Anda di halaman 1dari 8

Keausan gigi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya jaringan keras

gigi karena proses fisik maupun kimiawi, bukan proses karies (Oltramari-Navarro dkk.,

2010). Keausan gigi dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu atrisi, abrasi, erosi,

dan abfraksi. Keempat tipe tersebut memiliki penyebab, karakteristik, dan pola keausan

yang berbeda beda (Casanova-Rosado dkk., 2005).

Erosi adalah kerusakan yang parah pada jaringan keras gigi akibat dari proses

kimia tetapi tidak disebabkan oleh aktivitas bakteri (Gambar 4 dan 5). Erosi adalah

hilangnya jaringan keras gigi karena ada pengaruh asam, dapat ekstrinsik maupun

intrinsik. Secara ekstrinsik, sumber asam berasal dari makanan seperti buah-buahan dan

minuman bersoda, sedangkan secara intrinsik berasal dari asam lambung pada penderita

anoreksia dan bulimia.

Gambaran klinis erosi, sebagai berikut:

a. Bentuk lesi cekung yang luas dan permukaan enamel yang licin.

b. Permukaan oklusal yang melekuk (insisal yang beralur) dengan permukaan

dentin yang terbuka.

c. Meningkatnya translusensi pada insisal (Gambar 4).

d. Permukaan restorasi amalgam yang bersih dan tidak terdapat tarnish (Gambar

5).

e. Rusaknya karakteristik enamel pada gigi anak- anak.

f. Sering ditemui enamel “cuff” atau ceruk pada permukaan servikal.

g. Terbukanya pulpa pada gigi desidui.


Gambar 4. Wanita 14 tahun menunjukkan karakteristik kehilangan struktur pada

permukaan gigi yang menyeluruh dan enamel gigi insisivus maksila tampak seperti

terpolis. Lapisan enamel yang ada tampak sangat tipis (Gandara BK. J Contemp

Dent Pract 1999; 1(1): 3).

Gambar 5. Wanita 33 tahun Pada permukaan amalgam yang menonjol keluar, di

bawahnya terlihat perluasan erosi pada permukaan oklusal (Gandara BK. J

Contemp Dent Pract 1999; 1(1): 3).

Bentuk kerusakan gigi yang lainnya adalah atrisi. Atrisi merupakan kerusakan

pada permukaan gigi atau restorasi akibat kontak antar gigi selama pengunyahan atau

karena adanya parafungsi/kelainan fungsi, seperti bruksism (Gambar 6).


Gambaran klinis atrisi, sebagai berikut:

a. Kerusakan yang terjadi sesuai dengan permukaan gigi yang berkontak saat

pemakaian.

b. Permukaan enamel yang rata dengan dentin.

c. Kemungkinan terjadinya fraktur pada tonjol gigi atau restorasi.

Gambar 6. Wanita 42 tahun dengan kebiasaan bruksism, tampak adanya atrisi yang

sedang sampai yang parah (Gandara BK. J Contemp Dent Pract 1999; 1(1): 4).

Abrasi juga penyebab terkikisnya enamel dan akhirnya menyebabkan

terpaparnya dentin. Abrasi adalah kerusakan pada jaringan gigi akibat benda asing,

seperti sikat gigi, pasta gigi (Gambar 7) dan berbagai hal selain pengaruh kontak

dengan gigi antagonis (Lopez-Frias dkk., 2012).

Gambaran klinis abrasi, sebagai berikut:

a. Biasanya terdapat pada daerah servikal gigi.

b. Lesi cenderung melebar daripada dalam.

c. Gigi yang sering terkena P dan C.


Gambar 7. Abrasi pada gigi C dan P pasien. Pasien tersebut memiliki

kecenderungan menyikat giginya dengan kuat. Resesi ringan terjadi pada gingiva

dan semento-enamel yang mengalami keauasan tampak sebagai lesi abrasi pada

permukaan prominensia akar gigi (tanda panah) (Gandara BK. J Contemp Dent

Pract 1999; 1(1): 4).

Abfraksi juga dapat menyebabkan terkikisnya enamel (Gambar 8). Beda

dengan kerusakan gigi lainnya, abfraksi merupakan kerusakan permukaan gigi pada

daerah servikal akibat tekanan tensile dan kompresif (tekanan oklusal) selama gigi

mengalami flexure atau melengkung yang menimbulkan tekanan pada daerah servikal

(Shetty dkk., 2013).

Gambaran klinis abfraksi, sebagai berikut:

a. Kelainan ditemukan pada daerah servikal labial/bukal gigi.

b. Berupa parit yang dalam dan sempit berbentuk huruf V.


c. Pada umumnya hanya terjadi pada satu gigi yang mengalami tekanan

eksentrik pada oklusal yang berlebihan atau adanya halangan yang

mengganggu oklusi.

Gambar 8. Pasien yang berusia 33 tahun ini mengalami abfraksi di servikal gigi

posterior mandibula (Gandara BK. J Contemp Dent Pract 1999; 1(1): 4).

Atrisi adalah hilangnya email, dentin, atau restorasi karena ada kontak dengan

gigi antagonisnya. Pada beberapa kasus tertentu, atrisi, erosi, abrasi, dan abfraksi

tidak dapat dibedakan karena terdapat kombinasi antara dua atau lebih proses

tersebut. Proses atrisi disebabkan oleh faktor oklusi yang terjadi akibat adanya kontak

dengan gigi antagonisnya 2 saat mengunyah. Atrisi gigi merupakan salah satu bentuk

keausan gigi, yang memiliki tanda klinis yang mudah diamati (Oltramari-Navarro

dkk., 2010).

Atrisi diawali dengan proses kehilangan struktur email pada bagian insisal

atau oklusal gigi, yang semakin lama akan mengenai struktur dentin di bawahnya.

Pada saat berhasil melewati email maka proses atrisi akan dengan cepat
menghancurkan struktur dentin yang memiliki konsistensi lebih lunak dibandingkan

email (Garg dkk., 2009). Proses tersebut juga dapat terjadi pada permukaan bukal

atau lingual gigi, terutama pada individu dengan maloklusi gigi tertentu (Lussi,

2006).

Terdapat tiga tipe atrisi gigi yaitu atrisi fisiologis, intensif, dan patologis.

Atrisi fisiologis terjadi secara konstan dan seiring dengan proses penuaan setiap

individu akibat mastikasi. Proses atrisi fisiologis dimulai dari keausan pada tepi

insisal gigi insisivus kemudian tonjol palatal dan tonjol bukal gigi posterior rahang

atas. Atrisi juga dapat terjadi pada permukaan proksimal gigi pada area kontak. Atrisi

patologis terjadi karena adanya abnormalitas oklusi, pola mastikasi, dan kerusakan

struktur gigi individual. Pada atrisi jenis tersebut, keausan yang terjadi melibatkan

struktur gigi yang banyak sehingga fungsi mastikasi dan estetikanya terganggu

(Purkait, 2011).

Maloklusi gigi merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya atrisi

gigi. Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal meliputi

ketidakteraturan gigi-geligi dalam lengkung rahang seperti gigi berjejal, protrusif,

malposisi maupun hubungan yang tidak harmonis dengan gigi antagonisnya (Djnaid

dkk., 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada 3 hubungan antara

maloklusi dan terjadinya atrisi gigi, karena proses atrisi gigi sangat dipengaruhi oleh

relasi rahang atas dan rahang bawah saat mastikasi (Cunha-Cruz dkk., 2011).

Secara fisiologis, atrisi gigi terjadi seiring dengan proses penuaan, disebabkan

oleh proses mastikasi dan didukung oleh beberapa faktor lain seperti kebiasaan buruk
berupa bruxism, konsumsi makanan yang bersifat abrasif, dan adanya kontak

prematur (Djulaeha dan Sukaedi, 2009). Mastikasi terjadi ketika ada kontak oklusal

antara gigi-geligi rahang atas dan bawah untuk menghaluskan makanan. Gerakan

mastikasi pada dasarnya adalah gerak membuka dan menutup rahang ditambah

dengan kombinasi gerak antero-posterior dan lateral dengan gigi-geligi berada pada

keadaan kontak (Foster, 1997).

Pada gerakan mastikasi normal, gigi-geligi harus berada pada posisi yang

tepat agar dapat terjadi gerak fungsional tanpa halangan dari gigi yang salah letak.

Kontak gigi yang merugikan akan terjadi selama mastikasi apabila satu atau beberapa

gigi berada pada posisi yang salah, baik karena perkembangan atau restorasi yang

kurang baik dan ortodonti. Kontak gigi tersebut menimbulkan terjadinya mekanisme

refleks menghindar dari rahang bawah, yang mengganggu fungsi mastikasi dan dapat

mengakibatkan terjadinya kerusakan sendi temporomandibular (Foster, 1997).

Kondisi oklusi normal diperlukan untuk mencapai efisiensi mastikasi

maksimal yang konsisten dengan beban traumatik minimal yang mengenai gigi-geligi

dan jaringan pendukung serta otot mastikasi. Salah satu kriteria oklusi normal adalah

overjet dan overbite minimal, tetapi cukup besar untuk membuat 4 gigi posterior

tidak saling berkontak pada gerak lateral dari rahang bawah, ke luar dari oklusi

sentrik (Foster, 1997). Pada malrelasi jenis deep overbite, jarak vertikal antara tepi

insisal gigi insisivus atas dan bawah lebih dari normal, yaitu lebih dari 3 mm (Rao,

2012). Adanya jarak vertikal berlebih tersebut menimbulkan relasi rahang atas dan
rahang bawah yang berbeda dari oklusi normal sehingga pola atrisi yang muncul juga

berbeda (Cunha-Cruz dkk., 2011).

Anda mungkin juga menyukai