Anda di halaman 1dari 129

Tutorial CD 4 Kasus 3

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas tutorial yang diberi oleh
Farina Pramanik, drg., MM.,Sp.RKG

Disusun Oleh :

Jelita Permatasari 160110140013


Sitta Zahratunnisa 160110140014
Sarasti Laksmi Anindita 160110140015
Dwi Afuan 160110140016
Regyana Oktavaria E 160110140017
Hilda Hindasah 160110140018
RA. J. Aulia Maharani D 160110140019
Ranadhiya Maitsa 160110140020
Putri Sundari 160110140021
Fitri Rahmadhanti 160110140022
Dina Purnamasari 160110140023
Dwinda Sandyarini S 160110140024

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Tutorial

CD 4 kasus 3.

Laporan ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Farina Pramanik, drg.,

MM.,Sp.RKG yang telah membimbing kami dalam proses penyelesaian makalah ini

dan berbagai arahan yang telah diberikan demi tersusunnya makalah ini serta semua

pihak yang turut membantu pembuatan makalah ini yang tidak bisa penyusun

sebutkan satu persatu. Kami yakin dalam makalah ini masih banyak kekurangan.

Penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk kemajuan makalah ini di masa

mendatang.

Jatinangor, 30 September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................... i

Daftar Isi...................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 4

1.1 Skenario .......................................................................................................... 4

1.2 Analisis kasus ................................................................................................. 5

1.2.1 Terms....................................................................................................... 5

1.2.2 Problems.................................................................................................. 5

1.2.3 Hipotesis.................................................................................................. 6

1.2.4 Mekanisme .............................................................................................. 6

1.2.5 More Info ................................................................................................ 7

1.2.6 I Dont Know .......................................................................................... 7

1.2.7 Learning Issues........................................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8

2.1 Informed Consent ........................................................................................... 8

2.2 Transaksi Terapeutik .................................................................................... 17

2.3 Hubungan Dokter Pasien .............................................................................. 34

2.4 Etika Rujukan ............................................................................................... 42

2.5 Konsep, Jenis Pelanggaran, dan Saksi pada Pelanggaran Etika dan Disiplin

46

ii
2.6 Konsep Dasar Hukum Kesehatan ................................................................. 64

2.7 Evaluasi Analisis Praktik.............................................................................. 80

2.8 Mekanisme Tuntutan Dugaan Kelalaian, Malpraktik, Pelanggaran Etika dan

Disiplin Profesi ..................................................................................................... 121

BAB III PEMBAHASAN ....................................... Error! Bookmark not defined.

iii
4

BAB I

PENDAHULUAN

Skenario

Klinik dokter gigi SENYUM CEMERLANG yang dipimpin oleh

Drg. Alaska telah berjalan selama 4 tahun. Drg. Alaska dibantu oleh Drg.

Clody sebagai Dokter Gigi Umum untuk menajalankan prakteknya. Klinik

Senyum Cemerlang dalam 1 tahun terakhir mengalami kesulitan finansial.

Pasien yang datang per hari mengalami penurunan. Drg. Clody sekarang

juga sedang menghadapi masalah di kliniknya yang berhubungan dengan

sanksi etik dan hukum. Masalah tersebut terjadi pada tanggal 2 Mei 2017

ada pasien bernama Mr. S usia 36 tahun datang ke klinik Sentosa Jaya

dengan diagnosa adalah abses periapikal e.c nekrosis pulpa gigi 38 dan

perawatannya adalah odontektomi gigi 26. Drg. Clody tidak merujuk pasien

dan langsung melakukan tindakan odontektomi pada Mr. S tanpa diberikan

formulir informed consent. Setelah dilakukan perawatan Mr. S mengeluh

terjadi perdarahan. Mr. S merasa kecewa dengan Drg. Clody sejak awal

tidak mengkomunikasikan tentang diagnosa, perawatan yang dilakukan dan

komplikasi pasca perawatan. Mr. S merasa dirugikan, sehingga mengadukan

kelalaian/malpraktik tersebut kepada Majelis Kehormatan Disipilin

Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari permasalahan tersebut jumlah

pasien semakin menurun. Untuk memperbaiki kondisi di Klinik Sentosa

Senyum Cemerlang, akhirnya Drg. Alaska sebagai pimpinan klinik


5

melakukan evaluasi yang dilihat dari aspek finansial dan non finansial,

dimana sebelumnya dari awal membuat klinik Drg. Alaska belum pernah

melakukan evaluasi.

Analisis kasus

2.2 Terms

1. Informed Consent

2. MKDKI

3. Aspek finansial dan non finansial

2.3 Problems

1. Klinik Senyum Cemerlang dalam 1 tahun terakhir mengalami

kesulitan finansial.

2. Pasien yang datang per hari mengalami penurunan.

3. Drg. Cloudy sedang menghadapi masalah sanksi etik dan

hukum.

4. Drg. Cloudy tidak merujuk pasien dan langsung melakukan

odontektomi tanpa informed consent dan pasien mengeluh

perdarahan.

5. Mr. S kecewa karena Drg. Clody tidak mengkomunikasikan

diagnosa perawatan dan komplikasi pasca perawatan.

6. Mr. S merasa diragukan sehingga mengadukan kelalaian ke

MKDKI.

7. Drg. Clody belum pernah melakukan evaluasi.


6

2.4 Hipotesis

Klinik Senyum Cemerlang tidak mengetahui etik dan

hukum dalam praktik dokter gigi dan belum pernah melakukan

evaluasi.

2.5 Mekanisme

Klinik Senyum Cemerlang kesulitan finansial



Pasien datang mengalami penurunan

Mr. S kecewa : Belum pernah

Tidak melakukan evaluasi

mengkomunikasikan
diagnosa, perawatan,
komplikasi pasca
perawatan
Tidak merujuk
Tidak memberikan
informed consent

Klinik Senyum Cemerlang tidak


mengetahui etik dan hukum praktik dokter gigi

Melakukan evaluasi dari aspek finansial


dan non finansial
7

2.6 More Info

2.7 I Dont Know

1. Apa itu informed consent?

2. Apa itu transaksi terapeutik?

3. Bagaimana pola hubungan dokter dan pasien?

4. Bagaimana etika rujukan?

5. Bagaimana konsep, jenis pelanggaran dan sanksi pada

pelanggaran etika disiplin?

6. Bagaimana konsep dasar hukum kesehatan?

7. Bagaimana evaluasi analisis praktik berdasarkan aspek

finansial dan non finansial?

8. Apa itu kelalaian dan malpraktik?

9. Bagaimana mekanisme tuntutan duggaan kelalaian malpraktik,

pelanggaran etika dan disiplin profesi?

2.8 Learning Issues

1. Mengapa penurunan pasien menyebabkan klinik Senyum

Cemerlang mengalami kesulitan finansial?

2. Mengapa drg. tidak memberikan informed consent?

3. Mengapa drg. tidak merujuk pasien?

4. Mengapa ketika dokter gigi tidak memberitahukan diagnosa

termasuk pelanggaran etika dan hukum?

5. Mengapa perlu dilakukan evaluasi finansial dan non finansial?


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Informed Consent

2.1.1 Definisi Informed Consent

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang

berarti informasi atau keterangan dan consent yang berarti

persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian informed consent

adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.

Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai

pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa

persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh

dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat

persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan

dilakukan oleh dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur

pemaksaan.

Istilah Bahasa Indonesia informed consent diterjemahkan

sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata

Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent

berarti persetujuan. Sehingga secara umum informed consent dapat

diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien

kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan,


9

setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut.

(M. Achadiat, Chrisdiono, 2006).

Informed consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per

/ IX / 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan

mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien

tersebut.

Dapat diartikan informed consent merupakan suatu proses

komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian

izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu .

Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai orang yang memberi

terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus menjelaskan

dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini.

2.1.2 Bentuk Persetujuan Informed Consent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis (Amril Amri et

al., 1997) yaitu,

a. Implied Consent (Dianggap Diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan

normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan

medis tersebut dari isyarat yang diberikan/ dilakukan pasien.

Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter

memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan

tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada


10

ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik

terbaik menurut dokter (Amril Amri et al., 1997).

b. Expressed Consent (Dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam

tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung resiko,

dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau

yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin

operasi (Kaplan et al., 2007).

2.1.3 Prinsip Dasar

Dalam Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, telah diatur tentang

Informed Consent ini pada Pasal 45 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang isinya antara lain:

a. Ayat 1: Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien

harus mendapat persetujuan.

b. Ayat 2: Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

c. Ayat 3: Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

sekurang-kurangnya mencakup:

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis

b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan

c) Alternatif tindakan lain dan resikonya


11

d) Risikonya dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

d. Ayat 4: Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

e. Ayat 5: Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan.

f. Ayat 6: Ketentuan mengenai tata cara prsetujuan tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksudkan

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur

dengan Peraturan Menteri.

2.1 Komponen Informed Consent

Terdapat tiga elemen informed consent :

a. Threshold Elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai

elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi

consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten

disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan

medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan

sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak

memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh.

Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat


12

keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan

alasan yang reasonable).

b. Information Elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure

(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian

berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi

kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)

sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman

yang adekuat.

c. Consent Elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness

(kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi

ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang

dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan

dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.

d. Aspek Etika dan Hukum

Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak

disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu

kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan

ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang

sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu

hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin
13

ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri,

mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.

Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap

informed consent rumit dan kontroversial, intisari dari

pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah

dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks

klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter

mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi

kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya.

Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak

memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu

pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima

kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan

cedera tersebut. Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi

finansial daripada pada pemberian informasi dan izin yang

diberikan pasien secara umum.

Dari segi filsafat etika, informed consent terutama

menyangkut pilihan secara otonomi dari pasien dan subyek

penelitian.

Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua pendekatan

ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori

pragmatis. Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau

menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter, yang


14

mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti

rugi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan

filsafat moral/ etika datang dari prinsip menghargai otonomi,

dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai

hak untuk membuat pilihan secara otonomi.

Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini sangatlah

sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan

diperbandingkan. Terdapat banyak sekali beda pendapat

mengenai hal ini. Selanjutnya dibahas mengenai dasar-dasar

etika dalam informed consent.

2.2 Aspek Etik, Disiplin, dan Hukum Informed Consent

Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak.

Ada empat prinsip etika di dalam informed consent.:

a. Respe atau menghargai terhadap otonomi (respect for

autonomy)

Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap

bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan

itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional.

Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien

berarti bahwa si pasien/ klien mempunyai kemampuan untuk

berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan

pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa

menghilangkan kebebasannya.
15

b. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence/primum non

nocere).

Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja

menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat

tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan

(omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai

apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak

layak (unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan

yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan

hal yang diinginkan masyarakat secara common sense.

c. Kemaslahatan (beneficence)

Adalah kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan

kemaslahatan, kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga

untuk mengambil langkah positip mencegah dan menghilangkan

kecederaan dari pasien..

d. Keadilan (justice)

Keempat prinsip ini bersifat prima facie, suatu istilah

yang diperkenalkan filosof Inggris, W.D. Ross, yang berarti:

Suatu prinsip adalah memikat, kecuali apabila prinsip tersebut

mempunyai konflik dengan prinsip lain. Apabila terdapat

konflik, kita harus memilih di antara keduanya.

e. Harga diri (dignity)

Pasien, dan dokter mempunyai hak atas harga dirinya


16

f. Kebenaran dan kejujuran (truthfulness and honesty)

Kebenaran dan kejujuran adalah suatu keharusan di

dalam hubungan dokter pasien / subyek. Informed consent

diberikan oleh pasien / subyek berdasarkan informasi yang

benar dan jujur.

2.3 Contoh Informed Consent


17

Transaksi Terapeutik

Dalam pelayanan medis umumnya dokter melihat pasien dan

keluarganya datang meminta bantuan dan ia sebagai dokter berkewajiban

untuk membantunya. Dokter tidak pernah membuat suatu perjanjian

tertulis sebelum mengobati pasien, kecuali persetujuan yang diperlukan

dokter di rumah sakit saat akan melakukan tindakan bedah.

Namun, keadaan itulah yang sekarang harus diketahui dan

dipahami oleh para dokter bahwa memang ada landasan hukum yang

mengatur tentang hubungan dua pihak yang bersepakat untuk mencapai

suatu tujuan. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditaati.

Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka pihak yang

dirugikan dapat menuntut atau menggugat.

1. Pengertian transaksi terapeutik

Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan, yaitu hubungan

timbal balik antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal.

Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam

bidang pengobatan. Istilah ini tidak sama dengan therapy atau terapi

yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan

pasien bukan di bidang pengobatan saja, tetapi lebih luas mencakup

bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif sehingga

persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik

(Komalawati, 1997).
18

Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat

menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan

akan selalu berhasil sesuai dengan yang diinginkan pasien atau

keluarga, yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal.

Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata

termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha

maksimal (inspanningsverbintesnis). Ini berbeda dengan ikatan yang

termasuk kategori perikatan yang berdasarkan hasil kerja

(resultaatsverbintnis) (Komalawati, 1997).

Transaksi terapeutik merupakan kegiatan di dalam

penyelenggaraan praktik dokter berupa pemberian pelayanan

kesehatan secara individual atau disebut pelayanan medik yang

didasarkan atas keahlian dan keterampilan serta ketelitian. Sifat

hubungan pelayanan medik itu merupakan faktor utama yang

menentukan hasil komunikasi antara dokter dengan pasien, antara lain

terjalinnya kerja sama yang baik, pentaatan terhadap aturan medik

(pengobatan), dan upaya pencapaian tujuan pelayanan medik

(Komalawati, 1997).

Didasarkan Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang

dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehan RI Nomor :

434/MEN.KES/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran

Indonesia bagi para dokter di Indonesia, maka yang dimaksud dengan

transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang


19

dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), senantiasa

diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transaksi

terapeutik merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling

mengikatkan diri didasarkan sikap saling percaya. Apabila

dihubungkan dengan Pasal 1313 jo 1320 Buku III KUHPerdata, maka

hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri

didasarkan kesepakatan disebut perjanjian. Akan tetapi sikap saling

percaya itu akan dapat ditumbuhkan jika terjalin komunikasi secara

terbuka antara dokter dan pasien karena masing- masing dapat saling

memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi

terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi

terapeutik tersebut.

2. Asas hukum transaksi terapeutik

Di dalam pasal 2 UU nomor 2 tahun 1992 dirumuskan asas-

asas yang memberikan arah dalam pembangunan kesehatan, yaitu:

asas perikemanusiaan yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa,

asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas

perikehidupan dan keseimbangan, asas kepercayaan pada kemampuan

dan kekuatan sendiri. Didasarkan asas-asas tersebut, pembangunan

kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar tewujud derajat

kesehatan masyarakat yang optimal. Oleh karena itu, guna


20

mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, maka

diselengarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan,

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan

(rehabilitatif) yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan.

Oleh karena itu transaksi terapeutik merupakan hubungan

hukum antara dokter dan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum

yang mendasari atau terkandung dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku sebagai berikut:

a. Asas legalitas.

Di dalam UU nomor 23 tahun 1992 asas ini tersirat dari

ketentuan pasal 50 yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan

bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan

sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga

kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan

medik hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang

bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan, karena disamping

menyangkut pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan

kesehatan, juga menyangkut kebijaksanaan pemerintah didalam

mengantisipasi usaha penanaman modal asing dalam

penyelenggaraan praktik pelayanan medik swasta yang cenderung


21

berorientasi bisnis (komersial) semata-mata. Sehubungan dengan

itu, didasarkan pasal 57 ayat (2) UU tersebut, sarana kesehatan

baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta harus

tetap memerhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu

dan tidak semata-mata mencari keuntungan. Asas ini memberikan

kepastian dan perlindungan bagi terlaksananya otonomi

profesional seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik.

Untuk itu, undang-undang juga menjelaskan bahwa bagi tenaga

kesehatan (termasuk dokter) yang melaksanakan tugasnya sesuai

dengan profesinya berhak memperoleh perlindungan hukum

(Pasal 53 ayat (1) UU nomor 23 tahun 1992) otonomi profesional

yang dimaksud adalah suatu bentuk kebebasan bertindak selaku

profesional dibidang kedokteran, yaitu untuk mengambil

keputusan sesuai dengan rencana upaya yang ditentukannya

sendiri didasarkan keahlian, keterampilan, dan ketelitian yang

dimilikinya guna memberikan bantuan kepada pasien yang

membutuhkannya (Komalawati, 1997).

b. Asas keseimbangan.

Di samping memberikan kepastian dan perlindungan

terhadap kepentingan manusia, hukum juga memulihkan

keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu ke keadaan

semula, maka asas ni juga sangat diperlukan dalam pelayanan

medik. Didalam UU nomor 23 tahun 1992, asas ini telah


22

terkandung dalam pasal 2(e), yaitu asas perikehidupan dalam

keseimbangan. Menurut asas ini, penyelenggaraan kesehatan

harus, diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan

individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material

dan spiritual, didalam pelayanan medik, dapat diartikan sebagai

keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil,

antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medik

yang dilakukan (Komalawati, 1997).

c. Asas tepat waktu

Asas ini sangat diperlukan karena akibat kelalaian

memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat

menimbulkan kerugian pada pasien. Sehubungan dengan itu

dalam Pasal 55 UU No 23 Tahun 1992 ditegaskan bahwa setiap

orang berhak atas ganti kerugian akibat kesalahan atau kelalaian

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Komalawati, 1997).

d. Asas itikad baik

Di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata disebutkan

bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, namun

pasal ini tidak menjelaskan artinya.

e. Asas kejujuran

Asas ini juga seharusnya melandasi kewajiban dokter

untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

seperti yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU No 23 Tahun 1992


23

sebagaimana telah disebutkan diatas. Pada umumnya kejujuran

seseorang dapat mengakibatkan perilakunya dapat diduga

sehingga mendorong orang lain untuk percaya. Oleh akrena itu

kejujuran disebut sebagai salah satu faktor yang dapat

menumbuhkan sikap percaya, sehingga kejujuran merupakan

salah satu asas yang penting peranannya dalang suatu hubungan

kepercayaan (Komalawati, 1997).

f. Asas kehati-hatian

Asas ini tersirat dari ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU No

23 Tahun 1992, bahwa dokter bertanggung jawab atas kesalahan

atau kelalaiannya dalam melaksanakan profesinya. Pada dasarnya,

setiap orang sebelum melakukan sesuatu dalam hubungannya

dengan orang lain harus bersikap hati-hati. Apalagi dokter sebagai

seorang ahli atau profesional di bidang medik, maka tindakannya

harus didasarkan atas ketelitiannya dalam menjalankan fungsi dan

tanggung jawabnya. Dengan demikian, dokter sebagai seorang

profesional, bukan hanya dituntut memiliki keahlian dan

keterampilan, melainkan juga ketelitian atau kecermatan

bertindak (Komalawati, 1997).

g. Asas keterbukaan

Asas ini telah terkandung dalam Asas Usaha Bersama Dan

Kekeluargaan yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU No 23

Tahun 1992. Pelayanan medik merupakan salah satu upaya


24

kesehatan yang harus dilaksanakan secara berdayaguna dan

berhasilguna, dan hanya dapat tercapai apabila ada kerja sama

antara dokter dan pasien didisarkan dengan asas saling percaya.

Untuk itu, asas keterbukaan diperlukan karena sikap saling

percaya tersebutdapat ditumbuhkan jika terjadi komunikasi secara

terbuka antara dokter dan pasien (Komalawati, 1997).

Dari uraian diatas, dapat disimpulan bahwa pada dasarnya

asas-asas hukum tersebut diatas bersumber pada prinsip etis yang

berlaku di dalam pergaulan masyarakat. Asas-asas hukum

tersebut di atas, besar peranannya sebagai landasan pokok

dirumuskannya peraturan hukum yang dapat diberlakukan dalam

hubungannya pelayanan medik. Dilihat dari ciri hubungan

pelayanan medik yaitu sebagai pemberian pertolongan, maka

asas-asas tersebut telah terkandung dalam ketentuan UU No 23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan, baik yang mengatur tentang

tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan medik, maupun

individu sebagai penerima pelayanan kesehatan (Komalawati,

1997).

3. Tujuan transaksi terapeutik

Oleh karena transaksi teurapeutik merupakan bagian pokok dari

upaya kesehatan yaitu berupa pemberian pelayanan medik yang

didasarkan atas keahlian, keterampilan, serta ketelitian, maka


25

tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan ilmu kedokteran itu

sendiri, sebagaimana tersebut di bawah ini:

Pertama, yaitu untuk menyembuhkan penyakit. Dalam

hubungan ini, pemberi pelayan medik berkewajiban untuk memberikan

bantuan medik yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemamppuan

untuk menyembuhkan, dan dapat mencegah atau menghentikan proses

penyakit yang bersangkutan. Secara yuridis ditegaskan dalam Pasal 50

UU No 23 Tahun 1992 bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan

profesinya bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan

kesehatan sesuai dengan idang keahlian dan atau kewenangannya.

Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap

tenaga kesehatan termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan

hukum, sepanjang kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan standar

profesi dan tidak melanggar hak pasiennya. Adapun standar profesi

yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah standar pelayanan medik

yang disusun oleh IDI, yang selanjutnya digunakan dengan istilah

standar medik. Standar medik itu dapat dirumuskan sebagai cara

bertindak secara medik dalam peristiwa yang nyata berdasarkan ilmu

pengetahuan dan pengalaman. Dengan demikian standar medik dapat

meliputi lebih dari satu metode pengobatan dan perawatan

(Komalawati, 1997).

Kedua, untuk meringankan penderitaan. Oleh karena tindakan

medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan


26

kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki

keadaan pasien, atau agar keadaan kesehatan pasien lebih baik dari

sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan

metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya

dihindarkan (Komalawati, 1997).

Ketiga, untuk mendampingi pasien. Di dalam pengertian ini,

termasuk juga mendampingi menuju ke kematiannya. Kegiatan

mendampingi pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan

menyembuhkan pasien. Di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan

yang menyatakan bahwa kegiatan yang didasarkan keahlian secara

teknis merupakan kewajiban yang lebih penting daripada kegiatan

untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendampingi

pasien. Oleh karena itu, jika pendidikan ilmu kedokteran kurang

memerhatikan masalah kewajiban profesional menurut norma etis dan

hukum, maka para dokter yang dihasilkannya cenderung untuk

melakukan kegiatan teknis pelayanan medik (Komalawati, 1997).

4. Prinsip Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik meningkatkan pemahaman dan

membantu terbentuknya hubungan yang konstruktif diantara perawat-

klien. Tidak seperti komunikasi sosial, komunikasi terapeutik

mempunyai tujuan untuk membantu klien mencapai suatu tujuan

dalam asuhan keperawatan. Oleh karenanya sangat penting bagi


27

perawat untuk memahami prinsip dasar komunikasi terapeutik berikut

ini;

1. Hubungan perawat dan klien adalah hubungan terapeutik yang

saling menguntungkan, didasarkan pada prinsip humanity of

nurses and clients. Hubungan ini tidak hanya sekedar hubungan

seorang penolong (helper/perawat) dengan kliennya, tetapi

hubungan antara manusia yang bermartabat (Dult-Battey,2004).

2. Perawat harus menghargai keunikan klien, menghargai perbedaan

karakter, memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat

perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap

individu.

3. Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri

pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus

mampu menjaga harga dirinya dan harga diri klien.

4. Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling

percaya (trust) harus dicapai terlebih dahulu sebelum

menggali permasalahan dan memberikan alternatif

pemecahan masalah (Stuart,1998). Hubungan saling percaya

antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi

terapeutik.

Didalam sumber yang lain ditakan bahwa beberapa prinsip

dasar yang harus dipahami dalam membangun hubungan dan

mempertahankan hubungan yang terapeutik :


28

1. Hubungan dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling

menguntungkan, didasarkan pada prinsip Humanity of Nursing

and Clients.

2. Perawat harus menghargai keunikan klien, dengan melihat latar

belakang keluarga, budaya dan keunikan tiap individu.

3. Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri baik

pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus

mampu menjga harga dirinya dan harga diri klien.

4. Komunikasi yang menumbuhkan hubungan saling percaya harus

dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan

memberikan alternative pemecahan masalahnya.

5. Dasar hukum transaksi terapeutik

Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata,

yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam

ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa

(Komalawati, 1997) :

Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus,

maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada

peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu.

Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan

dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam

KUHPerdata. Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku


29

ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab

I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersumber pada

perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan

demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut harus dipenuhi syarat-syarat

yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang

ditimbulkannya diatur dalaM Pasal 1338 KUHPerdata , yang

mengandung asas pokok hukum perjanjian (Komalawati, 1997).

Selanjutnya, ketentuan Pasal 1233 Bab I Buku III KUHPerdata,

menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan baik karena

perjanjian maupun karena undang-undang. Dari ketentuan pasal ini,

dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari

perikatan, dan perikatan dapat ditimbulkan dari perjanjian. Bukan

hanya perjanjian yang dapat menimbulkan perikatan tetapi ktentuan

perundang-undangan juga dapat menimbulkan perikatan. Dihubungkan

dengan ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Bab II Buku III

KUHPerdata, terlihat konsekuensi logis ketentuan mengenai sumber

perikatan tersebut karena pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya

terikat pada hal-hal yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga pada

segala hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut undang-

undang. Oleh karena itu, menyadari bahwa dari suatu perjanjian dapat

timbul berbagai perikatan baik bersumber dari perjanjian itu sendiri,

maupun karena menurut sifat perjanjiannya diharuskan menurut

undang-undang maka dalam menentukan dasar hukum transaksi


30

terapeutik tidak seharusnya mempertentangkan secara tajam kedua

sumber perikatan tersebut di atas. Walaupun kedua sumber tersebut

dapat dibedakan, tetapi keduanya saling melengkapi dan diperlukan

untuk menganalisis hubungan hokum yang timbul dari transaksi

terapeutik (Komalawati, 1997).

Apabila transaksi terapeutik itu dikategorikan sebagai perjanjian

yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUHPerdata,

maka termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam

ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah

Undang-Undang no 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan (Komalawati,

1997).

6. Proses transaksi terapeutik

Oleh karena dalam menghadapi masalah kesehatannya

seseorang tidak dapat menanganinya sendiri, maka diperlukan bantuan

atau pertolongan seorang ahli dibidang medik. Akan tetapi banyak

masalah kesehatan yang tidak dapat ditangani dan diselesaikan

ditemapat praktik dokter tetapi harus dilakukan diklinik dengan berobat

jalan atau dirumahsakit dengan opname. Ada banyak tenaga kesehatan

juga yang harus diurus oleh dokter di Rumah Sakit sehingga ada

berbagai peraturan yang dibuat pihak rumah sakit tersebut

(Komalawati, 1997).
31

a. Terjadinya Transaksi Terapeutik

Pada umumnya seseorang yang merasakan adanya

gangguan terhadap kesehatannya dan telah berusaha mengatasi

gangguan tersebut tetapi tidak berhasil, maka orang tersebut akan

berusaha mencari pertolongan. Oleh karena setiap orang

bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri maka jika seseorang

menggunakan orang lain untuk menolong mengatasi permasalahan

kesehatannya, berarti sebagian tanggunang jawabnya diserahkan

kepada pemberi bantuan. Namun karena yang diminta bantuan itu

seorang dokter yang memiliki kemampuan profesional dan terikat

pada norma etis dan norma hukum tertentu yang mengatur

kewajiban profesionalnya maka sebagai pemberi pertolongan maka

dokter juga mempunyai kewajiban profesional terlepas dari adanya

permintaan pertolongan tersebut. Seharusnya pasien juga akan

mendapatkan pertolongan yang sebaik-baiknya didasarkan

keahlian, kewenangan serta ketelitian seorang pemberi jasa

profesional dibidang medik. Apalagi sesuai dengan sistem

pelayanan kesehatan yang berlaku di indonesia, dokter

berkedudukan sebagai abdi negara yang mengemban tugas untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan menggunakan

keahlian profesionalnya sehubungan dengan itu, didalam Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1992 ditegaskan bahwa

tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk


32

memenuhi standar propesi dan memenuhi hak pasien (Komalawati,

1997).

b. Syarat Sahnya Transaksi Teraputik

Dalam menentukan tindakan medik, informed consent atau

persetujuan yang didasarkan atas informasi atau penjelasan

dibutuhkan sebagai bentuk suatu perjanjian antara dokter dengan

pasien. Di Indonesia diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan

medik. Suatu perjanjian akan sah jika memenuhi syarat sesuai

undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat

hukum disebut Legally Concluded Contract (Wijanarko dan Sari,

2014).

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sah perjanjian adalah

(Wijanarko dan Sari, 2014) :

1. Adanya persetujuan kehendak antar pihak yang membuat perjanjian

(Consensus). Diperlukan kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur

oleh kontrak tersebut oleh kedua belah pihak. Tidak ada unsur paksaan

dan penipuan.

2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian (Capacity).

Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila

sudah dewasa yang berarti elah mencapai 21 tahun atau sudah menikah

meskipun belum 21 tahun. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata,

dikatakan tidak cakap jika yang membuat perjanjian belum dewasa,


33

orang berada dibawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka

harus diwakili oleh wali mereka.

3. Ada suatu hal tertentu (Object). Suatu hal tertentu merupakan objek

perjanjian. Pada Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa Suatu

perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling

sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah

barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan /

dihitung. Kejelasan mengenai objek perjanjian adalah untuk

memungkinkan pelaksanaan dan kewajiban para pihak.

4. Ada suatu sebab yang halal (Causa), yaitu isi perjanjian

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak yang membuat

perjanjian. Tidak diperbolehkan membuat kontrak untuk melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan hukum.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena melekat

pada diri orang yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat tidak dipenuhi,

perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan dibatalkan,

perjanjian tetap mengikat para pihak yang membuat kesepakatan

(Wijanarko dan Sari, 2014).

Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena

mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak

dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian

tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi

kewajibannya (Wijanarko dan Sari, 2014).


34

Hubungan Dokter Pasien

a. Hubungan Dokter dan pasien

Pasien senantiasa harus prercaya kepada kemampuan dokter,

kepada siapa pasien menyerahkan nasibnya. Pasien merasa beruntunga

dan tentram, apabila dokter berusaha sungguh-sungguh untuk

menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian, pada umumnya,

didasarkan kepada kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman

warga masyarakat yang menjadi pasien. Namun, keadaan demikian

lama kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan

perkembangan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Dengan

semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

terhadap tanggung jawab atas kesehatan sendiri, maka kepercayaan

yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara pribadi, sekarang

bergeser ke arah kemampuan ilmunya. Timbul kesadaran masyarakat

untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan tidak lagi

sepenuhnya pasrah kepada dokter.

Menurut Dassen (Soekanto, 1987:2), hubungan antara dokter

dan pasien mengalami perkembangan sebagai berikut:

1. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang

membahayakan kesehatannya. Segi psikobiologisnya memberikan

suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit. Dalam hal ini,

dokter dianggap sebagai pribadi yang akan dapat menolongnya

karena kemampuan secara ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan


35

yang lebih tinggi dan peranan yang lebih penting daripada pasien

(dari sudut pandangan pasien).

2. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya akit dan dokter

akan mampu menyembuhkannya. Dalam hal ini, pasien

menganggap kedudukannya sama dengan dokter, tetapi peranan

dokter lebih penting dari dirinya.

3. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang

intensif dan mengobati penakit yang ditemukan. Hal ini mungkin

diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi pemeriksaan

yang bersifat preventif.

Akan tetapi, menurut Dassen jika hubungan antara dokter dan

pasien itu didasarkan pada asurasnsi social, makal hubungan itu tidak

dapat dilihat terlepas dari keseluruhan hubungan antara pelayanan

kesehatan dan masyarakat. Dengan kata lain, jika asuransi itu oleh

pemerintah dijadikan sebagai salah satu usaha untuk memberikan

jaminan social kepada masyarakat, maka hubungan antara dokter dan

pasien merupakan hubungan individual yang tidak terlepas dari

masyarkat. Demikian pula apabila dokter yang bersangkutan

merupakan pegawai sebuah rumah sakit, maka tindakannya juga terikat

pada hubungan dengan rumah sakit yang bersangkutan dan peraturan

yang lain.
36

Leenen mengemukakan sejumlah gejala yang telah berperan

sehingga terjadi perubahan mengenai hubungan antara dokter dan

pasien antara lain:

1. Posisi tidak bebas dari seorang pasien terpaksa harus mencari

pertolongan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ketidakbebasan

ini mengakibatkan semakin meningkatnya pasien rumah sakit,

karena adanya perubahan dalam lingkungan hidup.

2. Sifat professional para dokter terhadap para pasiennya. Sifat

professional itu didasarkan pada pengetahuannya, cara berpikirnya

dan dengan metodenya sendiri. Dalam pemberian pertolongan para

dokter menerjemahkan peroblema dari seorang pasien dengan

pemikirannya sendiri, karena tindakan yang sifatnya tidak

professional tidak boleh dilakukannya. Kerugiannya adalah proses

pemberian bantuan itu telah tidak diketahui oleh pasien. Dengan

demikian, sifat sebagai professional dalam hal tertenru telah

menjauhkan hubungan antara dokter dan pasien.

b. Prinsip Pola Hubungan Dokter dan Pasien

Pola hubungan dokter pasien merupakan macam-macam cara

yang digunakan dalam interaksi profesional antara dokter dan pasien.

Prinsip hubungan dokter pasien:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak

pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self

determination) sehingga melahirkan inform consent.


37

2. Prinsip Beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan

tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien.

3. Prinsip non Maleficience, yaitu prinsip moral yang melarang

tindakan memperburuk keadaan pasien, primum non nocere atau

above all do no harm.

4. Prinsip Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan

keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber

daya (distributive justice)

c. Manfaat Pola Hubungan Dokter dan pasien

Manfaat Pola hubungan dokter pasien

1. Mengetahui kebutuhan pelayanan pasien. Pasien yang memiliki

kerakter tertentu tentunya membutuhkan penanganan khusus,

sehingga jika mengetahui apa yag dibutuhkan pasien perawatan

akan lebih mudah dilakukan.

2. Memahami perawatan yang dibutuhkan pasien

3. Membantu kesembuhan pasien

d. Pola Hubungan Dokter-Pasien

Relasi pasien dan dokter adalah proses utama dari praktik

kedokteran. Terdapat banyak pandangan mengenai hubungan relasi

ini. Pandangan yang ideal, seperti yang diajarkan di fakultas

kedokteran, mengambil sisi dari proses seorang dokter mempelajari

tanda-tanda, masalah, dan nilai-nilai dari pasien, maka dari itu dokter

memeriksa pasien, menginterpretasi tanda-tanda klinis, dan membuat


38

sebuah diagnosis yang kemudian digunakan sebagai penjelasan kepada

pasien dan merencanakan perawatan atau pengobatan.

Hubungan antar dokter-pasien yaitu dokter dianggap

mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mendiagnosa dan

menyembuhkan penyakit, dalam hal ini terjadi interaksi profesional.

Sri Praptianingsih mencatat bahwa hubungan dokter dengan

pasien dapat berkembang dalam tiga pola, yaitu engineering,

paternalistik, dan kontrak sosial. Pola engineering dilandasi kesadaran

bahwa dokter adalah orang profesional dan menjalankan tugas

profesinya secara objektif. Pola paternalistik dokter dianggap sebagai

orang yang memiliki tanggung jawab profesi sekaligus tanggung jawab

moral. Status dokter atau tenaga medis diposisikan sebagai orang yang

mengetahui tindakan terbaik untuk pasien. Pada pola kontrak sosial,

kerja sama antara pasien, kesepakatan atau kesepahaman antara kedua

belah pihak, termasuk hak dan kewajibannya, dilakukan setelah

keduanya ada kesepakatan (baik tertulis maupun tidak tertulis). Pola ini

merupakan perpaduan antara pola engineering maupun paternalistik.

2.2.1 Hubungan Dokter-Pasien Menurut Solis

Solis seorang guru besar Philipina dalam bidang Legal

Medicine dan Medical Jurisprudence, menyebutkan ada tiga pola

hubungan antara dokter dan pasien, yaitu :


39

a. Activity-Passivity Relation

Tidak ada interaksi antara dokter dan pasien karena

pasien sangat pasif dan dokter menguasai penuh dalam

menentukan pengobatan pasien. Pola seperti ini terdapat dalam

situasi emergensi dimana pasien tidak sadar.

b. Guidance-Cooperation Relation

Meskipun pasien sakit, pasien sadar dan dapat

mengemukakan pendapat. Disini dokter dan pasien dapat

berdiskusi pengobatan yang akan dilakukan. Dokter berada

dalam posisi kepercayaan

c. Mutual Participation Relation

Pasien berpikir ia secara yuridis sama dengan dokter dan

bahwa hubungannya dengan dokter bersifat perjanjian

dinegosiasikan antara pihak yang sama. Dokter biasanya merasa

bahwa pasien tidak kooperatif dan sulit, sedangkan pasien

menganggap dokter tidak simpatik dan kurang memahami

pasien.

Activity-passivity relation dapat ditemukan dalam prototip

hubungan orang tua dan anak yang masih kecil, yang hanya

menerima segala sesuatu yang dilakukan oleh orangtua. Hubungan

ini paling dikenal sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik

yaitu sejak Hippocrates.


40

Guidance-cooperative relation atau hubungan membimbing

dan kerjasama dapat ditemukan dalam prorotip hubungan orang tua

dan remaja. Orang tua member nasihat dan membimbing, sedangkan

anak yang sudah remaja itu mengikuti nasihat dan bimbingan

orangtuanya. Akan tetapi, adanya kekuasaan yang dimiliki oleh

pihak yang satu (pengetahuan kedokteran) dan kemampuan atau

kemauan yang dimiliki pihak lainnya untuk menuruti nasihat dan

bimbingan, maka ada kemungkinan dilakukannyapenyalahgunaan

situasi atau keadaaan oleh pihak yang lebih berkuasa.

Mutual participation relation dapat ditemukan dalam

prototip hubungna antara orang dewasa. Dalam hal ini, dapat dilihat

adanya pencerminan bahwa semua manusia memiliki hak dan

martabat yang sama. Hubungan ini lebih didasarkan pada struktur

social yang demokratis dan yang merupakan perjuangan hidup bagi

sebagian besar umat manusia sepanjang masa. Dalam hubungan ini,

kedua pihak saling bergantung berlandaskan proses identifikasi

pengenalan yang sangat kompleks, sehingga diperlukan adanya

keterbukaan satu sama lain. Masing-masing memperlakukan pihak

lawan sebagai dirinya, agar suatu hubungan yang serasi dan

seimbang dapat dipertahankan. Kedua belah pihak memiliki

kekuasaan yang hampir sama karena saling membutuhkan.


41

2.2.2 Hubungan Dokter-Pasien Menurut David Ozar

Seseorang yang sangat berpengaruh dalam bidang etika

kedokteran gigi, David Ozar, telah menulis mengenai tiga model

profesionalisme dan kewajiban professional dalam bidang

Kedokteran Gigi yaitu commercial model, guild model, dan

interactive model.

a. Commercial model

Model ini dasar pikirannya adalah perawatan kedokteran

gigi merupakan suatu perdagangan, dengan dokter gigi sebagai

penjual jasa dan pasien sebagai pembeli jasa.

b. Guild model

Dasar pikiran dari guild model adalah bukan bisnis,

tetapi melihat bidang kedokteran gigi sebagai suatu profesi.

Pada model ini, profesi merupakan hal yang terpenting, dan

pelaku profesi ini harus berlaku atau bersikap seperti peran

dalam profesinya (dokter).

c. Interactive model.

Model ini melihat sumber pembuat keputusan dan dasar

kebenaran untuk kewajiban dokter gigi dan hak pasien baik

sebagai prinsip pasar bebas (perdagangan) maupun melihat

kedokteran gigi sebagai profesi. Model ini menganggap dokter

sebagai yang terbaik di bidangnya dan pasien sebagai pemilik

dan pemilih yang harus berkontribusi dalam mencapai sukses


42

dari perawatannya. Dalam interactive model, hubungan antara

dokter dengan pasien yaitu bersama-sama membuat keputusan,

dibandingkan dengan kompetisi pada commercial model atau

unilateral expertise, seperti dalam guide model.

Ketiga model umum ini sangat berguna untuk

mendeskripsikan hubungan umum dokter gigi dan pasien secara

umum dan alami. Penting juga untuk mempertimbangkan beberapa

kewajiban konkrit dokter gigi terhadap pasien, antara lain

kewajiban untuk memberi tahu kebenaran dan menepati janji

kepada pasien. Kewajiban ini tercantum dalam peraturan etika pula.

Terdapat satu klarifikasi mengenai tugas dan kewajiban,

dimana hal ini bergantung pada tiap-tiap individu, hukum, dan

moral. Kedua hal ini dapat berubah bila terdapat penyesuaian.

Etika Rujukan

2.4 Pengertian Rujukan Medis

Rujukan medis merupakan pelimpahan wewenang dan

tanggung jawab untuk masalah kedokteran yang bertujuan untuk

menyembuhkan penyakit (kuratif) dan atau memulihkan status

kesehatan pasien (rehabilitatif).

1. Jenis-Jenis Rujukan Medis Menurut Mc Whinney, 1981:

1) Rujukan Pasien (Transfer of Patient)

Merupakan penatalaksanaan pasien dari strata

pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata


43

pelayanan yang lebih sempurna atau sebaliknya, untuk

pelayanan tindak lanjut.

2) Rujukan Ilmu Pengetahuan (Transfer of Knowledge)

Merupakan pengiriman dokter yang lebih ahli dari

strata pelayanan kesehatan yang lebih ahli dari strata

pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan

yang kurang mampu atau sebaliknya, untuk bimbingan dan

diskusi, untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan

3) Rujukan Bahan Pemeriksaan Laboratorium (Transfer of

Specimens)

Merupakan pengiriman bahan-bahan pemeriksaan

laboratotium dari srata pelayanan kesehatan yang kurang

mampu ke strata yang lebih mampu atau sebaliknya, untuk

tindak lanjut.

2. Tatacara Rujukan Medis Berdasarkan Pembagian Wewenang

dan Tanggung Jawab Menurut Mc Whinney, 1981:

1) Interval Referral, merupakan pelimpahan wewenang dan

tanggung jawab penderita sepenuhnya kepada dokter

konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka

waktu tersebut dokter tersebut tidak menanganinya

2) Collateral Referral, merupakan penyerahan wewenang dan

tanggung jawab penanganan penderita hanya untuk satu

masalah kedokteran khusus saja


44

3) Cross Referral, merupakan penyerahan wewenang dan

tanggung jawab penanganan penderita kepada dokter lain

untuk selamanya

4) Split Referral, merupakan penyerahan wewenang dan

tanggung jawab penanganan penderita sepenuhnya kepada

beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu

pelimpahan wewenang dan tanggung jawab tersebut dokter

pemberi rujukan tidak ikut campur.

3. Tatacara Rujukan Berdasarkan Kode Etik

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia :

1) Pasal 11 :

Dokter Gigi di Indonesia wajib melindungi pasien

dari kerugian

2) Ayat 2 :

Dalam hal ketidakmampuan melakukan

pemeriksaan atau pengobatan, dokter gigi wajib merujuk

pasien kepada dokter gigi atau profesional lainnya dengan

kompetensi yang sesuai.

3) Ayat 3 :

Dokter Gigi di Indonesia yang menerima pasien

rujukan wajib mengembalikan kepada pengirim disertai

informasi tindakan yang telah dilakukan berikut pendapat

dan saran secara tertulis dalam amplop tertutup.


45

4) Ayat 4

Dokter Gigi di Indonesia wajib memberikan ijin

kepada pasien yang ingin melanjutkan perawatannya ke

dokter gigi lain dengan menyertakan surat rujukan

berisikan rencana perawatan, perawatan atau pengobatan

yang telah dilakukan, dilengkapi dengan data lainnya sesuai

kebutuhan.

Berdasarkan Himpunan Peraturan Tentang Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Konsil Kedokeran

Indonesia

1) Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar

kompetensinya (karena keterbatasan pengetahuan, keterbatasan

keterampilan ataupun keterbatasan peralatan yang tersedia),

maka dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien

untuk dirujuk atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter

gigi lain atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih

sesuai.

2) Upaya perujukan dapat tidak dilakukan, apabila situasi yang

terjadi antara lain sebagai berikut:

a) kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk;

b) keberadaan dokter atau dokter gigi lain atau sarana

kesehatan yang lebih tepat, sulit dijangkau atau sulit

didatangkan;
46

c) atas kehendak pasien.

Dasar : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf b. Mendelegasikan Pekerjaan

Kepada Tenaga Kesehatan Tertentu yang Tidak Memiliki Kompetensi

Untuk Melaksanakan Pekerjaan Tersebut

1) Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau

prosedur kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu

yang sesuai dengan ruang lingkup keterampilan mereka.

2) Dokter atau dokter gigi harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang

menerima pendelegasian tersebut, memiliki kompetensi untuk itu.

3) Dokter atau dokter gigi, tetap bertanggung jawab atas

penatalaksanaan pasien yang bersangkutan. Dasar : Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang

Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 22 ayat

(1) dan ayat (3)

Pelanggaran Etika

2.5 Pelanggaran Etika dan Disiplin

Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode

Etik Kedoteran Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis

besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak

dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam

lingkungan masyarakat yang sedang mengalami berbagai krisis


47

akhir-akhir ini, sebagian sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh

organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran

biasanya tidak cukup tegas dan konsisten. Hal ini disebabkan antara

lain tidak jelasnya batas-batas antara yang boleh dan tidak boleh,

antara yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap

pasiennya, teman sejawat atau masyarakat umum lainnya. Inilah

bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih obyektif

menunjukan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga

jika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai hukum yang berlaku

(J. Hanafiah, 2009).

2.6 Pelanggaran Etik Murni dan Etikolegal

Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan KODEKI ada

yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang

merupakan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum.

Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya

pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik

kedokteran. Berikut ini diajukan beberapa contoh.

2.7 Pelanggaran etik murni

a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa

dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.


48

Hidup cenderung materialistis, hedonistis dan bersifat

konsumensurisme dapat menyebabkan kecintaan terhadap

material yang berlebih-lebihan dan berakibat memancing

keserakahan, dengan menarik imbalan jasa yang berlebih-

lebihan. Pada hal dalam melakukan pekerjaannya, seorang

dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan

pribadi (KODEKI, Pasal 3). Seorang dokter dapat menerima

imbalan selain pada layak sesuai dengan jasanya, jika diberikan

dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak penderita

(KODEKI, Pasal 4 ayat c) (J. Hanafiah, 2009).

b. Mengambil alih pasien tanpa sepengetahuan sejawatnya.

Sejawat adalah mitra kerja seorang dokter dan bukan

saingan. Pembinaan kerjasama dalam satu tim harus selalu

diupayakan guna kepentingan pasien. Anggota suatu tim harus

saling hormat menghormati, saling bantu, saling belajar dan

saling ingat mengingatkan. Seorang dokter yang baik tidak

menyalahkan sejawatnya didepan pasiennya (walaupun itu

benar), tetapi secara bijaksana membahas kasusnya dengan

sejawatnya dan sebaliknya mengembalikan pasien kepada

sejawatnya yang pertama kali dikunjungi pasien tersebut.


49

c. Memuji diri sendiri di depan pasien

Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri

dipandang bertentangan denga etik (KODEKI, Pasal 4 ayat a).

Termasuk dalam memuji diri sendiri adalah mencantumkan

gelar pada papan praktek yang tidak terkait dengan pelayanan

jasa kedokteran yang diberikannya, mengadakan wawancara

pers untuk mempromosikan cara pengobatan suatu penyakit,

ataupun berpartisipasi dalam promosi obat, kosmetika, alat dan

sarana kesehatan, makanan, minuman dan perbekalan kesehatan

rumah tangga. Dalam deklarasi Muktamar IDI ke-23 di Padang

tanggal 12 Desember 1997, dinyatakan bahwa pada dasarnya

dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam pelbagai

kegiatan promosi, karena promosi tersebut selalu terkait kepada

kepentingan-kepentigan yang sering kali bertentangan atau tidak

menunjang tugas mulia kedokteran. Perbuatan dokter sebagai

pemeran langsung suatu iklan promosi komoditi yang dimuat

media massa dan/atau elektronik merupakan perbuatan tercela,

karena tidak dapat disingkirkan penafsirannya adanya suatu niat

lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah

ditentukan dalam KODEKI. Kendatipun pemeran langsung

promosi komoditi dilakukan dalam wahana ilmiah kedokteran,

dianggap juga suatu perbuatan tercela, apalagi jika tidak

berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam


50

bidangnya, sehingga tidak diyakini sebagai produk yang layak

diberikan kepada pasien, apalagi untuk dirinya sendiri maupun

kepada sanak keluarganya bila mengalami hal yang sama.

d. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran

berkesinambungan.

Salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri adalah

senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap

setia kepada cita-citanya yang luhur (KODEKI, Pasal 18). Ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang dengan

pesat, lebih-lebih dalam tiga decade terakhir ini. Setiap dokter

harus mengikuti perkembangan ini baik untuk manfaat diri

sendiri dan keluarga, maupun untuk pasien dan masyarakat.

Tuntutan masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu

dan mutakhir sesuai dengan perkembangan IPTEK DOK global,

hendaknya ditanggapi oleh dokter dengan mengadakan

konsolidasi diri, yaitu mengikuti kursus-kursus, seminar, loka

karya, ataupun mengikuti program pendidikan

spesialisasi/subspesialisasi.

e. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.

Dokter seharusnya member teladan dalam memelihara

kesehatan, melakukan pencegahan terhadap penyakit, beprilaku

sehat sehingga dapat bekerja dengan baik dan tenang (KODEKI,


51

Pasak 17). Jika dokter jatuh sakit, selayaknya berobat pada

sejawatnya dan tidak megobati diri sendiri (J. Hanafiah, 2009).

2.8 Pelanggaran Etikolegal

a. Pelayanan kedokteran dibawah standar

Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut

ukuran tertinggi (KODEKI, Pasal 2), memperhatikan semua aspek

pelayanan kesehatan yang menyeluruh yaitu promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif (KODEKI, Pasal 8) dan mempergunakan

segala ilmu keterampilannya untuk kepentingan penderita (KODEKI,

Pasal 11). Dengan demikian seorang dokter yang memberikan

pelayanan kedokteran dibawah standar merupakan suatu tindakan

malpraktek, dan dapat dikenakan Pasal 350 KUHP, yang berbunyi :

Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain

mendapat luka berat atau luka sedemikian, sehingga berakibat

penyakit atau halangan sementara untuk menjalankan jabatan atau

pekerjaannya, dihukum denga hukuman penjara selama-lamanya 5

tahun. Padahal seorang dokter senantiasa membaktikan hidupnya guna

kepentingan perikemanusiaan (LSDI, butir 1), menjalankan tugasnya

dan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita (LSDI, butir 7).

b. Menerbitkan surat keterangan palsu

Seorang dokter hanya member keterangan atau pendapat yang

dibuktikan kebenarannya (KODEKI, Pasal 7). Jadi jika seorang dokter

menerbitkan surat keterangan cuti sakit berulang kali kepada sorang


52

tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri siding pengadilan

perkaranya, maka dalam hal ini dokter telah melanggar etik dan juga

KUHP Pasal 267 yang berbunyi : Dokter yang dengan sengaja

member surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya

penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukaman penjara

selama 4 tahun.

c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter

Sejak zaman Hipokrates rahasia pekerjaan dokter menduduki

tempat yang penting dalam hubungan dokter dengan pasien. Apapun

yang saya dengan atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak

patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus

merahasiakannya (Sumpah Hipokrates, butir 9). Prinsip ini tercantum

pula dalam LSDI, buti 5 yang berbunyi Saya akan merahasiakan

segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan

saya sebagai dokter, sedangkan dalam KODEKI Pasal 13 tercantum,

bahwa setiap dokter wajib merasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita

itu meninggal dunia. Jadi seorang dokter yang menyebarluaskan

rahasia pribadi pasiennya di depan orang atau sekelompok orang lain,

maka atas pengaduan pasien bersangkutan, dokter dapat dituntut di

depan pengadilan. Dokter tersebut yang dengan sengaja membuka

suatu rahasia yang wajib disimpannya oleh karena jabatan atau

pekerjaan baik sekarang maupun dulu, dihukum dengan hukuman


53

penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya RP

600,- (harus disesuaikan dengan moneter saat ini)(KUHP, Pasal 322).

Lain halnya jika dokter menjadi saksi ahli di pengadilan, yang

mempunyai peraturan tersendiri.

d. Abortus provokatus

Masalah abortus telah dibahas diberbagai pertemuan ilmiah

dalam lebih dari 3 dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun

reginal, namun hingga waktu ini Rancangan Peraturan Pengguguran

Berdasarkan Pertimbanagan Kesehatan belum terwujud. Secara umum

hal ini tercantum pada UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

namun penjabarannya belum selesai juga. Kehamilan hukum itu

menyangkut pula tindakan abortus provokatus para kasus-kasus

misalnya perkosaan, kehamilan pada wanita dengan grande multipara

(telah banyak anak).

Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajibannya melindungi hidup insane (KODEKI, Pasal 10). UU

No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, menyatakan bahwa dalam

keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan

atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medic tertentu dan ini

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan

persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya

dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.


54

Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang

mengancam pelaku-pelaku abortus illegal sebagai berikut:

1. Wanita sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang

lain melakukannya (KUHP, Pasal 346, hukum maksimum4 tahun).

2. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnay

(KUHP, Pasal 347, hukum maksimum 12 tahun dan bila wanita

tersebut meninggal, hukuman maksimum 15 tahun).

3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin

wanita tersebut (KUHP, Pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6

bulan dan bila wanita tersebut meninggal, maksimum 7 tahun).

4. Dokter, bidan atau juru obat melakukan kejahatan diatas (KUHP,

Pasal 349, hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak

pekerjaan).

e. Pelecehan seksual

Hubungan pasien dengan SpOG merupakan hubungan yang

sangat khusus, karena menyangkut pelayanan kesehatan reproduksi.

Peluang untuk melakukan pelecehan seksual terbuka lebih lebar

dibandingkan dengan pelayanan kesehatan oleh disiplin lain Ilmu

kedokteran. Sejak zaman Hipokrates masalah ini telah disorot dengan

sumpahnya, Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan saya itu

saya tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk

atau mencelakakan dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul

terhadap wanita ataupun pria, baik merdeka maupun hamba sahaya.


55

Selanjutnya dalam LSDI secara umum dicantumkan bahwa seorang

dokter senantiasa menjalankan tugasnya dengan cara terhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaannya (LSDI, butir 3) dan

akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur

jabatan (LSDI, butir 2).

Dari segi hukum, pengertian perbuatan cabul (pelecehan

seksual) adalah perbuatan yang sengaja dilakukan untuk

membangkitkan nafsu birahi atau nafsu seksual di luar perkawinan

termasuk persetubuhan. Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-

pasal tentang sanksi terhadap kejahatan kesusilaan, yaitu sebagai

berikut:

1. Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

memaksa seorang wanita yang bukan isterinya, bersetubuh dengan

dia (Pasal 285 KUHP), hukuman maksimum 12 tahun.

2. Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya,

padahal diketahui wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak

berdaya (Pasal 286 KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.

3. Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya,

padahal diketahuinya atau patut disangkanya umur wanita itu

belum cukup 15 tahun atau belum pantas buat dikawin (Pasal 287

KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.

4. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena

jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya


56

dipercayakan atau diserahkan kepadanya (Pasal 294 KUHP),

hukuman maksimum 7 tahun.

5. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam

penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu,

rumah sakit jiwa atau lembaga social yang melakukan perbuatan

cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya (Pasal 294

KUHP), hukuman maksimum 7 tahun (J. Hanafiah, 2009).

2.9 Prosedur Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempunyai Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran (MKEK) dari pusat hingga ke wilayah-wilayah dan

cabang-cabangnya. Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi

dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat. MKEK

tidak mungkin melakukan pengawasan sampai ke ruang praktek dokter-

dokter. Masyarakat yang menilai perilaku dokter bertentangan dengan etik

kedokteran, seharusnya mengambil prakarsa mengajukan kasus-kasus

pelanggaran etik itu kepada IDI setempat, yang nantinya akan meneruskan

kasus tersebut kepada MKEK. Namun pengetahuan masyarakat umum

tentang etik kedokteran sangat terbatas, sehingga kadang-kadang yang

terjadi adalah ada pelanggaran kasus etik murni yang keburu diajukan ke

pengadilan sebelum ditangani MKEK.

Mengingat belum lancarnyapenatalaksanaan kode etik, maka

Departemen Kesehatan (DEPKES) dengan Permenkes Nomor

554/Menkes/PER/XII/1982 membentuk Panitia Pertimbangan dan


57

Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Di pusat, P3EK terdiri dari unsure-

unsur DEPKES, DEPTDIKBUD cq Fakultas Kedokteran, Fakultas

Kedokteran Gigi, Pengurus Besar IDI dan PDGI. Jumlah anggotanya

antara 7-9 orang. Tugas P3EK Pusat adalah:

a. Memberi pertimbangan tentang etik kedokteran kepada Menteri

b. Membina dan mengembangkan secara aktif KODEKI dan Kode Etik

Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI) dengan bekerjasama dengan

PDGI.

c. Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di

bidang kesehatan.

d. Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK

Prpoinsi.

e. Menyelesaikan rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran etik

kedokteran atau etik kedokteran gigi

f. Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hokum dan instansi

lain yang berkaitan.

Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK, dan MKEKG

telah menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara

lain sebagai berikut:

a. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik

diteruskan terlebih dahulu kepada MKEK.

b. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.


58

c. Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat

diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi.

d. Dalam siding MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan,

Badan Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika

dikehendaki oleh yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil

keputusan).

e. Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan

ditangani bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum

diteruskan ke P3EK apabila diperlukan.

f. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran

serta penyelesaian oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.

P3EK Propinsi terdiri dari unsur-unsur Kantor Wilayah DEPKES

Propinsi, Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I, Fakultas

Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi (jika ada), IDI Propinsi dan PDGI

Propinsi. Jumlah pengurusnya antara 5-7 orang. Tugas P3EK Propinsi

adalah menerima dan member pertimbangan tentang persoalan dalam

bidang etik profesi di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah

DEPKES Propinsi, mengawasi pelaksanaan kode etik dalam wilayahnya,

mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain

yang berkaitan, memberi nasihat kepada dokter dan dokter gigi, membina

dan mengembangkan secara efektif kode etik profesi dan memberi

pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat yang berwenang di bidang

kesehatan dalam wilayah propinsi. Jadi dalam pelanggaran kode etik


59

kedokteran, maka Kepala Kantor Wilayah DEPKES Propinsi yang

berwenang mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan

administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai berat ringannya

pelanggaran. Apabila dokter atau dokter gigi bersangkutan berkeberatan

terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak berwenang,

yang bersangkutan dapat mengajukan banding dalam waktu 20 hari ke

P3EK Pusat, melalui P3EK Propinsi. Keputusan banding oleh P3EK

Pusat disampaikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengambil tindakan

yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.

Kasus-kasus pelanggaran etik yang tidak murni, yang tidak dapat

diselesaikan oleh P3EK Propinsi diteruskan ke P3EK Pusat. Dengan

demikian kasus-kasus pelanggaran etik tidak murni dibahas lebih dahulu

di P3EK sebelum diteruskan kepada penyidik. Jadi pada tahap pertama

penanganan kasus-kasus tersebut tidak perlu dicampuri oleh pihak luar.

Pembelaan cukup dilakukan oleh kalangan profesi sendiri yaitu Badan

Pembela Anggota IDI atau PDGI. Kasus-kasus yang sudah jelas

melanggar peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan langsung

kepada pihak yang berwenang (J. Hanafiah, 2009).

2.10 Pedoman Penilaian Kasus-kasus Pelanggaran Etik Kedokteran

Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para

pelakunya dan untuk mengukur hal ini tidaklah mudah, karena itu timbul

kesulitan dalam menilai pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak

merupakan kasus-kasus pelanggaran hukum.


60

Dalam penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran, MKEK

berpedoman pada:

1. Pancasila

2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya

3. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi

4. LSDI

5. Tradisi luhur kedokteran

6. KODEKI

7. Hukum kesehatan terkait

8. Hak dan kewajiban dokter

9. Hak dan kewajiban penderita

10. Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran

11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior.

Selanjutnya MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan

berikut, yaitu:

1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai

2. Manfaatnya bagi kesembuhan penderita

3. Manfaatnya bagi kesejahteraan umum

4. Penerimaan penderita terhadap tindakan itu

5. Preseden tentang tindakan semacam itu

6. Standar pelayanan medik yang berlaku


61

Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi

pelanggaran etik, pelanggaran itu dikategorikan dalam kelas ringan, sedang,

atau berat, yang berpedoman pada:

1. Akibat terhadap kesehatan penderita

2. Akibat bagi masyarakat umum

3. Akibat bagi kehormatan profesi

4. Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran

5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka.

Dengan adanya pedoman penilaian tersebut di atas diharapkan

faktor subyektivitas MKEK dapat dibatasi sekecil mungkin. Namun sanksi

professional yang diberikan harus benar-benar memegang peranan sentral

dan tidak hanya merupakan semboyan yang muluk-muluk atau merupakan

lip service saja pada acara-acara akademik atau acara-acara perhimpunan

profesi (J. Hanafiah, 2009).

2.11 Bentuk-bentuk Sanksi

Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana

karena seringkali menggambarkan nilainilai sosial budaya bangsa. Artinya,

pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa

yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.

Disamping keberadaannya telah menjadi kecenderungan

internasional, sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi

pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan

pendekatan humanistic dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan


62

perlindungan masyarakat (social defence). Ide menyangkut konsepsi social

defence tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia,

terbukti dalam:

a. Kesimpulan seminar Kriminologi ke3 Tahun 1976 yang menyatakan

bahwa: Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu

sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat

terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali

(rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan

perorangan ( pembuat ) dan masyarakat.

b. Salah satu laporan dari symposium Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional Tahun 1980 yang menyatakan bahwa: Sesuai dengan politik

hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada

perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan

keselarasan hidup dalam masyarakat/Negara, korban dan pelaku.

Atas dasar tujuan tersebut, maka pendanaan harus mengandung unsur-

unsur yang bersifat:

a. Kemanusiaan dalam arti bahwa pemidanaan tersebut, menjunjung

tinggi harkat dan martabat seseorang.

b. Edukatif dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang

sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia

mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha

penaggulangan kejahatan.
63

c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik

oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat).

Sanksi pelanggaran etika dalam praktik dokter gigi

a. Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh penguasa

(orang atau lembaga yang memegang kekuasaan)

b. Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh masyarakat

(Pandi, 2013).

Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya,

sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK.

Secara maksimal mungkin MKEK memberikan usul kepada Kanwil

DEPKES Propinsi atau DEPKES untuk memberikan tindakan

administrative, sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan

pengulangan kesalahan yang sama dikemudian hari atau terhadap makin

besarnya intensitas pelanggaran tersebut.

Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran

tergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik

adalah upaya pencegahan pelanggaran etik yaitu dengan cara terus

menerus memberikan penyuluhan kepada anggota IDI maupun PDGI,

tentang etika kedokteran dan hokum kesehatan. Namun jika terjadi

pelanggaran, maka sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik,

sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan

sanksi tersebut menjadi pelajaran bagi dokter lain. Bentuk sanksi

pelanggaran etik dapat berupa:


64

a. Teguran atau tuntutan secara lisan dan tulisan

b. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat

c. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah

d. Dicabut izin praktek dokter untuk sementara atau selama lamanya

Pada kasus pelanggaran etikolegal, diberikan hukuman sesuai

peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan (J.

Hanafiah, 2009).

Konsep Dasar Hukum Kesehatan

2.12 Pengertian Hukum Kesehatan / Hukum Kedokteran

Hukum kesehatan merupakan peraturan perundangan yang

menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggaraan

maupun penerimaan pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan

menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan

Indonesia (PERHUKI) merupakan semua ketentuan hukum yang

berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan

dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perorangan

dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan

kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan

dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman standar

pelayanan medik, hukum di bidang kesehatan yurispudensi serta

ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan. Yang dimaksud


65

dengan hukum kedokteran ialah bagian hukum kesehatan yang

menyangkut pelayanan medis (Hanafiah, 2008)

Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum bidang

kesehatan yang bersinggungan satu sama lain, yaitu hukum

kedokteran/kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi

klinik, hukum rumah sakit, hukum kesehatan masyarakat, hukum

kesehatan lingkungan, dsb (Konas PERHUKI, 1993)

Undang-undang Praktik Kedokteran (2004) merupakan aturan

hukum atas ketentuan hukum yang mengatur tentang pelayanan

kedokteran/kesehatan.

2.1.3.1 Ruang Lingkup Hukum Kesehatan / Kedokteran

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam hukum

kesehatan dikemukakan olehLeenen, sebagai berikut:

1. Hak atas pemeliharaan kesehatan

2. Hak untuk hidup

3. Mengenai pelaksanaan profesi kesehatan

4. Mengenai hubungan perdata

5. Mengenai aspek-aspek hukum pidana

6. Mengenai pemeliharaan kesehatan kuratif

7. Mengenai pemeliharaan kesehatan preventif dan social

8. Undang-undang candu, undang-undang absint, peraturan-

peraturan internasional

9. Mengenai kesehatan lingkungan


66

10. Undang-undang tentang barang dan dewan urusan

makanan

11. Peraturan perundang-undangan tentang organisasi

12. Menyangkut pembiayaan sakit

13. Hukum kesehatan internasional (yang dikeluarkan WHO,

Konvensi Jenewa, dll)

Hukum kesehatan (Health Law) sangat luas dan

melingkupi hukum kedokteran (Medical Law), hukum

keperawatan (Nurse Law), hukum rumah sakit (Hospital Law),

hukum lingkungan (Enviranmental Law), hukum farmasi

(pharmacy Law) (Pontoh et al., 2015)

Hak atas pemeliharaan kesehatan diatur pada Undang-

Undang no 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan.

1. Pasal 1 menyatakan bahwa tiap warga negara berhak

memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan

perlu diikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan

pemerintah.

2. Pasal 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

kesehatan tidak hanya keadaan bebas dari penyakit, cacad

dan kelemahan, tetapi juga meliputi kesehatan badan,

rohani, dan social. Sedangkan hak atas bantuan medis

tidak diatur oleh perundang-undangan kita. Hak ini

mewajibkan pihak pemberi jasa pemeliharaan kesehatan


67

untuk memberikan bantuan medis kepada pihak yang

memerlukannya.

Menurut Undang-Undang no 9 Tahun 1960,

penguasa tidak hanya melakukan tindakan langsung,

seperti memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan

rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-

usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan

penyakit, pemulihan kesehatan, penerangan dan

pendidikan pada rakyat, pendidikan tenaga kesehatan,

perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan,

penyelidikan-penyelidikan dan pengawasan, tetapi juga

mengatur, membimbing, membantu dan mengawasi

usaha-usaha kesehatan badan-badan swasta.

Pada pengelompokkan keempat disebutkan hal-hal

yang paling relevan dengan materi hukum kedokteran. Inti

dari hukum kedokteran adalah hubungan hukum yang

dilakukan oleh dokter dalam menjalankan profesinya, atau

hubungan hukum yang dilakukan dokter mengenai

pemberian pelayanan medis.

Ruang lingkup hukum kedokteran:

1. Hubungan dokter dengan pasien

2. Kewajiban untuk merawat

3. Kekeliruan diagnosis
68

4. Kesalahan pengobatan

5. Cedera karena sarana fisik

6. Cedera karena peralatan dan janji dokter

7. Tanggungjawab terhadap perbuatan pihak ketiga

8. Persetujuan untuk dirawat

2.1.3.2 Tanggung Jawab Hukum Dokter

Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu

keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum

dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang

dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian,

yaitu:

1) Pidana

a. Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena

Wanprestasi

Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan

dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya

yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak.

Pada dasarnya pertanggungjawaban perdata itu

bertujuan untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian

yang diderita oleh pasien akibat adanya wanprestasi

atau perbuatan melawan hukum dari tindakan

dokter. Menurut ilmu hukum perdata, seseorang

dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila :


69

1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukan

2. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat

3. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak

sebagaimana dijanjikan

4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukannya.

Sehubungan dengan masalah ini, maka wanprestasi

yang dimaksudkan dalam tanggung jawab perdata seorang

dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera

dalam suatu perjanjian yang telah diadakan dengan

pasiennya. Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar

persetujuan atau perjanjian yang terjadi hanya dapat

dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien.

Perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai persetujuan

untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu terjadi

bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan

dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya.

Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium.

Sedangkan dokter sebenarnya harus melakukan prestasi

menyembuhkan pasien dari penyakitnya. Tetapi

penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga

seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk


70

memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu

dan ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan

berdaya upaya sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan pasien.

Dalam gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus

dibuktikan bahwa dokter itu benar-benar telah mengadakan

perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi

terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini

senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di

sini pasien harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat

tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan standar

profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik.

Tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk

melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai

cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa

saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak

terapeutik.

b. Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan

Melanggar Hukum (onrechtmatige daad)

Tanggung jawab karena kesalahan

merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata.

Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366,

1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai

berikut :
71

Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata

Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena

dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar

hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut.

Undang-undang sama sekali tidak memberikan

batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus

ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala

sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu

perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun

1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu

setiap tindakan atau kelalaian baik yang : (1) Melanggar hak

orang lain (2) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri

sendiri (3) Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut

(adat istiadat yang baik) (4) Tidak sesuai dengan kepatuhan

dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda

orang seorang dalam pergaulan hidup.

Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan

kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku perbuatan


72

melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah

terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang

ditimbulkan.

Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata

Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar

wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas,

dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan

kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal

1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya

sebagai berikut : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja

untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi

juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau

kurang hati-hatinya.

Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata

Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban

tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya

sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari

tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.

(Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan

Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi


73

oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu

pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain

tersebut.

Sehubungan dengan hal itu seorang dokter harus

bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh

bawahannya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya.

Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah

dokter adalah tanggung jawab dokter.

2) Perdata

Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran

hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul

permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter,

khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana

dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum

pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertama-

tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional,

misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam

cara-cara pengobatan atau perawatan.

Dari segi hukum, kesalahan / kelalaian akan selalu

berkait dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila


74

dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya,

dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan

niat / kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut.

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal

malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu :

Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan

dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan,

kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga

kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara

lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344,

347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.

Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa

dengan tindak pidana medis. Pada tindak pidana biasa yang

terutama diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan pada

tindak pidana medis adalah penyebabnya. Walaupun

berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau

kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.

Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa

kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis,

membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan

pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency,


75

melakukan eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter

yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak

benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang

pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.

Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-

Saxon antara lain dari Taylor14 dikatakan bahwa seorang

dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum

apabila dia sudah memenuhi syarat 4 D, yaitu : Duty

(Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan

kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship

(Berkaitan langsung)

Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius

contractu) atau menurut undang-undang (ius delicto). Juga

adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar

profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk

memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan

informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil

tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain : risiko yang

melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan,

alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan

sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis

(informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.


76

Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar

profesi medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang

didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus

dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering

kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian.

Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak

bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.

Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan

dahulu bahwa dokter itu telah melakukan breach of duty.

Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu

harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau

berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan

dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk

kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan

penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian

finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya

pengobatan, gaji yang tidak diterima.

Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak

ada penggantian kerugian. Direct causal relationship berarti

bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang

dilakukan dengan kerugian yang diderita.

3) Administrasi
77

Dikatakan pelanggaran administrative malpractice

jika dokter melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh

tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative

malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin,

melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang

dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin yang

sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.

Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah

lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh

melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus

lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis

lisensi memerlukan basic science dan mempunyai

kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan

tindakan medis yang melampaui batas kewenangan yang

telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan

mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak

membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika

ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap

telah melakukan administrative malpractice dan dapat

dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan

lisensi untuk sementara waktu.

Pasal 11 Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi

administratif dapat dijatuhkan terhadap dokter yang


78

melalaikan kewajiban, melakukan suatu hal yang seharusnya

tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat

sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai

dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh

dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan

Undang-Undang No. 6 Tahun 1963.

Maka hukum kesehatan memiliki ruang lingkup,

1. Pertama, peraturan perundang-undangan yang secara

langsung dan tidak langsung mengatur masalah

bidang kedokteran. Contoh UUPK.

2. Kedua, penerapan ketentuan hukum administrasi,

hukum perdata, dan hukum pidana yang tepat untuk

itu.

3. Ketiga, kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-

menerus (dalam bidang kedokteran), perjanjian

internasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan

teknologi yang diterapkan dalam praktik bidang

kedokteran, merupakan sumber hukum dalam bidang

kedokteran.

4. Keempat, putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, menjadi sumber hukum dalam

bidang kedokteran. Pokok masalah yang dihadapi

masyarakat dalam hubungannya dengan tenaga


79

kesehatan adalah penyelenggaraan praktik kedokteran

yang tidak memuaskan sehingga UUPK disusun

dengan penekanan pada pengaturan

praktik kedokteran dan bukan untuk penyelesaian

sengketa.

Tujuan dari pengaturan praktik adalah memberikan

perlindungan kepada masyarakat, kemudian mempertahankan

dan meningkatkan mutu pelayanan, dan memberikan

kepastian hukum. Apabila sengketa diibaratkan sebagai

akibat suatu perbuatan (yang terjadi di hilir), maka

pengaturan merupakan upaya preventif untuk menghindarkan

sengketa. UUPK memang bukan peraturan pertama yang

dibuat untuk mengatur pelaksanaan tugas profesional

kesehatan, tetapi diharapkan dapat mengeliminasi

permasalahan kesehatan yang akhir-akhir ini merebak di

masyarakat.

Pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik,

yang seakan-akan menuding petugas kesehatan telah

melalaikan kewajibannya, menumbuhkan keprihatinan dan

ketidakpercayaan masyarakat kepada komunitas yang

menyediakan pelayanan kesehatan. Ironisnya, pers yang

diharapkan menjadi media pembelajaran bagi masyarakat

tidak selalu mewartakan kebenaran, misalnya mem-blow-up


80

kematian setelah diimunisasi. Ini justru dapat menyesatkan

masyarakat yang membutuhkan pertolongan untuk

mengupayakan kesehatan secara baik dan benar demi

kehidupan di masa depan yang lebih produktif.

Dengan menunjukkan bahwa UUPK hanya salah satu

aspek hukum dalam penyelenggaraan praktik

kedokteran, diharapkan dapat menghilangkan anggapan

bahwasanya UUPK adalah hukum kesehatan. Bagi

profesional medik, perlu memahami ruh yang terkandung

dalam UUPK supaya perilaku dan pelayanannya tidak

menyimpang dari etika dan norma yang telah disepakati

bersama sehingga dapat mengembalikan kepercayaan

masyarakat kepada profesi yang diembannya.

Evaluasi Analisis Praktik

Tujuan dari pembahasan ini adalah menyajikan prinsip-prinsip dan konsep

manajemen praktek gigi dengan tujuan pengembangan keahlian yang dibutuhkan

untuk mengoperasikan salah satu bentuk bisnis kecil-praktek gigi. Dokter gigi,

bagaimanapun, harus tahu kapan meletakkan prinsip-prinsip ketika bekerja

bekerja.

Manajemen praktek dokter gigi didefinisikan sebagai proses untuk

mendapatkan dan mengalokasikan input dalam praktek (sumber daya manusia dan

sumber daya ekonomi) dengan perencanaan, pengorganisasian, staffing,

memimpin, dan mengendalikan untuk tujuan output produksi (pelayanan) yang


81

diinginkan oleh pasien sehingga tujuan praktek tercapai.

Analisis praktik dapat didefinisikan sebagai penilaian atau evaluasi yang

sedang berlangsung dari praktek gigi untuk menyediakan informasi untuk

membuat perubahan dan mengambil tindakan korektif. Praktik analisis tergantung

pada tujuan praktek, pengumpulan data yang akurat, dan pengambilan keputusan

yang baik.

Praktik analisis penting untuk setiap praktek baru dan mapan. Ada banyak

variabel yang dapat membuat perbedaan antara praktek yang tumbuh sehat dan

satu yang berakhir dalam kebangkrutan. Banyak variabel dikenakan dalam

analisis praktek telah dibagi dalam dua bidang utama: finansial dan nonfinansial.

Bidang Keuangan

Bidang keuangan dalam praktek dokter gigi yang harus dianalisis

secara teratur meliputi anggaran, laporan laba rugi, neraca, analisis cash

flow, biaya, dan gaji.

Anggaran

Implisit dalam analisis praktek adalah rencana keuangan yang di

harapkan dipatuhi oleh dokter gigi. Anggaran merupakan ekspresi formal

quantitive dalam tunai dari rencana keuangan, termasuk tujuan yang

diperlukan untuk pertumbuhan pribadi dan praktek. Harus jelas bahwa

pribadi dan anggara praktek saling terkait, perbedaan dalam satu hal akan

mempengaruhi hal lainnya.


82

Beberapa keuntungan mengembangkan anggaran untuk praktik

adalah :

1. Untuk menentukan tanggungjawab perencanaan dengan memaksa

dokter gigi berpikir ke depan

2. Untuk membantu dokter gigi mencapai tujuan praktek

3. Untuk memberikan harapan yang pasti yang berfungsi sebagai

kerangka ideal untuk menilai kinerja selanjutnya

Sebagian besar lembaga-lembaga pinjaman keuangan akan

mengharuskan dokter gigi baru untuk mengembangkan anggaran untuk

tahun mendatang jika mereka berharap untuk memperoleh pinjaman untuk

memulai atau mengembangkan praktek. Mempersiapkan anggaran pribadi

dan praktek yang tidak real dapat mengakibatkan penolakan pendanaan

yang memadai. Anggaran praktek juga membantu merumuskan rencana

yang menjamin suatu jumlah tunai yang cukup untuk membayar biaya

tambahan. Anggaran harus ditinjau secara berkala sehingga harapan yang

tidak realistic dapat diidentifikasi dan dimodifikasi.

Anggaran pribadi dokter gigi harus sesuai dengan pendapatan yang

diproyeksikan bahwa praktek itu akan dapat beroperasi pada selama

periode waktu yang sama. Karena itu penting untuk mengembangkan

anggaran pribadi realistis dan untuk menentukan pendapatan aktual yang

dibutuhkan untuk memenuhi beban secara tahunan. Dokter gigi baru bisa

berdiskusi dengan akuntan dalam menentukan tingkat pendapatan yang

dapat diharapkan untuk praktek serupa di daerah mereka. Jika anggaran


83

pribadi tidak dikonstruksi secara realistis, tidak harapan keuangan pribadi

ataupun praktek akan terealisasi.

Pernyataan Pemasukan

Pernyataan pemasukan, kadang-kadang menunjukkan pernyataan

operasi, dan pemasukkan bersih selama periode waktu. Keseimbangan

lembar kerja mengidentifikasi asset, liabilitas, dan ekuitas selama periode

waktu. Pernyataan pemasukan dapat dipersiapkan dalam berbagai cara.

Formatnya tergantung preferens dari dokter gigi dan akuntan. Seluruh

pernyataan pemasukan, bagaimanapun juga, harus menunjukkan dasar-

dasar informasi berikut : revenue, expenses, bad debts, dan pemasukkan

sebelum pajak. Revenue adalah nilai dari barang dan pelayanan yang

diberikan kepada pelanggan, yang adalah, fee, atau pembayaran kapitasi.

Expenses adalah asset yang telah digunakan dalam seluruh revenue, atau

seluruh biaya yang telah jatuh tempo selama periode waktu lampau.

Perbedaan antara revenue dan expenses ditambah bad debts adalah menuju

pada pemasukan dalam periode waktu.

Pernyataan pemasukan menujukkan hasil dari operasi untuk

beberapa waktu dan dilabeli Untuk akhir periode (tanggal).

Revenues - ( Expenses + Bad debts ) = Income


84

Kebanyakan pernyataan pemasukan digunakan oleh praktisi dental

yang dikategorikan menjadi dua divisi mayor: operasi dan kapital (atau

administrasi). Operating expenses adalah expenses diasosiasikan dengan

biaya pelayanan antaran. Ini meliputi gaji, wages, keuntungan, layanan

laboratorium, dan supplies. Capital expenses di sisi lain, kadang-kadang

disebut general atau administrative expenses. Ini adalah expenses

berasosiasi dengan pengaturan praktisi dan termasuk semua kategori

pembayaran, utilities, asuransi, dan depresiasi. Biaya ini biasanya tidak

secara langsung berelasi dengan layanan antaran.

Biaya capital sering disebut biaya tidak terkontrol, biaya operasi

ialah biaya terkontrol. sebagai contoh biaya tidak terkontrol biaya sewa

selama lima tahun. biaya terkontrol seperti gaji.

Semua dokter gigi harus cermat dalam memonitori pemasukan dan

pengeluaran, terutama selama beberapa bulan pertama praktek. pemasukan

bulanan harus dibandingkan dengan dana praktek selanjutnya untuk

menentukan ketepatan perencanaan finansial setiap tahunnya. Deviasi

utama pada pemasukan dan pengeluaran sebaiknya didiskusikan dengan

akuntan atau dokter gigi lain.

Analisis vertikal dan horizontal. Analisis horizontal

dibandingkan bagian spesifik pemasukan dengan bagian identik dari

pemasukan lain. Analisis horizontal membantu dokter gigi menguji dan

membandingkan dengan yang terdahulu.


85

Tabel analisis horizontal

May 1980 July 1980

Revenue (fees earned) $6,000 $4,000

Expense

Salaries $1,047 $1,047

Payroll taxes 100 100

Automobile expense 25 25

Bad debts 17 17

Dues and subscriptions 20 20

Gas and electric 90 150

Insurance 47 47

Laboratory fees 700 450

Legal and accounting fees 83 83

Miscellaneous expenses 20 15

Office and postage expenses 42 42

Professional development 100 0

Rent 400 400

Supplies 233 233

Telephone 100 100


86

Total expenses $3,024 $2,729

Net income $2,976 $1,271

Analisis vertikal merupakan teknik lain yang bisa digunakan untuk

menganalisis pemasukan. Dibandinkan membandingkan pendapatan

dengan perbedaan waktu, analisis vertikal dibandingkan dengan

penghalisan atau biaya dengan pendapatan yang sama.

Meskipun banyak rasio, yang paling sering digunakan adalah net

profil ratio dan overhead ratio.

1. Net profit ratio = net profit (income)

Revenue (fees earned)

= $ 35,000

$ 70,000

Net profit ratio = 1 : 2

2. Overhead ratio = total expenses

revenues (fees earned)

= $ 35,000

$ 70,000

Overhead ratio = 1 : 2

Overhead ratio x 100 percent = overhead percent = x 100%

= 50%
87

Rasio profit bersih dihitung dengan membagi profit bersih dengan

pendapatan. Bila membandingkan dengan rasio yang dihitung dari

pemasukan yang lain dapat ditemukannya indikasi kenaikan atau

penurunan pemasukan. Hal ini sangat penting untuk membuat perencanaan

pribadi karena seorang dokter gigi harus membayar biaya praktek sebelum

menghitung biaya untuk keperluan pribadinya. Berdasarkan data,

perbadingan dengan rata-rata nasional atau regional, dapat menjadi suatu

petunjuk untuk pertumbuhan praktek dokter gigi. Rasio pengeluaran

tambahan ,dihitung dengan membagi biaya praktek dengan pendapatan,

akan memberikan informasi pada dokter gigi tentang pengeluaran

tambahan praktek.

Analisa Break-even (Impas)

Para praktisi pada akhirnya sering dihadapi keputusan untuk

menambah staf atau membeli alat baru untuk meningkatkan kemampuan

mereka memberi layanan dokter gigi. Lainnya membutuhkan tambahan

informasi untuk menetapkan harga yang pantas untuk jenis layanan

tertentu. Semua keputusan ini dapat dipertimbangkan secara lebih objektif

dengan mempelajari buku tentang produksi dengan biaya dan pendapatan

yang terlibat, yang biasa disebut analisa break-even. Teknik ini

membantu dokter gigi untuk menentukan biaya dan manfaat dari setiap

keputusan secara objektif.


88

Tercakup di dalam teknik ini adalah pemahaman mengenai fixed

cost (biaya tetap) dan variable cost (biaya tak tetap). (Untuk

menghindari kesalah-pahaman tentang biaya dan pengeluaran, perlu

diingat bahwa semua pengeluaran sebenarnya merupakan biaya. Namun

istilah pengeluaran belum dapat diterapkan sebelum biaya sudah habis

atau sudah digunakan. Misalnya, biaya sewa untuk gedung selama satu

tahun. Biaya tetap adalah pengeluaran yang tidak berubah akibat produksi

nyata, misalnya, uang sewa dan listrik. Sebaliknya, biaya tak tetap adalah

pengeluaran yang bervariasi sesuai produksi. Untuk praktisi gigi,

contohnya adalah ongkos pembelian amalgam dan karet matrix.

Pada titik dimana pemasukan bersih adalah 0 disebut titik break-

even/impas. Disini tingkat produksi menunjukkan pemasukan yang setara

dengan pengeluaran. Seperti halnya ratio modal, maka titik break-even

dapat dirubah secara nyata jika sudah dimasukkan dengan gaji dokter dan

lain-lainnya sebagai biaya total praktek. Terlihat jelas bahwa jika gaji

dokter gigi belum dimasukkan dalam biaya pelaksanaan usaha/praktek

dokter, maka titik break-even bisa jauh lebih rendah.

Balance Sheet / Lembar Keseimbangan

Balance sheet merupakan laporan yang terdiri dari asset, passiva /

pertanggung jawaban, nilai keuntungan pemilik. Asset merupakan

kepunyaan yang dipergunakan dan termasuk peralatan / perlengkapan serta

claim terhadap pihak lain (nilai yang dapat diterima). passiva merupakan
89

hutang kepada pihak lain , pemegang saham, dan kreditor dari suatu

pekerjaan. Nilai keuntungan pemilik adalah claim dokter gigi terhadap

asset setelah tanggung jawabnya dikerjakan. Dalam pekerjaan, terdapat

penggabungan / kerjasama, nilainya dapat menjadi lebih besar karena

beberapa pemilik modal biasanya mengkontribusikan harta miliknya.

Balance sheet biasanya mendata asset yang dimiliki pada bagian atas dan

passiva pada bagian bawah.

Dinamakan balance sheet karena dana pada kedua sisi harusah

sesuai. Total sumber dana financial akan selalu sesuai dengan sumber dana

/ modal dari pemilik. Konsep ini didasari asset = tanggung jawab + nilai

keuntungan pemilik.

Analisis horizontal dan vertical, diterapkan dengan teknik pada

neraca keseimbangan mirip dengan cara membuat neraca pendapatan.

Analisis ini sangat membantu untuk melihat keseimbangan pengeluaran

tiap bulan maupun tiap tahun.

Analisis horizontal digunakan sebagai perbandingan kategori nilai

keseimbangan yang satu dengan yang lainnya. Analisis vertikal

memberikan perbandingan rasio piutang untuk total aktiva lancer dan

dapat menunjukkan seberapa baik kebijakan dalam bekerja. Aktiva

merupakan semua sumber dana yang saat ini sedang dipakai.


90

Berbagai rasio dari kategori balance sheet dapat digunakan untuk

mengawasi pelaksanaan praktek keuangan. Rasio yang sering digunakan

dalam kegiatan kedokteran gigi adalah current ratio, yang dihitung dengan

membagi jumlah modal (current asset) dengan kewajiban (current

liabilities). Banyak akuntan yang setuju bahwa current ratio yang baik

untuk bisnis kecil adalah 2:1. Maksudnya di sini adalah bahwa jika semua

kewajiban (liabilities) harus dibayar, praktek tersebut mendapatkan dua


91

kali modal (current asset) di mana kewajiban (current liabilities),

kewajiban finansial jangka pendek dengan mudahnya dicapai.

Cash Flow Analysis

Cash flow dapat diartikan sebagai aliran masuk uang (inflow)

ataupun aliran keluar uang (outflow). Dari kebanyakan praktek kedokteran

gigi, cash flow terdiri dari 5 area finansial, yaitu inventory control,

working capital, accounts receivable, checking account, dan third party

payment. Meminjam pinjaman tambahan merupakan solusi yang biasa

diambil bila sedang mengalami kekurangan uang untuk memenuhi

kewajiban finansial. Meskipun hal ini dikenal sebagai solusi sementara,

pinjaman ini sebenarnya merupakan masalah jangka panjang karena pihak

pelaksana wajib mengembalikan jumlah uang yang dipinjam, yang akan

menjadi tambahan baru pada pengeluarannya (outflow).

Inventory control. Tujuan dari inventory control adalah untuk

mengembangkan sistem yang menyediakan laporan yang akurat dari

persediaan yang ada dan melaporkan bila dibutuhkan pembelian barang-

barang tambahan. Seringnya, uang diinvestasikan dalam jumlah yang

besar untuk barang-barang yang tidak terlalu digunakan dalam prakteknya.

Dengan meninjau balance sheet, pihak pelaksana dapat menemukan

hubungan dari keseluruhan inventaris dengan modal (current asset)

sebanyak 20%. Dengan contoh ini, perhatian yang lebih harus diberikan
92

secara langsung untuk mengontrol jumlah uang yang digunakan untuk

inventaris.

Modal kerja. Modal kerja dijelaskan sebagai aset yang ada

dikurangi liabiliti. Dibeberapa tempat praktek, jumlah hutang meningkat

secara cepat di awal-awal tahun, khususnya jika faktor semacam aliran

dana tidak terkontrol. Masalah yang sering terjadi pada praktisi baru yaitu

peminjaman uang untuk membayar pajak gaji para pegawai. Hal ini terjadi

karena kesalahan dokter gigi yang tidak menyisihkan dana untuk menutupi

pajak gaji. Dana yang ada mungkin telah digunakan untuk menutupi

pengeluaran lain atau diambil untuk diri sendiri, sehingga menyebabkan

kekurangan dana saat pajak gaji harus dibayarkan.

Modal kerja yang negatif atau modal kerja yang mendekati nol

dapat menghasilkan hutang baru yang mendekati liabiliti yang ada.

Daripada melakukan pinjaman baru untuk menutupi masalah modal kerja,

akan lebih baik jika dokter gigi: (1) menghasilkan pemasukan tambahan

dengan memberikan pelayanan lebih, (2) menaikkan tarif, (3) mengurangi

pengeluaran praktek

Komponen yang paling penting dari program accounts receivable

adalah aging analysis dari akuntan. Aging analysis dilakukan oleh akuntan

untuk praktek atau dokter gigi yang dapat mengkorporasikannya ke iklan-

iklan komersial. Banyak konsultan manajemen menyarankan accounts

receivable praktek, dengan mengesampingkan usia, tidak melebihi lebih


93

dari 1-1,5 dari produksi kotor 2 bulan. Hal lain yang lebih besar dari itu

mengindikasikan dokter gigi tersebut rentan terhadap masalah aliran dana.

Cash flow dalam sistem penerimaan dapat diperbaiki dengan

metode : pertama, pernyataan untuk servis yang diberikan dapat dibuat

segera setelah janji terakhir rencana perawatan daripada menunggu sampai

akhir bulan. Kedua, pernyataan mengenai harga dapat dibagi sesuai

alfabet, pasien dengan nama akhir dimulai dengan huruf pertama sampai

tengah alfabet dikirim pada tengah bulan, dan sisanya dikirim pada akhir

bulan.

Rekening Giro. Seringkali seorang praktisi tidak mempunyai

waktu yang cukup untuk menjaga kantor dan rekening cek pribadinya.

Dana dalam rekening ini harus diawasi dengan baik. Seorang dokter gigi

mempunyai tanggung jawab terbesar dalam mengawasi rekening giro

kantor yaitu melakukan peninjauan. Dua kesalahan yang terjadi yaitu

kurangnya pengkajian penggelapan dan akumulasi yang tidak perlu dari

saldo kas yang besar. Penggelapan adalah sesuatu yang dapat terjadi di

praktek mana pun.

Dental Prepayment Plans (Rencana Pembayaran Sebelumnya)

Dental prepayment atau rencana pembayaran kelompok (pihak)

ketiga ini umum digunakan pada kebanyakan praktek dokter gigi.

Hubungan dokter pasien yang bersifat tradisional telah dimodifikasi

dengan munculnya pihak ketiga yang membayar pelayanan untuk pasien.


94

Proses tagihan yang tidak benar dapat menghasilkan penundaan dalam

penerimaan pembayaran serta dapat menyebabkan masalah aliran

keuangan, terutama pada tempat praktek yang sebagian besar

pendapatannya berasal dari rencana pembayaran sebelumnya (dental

prepayment plans). Kebanyakan perusahaan asuransi pada akhirnya akan

membayarkan uang pembayaran dokter gigi yang telah diserahkan untuk

membayar pelayanan untuk pasien.

Jika dokter gigi tidak merasa nyaman dengan menagih bayaran atas

pelayanan terhadap pasien, surat kuasa yang harus ditandatangani oleh

pasien. Dengan memilih opsi seperti ini, tanggung jawab untuk

mengumpulkan saldo yang belum terselesaikan dari pihak ketiga akan

diurus oleh dokter gigi serta stafnya. Hal ini dikenal sebagai assignment

of benefits atau penyerahan kepenetingan. Perhatian harus diberikan

dalam penyelesaian formulir tagihan yang tepat. Sebuah sistem harus

dibentuk untuk memantau laporan penerimaan dari rencana pembayaran

pihak ketiga.

Biaya

Salah satu masalah umum yang dihadapi dokter gigi baru adalah

memutuskan berapa banyak mereka harus mengeluarkan biaya untuk

berbagai layanan. Biaya tradisional telah ditentukan oleh tiga faktor: (1)

biaya overhead; (2) struktur biaya yang berlaku di daerah itu, dan (3)

filsafat pribadi.
95

Dokter gigi baru memasuki masyarakat memiliki beberapa pilihan

dimana mereka dapat menentukan biaya untuk jasa yang diberikan.

Pertama, Biro Statistik Ekonomi dan Studi Perilaku Asosiasi Gigi Amerika

melakukan survei biaya nasional setiap beberapa tahun. Dengan konsultasi

ini, dokter gigi dapat catatan yang dikenakan biaya yang berlaku untuk

layanan tertentu dalam wilayah geografis. Dengan meninjau statistik ini,

jadwal biaya perwakilan dapat dikembangkan. Kedua, praktisi baru

stabilished informal dapat meminta dokter gigi lain di masyarakat untuk

layanan tertentu. Ketiga, praktisi dapat berbicara dengan operator pihak

ketiga dan jadwal permintaan biaya mereka.

Kadang-kadang dokter gigi sengaja akan menurunkan biaya untuk

menarik pasien dalam praktek. Mereka dapat menurunkan biaya untuk

layanan seperti radiologi, pemeriksaan (termasuk pengukuran tekanan

darah), diagnostik gips, dan survei diagnostik. Peningkatan volume pasien

dapat menebus biaya dalam waktu dan layanan. dokter gigi harus

membuat keputusan ini dengan hati-hati, namun, dan harus mengakui

bahwa biaya tersebut tidak mencakup biaya sebenarnya dari menyediakan

layanan tersebut.

Penyesuaian biaya. Penyesuaian biaya merupakan hal yang biasa

dalam praktik . penyesuaian mungkin termasuk diskon untuk profesional

lain, staf, anggota, keluarga, dan teman-teman. Penyesuaian tarif juga

dapat mencakup diskon kepada individu-individu yang tidak mampu

membayar biaya rutin dibebankan dalam prakteknya. di kebanyakan


96

sistem ada kolom penyesuaian pada lembar hari di mana jumlah ini dapat

dimasukkan. Melakukan review bulanan untuk menentukan prosentase

penyesuaian relatif terhadap total produksi merupakan ide yang baik

untuk. mungkin mengejutkan beberapa praktisi untuk menemukan mereka

memberikan diskon 10 hingga 15% dari total produksi mereka dalam

praktek baru ini mungkin suatu kebijakan yang perlu modifikasi cepat

Gaji

Gaji yang dibayarkan kepada semua anggota staf harus ditinjau

terus-menerus. Gaji biasanya merupakan persentase terbesar dari overhead

kantor, terlepas dari ukuran praktek. ketika meninjau laporan laba rugi,

rasio gaji dan upah untuk latihan beban total harus dihitung. Umumnya

solo praktek rata-rata kurang dari 15% untuk kategori ini. praktek

kelompok besar dapat memiliki persentase lebih tinggi, tetapi dalam

banyak kasus tidak boleh melebihi 20% omset. Karyawan adalah indikator

lain yang memungkinkan gaji tidak kompetitif. praktek dokter gigi yang

memiliki pengalaman tingkat perputaran tinggi harus meninjau total paket

kompensasi mereka untuk menentukan apakah gaji dan tunjangan yang

ditawarkan sepadan dari yang ditawarkan oleh praktek yang sama di

masyarakat.

3.1.1 Analisis Non-Finansial


97

Analisis nonfinansial intinya terfokus pada pasien dan staf. Teknik spesifik

yang ada dalam menganalisis kesehatan finansial praktek belum terdapat pada

area nonfinansial. Namun kedekatan terhadap konsep managemen dapat

membantu dokter gigi menganalisis adanya penyimpangan pada area-area ini.

Kepuasan pasien merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan tempat praktek

, sebagai hasil dari bukti penyerahan. Bagian akan menyoroti kategori

nonfinansial yang utama: jaminan kualitas, produksi, efisiensi pengiriman,

pekerjaan staf, jadwal kunjungan

Jaminan Kualitas

Meskipun jaminan kualitas dapat memberi arti yang berbeda pada orang

yang berbeda, area ini seharusnya menjadi perhatian primer pada tipe praktek

kedokteran gigi apapun. Kualitas dalam buku ini mengacu pada definisi yang

dikemukakan oleh Jerge dan rekannya, tingkat perawatan yang diberikan. Kualitas

dinilai dalam hubungannya dengan standar pelayanan dan ukuran pendapatan

yang ditentukan oleh individu yang mengetahuinya dalam bidang yang relevan.

Kualitas pelayanan dapat diukur hanya oleh profesi, oleh sebab itu merupakan

tanggung jawab profesi untuk meningkatkan metode-metode yang menjamin

bahwa pasien akan memperoleh kualitas pelayanan yang tinggi.

Pertanggungjawaban dokter gigi. Karena profesi dokter gigi

menentukan standar untuk pengajaran dan lisensi anggota-anggotanya, maka

menjadi logis bahwa profesi menerima tanggung jawab untuk memastikan pasien

dengan kualitas yang tinggi. Praktisi dokter gigi yang praktek sendiri biasanya
98

berada pada kerugian yang terbesar untuk mengukur kualitas pengeluarannya.

Oleh sebab itu beberapa faktor harus diingat yang akan membantu dalam

memonitor kualitas pelayanan. Pertama, seorang praktisi dapat dengan mudah

memonitor jumlah waktu prosedur khusus yang dihabiskan oleh pasien-pasien.

Hal ini dapat menjadi ukuran kualitas secara tidak langsung, karena repetisi pada

pelayanan yang khusus dapat berdasarkan pada pemilihan kasus yang ringan,

teknik yang lebih meningkat, pemilihan material yang rendah, dan lain-lain.

Riwayat dari pasien juga penting untuk kualitas seluruh pengobatan.

Penilaian periodik dari catatan pasien, yang didasarkan pada kriteria yang

spesifik, dapat bagi dokter gigi ketika mencari defisiensi pada area ini.

Pengukuran yang objektif untuk kepuasan riwayat pasien dengan praktek akan

menjadi catatan bagi keluhan semua pasien. Dengan mengecek kembali semua

keluhan, dokter gigi dapat mengambil tindakan berdasarkan hal yang berulang.

Keluhan yang umum biasanya mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dan

perlu dikoreksi

Kualitas Staff. Seorang dokter gigi secara legal bertanggung jawab untuk

semuar perawatan yang dilakukan selama praktek,ditinjau dari semua prosedur

perawatan yang dilakukan dengan higienis, bukan sebuah kebenaran tapi sebuah

kewajiban. Dokter gigi harus melatih asistennya untuk mengenali kekurangan

dalam prakteknya seperti open contact, kekurangan jarak, adanya tambalan

overhang. Hal ini membutuhkan pengecekan tambahan dan pengecekan

keseimbangan untuk pasien yang ditambal. Pada daerah perawatan preventif,

menaikkan standard melalui penggunaan bermacam-macam indeks plak akan


99

membangkitkan keinginan pasien untuk menjaga kesehatan periodontal dan oral

hygiene sebaik yang dapat dihasilkan dari pengukuran langsung kualitas

pelayanan pencegahan.

Manajemen pasien. Dokter gigi harus mengerti bagaimana memuaskan

pasien dengan perhatian yang pasien terima. Hal ini akan berdampak pada praktek

secara positif dengan meningkatkan tingkat kembalinya pasien pada dokter gigi

tersebut. Hal ini penting, pasien merasa puas, tidak hanya dengan perawatan yang

langsung diterima, tetapi juga cara dokter gigi dan staffnya memperlakukan

pasien.

Ada beberapa cara untuk mengukur tingkat kepuasan pasien. Satu cara

yang paling mudah untuk membagikan kuesioner pada semua pasien setelah

perawatan rutin. Kuesioner tidak dibagikan setiap kunjungan, tetapi setelah

rangkaian perawatan diselesaikan atau ketika pasien diminta untuk datang

kembali. Informasi yang diperoleh dari misalnya kuesioner dapat membangkitkan

terjadinya perubahan pada beberapa area misalnya jadwal pertemuan, pembayaran

dan hubungan interpersonal dengan staff kantor. Metode langsung tidak

memakan biaya dengan dokter gigi mewawancarai pasien. Pada kasus ini, dokter

gigi dapat langsung mewawancara setiap pasien ataupun secara acak setelah

perawatan selesai. Hal ini akan lebih berkembang, bagaimanapun biaya dari

prosedur ini dapat lebih besar daripada keuntungannya.

Semua staff harus disemangati untuk menyediakan pelayanan yang

memuaskan dan menyenangkan pasien, membuat setiap percobaan untuk

menjawab pertanyaan tentang prosedur dan kebijakan di praktek.


100

Produksi

Dalam kedokteran gigi, istilah produksi mengacu pada total nilai

pelayanan dental yang telah diberikan.

Total produksi. Total produksi adalah produksi sebelum diberikan

beberapa penyesuaian. Produksi seringkali dipengaruhi oleh jumlah

pasien, tipe tugas yang dikerjakan oleh staf ahli, objektivitas dan

preferensi praktisi, kemampuan bioteknik dan kecepatan kerja dokter gigi

serta perkembangan cara pelayanan seperti sistem sit-down, four-handed.

Salah satu cara untuk mengukur produktivitas adalah dengan

membagi pendapatan dalam waktu satu bulan atau satu tahun dengan

jumlah waktu dokter gigi bekerja. Pengukuran ini akan memberitahukan

pendapatan dokter gigi selama satu jam. Teknik yang diberikan dapat pula

menentukan biaya pengeluaran selama setiap jamnya. Kalkulasi ini dicapai

dengan membagi total pengeluaran dengan angka waktu (jam) praktek.

Produksi campuran. Pada dasarnya, praktisi baru akan

menentukan tujuan dan sasaran yang berhubungan dengan tipe pelayanan

dental yang akan diberikan,sehingga produksi campuran

direkomendasikan untuk praktisi baru tersebut. Tanpa mengetahui sekilas

mengenai produksi campuran, dokter gigi tidak akan pernah mendapatkan

indikasi nyata apakah tujuan atau sasaran yang diinginkan telah

ditemukan. Misalnya, praktisi berharap untuk memberikan pelayanan

restrorasi dan periodontal, dalam waktu 6 bulan atau satu tahun, tinjauan
101

produksi campuran pada pelayanan tersebut akan mengungkapkan apakah

sasaran dan tujuan telah tercapai.

Production changes over times. Sebagai praktisi yang mulai

dikenal khalayak ramai, nantinya akan banyak pasien yang datang

kembali. Sebagai konsekuensinya, proporsi yg lebih besar untuk

pencegahan harus disediakan. Secara hipotesis, rehabilitative atau

pelayanan restorative akan berkurang jika jumlah pasien menjadi stabil

dan jika dokter gigi memberikan penyuluhan mengenai pelayanan

preventif yang efektif. Namun, hal ini tidak akan terwujud jika terdapat

pasien baru dengan jumlah yang banyak karena pasien baru membutuhkan

lebih banyak perawatan. Jadi, seorang dokter gigi harus memperhatikan

dengan seksama terhadap pelayanan yang diberikan, karena berhubungan

dengan produktifitas. Pada penelitian objektif terhadap kondisi ini, praktisi

tidak dapat lagi mengrontrol prakteknya dan membimbingnya menuju

batas luar dari objektivitas pasien.

Delivery Efficiency

Dokter gigi juga harus memerhatikan cara mengorganisasi fasilitas

praktek, bagaimana anggota staf diperlakukan, dan bagaimana untuk

meminimalisasi stress dalam praktek. Tujuan keseluruhan dari delivery

efficiency / efisiensi dalam pemberian pelayanan adalah untuk

memberikan pelayanan yang maksimal dengan sumber daya dan usaha

yang minimal, tanpa keraguan akan kualitas klinis. Pasien diuntungkan


102

dengan biaya yang stabil, sedangkan dokter gigi dan staf diuntungkan

dengan pemasukan yang meningkat karena produktivitas yang lebih besar,

dan semua anggota dari praktek ini dapat menangani beban pekerjaan

mereka dengan lebih efektif.

Sit down, four handed dentistry. Prasyarat dari praktek dokter

gigi modern adalah penggunaan konsep sit down, four handed dentistry /

bekerja dalam keadaan duduk dan penggunaan sistem four-handed

dentistry yang tepat.

Dokter gigi dapat dengan cepat menentukan betapa efektifnya

menggunakan asisten dan menetapkan prinsip penghematan gerakan

dengan menggunakan sistem four-handed dentistry. Pertanyaannya adalah:

1. Apakah asisten selalu digunakan?

2. Apakah suction digunakan oleh asisten sementara dokter

melakukan prosedur restorasi atau bedah?

3. Apakah rubber dam digunakan secara rutin?

4. Apakah tray digunakan pada semua prosedur?

5. Apakah penyerahan instrumen antara dokter gigi dan asisten

menggunakan sinyal tangan?

6. Apakah dokter gigi mempertahankan pandangan matanya pada

rongga mulut atau tidak?

7. Apakah pada sisi asisten menggunakan cabinet yang dapat

meminimalisasi pergerakan asisten dari tempat duduknya.


103

Walaupun pertanyaan-pertanyaan ini tidak meliputi semua prinsip

sit-down, four-handed dentistry, namun dapat diterima dan melekat dengan

prinsip-prinsip tersebut.

Analisis Tugas. Meningkatkan produktivitas erat hubungannya

dengan menyerahkan tugas. Analisis tugas meninjau tiap bagian dari

prosedur praktek, menjadikannya suatu tugas, menentukan tugas mana

yang dapat diserahkan, dan, akhirnya, menentukan apakah tugas itu sudah

diserahkan.

Ukuran Fasilitas atau Tinjauan Praktek dan Perlengkapan.

Dokter gigi yang telah memiliki rencana pasti untuk mengembangkan

prakteknya dengan cepat harus berlokasi pada fasilitas dimana alat-alat

operasi tambahan dapat ditambahkan dengan mudah. Satu indikasi bahwa

praktek harus diperbesar adalah menumpuknya janji temu dengan pasien.

Penambahan perawat gigi atau dokter gigi lainnya dapat mengatasi

masalah tersebut.

Penting untuk memilih fasilitas praktek yang lebih besar dari yang

awalnya dibutuhkan namun yang apabila diperlukan perlengkapan operasi

tambahan dapat ditempatkan dengan mudah.

Biaya untuk perlengkapan dental harus diperiksa secara berkala

dengan pengertian bahwa perlengkapan itu nantinya akan harus diganti.

Kemajuan teknologi pun dapat mengharuskan penggantian peralatan.

Kinerja Staf
104

Untuk membangun tempat praktek dokter gigi yang sukses

dibutuhkan seorang dokter gigi yang selalu mengevaluasi cara kerja staff

nya secara teliti, baik saat diberikan tugas maupun keahlian mereka dalam

menambah ilmu dan kemampuan baru. Selain itu seorang dokter gigi juga

harus mengevaluasi secara berkala teamnya untuk mengetahui apakah

mereka bekerja secara efektif, kooperatif, dan suportif. Terdapat 2 tipe

evaluasi yang akan dikemukakan, yaitu :

Evaluasi Kerja Individu. Evaluasi kinerja adalah salah satu

tanggung jawab utama setiap supervisor. Evaluasi kinerja memberikan

dasar untuk kenaikan gaji dan upah untuk merencanakan program

pelatihan, untuk memilih individu untuk meningkatkan tanggung jawab,

dan untuk memberhentikan karyawan yang tidak berkontribusi cukup

untuk praktik tersebut. Dokter gigi harus mengevaluasi kinerja anggota

staf secara berkelanjutan dan berkala. Evaluasi berkelanjutan kinerja

adalah evaluasi yang berlangsung secara teratur dan memberikan timbal

balik verbal pembantu yang berkaitan dengan tugas mereka. Jenis evaluasi

dan timbal balik memastikan bahwa dokter gigi telah meluangkan waktu

untuk mengamati setidaknya beberapa aspek kinerja tambahan yang secara

teratur dan membantu menyadari persepsi dokter gigi tentang kekuatan

dan kelemahan. Ketika dokter gigi mengamati dan memberikan timbal

balik verbal tentang kejadian-kejadian yang sangat positif atau negatif,

disarankan untuk membuat catatan dari mereka untuk menempatkan dalam

folder personil karyawan. Catatan-catatan ini dapat digunakan ketika


105

dokter gigi melengkapi suatu evaluasi tertulis lebih formal dari kinerja

karyawan setiap tahun atau enam bulan.

Evaluasi kinerja pembantu formal setiap enam bulan atau satu

tahun adalah jenis kedua dari evaluasi kinerja yang harus dilakukan dokter

gigi. Evaluasi-evaluasi ini dan evaluasi atas kinerja wawancara

menyediakan baik dokter gigi dan pembantu berkesempatan untuk

mengidentifikasi dan mendiskusikan kekuatan dan kelemahan untuk

mengembangkan rencana untuk memperbaiki kinerja di masa mendatang.

Evaluasi berkala ini harus dilakukan secara tertulis dan diajukan secara

kronologis dalam catatan personil karyawan. Proses ini mengurangi

kesempatan adanya perbedaan pendapat tentang apa yang dikatakan dan

disepakati dalam wawancara evaluasi kinerja sebelumnya. Dokter gigi

harus ingat, bagaimanapun, bahwa evaluasi dan analisa kinerja anggota

staf adalah sama pentingnya dengan menganalisis aspek keuangan dari

praktik. Evaluasi tersebut, baik yang sedang berlangsung dan berkala,

memberikan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja

tambahan. Mereka juga menyediakan dokter gigi dengan catatan tertulis

tentang tren kinerja dan dalam beberapa kasus dokumentasi tentang

mengapa seorang pembantu dihentikan.

Tim evaluasi. Setiap dokter gigi yang berpengalaman mengakui

bahwa kinerja individu efektif adalah hanya bagian dari suatu bangunan

suksesnya praktik. Satu dapat memiliki sekelompok pembantu yang

kompeten secara individu tetapi semua yang tidak bekerja sama secara
106

kooperatif dan mendukung. Situasi di mana anggota staf tidak cocok, di

mana ada konflik antara pembantu, atau di mana anggota tim tidak

terlihat ketika orang lain berada di belakang dalam pekerjaan yang

mengganggu setiap praktik dan pada saat yang merusak moral dan

produktivitas. Sayangnya, dokter gigi sering menjadi orang terakhir yang

mencari tahu tentang masalah antara stafnya (setelah masalah utama).

Dokter gigi harus jeli pada komentar anggota staf satu sama lain atau

kepada dokter gigi tersebut. Ketika komentar menunjukkan adanya

masalah di antara anggota staf, dokter gigi harus mendengarkan dengan

empati dan menggunakan pertanyaan tindak-lanjut untuk menentukan

rincian dan beratnya masalah. Diskusi tentang kompatibilitas staf dan

kemauan untuk bekerja sama juga dapat dilakukan selama wawancara

penilaian kinerja. Jika diskusi ini berlangsung, dokter gigi harus

membujuk anggota staf untuk membahas insiden khusus masalah yang

dirasakan, bukan untuk mengkritik anggota staf lain pada umumnya.

Cara lain untuk mengidentifikasi masalah yang berhubungan

dengan total kinerja tim atau hubungan antara anggota tim adalah untuk

mendorong diskusi mengenai isu-isu ini di rapat staf. Pembujukan diskusi

kelompok secara jujur dan terbuka mengenai masalah ini, bagaimanapun,

mensyaratkan bahwa dokter gigi membentuk sebuah lingkungan yang

mendorong dan memperkuat diskusi tersebut. Menunjukkan kehangatan,

empati, dan penghormatan terhadap anggota staf merupakan sebuah

prasyarat untuk membahas masalah tim sukses dalam rapat staf.


107

Cara lain untuk menilai kinerja tim adalah meminta setiap anggota

staf untuk mengisi kuesioner yang dirancang untuk mendapatkan apa yang

dirasakan tentang hubungan komunikasi kelompok dan anggota staf.

Sebuah contoh yang baik seperti kuesioner adalah Efektivitas Tim Survey.

Hasil seperti kuesioner atau kuesioner dikembangkan dalam praktik

singkat dapat diperiksa oleh dokter gigi sendiri atau oleh seluruh staf

dalam pertemuan staf. Hasilnya akan menyediakan dokter gigi dengan

informasi tambahan tentang kinerja tim dan efektivitas.

Appointment Scheduling (Penetapan Jadwal Pertemuan)

Empat bidang penjadwalan janji untuk review adalah: (1). Waktu

tunggu pasien untuk janji, (2). Waktu tunggu pasien di ruang tunggu; (3).

Waktu yang dijadwalkan untuk setiap janji dibandingkan dengan waktu

benar-benar digunakan, dan (4). Perkiraan waktu yang ditujukan untuk

dokter gigi dan pembantu. Penting untuk diingat bahwa dokter gigi harus

mengontrol penjadwalan janji. Tujuan khusus yang berhubungan dengan

proference dokter gigi adalah untuk mengobati pasien harus ditetapkan.

Sebagai contoh, di beberapa praktek Prosedur lebih kompleks yang

dijadwalkan selama bagian awal dari hari dan pemutaran rutin, recall, dan

prosedur klinis sederhana diselingi selama pagi dan sore hari. Pada

awalnya praticioner dapat menentukan jumlah jam buka praktek sehingga

pertemuan bisa dijadwalkan di awal.


108

Resepsionis harus mampu menyediakan dokter gigi dengan banyak

faktor seperti keadaan darurat, pembatalan pasien, dan kegagalan pasien.

Data ini dapat menunjukkan seberapa baik kebijakan penjadwalan yang

dilaksanakan.

Berbagai faktor dapat ditinjau kembali untuk menentukan

efektivitas penjadwalan janji, memberikan beberapa indikasi seberapa baik

dokter gigi dan waktu staf yang digunakan.

Kelalaian dan Malpraktek

Pengertian Malpraktek

Berdasarkan Kamus Kedokteran Indonesia: Malpraktek adalah praktik

kedokteran yang dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang-Undang Kode

Etik.(FKUI, 2008). Istilah malpraktek di dalam hukum kedokteran mengandung

arti praktek dokter yang buruk. Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau

perlukaan yang salah karena ketidaktahuan, kesembronoan atau kesengajaan

kriminal (Agus Irianto, 2006).

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu

berkonotasi yuridis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Malpraktek adalah

istilah untuk dunia kedokteran yang berasal dari kata mal atau mala yang

artinya buruk, sedangkan praktek artinya pelaksanaan pekerjaan.10Sedangkan

menurut Blacks Law Dictionary, Malpractice is an instance of negligence on

incompetence on the part of a profesional (Bryan A., 2004). (terjemahan bebas :

kelalaian merupakan bagian dari ketidakkompetenan sebuah profesionalitas. Dari

sudut harafiah istilah malpraktek artinya praktek yang buruk.)


109

Pengertian Kelalaian

Kelalaian medis adalah sebagai terjemahan dari Negligence (Belanda

: Nalatigheid) dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau

kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh dan tak peduli.

Juga tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya

didalam tata pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak

sampai membawa kerugian atau cedera dan menyangkut hal yang sepele, maka

kelalaian itu tidak berakibat hukum. Prinsip ini berdasarkan De minimis not

curat lex, The law does not concern itself with trifles. Yaitu hukum tidak

mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.

Apabila kelalaian yang dilakukan sudah mencapai tingkat tidak

memperdulikan keselamatan orang lain, maka kelalaian yang

dilakukan akan berubah menjadi tindakan kriminal. Jika akibat dari

kelalaian yang dilakukan menyebabkan celaka, cedera, bahkan sampai

merenggut nyawa maka kelalaian tersebut termasuk tindak pidana dan

pelanggaran hukum.

Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat

dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin

profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata seperti

melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan

pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal,

euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu,


110

menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang

belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar

kompetensinya, dan lain-lain.

Jadi, malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan

pelayanan kedokteran di bawah standar. Kelalaian yang umum terjadi

pada praktik dokter gigi, yaitu :

Abandonment/keadaan tertinggal

Burns/luka terbakar

Salah identitas

Benda asing yang tertinggal pada pasien setelah prosedur

bedah

Pemakaian alat yang kurang baik

Gagal dalam mengamati reaksi pasien dan mengambil

tindakan yang sesuai

Kegagalan pengobatan

Kesalahan administrasi obat

Gagal berkomunikasi

Menghilangkan atau merusak properti pasien

Transmisi penyakit

Jenis-jenis Kelalaian dan Malpraktik dalam Kedokteran Gigi

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,

misfeasance dan nonfeasance.


111

a. Malfeasance

Malfeasance berarti melakukan tindakan yang

melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau

improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa

indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut

sudah improper.

b. Misfeasance

Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis

yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper

performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis

dengan menyalahi prosedur.

c. Nonfeasance

Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis

yang merupakan kewajiban baginya.

Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-

bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada

kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam

hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak

selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent

error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak

buruk.
112

Cara Pembuktian Sanksi Hukum Malpraktik

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat

dilakukan dengan dua cara yakni :

5. Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai

tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter

dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa

yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya

dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat

dipersalahkan.

c. Direct Cause (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan

kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian

(damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa

atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan

dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar


113

menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan

hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan

dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah

bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita

olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada

memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan

perkataan lain tidak ada contributory negligence.


114

Sanksi Hukum untuk Kelalaian dan Malpraktik

1. Sanksi Pidana

Untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, diatur dalam Pasal 359,

360, dan 361 KUHP

Pasal 359 KUHP

Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain,

diancam dengan pidana penjara lima tahun atau kurungan paling lama satu

tahun

Pasal 360 ayat (1)KUHP

Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain menderita

luka berat, diancam dengan pedana penjara paling lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun

Yang dimaksud dengan luka berat ialah kriteria yang diatur dalam pasal 90

KUHP, yaitu :

a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan

sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya mau

b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencahariaan

c. Kehilangan salah satu pancaindra

d. Mendapat cacat berat (hilangnya salah satu anggota badannya)

e. Menderita sakit lumpuh

f. Terganggu pikirnya selama lebih cepat seminggu

g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan


115

Pasal 360 ayat (2) KUHP

Barangsiapa kerena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka

sedemikian rupa sehingga menderita sakit untuk sementara waktu dan

tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya selama waktu

tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima

ratus rupiah.

2. Sanksi Perdata

Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga

pasiennya menderita luka atau mati, dapat digugat secara perdata

berdasarkan Pasal 1366, 1370, atau 1371 KUH Perdat

Pasal 1366 KUH Perdata

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang

disebabkan karena kelalalian atau kurang hati-hatinya

Pasal 1370 KUH Perdata

Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain)

dengan sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami dan istri

yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya mendapat

nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu

ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan

kedua belah pihak serta menurut keadaan.


116

Pasal 1371KUH Perdata

Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan

sengaja atau kurang hati-hati, memberi hak kepada korban, selain

mengganti biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian

kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut

Pasal 13 67 KUH Perdata

Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk

mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan

oleh anak buah atau bawahannya

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :

Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :

Ayat (1)

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau

kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan

Ayat (2)

Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

Penjelasan

Ayat (1)

Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk

memberi perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul,

baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga


117

kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan

atau kelalaian itu mungkin dapat menyebbkan kematian atau

menimbulkan cacat dan permanen

Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau

tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan

kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang

Ayat (2)

Cukup jelas

3. Tindak Pidana Medis

Terdapat perbedaan yang mendasar antara tindak pidana biasa yang

fokusnya adalah akibat dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana medis

fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibat. Tindakan dapat

dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teoritis paling sedikit

mengandung 3 (tiga) unsur yaitu :

a. Melanggar norma hukum pidana tertulis

b. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum) dan

c. Berdasar suatu kelalaian

Ukuran kesalahan atau kesalahan/kelalaian dalam hukum pidana

adalah kesalahan/kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian ringan (culpa

levis). Seperti hukum perdata penilaian adalah terhadap seseorang/dokter

dengan tingkat kepandaian dan keterampilan rata-rata bukan dengan dokter


118

yang terpandai. Culpa pada hakekatnya adalah pertentangan nurani antara

kesenjangan disatu pihak dengan kebetulan dipihak lain.

Ukuran yang digunakan untuk culpa bukanlah orang/dokter yang

paling hati-hati, malainkan culpa lata itu sendiri. Kelalaian bukanlah suatu

penggaran hukum atau kejahatn, jika kelalaian itu tidak sampai membawa

kerugian atau cidera kepada orng lain dan orang itu dapat menerimanya.

Namun, jika kelalaian itu dapat mengakibatkan kerugian materi,

mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini dapat

diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.

Culpa lata tidak dapat digunakan dalam bidang hukum perdata,

sehingga perkara yang hanya memenuhi culpa levis dapat ditampung dalam

hukum perdata dan hukum disiplin tenaga kesehatan

Tolak ukur culpa lata adalah :

Bertentangan dengan hukum

Akibatnya dapat dibayangkan

Akibatnya dapat dihindarkan

Perbuatannya dapat dipersalahkan

Beberapa perbuatan yang dapat dikatagorikan dalam tindak

pidana adalah :

Menipu pasien (pasal 378 KUHP)

Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (pasal 322 KUHP)

Pengguguran kandungan tanpa idikasi medis (pasal-pasal 299,

348, 349 KUHP)


119

Lalai sehingga menyebabkan kematian atau luka-luka (pasal 359,

360, dan 361 KUHP)

Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP)

4. Tindak Perdata Medis

Berbeda dengan hukum pidana yang bertujuan untuk

menyelenggarakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, hukum

perdata mengandung prinsip "barangsiapa merugikan orang lain, harus

memberikan ganti rugi" Menurut hukum perdata, hubungan dokter - pasien

dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu :

a. Berdasarkan Perjanjian (Ius Contractu)

Di sini terbentuk suatu kontrak terapeutik secara sukarela

antara dokter dengan pasien berdasar kehendak bebas. Tuntutan

dapat dilakukan apabila diduga terjadi "Wanprestasi" yaitu

pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah

tidak melakukan, terlambat melakukan, atau salah melakukan

terhadap apa yang diperjanjikan tersebut.

Untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata

menyebutkan syarat-syaratnya :

Adanya kesepakatan pihak-pihak yang membuat

perjanjian

Kemampuan pihak-pihak untuk membuat perjanjian

Adanya objek tertentu


120

Mengenal suatu sebab/kausa yang diperbolehkan, halal,

diizinkan atau lazim, tidak bertentangan dengan hukum

kesusilaan atau ketertiban umum/masyarakat

b. Berdasar Hukum (Ius Delicto)

Di sini berlaku prinsip barangsiapa menimbulkan kerugian,

pada orang lain harus memberikan ganti rugi atau kerugian

tersebut. Kemungkinan-kemungkinan malpraktek perdata dapat

terjadi untuk hal-hal sebagai berikut :

Wenprestasi (Pasal 2139 KUH Perdata)

Perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)

Melalaikan kewajiban (Pasal 1367 KUH Perdata)

Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (Pasal 1366

KUH Perdata)

Dalam bidang kesehatan/ kedokteran, ada faktor-faktor

yang khusus yang tidak dijumpai pada hukum yang berlaku

umum sebagai berikut (guwandi, 1991)

1. Risiko pengobatan (risk of treatment)

a. Risiko yang melekat/inheren

b. Risiko alergik

c. Komplikasi dalam tubuh pasien

2. Kecelakaan medis (medical accident)


121

3. Kekeliruan penilaian klinis (non negligent error of

judgment)

4. "Contributory negligence". Istilah ini secara umum

digunakan untuk sikap-sikap tindak yang tidak wajar dari

pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian/cidera pada

dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter

terdapat pula kelalaian atau tidak (contoh : nasihat dokter).

Secara yuridis semua kasus dapat diajukan ke

pengadilan baik pidana maupun perdata sebagai

malpraktek medis dan apabila terbukti bahwa dokter

tidak menyamping dari SPM (Standar Profesi Medis).

Mekanisme Tuntutan Dugaan Kelalaian, Malpraktik, Pelanggaran

Etika dan Disiplin Profesi

Di Negara- Negara maju terdapat suatu Dewan Medis (Medical Council)

yang bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan menanggulangi pelanggaran

pelanggaran yang dilakukan terhadap etik kedokteran. Di Negara Indonesia, PDGI

telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat cabang, namun karena fungsi majelis ini belum memuaskan,

pada tahun 1982, Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan

Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat di pusat dan cabang. Tugas

P3EK adalah menangani kasus-kasus malpraktik etik yang tidak dapat

ditanggulangi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dan memberi


122

pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat yang berwenang. Alur Pengajuan

tuntutan pasien kepada dokter gigi jika terjadi malpraktek oleh dokter:

MKEK cabang / wilayah P3EK provinsi P3EK pusat

Namun, dalam apabila terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga

mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk

melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU

Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan

kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui mediasi. .

Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian

oleh tenaga kesehatan yakni:

a. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;

b. Melakukan mediasi;

c. Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut,

maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana. UU NO.29 thn 2004

tentang pengaduan :

1. Pengaduan (Pasal 66)

(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan

dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan

secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :

a. identitas pengadu;
123

b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu

tindakan dilakukan; dan

c. alasan pengaduan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana

kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke

pengadilan.

2. Pemeriksaan

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan

memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter

dan dokter gigi (Pasal 67).

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada

organisasi profesi (Pasal 68).

3. Keputusan (Pasal 69)

(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat

dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan

tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.

(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

a. pemberian peringatan tertulis;

b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;

dan/atau
124

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

Dokter/Dokter Gigi pun dapat melakukan pembelaan dalam sidang,

dimana tatalaksana pembelaan:

1. Pembelaan hanya diberikan kepada anggota PDGI aktif

2. Bentuk pembelaan hanya berupa upaya pendampingan

3. PDGI hanya menanggung biaya anggota yang mendampingi

4. Pembelaan hanya untuk kasus etika dan disiplin

Alur pembelaan terhadap Anggota Profesi, yaitu :

1. Pelaksanaan

Pembelaan anggota dilakukan secara berjenjang sesuai keberadaan BPPA.

Pembinaan anggota dilakukan oleh BPPA bersama dengan pengurus PDGI

lainnya

2. Monitoring&evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh BPPA bersama dengan pengurus

PDGI lainnya. Evaluasi dilakukan terhadap upaya pembinaan dan pembelaan

anggota

3. Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dilakukan secara berjenjang sesuai keberadaan BPPA.

Pelaporan dilakukan sesuai dengan hirearki kewenangan BPPA masing-masing.

Pelaporan dilakukan sekurang-kurangnya setahun sekali kepada BPPA pusat.

4. Pengorganisasian

5. Pembiayaan
3 KESIMPULAN

125
Dalam penyelenggaraan praktik dokter gigi, agar sebagai dokter gigi

terhindar dari berbagai tuntutan yang diajukan oleh pasien, seorang dokter gigi

harus memahami mengenai pemanfaatan jalur organisasi profesi, peraturan

perundang-undangan terkait praktik dokter gigi, etika profesi dokter gigi serta

hukum kesehatan.

Selain itu, perlu juga dilakukan evaluasi dalam penyelenggaraan praktik

dokter gigi baik dari aspek finansial dan non-finansial agar praktik yang

dijalankan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

126
DAFTAR PUSTAKA

Komalawati, Veronica. 1997. Peranan Informed Consent dalam Transaksi

Terapeutik : Suatu Tinjauan Yuridis. Universitas Gadjah Mada :

Yogyakarta.

Darwin, Eryati. 2014. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Depublisher.

J. Hanafiah, A.A., 2009. Kesehatan, Etika Kedokteran dan Hukum. 4th. Jakarta:

EGC.

Pandi, V. M, 2013. Sanksi Pidana atas Pelanggaran Rahasia Kedokteran oleh

Dokter. Lex et Societatis, Volume 1, pp. 8-10.

Anny isfandyarie. 2006. Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku

I. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2.

Leenen, H. J. J. dan Lamintang, PA. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum.

Bandung: Bina Cipta

Wijanarko, Bayu dan Mudiana Permata Sari. 2014. Tinjauan Yuridis Sahnya

Perjanjian Terapeutik dan Perlindungan Hukum bagi Pasien. Universitas

Sebelas Maret : Surakarta.

Bryan A., Garner. 2004. Blacks Law Dictionary. Thomson, West.

Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. 2008. Kamus Kedokteran Indonesia.

Jakarta : Universitas Indonesia Press.

127
Irianto, Agus. 2006. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter

Dalam Malpraktek. Surakarta : FHUI Universitas Sebelas Maret.

Hanafiah, J. (2008) ETIKA KEDOKTERAN & HUKUM KESEHATAN EDISI 4. Edited by

EGC. jakarta: EGC. Available at:

https://books.google.co.id/books?id=t3zPqTnRjX0C&dq=wrong+diet+pills

&source=gbs_navlinks_s.

128

Anda mungkin juga menyukai