Sasaran terukur KEN tahun 2025 dan 2050 hanya berfokus kepada total
penyediaan energi primer, energi primer per kapita, kapasitas pembangkit listrik, listrik
per kapita, elastisitas dan intensitas energi, dan bauran energi primer. KEN juga
mengatur sasaran terukur jangka pendek (2015 dan 2020) khususnya terkait dengan rasio
elektrifikasi tahun 2015 dan 2020, serta rasio penggunaan gas untuk rumah tangga tahun
2015. Selain itu, KEN juga mengatur kebijakan yang tidak terukur, seperti konservasi
energi, diversifikasi energi, penghentian ekspor batubara dan gas bumi, kendaraan
listrik, gasifikasi dan likuifaksi batubara, infrastruktur energi, keekonomian energi,
industri energi nasional, pendanaan, emisi GRK, hidrogen untuk transportasi, cadangan
energi, dan lainnya. Berbagai sasaran KEN tersebut harus dipertimbangkan dalam
Penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) oleh Pemerintah, paling lambat 1
(satu) tahun setelah penetapan KEN. Selanjutnya, RUEN akan dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN).
Penemuan minyak, gas, dan batu bara, serta konversinya menjadi listrik, semakin
mengubah perjalanan peradaban manusia, kaitannya dengan energi. Saat ini istilah
energi tak hanya melulu tentang pemanfaatan langsung panas (memasak, penghangat di
negara empat musim, dan industri pengolahan) tetapi juga peralihannya menjadi gerakan
(transportasi) atau listrik (mesin produksi, rumah tangga, kebutuhan komersial,
pelayanan publik, dan transportasi). Energi dalam berbagai bentuknya merupakan
penggerak aktivitas setiap insan, tanpa kecuali. Mengingat manfaat energi yang sifatnya
menyeluruh pada diri manusia, baik sebagai individu, masyarakat, entitas bisnis,
maupun penyelenggara pemerintahan, maka pemenuhan energi bagi semua kalangan
merupakan pekerjaan rumah besar bagi peradaban global masa kini yang telah terbagi ke
dalam ratusan negara dan puluhan kelompok kerjasama lintas negara. Realitas tersebut
menjadikan energi sebagai komoditas yang tidak bisa dipisahkan dengan sektor
kehidupan lainnya, seperti politik, pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan
budaya, serta tentu saja, lingkungan.
Kebijakan Energi Nasional memiliki empat sasaran utama untuk energi primer
tahun 2025-2050. Sasaran ini bertujuan untuk memperluas ketersediaan energi ke
masyarakat dan dengan demikian akan memperluas peluang ekonomi dan kualitas
hidup: 1) Meningkatkan pasokan energi primer menjadi 400 Mtoe pada tahun 2025 dan
1.000 Mtoe pada tahun 2050. 2) Memperluas pemanfaatan energi primer per kapita
menjadi sekitar 1,4 ton ekuivalen minyak pada tahun 2025 dan 3,2 ton ekuivalen minyak
pada tahun 2050. 3) Mencapai kapasitas pembangkitan 115 GW pada tahun 2025 dan
430 GW pada tahun 2050; dan 4) Mencapai pemanfaatan listrik per kapita 2.500 KWh
pada tahun 2025 dan 7.000 KWh pada tahun 2050.
Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mewajibkan PT PLN untuk membeli daya
yang dihasilkan dari pabrik fotovoltaik, biomassa, dan pabrik limbah, pembangkit listrik
tenaga air dan pembangkit panas bumi. Harga beli listrik dari pembangkit listrik
terbarukan ditentukan oleh teknologi yang dipakai dalam produksinya. Efisiensi
teknologi energi terbarukan bervariasi. Dalam kasus tenaga surya fotovoltaik, misalnya,
efisiensi sangat bergantung pada tingkat radiasi matahari dan kondisi cuaca di suatu
wilayah. PT PLN membuka tender saat membeli energi terbarukan dan menetapkan
kuota kapasitas. Harga energi terbarukannya ditentukan dengan membandingkan biaya
produksi regional.
Peraturan Pemerintah No. 3/2015 mencakup tiga mekanisme pengadaan: (i)
penetapan langsung, (ii) seleksi langsung dan (iii) tender terbuka. Proses bisnis untuk
pengadaan pengangkatan langsung adalah 30 hari, sedangkan 45 hari untuk pengadaan
seleksi langsung dan dalam waktu 321 hari menggunakan tender terbuka. Produsen
listrik independen harus melewati beberapa tahap dalam proses bisnis, mulai dari
prakualifikasi sampai finalisasi kontrak seperti pada gambar dibawah ini.
Sementara itu, dari sisi energi terbarukan sendiri, terdapat teknologi yang
komponennya masih impor. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) misalnya,
meskipun usia panel surya dapat mencapai 25 tahun, komponen lainnya hanya berusia 3-
10 tahun. Artinya untuk mengimbangi masa hidup panel surya, dibutuhkan penggantian
komponen secara rutin. Sayangnya hampir seluruh komponen tersebut merupakan
komoditas impor, meskipun dalam bentuk barang setengah jadi. Padahal, jika melihat
nilai impor sel surya dan panel surya yang mencapai lebih dari USD 30,5 juta pada
2017; USD 48,5 juta pada 2018; dan USD 28,4 juta pada 2019, maka bisnis pembangkit
energi surya sesungguhnya berpotensi untuk dikembangkan di dalam negeri.
Seyogyanya, peralihan menuju energi terbarukan harus ditempuh dengan lebih serius
oleh semua pihak, mengingat energi terbarukan yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia.
Transisi menuju energi terbarukan tidak seharusnya dilihat dari sisi pasokan saja,
yang identik dengan proses pembangkitan (potensi sumber energi, desain, dan
pembangunan), tetapi juga di sisi permintaan, di mana sisi tersebut terdapat faktor yang
sangat dinamis: sosial, yakni manusia dan masyarakat. Di berbagai lokasi
pengembangan energi terbarukan, faktor sosial dapat menjadi faktor penentu kesuksesan
atau sebaliknya justru sebagai sebab utama kegagalan. Hal tersebut terjadi karena sifat
pengembangan energi terbarukan skala masyarakat yang berbeda dengan sistem energi
terpusat, seperti misalnya yang dilakukan di Pulau Jawa. Sistem energi terpusat adalah
sistem energi yang dibangkitkan dalam skala besar di sebuah lokasi tertentu, kemudian
listriknya didistribusikan ke pengguna melalui sistem distribusi yang kompleks dan
sangat panjang. Pembangkitnya boleh jadi dimiliki oleh swasta, namun distribusinya
dimonopoli oleh negara melalui PT PLN (Persero), sebagai upaya negara agar harga
energi tetap terjangkau oleh masyarakat.
Faktor manusia dan masyarakat menjadi penentu karena sistem energi terbarukan
yang sifatnya lokal berarti mengalihkan proses pembangkitan dan distribusi listrik serta
pembayarannya, kepada masyarakat setempat: dari, oleh, dan untuk masyarakat. Begitu
pula dengan operasional dan pemeliharaan listrik, yang pada sistem energi terpusat
dikendalikan oleh PLN, menjadi dilakukan oleh masyarakat sendiri. Sisi positifnya,
sistem energi terbarukan lokal berarti memunculkan bisnis baru berupa penyediaan jasa
energi. Namun menggunakan listrik dari sistem energi terbarukan lokal hanya untuk
konsumsi rumah tangga saja sesungguhnya tidak cukup, jika tanpa dimanfaatkan lebih
luas di bidang lain, seperti misalnya meningkatkan layanan pendidikan, administrasi
kependudukan di tingkat desa, atau kesehatan; menguatkan kohesi sosial melalui
layanan listrik untuk tempat ibadah atau fasilitas umum lain; serta menggunakan listrik
untuk bisnis baru untuk meningkatkan nilai tambah produk setempat.
Lauranti Maria dan Djamhari Eka Afrina. 2017. Transisi Energi yang Setara di
Indonesia: Tantangan dan Peluang. Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2020. Rencana Strategis (Renstra)
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen
EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2020-2024.
Jakarta Pusat
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2020. Transisi Energi Mutlak
Diperlukan. Siaran Pers. Nomor: 311.Pers/04/Sji/2020
Wahid La Ode Muhammad Abdul. 2017. Analisis Kebijakan Energi Nasional Sebagai
Produk Kebijakan Transisi Energi Indonesia. Jurnal Energi dan Lingkungan
Vol. 13, No. 1
Wardhana Ahmad Rahma dan Marifatullah Wening Hapsari. 2020. Transisi Indonesia
Menuju Energi Terbarukan. Jurnal Tashwirul Afkar Vol. 38, No. 02.