mencegah terjadinya obesitas dan pengendali diabetes mellitus.

Kata kunci: Beras Siger, ASUH, Diabetes mellitus

Abstract
Regional development is an integral part of national development. In order to overcome the problems
of regional development and embodiment in the Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD)
of East Lampung in 2014-2019, and synergy with the Lampung Provincial Strategic Program in the
Lampung Province Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD), one of the programs is
Food Security namely increasing production of Siger Rice. One program that can be strived to
increase production with quality and quantity ASUH (Safe, Healthy, Whole, and Halal) is the transfer
of knowledge from institutions as educational institutions and procurement of adequate production
facilities including facilities and infrastructure (machine technology tools ) is simple and can be
utilized by farmer groups, whose businesses are there but the quality and quantity of production are
still below the standard they should. Siger rice is an analog rice product made from cassava which
adopts the process of making tiwul which has been modified with a touch of technology, brighter
colors, more uniform shapes, and is instant (ready to serve). The processing of siger rice is
engineered at the flour preparation stage by shortening the drying time so that it produces a bright
color. While a more uniform form is engineered through the use of granulator. Siger rice has
functional properties that can prevent obesity and control diabetes mellitus.

Keywords: Siger Rice, ASUH, Diabetes mellitus

139
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pendahuluan
Masalah utama kualitas dan keamanan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan
pangan baik domestik maupun global, yaitu a)masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak
memenuhi persyaratan dan keamanan, b) masih banyak terjadi kasus keracunan makanan yang
sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, c) masih rendahnya pengetahuan,
keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor)
tentang kualitas dan distribusi pangan yang belum memenuhi persyaratan terutama pada industri kecil
dan rumah tangga, dan d) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang
disebabkan karena pengetahuan terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga konsumen
masih membeli produk dengan tingkat kualitas dan keamanan yang rendah.
Dalam mengatasi permasalahan Urusan Wajib Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung
Timur, perlu diambil inisiatif untuk meningkatkan produksi Beras Siger dengan terus melakukan riset
dan pengembangan produk guna mencari solusi untuk meningkatkan ketersediaan cadangan pangan
bagi masyarakat. Beras Siger diperdagangkan dalam bentuk mentah maupun yang telah diolah siap
konsumsi menjadi pangan fungsional alternatif untuk pengendalian penyakit Diabetes Mellitus dan
Obesitas dan digolongkan sebagai pangan fungsional. Produk ini dihasilkan oleh kelompok industri
kecil menengah bidang hilirisasi singkong ―UKM Maju Bersama‖ desa Sidomulyo kecamatan
Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung, yang berperan mengolah ubi kayu segar
dimana tahapan pengolahan dimulai dari singkong, tepung singkong dan Beras Siger. Pangan
fungsional pada Produk Beras Siger dimaksudkan sebagai pangan yang dapat memberikan manfaat
tambahan di samping fungsi dasar pangan tersebut. Suatu bahan pangan dikatakan bersifat fungsional
bila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis
tubuh ke arah yang bersifat positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah
penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi
fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Hidayat et al., 2015).
Berdasarkan permasalahan ini tim mengupayakan penerapan teknologi terapan yang mudah
digunakan, harganya terjangkau dan aman dikonsumsi yaitu pembuatan beras siger yang ASUH
(Aman, Sehat, Utuh, dan Hyegienis), sehingga diharapkan permasalahan diatas bisa terpecahkan.
Kegiatan penerapan Program Kemitraan Masyarakat ini akan dilaksanakan di Kelompok Tani Maju
Bersama di desa Sidomulyo yang terdapat 120 kelompok tani. Kecamatan Sekampung terdiri dari 25
desa, yang terdiri dari beberapa kelompok tani. Kelompok Tani Maju Bersama merupakan usaha
mikro dengan jumlah mitra 120 orang yang mana anggotanya berpendidikan tamatan SMP 20 orang
dan sekolah dasar 100 orang. Aspek produksi kelompok tani Maju Bersama selama ini menjual
produksi beras siger mereka seadanya mengingat ketersediaan sarana dan prasarana alat penunjang
pembuatan beras siger yang tidak memadai, sehingga keuntungan yang didapat sedikit dengan sistem
managemen penjualan yang seadanya dan belum maksimal menyebabkan tingkat pendapatan petani
sangat rendah. Sedangkan mitra lain yang akan mengikuti kegiatan ini adalah kelompok tani Maju

140
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Bersama yang 20% anggotanya berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama yang tidak
melanjutkan lagi sekolah karena terbentur biaya pendidikan dan sisanya hanya berpendidikan sekolah
dasar, jumlah anggota 20 orang. Berdasarkan sumberdaya pekerja, iklim setempat, dan lahan maka
prospek usaha pembuatan beras siger di desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung
Timur Propinsi Lampung ini bisa diusahakan secara maksimal untuk membantu perekonomian
masyarakat desa khususnya dan dapat meningkatkan income daerah kabupaten Lampung Timur.
Umumnya petani beras siger didesa Sidomulyo ini memproduksi beras sigernya secara
sederhana dengan hanya mengandalkan peralatan pengolahan sederhana dan masih tergantung cuaca
alam, jagung dan belum pernah tersentuh dengan teknologi pembuatan beras siger yang ASUH
(Aman, Sehat, Utuh, dan Hyegienis).

Materi dan Metode Pelaksanaan


Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah partisipatif dan kooperatif secara demplot,
penyuluhan dan pendampingan. Melalui metode ini diharapkan sasaran akan dapat bekerja sama dan
saling merasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kelangsungan kontinuitas, baik selama kegiatan
ini berlangsung maupun setelahnya. Pola pelaksanaan kegiatan ini akan dijalankan secara bertahap,
yakni meliputi:
1. Survei pendahuluan dan identifikasi masalah
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk survey melalui pendekatan sosial. Metode
pendekatan dan penggalian masalah ini dilakukan dengan menciptakan suasana kekeluargaan
melalui dialog formal atau non formal tentang masalah desanya, potensi desa dan kendala
yang dihadapi.
2. Kegiatan Demplot
Pada Kegiatan ini kelompok sasaran yang terpilih bersama tim akan melakukan pembuatan
demplot produksi beras siger yang ASUH. Kegiatan ini dimaksudkan agar kelompok sasaran
menyadari akan potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga dapat meyakinkan diri
sendiri dan kelompok sasaran untuk berkembang.
3. Kegiatan Penyuluhan
Pada kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi bekal keterampilan bagi kelompok sasaran,
sehingga dapat menciptakan peluang dan kesempatan usaha pengolahan beras sig yang
ASUH, cepat dan memiliki nilai ekonomis yang terjangkau oleh masyarakat.
4. Pembinaan lapangan
Kegiatan ini merupakan implementasi, pemantauan, pembinaan, dan pengawasan dari latihan
teknis dan keterampilan. Berdasarkan permasalahan yang ditemui dilapangan kemudian
dijadikan refleksi, yang selanjutnya diupayakan langkah pemecahan berdasarkan pengalaman,
temuan-temuan tenaga ahli, tenaga lapangan (PPL), dan instansi terkait.

141
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Evaluasi ini dilakukan untuk menilai sejauh mana hasil yang telah dicapai dan hambatan yang
dihadapi dalam mencapai sasaran. Kegiatan evaluasi dilakukan setiap sebulan sekali. Komponen yang
akan dievaluasi meliput:
a. Respon masyarakat terhadap kegiatan
b. Pengetahuan masyarakat terhadap produksi beras siger
c. Pengetahuan masyarakat terhadap bahayanya produksi beras siger yang tidak asuh

Untuk mengevaluasi keberhasilan terhadap komponen diatas, akan dilakukan Pre-test dan
Post Test peserta sasaran yang dilakukan diawal dan akhir kegiatan penyuluhan dan selama proses
produksi yang dilakukan setiap dua minggu sekali ke lokasi produksi secara mendadak tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
Tim penerapan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini adalah dosen dari Politeknik
Negeri Lampung yang berjumlah 2 orang dengan kompetensi yang berbeda sesuai bidang masing-
masing yaitu dibidang peternakan dengan kualifikasi keahlian teknologi hasil ternak jurusan
Peternakan dan bidang teknologi makanan dengan kualifikasi biokomia pangan jurusan Teknologi
Pertanian yang dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi mitra kegiatan diatas. Berdasarkan
uraian permasalahan yang dihadapi di tempat pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan Masyarakat
(PKM) pengolahan beras siger di desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur
dengan mitra kelompok Tani Maju Bersama di desa Sidomulyo kecamatan Sekampung Kabupaten
Lampung Timur dilakukan selama 6 bulan dapat dilihat pada Gambar 1.
Kelompok mitra sasaran yang diharapkan ikut terlibat pada kegiatan ini adalah kelompok tani
UKM beras siger. Pemilihan kelompok sasaran tersebut didasarkan pada pertimbangan kepentingan
peningkatan pendapatan melalui masa produksi yang cepat dengan biaya produksi yang rendah,
kemauan untuk maju dan berkembang, ketekunan, kesabaran serta ketersediaan waktu dan tenaga dan
produk yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Target luaran yang didapat dari kegiatan
Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini adalah:
1. Memberikan masukan kepada petani UKM Beras siger tentang beberapa keuntungan yang
dapat diperoleh dari pengolahan Beras Siger yang baik dari segi ekonomi, kesehatan dan
lingkungan.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya kelompok tani akan pentingnya
produksi beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal).
3. Memberikan informasi kepada Kelompok tani pentingnya mengetahui proses pengolahan
beras siger yang benar agar tidak terjadi peningkatan kadar HCN yang berbahaya bagi yang
mengkonsumsi.
4. Memberikan peluang usaha untuk membuka lahan dan pemanfaatan lahan pekarangan rumah
untuk menanam singkong yang mana tanaman tersebut banyak yang bisa dimanfaatkan untuk
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

142
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

5. Memberikan informasi dan perhitungan analisa biaya proses pembuatan beras siger sehingga
diperoleh keuntungan yang maksimal..
6. Menghasilkan Produk beras Siger yang ASUH dengan Label yang sesuai aturan.
7. Sebagai salah satu kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi.

Hasil dan Pembahasan


Pada pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan Masyarakat di kecamatan Sekampung adalah
mengacu kepada permasalahan mitra. Proses pengolahan beras yang ASUH, cepat, pemasaran yang
baik dan bernilai ekonomis merupakan masalah utama yang dialami kelompok tani Maju Bersama di
kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur. Produksi beras siger yang dihasilkan tidak sesuai
dengan kualitas dan kuantitas pada beras siger. Sedangkan pengolahan beras siger bertujuan
meningkatkan pendapatan petani dengan menjual beras siger bisa meningkat sehingga dapat
menunjang kemajuan kehidupan keluarga kelompok tani secara khusus dan meningkatkan income
daerah secara umum.
Permasalahan dalam bidang produksi di kelompok tani di desa Sidomulyo kecamatan
Sekampung kabupaten Lampung Timur adalah produksi beras siger yang kualitas dan kuantitasnya
belum memenuhi standar produksi yang optimal. Dan permasalahan dalam bidang managemen adalah
tidak tersedianya sarana dan prasarana penunjang diantaranya peralatan pengolahan produksi beras
siger yang optimal. Sedangkan permasalahan pemasaran adalah belum dipasarkannya secara optimal
produksi beras siger dari Lampung Timur ini dikarenakan belum terciptanya managemen atau wadah
atau pedagang pengumpul yang dapat memasarkan beras sigernya dengan salah satu cara seperti
labeling, kemasan yang menarik sehingga pemasaran dapat tercapai secara optimal. Empat masalah
utama kualitas dan keamanan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik
maupun global, yaitu a) masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan
dan keamanan, b) masih banyak terjadi kasus keracunan makanan yang sebagian besar belum
dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, c) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan
tanggungjawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang kualitas
dan distribusi pangan yang belum memenuhi persyaratan terutama ada industri kecil dan rumah
tangga, dan d) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan
karena pengetahuan terbatasnya kemampuan daya beli yang rendah, sehingga konsumen masih
membeli produk dengan tingkat kualitas dan keamanan yang rendah.
Proses produksi terutama penanganan pengolahan Beras Siger yang baik harus diikuti dengan
pengendalian dan pengawasan mutu serta keamanan di industri pangan sehingga menjadi hal yang
penting untuk diterapkan (Astuti, 2014). Selain dukungan kelembagaan meliputi SDM yang
berkualitas dan fasilitas sarana prasarana (alat teknologi mesin) yang tak kalah penting perlu
diperhatikan. Ketidaksempurnaan proses produksi yang disebabkan tidak tersedianya sarana dan
prasarana berupa alat dan teknologi proses pengolahan beras siger akan menyebabkan terjadinya hal-

143
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

hal yang tidak diinginkan seperti adanya keracunan dan efek samping mengkonsumsi beras siger
dalam waktu lama. Hal ini disebabkan dalam proses pembuatan beras siger memelukan bahan baku
singkong yang mempunyai kadar HCN (Asam Sianida) yang tinggi. Namun apabila pengolahan dari
singkong menjadi beras siger dengan metode yang benar akan menurunkan kadar sianida sehingga
aman dikonsumsi dan dapat membantu menstabilkan gula darah bagi penderita Diabetes Melitus
(DM) dan pencegahan bagi masyarakat agar terhindar dari penyakit Diabetes Melitus (DM).
Berdasarkan analisis situasi diatas, maka prioritas permasalahan mitra usaha kelompok Tani Maju
Bersama desa Sisomulyo kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur adalah sebagai berikut:
1. Sistem pengolahan beras siger yang tidak sesuai dengan persyaratan industri makanan yang
ASUH (aman, Sehat, Utuh, dan Hyegiene)
2. Mahalnya biaya pengolahan untuk memproduksi beras siger
3. Masa proses pengolahan yang lama untuk bisa dipasarkan karena tidak tersedianya peralatan
tehnologi proses pengolahan beras siger yang sederhana.
4. Produksi beras siger yang rendah dari segi kualitas dan kuantitas.
Berdasarkan kuisioner mengenai tingkat keberhasilan pelaksanaan PKM di UKM Maju
Bersama Desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung
adalah sebelum pelaksanaan pengetahuan anggota kelompok dan masyarakat 20%, dan setelah
pelaksanaan PKM data yang didapat terjadi peningkatan pengetahuan anggota UKM dan warga
sekitar menjadi 80%. Berdasarkan peninjauan lapangan yang dilakukan pada saat bulan pertama
pelaksanaan PKM desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur adalah bahwa
di kelompok UKM tersebut belum dilaksanakan dan belum tersentuhnya teknologi dalam pengolahan
Beras Siger yang dapat ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dam Halal) sehingga kualitas beras siger
meningkat dan meningkatkan kuantitas produktivitas beras siger yang dihasilkan oleh UKM Maju
Bersama di Desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung.
Untuk memaksimalkan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) di desa Sidomulyo
Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur diadakan pengisian kuisioner terhadap
pengetahuan anggota kelompok UKM/KWT Maju bersama desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung
Kabupaten Lampung Timur terhadap penegertian pengolahan beras siger berbasis teknologi ASUH
(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Berdasarkan data kuisioner yang didapat adalah 80% anggota tidak
mengetahui pengolahan Beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) serta manfaat dan
kegunaaan beras siger yang ASUH, 20% mengetahui kegunaan dan manfaat beras siger yang ASUH.

Kesimpulan
Program Kemitraan Masyarakat yang dilakukan dengan metoda penyuluhan dan demplot
serta pemberian peralatan pengolahan beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal), dapat
mewujudkan salah satu tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan dan penambahan income

144
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kelompok masyaraakat secara umum dan peningkatan kesejahteraan anggota UKM/KWT Maju
Bersama Desa Sidomulyo kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terimakasih kepada DRPM Kemenristek DIKTI tahun 2019 melalui Program
Kemitraan Masyarakat dan Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri
Lampung. Semoga pelaksanaan pengabdian yang telah dilaksanakan dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Daftar Pustaka
Astuti., H. 2016. Strategi Peningkatan Produksi Beras Siger Produk Unggulan Lampung. Prosiding.
Dipublikasikan pada Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Memantapkan
Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi Asean. 19 Oktober 2016. Bandar
Lampung.
Fardiaz. 1996 dalam Afrianti. 2013 dalam Astuti. 2014. Analisis Bahaya pada Proses Pasca Panen
Kakao Sumatera Barat. Tesis. Universitas Andalas Padang.
Hidayat, B., Syamsu Akmal dan Surfiana. Kajian Potensi Beras Siger (Tiwul Instan) Fortifikasi
sebagai Pangan Fungsional. Prosiding. Seminar Nasional Swasembada Pangan Politeknik
Negeri Lampung 29 April 2015 ISBN: 978-602-70530-2-1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lampung Utara Tahun 2014-
2019. Buku. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Utara. 2014.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung Tahun 2014-2019.
Buku. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2014.
Rubiyo dan Siswanto, 2012 dalam Astuti dan Ariwibowo, 2016. Strategi Perencanaan Partisipatif
Kelompok Wanita Tani Usaha Pengolahan Produk Pangan Berbasis Singkong. Prosiding.
Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Menuju Kemandirian Desa, Jurusan Sosiologi
FISIP Unila. 12 November 2016. Bandar Lampung.

145
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam Ransum terhadap


Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul

The Influence of Use Shrimp Waste Fermentation Product in Ration on Hematocrits


Levels and Blood Cholesterol in Sentul Chicken

Syakir Fathul Mubin1, Abun2, Kurnia A. Kamil2


1
Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019
2
Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
*Korespondensi: fmsyakir@gmail.com

Abstrak
Penelitian telah dilaksanakan di kandang ayam Desa Cileles dan Laboratorium Fisiologi Ternak dan
Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, mulai dari bulan Maret hingga April 2019.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mendapatkan tingkat penggunaan feed supplement
berbasis limbah udang fermentasi yang diperkaya dengan mineral Selenium dan Na-alginat dalam
ransum yang menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah optimal pada ayam Sentul.
Penelitian menggunakan 20 ekor ayam Sentul betina fase developer umur 18 minggu dalam 20 unit
kandang. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima macam
perlakuan terdiri atas R0 (ransum tanpa produk fermentasi limbah udang), R 1 (ransum mengandung
produk fermentasi limbah udang 0,5%), R 2 (ransum mengandung produk fermentasi limbah udang
1,0%), R3 (ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,5%), dan R 4 (ransum mengandung
produk fermentasi limbah udang 2,0%). Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan peubah
yang diamati adalah kadar hematokrit dan kolesterol darah. Hasil penelitian diperoleh bahwa
penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dengan tingkat 1,0% dalam ransum
menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah yang optimal pada ayam Sentul.

Kata kunci: ayam Sentul, feed supplement, hematokrit, kolesterol darah, limbah udang fermentasi

Abstract
The research has held in the Cileles Village chicken coop and Laboratory of Animal Husbandry
Physiology and Biochemistry, Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran University, from March to
April 2019. The purpose of this research was to determine and obtain the level of use of feed
supplement based on fermentated shrimp waste enriched with minerals Selenium and Na-alginate in
ration that produced optimal hematocrit and blood cholesterol levels in Sentul chickens. The research
used 20 female Sentul chicken on developer phase aged 18 weeks in 20 cage units. The research used
a Completely Randomized Design (Rancangan Acak Lengkap – RAL) method with five types of
treatment consists of R0 (ration without shrimp waste fermentation product), R 1 (ration contains
shrimp waste fermentation product 0.5%), R2 (ration contains shrimp waste fermentation product
1.0%), R3 (ration contains shrimp waste fermentation product 1.5%), and R4 (ration contains shrimp
waste fermentation product 2.0%). Each treatment repeated four times with the variables observed
were hematocrit and blood cholesterol levels. The results obtained that the use of feed supplement
based on fermentated shrimp waste with a level 1.0% in the ration produced optimal hematocrit and
blood cholesterol levels in Sentul chickens.

Keywords: Sentul chicken, feed supplement, hematocrit, blood cholesterol, fermentated shrimp waste

Pendahuluan
Ayam Sentul merupakan salah satu ayam lokal Indonesia yang berasal dari Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Ayam Sentul memiliki performans produksi yang lebih baik dibanding ayam
lokal lain. Guna mencapai produktivitas yang optimal bagi ayam Sentul perlu memerhatikan

146
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

ketersediaan zat nutrien dan imbangan antara energi metabolis dan protein dalam pemberian
ransumnya. Penggunaan feed supplement dapat menjadi upaya meningkatkan kualitas ransum, dan
salah satu bahannya berasal dari limbah perikanan yaitu limbah udang.
Feed supplement adalah bahan pakan tambahan berupa zat-zat nutrien, terutama zat nutrien
mikro seperti vitamin, mineral, atau asam amino yang berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan
ketersediaan zat nutrien mikro dalam ransum. Limbah udang memiliki potensi sebagai bahan dasar
pembuatan feed supplement karena mengandung zat biokatif seperti karotenoid dan kitosan serta
ketersediaannya melimpah, sesuai dengan data produksi udang di Indonesia sebesar 603,47 ribu ton
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016).
Limbah udang merupakan hasil ikutan dari kegiatan pengupasan udang untuk diekspor berupa
udang tanpa kepala dan kulit. Limbah udang memiliki kandungan protein kasar 25-40%, kalsium
karbonat 45-50% dan kitin 15- 20% (Wowor, dkk. 2015). Adanya khitin menjadi faktor pembatas
dalam pemanfaatan limbah udang karena khitin mengikat protein pada limbah udang. Mengatasi hal
tersebut perlu dilakukan upaya pengolahan melalui proses fermentasi menggunakan bakteri Bacillus
licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi Saccharomyces cerevisiae. Fermentasi limbah udang
menggunakan mikroba mampu memperbaiki kualitas protein limbah udang yang mengandung khitin
dengan meningkatnya kelengkapan dan keseimbangan asam amino esensial serta memiliki daya cerna
yang optimal (Abun, dkk. 2016). Pengolahan tersebut memberikan keuntungan di antaranya
penguraian khitin yang lebih merata, mudah dikendalikan, dan sesuai dengan lingkungan
(biocompatible) (Artiningsih, dkk. 2003).
Produk tersebut selanjutnya ditambahkan dengan mineral selenium (Se) dan natrium alginat
(Na-alginat) yang berperan sebagai binder (pengikat). Pengikatan bertujuan agar menjaga nutrien
yang terkandung dalam feed supplement berbasis limbah udang fermentasi sehingga dapat tercampur
merata ketika proses pembuatan ransum. Adanya Se dan Na-alginat juga mempunyai fungsi setelah
dikonsumsi oleh ayam Sentul. Selenium berperan sebagai antioksidan, karena mampu menghambat
radikal bebas sehingga ayam Sentul menjadi lebih sehat. Darah merupakan salah satu indikator dari
status kesehatan bagi ternak, karena darah merupakan komponen yang penting dalam pengaturan
fisiologis tubuh. Sel-sel darah dapat diketahui persentasenya dalam total darah melalui pengukuran
nilai hematokrit, karena nilai hematokrit berbanding lurus dengan kadar sel darah sehingga dapat
menunjang terhadap meningkatkan kadar hematokrit.
Feed supplement berbasis limbah udang fermentasi juga dapat menurunkan kadar kolesterol
darah karena mengandung kitosan dan Na-alginat. Kitosan memiliki gugus amino bermuatan positif
yang dapat berikatan dengan asam empedu bermuatan negatif sehingga penyerapan kolesterol
terhambat. Penambahan Na-alginat akan meningkatkan ekskresi kolesterol ke usus besar sehingga
kolesterol darah menurun. Oleh karena itu, feed supplement berbasis limbah udang fermentasi disusun
dalam formulasi ransum serta diukur kadar hematokrit dan kolsterol darah ayam Sentul.

147
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Bahan dan Metode


Bahan yang digunakan terdiri atas limbah udang, isolat Bacillus licheniformis, Lactobacillus
sp. dan Saccharomyces cereviseae, aquadest, glukosa, yeast ekstrak, tripton, NaCl, NaOH, CaCO 3,
buffer pH 4, bufer pH 7, buffer pH 9, dan Bovin Serum Albumin. Alat yang digunakan yaitu stoples
stenles (reaktor), waterbath, shakerbath, gelas piala, pembakar bunsen, cawan petri, cawan porselin,
sentrifuse, corong, Ph-meter, spektrofotometer, tabung reaksi, tanur, mesin penepung, dan ayam
Sentul betina fase developer berumur 18 minggu sebanyak 20 ekor. Kandang yang digunakan dalam
bentuk sistem cage dengan ukuran 22 cm × 40 cm × 40 cm terbuat dari bambu, dilengkapi dengan
tempat pakan dan tempat air minum.
Bahan pakan penyusun ransum terdiri atas: jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai,
tepung ikan, produk fermentasi limbah udang, tepung tulang, CaCO 3, dan Grit. Kandungan zat- zat
makanan dan energi metabolis bahan pakan penyusun ransum dapat dilihat pada tabel 1. Susunan
ransum penelitian tiap perlakuan disajikan pada Tabel 2, dan berdasarkan susunan ransum tersebut
didapatkan kandungan nutrien dan energi metabolis ransum penelitian yang telah disajikan pada Tabel
3.

Tabel 1. Kandungan energi metabolis dan nutrien bahan pakan penelitian


EM PK LK SK Ca P Lis Met
Bahan Pakan
(Kkal/kg) ……………….………..(%)…………………..…..
J. Kuning 3.370 8,60 3,90 2,00 0,02 0,10 0,24 0,18
Dedak Halus 1.630 12,00 13,00 12,00 0,12 0,21 0,71 0,27
Bkl. Kedelai 2.240 44,00 0,90 6,00 0,32 0,29 2,90 0,65
T. Ikan 2.970 58,00 9,00 1,00 7,70 3,90 6,50 1,80
Produk Fermentasi Limbah
2.614 39,29 7,03 7,79 6,81 2,83 3,04 1,46
Udang*
T.Tulang - - - - 29,00 14,00 - -
CaCO3 0,00 0,00 0,00 0,00 40,00 0,00 0,00 0,00
Grit - - - - 30,87 1,11 - -
Sumber: Abun, dkk. (2016)
*Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran (2016).
Keterangan: EM: Energi Metabolis, PK: Protein Kasar, LK: Lemak Kasar, SK: Serat Kasar, Ca: Kalsium, P:
Phospor, Lis: Lisin, Met: Methionin.

148
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Formulasi ransum penelitian


Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4
....…....….………….…..(%)………………………..........
J. Kuning 63,00 62,68 62,37 62,06 61,74
Dedak Halus 14,25 14,18 14,10 14,04 13,97
Bkl. Kedelai 7,50 7,46 7,43 7,39 7,35
T. Ikan 8,00 7,96 7,92 7,88 7,84
Produk Fermentasi Limbah Udang 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00
T. Tulang 2,50 2,49 2,48 2,46 2,45
CaCO3 2,25 2,24 2,22 2,21 2,20
Grit 2,50 2,49 2,48 2,46 2,45
Jumlah 100 100 100 100 100
Keterangan:
R0 = Ransum tanpa produk fermentasi limbah udang (ransum basal)
R1 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 0,5%
R2 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,0%
R3 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,5%
R4 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 2,0%

Tabel 3. Kandungan energi metabolis dan nutrien ransum penelitan

Kandungan Nutrien R0 R1 R2 R3 R4 Kebutuhan


EM (kkal/kg) 2.761 2.760 2.759,50 2.759 2.758 2750*
Protein Kasar (%) 15,07 15,18 15,31 15,43 15,55 15*
Lemak Kasar (%) 5,10 5,11 5,12 5,13 5,14 5,0 -7,0**
Serat Kasar (%) 3,50 3,52 3,54 3,57 3,59 3,0-6,0**
Ca (%) 3,07 3,09 3,10 3,12 3,14 2,75- 3**
P (%) 0,80 0,81 0,82 0,83 0,84 0,70-0,90**
Lisin (%) 0,99 1,00 1,01 1,02 1,03 ≥ 0,70**
Metionin (%) 0,34 0,35 0,36 0,36 0,37 ≥ 0,3**
Keterangan: *Kebutuhan berdasarkan Widjastuti, T (1996).
**Zainuddin (2006)

Prosedur pembuatan produk fermentasi limbah udang yaitu:


a) Deproteinasi. Melakukan fermentasi pada Autho-Shaker-Bath (ASB). Limbah udang
dimasukkan ke dalam stoples stenles, kemudian diinokulasi dengan inokulum Bacillus
licheniformis dengan dosis 2 % (v/b). Selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin ASB selama 2
hari pada suhu 45°C dengan putaran 120 rpm.
b) Demineralisasi. Produk deproteinasi selanjutnya ditambahkan inokulum Lactobacillus sp.
sebanyak 2 % (v/b), kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 35 °C, menggunakan mesin
ASB dengan putaran 120 rpm.
c) Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae. Produk demineralisasi difermentasi
menggunakan Saccharomyces cereviseae sebanyak 3 % (v/b), lalu diinkubasi selama 2 hari
pada suhu 30°C, menggunakan mesin ASB dengan putaran 120 rpm.

149
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

d) Bindering. Produk bioproses selanjutnya disuplementasi dengan mineral Se sebanyak 0,15


ppm (73 ppm dalam bentuk selenit), dan penambahan Na-Alginat 5%. Selanjutnya
penggilingan dengan ukuran partikel 60 mash.
Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah ransum tanpa produk fermentasi
limbah udang (R0), ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 0,5% (R1), ransum
mengandung produk fermentasi limbah udang 1,0% (R 2), ransum mengandung produk fermentasi
limbah udang 1,5% (R3), dan ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 2,0% (R 4).
Ransum dibuat berdasarkan standar kebutuhan kandungan protein dan energi metabolis ransum untuk
ayam Sentul pada fase awal produksi yaitu kandungan protein 15% dan energi metabolis 2.750
kkal/kg (Widjastuti, 1996). Peubah yang diamati meliputi:
a) Kadar Hematokrit (%)

Kadar hematokrit =

b) Kadar Kolesterol Darah (mg/dL)

Kadar kolesterol Darah =

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental dan menggunakan Rancangan Acak


Lengkap (RAL) dengan 5 macam perlakuan ransum dan diulang sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh
dianalisis dengan Anava dalam analisis sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji
menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata.

Hasil dan Pembahasan


Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah perbandingan sel darah merah terhadap
total volume darah dalam 100 ml darah dan dinyatakan dalam persen. Penentuannya dilakukan
dengan mengisi kapiler hematokrit berwarna merah yang mengandung antikoagulan dengan darah,
lalu dilakukan sentrifugasi sampai sel-sel mengumpul di bagian dasar. Kadar hematokritnya kemudian
dapat diketahui setelah dibaca pada alat pembaca hematokrit dan dimasukkan ke dalam rumus kadar
hematokrit.
Penentuan kadar kolesterol darah menggunakan plasma darah dengan cara sampel darah
disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Plasma darah dianalisis dengan
menggunakan perhitungan kolesterol berdasarkan BIOLABO kit pada panjang gelombang 500 nm
dengan spektrofotometer dan dihitung kadar kolesterolnya. Rataan kadar hematokrit dan kolesterol
darah ayam Sentul dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

150
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 4. Rataan Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul Penelitian
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3 R4
Kadar Hematokrit (%) 28,15 30,09 31,27 31,84 32,53
Kadar Kolesterol
156,91c 141,17bc 125,62ab 111,40a 103,64a
Darah (mg/dL)

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hematokrit

33 32.53
31.84
32 31.27
31 30.09
30
29 28.15
28
27
26
25
R0 R1 R2 R3 R4

Kadar Hematokrit (%)

Ilustrasi 1. Rataan Kadar Hematokrit Ayam Sentul Setiap Perlakuan Selama Penelitian

Berdasarkan hasil analisis statistik kelima ransum perlakuan, yaitu ransum tanpa penggunaan
Produk fermentasi limbah udang, ransum mengandung 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2,0%. Penggunaan feed
supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
kadar hematokrit ayam Sentul. Kitosan dan Se yang terkandung dalam feed supplement belum mampu
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hematokrit hingga pemberian 2,0% dalam ransum,
walaupun rataan kadar hematokritnya telah meningkat. Kitosan mampu meningkatkan pertumbuhan
vili usus halus ayam Sentul, seperti yang dikemukakan oleh Huang, dkk. (2005) bahwa pemberian
kitosan berdampak positif antara lain pertumbuhan vili usus menjadi lebih baik. Hal ini menyebabkan
absospsi asam amino lebih tinggi sehingga berdampak baik terhadap pembentukan sel-sel darah
merah, karena asam amino diperlukan sebagai salah satu prekursor pembentukannya. Prekursor yang
telah tercukupi akan memungkinkan terbentuknya sel-sel darah merah yang lebih banyak. Dampak
lain dilaporkan oleh Zhou, dkk. (2009) bahwa pemberian kitosan akan meningkatkan ukuran organ
pencernaan dan ukuran liver. Peningkatan ukuran liver sebagai dampak pemberian kitosan akan
meningkatkan sintesis hormon yang menstimulasi dan mengatur pembentukan sel-sel darah merah.
Jumlah sel darah yang meningkat akan meningkatkan nilai hematokrit.

151
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Se berperan sebagai antioksidan dan merupakan komponen penting dari enzim glutathione
peroksidase dalam tubuh ayam Sentul. Glutathione peroksidase adalah salah satu enzim antioksidan
yang mampu mengurangi pengaruh negatif dari radikal bebas di dalam sel-sel, sehingga dapat
menjaga kesehatan ayam Sentul. Williamson dan Payne (1993) mengemukakan bahwa fungsi utama
dari glutathione peroksidase yaitu mereduksi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air (H2O) dan
mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Kolesterol Darah

180
156.91
160
141.17
140 125.62
120 111.4
103.64
100
80
60
R0 R1 R2 R3 R4

Kadar Kolesterol Darah (mg/dL)

Ilustrasi 2. Rataan Kadar Kadar Kolesterol Darah Ayam Sentul Setiap Perlakuan Selama Penelitian

Berdasarkan hasil analisis statistik kelima ransum perlakuan, yaitu ransum tanpa penggunaan
Produk fermentasi limbah udang, ransum mengandung 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2,0%. Penggunaan feed
supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum berbeda nyata (P<0,05) terhadap kadar
kolesterol darah ayam Sentul, dan pada tingkat penggunaan 1,0% (R 2) memberikan hasil yang
optimal. Hal ini disebabkan adanya kitosan yang terkandung dalam feed supplement. Kitosan berasal
dari proses deasetilasi khitin limbah udang, yang pada penelitian ini diperoleh melalui proses
fermentasi menggunakan mikroorganisme Bacillus licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi
Saccharomyces cereviseae. Menurut Stephen (1995) dalam Abun, dkk. (2012) bahwa khitin dapat
terurai secara hayati (biodegradable).
Kitosan di dalam tubuh berperan sebagai agen antikolesterol melalui mekanisme pengikatan.
Liu, dkk. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bila kitosan dengan kolesterol akan terjadi
reaksi pengikatan antara keduanya. Barraza (2005) menambahkan, hal ini disebabkan oleh gugus
amino bermuatan positif yang dimiliki oleh kitosan dapat berkaitan dengan molekul kolesterol yang
memiliki muatan negatif yaitu hidroksil (OH). Kolesterol yang telah terikat akan menjadi massa yang

152
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

besar sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh dan akan dieskresi dalam bentuk feses sehingga dapat
mengurangi masuknya kolesterol berlebih ke dalam sirkulasi darah. Adanya Na-alginat yang
ditambahkan pada feed supplement juga berperan dalam menurunkan kolesterol darah ayam Sentul.
Arthur dan Ershoff (1961) dalam Kartika (2017) mengemukakan serat Na-alginat di dalam usus
mengikat asam lemak, garam empedu, dan kolesterol dari makanan sehingga menghambat penyerapan
zat tersebut dan membawanya keluar bersama feses. Berkurangnya absorbsi garam empedu dan
kolesterol ke hati ini akan meningkatkan pengambilan kolesterol dari darah yang akan dipakai untuk
sintesis asam empedu yang baru yang akan mengakibatkan menurunnya kadar kolesterol darah.
Kesimpulan
Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak
berpengaruh terhadap kadar hematokrit, namun berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah ayam
Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak
berpengaruh terhadap kadar hematokrit, namun berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah ayam
Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi pada tingkat 1,0% dalam
ransum menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah yang optimal pada ayam Sentul. Feed
supplement berbasis limbah udang fermentasi yang diperkaya dengan Se dan Na-alginat dapat
digunakan dengan pemberian antara 1,0-2,0% dalam ransum guna meningkatkan kadar hematokrit
dan menurunkan kadar kolesterol darah ayam Sentul betina fase developer umur 18 minggu.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abun, M.P. yang telah memberikan
kesempatan untuk turut serta dalam riset Insentif Sistem Inovasi Nasional (INSINAS) dan telah
memberikan fasilitas selama penelitian dilakukan.

Daftar Pustaka
Abun, A. Wicaksono, dan R. Wiradimadja. (2016). Pengaruh Penggunaan Limbah Udang Produk
Fermentasi dalam Ransum terhadap Konversi Protein Ransum dan Daging pada Ayam Lokal.
Sumedang: Unpad Press.
____, R. L. Balia, T. Aisjah, dan S. Darana. (2012). Bioproses Limbah Udang Windu (Penaeus
Monodon) Melalui Tahapan Deproteinasi dan Mineralisasi untuk Meningkatkan Kandungan
Gizi Pakan. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 14(1), 45-50.
Arthur, F. W. dan B. H. Ershoff. (1961). Beneficial Effects of Pectin in Prevention of
Hypercholesterol and Increase in Liver Cholesterol in Cholesterol-Fed Rats. Journal of
Nutrition, 74(1), 87-92.
Artiningsih, A., A. Noor, dan H. Natsir. (2003). Usaha Biokonversi Khitin Asal Kepiting Rajungan
Menjadi Khitosan. Marina Chimica Acta, 5(1), 10-13.
Barraza, H. P., M. G. Burboa, M. Sanchez-Vazquez, J. Juarez, F. M. Goycoolea, dan M. A. Valdez.
(2005). Chitosan-Cholesterol and Chitosan-Stearic Acid Interactions at the Air-Water
Interface. Biomacromolecules, 6, 2416-2426.
Hoffbrand A. V. dan J. E. Pettit. (1996). Kapita Selekta Hematologi. Cetakan Kedua. Penerjemah:
Iyan D. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

153
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Huang, R. L., Y. L. Yin, G. Y. Wu, T. J. Zhang, L. L. Li, M. X. Li, Z. R. Tang, J. Zhang, B. Wang, J.
H. He, dan X. Z. Nie. (2005). Effect of Dietary Oligochitosan Supplementation on Ileal
Nutrient Digestibility and Performance in Broilers. Poultry Science, 84, 1383-1388.
Kartika, Y. (2017). Efek Natrium Alginat terhadap Pencegahan dan Pengobatan Hiperkolesterolemia
dan Aterosklerosis pada Tikus. Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Produksi Perikanan Budidaya. Statistik dan Data
Portal.
Liu, Y. W. Li, X. Ling, X. Lai, Y. Li, Q. Zhang, dan Y. Zhao. (2008). Simultaneous Determination of
the Active Ingredients in Abelmonschus manihot (L.) Medicus by CZE. Chromatographia
2008.
Stephen, A. M. (1995). Food Polysacarides and Their Aplication. New York: Marcel Dekker Inc.
Widjastuti, T. 1996. Penetuan Efisiensi Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Energi untuk
Pertumbuhan dan Produksi Telur Ayam Sentul pada Kandang Sistem Cage dan Sistem Litter.
Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. (1993). Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wowor, A. R. T. I., B. Bagai, L. Untuk, dan H. Liwe. (2015). Kandungan Protein Kasar, Kalsium, dan
Fosfor Tepung Limbah Udang sebagai Pakan yang Diolah dengan Asam Asetat (CH 3COOH).
Jurnal Zootek, 35(1), 1-9.
Zainuddin, D. (2006). Teknik Penyusunan Ransum dan Kebutuhan Gizi Ayam Lokal. Materi Pelatihan
Teknologi Budidaya Ayam Lokal dan Itik. Kerjasama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Zhou, T. X., X. J. Chen, J. S. Yoo, Y. Huang, J. H. Lee, H. D. Jang, S. O. Shin, H. J. Kim, J. H. Cho,
dan I. H. Kim. (2009). Effect of Chitooligosaccharide Supplementation in Performance,
Blood Characteristic, Relative Organ Weight, and Meat Quality in Broiler Chickens. Poultry
Science, 88, 593-600.

154
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Identifikasi Keragaman dan Reproduksi Kambing

Identification of Diversity and Goat Reproduction

Umi Adiati dan S. Rusdiana


Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Po.Box. 221 Bogor
Email: umiadiati@yahoo.co.id

Abstrak
Kambing terdiri dari beberapa macam variasi fenotipik dan secara genetik mempunyai
kelebihan, baik dari segi bulu, bobot badan, warna bulu, telinga dan tanduk. Kambing mempunyai
potensi yang cukup baik, namun secara umum belum dapat dijadikan suatu rumpun fenotip yang
unggul. Tujuan tulisan ini adalah untuk mereview dan mengidentifikasi keragaman reproduksi
kambing. Kambing dapat diidentifikasi atau diklasifikasikan menurut jenis dan sifatnya, walaupun
demikian ada juga kambing persilangan, antara kambing impor dengan kambing asli. Panjang siklus
21 hari, lonjakan sekresi LH (LH surge) 3-6 jam setelah onset birahi, dan umur pubertas rata-rata
antara 6-9 bulan, baik jantan maupun betina. Waktu kawin kambing yang optimal antara 23-36 jam
setelah onset birahi dan lama bunting kambing 150 hari atau rata-rata sekitar 125-155 hari. Kambing
Peranakan Etawah (PE) ditetapkan sebagai galur ternak yang dapat dibedakan dengan sifat kualitatif
dan kuantitatif. Perbaikan mutu genetik kambing, perlu dilakukan, gunanya untuk meningkatkan
produktivitas dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing yang dihasilkan.
Semakin tinggi derajat kawin alam (inbreeding), maka produktivitas kambing akan semakin rendah
produktivitasnya. Untuk keragaman kambing secara genetik, perlu dilakukan, karena kambing banyak
kemiripan dan sifat yang dimilikinya.

kata kunci: identifikasi keragaman, kambing

ABSTRACT
There are several kinds of goats phenotypic variations, and genetically has advantages, as well as in
terms of fur, body weight color feathers, ears and horns. Goats have good potential, but in general it
can not be used as a superior phenotype. The purpose of this paper is to review and to identify the
diversity of goat reproduction. Goats can be identified or calcified according to their types, and their
characteristics, although there are also crossbreeds, between imported goats and native goats. The
cycle length is 21 days, the surge in LH secretion (LH surge) 3-6 hours after the onset of oestrus, and
the average puberty age is between 6-9 months, both male and female. The optimal mating time for
goats is between 23-36 hours after onset of oestrus and the length of pregnant goats is 150 days or an
average of 125-155 days. The Etawah Crossbreed Goat (PE) is designated as a livestock strain that
can be distinguished by qualitative and quantitative characteristics. Improvement of the genetic
quality of goats needs to be done, it is useful to increase productivity and improve the quality, and
composition of the production of goats produced. The higher the degree of natural mating
(inbreeding), the lower the productivity of goats. For the diversity of goats genetically, it needs to be
done, because many goats have similarities and properties.
Keywords: diversity identification, goat

Pendahuluan
Populasi kambing di Indonesia mencapai 17.862.203 ekor (Ditjennak, 2018), dan secara
umum kambing dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, sebagai penghasil daging dan penghasil
susu. Menurut tipenya rumpun kambing PE juga termasuk kambing dwiguna, dengan tingkat produksi
susu antara 0,45-2,1 l/hari/laktasi (Sutama et al. 1995). Kambing tersebar di beberapa daerah dan
mampu beradaptasi pada kondisi dan sumberdaya yang minim, dan penghasil fungsional sebagai

155
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kambing pedaging dan menghasil susu, (Kurniasih et al., 2013). Secara umum kambing yang
dipelihara peternak di wilayah Indonesia, pemeliharaannya hanya sebatas kemampuan peternak atau
sebagai pengisi waktu dan tabungan. Usaha kambing di peternak belum banyak mengarah pada usaha
komersial, yang artinya betul-betul usaha untuk menghasilkan pendapatan yang optimal. Namun
walaupun demikian, kambing masih tetap primadonanya di wilayah masing-masing. Pada masing-
masing wilayah dengan perbedaan frekwensi genotipe Etawah dan Kacang dikenal berbagai nama
diantaranya kambing Bligon atau Jawarandu (Yogyakarta dan Jawa Tengah), kambing Rambon
(Lampung), dan kambing Weter (Maluku).
Budiharsana et. al. (2011), menyatakan bahwa populasinya kambing tidak dibedakan antara
bangsa kambing yang ada di setiap daerah, namun telah diketahui bahwa kambing kacang merupakan
bangsa utama yang ada di Indonesia. Sedangkan untuk kambing PE sampai saat ini usaha
pemeliharaan lebih banyak untuk produksi anak/bibit/daging dan produksi susu. Kambing yang
dipelihara di peternak belum dilakukan sistem perkawinan yang terarah, sehingga produktivitas
kambing yang dihasilkan kurang baik. Secara kasat mata dapat diketahui adanya variasi yang begitu
besar pada tampilan fisik kambing. Untuk itu maka diperlukan suatu perbaikan produktivitas kambing
PE, sehingga pemurniannya akan lebih baik. Bila pemurnian kambing tidak terarah, akan terancam
kepunahannya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pola breeding yang dilakukan peternak, pada
umumnya perkawinan kambing masih seadanya, mengandalkan pejantan yang ada. Bila tanpa
memperhatikan kaedah-kaedah pemuliabiakan semakin terancam, pemurnian kambing-kambing yang
ada di Indonesia, (Adiati dan Priyanto 2011). Dengan demikian dalam waktu cepat akan terjadi
degradasi mutu genetik kambing lokal di Indonesia termasuk kambing PE. Untuk itu perlunya seleksi
bangsa kambing yang mempunyai produktivitas yang tinggi. Perbaikan genetik kambing
merupakan salah satu cara yang sangat baik, untuk mengurangi produktivitas kambing yang rendah
(Budiarsana et. al. 2011), Mathur (1991, dalam Setiadi et al. (2000) melaporkan bahwa, telah
melakukan pengamatan yang sama terhadap Kambing Kacang secara intensif terhadap
produktivitasnya dengan diikuti seleksi. Sutama (1999) dalam Budiarsana (2011) melaporkan bahwa
hal yang sama juga dilakukan pada kambing PE dalam perbaikan produksi susu, Setiadi (2001),
melaporkan perbaikan produktivitas yang lebih cepat melalui program perkawinan silang Kambing
Kacang dan kambing Boer yang merupakan kambing tipe pedaging, melalui persilangan, sehingga
terjadi peningkatan berat lahir anak sebesar 13% dan berat sapih sebesar 50-70%. Sedangkan rataan
bobot badan Boer jantan pada umur 6 bulan sebesar 18,7 kg setara dengan berat Kambing Kacang
umur satu tahun.
Hal yang sama juga terjadi pada persilangan antara Kambing PE dengan Kambing Boer dan
Kambing Boerka (Sutama et al. 2002). Faktor yang penting diperhatikan dalam pengembangan
kambing adalah ketersediaan sumber hijauan pakan yang dapat dikonsumsi (Syamsu, 2003) dan
(Syamsu et al 2007). Selain itu juga yang harus ditangani adalah pengendalian penyakit, pemilikan
lahan, keterampilan atau sumberdaya manusia itu sendiri yang dapat meningkatkan hasil yang

156
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

optimal. Kemauan peternak untuk usaha kambing, dukungan sarana, prasarana dan modal, maka
perkembangan kambing akan meningkat (Rusdiana et al., 2012). Pemeliharaan kambing dengan
manajemen yang lebih baik, maka produktivitas kambing yang dipelihara oleh setiap peternak,
produktivitasnya meningkat. Terdapat macam variasi fenotipik secara genetik, potensi kambing belum
dimanfaatkan secara optimal, sebagai bibit, anak dan daging, sehingga secara umum belum dapat
dijadikan suatu rumpun fenotip yang unggul. Tujuan tulisan ini adalah untuk mereview dan
mengidentifikasi keragaman dan reproduksi kambing yang ada di wilayah Indonesia.

Identifikasi Keragaman dan Sifat Kambing


Identifikasi kambing
Kambing dapat diidentifikasi atau diklasifikasikan menurut jenisnya, walaupun demikian ada
juga kambing persilangan antara kambing impor dengan kambing asli yang kemudian mampu
beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan setempat yang kurang baik. Disetiap wilayah ternak
kambing mempunyai nama dengan arti tersendiri. Menurut Thalib et al. (2011) bahwa, pada
umumnya kambing dipelihara oleh peternak kecil, karena kambing mempunyai beberapa keunggulan
antara lain: membutuhkan modal usaha relatif kecil, mudah cara memeliharanya, mudah cara
penjualannya. Sumber daya genetik kambing yang ada di Indonesia memiliki karakteristik secara fisik
maupun daya adaptasi pada kondisi ligkungan tropis (Muryanto dan Pramono, 2012). Kambing sangat
bervariasi, sesuai dengan tempat asal serta kawasan pengembangannya.
Kambing lokal ada dua macam yaitu kambing asal Indonesia dan kambing asal impor
persilangan. Kambing mampu beradaptasi dan berkembang biak, baik dalam bentuk darah murni
maupun kambing hasil persilangannya dengan kambing asli. Jenis-jenis kambing yang berada di
Indonesia adalah kambing Kacang, Bligon, Rambon, Marica Lakor atau Wetar, Kosta, Gembrong,
Muara, Sabura dan Samosir, kambing impor persilangan adalah: Kambing Benggala, PE, Kaligesing,
Boer, dan persilangannya (Boerka, Boerawa), Saanen dan persilangannya, Anglonubian dan jenis
kambing lainnya.

Sifat kualitatif dan kuantitatif ternak kambing


Ternak kambing Peranakan Etawah (PE) mempunyai kualitas yang khas dibandingkan
dengan kambing lainnya. Kambing PE disamping menghasilkan produksi susu, daging dan kulit,
kondisi tubuh kambing PE sangat tinggi dengan postur tubuh yang gemulai sehingga banyak peternak
di pedesaan yang memeliharannya. Menurut Suparman et al., (2016) bahwa, jenis kambing yang
cocok untuk dikembangkan di peternak adalah Kambimg Peranakan Etawah dan mempunyai nilai
ekonomi harian dari produksi susu. Hasil usaha pemeliharaan Kambing PE banyak yang dihasilkan,
selain susu, daging dan kulit. Kambing PE jantan mempunyai harga yang pantas di pasar
dibandingkan dengan harga kambing jenis lainnya, seperti Kambing Kacang dan Kambing Kosta
lebih murah, karena kambing tersebut postur tubuhnya kecil. Kambing Etawah profil mukanya

157
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

cembung dengan tanduk pejantan dan betina kecil yang melengkung kebelakang dengan ekor yang
pendek.
Sifat Kambing Peranakan Etawah (PE) yang ditetapkan sebagai galur ternak, dapat dilihat
dari sifat kualitatif pada Tabel 1. Berdasarkan standar nasional SNI No.7352:2008, sifat kualitatif
Kambing PE sesuai SNI adalah, warna bulu, berkombinasi warna putih dan hitam atau putih
kecoklatan. Persyaratan kuantitatif dan kualitatif pada kambing jantan PE dan betina PE terlihat pada
Tabel 2-3. Kambing PE terbagi menjadi 3 kelompok umur masing-masing: 0,5-1,0 tahun; >1,0-2,0
tahun dan diantara >2,0-4,0 tahun, ada perbedaan baik dari segi tanduk dan postur tubuh. Kambing
Peranakan Etawah (PE) pada kambing jantan dan betina secara kuantitatif yang diukur berdasarkan
bobot badan, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, panjang telinga, dan panjang bulu surai
(rewos/gambol).

Tabel 1. Sifat Kualitatif Kambing Etawah Kaligesing


Bagian tubuh Uraian
Postur tubuh Besar, tegap dan kokoh
Telinga Lebar, panjang, menggantung dan ujungnya melipat menghadap kedepan
Tipe produksi Dwiguna sebagai penghasil anak/daging dan susu
Kepala Tegak dengan profil garis yang melengkung
Tanduk Jantan dan betina bertanduk pada umumnya mengarah kebelakang
Ambing Berkembang dengan bentuk mempunyai botol puting susu cukup besar
Testis Berkembang melingkar
Bervariasi belang, putih dengan bercak hitam, merah coklat, atau kombinasi
Warna bulu
ketiganya
Kaki belakang Pada yang jantan maupun betina berbulu lebat dan pangan gumbal
Ekor Pendek, biasanya mengarah keatas / kebelakang
Sumber: Muryanto dan Pramono (2012)

Tabel 2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE jantan sesuai dengan SNI 2008


Umur ternak (tahun)
No Parameter yang diukur satuan
0,5-1,0 >1,0-2,0 >2,0-4,0
1 Bobot badan kg 29 + 5 40 + 9 54 + 11
2 Tinggi pundak cm 67 + 5 75 + 8 87 + 5
3 Panjang badan cm 53 + 8 61 + 7 63 + 5
4 Lingkar dada cm 71 + 8 80 + 8 89 + 8
5 Panjang telinga cm 32 + 6 26 + 4 30 + 4
6 Panjang bulu surai/rewos/gambol cm 11 + 4 14 + 5 23 + 5
Sumber: SNI 7325: 2008 dalam Muryanto dan Pramono (2012)

158
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 3. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE betina sesuai dengan SNI 2008


Umur ternak (tahun)
No Parameter yang diukur Satuan
0,5-1,0 >1,0-2,0 >2,0-4,0
1 Bobot badan kg 22 + 5 34 + 6 41 + 7
2 Tinggi pundak cm 60 + 5 71 + 5 74 + 5
3 Panjang badan cm 50 + 8 57 + 5 60 + 5
4 Lingkar dada cm 63 + 6 76 + 7 81 + 7
5 Panjang telinga cm 24 + 3 26 + 3 27 + 3
6 Panjang bulu surai/rewos/gembyeng cm 11 + 4 14 + 6 14 + 5
Sumber: SNI 7325: 2008 dalam Muryanto dan Pramono (2012)
Tabel 2-3, menunjukkan bahwa, persyaratan kambing jantan dan betina PE, harus mempunyai
standar yang telah dipersyaratkan SNN 2008. Tujannya adalah agar kambing yang dipelihara oleh
setiap peternak di pedesaan dapat menghasilkan produksi kambing yang cukup tinggi, sehingga
mendapat nilai jual yang cukup tinggi.

Beberapa sifat morfologi kambing PE


Hasil penelitian Adiati dan Priyanto (2011) bahwa pengukuran tubuh kambing sebanyak 25
ekor jantan prasapih dan sebanyak 17 ekor betina prasapih dari beberapa sifat kuantitatif morpologi
kambing PE yang diukur adalah, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, lingkar dada, tinggi
pinggul, dalam pinggul, lingkar pinggul, panjang ekor, panjang tanduk dan panjang telinga dalam
status fisiologinya terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengukuran Morfologi Kambing PE Jantan dan Betina Prasapih di Lokasi Lumajang
Bagian tubuh Jantan 2 ekor prasapih Betina 17 ekor prasapih
Panjang badan 4272 + 13,17a 36,61 + 5,93a
Tinggi pundak 44,98 +8,43a 40,50 + 6,46a
Tinggi pinggul 47,16 +8,18a 43,53 + 7,05a
Dalam dada 15,88 +2,84a 15,41 + 8,16a
Dalam pinggul 15,10 + 3,70a 12,88 + 2,61a
Panjang telinga 22,44 + 3,96a 21,85 + 3,97a
Panjang tanduk 1.75 + 1,19a 1,50 + 1,35a
Garis punggung 1,60 + 0,50a 1,65 + 0,49a
Lingkar dada 47,26 + 8,87a 41,94 + 10,18a
Lingkar pinggul 45,90 + 11,61a 44,06 + 9,38a
Panjang ekor 11,96 + 2,22a 11,47 + 1,95a
Sumber: Adiati.dan Priyanto., (2011)

Produksi Kambing dan Pertumbuhannya


Produksi Kambing Boer dan Kacang
Usaha peternakan kambing agar menghasilkan produksi yang tinggi, maka cara usahanya
harus dengan baik, diantaranya penyediaan pakan hijauan yang berkualitas, kandang dan perkawinan
tidak inbreeding, bibit kambing yang produktif. Hasil produksi kambing yang menggunakan bibit
yang baik serta perkawinan kambing juga terarah (tidak inbreeding), akan menghasilkan produksi

159
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kambing cukup tinggi. Jenis-jenis kambing yang banyak diusahakan oleh peternak di setiap wilayah
pedesaan akan berbeda, diantaranya adalah kambing Etawah, kambing Kosta, dan kambing Saanen,
tujuannya untuk menghasilkan nilai ekonomi. Kebanyakan keberadaan kambing yang dipelihara oleh
setiap peternak tidak dilihat dari jenis dan keturunannya. Peternak hanya sebatas kemampuan
memelihara, dengan tujuan dapat menghasilkan anak serta dapat dijual lebih cepat dalam keadaan
keperluan mendesak. Selama ini daging kambing pada umumnya dikonsumsi oleh golongan
masyarakat berpenghasilan tinggi.
Perbaikan mutu genetik kambing sangat perlu dilakukan, untuk meningkatkan produktivitas
atau meningkatkan kualitas dan komposisi produk yang dihasilkan. Produktivitas pada kambing
adalah berupa daging, kriteria tersebut merupakan hal yang terpenting tanpa mengabaikan sifat-sifat
lainnya seperti karkas(Subandriyo, 2004). Sedangkan hasil penelitian Ramjali dan Setiadi (2001)
dalam Sutama (2004) mengemukakan bahwa, mengenai pertumbuhan anak kambing, kacang, PE dan
Boer serta persilangannya terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pertumbuhan Anak Kambing Kacang dan PE, Boer dan Persilangannya.
Keterangan (Ramjali 2001) Keterangan (Setiadi 2001)
Parameter
Boer Boer x Kc PE x Kc Boer x Kc Kc x Kc
Berat lahir 2.62 2.22 2.04 2.42 2.14
Berat sapih 10.50 7.69 5.20 13.02 7.67
PBBH pra sapih 87.60 60.10 35.20 117-21.4 73.3
Berat umur 6-8 bl (kg) - -
Berat umur 12 bl (kg) - -
Sumber: Ramjali dan Setiadi. 2001 dalam Sutama. 2004

Tabel5, menunjukkan bahwa dari kedua hasil penelitian parameter yang diukur adalah berat
lahir Boer dan Kacang 2,22 kg (Ramjali, 2001 dalam Sutama, 2004) dan berat sapih Boer dan kacang
7,69 kg sedangkan hasil penelitian Setiadi, (2001) dalam Sutama (2004) 2,42 kg dan Boer dan kacang
sebanyak 13,02 kg lebih tinggi. Dengan semakin tingginya (kuantitas) dan semakin mampunya
(kualitas) peternak melakukan penyilangan sendiri, maka sebenarnya akan semakin sulit menentukan
jenis kambing. Kambing kacang jantan dan betina keduanya merupakan tipe kambing pedaging.

Beberapa parameter reproduksi ternak kambing


Pemeliharaan kambing tingkat penerimaan dari usaha ternaknya akan sangat dipengaruhi oleh
produktivitas ternak, pada dasarnya produktivitas seekor ternak menyangkut kinerja produksi dan
reproduksi. Keberhasilan ternak melakukan aktivitas reproduksinya dikendalikan oleh mekanisme
hormonal dan hormon seperti estrogen, progesteron. FSH, LH dan testosteron yang merupakan
hormon reproduksi terpenting yang terlibat dalam proses perkawinan, ovulasi pembuahan dan
kebuntingan (Sutama 2004). Dari segi ilmu peternakan sangat penting dan segera diintroduksikan ke
petani-petani kecil di pedesaan, selama ini petani ternak masih banyak pemeliharaannya bersifat

160
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

tradisional, yang tidak memperhatikan perkawinan, keturunan dan jenis ternak yang dipelihara, petani
hanya mengetahui bahwa ternaknya dapat beranak dan dapat menyumbangkan hasil pendapatan pada
saat dibutuhkan. Parameter reproduksi kambing terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Beberapa Parameter Reproduksi Ternak Kambing


Parameter reproduksi Rataan (kisaran)
Tipe siklus birahi Polyestrus dan tidak terpengaruh musim
Panjang siklus birahi 21 hari
Lama birahi 36 jam
Lonjakan sekresi LH (LH surge) 3-6 jam setelah onset birahi
12-24 jam setelah lonjakan LH atau 30-36 jam setelah
Ovulasi
onset birahi
Waktu kawin yang optimal 24-36 jam setelah onset birahi
Lama bunting 150 hari (147-155 hari)
Sumber hormone progesterone selama
Corpus luteum
kebuntingan
Tipe plasenta Katiledon
Umur puberitas 6-8 buah
Sumber: Sutama 2004

Tabel 6. Menunjukkan bahwa, rata-rata lama ternak kambing bunting sekitar 150 hari atau
rata-rata sekitar 147-155 hari dan umur pubertas rata-rata sekitar 6-9 bulan, baik untuk jantan maupun
untuk betina. S/C (Service per conception) adalah jumlah perkawinan yang diperlukan sampai
terjadinya kebuntingan. Pada nilai angka perkawinan per kebuntingan S/C dapat dicapai dengan
mengatur waktu manajemen perkawinan yang tepat (Sulaksono et al., 2010). Menurut Wasiati dan Edi
(2018), untuk meningkatkan produktivitas pada kambing perlu penyediaan pakan yang berkualitas dan
manajemen pemeliharaan yang baik. Perbaikan mutu genetik kambing perlu dilakukan, gunanya
untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing
yang dihasilkan. Untuk keragaman kambing secara genetik perlu dilakukan, karena kambing banyak
kemiripan dan sifat yang dimilikinya.

Kesimpulan
Jenis-jenis kambing yang tersebar di setiap wilayah pedesaan, banyak dipelihara oleh
peternak kecil. Kambing terdapat macam variasi fenotip, secara genetik serta potensi kambing belum
dimanfaatkan secara optimal, sebagai bibit, anak, daging dan secara umum belum dapat dijadikan
suatu rumpun fenotipe yang unggul. Masalah yang lainnya adalah manajemen pakan dan perkawinan
kambing sangat jarang diperhatikan oleh peternak. Reproduksi kambing tergantung dari hasil kawin
alam, semakin tinggi derajat kawin alam (inbreeding), maka produktivitas kambing akan semakin
rendah. Perbaikan mutu genetik kambing perlu dilakukan, gunanya untuk meningkatkan produktivitas
dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing yang dihasilkan. Untuk keragaman

161
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

kambing secara genetik perlu dilakukan, karena kambing banyak kemiripan dan sifat yang
dimilikinya.

Daftar Pustaka
Adiati.U., dan . Priyanto, D. 2011. Karakteristik morfologi kambing pe di dua lokasi sumber bibit.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak,
Badanlitbang Pertanian, Kementrian Pertanian, Bogor, Jnauari 2011, Hal.472-478
Adiati.U. Hastono, I.K.Sutama, D.Yulistiani dan I.G,m. Budiarsana. 2001. Pemberian konsentrat
dengan level protein yang berbeda pada induk kambing pe selama bunting tua dan laktasi.
Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Puslitbangnak, Bogor 17-18 September
2001, hal.,247-255
Budiarsana.I.G.M, 2011.Produktivitas dan nilai ekonomi ternak kambing perah pada skala
kecil.Prosiding Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia
Kecil.Puslitangnak, bekerjasama dengan Puslitbangbun, Jakarta 15 Oktober 2012.Hal. 119-
126
Chalib.T., R.H. Matondang dan T. Herawati. 2011. Model Pembibitan kambing dan domba di
indonesia. prosiding workshop nasional diversifikasi pangan daging ruminansia kecil.
Puslitangnak, bekerjasama dengan Puslitbangbun, Jakarta 15 Oktober 2012Hal, 55-63.
Direktor Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementrian Pertanian.2012. Stataistik
Peternakan 2013 Jakarta
Disnak Propinsi Jawa Tengah. 2010. Proposal Penetapan Rumpun Ternak Kambing Kaligesing
Semarang. 2010.
Kurniasih.N.N., A.M. Fuah1 dan R.Priyanto. 2013. Karakteristik reproduksi dan
perkembangapopulasi kambing peranakan Etawah di lahan pasca galian pasir.Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan1(3):132-137
Muryanto dan Djoko Pramono. 2012. Potensi sumberdaya genetik kambing kaligersing sebagai galur
ternak lokal, Prosiding Seminar Nasional Kemadirian Pangan. Universitas Padjadjaran
Bandung bekerjsama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Bandung Juli
201. Hal. 99-113
Ruasdiana, S., U. Adiati dan L. Praharani. 2012. Peningkatan produktivitas pemeliharaan ternak
kambing lokal di perdesaan. seminar nasional peternakan dan kebelajutan III Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran Bandug (Unpad). September 2011, hal, 145-152
Syamsu.J.A. 2007. Karakteristik pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia pada peternakan rakyat Di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan dalam seminar
Nasional Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) VI.Kerjasama Bagian Nutrisi dan
Makanan TernakFakultas Peternakan UGM Yogyakartadan AINI.Yogyakarta 26-27 Juli
2007.
Syamsu.J.A., Lily.A., Sofyan, K. Mudikdjo dan E. Gumbira.S. 2003. Daya Dukung Limbah Pertanian
Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia. Jurnal Wartazoa 13: 32-37.
Subadnriyo.2004. Femanfaatn Plasma Nutfah Kambing Lokal dan Peningkatan Mutu Genetik
Kambing di indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Bogor, 6 Agustus 2004, hal. 39-50
Subandriyo, B.Setidi, D.Priyanto., M.Rangkuti., W.K. Sejati dan Hastono. 1995. Analisis Potensi
Kambing Peranakan Etawah dan Sumberdaya dan Daerah Sumber Bibit Pedesaan. Laporan
Hasil Penelitiandi kabupaten Kulon Progodan Kabupaten Purwerejo, Puslitbangnak Bogor.
Setiadi,B.I.Inounu, Subandriyo, K.Dwiyanto. I.K. Sutama M.Martawidjaya.A. Anggraeni.A.Wilson
dan Nugroho.2000. Peningkatan Produktivitas kambing melalui metode persolangan. Edisi
Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor, hal.
147-165.
Setiadi.B., Subandriyo,.M.Martawidjaya. D.Priyanto, D.Yulistiani, T.Sartika, B. Tiesnamurti, K.
Dwiyanto dan L. Praharani. 2001. Evaluasi peningkatan Prodyktivitas kambing persilangan.
Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor,
hal. 157-178.

162
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Setiadi.B., B. Tiesnamurti , Subandryo, T. Srtika, U. Adiati., D. Yulistiani dan I.Sendow. 2002.


Koleksi dan Evaluasi Karakteristik Kambing Kosta dan Gembrong Secara Ex-situ. Laporan
Hasil Penelitian APBN 2001. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. hal. 59-73
Sutama,I.K. I.G.M.Budiarsana, H.Setianto and A.Priyanti. 1995. Productiv and reproductive,
performance of young Peranakan Etawah does JITV 1 (2): 81-85
Sutama.I.K. 1999. Peningkatan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah sebagai Penghasil daging
dan susu melalui teknologi pemuliaan. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian
Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor, hal. 197-203.
Sutama.I.K., B. Setiadi., I.G.M.Budiarsana, T. Kostaman, A.Wahyuarman,M.S. Hidayat, Mulyawan,
R.Sukmana dan Bachtiar. 2002. Pembentukan Kambing Persilangan Boerka untuk
Meningkatkan Produksi Daging.Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak
Ciawi-Bogor, hal.89-93.
Sutama.I.K. 2004. Tantangandan Peluang Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Inovasi
Teknologi Reproduksi. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Bogor, 6 Agustus 2004, hal. 51-60
Sulaksono Adi, Sri Suharyati dan Purnama Edy Santosa.2010.Penampilan Reproduksi (Service Per
Conception, Lama Kebuntingan Dan Selang Beranak) Kambing Boerawa Di Kecamatan
Gedong Tataan Dan Kecamatan Gisting, [Internet] [Didonlot tgl, 22 September 2019] .
tersedia dari. https://media.neliti.com/media/publications/233362-penampilan-reproduksi-
service-per-concep-57383ad5.pdf
Suparman1, Harapin Hafid2, dan La Ode Baa2. 2016. Kajian pertumbuhan dan produksi kambing
peranakanettawa jantan yang diberi pakan berbeda, Jurnal JITRO 3(3):1-9
Wasiati Hera dan Edi Faizal. 2018. Peternakan kambing Peranakan Etawah (PE) di Kabupaten Bantul.
Jurnal ANDIMAS Unmer Malang 3(1):8-14.

163
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah Untuk Pakan Ternak dengan
Menggunakan Pisau Tipe Reel

Performance Chopper Machines Elephant Grass with Cutter Reel Type

Wahyu K Sugandi1, Asep Yusuf1, Muhammad Saukat1


1
Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjajaran
*Korspondensi: sugandiwahyu@gmail.com

Abstrak
Kebutuhan akan rumput gajah untuk pakan ternak di daerah Lembang kuantitas terus
meningkat akan tetapi kualitas pemotongan belum sesuai dengan kebutuhan pakan ternak dimana
panjang potongan hasil cacahan masih ada yang diatas 5 cm. Oleh sebab itu perlu adanya suatu
penelitian tentang teknologi pencacahan rumput gajah yang sesuai dengan standar pembuatan silase
(pakan ternak) dengan ukuran potongan rumput 1-5 cm. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengembangkan mesin yang mampu mencacah rumput gajah dengan mekanisme pemotongan yang
presisi pada tingkat ukuran yang diperlukan (1-5 cm). Metode yang digunakan pada penelitian ini
yaitu metode rekayasa dengan tahapan penelitian sebagai berikut: (1) Pengukuran karakteristik
rumput gajah, (2) Analisis desain mesin pencacah rumput gajah yang meliputi desain silinder pisau
pencacah, desain hoper, rangka dan sistem transmisi (3) Pembuatan prototipe mesin pencacah rumput
gajah, (4) Uji fungsional mesin pencacah rumput gajah (5) Uji kinerja mesin pencacah rumput dan (6)
Pengukuran panjang potongan rumput.Pengujian terhadap mesin hasil rancang bangun menunjukkan
bahwa karakteristik fisik dari rumput gajah hasil pengukuran diperoleh data sebagai berikut: rata –
rata panjang daun 99,4 cm, lebar daun 2,65 cm, tebal daun 0,23 cm, berat daun 7,8 gram. Dimensi
mesin adalah panjang 800 mm, lebar 750 mm dan tinggi 104 mm. Daya yang dibutuhkan untuk
mencacah rumput gajah adalah 1,6 KW dan kapasitas mesin adalah 1988 kg/jam. Panjang hasil
pemotongan terhadap rumput gajah adalah 1 – 3 cm

Kata Kunci: Rumput Gajah, Uji Kinerja Mesin, Daya Pemotongan

Abstract
The need grass for fodder in the region Lembang has been increasing. But the quality did not yet to
needs of cutting fodder where long pieces of shredded result there are more than 5 cm. Therefore
there was needs to be a studied of technology cutting of elephant grass in accordance with the
standart SNI. The purpose of this research was developed a machine capable of chopping grass with
a precision cutting mechanism at the level of the required size (1-5 cm). The method used in this
research was the method of engineering with research stages as follows: (1) Measurement
characteristics of elephant grass, (2) design analysis elephant grass covering chopper blade cylinder
design include design hoper, chassis and transmission systems (3) The built machine chopper (4)
functional test machine (5) test performance machine and (6) length measurement Tests on engine
design results showed that the physical characteristics of grass measurement results obtained the
following data: average - the average length of 99.4 cm leaf, leaf width 2.65 cm, 0.23 cm thick leaves,
leaf weight 7.8 grams . The dimensions of the machine were the length of 800 mm, width 750 mm and
height of 104. Power needed for chopped cane was 1.6 KW and machine capacity ware 1988 kg / hr.
The length of the grass cutting results was 1-3 cm

Keyword: Elephant Grass, Test Performance Machine, Cutting Power

164
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pendahuluan
Hijauan Makanan Ternak (Forages) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi
kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan terutama untuk
ternak ruminansia termasuk didalamnya sapi perah, sapi potong (pedaging). Untuk meningkatkan
produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan
hijauan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup agar pemenuhan kebutuhan zat-zat
makanan ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak (kebutuhan
hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat berkesinambungan. Hal ini
dimungkinkan bila kita mampu mengelola strategi penyediaan pakan hijauan baik rumput maupun
legum.
Di Indonesia dengan kondisi iklim dan tanah yang subur membuat peternak tidak pernah
memikirkan dan merencanakan penyediaan pakan hijauan yang cukup baik kualitas maupun
kuantitasnya. Sebagian besar peternak umumnya belum memiliki lahan yang cukup untuk budidaya
hijauan, bahkan ada yang tidak memiliki lahan kebun rumput. Keterbatasan lahan untuk penanaman
hijauan merupakan kendala bagi peternak. Disamping itu para peternak belum mengupayakan lahan
kebun rumputnya dikelola secara baik dan efektif sehingga produktivitasnya belum optimal.
Produksi rumput dari kebun rumput bila dipelihara secara optimum pada bulan basah akan
menghasilkan hijauan yang maksimum, tetapi hal ini perlu dilakukan penanganan secara baik dan
benar untuk dijadikan cadangan pada musim kemarau, sehingga memenuhi kebutuhan hijauan untuk
ternaknya baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat dilakukan jika sistem pengelolaan
penyediaan hijauan dari pemotongan kemudian pencacahan dan diberikan langsung kepada ternak
atau disimpan terlebih dahulu di gudang hijauan baru diberikan kepada ternak. Perubahan ini tidak
mudah tetapi jika dicoba akan memberikan hasil yang efisien dan efektif dengan memfungsikan
gudang pakan sebagai sentral manajemen pakan. Pada lingkup gudang pakan inilah perencanaan
pakan peternak bermula, dari mulai panen hijauan hingga prosesing hijauan untuk persediaan
dimusim sulit pakan. Salah satu sistem pengelolaan penyediaan hijauan adalah cara silase. Silase
adalah pakan yang telah diawetkan yang diproduksi atau dibuat dari tanaman yang dicacah, pakan
hijauan, limbah dari industri pertanian dan lain-lain dengan kandungan air pada tingkat tertentu yang
diisikan dalam sebuah silo. Salah satu syarat dalam pembuatan silase adalah hijauan dalam hal ini
adalah rumput gajah telah tercacah dengan baik dengan ukuran 1 – 5 cm setelah itu lalu dimasukkan
kedalam silo yang dicampurkan dengan dedak dalam kondisi anaerob selama 21 hari untuk proses
fermentasi.
Data yang diperoleh dari Perum Perhutani KPH Bandung Utara pada bulan Desember 2011
kebutuhan hijauan makanan ternak mencapai 600 ton/hari. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan para
peternak sapi yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Mengingat
besarnya kuantitas rumput yang akan dicacah, kegiatan pencacahan hanya mungkin dilakukan dengan
mekanisasi. Spesifikasi mesin pencacah juga harus memenuhi kebutuhan dan kondisi peternak sapi

165
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

yang ada di Indonesia. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan pencacahan seperti Mekanisme
Pemotong Rumput Tipe Rotary (Suharyatun, 2002), Rancang Bangun Perajang Tembakau (Supriyadi,
2011), Alat Pencacah Kompos (Sudrajat,2006), Analisis Mekanisme Pemotongan Pelepah dan Tandan
Sawit (Yazzid,2003) telah dilakukan tetapi penelitian yang khusus mengenai pencacah rumput gajah
dengan menggunakan pisau tipe reel belum ada. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
teknologi pencacahan rumput gajah.

Tujuan Dan Kegunaan


Penelitian ini bertujuan untuk menkaji kinerja mesin pencacah yang meliputi kapasitas
mesin, daya pemotongan, kecepatan putar (rpm) dan panjang hasil pemotongan. Sedangkan
kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat mambantu para peternak terutama kualitas cacahan
rumput gajah yang dibutuhkan oleh ternak.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rekayasa (engineering) yaitu
melakukan suatu kegiatan perancangan (design) yang tidak rutin, sehingga didalamnya terdapat suatu
kontribusi baru baik dalam proses maupun produk.

Bahan dan Peralatan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah, benda kerja berupa besi
siku, poros, plat, dan besi behel. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mesin dan
peralatan kerja bengkel, Timbangan digital, Timbangan gantung, Stopwatch, Tachometer, Soundlevel
Meter, Vibration Meter, Clamp meter, Sabuk dan Puli, Bearing, Oven, Motor listrik.

166
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tahapan Penelitian
Adapun Tahapan penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Mulai

Identifikasi Masalah

Perumusan desain

Pembuatan Prototipe Modifikasi

Pengujian fungsional Tidak

Ya

Pengujian Kinerja Di
Laboratorium

Pengolahan Data Penulisan Laporan Akhir


Artikel, Buku Ajar

Selesai

Gambar 1. Tahapan Penelitian

a. Identifikasi masalah. Permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi di daerah Lembang
adalah masalah kualitas rumput gajah untuk pakan ternak. Hal ini dikarenakan panjang
potongan rumput gajah yang belum memenuhi standar SNI yaitu sekitar 1 – 5 cm.
b. Perumusan disain. Berdasarkan masalah yang ada kemudian dirumuskan kriteria mesin
pencacah yang sesuai dengan kebutuhan. Setelah kriteria perancangan ditetapkan kemudian
proses perancangan yang dimulai dengan perancangan fungsional, bentuk dasar mesin dan
melakukan analisa teknik untuk menentukan komponen – komponen mesin.
c. Pembuatan mesin. Mesin dibuat di Bengkel Bahagia Jaya dan Uji Kinerja dilakukan di
bengkel Alat dan Mesin Pertanian, FTIP, UNPAD.
d. Pengujian fungsional. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah mesin dapat berfungsi
atau melakukan tugas yang diinginkan atau tidak. Bila ya maka dilanjutkan pada uji kinerja
mesin, bila tidak maka dilakukan modifikasi mesin.

167
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

e. Modifikasi. Hal ini dilakukan bila terdapat ketidaksesuaian antara rancangan funsional
dengan operasional mesin pada saat dijalankan.
f. Uji Kinerja Mesin. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui spesifikasi dari mesin itu
sendiri. Seperti kapasitas, tingkat getaran mesin, tingkat kebisingan, daya pemotongan dan
lain – lain.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Fisik Rumput Gajah
Pengukuran karakteristik rumput gajah telah dilakukan di laboratorium Alat dan Mesin
Pertanian, FTIP Unpad seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengukuran Karakteristik Fisik Rumput Gajah

Dari hasil pengukuran terhadap rumput gajah (Lampiran 4) diperoleh data – data seperti pada
Tabel 1

Tabel 1. Pengukuran Karakteristik Fisik Rumput Gajah


Karakteristik Rata – rata Kisaran
Panjang daun 99,4 cm 63 – 139,8 cm
Lebar Daun 2,65 cm 1,4 - 4,8 cm
Tebal daun 0,23 cm 0,23 cm
Berat daun 7,8 gram 4,2 – 11,4 gram

Dari data tersebut diperoleh rata – rata panjang daun adalah 99, 4 cm, lebar daun adalah 2,65
cm, tebal daun adalah 0,23 cm dan berat daun adalah 7,8 gram. Data – data tersebut sangat diperlukan
khususnya dalam mendesain mesin pencacah rumput gajah. Tebal daun adalah 0.23 cm (2.3 mm)
maka jarak antara pisau pemotong rumput gajah tidak boleh lebih dari 2.3 mm.

Bulk Density Rumput Gajah


Pengukuran kerapatan isi (bulk density) rumput gajah dilakukan Laboratorium Alat dan
Mesin Pertanian dengan bantuan bak kayu sebagai volume seperti yang disajikan pada Gambar 3.

168
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Gambar 3. Pengukuran Bulk Density

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Lampiran 5 kerapatan isi rata-rata 157
3
kg/m . kerapatan isi akan sangat mempengaruhi mekanisme, pengaliran rumput gajah menuju bagian
pencacah. Data tersebut juga bermanfaat untuk menentukan bentuk dan ukuran unit hoper dan unit
pencacah serasah tebu.

Kadar Air Rumput Gajah


Hasil pengukuran (Gambar 4) dan perhitungan mengenai kadar air serasah tebu pada basis
kering menunjukan bahwa rata – rata kadar rumput gajah adalah 81.1%, dengan penagturan suhu
1100C , selama 2 x 24 jam.

Gambar 4. Pengukuran Kadar Air

Pembuatan Mesin Pencacah Rumput Gajah


Secara keseluruhan proses pembuatan prototipe mesin pencacah serasah tebu didasarkan pada
gambar kerja hasil rancangan. Adapun proses pembuatan dimulai dari pembuatan hoper, pembuatan
rangka, silinder pencacah, sistim transmisi, dan lubang pengeluaran. Dengan mengikuti kaidah –
kaidah dalam mendisain suatu mesin, khususnya mesin – mesin pertanian pada akhirnya desain mesin
pencacah rumput gajah dapat di pabrikasi. Secara struktural mesin pencacah rumput gajah tebu dapat
dilihat pada Gambar 5.

169
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Gambar 5. Prototipe Mesin Pencacah Rumput Gajah Dengan Menggunakan Pisau Tipe Reel

Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah


Uji kinerja secara stasioner (off farm) terhadap mesin pencacah rumput gajah telah dilakukan
dengan bahan umpan adalah rumput gajah. Tujuan utama dalam uji kinerja ini adalah untuk
mengetahui kemampuan mengalirkan bahan uji dalam hal ini adalah rumput gajah sekaligus
mencacahnya menjadi potongan – potongan kecil. (Gambar 6) Selain itu juga untuk mengetahui
kapasitas aktual pada mesin tersebut dan hasil cacahannya.

Gambar 6. Proses Pengujian Mesin Pencacah Rumput Gajah

170
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Berdasarkan hasil pengukuran kapasitas aktual mesin rumput gajah adalah 1988 kg/jam.
Waktu yang diukur pada saat pengujian dimulai dari rumput masuk hoper kemudian diteruskan pada
bagian pencacah dan akhirnya keluar pada bagian pengeluaran. Tetapi panjang potongan dari rumput
gajah masih jauh dari harapan lebih dari 4 cm dan hasil potongannya tidak seragam. Hal ini
dikarenakan sudut pemotongan dari pisau pemotong tidak seragam, jarak antara pisau yang bergerak
dengan pisau diam kurang rapat sekitar 1 – 2 mm. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan telah
dilakukan perbaikan khususnya pada sudut pemotongan yang telah diseragamkan sebesar 3 o, lalu
memperbaiki kerapatan antara pisau bergerak dengan pisau diam dengan jarak 0.5 mm. Adapun
untuk pengukuran daya pencacahan, kecepatan putar tingkat kebisingan dan tingkat getaran seperti
yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Pengujian Mesin Pencacah Rumput Gajah


Item Pengujian Beban Kosong Beban
Kapasitas Mesin - 1988 Kg/jam
Daya Mesin Pencacah 0,2 KW 1,6 KW
Kecepatan Putar 1003 RPM 942 RPM
Tingkat Getaran 3,35 mm/s 18,23 mm/s
Tingkat Kebisingan 78,11 dB 78,91 dB

Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa Daya untuk mencacah rumput gajah adalah 1,4
KW. Kecepatan putar menurun sekitar 61 rpm karena ada beban. Tingkat kebisingan dan tingkat
getaran menaik ketika rumput gajah dimasukkan kedalam mesin pencacah rumput tetapi nilai tersebut
masih dibawah ambang batas yang disarankan oleh KEPMENAKER yaitu 80 dB.

Hasil Pemotongan Rumput Gajah


Jika dilihat secara keseluruhan terhadap hasil pemotongan rumput gajah. Maka terlihat bahwa
pemotongan terhadap rumput gajah dengan menggunakan mesin pencacah rumput gajah tipe reel
mendapatkan hasil potongan yang cukup rapih dan seragam. Adapun beberapa daun yang tidak
tercacah dikarenakan daun tersebut berbentuk pipih dan biasanya melilit pada silinder pencacah. Hasil
cacahan rumput gajah pada mesin pencacah dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Hasil Pemotongan Rumput Gajah

171
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Adapun hasil pemotongan serasah setelah posisi pisau diperbaiki yaitu berkisar antara 1 - 3
cm mendekati perhitungan secara teoritis seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Panjang Potongan Rumput Gajah

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
1. Karakteristik fisik dari rumput gajah hasil pengukuran diperoleh data sebagai berikut: rata –
rata panjang daun 99,4 cm, lebar daun 2,65 cm, tebal daun 0,23 cm, berat daun 7,8 gram .
2. Kerapatan isi (bulk density) serasah tebu adalah 157 kg/m3 dengan kadar air bahan 81,1%.
3. Dimensi mesin adalah panjang 800 mm, lebar 750 mm dan tinggi 1042. Jumlah pisau
sebanyak 8 buah. Sistem transmisi menggunakan belt dan puli dengan ratio reduksi 1: 1,4 dari
motor penggerak ke unit pencacah.
4. Kapasitas Mesin adalah 1988 Kg/jam.
5. Daya yang dibutuhkan untuk mencacah serasah tebu adalah 1,6 KW
6. Tingkat getaran mesin 3,35 mm/s.
7. Tingkat kebisingan mesin 78,11 dB
8. Panjang rata - rata pemotongan yang dihasilkan antara 1 – 3. cm.

Saran
Untuk mendapatkan hasil potongan yang optimal disarankan untuk menggunakan pisau tipe
helix. Perlu adanya tingkat clearance yang bisa diatur antara pisau diam (bed knife) dengan pisau
bergerak .

Daftar Pustaka
Abbas.1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius. Yogyakarta
Anonimous. 2001. Pengawetan Hijauan Pakan Ternak (Silase). Proyek Peningkatan Sapi Perah Dirjen
Peternakan – JICA Japan. Dinas Peternakan Jawa Barat
Beard JB. 1982. Turf Management for Golf Course: A Publication of The United State Golf
Association. Minnesota. Burgers Publishing Company.
Hunt, D. 1983. Farm Power and Machinery Managemet 8 th Ed. Iowa State University Press Ames,
Iowa.

172
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kim, K.H., 1989. Food Processing Equipment in Asia And The Pasific. Nordica International
Limited. Hongkong
Khurmi, R.S. 2002. Strength of Materials. S Chand & Company Ltd. Ram Nagar, New Delhi.
Mardison. 2000. Rancang bangun pisau pemotong rumput tipe reel dengan menggunkan paket
program CAD (Skripsi). Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor
Persson, Sverker. 1987. Mechanics of Cutting Plant Material. An ASAE Monograph Number 7 in a
series published by American Society of Agricultural Engineers. Michigan
Robert Worsing. 1995 Rural Rescue and Emergency Care. American Academy of orthopaedic
Surgeons.
Suharyatun. 2002. Mekanisme Pemotong Rumput Tipe Rotary. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Bogor
Supriyadi. 2011. Rancang Bangun Perajang Tembakau (Skripsi). Institut Teknologi Surabaya
Srivastava.1993 Engineering Prinsiple of Agricultural Machine.ASAE Textbook Number 6 Published
by American Society of Agricultural Engineers.
Sitkey, G. 1986. Mechanics Of Agricultural Matrial. ELSEVIER, Amsterdam.
Sudrajat. 2006. Mengelola Sampah Perkotaan. Penebar Swadaya. Jakarta
Sakai, RG Sitompul, E.Namaken, Radite PAS, N Suastawa. 1998. Traktor 2 – Roda. Laboratorium
Alat dan Mesin Budidaya Pertanian. Jurusan Teknik Pertanian Fateta IPB Bogor.

173
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Inovasi Strategi Screening Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) yang Diisolasi dari Daging
dan Susu Sebagai Penghasil Milk Clooting Enzyme (MCE)

Wendry S Putranto1, Lilis Suryaningsih1, Apon Z Mustopa2, Lita Triratna2, Andry Pratama1
1
Departemen Teknologi Hasil Peternakan, Fakultas Peternakan UNPAD,Jatinangor
2
Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong
Korespondensi: wendrysp@yahoo.co.id

Abstrak
Strategi screening yang dapat direkomendasikan tersebut digunakan untuk mendapatkan isolat BAL
potensial menghasilkan Milk Clooting Enzyme (MCE) dengan aktivitas menggumpalkan susu (Milk
Clotting Activity) yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti rennin dalam pembuatan
keju. Pendekatan yang dilakukan adalah melakukan screening berdasarkan aktivitas penggumpalan
(clotting zone) isolat BAL yang belum teridentifikasi pada Skim Milk Agar (SMA) dan pengujian Milk
Clotting Activity (MCA) crude extract RLP (Rennin Like Protease) yang diproduksi, dan selanjutnya
melakukan identifikasi terhadap isolat BAL terpilih. Penelitian dilakukan secara eksploratif dan
analisis deskriftif. Pada tahap pertama dilakukan isolasi dan screening isolat BAL yang memiliki
kemampuan mengekresikan enzim proteolitik pada media Skim Milk Agar (SMA)(a). Isolat yang
menunjukkan clear zone disekitar koloninya selanjutnya dimurnikan. Pada penelitian ini diperoleh 30
isolat murni BAL dengan aktivitas proteolitik. Tahapan pemurnian pada media SMA dan diperoleh 4
isolat BAL dengan karakteristik penggumpalan skim disekitar koloninya (clotting zone). Sebagai
upaya untuk mengkuantifikasi aktivitas penggumpalan maka dilakukan pengujian dengan Blok Agar
(SMA modifikasi) dan diperoleh gambaran aktivitas penggumpalan tehadap skim tersebut dengan
ukuran diameter (cm). Isolat BAL yang menyebabkan atau memiliki diameter penggumpalan (clotting
zone) yang tinggi memiliki aktivitas MCA (Milk Clotting Activity) yang tinggi pula. Pengujian MCA
yang menunjukkan aktivitas penggumpalan skim secara kuantitatif. Dalam pengujian MCA selain
diamati nilai aktivitas penggumpalan (SU/mL), dalam penelitian ini dilakukan pula pengamatan
secara kuantitatif persentase curd yang diperoleh serta secara kualitatif diamati tingkat kekompakan
curd yang terbentuk. Upaya screening yang bertahap tersebut merupakan inovasi dalam proses
screening sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat BAL potensial dalam memproduksi RLP.

Kata Kunci: bakteri asam laktat, screening, rennin like protease

Pendahuluan
Rennin Like Protease (RLP) adalah enzim protease yang memilki karakteristik seperti rennin
yang dihasilkan anak sapi (veal). Karakteristik yang dimaksud adalah kemampuan dari enzim untuk
menggumpalkan susu (daya koagulasi) atau Milk Clotting Activity. Enzim yang memiliki kemampuan
menggumpalkan susu dikenal pula dengan Milk Clotting Enzymes (MCEs) (Wilkinson and Kilcawley
2005). RLP diperlukan sebagai alternatif untuk menggantikan rennin yang dihasilkan anak sapi dalam
proses pembuatan keju.
Rennin Like Protease (RLP) isolat lokal Bakteri Asam Laktat memiliki potensi dikembangkan
sebagai enzim untuk pembuatan keju sehingga diperlukan upaya eksplorasi potensi isolat lokal BAL
dalam memproduksi RLP melalui teknik screenning aktivitas proteolitik (PA) dan Milk Clotting
Activity (MCA). Teknik screenning awal untuk menggali potensi dari mikroba dalam hal ini BAL
menggunakan media Skim Milk Agar (SMA) telah banyak dilakukan peneliti untuk mengetahui
kemampuan isolat mikroba menghasilkan enzim secara ekstraseluler dengan menambahkan substrat
spesifik pada media tumbuh mikroba (media padat/agar). Pada screenning isolat BAL, yeasts, kapang

174
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

ditambahkan kasein kurang lebih 2-3% pada media agar. Isolat yang menunjukkan zona bening
disekitar koloni isolat tersebut menunjukkan potensi isolat tersebut menghasilkan protease
ekstraseluler. Teknik screening tersebut hanya menunjukkan bahwa isolat mikroba dapat
menghasilkan zona bening disekitar koloninya.
Screening isolat bakteri pada tahap awal dapat menggunakan media agar dengan penambahan
substrat kasein. Metode ini telah banyak dilakukan untuk mendapatkan isolat-isolat potensial dalam
menghasilkan protease secara ekstraseluler. Beberapa peneliti menggunakan substrat kasein untuk
screenning mikroba penghasil protease (Verma et al. 2001; Chi et al. 2007; Sindhu et al. 2009).
Selanjutnya untuk mengetahui aktivitas enzim dalam koagulasi susu Milk Clotting Activity (MCA)
yaitu menggunakan substrat casein (dalam CaCl2 dan diinkubasi selama 5 menit pada 35 0C, dan
selanjutnya ekstrak enzim rennin ditambahkan. Lama waktu yang diperlukan sejak ditambahkan
ekstrak enzim sampai terjadinya koagulasi kasein menunjukkan aktivitas enzimnya (Ottani et al.
1991). Tahapan screenning yang dilakuan untuk mendapatkan mikroba potensial menghasilkan PLR
melalui pengujian MCA (Milk Clotting Activity) dan PA (Proteolytic Activity) (El-Tanboly et al.
2013). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metode screening yang tepat untuk mendapatkan
isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan Rennin Like Protease yang dapat dimanfaatkan sebagai
alternatif pengganti rennin.

Metode Penelitian
Isolasi dan Screening Isolat BAL dengan Aktivitas Proteolitik
Isolasi BAL diperoleh dari Bakasam (fermentasi daging sapi) dan dari susu kambing Etawa
dengan menggunakan media MRS agar yang ditambahkan skim 3%. Koloni BAL yang menunjukkan
zona bening (clear zone) di sekitar koloni merupakan isolat BAL proteolitik dengan kemampuan
mengeksresikan enzim protease ekstraseluler.

Screenning Isolat BAL Proteolitik dengan Aktivitas MCA dengan Metode Skim Milk Agar
(SMA) modifikasi.
Untuk mendapatkan isolat BAL proteolitik dengan indikasi aktivitas penggumpalan pada susu
maka dilakukan pengamatan terhadap karakter isolat BAL tersebut pada media MRSA mengandung
skim 3%. Isolat BAL yang menunjukkan penggumplan skim pada media merupakan isolat BAL
proteolitik yang memiliki aktivitas menggumpalkan kasein (skim). Kuantifikasi kemmapuan
menggumpalkan kasein maka dilakukan screenning dengan modifikasi metode Skim Milk Agar
dengan membuat Block Agar.

Metode Block Agar


Upaya kuantifikasi aktivitas MCA pada media MRSA maka dilakukan modifikasi dengan
media Block Agar. Menyiapkan media A: Isolat yang potensial (SMA positif) dikultur merata (swab)

175
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

pada media masing-masing (BAL: MRSA) dan inkubasi (BAL: 37 ºC, 24 jam). Media B:
mempersiapkan MRSA (BAL) yang telah ditambahkan substrat (kasein) 2-3 persen dan buat lubang
plug. Dibuat plug pada Media A yang telah ditumbuhi BAL secara merata dan pindahkan pada lubang
plug pada Media B seperti memasang Block, selanjutnya dilakukan inkubasi dan ukur zona bening
atau zona penggumpalan susu (clotting zone) yang dihasilkan (cm)

Pengujian Aktivitas Milk Clotting Activity (MCA)


Isolat BAL terpilih dengan aktivitas proteolitik dan clotting zone pada media SMA modifikasi
dilakuan pengujian kuantifikasi aktivitas MCA (SU/mL). Isolat BAL ditumbuhkan pada 5 ml MRS
broth inkubasi 37 ºC, selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 g,
selama 30 menit, pada suhu 4 ºC. Supernatan yang merupakan crude enzyme dipisahkan pada
eppendorf steril dan dilakukan pengujian MCA (Otani et al. 1991).

Aktivitas Koagulasi (Milk Clotting Activity) (Otani et al. 1991)


Milk Clotting Activity diukur dengan mereaksikan 5 ml substrat 10 % skim milk dalam 10
mM CaCl2 dan diinkubasikan selama 5 menit pada 37 0C dan selanjutnya ditambahkan 0,5 ml enzim
sampel. Waktu yang diperlukan dari penambahan enzim sampel sampai terjadinya koagulasi dicatat.
Perhitungan MCA menurut Kawai dan Mukai (1970) adalah:

SU = 2400x5xD/Tx(0,5)

Keterangan:
D = faktor pengenceran enzim,
T = waktu terjadinya koagulasi
1 Soxhlet Unit (SU) = jumlah enzim yang diperlukan untuk menggumpalkan 1 ml substrat selama
40 menit pada suhu 350C

Hasil dan Pembahasan


Screenning aktivitas proteolitik dengan menggunakan media MRSA yang telah ditambahkan
skim milk 3% (Verma et al. 2001; Chi et al. 2007; Sindhu et al. 2009). Isolat BAL yang menunjukkan
zona bening (clear zone) disekitar koloni menunjukkan isolat BAL tersebut memiliki kemampuan
menghasilkan protease ekstraseluler dan diperoleh 30 isolat yang memiliki kemampuan menghasilkan
protease ekstraseluler. Protease ekstraseluler yang diekskresikan isolat BAL menghidrolisis substrat
kasein (skim) menjadi potongan peptida yang lebih kecil sehingga terlihat bening disekitar koloni
bakteri tersebut. Selanjutnya dilakukan pemurnian isolat dengan aktivitas proteolitik tersebut dan
diperoleh 30 isolat BAL dengan aktivitas proteolitik. Pada tahap awal isolasi dan pemurnian isolat

176
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

BAL ini dilakukan pengamatan mikroskopis sehingga diharapkan diperoleh isolat BAL murni
sebelum dilakukan screening lebih lanjut.

Screening Skim Milk Agar (SMA)


Isolat-isolat BAL proteolitik yang telah dipastikan kemurniannya berdasarkan pengamatan
mikroskopis, selanjutnya dikultivasikan pada MRSA mengandung skim milk 3% dan diperoleh 3
isolat BAL dengan karakter selain menghidrolisis kasein disekitar koloni terlihat pula adanya
koagulasi disekitar koloninya (Gambar.1). Pada tahap isolasi dan screening proteolitik belum
mendapatkan karakter terbentuknya penggumpalan (clotting zone) atau precipitation zone disekitar
koloninya.

A B C D

Gambar.1. Isolat BAL pada media MRSA + skim 3%. (A) 1.15; (B) 1.13 ; (C) 1.14 ; (D) 2.12

Karakteristik penggumpalan (clotting) disekitar koloni BAL merupakan indikasi protease


yang diproduksi memiliki aktivitas mampu menggumpalkan skim. Sehingga indikasi adanya clotting
zone disekitar koloni BAL memberikan indikasi awal yang kuat bahwa isolat bakteri tersebut mampu
memproduksi protease ekstraseluler yang memiliki aktivitas menggumpalkan susu. Selanjutnya isolat-
isolat BAL yang menunjukkan karakteristik clotting zone maka dilakukan pengujian lanjutan untuk
mengamati aktivitas tersebut dengan modifikasi metode SMA (Skim Milk Agar). Karakteristik
penggumpalan masing-masing isolat (Gambar.10) dapat kita bedakan menjadi dua karakter yaitu: (1)
Karakter penggumpalan (clotting/presipitation) disekitar koloni dan terdapat pola zona clear zone (A
dan D). Sedangkan yang kedua (2) yaitu karakter yang menunjukkan aktivitas penggumpalan (clotting
dan precipitation) akan tetapi tidak terdapat clear zone disekitar koloni.

Aktivitas Clotting Zone (Precipitation Zone)


Untuk mendapatkan kuantifikasi aktivitas koagulasi kasein pada MRSA maka dilakukan
modifikasi metode SMA dan diperoleh diameter clotting (clotting zone). Hasil pengukuran clotting
zone disajikan pada Tabel.1. Berdasarkan hasil pengukuran clotting zone menunjukkan bahwa isolat
1.13 memiliki diameter yang terbesar yaitu 2,3 cm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat BAL tersebut
sangat potensial menghasilkan RLP dibandingkan isolat yang lain.

177
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel.1. Hasil pengujian aktivitas clotting zone pada MRSA + skim 3%


No Isolat Sumber Isolasi Clotting Zone (cm) Clear zone Morfologi

1. 2.12 Susu Kambing 1.5 +

-
2. 1.13a Bakasam daging domba 1.4

3. 1.13 Bakasam daging sapi 2.3 -

4. 1.14 Bakasam daging itik 1.5 +

5. 1.15 Bakasam daging sapi 2.1 -

Keterangan: Diameter penggumpalan (clotting zone) skim pada media MRSA


Clear Zone: (+) terdapat clear zone disekitar koloni; (-) tidak terdapat clear zone

Modifikasi metode SMA dengan menggunaakan Blok Agar dapat memberikan gambaran
awal tentang potensi isolat BAL dalam memproduksi RLP. Besarnya diameter clotting zone
memberikan indikasi bahwa RLP yang dihasikan memiliki aktivitas penggumpalan yang tinggi pula.
Sehingga modifikasi metode ini dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam screening
potensi mikroba dalam menghasilkan RLP dan indikasi awal aktivitas MCA yang dimiliki.

178
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pada Tabel.1. menunjukkan bahwa isolat 2.12 memiliki karakteristik penggumpalan disekitar
koloni clotting zone dengan diameter 1,5 cm dan terdapat clear zone disekitar koloninya dan demikian
pula dengan isolat 1.14 memiliki clotting zone dengan diamater 1,5 cm. Sedangkan isolat 1.13a
memiliki diameter clotting zone 1,4 cm, isolat 1.13 dengan diameter 2,3 cm, serta isolat 1,15 dengn
diameter 2,1 cm. Ketiga isolat tersebut tidak terdapat daerah clear zone. Karakteristik yang dimiliki
isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan RLP hampir sama dengan Paenibacillus spp. Strain
BD3526 yang menunjukkan zona bening disekitar koloni dan presipitation zone (Hang F et al. 2016).
Dalam modifikasi media Blok Agar memiliki kelebihan yaitu dengan metode screenning tersebut
memberikan gambaran yang lebih terkuantifikasi berkenaan dengan kemampuan menghasilkan RLP.
Semakin besar diameter clotting zone (presipitation zone) yang ditunjukkan isolat tersebut maka
semakin besar pula potensinya dalam menghasilkan RLP. Pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan dalam screening potensi isolat bakteri dalam menghasilkan RLP tidak dilakukan upaya
kuantifikasi terhadap kemampuan isolat tersebut. Dalam penelitian ini diharapkan dengan kuantifikasi
kemampuan terbentuknya clotting zone maupun presipitation zone dapat lebih memberikan gambaran
terhadap potensi isolat yang diujikan.
Karakteristik kemampuan menggumpalkan kasein tersebut dapat dibandingkan dengan
karakteristik isolat yeasts (khamir) dan kapang dengan aktivitas proteolitik tinggi yang mampu
menghidrolisis kasein disekitar koloni secara sempurna sehingga terbentuk zona bening (clear zone)
yang cukup besar, akan tetapi tidak terbentuk adanya clotting zone yang dapat digunakan sebagai
indikasi bahwa isolat tersebut mampu menghasilkan RLP

Milk Clotting Activity (Kumara et al. 2005)


Isolat BAL yang memiliki karaktersitik clotting zone pada pengujian SMA maupun
modifikasi SMA (Blok Agar) yaitu isolat 2.12, 1.13a, 1.13, dan 1.15 pada tahap selanjutnya dilakukan
pengujian aktivitas Milk Clotting Activity (MCA) dari RLP yang dihasilkan. Dalam pengujian MCA
dilakukan produksi crude enzyme dari RLP isolat-isolat BAL tersebut. Produksi menggunakan MRS
broth pada inkubasi suhu 37 ºC selama 24 jam. Crude enzyme RLP diperoleh dengan sentrifugasi
10.000 g selama 30 menit pada suhu 40C, supernatan merupakan crude enzyme. Beberapa peneliti
dalam screening potensi RLP menggunakan pendekatan dengan melakukan pengujian MCA secara
langsung dari isolat yang telah teridentifikasi. Dalam penelitian ini dilakukan upaya screening
bertahap sehingga hanya isolat BAL yang menunjukkan karakteristik clotting zone dilakukan
pengujian aktivitas MCA, hal ini merupakan strategi untuk mendapatkan isolat BAL yang
menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang cukup tinggi.

179
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel.2. Hasil pengujian aktivitas clotting zone dan milk clotting activity
No Nama Isolat Sumber Isolasi Clotting zone (cm) Milk Clotting Activity (SU/mL)
1. 2.12 Susu kambing Ettawa 1.5 18
2. 1.13a Bakasam daging domba 1.4 18
3. 1.13 Bakasam daging sapi 2.3 100
4. 1.14 Bakasam daging itik 1.5 18
5. 1.15 Bakasam daging sapi 2.1 20

Berdasarkan hasil analisis MCA (Tabel.2) menunjukan bahwa isolat BAL dengan clotting
zone yang besar yaitu isolat 1.13 dengan clottting zone 2,3 cm memiliki aktivitas MCA tertinggi yaitu
100 SU/mL. Data tersebut mengkonfirmasi bahwa terdapat hubungan yang positif antara clotting zone
dan aktivitas MCA yang dihasilkan. Semakin besar diameter clotting zone maka aktivitas MCA dari
RLP yang diproduksi juga semakin tinggi. Dengan mengetahui hubungan antara clotting zone dan
MCA maka dalam proses eksplorasi isolat lokal BAL maka diharapkan dapat diperoleh isolat BAL
terpilih dengan potensi yang tinggi dalam menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang tinggi pula.
Beberapa peneliti melakukan pendekatan screenning dengan langsung menguji aktivitas MCA crude
enzyme yang dihasilkan dari 19 isolat kapang yang telah teridentifikasi (El-Tanboly ES et al. 2013).
Sebagai pembanding dilaporkan Mucor pusillus QM436 menghasilkan crude rennin like protease
dengan MCA 50 SU/ml (El-Tanboly et al. 2013). Enzim kasar yang diproduksi oleh Bacillus
stearothermophilus memiliki (MCA) sebesar 24,23 SU/ml, serta Bacillus subtilis and MTCC 10422
sangat potensial menyebabkan terbentuknya curd kasein (Narwal et al. 2016).

Inovasi Strategi Screening Isolat BAL Penghasil RLP


Strategi yang dapat direkomendasikan untuk mendapatkan isolat BAL potensial dengan
kemampuan menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang diharapkan dapat diilustrasikan pada
Gambar.13. Pendekatan yang dilakukan adalah melakukan screening berdasarkan aktivitas
penggumpalan (clotting zone) isolat BAL yang belum teridentifikasi pada Skim Milk Agar (SMA) dan
pengujian Milk Clotting Activity (MCA) crude extract RLP yang diproduksi, dan selanjutnya
melakukan identifikasi terhadap isolat BAL terpilih.

180
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Screnning isolat BAL


proteolitik (clear zone)
disekitar koloni BAL

Screnning isolat BAL


dengan penggumpalan
kasein disekitar koloni
(clotting zone)

Kuantifikasi clotting zone


dengan metode Skim Milk
Agar Modifikasi (Blok
Agar)
c

Pengujian Milk Clotting


Activity (MCA) (SU/mL)
dan pengamatan curd
e d yang dihasilkan

Identifikasi isolat BAL terpilih (16S rRNA)

Gambar.2. Tahapan screening untuk mendapatkan isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan RLP

181
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Sebagai upaya untuk mendapatkan isolat BAL potensial dalam menghasilkan RLP maka
dengan menggunakan pendekatan yang diilustrasikan pada Gambar.2. Pada tahap pertama dilakukan
isolasi dan screening isolat BAL yang memiliki kemampuan mengekresikan enzim proteolitik pada
media Skim Milk Agar (SMA)(a). Isolat yang menunjukkan clear zone disekitar koloninya
selanjutnya dimurnikan. Pada penelitian ini diperoleh 30 isolat murni BAL dengan aktivitas
proteolitik. Tahapan pemurnian tetap menggunakan media SMA dan diperoleh 4 isolat BAL dengan
karakteristik penggumpalan skim disekitar koloninya (clotting zone) (b). Sebagai upaya untuk
mengkuantifikasi aktivitas penggumpalan maka dilakukan pengujian dengan Blok Agar (SMA
modifikasi) dan diperoleh gambaran aktivitas penggumpalan tehadap skim tersebut dengan ukuran
diameter (cm) (c). Isolat BAL yang menyebabkan atau memiliki diameter penggumpalan (clotting
zone) yang tinggi memiliki aktivitas MCA (Milk Clotting Activity) yang tinggi pula. Selanjutnya
dilakukan pengujian MCA yang menunjukkan aktivitas penggumpalan skim secara kuantitatif (d).
Dalam pengujian MCA selain diamati nilai aktivitas penggumpalan (SU/mL), dalam penelitian ini
dilakukan pula pengamatan secara kuantitatif persentase curd yang diperoleh serta secara kualitatif
diamati tingkat kekompakan curd yang terbentuk (e). Upaya screening yang bertahap tersebut
merupakan inovasi dalam proses screening sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat BAL potensial
dalam memproduksi RLP. Setelah melalui proses screening diperoleh 4 isolat BAL yang potensial
menghasilkan RLP dan selanjutnya dilakukan identifikasi dengan pendekatan molekuler (16S rDNA).
Proses identifikasi dilakukan pada tahap akhir setelah screening bertujuan untuk mengefisienkan
proses penelitian.

Kesimpulan
Untuk mendapatkan isolat BAL potensial dalam menghasilkan Rennin Like Protease
ekstraseluler meliputi tahapan isolasi dan screening yaitu: screnning isolat BAL proteolitik (clear
zone) disekitar koloni BAL, screnning isolat BAL dengan penggumpalan kasein disekitar koloni
(clotting zone), kuantifikasi clotting zone dengan metode Skim Milk Agar Modifikasi (Blok Agar),
dan pengujian Milk Clotting Activity (MCA) (SU/mL) dan pengamatan curd yang dihasilkan.

Daftar Pustaka
Chi Z, Ma C, Wang P, Li HF. 2007. Optimization of medium and cultivation conditions for alkaline
protease production by the marine yeast Aureobasidium pullulans. Biores. Technol. 98: 534-
538.
El-Tanboly ES, El-Hofi M, Youssef YB, El-Desoki W. Ismail A .2013. Utilization of salt whey from
Egyptian ras (Cephalotyre) cheese in microbial milk clotting enzymes production. Acta Sci.
Pol., Technol. Aliment. 12(1): 9-19.
Hang F, Wang Q, Hong Q, Liu P, Wu Z, Liu Z, Zhang H, Chen W.2016.Purification and
characterization of a novel milk-clotting metalloproteinase from Paenibacillus
spp.BD3526.International Journal of Biological Macromolecules (85): 547-554.
http://dx.doi.org/10/j.ijbiomac.2016.01.028.

182
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Narwal RK, Bhushan B, Pal A, Panwar A, Malhotra S.2016.Purification, physico-chemico-kinetic


characterization and thermal inactivation thermodynamics of milk clotting enzyme from
Bacillus subtillis MTCC 10422.LWT-Food Science and Technology (65):652-660.
http://dx.doi.org/10.1016/j.lwt.2015.08.065.
Otani H., Mitsuhiro I., Akiyoshi H., 1991. The screening of trees having milk activity. Anim. Sci.
Tech. 62, 417.
Sindhu R, Suprabha GN, Shashidhar S. 2009. Optimization of process parameters for the production
of alkaline protease from Penicillium godlewskii SBSS 25 and its application in detergent
industry. Afri. J. Microbiol. Res. 3(9): 515-522.
Verma R, Sil K, Pandey AK, Rajak RC. 2001. Solid state fermentation to produce alkaline protease
by Aspergillus fumigatus B149. Ind. J. Microbiol. 41: 111-114.
Wilkinson MG, Kilcawley KN.2005.Mechanism of incorporation and relrease of enzymes in cheese
during ripening. International Dairy Journal, 15: 817-830.

183
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pemberian Pakan Aditif untuk Menurunkan Kandungan Sel Somatic Susu Sapi Perah

Feed Additive to Reduce Somatic Cell Content in Dairy Milk

Y. Widiawati1, E. Wina1 dan A. Anggraeni1


1
Balai Penelitian Ternak, Jl. Veteran III PO BOX 221 Ciawi Bogor 16002
*Korespondensi: yeni_widiawati14@yahoo.com

Abstrak
Kejadian mastitis sub klinis menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 15-30%/ekor/laktasi. Penyebab
mastitis sub klinis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae, dimana kehadiran
somatic sel (SC) menandai adanya mastitis sub klinis. Suplementasi antioksidan dalam bentuk vitamin
dan mineral membantu mencegah dan menyembuhkan sapi yang terkena mastitis sub klinis.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan aditif Balitnak yang mengandung
vitamin E, mineral Se dan antioksidan alami, terhadap kandungan SC susu sapi perah. Sebagai
pembanding diberikan pula pakan aditif komersial. Sebanyak 24 ekor sapi perah (bunting 8-9 bulan)
dibagi menjadi 3 kelompok mengikuti rancangan acak kelompok, yaitu kelompok kontrol diberi
pakan basal, kelompok perlakuan 1 diberi pakan basal + pakan aditif komersial (678 mg/hari); dan
kelompok perlakuan 2 diberi pakan basal + pakan aditif Balitnak (678 mg+antioksidan alami 2,16
gram). Perlakuan diberikan selama 3 bulan. Pengamatan dilakukan selama 2 bulan masa laktasi
terhadap konsumsi, produksi dan kualitas susu, dan kandungan SC dalam susu. Hasil menunjukkan
bahwa ternak di tiga kelompok mengkonsumsi jumlah bahan kering dan protein kasar pakan yang
sama. Rataan produksi susu harian induk sapi di kelompok kontrol lebih rendah (14,05 Liter/hari)
dibandingkan pada kelompok perlakuan 15,59 liter/hari (Perlakuan 1) dan 16,54 liter/hari (Perlakuan
2). Induk laktasi pada kelompok kontrol dan Perlakuan 2 mempunyai kandungan lemak susu yang
sama (4,0-4,07%) lebih tinggi dibandingkan kelompok Perlakuan 1 (3,83%). Terdapat indikasi
penurunan jumlah SC pada susu sapi yang diberi perlakuan 2. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
pakan aditif yang mengandung antioksidan selama 3 bulan dapat menekan jumlah SC dalam susu.

Kata kunci: Sapi perah, sel somatic, mastitis, pakan aditif

Abstract
The incidence of sub-clinical mastitis causes economic losses up to 15-30%/head/lactation. The sub-
clinical mastitis is causes by Staphylococcus aureus and Streptococcus agalactiae. The presence of
somatic cells (SC) in milk indicates the incident of sub-clinical mastitis in lactating cow. Antioxidant
supplementation in the form of vitamins and minerals helps prevent and cure cows from sub-clinical
mastitis. The aim of this study was to determine the effect of feed additives containing vitamin E,
mineral Se and natural antioxidants (feed additive Balitnak) on SC content in dairy cow milk. A total
of 24 dairy cows (pregnant 8-9 months) were divided into 3 groups, following a randomized group
design, the control group was fed by basal feed, treatment group 1 was fed by basal feed +
commercial feed additive (678 mg/day); and treatment group 2 was fed by basal feed + feed additive
Balitnak (678 mg + natural antioxidant 2.16 grams). The treatment is given for 3 months.
Observations were made during the 2-month of lactation period on feed consumption, milk production
and quality, and SC content in milk. The results showed that all cows in the three groups consumed
similar amount of dry matter and crude protein. The average daily milk production of cows in the
control group was lower (14.05 Liters/day) compared to the treatment 1 group (15.59 liters/day and
16.54 liters/day (treatment 2 group). The fat content of milk was similar for the two groups, the
control group and treatment 2 group (4.0-4.07%) and was higher than that of treatment 1 group
(3.83%). There is an indication on decreasing in the amount of SC in cow's milk in treatment 2 group.
It can be concluded that the feeding of additives containing antioxidants for 3 months can reduce SC
contain in milk.

Keywords: dairy cows, somatic cells, mastitis, feed additives

184
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pendahuluan
Mastitis yang disebabkan karena mikroorganisma diketahui sebagai penyakit yang paling
merugikan pada sapi perah. Hal ini disebabkan karena mastitis berdampak pada jumlah dan kualitas
susu yang dihasilkan. Ada dua macam mastitis, yaitu mastitis klinis dan mastitis sub-kli nis. Pada
kasus mastitis klinis, maka ternak menunjukkan tanda-tanda seperti meningkatnya temperatur tubuh,
rasa sakit pada ambing dan susu yang tidak normal. Sehingga mastitis ini mudah untuk terdeksi dan
diobati. Lain halnya dengan mastitis sub-klinis, dimana ternak tidak menunjukkan tanda-tanda klinis,
tetapi ditandai dengan meningkatnya jumlah Somatic cel (SC) pada susu (Huijps et al., 2008) dan
terjadinya penurunan pada kualitas susu dan kesehatan ternak. Peningkatan jumlah SC pada susu
merupakan salah satu indikator adanya mikroba dalam kelenjar susu (Atakisi et al., 2010).
Kebanyakan kasus mastitis terjadi pada induk yang baru melahirkan, yaitu selama bulan
pertama laktasi dan juga selama masa kering kandang (Sordillo et al., 2007; Gu et al., 2009). Kasus
mastitis ini berkaitan dengan dilepaskannya radikal bebas, peningkatan total kapasitas oksidan dan
penurunan kapasitas antioksidan dalam susu yang dihasilkan (Atakisi et al., 2010). Radikal bebas
diketahui dapat diatasi secara langsung yaitu dengan cara pengikatan menjadi senyawa lain atau
secara tidak langsung yaitu dengan cara dihambat pembentukannya melalui aktivitas oksidasi enzim-
enzimnya. Unsur yang dapat melakukan pengikatan maupun penghambatan pembentukan radikal
bebas adalah antioksidan.
Banyak sumber antioksidan, diantaranya adalah vitamin dan mineral. Keduanya diketahui
berfungsi sebagai antioksidan yang dapat meningkatkan kesehatan dan produksi ternak. Kedua unsur
tersebut dilaporkan mempunyai peran spesifik dalam mengatasi mastitis pada sapi perah (Weiss et al.,
2004, O‘Rourke, 2009, Ata and Zaki, 2014). Beberapa vitamin yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan adalah vitamin A, C, E dan β-caroten. Sedangkan mineral yang dapat berfungsi sebagai
antoksidan adalah mineral Se, Zn dan Cu (Yang and Li, 2015).
Beberapa studi mengindikasikan terjadinya penurunan jumlah SC pada kasus mastitis sub-
klinis induk sapi yang diberi antoksidan dalam bentuk mineral pada dua minggu menjelang
melahirkan sampai 100 hari setelah melahirkan (pada awal kelahiran) (Kellogg et al, 2004; O‘Rourke,
2009; Ata and Zaki, 2014). Pemberian antioksidan dalam bentuk vitamin yang diberikan pada induk
sapi laktasi dilaporkan pula dapat menurunkan kejadian matitis (Jin et al., 2014; LeBalnc et al., 2004).
Namun demikian dalam pemberian antioksidan vitamin dan mineral ini perlu mempertimbangkan
pula kandungan mineral dan vitamin yang ada pada pakan yang diberikan dan konsumsi pakan harian.
Penurunan imunitas ternak juga dapat terjadi akibat kurangnya asupan nutrisi sebagai akibat
rendahnya konsumsi pakan. Jumlah vitamin dan mineral yang diperlukan oleh induk bunting dan
laktasi sudah direkomendasikan oleh NRC (2001). Kelebihan pemberian vitamin dan mineral dari
yang diperlukan oleh ternak dapat menyebabkan keracunan.

185
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pemberian pakan aditif ini pada pejantan dan induk kerbau, kambing dan sapi perah
meningkatkan kualitas sperma dan meningkatkan reproduksi induk kerbau (Winugroho, et al., 2014 ;
2015). Pakan adiitf ini telah banyak didiseminasikan guna mendukung program nasional UPSUS
SIWAB. Pada penelitian yang dilaporkan dilakukan pengujian pakan aditif yang telah ditingkatkan
kemampuan kerjanya dengan penambahan bahan yang mengandung antioksidan alami yaitu kulit
manggis, yang kemudian dinamakan Pakan aditif Balitnak terhadap kasus mastitis sub klinis. Pakan
aditif Balitnak teridir dari tiga sumber antioksidan, yaitu vitamin dan mineral serta bahan alami yang
terkomposisi dalam pakan aditif

Materi dan Metode


Tempat, waktu dan ternak
Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi selama 4 hulan
dari bulan April sampai Juli. Sebanyak 24 ekor sapi perah pada periodel laktasi ke 1 sampai 3 dan
bunting tua (8-9 bulan) dengan rataan bobot badan 588,5 + 54,6 kg dibagi menjadi 3 kelompok
mengikuti persyaratan rancangan acak kelompok berdasarkan laktasi dan bobot badan. Rataan bobot
badan untuk kelompok kontrol (BB 589,5 + 75,1 kg), kelompok perlakuan 1 (BB 590 + 62,6 kg), dan
kelompok perlakuan 2 (BB 586 + 36,7 kg).

Pakan
Ternak diberi pakan basal berupa rumput raja (RR), daun legum yang terdiri dari Gliricidia
dan Kaliandra (GK), konsentrat (KST) dan ampas tahu (AT) dengan komposisi dalam bahan kering
adalah 61% RR: 24% KST: 10% GK: 5% AT. Semua ternak diberi pakan basal untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein untuk induk yang sedang bunting tua dan awal laktasi (NRC 2001).
Jumlah pakan dalam sehari dibagi dua, kemudian satu bagian diberikan pada pagi hari jam 08.00 dan
bagian lainnya diberikan sore hari jam 14.00. Air minum disediakan sepanjang hari. Kandungan
nutrisi setiap bahan pakan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabe 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan selama penelitian.


Jenis Bahan air protein Lemak GE Abu Ca P
(%) (%) (%) Kkal/kg (%) (%) (%)
Rumput Gajah 7,05 9,19 2,1 3940 10,05 0,36 0,51
Ampas Tahu 4,15 18,63 9,74 4529 4,2 0,32 0,37
Konsentrat 12,55 15,9 5,06 3938 7,99 0,95 0,86
Kaliandra 6,82 25,81 3,37 4468 6,52 0,73 0,24
Gliricidia 6,77 26,02 2,64 4644 4,58 0,34 0,23
Hasil analisa laboratorium proksimat Balai Penelitian Ternak

186
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Pakan yang diberikan kepada ketiga kelompok ternak adalah iso protein dan energi. Hal ini
untuk meyakinkan bahwa respon yang diberikan oleh ternak lebih disebabkan karena adanya
pemberian pakan aditif dan bukan karena perbedaan nutrisi pakan yang diberikan.
Perlakuan
Penelitian menggunakan 3 perlakuan termasuk didalamnya kelompok kontrol. Ternak pada
kelompok kontrol hanya diberi pakan basal; ternak di kelompok perlakuan 1 diberi pakan basal
ditambah dengan pakan aditif komersial; ternak di kelompok perlakuan 2 diberi pakan basal ditambah
dengan pakan aditif Balitnak.
Pakan aditif komersial terdiri dari bahan berupa vitamin E sebanyak 95,7% dan mineral Se
sebanyak 4,3% (Winugroho et al., 2014 dan 2015). Sedangkan pakan aditif Balitnak terdiri dari 23,8%
vitamin E; 0,15% Mineral Se dan 76,05% antioksidan dari kulit manggis. Pakan aditif komersial
diberikan sebanyak 678 mg/ekor setiap hari dengan dicampur tepung beras sampai mencapai berat 10
gram. Sedangkan pakan aditif Balitnak diberikan sebanyak 678 mg Vitamin E dan Se serta 2,16 gram
sumber antioksidan yaitu tepung kulit manggis yang dicampur dengan tepung beras 10 gram.
Pencampuran dengan 10 gram tepung beras dimaksudkan untuk memudahkan proses pencampuran
unsur-unsur vitamin, mineral dan kulit manggis agar lebih mudah dicampur dalam konsentrat.
Jumlah mineral Se dalam pakan yang direkomendasikan oleh NRC adalah tidak lebih dari 3
mg/kg BK pakan, sehingga penambahan dosis mineral Se 4,3% dalam pakan aditif tidak melebihi
jumlah yang direkomendasikan oleh NRC (2001). Dosis vitamin E yang diberikan mengikuti
rekomendasi oleh Panda et al, (2006); Moeini et la. (2009), dan LeBalnc et al. (2004) yaitu vitamin E
sebanyak 1500 IU/hari/ekor. Sedangkan antioksidan yang diberikan pada perlakuan 2 mengikuti yang
direkomedasikan yaitu sebesar 2,16 gr/ek/hari (winugroho et al. 2014; 2015).
Pemberian pakan aditif dilakukan setiap hari dengan cara mencampurkan dalam konsentrat.
Pemberian dilakukan pada saat induk bunting tua (9 bulan) sampai dengan umur laktasi 3 bulan.
Selanjutnya pengamatan dilakukan terhadap: kandungan nutrisi pakan, konsumsi pakan harian,
produksi susu yang dicatat setiap pemerahan pagi dan sore selama 3 bulan, kualitas susu yang diamati
setiap bulan dari pemerahan di pagi hari, kandungan SC dalam susu yang dianalisa setiap dua minggu.
Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dengan menggunakan program Excel dan dianalisa secara
statistik dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan bantuan program IBM SPSS statistic
Ver. 22.

187
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Hasil dan Pembahasan


Konsumsi Pakan
Hasil pengamatan rataan konsumsi bahan kering, protein dan energi pakan harian selama 3
bulan masa penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan konsumsi pakan harian dari induk laktasi yang digunakan dalam penelitian.
Konsumsi harian
kelompok perlakuan Bahan kering Protein Kasar Gross Energi
Kg Kg Kkal
Kontrol 18,167 + 0,856 2,825 + 0,104 74.008 + 3.372
Perlakuan 1 18,280 + 1,741 2,839 + 0,212 74.452 + 6.860
Perlakuan 2 18,490 + 1,296 2,865 + 0,158 75.278 + 5.108

Konsumsi bahan kering pakan oleh ternak disetiap kelompok perlakuan tidak berbeda nyata
(P>0,05). Karena ketiga kelompok diberikan komposisi ransum yang sama dengan iso protein dan
energy, maka konsumsi kedua nutrient ini juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi protein dan
energy oleh setiap ternak masih memenuhi kebutuhan induk sapi yang sedang pada kondisi laktasi
awal (NRC, 2001). Konsumsi bahan kering pakan ternak kelompok control sebesar 3,087% + 0,145
bobot badan (BB); kelompok perlakuan 1 sebesar 3,101% + 0,295 BB; dan kelompok perlakuan 2
sebesar 3,134% + 0,219 BB.

Produksi dan Kualitas Susu


Produksi susu yang diamati selama 3 bulan masa laktasi memperlihatkan produksi susu induk
yang diberi pakan aditif komersial (1371,22 + 209,96 L/3 bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi susu dari induk pada kelompok kontrol (1260 + 118,28 L/3 bulan) dan induk yang diberi
perlakuan pakan aditif Balitnak (1232,08 + 119,02 L/3 bulan), namun perbedaan ini tidak berbeda
secara nyata (P>0,05). Hasil ini sejalan dengan jumlah konsumsi bahan kering, protein dan energi
yang relatif sama diantara ketiga kelompok ternak. Hasil ini menunjukkan pula bahwa penambahan
vitamin E pada kedua kelompok perlakuan tidak meningkatkan produksi susu. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian oleh Khodamoradi et al., (2013) bahwa penambahan vitamin E tidak berpengaruh
nyata terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah Friesh Holstein. Demikian pula halnya
dengan panambahan mineral Se yang tidak memberikan pengaruh nyata pada peningkatan produksi
susu, seperti yang dilaporkan pula oleh Juniper et al. (2006) bahwa pemberian mineral Se tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah.
Tidak adanya perbedaan nyata pada produksi susu total selama 3 bulan memberikan hasil
rataan produksi susu harian yang tidak berbeda nyata pula, meskipun didapatkan adanya variasi
diantara semua indukan. Dimana rataan produksi susu harian induk sapi di kelompok kontrol lebih

188
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

rendah (14,05 Liter/hari) dibandingkan rataan produksi susu induk di kedua kelompok perlakuan yang
jumlahnya relatif sama, yaitu 15,59 liter/hari (Perlakuan 1) dan 16,54 liter/hari (Perlakuan 2).

Liter/hari 17
16
15
14
13
12
kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

kelompok

Gambar 1. Rataan produksi susu sapi disetiap kelompok perlakuan selama 3 bulan masa pengamatan

Hasil pengamatan pada kualitas susu selama 3 bulan masa laktasi disajikan pada Tabel 3.
Kualitas susu sangat bervariasi diantara indukan yang diamati dalam penelitian ini. Induk pada
kelompok perlakuan 1 memperlihatkan kandungan lemak susu yang lebih rendah dibandingkan induk
di kedua kelompok lainnya. Namun perbedaan ini tidak nyata secara statistic. Kondisi yang serupa
juga dapat dilihat pada SNF, kandungan solid dan protein susu. Hasil ini mengindikasikan bahwa
pemberian vitamin E dan mineral Se serta antioxidant kulit manggis tidak memberikan pengaruh yang
nyata baik bagi produksi susu maupun kualitas susu. Seperti yang dilaporkan oleh Juniper et al.
(2006) dan Khodamoradi et al., (2013) bahwa pemberian vitamin E dan mineral Se tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap produksi dan kualitas susu, namun berpengaruh terhadap kesehatan
ternak.
Tabel 3. Kualitas susu induk sapi laktasi selama 3 bulan masa pengamatan

Nomor Fat SNF Lactose Solid Protein


Bulan laktasi Density
Ternak (%) (%) (%) (%) (%)
Kontrol bulan 1 4,103 7,622 33,161 4,654 0,833 3,523
bulan 2 4,103 7,630 33,177 4,660 0,835 3,523
bulan 3 4,018 7,465 32,443 4,548 0,818 3,438
Rataan 4,075 7,572 32,927 4,621 0,829 3,495

Perlakuan 1 bulan 1 3,838 7,111 31,013 4,309 0,780 3,228


bulan 2 3,836 7,114 31,033 4,371 0,783 3,256
bulan 3 3,823 7,093 30,923 4,293 0,780 3,243
Rataan 3,832 7,106 30,989 4,324 0,781 3,242

Perlakuan 2 bulan 1 4,013 7,458 32,469 4,544 0,818 3,448


bulan 2 3,983 7,398 32,213 4,502 0,810 3,403
bulan 3 4,007 7,440 32,387 4,530 0,817 3,427
Rataan 4,001 7,432 32,356 4,525 0,815 3,426

189
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Kandungan SC Dalam Susu


Hasil pengamatan kandungan SC pada susu induk laktasi selama periode penelitian disajikan
pada Gambar 2.

1000
950
SC (x104/ml)

900
850
800
750
700
650
600
1 3 5 7 9
waktu laktasi (minggu)
kontrol PA Komersial PA Balitnak
Gambar 2. Kandungan SC susu dari induk sapi disetiap kelompok perlakuan selama 9 minggu masa
laktasi

Selama masa pengamatan 9 minggu, terlihat bahwa kandungan SC susu yang dihasilkan dari
induk sapi di semua kelompok mengalami kenaikan. Namun kenaikan yang terjadi di kelompok Kon
trol dan Perlakuan 1 lebih besar dibandingkan kenaikan pada kelompok Perlakuan 2. Rataan
kandungan SC susu selama pengamatan di minggu ke 1 sampai ke 5 masa laktasi pada indukan di
kelompok Perlakuan 2 menunjukkan jumlah SC yang lebih banyak dibandingkan dengan pada susu
yang dihasilkan dari indukan di kelompok Kontrol dan Perlakuan 1. Namun jumlah SC pada susu
diminggu ke 7 dan 9 masa laktasi di kelompok Perlakuan 2 ini dibawah jumlah yang ada pada susu
dari ternak di kelompok Kontrol dan Perlakuan 1.
Terdapat perbedaan dari pakan aditif komersial (Perlakuan 1) dan pakan aditif Balitnak
(Perlakuan 2). Pada pakan aditif Balitnak, selain kandungan Vitamin E dan Mineral Se, maka
ditambahkan pula antioksidan dari kulit buah manggis. Sedangkan pada pakan aditif komersial hanya
mengandung Vitamin E dan mineral Se saja. Penambahan antioksidan ini diduga yang menyebabkan
adanya pengaruh pada penekanan jumlah SC yang lebih besar pada susu yang dihasilkan dari indukan
yang diberi pakan aditif Balitnak (perlakuan 2) dibandingkan dengan yang dihasilkan dari indukan
yang diberi pakan aditif komersial (perlakuan 1). Disampaikan oleh Yang et al., (2011) bahwa peran
vitamin E dalam kasus mastitis untuk memprotek melawan lipid peroksidase. Konsentrasi α-
tokopherol pada induk yang baru melahirkan umumnya rendah, yang menyebabkan ternak turun
imunitasnya yang juga mempengaruhi rendahnya kandungan vitamin E dalam darah (Goff and Stabel
1990). Disamping itu bahwa kebanyakan kasus mastitis sub kilis terjadi selama bulan pertama laktasi

190
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

dan selama kering kandang (Green et al., 2002). Sehingga suplementasi vitamin E sebagai antioksidan
pada periode ini dapat mengurangi inflammatory respon dan stres oksidatif selama masitis (Smith et
al., 1984). Dilaporkan pula bahwa suplementasi Vitamin E dan Se dalam pakan menghasilkan efek
pencegahan untuk infeksi akut yang terjadi pada infeksi kelenjar susu (Ata and Zaki, 2014), yang
dapat mengurangi insiden dan kejadian mastitis (Smith et al., 1984) menurunkan kandungan SC
dalam susu dari 193000 sel/ml menjadi 179000 sel/ml (Moeini eta la., 2009).

Kesimpulan
Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan aditif yang mengandung
antioksidan alami tidak mempengaruhi peningkatan produksi dan kualitas susu, serta menurunkan
kandungan somatic sel pada susu induk sapi yang diberi pakan rumput dan konsentrat.

Daftar Pustaka
Ata N, Zaki MS. 2014. New Approaches in Control of Mastitis in Dairy Animals. Life Science
Journal, 11: 275-277.
Atakisi O, Oral H, Atakisi E, Merhan O, Pancarci SM, Ozcana A, Marasli S, Polat B, Colak A, Kaya
S. 2010. Subclinical mastitis causes alterations in nitric oxide, total oxidant and antioxidant
capacity in cow milk. Research in Veterinary Science, 89: 10-13.
Goff JP and Stabel JR. 1990. Decreased plasma retinol, alpha-tocopherol, and zinc concentration
during the periparturient period: effect of milk fever. J Dairy Sci. 73(11):3195-3199.
Green MJ, Green LE, Medley GF, Schukken YH, Bradley AJ. 2002 Influence of dry period bacterial
intramammary infection on clinical mastitis in dairy cows. J Dairy Sci 85: 2589-2599.
Gu BB, Zhu YM, Zhu W, Miao JF, Deng YE, Zou SX. 2009. Retinoid protects rats against
neutrophil-induced oxidative stress in acute experimental mastitis. International
Immunopharmacology, 9: 223-229
Huijps K, Lam TJGM, Hogeveen H. 2008. Costs of mastitis: facts and perception. Journal of Dairy
Research, 75: 113-120.
Jin L, Yan SM, Shi BL, Bao HY, Gong J, Guo XY, Li JL. 2014. Effects of vitamin A on the milk
performance, antioxidant functions and immune functions of dairy cows. Animal Feed
Science and Technology, 192: 15-23.
Juniper DT, Phipps RH, Jones AK, Bertin G. 2006. Selenium supplementation of lactating dairy
cows: effect on selenium concentration in blood, milk, urine, and feces. J Dairy Sci 89: 3544-
3551.
Kellogg DW, DJ Tomlinson, MT Socha and AB Johnson. 2004. Effects of Zinc Methionine Complex
on Milk Production and Somatic Cell Count of Dairy Cows: Twelve-Trial Summary. The
Professional Animal Scientist: 20 (4): 295-301. https://doi.org/10.15232/S1080-
7446(15)31318-8
Khodamoradi Sh, Fatahnia F, Taherpour K, Pirani V, Rashidi L, Azarfar. 2013. Effect of monensin
and vitamin E on milk production and composition of lactating dairy cows. J Anim Physiol
Anim Nutr (Berl).;97(4):666-74. doi: 10.1111/j.1439-0396.2012.01307.x.
LeBlanc SJ, Herdt TH, Seymour WM, Duffield TF, Leslie KE. 2004. Peripartum serum vitamin E,
retinol, and beta-carotene in dairy cattle and their associations with disease. Journal of Dairy
Science, 87: 609–619.
Moeini MM, Karami H, Mikaeili E. 2009. Effect of selenium and vitamin E supplementation during
the late pregnancy on reproductive indices and milk production in heifers. Anim Reprod Sci.
114:109–114

191
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

NRC. 2001. Subcommittee on Dairy Cattle Nutrition, Committee on Animal Nutrition, National
Research Council.Nutrient Requirements of Dairy Cattle, 7th rev. ed. Natl. Acad. Sci.,
Washington, DC.
O'Rourke D. 2009. Nutrition and udder health in dairy cows: a review. Irish Veterinary Journal,
62:S15.
Panda, N., H. Kaur and T. K. Mohanty. 2006. Reproductive performance of dairy buffaloes
supplemented with varying levels of vitamin E. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19:19-25.
Smith, K. L., J. H. Harrison, D. D. Hancock, D. A. Todhunter, and H. R. Conrad. 1984. Effect of
vitamin E and selenium supplementation on incidence of clinical mastitis and duration of
clinical symptoms. J. Dairy Sci. 67:1293.
Sordillo LM, O‘Boyle N, Gandy JC, Corl CM, Hamilton E. 2007. Shifts in thioredoxinreductase
activity and oxidant status in mononuclear cells obtained from transition dairy cattle. Journal
of Dairy Science, 90: 1186-1192.
Weiss WP, Hogan JS, Smith KL. 2004. Changes in vitamin C concentrations in plasma and milk from
dairy cows after an intramammary infusion of Escherichia coli. Journal of Dairy Science, 87:
32-37.
Winugroho, M, Y.Widiawati, and T.Kostaman. 2014. Antioxidant As Feed Additive Given To Ettawa
Crossbred Bucks Kept In Different Micro-Climates Environment (26 Versus 34 C).
Proceeding the 2nd Asian-Asutralian Dairy Goat Conference. AADGN. Hal. 251-253.
Winugroho, M, Widiawati Y, Kostaman, T, Krinan R. 2015. Pakan Terkoreksi untuk Meningkatkan
Kinerja Reproduksi Induk Kerbau Bunting. Laporan Akhir penelitian APBN TA 2015. Balai
Penelitian Ternak.
Yang, Feng Li and Li, Xiao Shan. 2015. Role of antioxidant vitamins and trace elements in mastitis in
dairy cows. J. Adv. Vet. Anim. Res., 2(1): 1-9.
Yang L, Bai X, Yang Y, Ahmad P, Yang Y, Hu X. 2011 Deciphering the protective role of nitric
oxide against salt stress at the physiological and proteomic levels in maize. J Proteom Res
10:4349–4364.

192
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Perbandingan Produksi dan Nilai Ekonomis Plasma Nutfah Itik Lokal Sumatera Barat
dalam Upaya Konservasi

Comparison Study of Production and Economic Value Germplasm of West Sumatera


Local Duck for Conservation

Zasmeli Suhaemi1,a, Febriani2 , Sabrina3 dan Nita Yessirita4


1
Universitas Tamansiswa Padang, Fakultas Pertanian
2
Universitas Tamansiswa Padang, Fakultas Ekonomi
3
Universitas Andalas, Fakultas Peternakan
4
Universitas Ekasakti, Fakultas Pertanian
*Korespondensi: emizasmeli@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh genetik pada itik lokal Pitalah dan Bayang
sebagai plasma nutfah Sumatera Barat, dalam hal pertumbuhannya, kualitas karkas, kandungan
kolesterol darah dan dagingnya serta perbandingan nilai ekonomis itik jantan sebagai pedaging.
Sebanyak 200 itik lokal jantan umur sehari (Day old duck) dipelihara sampai umur 12 minggu,
masing-masing jenis itik 100 ekor. Semua sampel diberi ransum dengan kandungan energi dan protein
yang sama, disesuaikan dengan kebutuhan masa pertumbuhannya. Setelah umur 12 minggu, 20 ekor
itik dari masing-masing jenis, di potong untuk diambil darah dan karkasnya, guna analisis kolesterol
darah dan daging, serta mendapatkan persentase karkas dan Income over feed cost (IOFC), kemudian
data dianalisis dengan uji-t . Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa produksi itik Pitalah
nyata lebih baik dibanding Bayang (P<0,05). Persentase karkas itik Pitalah 8,32% lebih tinggi
dibanding itik Bayang (P<0,05). Disamping itu, kandungan kolesterol darah dan daging itik Pitalah
juga nyata lebih rendah (P<0,05). IOFC dan biaya bibit itik umur pemotongan 8 minggu, lebh
menguntungkan dibanding pemotongan 12 minggu dengan penurunan IOFC dan bibit sebanyak 68%
untuk Pitalah dan 78% untuk Bayang. Itik Pitalah lebih berpotensi sebagai penghasil daging dengan
kandungan kolesterol yang rendah, dan hasil jual yang lebih tinggi, dibanding itik Bayang.

Kata kunci: plasma nutfah, itik lokal, sumatera barat, konservasi

Abstract
The influence of genetic type of local duck (Pitalah and Bayang) on growth performance, carcass
traits, cholesterol of blood and meat was assessed in 200 one-day-old male duck, for 12 weeks of age.
They were given iso calorie and isoprotein of diets, depend on the growth phase (Stater and Grower).
20 ducks from each breed were randomly chosen for blood serum and meat cholesterol analysis. The
data were analysed by t-test. The result showed that Pitalah had growth performance better than
Bayang (P<0,05), and Feed Consumption Ratio (FCR) followed the same trend. Pitalah ducks were
heavier (1466.46 g) than Bayang duck (1410.62 g). The carcass percentage of Pitalah also better
(P<0,05) 8,32% than Bayang.The income over feed and duck of duck at the age of 8 weeks is more
profitable than at the age of 12 weeks with the decreasing of IOFD 68% on Pitalah duck and 78% on
Bayang duck.Then, it is also found that Pitalah blood and meat cholesterol characteristics almost
better than Bayang (P<0,05). In conclusion, Pitalah duck as germplasm from West Sumatera has
better potential to develop as meat production for Conservation than Bayang.

Keywords: germplasm, pitalah, bayang, local duck, concervation

Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan biodiversitasnya. Ternak unggas lokal
menyumbangkan genetik diversiti yang besar terhadap perunggasan di dunia, hingga saat ini masih

193
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

memegang peranan penting bagi negara-negara berkembang, karena hampir 95% populasi ternak
yang ada merupakan ternak unggas lokal. Hal ini disebabkan karena ternak lokal umumnya sangat
mudah beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang beragam, dari yang sistem sederhana sampai
sistem modern, sehingga perlu kajian yang mendalam mengenai manfaat ternak lokal dan dalam
rangka konservasi. (Besbes et al., 2007). Alasan ini juga yang memungkinkan ternak itik untuk
dikembangkan dalam skala industri (Onba and Erdem, 2011).
Itik merupakan unggas akuatik anggota famili Anatidae, bersama angsa dan itik manila
(Muscovy duck). Diduga itik domestik yang kini sering ditemui di peternakan masyarakat merupakan
keturunan dari itik liar mallard (Anas platyrhinchos) yang banyak terdapat di belahan bumi utara.
Dampak migrasi dan perdagangan menjadikan unggas tersebut kini lazim ditemui di Asia, termasuk di
Indonesia (Kusumaningtyas et al., 2012).
Keputusan Mentan No.2923/Kpts/OT.140/6/2011 tentang penetapan rumpun itik Pitalah,
menjelaskan bahwa itik Pitalah merupakan salah satu rumpun itik lokal Indonesia yang mempunyai
sebaran asli geografis di Sumatera Barat dan telah dibudidayakan secara turun temurun. Berdasarkan
SK Mentan No. 2835/Kpts/LB.430/68/2012, Itik Bayang juga merupakan salah satu rumpun itik lokal
Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan,
Provinsi Sumatera Barat, dan telah dibudidayakan secara turun-temurun. Itik Pitalah dan Itik Bayang
merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan.
Upaya pelestarian dan pengembangan itik lokal harus diupayakan guna mempertahankan keberadaan
plasma nutfah ternak Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Due to high
growth rate and carcasses containing to great extent of tasty meat, ducks are an ideal species for meat
use (Ku and Adamski, 2015).
Kebutuhan akan protein hewani setiap tahun makin meningkat, seiring kesadaran masyarakat
akan pentingnya gizi yang baik, salah satu komoditi ternak yang dapat diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani adalah itik. Kesukaan masyarakat terhadap telur Itik semakin meningkat,
namun masyarakat masih penuh kekhawatiran untuk mengkonsumsi daging itik, sehingga
pemeliharaan itik jantan sebagai pedaging kurang optimal (Ismoyowati, 2008).
Salah satukunci sukses seorang peternak adalah produk yang dihasilkan. Untuk peternakan
itik jantan sebagai penghasil daging, maka rata-rata persentase karkas ternak harus diperhitungkan.
Jika persentase karkas tinggi, maka akan memberi keuntungan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Artinya, tingkat pertumbuhanyang tinggi akan menghasilkan persentase karkas yang lebih besar juga,
demikian juga halnya untuk ternak itik (Ku and Adamski, 2015).
Karakteristik pertumbuhan sangat berguna untuk mengetahui informasi performa produksi
ternak, seperti bobot badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat
kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen. Selengkapnya dijelaskan, bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ternak selain konsumsi pakan adalah jenis ternak, bangsa ternak, jenis
kelamin, tipe ternak dan manajemen pemeliharaan (Agustina, Iriyanti and Mugiyono, 2013).

194
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Percepatan pertumbuhan maksimum itik terjadi pada umur 4 – 10 minggu dan menurun cepat setelah
itu . Pendapat lain menyatakan bahwa peningkatan pertumbuhan itik Pegagan hanya terjadi sampai
umur 9 minggu, kemudian bobot badannya menurun (Brahmantiyo, Setioko and Prasetyo, 2003).
Selain pertumbuhan, kandungan kolesterol juga menjadi perhatian bagi masyarakat dalam
mengkonsumsi daging itik. Kolesterol adalah komponen lipid intergral yang sangat ditajuti karena
memberikan efek negatif terhadap kesehatan. Sehingga masyarakat sangat menghindari memakan
daging yang dianggap mengandung kolesterol tinggi (Li et al., 2005). Kandungan kolesterol dapat
dipengaruhi beberapa faktor, spesies, tipe serat daging, dan kandungan lemak otot (Thu et al., 2011).
Namun sebenarnya Kolesterol juga merupakan komponen penting dalam pembentukan membran dan
berguna sebagai prekursor dalam sintesis sejumlah hormon, vitamin D dan asam empedu. Kolesterol
dapat diproduksi oleh tubuh dari fungsi hati, namun akan meningkat jika makanan yang dikonsumsi
juga mengandung kolesterol seperti halnya bahan pangan asal uanggas, ikan, dan susu. Kolesterol
juga dibutuhkan tubuh untuk insulasi syaraf, namun seringkali kebutuhan kolesterol sudah dipenuhi
oleh tubuh, sehingga tidak dibutuhkan lagi dari makanan. (Ma, 2006). Cholesterol of blood, can be
affected by genetic and environment (Murray et al., 2000).

Materi dan Metode


Penelitian ini dilaksanakan di Kota Padang, dan pemeliharaan itik dimulai Februari hingga
akhir Mei tahun 2018. Penelitian ini menggunakan ternak itik jantan sebanyak 200 ekor yang terdiri
dari itik Pitalah sebanyak 100 ekor, dan itik Bayang sebanyak 100 ekor. Sampel dipelihara dalam
kandang Brooding selama se minggu, kemudian dipindahkan ke kandang grower sistem koloni hingga
umur 12 minggu. Pertambahan berat badan dan konsumsi ransum di timbang setiap minggu. Setelah
12 minggu, 20% dari sampel diambil darahnya untuk mendapatkan serumnya guna mengukur
kandungan kolesterol darah. Kemudian itik dipotong untukmendapatkan data persentase karkas itik
jantan Pitalah dan Bayang. Kedua kelompok data dibandingkan dengan menggunakan aalisis statistik
Uji-t. Ransum yang diberikan terdiri dari campuran konsentrat, jagung giling dan dedak untuk
menjamim keseragaman nutrisi ransum selama penelitian, serta disesuaikan dengankebutuhan
berdasarkan fase pertumbuhannya dengan isoprotein dan isokalori, seperti terlihat pada Tabel 1 dan
Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan zat- zat makanan bahan-bahan ransum


Zat makanan Dedak halus Jagung Konsentrat
Bahan kering(%) 90,70 91,29 89,63
Protein kasar (%) 11,19 8,60 31,00
Serat kasar (%) 17,63 3,37 5,00
Lemak kasar (%) 4,00 2,60 3,00
ME (kkal/kg) 1630 3420 2600
Sumber: Suhaemi, Abbas and Uddin (2016)

195
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum penelitian berdasarkan umur itik.


Kandungan nutrisi 0 – 4 minggu 5 – 12 minggu
Protein Kasar (%) 18,20 16,14
Lemak kasar (%) 3,14 3,11
Serat Kasar (%) 8,14 8,02
ME (Kkal/Kg) 2629,00 2685,00
Keterangan: dihitung berdasarkan Tabel 1.

Hasil Dan Pembahasan


Tabel 3 memperlihatkan rataan berat badan umur 12 minggu, PertambahanBerat Badan
(PBB) dan konversi ransum. Hasil tersebut terlihat, bahwa berat badan umur 12 minggu itik Pitalah
lebih tinggi dibanding Bayang, hasil uji-t menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Demikian juga
halnya dengan hasil PBB dan Konversi ransum, memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya pada itik Alabio, konversi ransum adalah 8,8 pada umur
10 minggu, artinya hasil penelitian ini lebih rendah konversi ransumnya, demikian juga penelitian
lainnya dengan itik Cihateup, dengan hasil konversi ransum 8,92 (Randa et al., 2007).

Table 3. Rataan berat badan, PBB dan Konversi ransum itik jantan lokal umur 12 minggu.
Variabel Pitalah Bayang
Berat badan umur 12 minggu (gram) 1436,27±67,5a 1400,71±104,0b
PBB (gram) 1397,81±65,7a 1361,87±102,6b
Konversi ransum 6,51 ± 0,3a 6,71 ± 0,5b

Penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa maksimum pertumbuhan itik adalah pada umur 4
sampai 10 minggu, kemudian akan menurun. Namun penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan
berat badan maksimum adalah pada umur itik 9 minggu (Brahmantiyo, Setioko and Prasetyo, 2003).
Pendapat lain menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan aksi dari gen aditif dan non aditif,
termasuk adanya kemungkinan gen yang bersifat dominan atau epistasis. Rataan berat badan yang
berbeda antara itik Pitalah dan Bayang, memberikan indikasi bahwa adanya sifat heterosis, sehingga
diduga bahwa produksi daging besar dipengaruhi oleh aksi gen yang bersifat aditif(Noor, 2010).
Guna menunjang produksi yang disukai masyarakat dan tidak memunculkan kekhawatiran
dalam mengkonsumsi daging itik lokal, juga dilakukan analisis terhadap kandungan kolesterol darah
dan daging (bagian dada), yang juga meliputi kolesterol-HDL dan LDL serta kandungan trigliserida,
yang digambarkan pada Tabel 4.
Rataan kolesterol darah itik Pitalah adalah 162,70 ml/dl, nyata lebihrendah (P<0,05)
dibanding itik Bayang yaitu 177,54 ml/dl, namun kandungan kolesterol daging itik Pitalah dan
Bayang tidak berbeda nyata (20,12 mg/100g dan 20,05 mg/100g). Rataan kandungan trigliserida
darah itik Pitalah adalah 111,54 ml/dl, nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding itik Bayang (106,82
ml/dl). Hasil ini tidak sebagaimana data yang diperoleh oleh Wijaya, Ismoyowati and Saleh ( 2013),

196
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

bahwa kandungan kolesterol darah itik lokal di Magelang berkisar antara136.7 mg/dl dan 203 mg/dl,
serta kandungan trigliserida darah itik berkisar antara 293.33 mg/dl dan 753.34 mg/dl. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan kolesterol besar kemungkinan juga dipengaruhi oleh genetik selai
lingkungan(Murray et al., 2000). Meskipun kandugan trigliserida itik Pitalah nyata lebih tinggi,
namun kandungan trigliserida dagingnya justru nyata lebih rendah dibanding itik Bayang (P<0,05).

Tabel 4. Rataan kandungan kolesterol darah (ml/dl) dan daging (mg/100g)


Pitalah Bayang
Variabel
Darah Daging Darah Daging
Cholesterol 162,70±3,73a 20,12±1,48 177,54±8,88b 20,05±1,69
Triglycerides 111,54±6,73a 43,73±2,44a 106,82±5,47b 67,36±7,50b
LDL 57,32 ±5,49a 5,46 ± 1,95a 65,44 ±10,19b 2,92 ± 0,64b
HDL 78,29 ±6,69 4,03 ±1,52 85,50 ±12,49 3,67 ±1,00

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa kandungan Kolesterol LDL itik Pitalah nyata lebih tinggi
(P<0,01)dibanding Bayang, sama halnya dengan hasil kolesterol. Namun hal ini diimbangi dengan
kandungan kolesterol-HDL yang juga lebih tinggi, meskipun tidak berbeda nyata (P>0,05). Kolesterol
bisa memberi efek positif maupun negatif. HDL adalah kolesterol baik, sedangkan LDL adalah
kolesterol buruk (Ma, 2006). Konsentrasi kolesterol daging unggas, dipengaruhi oleh bermacam
faktor, seperti spesies, tipe serat daging dan kandungan lemaknya (Thu et al., 2011).
Pertumbuhan pada penelitian ini diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot hidup sejak
menetas (DOD) sampai dewasa kelamin. Rata-rata bobot badan, persentase karkas dan lemak
abdominal dari itik lokal sampai umur 12 minggu seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata bobot badan, persentase karkas dan lemak abdominal


Pitalah Bayang
Variabel t-hit
Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev
Umur 8 Minggu
Bobot badan (gram) 1335,06 115,52 1316,51 33,16 0,31
% B Karkas 62,64 2,32 62,79 1,78 0,43
% B Lemak Abdominal 0,46 0,37 0,30 0,28 0,18
Umur 12 minggu
Bobot badan (gram) 1466,46 60,93 1410,62 59,39 0,03
% B Karkas 64,91 3,03 64,09 2,24 0,25
% B Lemak Abdominal 1,00 0,28 0,64 0,39 0,01

Nilai ekonomis ternak biasanya dilihat berdasarkan harga jual per bobot badan.Sebagai ternak
pedaging, konsumen akan melihat persentase karkasnya, makan tinggi nilainya maka akan lebih
menguntungkan. Tabel 5 menggambarkan bahwa bobot badan itik Pitalah umur 8 minggu lebih tinggi
dibanding itik Bayang, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun secara bobot
karkas ternyata itik Bayang lebih tinggi. Persentase bobot karkas itik Bayang (62,79%) lebih tinggi
dibanding itik Pitalah, namun tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan persentase lemak

197
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

abdominal itik Pitalah yang lebih tinggi (0,46 %) dibanding itik Bayang (0,30 %). Kualitas karkas dan
daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah genetik, jenis kelamin, umur dan pakan
(Matitaputty, 2012).
Jika dibandingkan dengan pemotongan umur 12 minggu, dari segi bobot badan terdapat
peningkatan, demikian juga dalam hal persentase bobot karkas, baik itik Pitalah maupun itik Bayang.
Bobot badan itik Pitalah umur 12 minggu nyata lebih tinggi dibanding itik Bayang (P<0,05),
sedangkan persentase karkas itik Pitalah umur 12 minggu lebih tinggi dibanding itik Bayang. Hal ini
berbeda dengan data yang dihasilkan pada umur pemotongan 8 minggu.Agustina, Iriyanti and
Mugiyono, ( 2013), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak selain
konsumsi pakan adalah jenis ternak, bangsa ternak, jenis kelamin, tipe ternak dan manajemen
pemeliharaan.
Bobot potong dan karkas ternak unggas sangat dipengaruhi umur pemotongan ternak,Hasil
penelitian (Matitaputty, 2012), bahwa persentase karkas unggas meningkat selama pertumbuhan,
perambahan umur dan kenaikan bobot badan. Ditambahkannya, bahwa perbandingan bobot karkas
terhadap bobot hidup indikator terbaik yang digunakan sebagai ukuran produksi daging pada ternak
unggas.
Hasil penghitungan nilai ekonomis itik sebagai pedaging yang dipotong umur 8 dan 12
minggu, dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai ekonomis unggas pedaging dapat dilihat berdasarkan
kemampuan ternak menghasilkan daging yang dapat dikonsumsi, yang biasa disebut karkas.

Tabel 6. Rata-rata IOFC dan biaya bibit per ekor


Umur 8 minggu Umur 12 Minggu
Variabel
Pitalah Bayang Pitalah Bayang
Biaya ransum (Rp) 26.183,03 25.453,03 48.527,03 47.797,03
Biaya bibit (Rp) 5.000,00 5.000,00 5.000,00 5.000,00
Harga jual (Rp) 53.402,40 52.660,40 58.658,40 56.424,80
IOFC (Rp) 22.219,37 21.447,37 5.131,37 2.897,77

Biaya ransum pada pemeliharaan itik Pitalah, lebih besar dibanding itik Bayang. Hal ini
sejalan dengan bobot badan yang dihasilkan (Tabel 2). Jumlah ransum yang diberikan pada umur 4
sampai 12 minggu, sama untuk kedua jenis itik, karena itik diberikan pakan 2 kali sehari dengan
jumlah yang sama 150 g per ekor per hari. Biaya ransum dihitung berdasarkan biaya ransum
perkilogram untuk fase stater (1-4 minggu) sebesar Rp. 5.600,-, dan fase grower (5-12 minggu)
sebesar Rp. 5.320,-harga saat penelitian berlangsung. Nilai jual per ekor itik, mengikuti standar
Nasional berdasarkan bobot hidup, dengan standar penghitugan harga per kilogram Rp. 40.000,-.
Tabel 6 menggambarkan bahwa pemotogan umur 8 minggu adalahyang lebih ekonomis untuk
mendapatkan keuntungan yang optimal dibandingkan pemotongan umur 12 minggu. Sebagaimana
pendapatBrahmantiyo, Setioko and Prasetyo, (2003), bahwa percepatan pertumbuhan maksimum itik
terjadi pada umur 4 – 10 minggu dan menurun cepat setelah itu.

198
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

Keuntungan berdasarkan biaya ransum dan bibit atau IOFC pada itik Pitalah lebih tinggi (Rp.
22.219,37) dibanding itik Bayang (Rp. 21.447,37), yaitu pada pemotongan umur 8 minggu. Meskipun
persentase karkas itik umur 12 minggu meningkat (Tabel 2), namun IOFC yang dihasilkan jauh lebih
rendah dibanding pemotongan umur 8 minggu. Biaya pakan adalah bagian biaya produksi yang
memiliki proporsi tinggi, sehingga IOFC dapat dijadikan tolok ukur tingkat keuntungan yang berarti
berhubungan dengan nilai ekonomis ternak.

Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa itik Pitalah jantan lebih berpotensi sebagai
ternak itik pedaging. Hal ini disebabkan karena memiliki kandungan Kolesterol dan daging yang lebih
baik. Nilai ekonomis itik Pitalah lebih baik dibanding Bayang sebagai itik pedaging, karena
memberikan Income over feed and duck cost (IOFDC) lebih baik. Sedangkan berdasarkan umur
pemotongan, IOFDC umur 8 minggu lebih menguntungkan dibanding 12 minggu, disebabkan terjadi
penurunan IOFDC 77% pada itik Pitalah dan 87% pada itik Bayang. Itik Pitalah dapat sebagai ternak
unggas pedaging, untuk mendukung ketahanan pangan.

Ucapan Terima Kasih


Terimakasih diucapkan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementrian Riset,
Teknologi,dan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, atas hibah
penelitian Strategi Nasional Tahun Anggaran 2018.

Daftar Pustaka
Agustina, D., Iriyanti, N. and Mugiyono, S. (2013) Growth and Feed Intake of Various Types of
Female Local Ducks Whose Feed is Suplemented with Probiotic, Jurnal Ilmiah Peternakan.
Available at: http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=117426&val=5351.
(Diakses 26 September 2018)
Besbes, B. et al. (2007) Future trends for poultry genetic resources. Rome, Italy: Food and
Agriculture Organitation of The United Nations.
Brahmantiyo, B., Setioko, A. R. and Prasetyo, L. H. (2003) ‗Pegagan duck characteristics as resource
of Indonesian plasma nutfah.‘, in Prociding of National Seminar on Animal Husbandry and
Veterinary Technology. Bogor: Centre for Research and Development of Animal Husbandry.
Ismoyowati (2008) ‗Study on detection of egg production of Tegal ducks through blood protein
polimorphism‘, Animal Production, 10(2), pp. 122–128.
Ku, J. and Adamski, M. (2015) ‗Comparison of Growth Rate and Body Weight of Ducks of Different
Origins‘, Acta Sci. Pol. Zootechnica, 14(3), pp. 97–106.
Kusumaningtyas, P. et al. (2012) Itik, Potensi Bisnis dan Kisah Sukses Praktisi. Bogor: Penebar
Swadaya.
Li, D. et al. (2005) ‗Lean meat and heart health‘, Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 14(2), pp.
113–119.
Ma, H. (2006) ‗Cholesterol and Human Health‘, The Journal of American Science, 2(1), pp. 46–50.
Matitaputty, P. R. (2012) Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan
antara itik cihateup dengan itik alabio. Bogor: Disertasi Pascasarjana IPB.
Murray, K. R. et al. (2000) Harper’s Biochemistry 20th Ed. USA: Appleton and Lange.
Onba, E. E. and Erdem, E. (2011) ‗Body weight and body measurements of male and female Pekin

199
Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

ducks obtained from breeder flocks of different age‘, 75(4), pp. 268–272.
Randa, S. et al. (2007) ‗Decreased Off-Odor Cihateup duck meat by antiocidant Suplementation
Antioksidan.‘, in Proceeding of National Seminar on Animal Husbandry and Veterinary.
Bogor: Agency for Agricultural Research and Development.
Suhaemi, Z., Abbas, M. H. and Uddin, Z. (2016) ‗Potency of Local Duck in West Sumatera for Food
Security‘, GRJA, 5(10), pp. 2015–1016. doi: 10.15373/22778160.
Thu, T. N. et al. (2011) In: Mallory Boylan. Comprehensive Reviews in Food Science and Food
Safety. Australia: John Wiley & Sons, Inc .

200

Anda mungkin juga menyukai