Anda di halaman 1dari 91

BLOK 10

Trauma Gigi Anterior


KELOMPOK 1

Nama Fasilitator : Hendra Polii. drg., Sp.RKG


Ketua : Audrie Inges Safira Jaya 1990014
Sekretaris : Joanne Yolanda 1990044
Anggota : Michelle Vanessa Winaryo 1990006
Edith Gian Ania Kiding 1990023
Pitri Ayu Puspitasari 1990025
Aldrian Christiandho Julianto 1990037
Joanne Yolanda 1990044
Yeserika Lindani 1990061
Anggun Puji Rahmawati 1990063
Fransesco Ariesto Prakoso Angga Sucipto 1990070
Feby Rahmadiatul Asvi 1990082
Santa Ezra Greace 1990084

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa
oleh karena berkat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul "Trauma Gigi
Anterior”.

Makalah ini kami buat sebaik yang kami bisa, dengan harapan dapat berguna
di kemudian hari serta dapat menjadi sumber pembelajaran bagi pembaca. Makalah
ini membahas mengenai cara berkomunikasi antara dokter dan pasien dengan baik
dan benar.

Akhir kata, kami sebagai tim penyusun menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat dibuat
dengan baik. Semoga makalah ini dapat membantu pembelajaran dan menjadi
manfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Bandung, 11 November 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 23

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 23

1.2 Terminologi ............................................................................................... 24

1.3 Identifikasi Masalah .................................................................................. 24

1.4 Analisis Masalah ....................................................................................... 25

1.5 Hipotesis.................................................................................................... 27

1.6 Tujuan Pembelajaran ................................................................................. 27

BAB II ISI ............................................................................................................ 28

2.1 Klasifikasi Fraktur gigi ............................................................................. 28

2.2 Menjelaskan Tentang Fracture Complicated ........................................... 29

2.3 Perawatan Pada Kasus Gigi Fracture Complicated .................................. 31

2.4 Pemeriksaan Cedera Gigi dan Mulut Karena Trauma .............................. 35

2.5 Konsekuensi Trauma Gigi Sulung Terhadap Gigi Permanen ................... 41

2.6 Bahan Restorasi Untuk Kasus Fraktur Gigi Anterior ............................... 42

2.7 Definisi Trauma dan Etiologi Fraktur Gigi ............................................... 48

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 49

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 50

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ...................................................................................................... 29

Gambar 2.2 ...................................................................................................... 30

Gambar 2.3 ...................................................................................................... 31

Gambar 2.4 ...................................................................................................... 32

Gambar 2.5 ...................................................................................................... 33

Gambar 2.6 ...................................................................................................... 34

Gambar 2.7 ...................................................................................................... 35

Gambar 2.8 ...................................................................................................... 35

Gambar 2.9 ...................................................................................................... 35


Gambar 3.0 ...................................................................................................... 37
Gambar 3.1 ...................................................................................................... 37
Gambar 3.2 ...................................................................................................... 44
Gambar 3.3 ...................................................................................................... 47
Gambar 3.4 ...................................................................................................... 48

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penatalaksanaan trauma pada gigi dan jaringan pendukung pada anak-anak


seringkali menyulitkan bagi anak, orangtua, maupun dokter gigi sendiri. Trauma
pada gigi dan jaringan pendukungnya merupakan salah satu bagian ilmu kedokteran
gigi yang dikategorikan sebagai situasi kegawatdaruratan. Kedaruratan pasien
trauma pada anak merupakan suatu hal yang wajib ditindaklanjuti oleh dokter gigi
secara seksama. Trauma ini dapat mempengaruhi kondisi gigi sulung maupun gigi
permanen anak, sehingga memerlukan perhatian lebih khusus.

Insiden cedera gigi traumatik cukup tinggi dan lebih sering terjadi pada gigi
permanen daripada gigi sulung. Di antara semua jenis cedera, fraktur mahkota
paling umum di mana sekitar 58,6% berada pada orang dewasa.

Penyebab tersering dari cedera ini adalah jatuh, aktivitas olah raga, bersepeda,
tempat rekreasi, kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.

Faktor predisposisi trauma gigi dapat dikaitkan dengan bentuk anatomi


seseorang seperti over jet, leap seal negatif, protusif pada gigi anterior atas, dll.

Fraktur mahkota dapat terjadi pada sepertiga insisal , sepertiga tengah atau
sepertiga gingiva di mana fraktur memanjang di bawah cemento-enamel junction
membutuhkan pendekatan perawatan multidisipliner.

Pendekatan konvensional untuk merehabilitasi gigi anterior yang patah


termasuk restorasi, penatalaksanaan fraktur secara umum dan pemilihan bahan
restorasi yang baik sangat penting dalam perawatan trauma gigi anterior sehingga
fungsi dan estetik tidak terganggu.

23
1.2 Terminologi

1. Overjet : Jarak horizontal antara gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah
pada keadaan oklusi, yang diukur pada ujung incisal insisivus rahang atas
(Repository UNIMUS)
2. Leap seal : Saat otot ekspresi wajah dalam posisi rileks dan mandibula dalam
postur istirahat membuat bibir berkontak satu sama lain saat istirahat (Soft
Tissue Morphology)
3. Protusif: gigi yang mengalami ekstensi di luar batas normal, atau diatas bidang
datar, atau keadaan terdorong ke depan atau ke samping, seperti pada gerakan
mandibula saat mengunyah (Dorland)
4. Complicated crown fracture : Fraktur gigi sulung melibatkan pulpa dan meluas
hingga ke bawah margin gingiva (Handbook of Pediatric Dentistry)
5. Vulnus laceratum : Luka robek yang terjadi akibat kekerasan yang hebat
sehingga memutuskan jaringan (Repository poltekkes Kemenkes Palembang)
6. Fraktur oblique : fraktur yang arahnya miring. (Medical dictionary)
7. Uncomplicated Crown Fracture : Fraktur yang terdapat pada enamel atau
melibatkan enamel dan dentin, tetapi tidak mengekspos pulpa. (An overviews iew
of classification of dental trauma)
8. Radiografi Periapikal : teknik pencitraan intraoral yang umum digunakan
dalam radiologi dan dapat menjadi komponen pemeriksaan radiologis.
Radiografi periapikal memberikan informasi penting tentang gigi dan tulang di
sekitarnya. (Jurnal university of oklahoma)

1.3 Identifikasi Masalah

1. Bahan apa yang digunakan oleh dokter gigi dalam skenario tersebut?
2. Apa saja faktor penyebab trauma gigi anterior ?
3. Sebutkan apa saja klasifikasi dental trauma gigi anterior ?

24
4. Pada skenario apa perbedaan complicated dan uncomplicated fracture crown
?
5. Apa penyebab terjadinya cedera trauma ?
6. Apa saja perawatan yang bisa dilakukan untuk trauma gigi anterior ?
7. Pada pendahuluan tertulis membutuhkan pendekatan perawatan
multidisipliner, apa yang dimaksud dengan perawatan multidisipliner ?
8. Mengapa pada saat datang ke Dokter gigi pertama kali tidak langsung
ditambal kedua giginya ?
9. Apa saja tanda dan gejala trauma gigi ?
10. Apakah trauma tersebut bisa di restorasi dengan menggunakan GIC ?

1.4 Analisis Masalah

1. Resin komposit
2. Berikut faktor penyebab trauma gigi

a. Latar belakang sosio ekonomi mempunyai dampak terhadap fraktur


gigi, pada anak – anak subpopulasi sosioekonomi rendah sering
terjadi cedera. Keadaan sosioekonomi rendah berhubungan dengan
pengawasan yang tidak memadai dan kurangnya edukasi untuk
pencegahan terjadinya trauma.
b. Alat orthodonsi dapat menimbulkan luka pada jaringan lunak saat
terjadinya trauma, biasanya terjadi pada daerah bibir dan gingiva.
c. Masalah medis yang bersifat akut seperti kejang, stroke, dan
serangan jantung dapat menimbulkan trauma gigi saat pasien
terjatuh

3. Menurut Ellis and Davey (1970)

a. Kelas 1 : fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan


jaringan enamel
b. Kelas 2 : fraktur mahkota yang lebih luas dan telah melibatkan
jaringan dentin tetapi belum mencapai pulpa

25
c. Kelas 3 : fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan
telah menyebabkan pulpa terbuka
d. Kelas 4 : trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non
vital dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
e. Kelas 5 : trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau
avulsi
f. Kelas 6 : fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur
mahkota
g. Kelas 7 : perubahan posisi atau displacement gigi (Luksasi, Intrusi,
Ekstrusi)
h. Kelas 8 : trauma yang menyebabkan fraktur mahkota yang besar
pada gigi (total destruction) tetapi gigi tetap pada tempatnya dan
akar gigi tidak mengalami perubahan.
i. Kelas 9 : semua kerusakan pada gigi sulung akibat trauma. k
4. Uncomplicated crown fracture melibatkan fraktur pada enamel, dentin tetapi
tidak melibatkan pulpa, sedangkan complicated crown fracture melibatkan
fraktur pada enamel, dentin dan pulpa
5. Jatuh, aktivitas olahraga, bersepeda, tempat rekreasi, kekerasan dan
kecelakaan lalu lintas
6. Berikut perawatan yang bisa dilakukan menurut kelasnya.
a. Kelas I : Smoothing, restorative adhesive
b. kelas 2 : Pemberian Ca(OH)2, restorasi
c. kelas 3 : direct pulp capping, pulpotomi, pulpektomi
d. kelas 4 : devitalisasi pulpektomi, pulpektomi, apeksifikasi bila apeks
belum sempurna
e. kelas 5 : gigi sulung; tidak dirawat
f. kelas 6 : splin sementara, ekstraksi fu space maintainer
g. kelas 7 dan 8 : reposisi dan ekstraksi

26
7. multidisipliner : mengacu pada tim dimana sejumlah orang atau idividu dari
berbagai disiplin ilmu terlibat dalam suatu proyek namun masing - masing
individu bekerja secara mandiri
8. pertimbangan karena trauma gigi anak pada skenario yg jatuh kena lantai.
dan fkatur gigi 11 yang oblique sampai ke pulpa
9. nyeri gigi seperti berdenyut tajam, atau konstan; bengkak di sekitar gigi;
demam atau sakit kepala; rasa sakit pada gigi yang terinfeksi.

10. Bisa dengan GIC tipe I (luting)

1.5 Hipotesis

Sebagai dokter gigi/calon dokter gigi kita perlu mengetahui penatalaksanaan


dan pemilihan bahan restorasi yang baik dan tepat untuk permasalahan trauma
pada gigi agar fungsi serta estetik pada gigi tidak terganggu

1.6 Tujuan Pembelajaran

1. Klasifikasi fraktur gigi


2. Menjelaskan tentang fracture complicated
3. Perawatan pada kasus gigi fracture complicated
4. Pemeriksaan cedera gigi dan mulut karena trauma
5. Konsekuensi trauma gigi sulung terhadap gigi permanen
6. Bahan restorasi untuk kasus fraktur gigi anterior
7. Definisi trauma dan etiologi fraktur gigi

27
BAB II

ISI

2.1 Klasifikasi Fraktur Gigi


Pada tahun 1950, G.E. Ellis adalah orang pertama yang mempromosikan
klasifikasi universal dari cedera gigi. Cedera gigi diklasifikasikan melalui
berbagai faktor, seperti etiologi, anatomi, patologi atau pertimbangan terapeutik.

1. Klasifikasi ELLIS (1970)


a. Kelas I : Fraktur mahkota sederhana dengan sedikit atau tanpa dentin
yang terkena.
b. Kelas II : Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang
cukup besar, tetapi pulpa tidak terkena.
c. Kelas III : Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin dan
pulpa yang cukup besar.
d. Kelas IV : Gigi yang mengalami trauma menjadi non-vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur gigi.
e. Kelas V : Gigi hilang akibat trauma.
f. Kelas VI : Fraktur akar dengan tanpa kehilangan struktur mahkota.
g. Kelas VII : Pergeseran gigi tanpa fraktur akar maupun mahkota.
h. Kelas VIII : Fraktur mahkota lengkap dan penggantiannya.
i. Kelas IX : Cedera traumatis pada gigi sulung.
2. Klasifikasi ELLIS dan DAVEY (1970)
a. Kelas I : Fraktur sederhana pada makota yang melibatkan sedikit
atau tanpa dentin.
b. Kelas II : Fraktur mahkota yang luas, melibatkan dentin yang cukup
besar, tetapi bukan pulpa.
c. Kelas III : Fraktur mahkota yang luas melibatkan dentin yang cukup
besar, dan pulpa gigi terbuka.

28
d. Kelas IV : Gigi yang mengalami trauma menjadi non-vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur mahkota.
e. Kelas V : Kehilangan gigi karena trauma.
f. Kelas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
g. Kelas VII : Pergeseran gigi-tanpa fraktur mahkota atau akar.
h. Kelas VIII : Fraktur Mahkota.
3. Klasifikasi MCDONALD (2004)
a. Kelas I : Fraktur sederhana pada mahkota yang melibatkan
sedikit atau tanpa dentin.
b. Kelas II : Fraktur mahkota yang luas yang melibatkan banyak
dentin tetapi tidak mengenai pulpa gigi.
c. Kelas III : Fraktur mahkota yang luas dengan terbukanya pulpa gigi.
d. Kelas IV : Hilangnya seluruh mahkota.

2.2 Menjelaskan Tentang Fracture Complicated

Gambar 2.1 Fraktur gigi 21 menunjukkan keterlibatan email, dentin dan pulpa.

Fraktur mahkota yang melibatkan email, dentin dan pulpa disebut sebagai
complicated crown fracture.

Gambar 2.2 Complicated tooth fracture yang melibatkan email, dentin dan pulpa.

29
a. Insiden

Fraktur jenis ini terjadi pada 2-13 % dari semua cedera gigi.

b. Konsekuensi Biologis

Luasnya fraktur membantu menentukan perawatan pulpa dan kebutuhan


restoratif. Derajat keterlibatan pulpa dapat bervariasi dari paparan titik hingga
pembukaan total kamar pulpa. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan nekrosis
pulpa. Awalnya kontaminasi bakteri pada pulpa menyebabkan penyembuhan dan
perbaikan, tetapi jika kontaminasi lebih lanjut terjadi dan tidak ada perawatan yang
diberikan, terjadi peradangan pada pulpa.

c. Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan mengevaluasi fraktur secara klinis dan dengan


pengujian pulpa dan pengambilan radiografi.

Gambar 2.3 Radiografi menunjukkan complicated crown fracture.

d. Perawatan

Faktor-faktor seperti tingkat fraktur, tahap pematangan akar sangat penting


dalam menentukan bidang perawatan untuk complicated crown fracture.
Mempertahankan vitalitas pulpa merupakan perhatian utama dalam perawatan gigi
yang terlibat pulpa. Pada kasus gigi imatur, apexogenesis, yaitu proses normal dari
perkembangan akar tidak akan terjadi, penatalaksanaan cedera traumatik kecuali

30
pulpa tetap hidup. Pulpa menghasilkan dentin dan jika pulpa mati sebelum apeks
menutup, perkembangan dinding akar akan terhenti secara permanen. Akar gigi
imatur menjadi semakin tipis dan rapuh di dekat apeks. Tujuan perawatan adalah
untuk memungkinkan apeks menjadi matang dan dinding dentin cukup menebal
untuk memungkinkan terapi saluran akar berhasil.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Pulpa

Sirkulasi darah yang optimal diperlukan untuk memelihara pulpa dan


menjaganya agar tetap sehat. Jenis luka, tahap perkembangan akar dan derajat
infeksi merupakan faktor yang mempengaruhi sirkulasi ke daerah luka dan vitalitas
pulpa. Bakteri dapat menginvasi pulpa melalui retakan, menyebabkan inflamasi dan
nekrosis pulpa. Tes vitalitas tidak akan berguna dalam menentukan status apeks
imatur. Sampai penutupan apikal terjadi, gigi tidak merespon secara normal
terhadap pengujian pulpa. Juga, cedera traumatis kadang-kadang mengubah potensi
konduksi dari ujung saraf di pulpa untuk sementara yang menyebabkan pembacaan
yang salah. Seseorang harus menghubungkan pengalaman, radiografi, tanda atau
gejala klinis dan pengetahuan tentang proses penyembuhan untuk menilai vitalitas
pulpa.

2.3 Perawatan Pada Kasus Gigi Fracture Complicated


1. Pulp capping dan pulpotomy

Pulp capping dan pulpotomy adalah tindakan yang memungkinkan terjadinya


apeksogenesis dan dapat menghindari kebutuhan akan terapi saluran akar. Pilihan
pengobatan tergantung pada ukuran paparan, adanya perdarahan dan lamanya
waktu sejak cedera.

a. Pulp capping

31
a) Pulp capping berarti menempatkan dressing langsung pada pulpa
yang terbuka

Gambar 2.4 Pulp capping dilakukan langsung pada pulpa

b) Indikasi
1) Durasi eksposur < 24 jam
2) Pada orang dewasa , gigi permanen di lakukan recana restorasi
sederhana

b. Teknik

a) Setelah anestesi, dipasangkan rubber dam


b) Mahkota dan permukaan dentin yang terekspos dibilas secara
menyeluruh dengan saline dilanjutkan desinfeksi dengan 0.12%
chlorhexidine / betadine
c) Enamel disekitarnya di etsa dan bonding dengan resin komposit

c. Follow up

a) Pemeriksaan/ tes vitalitas, palpasi, perkusi, dan radiografi dilakukan


secara berkala (3 minggu, 6 minggu dan 12 bulan)
b) Pemantauan perkembangan akar dievaluasi dengan pemeriksaaan
radiografi

d. Prognosis
Tergantung pada kemampuan kalsium hidroksida ( Ca(OH)2 )
untuk mendesinfektan dan kerapatan restorasi . Bersamaan dengan itu,

32
kualitas bacteria tight seal yang disediakan oleh restorasi merupakan
faktor penting . Prognosis - /+80 persen

2. Pulpotomi
a. Pulpotomi hanya mengacu pada ekstirpasi koronal dari jaringan pulpa
vital.

b. Pulpotomi parsial

a. Pulpotomi parsial juga disebut sebagai "Cvek Pulpotomy",


pengangkatan jaringan pulpa koronal ke tingkat pulpa yang sehat

Gambar 2.5 (A) Penghapusan pulpa koronal dengan bur bulat. (B) Penempatan
balutan Ca(OH)2 di atasnya. (C) Restorasi gigi menggunakan semen hard setting .

b. Teknik
Setelah menganetesi area tersebut dipasang rubber dam. Rongga
sedalam 1-2 mm disiapkan ke dalam pulp menggunakan bur
diamond . Cotton pellet basah digunakan untuk menghambat
perdarahan dan setelah itu lapisan tipis kalsium hidroksida dicampur
dengan saline atau larutan anestesi ditempatkan di atasnya. Rongga
akses di tutup dengan hard setting cement seperti IRM (intermediate
restorative material )
c. Follow up
Hasil dan evaluasi yang memuaskan setelah pulpotomi harus
menunjukkan:
1. Tidak adanya tanda atau gejala
2. Tidak adanya resorpsi baik internal maupun eksternal
3. Bukti pembentukan akar yang berkelanjutan pada gigi yang
sedang berkembang

33
d. Prognosis
Prognosisnya baik ( 94-96% )

3. Pulpotomi servikal

1. Pulpotomi servikal melibatkan pengangkatan seluruh pulpa koronal ke


tingkat orifisium akar

Gambar 2.6 Pulpotomi dalam melibatkan pengangkatan seluruh pulpa koronal,


penempatan dressing Ca(OH)2 dan restorasi gigi
2. Indikasi
Ketika kesenjangan antara paparan traumatis dan pengobatan
disediakan lebih dari 24 jam. Ketika pulpa meradang ke tingkat pulpa
koronal yang lebih dalam.
3. Teknik
Pulpa koronal diangkat sama seperti pada pulpotomi parsial kecuali
sampai setinggi orifisium akar
4. Follow up
Hal ini sama dengan pulp capping dan pulpotomi parsial. Kerugian
utama dari perawatan ini adalah bahwa tes sensitivitas tidak dapat
dilakukan karena hilangnya pulpa koronal. Jadi pemeriksaan
radiografi penting untuk follow-up.

34
2.4 Pemeriksaan Cedera Gigi dan Mulut Karena Trauma

Gambar 2.7

Gambar 2.8

Gambar 2.9

35
1. History/riwayat
Cedera gigi dapat menjadi subjek litigasi atau klaim asuransi, riwayat
dan pemeriksaan secara menyeluruh dilakukan secara wajib. Jika
memungkinkan, cedera harus difoto. Anamnesis yang akurat
memberikan informasi penting mengenai
a. Status gigi pada presentasi
b. Prognosis cedera
c. Cedera lain yang diderita
d. Komplikasi medis
e. Kemungkinan litigasi

a. Hal yang perlu ditanyakan meliputi terkait anamnesis:


a) Kapan, dimana, dan bagaimana trauma itu terjadi?
b) Apakah ada cedera lain?
c) Apa pengobatan awal yang diberikan?
d) Apakah ada cedera gigi lain di masa lalu?
e) Apakah baru-baru ini melakukan imunisasi?

Gambar 3.0

Salah satu cara paling nyaman untuk memeriksa anak kecil adalah
dengan kepala anak di pangkuan dokter gigi. Anak dapat melihat orang
tuanya, yang dengan lembut menahan lengannya. Ini memberikan

36
pandangan yang sangat baik dari gigi dan rahang atas, di mana sebagian
besar trauma terjadi.
2. Examination/pemeriksaan
Pemeriksaan harus dilakukan dalam urutan yang logis. Penting untuk
memeriksa seluruh tubuh, karena pasien mungkin datang terlebih dahulu
ke dokter gigi dan cedera lain mungkin juga terjadi.
a. Pemeriksaan dan catatan trauma
a) Luka ekstra-oral dan palpasi tulang wajah

Gambar 3.1
b) Cedera pada mukosa mulut atau gingiva
c) Palpasi alveolus
d) Pergeseran gigi
e) Kelainan pada oklusi
f) Luasnya fraktur gigi, terbukanya pulpa, perubahan warna
g) Mobilitas gigi
h) Reaksi terhadap tes sensibilitas pulpa dan perkusi
b. Pemeriksaan Extra-oral
Pemeriksaan ekstra oral harus menjadi salah satu penilaian umum
kesejahteraan anak. Pemeriksaan ekstra oral meliputi
a) Simetri wajah, dimensi dan tipe wajah ortodontik dasar
b) Mata, termasuk penampakan bola mata, sklera, pupul, dan
konjungtiva
c) Pergerakan bola mata yang mungkin mengindikasikan juling atau
kelumpuhan

37
d) Warna dan penampilan kulit
e) Sendi temporomandibular
f) Kelenjar getah benih servikal, submandibular, dan oksipital
c. Pemeriksaan Intra-oral
a) Jaringan lunak termasuk orofaring, tonsil, dan uvula
b) kebersihan mulut dan status periodontal
c) jaringan keras gigi
d) oklusi dan hubungan ortodontik
e) kuantitas dan kualitas saliva
d. Pemeriksaan Radiografi
Dilakukan setelah riwayat menyeluruh dan pemeriksaan
klinis.Ada nilai besar dalam menggunakan film ekstra-oral pada anak
kecil, misalnya adalah radiografi panoramik. Saat mengambil radiografi
intra-oral, beberapa gambar periapikal dari sudut yang berbeda harus
diambil untuk setiap gigi yang mengalami trauma. Kemudian, hal ini
sangat penting untuk menentukan adanya fraktur akar dan luksasi gigi.
a) Pemeriksaan radiografi yang kemungkinan akan digunakan
1) Bitewing radiographs
2) Periapical radiographs
3) Panoramic radiographs
4) Occlusal films
5) extra-oral films

b) Semua gigi yang mengalami trauma harus dilakukan radiografi


untuk menilai:
1) Tahap perkembangan akar
2) Cedera pada akar dan struktur pendukung
3) Derajat dan arah luksasi atau perpindahan

c) Panduan untuk peresepan radiografi


1) Cedera dentoalveolar

38
- Oklusal maksila anterior/ oklusal mandibula anterior
- Radiografi panoramik
- True lateral maxilla untuk luksasi intrusif pada gigi
sulung anterior
2) Fraktur condylar
- Radiografi panoramik, closed dan open mouth
- Cone-beam tomography (CBCT) / computed
tomography (CT) scan
- Reverse Townes view
3) Fraktur mandibula
- Radiografi panoramik
- True mandibular dan oklusi anterior mandibula (untuk
fraktur parasymphysial)
- Cone-beam tomography (CBCT) / computed
tomography (CT) scan
- Lateral oblique (jarang digunakan kecuali CT scan tidak
tersedia)

4) Fraktur maxilla
5) CT scan
e. Tes Sensibilitas Pulpa

Tes sensibilitas pulpa digunakan untuk membantu menilai status


pulpa. Hasil tes sensibilitas pulpa yang dilakukan segera setelah trauma
juga merupakan prediktor yang sangat berguna untuk prognosis gigi
yang mengalami trauma. Gigi yang merespons tes ini lebih mungkin
untuk pulih daripada gigi yang tidak merespons.

a) Tes termal

i. Respons terhadap rangsangan dingin memberikan hasil yang


paling dapat diandalkan dan akurat pada anak-anak (bahkan
dengan gigi yang belum dewasa). Karbon dioksida beku (es

39
kering) sering digunakan dan dianggap paling nyaman.
Semprotan dingin juga dapat digunakan, tetapi tidak begitu
akurat.

b) Tes elektrik

i. Tes elektrik dapat memberikan respons bertingkat terhadap


rangsangan. Saat menggunakan instrumen ini, arus harus
dinaikkan perlahan-lahan sehingga rangsangan nyeri yang tiba-
tiba pada gigi dapat dihindari.

c) Perkusi

i. Ada dua alasan untuk melakukan perkusi gigi:


1) Nyeri tekan pada perkusi memberikan informasi tentang
luasnya kerusakan pada jaringan periapikal dan ligamen
periodontal. Kelembutan pada perkusi juga dapat
menunjukkan bahwa gigi telah mengalami subluksasi.
Perkusi pada gigi yang mengalami luksasi biasanya akan
terasa nyeri, pada gigi yang terlihat jelas mengalami luksasi
akan terlihat pada pemeriksaan visual.
2) Suara sebagai respons terhadap perkusi, terutama selama
pemeriksaan lanjutan, juga merupakan indikator penting
adanya ankilosis.

2.5 Konsekuensi Trauma Gigi Sulung Terhadap Gigi Permanen


Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan
gigi permanen dalam 12% sampai dengan 69% dari kasus trauma. Adanya relasi
antara keparahan perubahan morfologi dan mineralisasi gigi permanen, dengan
jenis trauma gigi pada gigi sulung dan tingkat perkembangan gigi permanen.
Luksasi intrusif dan avulsi bertanggung jawab atas gangguan terbesar dalam
perkembangan gigi permanen, diikuti oleh luksasi ekstrusif dan luksasi lateral.
Ketika trauma gigi terjadi pada usia 0 sampai 4 tahun, persentase gigi permanen

40
yang terkena dampak morfologi dan/atau mineralisasi dapat melebihi dari 50%.
Frekuensi gangguan tersebut berkurang seiring bertambahnya usia.

Trauma pada gigi sulung dapat melibatkan perubahan pada gigi permanen seperti:

1. Email terlihat lebih opak secara minimal

2. Hipoplasia dan hipokalsifikasi dengan cacat keputihan atau kecoklatan

3. Dilaserasi mahkota

4. Malformasi menyerupai odontoma

5. Duplikasi, angulasi dan dilaserasi akar

6. Terhentinya perkembangan akar

7. Kuman melekat pada gigi dan susah dihilangkan

8. Erupsi ektopik

9. Gigi permanen tidak erupsi

Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan gigi


permanen, tetapi perluasan kerusakan yang sebenarnya pada gigi permanen akan
diketahui hanya setelah gigi permanen erupsi (atau bahkan tidak erupsi) atau
terdeteksi secara radiografi adanya masalah erupsi. Tingkat keparahan gigi
permanen secara langsung berkaitan dengan usia anak, jenis trauma gigi dan
luasnya trauma yang berdampak pada gigi sulung.

2.6 Bahan Restorasi Untuk Kasus Fraktur Gigi Anterior


1. Komposit

Restorasi gigi yang fraktur dengan restorasi adhesif sering menjadi salah
satu pilihan perawatan paling konservatif yang dipertimbangkan. Micromechanical
enamel bonding dan dentine bonding agent memberikan perlekatan yang dapat
diprediksi ke struktur gigi, memungkinkan penggantian langsung struktur gigi yang
hilang dengan hasil estetika dan fungsional yang dapat diprediksi. Tergantung pada

41
luasnya kehilangan struktur gigi dan kerusakan pulpa, restorasi gigi dengan resin
komposit dapat berupa perawatan sementara atau permanen.

Restorasi gigi yang fraktur dapat dirawat baik secara langsung atau
menggunakan matriks intraoral yang dibentuk dari diagnostik wax up. Keuntungan
dari restorasi yang dipandu matriks adalah kemampuan untuk membentuk kembali
bentuk gigi tiga dimensi yang lebih akurat secara anatomis daripada yang biasanya
dicapai dengan penumpukan dengan tangan. Restorasi yang dipandu matriks
memungkinkan pelapisan lapisan enamel dan dentin resin komposit yang efektif
dengan ketebalan dan posisi yang telah ditentukan yang mengikuti skema oklusal.
Dengan membentuk kontur palatal yang benar pada awalnya, penggabungan
karakteristik individual untuk mengoptimalkan estetika dapat dilakukan tanpa
menghilangkan saat oklusi seimbang.

Resin komposit dibentuk dengan partikel pengisi kaca fluorosilikat yang


tergabung dalam matriks resin yang dapat dipolimerisasi. Sejumlah siste

klasifikasi ada untuk menggambarkan resin komposit. Namun, dua sistem


yang paling umum digunakan didasarkan pada viskositas atau ukuran dan jenis
partikel. Klasifikasi ini penting karena ukuran dan jenis partikel pengisi secara
langsung mempengaruhi sifat material dari daya kemas, kekuatan, ketahanan aus,
kemampuan poles, dan estetika. Modulator atau promotor kimia juga digabungkan,
dan polimerisasi matriks resin dapat diaktifkan dengan cahaya, diaktifkan secara
kimia, atau kombinasi dari kedua cahaya dan diaktifkan secara kimia.

Penggunaan monomer dengan berat molekul tinggi seperti Bis-GMA (2,2-


bis[4-(2 hydroxy-3 methacryloxy proproxy)-phenyl]-propane) dengan dua gugus
metakrilat yang tersedia untuk ikatan silang mengurangi volumetrik kontraksi
selama polimerisasi. Namun, viskositasnya yang tinggi membatasi penggabungan
partikel pengisi. Triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA), methyl
methacrylate (MMA), ethylene glycol dimethacrylate (EGDMA) dan urethane
dimethacrylate (UDMA) semuanya telah digunakan sebagai resin komposit
monomer pengencer untuk meningkatkan volume penggabungan konten pengisi.

42
Partikel pengisi didasarkan pada partikel kaca atau keramik yang
digabungkan ke dalam matriks resin untuk meningkatkan sifat mekanik dan fisik,
dan mengurangi penyusutan polimerisasi. Penggabungan kaca barium dan
strontium juga memberikan radiopasitas radiografik yang memungkinkan
pemantauan restorasi terhadap integritas gigi. Partikel pengisi resin komposit awal
dibuat dengan penggilingan fisik borosilikat, keramik, kuarsa dan kaca. Namun,
metode preparasi ini tidak dapat mencapai partikel berukuran nanometer yang
digunakan dalam banyak resin komposit modern.

Viskositas material dipengaruhi oleh kandungan pengisi yang


memungkinkan resin komposit yang dapat mengalir atau dapat dikemas, masing-
masing dengan aplikasi yang berbeda. Resin komposit yang dapat mengalir
biasanya memiliki kandungan pengisi yang berkurang yang memungkinkan
adaptasi yang lebih baik ke permukaan gigi tetapi dengan mengorbankan kekuatan
mekanik dan peningkatan penyusutan polimerisasi. Komposit yang dapat dikemas
dapat beradaptasi pada gigi yang dipreparasi dan memiliki ketahanan yang cukup
untuk memungkinkan bentuk pendekatan kontrol dan restorasi dengan gigi yang
berdekatan. Ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan jenis partikel yang
mempengaruhi persentase berat dan volume bahan (Tabel 1)

Gambar 3.2

Sebuah resin komposit makrofil menggabungkan ukuran partikel pengisi


10-50 lm yang memberikan kekuatan yang sangat baik tetapi kemampuan poles
yang buruk karena ukuran partikel yang besar. Komposit microfill secara signifikan
lebih mudah dipoles karena ukuran partikel 40-50 nm. Namun, kandungan filler

43
yang rendah memiliki kekuatan mekanik yang buruk. Untuk meningkatkan
kekuatan, pengisi resin prapolimerisasi dimasukkan ke dalam matriks meskipun
keseimbangan yang lebih efektif antara kemampuan pemolesan dan kekuatan
dicapai dengan komposit hibrida yang menggabungkan partikel 10-50 lm dari
makrofil dengan partikel pengisi 40 lm. dan matriks pengisi resin prapolimerisasi
dari mikrofil. Pengembangan resin komposit nanofil dengan ukuran partikel 1-5 lm
dapat dianggap memiliki aplikasi universal dengan kekuatan dan kemampuan poles
yang tinggi.

Sementara banyak penelitian menunjukkan penyebab utama kegagalan


restorasi komposit menjadi biologis melalui karies, fraktur mekanis juga dilaporkan
umum terjadi di daerah stres tinggi. Restorasi komposit Kelas IV besar yang
ditempatkan pada gigi anterior yang retak umumnya mengalami tekanan yang
signifikan selama fungsi oklusal, dan memiliki prognosis jangka panjang yang lebih
buruk daripada restorasi lainnya.

Pemilihan material komposit dapat mempengaruhi hasil restorasi, karena


komposit hibrid telah terbukti menunjukkan lebih sedikit chipping dan rekah pada
restorasi Kelas IV dibandingkan komposit makrofill dan mikrofill. Komposit hibrid
juga mengungguli komposit makrofill dan mikrofill dalam hal warna. cocok di
restorasi Kelas IV. Sayangnya, resin komposit nanofill tidak dinilai oleh Heintze et
al. Dalam meta-analisis mereka dan sifat material yang menguntungkan dapat
mengungguli bahan hibrida di restorasi Kelas IV. Diperlukan lebih banyak
penelitian tentang hasil klinis jangka panjang dari restorasi resin komposit yang
diisi nano.

2. Keramik

Jika struktur gigi tidak mencukupi untuk merestorasi gigi yang mengalami
trauma dengan restorasi adhesif, maka restorasi tidak langsung dapat diindikasikan.
Keputusan untuk melanjutkan ke restorasi tidak langsung biasanya

44
dipertimbangkan pada pasien dewasa setelah periode observasi yang memadai
untuk menilai status pulpa dan keberhasilan restorasi komposit langsung. Sejumlah
faktor akan mempengaruhi pilihan restorasi termasuk oklusi, luasnya kehilangan
gigi, kebiasaan parafungsional, integritas pulpa dan estetika. Restorasi harus
bertindak untuk memberikan penggantian struktur gigi yang hilang dengan cara
yang optimal untuk memaksimalkan hasil fungsional dan estetika dengan umur
panjang yang dapat diprediksi, dan jika berlaku, perlindungan pulpa gigi.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pendekatan biomimetik lebih


konservatif terhadap struktur gigi yang tersisa daripada restorasi dengan cakupan
penuh yang dapat menghilangkan sebanyak 67,5% hingga 72,3% dari struktur gigi.
Veneer porselen feldspathic telah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi dengan perkiraan tingkat keberhasilan 96% pada 21 tahun dan mereka
memberikan pendekatan konservatif untuk memulihkan bentuk dan fungsi gigi
(Gambar 3).

Mahkota logam keramik telah efektif digunakan sejak tahun 1960-an setelah
penambahan Al2O3 ke porselen feldspathic meningkatkan sifat mekaniknya.50
Mahkota ini memiliki tingkat keberhasilan jangka panjang dengan laporan tingkat
kelangsungan hidup diperkirakan 89,2% pada 10 tahun51 dan hingga 85,4% pada
25 tahun. Dengan keinginan untuk mengoptimalkan estetika dan mencocokkan sifat
transmisi cahaya dari gigi asli, mengatasi kesulitan teknis seperti perambatan retak
yang dialami restorasi semua keramik awal, kemajuan teknis yang meningkatkan
kekuatan tarik material kekuatan, ketahanan aus dan sifat mekanik lainnya telah
menyebabkan peningkatan penggunaan restorasi semua keramik.

Restorasi semua keramik modern dapat dideskripsikan menurut bahan


intinya yang meliputi keramik kaca lithium disilicate, leucite, dan feldspathic,
alumina polikristalin, dan zirkonia polikristalin (Tabel 2). Keramik pelapis biasanya
terdiri dari kaca fluoroapatit, leusit atau aluminosilikat yang memungkinkan
pembuatan mahkota estetika di atas inti kekuatan tinggi.

45
Penting untuk menyeimbangkan ketebalan porselen pelapis dengan
ketebalan keramik inti untuk memastikan pemeliharaan tegangan tarik di dalam inti
dan tegangan tekan di dalam porselen pelapis untuk mengontrol perkembangan
retakan.53 Kompatibilitas keramik pelapis dengan bahan inti sangat penting untuk
mencegah retak keramik kohesif yang paling sering dilaporkan komplikasi.
Preparasi gigi yang benar memberikan ketebalan yang cukup baik untuk core
maupun veneer ceramic tanpa over-contouring dari restorasi untuk
mengoptimalkan sifat fisik material, dan juga pencocokan warna dengan masking
yang diperlukan dari struktur gigi atau inti gigi yang mendasarinya warna.

Bahan inti dapat diproduksi dengan berbagai teknik termasuk pengepresan


panas lilin yang hilang, penggilingan, pengecoran slip atau sintering. Sementara
berbagai sistem memiliki perbedaan celah marginal yang dapat diterima, teknik
luting khusus diperlukan untuk memaksimalkan retensi mahkota. Kegagalan untuk
mencocokkan dengan benar jenis inti dan agen luting dapat menyebabkan
kegagalan restorasi yang fatal atau premature.

Kemajuan dalam teknologi inti zirkonia telah memungkinkan berbagai


pilihan warna dan translusensi untuk hasil estetika yang lebih baik agar sesuai
dengan transmisi cahaya gigi alami. Zirkonia monolitik dan restorasi keramik
disilikat lithium monolitik awalnya dikritik karena estetika yang buruk tetapi
perbaikan dalam teknik memungkinkan alternatif monolitik untuk dipertimbangkan
di mana hasil estetika akhir kurang penting daripada kekuatan, misal di daerah
posterior mulut pada pasien dengan derajat parafungsi yang tinggi.

Keberhasilan restorasi tidak langsung secara keseluruhan akan dipengaruhi


oleh luasnya trauma pada gigi, keterampilan dokter dalam preparasi, registrasi dan
luting, dan keterampilan teknisi dalam pembuatan. Biasanya terbatas pada pasien
dewasa, tingkat keberhasilan jangka panjang sangat baik dan hasil yang sangat
estetis dapat diperkirakan tercapai (Gambar 4).

46
Gambar 3.2 (a) Uncomplicated Crown Fracture pada gigi insisivus lateral yang cocok untuk
manajemen biomimetik konservatif dengan veneer porselen feldspathic parsial (b). Pemilihan
bahan perekat adhesive bonding agent (c) memastikan hasil estetika yang optimal (d).

Gambar 3.3

2.7 Definisi Trauma dan Etiologi Fraktur Gigi


1. Definisi trauma

Trauma didefinisikan sebagai cedera jaringan yang terjadi lebih atau kurang
tiba-tiba karena kekerasan atau kecelakaan dan bertanggung jawab untuk memulai
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, respon imunologi dan metabolisme yang
bertanggung jawab untuk memulihkan homeostasis.

2. Etiologi fraktur gigi

Sebagian besar cedera disebabkan oleh kecelakaan jatuh dan bermain.


Cedera luksasi pada gigi anterior atas mendominasi pada balita karena sering jatuh
saat bermain dan mencoba berjalan. Cedera umumnya lebih sering terjadi pada anak

47
laki-laki. Trauma tumpul cenderung menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada
jaringan lunak dan struktur pendukung, sedangkan cedera dengan kecepatan tinggi
atau tajam menyebabkan luksasi dan fraktur gigi.

Gambar 3.4

48
BAB III

PENUTUP

Trauma dan fraktur gigi cukup sering terjadi pada balita dan anak-anak
karena aktivitas yang biasa dilakukan seperti bermain dan lain-lain. Maka dari itu
penanganan dan perawatan pada kasus ini sering terjadi pada kedokteran gigi anak.
Bahan dan perawatannya harus kita tangani dengan baik dan tepat.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Mc. Donald and Avery. Dentistry for the Child and Adolescent. 9th Ed. 2011.
2. Cameron. A. C and Richard. P. W. 2013. Handbook of Pediatric Dentistry.
St Louis : Mosby.
3. Miranda C, Luiz BK Martins, Cordeiro. Consequences of dental trauma to
the primary teeth on the permanent ion. Case report article. RSBO. 2012
4. Natalino, Cristiane Almeida, Salete Moura. Oral Rehabilitation in Pediatric
Dentistry : a clinical case report. Rev Gauch Odontol, Porto Alegre,
v.64.p.87-91
5. Garg N, Garg A. Textbook of endodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. 2010.
6. G Liddelow, G Carmichale. The Restoration of Traumatized Teeth. Aust
Dent Jour. Vol 61; S1. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/adj.12402
7. Pagadala S, Tadikonda DC. An overview of classification of dental trauma.
IAIM, 2015; 2(9): 157-164.

50
Trauma
Gigi
Anterior
Kelompok 1
Terminologi
Terminologi
❏ Overjet = Jarak horizontal antara gigi insisivus rahang atas dan rahang
bawah pada keadaan oklusi, yang diukur pada ujung incisal insisivus rahang
atas (Repository UNIMUS)

❏ Leap seal : Saat otot ekspresi wajah dalam posisi rileks dan mandibula dalam
postur istirahat membuat bibir berkontak satu sama lain saat istirahat (Soft
Tissue Morphology)
❏ Protusif: gigi yang mengalami ekstensi di luar batas normal, atau diatas
bidang datar, atau keadaan terdorong ke depan atau ke samping, seperti
pada gerakan mandibula saat mengunyah (Dorland).

❏ Complicated crown fracture : Fraktur gigi sulung melibatkan pulpa dan


meluas hingga ke bawah margin gingiva (Handbook of Pediatric Dentistry).

❏ Fraktur oblique : fraktur yang arahnya miring. (Medical dictionary)


❏ Vulnus laceratum : Luka robek yang terjadi akibat kekerasan yang hebat
sehingga memutuskan jaringan (Repository poltekkes Kemenkes Palembang).

❏ Uncomplicated Crown Fracture : Fraktur yang terdapat pada enamel atau


melibatkan enamel dan dentin, tetapi tidak mengekspos pulpa. (An overviews
iew of classification of dental trauma)

❏ Radiografi Periapikal : teknik pencitraan intraoral yang umum digunakan


dalam radiologi dan dapat menjadi komponen pemeriksaan radiologis.
Radiografi periapikal memberikan informasi penting tentang gigi dan tulang
di sekitarnya. (Jurnal university of oklahoma)
_Pagadala S, Tadikonda DC. An overview of classification of dental trauma. IAIM

01
KLASIFIKASI
FRAKTUR GIGI
Edith Gian Ania Kiding 1990023
Klasifikasi Trauma Gigi

Pada tahun 1950,


G.E. Ellis adalah orang pertama yang mempromosikan klasifikasi
universal dari cedera gigi.
.
Klasifikasi ELLIS (1970)
Kelas I :Fraktur mahkota sederhana dengan sedikit atau tanpa dentin yang terkena.
Kelas II :Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang cukup besar,
tetapi pulpa tidak terkena.
Kelas III :Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin dan pulpa yang cukup
besar.
Kelas IV :Gigi yang mengalami trauma menjadi non-vital dengan atau tanpa
kehilangan struktur gigi
Kelas V :Gigi hilang akibat trauma.
Kelas VI :Fraktur akar dengan tanpa kehilangan struktur mahkota
Kelas VII :Pergeseran gigi tanpa fraktur akar maupun mahkota
Kelas VIII :Fraktur mahkota lengkap dan penggantiannya.
Kelas IX :Cedera traumatis pada gigi sulung.
Klasifikasi ELLIS dan DAVEY (1970)
Kelas I : Fraktur sederhana pada makota yang melibatkan sedikit atau tanpa dentin
Kelas II : Fraktur mahkota yang luas, melibatkan dentin yang cukup besar, tetapi bukan pulpa
Kelas III : Fraktur mahkota yang luas melibatkan dentin yang cukup besar, dan pulpa gigi
terbuka
Kelas IV : Gigi yang mengalami trauma menjadi non-vital dengan atau tanpa kehilangan
struktur mahkota
Kelas V : Kehilangan gigi karena trauma
Kelas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
Kelas VII : Pergeseran gigi-tanpa fraktur mahkota atau akar
Kelas VIII : Fraktur Mahkota
Klasifikasi MCDONALD (2004)
Kelas I : Fraktur sederhana pada mahkota yang melibatkan sedikit
atau tanpa dentin
Kelas II : Fraktur mahkota yang luas yang melibatkan banyak dentin
tetapi tidak mengenai pulpa gigi
Kelas III : Fraktur mahkota yang luas dengan terbukanya pulpa gigi
Kelas IV : Hilangnya seluruh mahkota
02
FRACTURE
COMPLICATED
Anggun Puji R 1990063
Feby Rahmadiatul A 1990082

5_Garg N, Garg A. Textbook of endodontics. 2nd ed. New Delhi Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010
Fraktur mahkota yang
melibatkan email, dentin
dan pulpa disebut
Fraktur gigi 21 menunjukkan keterlibatan email, sebagai complicated
dentin dan pulpa. crown fracture.
Konsekuensi Biologis Insiden

● Luasnya fraktur membantu menentukan


perawatan pulpa dan kebutuhan restoratif. Fraktur jenis ini terjadi
pada 2-13 % dari
● Derajat keterlibatan pulpa dapat bervariasi dari semua cedera gigi
paparan titik hingga pembukaan total kamar
pulpa.
● Jika tidak diobati, dapat menyebabkan nekrosis
pulpa.
Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan mengevaluasi


fraktur secara klinis dan dengan
pengujian pulpa dan pengambilan
radiografi

Radiografi menunjukkan
complicated crown fracture
Perawatan
● Faktor-faktor seperti tingkat fraktur, tahap pematangan akar sangat penting
dalam menentukan bidang perawatan untuk complicated crown fracture.
● Mempertahankan vitalitas pulpa merupakan perhatian utama dalam
perawatan gigi yang terlibat pulpa.
● Pada kasus gigi imatur, apexogenesis, yaitu proses normal dari perkembangan
akar tidak akan terjadi, penatalaksanaan cedera traumatik kecuali pulpa tetap
hidup.
● Pulpa menghasilkan dentin dan jika pulpa mati sebelum apeks menutup,
perkembangan dinding akar akan terhenti secara permanen.
● Akar gigi imatur menjadi semakin tipis dan rapuh di dekat apeks.

Tujuan perawatan → untuk memungkinkan apeks menjadi matang dan dinding dentin cukup
menebal untuk memungkinkan terapi saluran akar berhasil.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Pulpa

● Sirkulasi darah yang optimal diperlukan untuk memelihara pulpa dan menjaganya agar
tetap sehat.
● Jenis luka, tahap perkembangan akar dan derajat infeksi merupakan faktor yang
mempengaruhi sirkulasi ke daerah luka dan vitalitas pulpa.
● Bakteri dapat menginvasi pulpa melalui retakan, menyebabkan inflamasi dan nekrosis
pulpa.
● Tes vitalitas tidak akan berguna dalam menentukan status apeks imatur. Sampai penutupan
apikal terjadi, gigi tidak merespon secara normal terhadap pengujian pulpa.
● cedera traumatis kadang-kadang mengubah potensi konduksi dari ujung saraf di pulpa.
03
PERAWATAN PADA KASUS GIGI
FRACTURE COMPLICATED

Pitri Ayu Puspita Sari. 1990025


Aldrian julianto 1990037
PULP CAPPING
Penempatan balutan langsung kepaparan pulpa

INDIKASI
● Durasi exposure <24 jam
● Pada gigi permanen yang
matur dengan rencana
restoratif sederhana.
TEKNIK
● Anestesi → pemasangan rubber dam
● Mahkota dan permukaan dentin yang terbuka dibilas
secara menyeluruh dengan saline → desinfeksi dengan
0.12% Chlorhexidine / Betadine
● Ca(OH)2 murni + larutan anestesi / saline ditempatkan di
atas permukaan dentin dan pulpa yang terbuka dengan
hati-hati
● Enamel di sekitarnya di etsa dan bonding dengan resin
komposit
FOLLOW UP
● Tes vitalitas, tes palpasi, tes perkusi, dan radiografi
harus dilakukan selama 3 minggu; 3,6, dan 12 bulan;
dan setiap 12 bulan kemudian
● Perkembangan akar lanjutan dari akar yang imatur
dievaluasi selama pemeriksaan radiografi periodik

PROGNOSIS
● Tergantung pada kemampuan Ca(OH)2
kalsium hidroksida untuk mendesinfektan
dan kerapatan restorasi
● Prognosis -/+80 persen
Pulpotomi
Ekstirpasi koronal dari jaringan pulpa vital

Pulpotomi Parsial Pulpotomi Servikal


Pulpotomi Parsial “Cvek Pulpotomy”
Pengangkatan jaringan pulpa koronal hingga mencapai pulpa
yang sehat

Indikasi
● Untuk gigi permanen
muda dengan akar yang
imatur
Pulpotomi Parsial
Teknik
● Anestesi → pemasangan rubber dam
● Preparasi kavitas sedalam 1-2 mm dengan diamond
bur
● Gunakan cotton pellet basah untuk menghambat
pendarahan → aplikasikan selapis tipis Ca(OH)2 +
larutan saline / anestesi di atasnya
● Kavitas ditutup dengan semen hard setting (IRM)
Follow Up
● Hasil dan evaluasi yang memuaskan setelah pulpotomi
harus menunjukkan:
● Tidak adanya tanda atau gejala
● Tidak adanya resorpsi baik internal maupun eksternal
● Bukti perkembangan akar yang berlanjut pada gigi yang
sedang berkembang

Prognosis
● Prognosis baik (94-96%)
Pulpotomi Servikal
Pengangkatan keseluruhan pulpa koronal hingga mencapai
saluran akar

Indikasi
● Saat jarak antara paparan
traumatis dengan perawatan
yang tersedia >24 jam
● Saat pulpa terinflamasi
hingga pulpa koronal yang
lebih dalam Pulpotomi Servikal
Teknik
● Pengangkatan pulpa koronal sama seperti pada
pulpotomi parsial namun pengangkatan pulpa
koronal hingga mencapai lubang akar

Follow Up
● Sama dengan pulp capping dan pulpotomi parsial
● Kerugian utama : Tes sensitivitas tidak dapat
dilakukan karena hilangnya pulpa koronal
● Pemeriksaan radiografi penting untuk follow up
Prognosis
● Tingkat keberhasilan 80-95%

Prasyarat Keberhasilan
● Tingkat keberhasilan perawatan pulpa vital
tinggi jika dokter secara ketat mematuhi
prasyaratan berikut :
○ Perawatan pulpa yang tidak terinflamasi
○ Pulp dressing
○ Bacteria tight seal
Apeksifikasi
Proses yang dilakukan untuk merangsang pembentukan barrier
jaringan keras (kalsifikasi) di apeks
Teknik
● Semua saluran akar didesinfeksi dengan larutan natrium
hipoklorit
● Obturasi saluran akar dengan Ca(OH)2
● Saat jaringan keras sudah terbentuk (setelah 3-6 bulan) →
Ca(OH)2 dibuang
● Lakukan pemeriksaan radiografi; jika pembentukan jaringan
keras sudah memuaskan → obturasi saluran akar dengan gutta
percha lunak (hindari gaya lateral yang berlebih saat obturasi)
04
PEMERIKSAAN CEDERA
GIGI DAN MULUT KARENA
TRAUMA
Michelle Vanessa Winaryo 1990006
Yeserika Lindani 1990061
Santa Ezra 1990084

Mc. Donald and Avery. Dentistry for the Child and Adolescent. 9th Ed. 2011.
Cameron. A. C and Richard. P. W. 2013. Handbook of Pediatric Dentistry. St Louis : Mosby
History/Riwayat
Karena cedera gigi dapat menjadi subjek litigasi atau klaim asuransi, riwayat
dan pemeriksaan secara menyeluruh dilakukan secara wajib. Jika
memungkinkan, cedera harus di foto. Anamnesis yang akurat memberikan
informasi penting mengenai

Status gigi pada presentasi Cedera lain yang diderita

Prognosis cedera Kemungkinan litigasi


History/Riwayat
Hal yang perlu ditanyakan meliputi terkait
anamnesis:
a. Kapan, dimana, dan bagaimana trauma itu
terjadi?
b. Apakah ada cedera lain?
c. Apa pengobatan awal yang diberikan?
d. Apakah ada cedera gigi lain di masa lalu?
e. Apakah baru-baru ini melakukan imunisasi?
Examination/Pemeriksaan
Pemeriksaan harus dilakukan dalam urutan yang logis. Penting untuk
memeriksa seluruh tubuh, karena pasien mungkin datang terlebih
dahulu ke dokter gigi dan cedera lain mungkin juga terjadi.

Pemeriksaan dan catatan trauma


- Luka ekstra-oral dan palpasi tulang wajah
Pemeriksaan dan catatan trauma
- Cedera pada mukosa mulut atau gingiva
- Palpasi alveolus
- Pergeseran gigi
- Kelainan pada oklusi
- Luasnya fraktur gigi, terbukanya pulpa, perubahan warna
- Mobilitas gigi
- Reaksi terhadap tes sensibilitas pulpa dan perkusi
Pemeriksaan Ekstra-Oral Pemeriksaan Intra-Oral

- Simetri wajah, dimensi dan


tipe wajah ortodontik dasar - Jaringan lunak termasuk
- Mata, termasuk orofaring, tonsil, dan uvula
penampakan bola mata,
sklera, pupil, dan - Kebersihan mulut dan
konjungtiva status periodontal
- Pergerakan bola mata yang
- Jaringan keras gigi
mungkin mengindikasikan
juling atau kelumpuhan - Oklusi dan hubungan
- Warna dan penampilan kulit ortodontik
- Sendi temporomandibular
- Kelenjar getah bening - Kuantitas dan kualitas
servikal, submandibular, saliva
dan oksipital
Pemeriksaan Radiografi
Dilakukan setelah riwayat menyeluruh dan pemeriksaan klinis. Ada nilai
besar dalam menggunakan film ekstra-oral pada anak kecil, misalnya
adalah radiografi panoramik. Saat mengambil radiografi intra-oral,
beberapa gambar periapikal dari sudut yang berbeda harus diambil
untuk setiap gigi yang mengalami trauma. Kemudian, hal ini sangat
penting untuk menentukan adanya fraktur akar dan luksasi gigi.
Pemeriksaan Semua gigi yang
radiografi yang mengalami trauma
kemungkinan akan harus dilakukan
dilakukan radiografi untuk menilai

- Bitewing radiographs - Tahap perkembangan akar


- Periapical radiographs - Cedera pada akar dan
- Panoramic radiographs struktur pendukung
- Occlusal films - Derajat dan arah luksasi
- Extra-oral films atau perpindahan
Panduan untuk
Tes sensibilitas
peresepan
pulpa
radiografi

- Cedera dentoalveolar - Tes termal


- Fraktur condylar - Tes elektrik
- Fraktur mandibula - Perkusi
- Fraktur maksila
Cedera Dentoalveolar Fraktur Condylar
- Oklusal maksila anterior/ oklusal - Radiografi panoramik, closed dan
mandibula anterior open mouth
- Radiografi panoramik - Cone-beam tomography (CBCT) /
- True lateral maxilla untuk luksasi computed tomography (CT) scan
intrusif pada gigi sulung anterior - Reverse Townes view

Fraktur Mandibula
- Radiografi panoramik
- True mandibular dan oklusi anterior
mandibula (untuk fraktur
Fraktur Maksila
parasymphysial)
- CT scan
- Cone-beam tomography (CBCT) /
computed tomography (CT) scan
- Lateral oblique (jarang digunakan
kecuali CT scan tidak tersedia)
Tes termal Tes elektrik
Respons terhadap rangsangan dingin Tes elektrik dapat memberikan respons
memberikan hasil yang paling dapat bertingkat terhadap rangsangan. Saat
diandalkan dan akurat pada anak-anak menggunakan instrumen ini, arus harus
(bahkan dengan gigi yang belum dewasa). dinaikkan perlahan-lahan sehingga
Karbon dioksida beku (es kering) sering rangsangan nyeri yang tiba-tiba pada gigi
digunakan dan dianggap paling nyaman. dapat dihindari.
Perkusi
Perkusi
Nyeri tekan pada perkusi memberikan informasi tentang luasnya kerusakan pada jaringan
periapikal dan ligamen periodontal. Perkusi pada gigi yang mengalami luksasi biasanya
akan terasa nyeri, pada gigi yang terlihat jelas mengalami luksasi akan terlihat pada
pemeriksaan visual.Suara sebagai respons terhadap perkusi, terutama selama
pemeriksaan lanjutan, juga merupakan indikator penting adanya ankilosis.
05
Konsekuensi Trauma
Gigi Sulung Terhadap
Gigi Permanen
Fransesco Ariesto Prakoso Angga Sucipto 1990070
- Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan gigi permanen
dalam 12% sampai dengan 69% dari kasus trauma.
- Adanya relasi antara keparahan perubahan morfologi dan mineralisasi gigi permanen,
dengan jenis trauma gigi pada gigi sulung dan tingkat perkembangan gigi permanen.
- Luksasi intrusif dan avulsi bertanggung jawab atas gangguan terbesar dalam
perkembangan gigi permanen, diikuti oleh luksasi ekstrusif dan luksasi lateral.
- Ketika trauma gigi terjadi pada usia 0 sampai 4 tahun, persentase gigi permanen yang
terkena dampak morfologi dan/atau mineralisasi dapat melebihi dari 50%. Frekuensi
gangguan tersebut berkurang seiring bertambahnya usia.
Trauma pada gigi sulung dapat melibatkan perubahan pada gigi permanen seperti:
1. Email terlihat lebih opak secara minimal
2. Hipoplasia dan hipokalsifikasi dengan warna keputihan atau kecoklatan
3. Dilaserasi mahkota
4. Malformasi menyerupai odontoma
5. Duplikasi, angulasi dan dilaserasi akar
6. Terhentinya perkembangan akar
7. Kuman melekat pada gigi dan susah dihilangkan
8. Erupsi ektopik
9. Gigi permanen tidak erupsi
- Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan gigi permanen,
tetapi perluasan kerusakan yang sebenarnya pada gigi permanen akan diketahui hanya
setelah gigi permanen erupsi (atau bahkan tidak erupsi) atau terdeteksi secara radiografi
adanya masalah erupsi.
- Tingkat keparahan gigi permanen secara langsung berkaitan dengan usia anak, jenis
trauma gigi dan luasnya trauma yang berdampak pada gigi sulung
06
BAHAN RESTORASI UNTUK KASUS
FRAKTUR GIGI ANTERIOR
Audrie Inges Safira Jaya 1990014

G Liddelow, G Carmichale. The Restoration of Traumatized Teeth. Aust Dent Jour. Vol 61
Bahan restorasi untuk gigi anterior
yang fraktur

Composite Ceramic
Composite
● Resin komposit terbuat dari partikel filler kaca fluorosilikat yang
tergabung ke dalam matriks resin yang dapat dipolimerisasi
● Restorasi gigi pada gigi yang fraktur dengan restorasi adhesif menjadi
salah satu pilihan perawatan paling konservatif yang dipertimbangkan
● Sistem klasifikasi berdasarkan; viskositas/ukuran partikel dan tipe.
Ukuran dan tipe dari partikel filler secara langsung berefek pada sifat
bahan, kekuatan wear resistance, kemampuan poles dan estetik
Ceramic

● Jika terdapat struktur gigi yang tidak memadai untuk merestorasi gigi
yang mengalami trauma dengan restorasi adhesif, maka restorasi indirek
dapat diindikasikan
● Restorasi gigi pada gigi yang fraktur dengan restorasi adhesif menjadi
salah satu pilihan perawatan paling konservatif yang dipertimbangkan
07
DEFINISI TRAUMA DAN
ETIOLOGI FRAKTUR
Joanne Yolanda 1990044

Cameron. A. C and Richard. P. W. 2013. Handbook of Pediatric Dentistry. St Louis :


Mosby.
Definisi Trauma
Trauma didefinisikan sebagai cedera jaringan yang terjadi lebih atau
kurang tiba-tiba karena kekerasan atau kecelakaan dan bertanggung
jawab untuk memulai aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, respon
imunologi dan metabolisme yang bertanggung jawab untuk memulihkan
homeostasis.

Physiology, Trauma - StatPearls - NCBI


Bookshelfhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov › books › NBK538478
Etiologi Fraktur gigi
Sebagian besar cedera disebabkan oleh kecelakaan jatuh dan
bermain. Cedera pada gigi anterior atas mendominasi pada balita
karena sering jatuh saat bermain dan mencoba berjalan. Cedera lebih
sering terjadi pada anak laki-laki. Trauma tumpul cenderung
menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada jaringan lunak dan
struktur pendukung, sedangkan cedera dengan kecepatan tinggi atau
tajam menyebabkan luksasi dan fraktur gigi.
Etiologi Fraktur gigi
Terimakasih!

Anda mungkin juga menyukai