Disusun Oleh:
Kelompok E
Jeremy Hans Budiyanto 040001800074
Jessica Budiono 040001800075
Joey Danwiek 040001800076
Jonathan Steven 040001800077
Juan Justin John 040001800078
Kevin Anthony Christiawan 040001800079
Khalda Fathiah Tuffahati 040001800081
Kharissa Kemala Vychaktami 040001800082
Kheizka Khairana Zahira Putri 040001800083
Kiara Farvianata Alimah R 040001800084
Krysta Yosvara 040001800085
Leny Fitria Ariesta 040001800086
Lidia Santoso 040001800087
Lisa Yulising 040001800088
Litayana Ria Anggriani Sitorus 040001800089
Liusa Harry Dinata 040001800090
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya. Kami berterima kasih kepada para dosen yang membimbing kami pada
modul GSM 6329 FKG Universitas Trisakti.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan laporan yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik serta saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
A. Kesalahan yang dilakukan dokter gigi 6
B. Langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan 6
C. Yang dilakukan dokter gigi dalam situasi dilema 6
Berdasarkan 6
D. Pelanggaran peraturan dan prinsip etik yang dilakukan pada skenario 6
E. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan promosi 7
PENUTUP 7
A. Simpulan 7
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skenario Diskusi 1.1 :
Seorang pasien perempuan bernama “X” berusia 16 tahun datang sendiri ke klinik gigi,
lalu menemui dokter gigi GP, ingin dipasang kawat gigi karena ingin ikut-ikutan
temannya yang memakai kawat gigi. Pasien tersebut juga sering melihat di iklan spanduk
klinik tersebut yang mempromosikan pemasangan kawat gigi dengan harga yang sangat
miring terpasang di pinggir jalan. Pasien langsung dipersilakan duduk di dental unit untuk
diperiksa. Setelah diperiksa, gigi pasien dalam keadaan rapi dan tidak crowding, namun
oral hygiene yang buruk dan ditemukan banyak stain rokok. Dokter gigi tersebut
langsung mengerjakan perawatan tersebut sesuai dengan keinginan pasien. Setelah selesai
perawatan, pasien membayar biaya perawatan dengan menggunakan kartu kredit orang
tuanya. Kemudian setelah pasien pulang, dokter gigi langsung mengupload foto pasien
yang sudah memakai behel di media sosial pribadinya untuk “mempromosikan” hasil
kerjanya.
B. Rumusan Masalah
1. Berdasarkan skenario diatas, sebutkan kesalahan apa saja yang telah dilakukan
oleh dokter gigi tersebut ?
2. Sebutkan langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan pada
skenario tersebut.
3. Diluar kasus diatas, apabila anda sebagai dokter gigi, setelah memeriksa keadaan
gigi dan mulut tetapi tidak ditemukannya adanya indikasi medis dan anda sudah
memberikan penjelasan bahwa perawatan tersebut tidak sesuai dengan
indikasinya, namun pasien tersebut bersikeras untuk tetap dilakukan perawatan
tersebut. Kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh dokter gigi tersebut
disituasi dilema ini ? Jelaskan argumen anda !
4. Melanggar peraturan dan prinsip etik apa sajakah yang berkaitan dengan kasus
pelanggaran skenario diatas ? Sebutkan !
5. Sebutkan apa saja yang harus kita perhatikan dalam menggunakan media sosial
dan promosi ?
C. Tujuan Penelitian
1. Dapat menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan oleh dokter gigi pada
skenario
2. Dapat menyebutkan langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan
3. Dapat mencari jalan dalam situasi dilema
4. Dapat menyebutkan pelanggaran peraturan dan prinsip etik
5. Mengetahui hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan
promosi
BAB II
PEMBAHASAN
E. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan promosi
Seorang dokter gigi diharapkan dapat menggunakan media sosial dengan
mempertimbangkan aspek kode etik yang termuat pada Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia terutama profesionalisme, nilai integritas, kejujuran, kesejawatan, serta etika
profesi. Di beberapa negara di Eropa, penggunaan media sosial oleh dokter diatur oleh
General medical council (GMC) dalam sebuah publikasi yang berjudul “Doctor’s use of
social media” pada tahun 2013. Publikasi tersebut menegaskan bahwa dokter harus
menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medik dan informasi pribadi
pasien, menghindari pencemaran nama baik, serta menjaga rasa hormat terhadap sejawat.
Etika penggunaan media sosial di Indonesia diatur oleh fatwa yang diterbitkan oleh
MKEK mengenai etik dokter dalam aktivitas media sosial dalam SK MKEK No.
029/PB/K.MKEK/04/2021
Untuk menghindari masalah etik yang timbul dari penggunaan media sosial oleh
dokter, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, memperketat pengaturan
privasi pegawai dan pasien di layanan kesehatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengetahui siapa saja yang mengakses konten yang dibuat atau disimpan oleh dokter.
Meskipun terdapat pengaturan privasi, dokter dianjurkan untuk tetap waspada dengan
ketidaksempurnaan sistem privasi di media sosial.
Selain itu, batasan antara dokter dengan pasien juga perlu diperjelas. Penetapan
batasan tersebut dapat dilakukan dengan menghindari hubungan non profesional secara
online dengan pasien, misalnya dengan membatasi pertemanan dengan pasien di situs
profesi dan menolak pertemanan dengan pasien di situs pribadi. Ketika berbagi kasus
secara online, dokter hendaknya menjaga kerahasiaan pasien dengan menghilangkan
identitas pasien dan tetap meminta persetujuan pasien yang bersangkutan.
Pencemaran nama baik merupakan hal yang harus dihindari oleh dokter. Oleh
karena itu, dokter perlu berhati-hati dalam memberikan opini mengenai sejawat, pegawai,
fasilitas pelayanan kesehatan, atau birokrasi kesehatan seperti dinas kesehatan,
departemen kesehatan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dokter gigi dalam melakukan praktik kedokteran harus memperhatikan norma
moral/etika, norma disiplin, dan norma hukum. Seorang dokter gigi harus memegang
teguh etika kedokteran gigi sebagaimana yang telah diatur dalam kode etik kedokteran
gigi (KODEKGI), dimana salah satu pasalnya membahas mengenai promosi kesehatan
yang tidak boleh dilakukan oleh dokter gigi. Dalam melakukan tindakan medis, dokter
gigi harus memenuhi syarat legal yang terdiri dari adanya izin pasien (IC), indikasi
medis, dan standar medis, serta harus sesuai dengan standar profesi medis termasuk
unsur-unsurnya juga. Apabila dokter gigi dalam melakukan tindakan medis menyimpang
atau melanggar disiplin ilmunya, maka dokter tersebut terbukti bersalah melanggar norma
disiplin profesinya. Hal ini sering disebut melakukan kelalaian medis (malapraktik
medis).
B. Saran
Demikian materi yang kami sampaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis dan juga para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan karena
keterbatasan pengetahuan dan kurangnya referensi yang telah dilampirkan. Kami
berharap pembaca memberikan saran dan kritikan kepada kami demi sempurnanya
makalah ini dan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Okes
3. Ahmad I. Essentials of Dental Photohraphy. 1st ed. Hoboken: John Wiley & Sons; 2020.
349 p.
5. Liu F, Design S. Dental Digital Photography. 3rd ed. Liu F, editor. Singapore: Springer
Nature Singapore Pte Ltd and People’s Medical Publishing House Co. Ltd; 2019. 350 p.
6. Stieber JC, Nelson T, Huebner CE. Considerations for Use of Dental Photography and
Electronic Media in Dental Education and Clinical Practice. J Dent Educ.
2015;79(4):432–8.
D. Latar Belakang
Skenario Diskusi 2.1 :
Seorang pasien perempuan bernama “X” berusia 16 tahun datang sendiri ke klinik
gigi, lalu menemui dokter gigi GP, ingin dipasang kawat gigi karena ingin ikut-ikutan
temannya yang memakai kawat gigi. Pasien tersebut juga sering melihat di iklan spanduk
klinik tersebut yang mempromosikan pemasangan kawat gigi dengan harga yang sangat
miring terpasang di pinggir jalan. Pasien langsung dipersilakan duduk di dental unit
untuk diperiksa. Setelah diperiksa, gigi pasien dalam keadaan rapi dan tidak crowding,
namun oral hygiene yang buruk dan ditemukan banyak stain rokok. Dokter gigi tersebut
langsung mengerjakan perawatan tersebut sesuai dengan keinginan pasien. Setelah selesai
perawatan, pasien membayar biaya perawatan dengan menggunakan kartu kredit orang
tuanya. Kemudian setelah pasien pulang, dokter gigi langsung mengupload foto pasien
yang sudah memakai behel di media sosial pribadinya untuk “mempromosikan” hasil
kerjanya.Beberapa hari kemudian, pasien tersebut menelepon klinik dan mengeluhkan
gigi-giginya yang telah dikawat gigi mengalami ngilu terus menerus dan ingin segera
dilepas kawat gigi tersebut karena sudah tidak tahan lagi menahan sakit ngilu. Dan dokter
gigi tersebut mengikuti permintaan pasien untuk dilepas kawat giginya, kemudian
dikenakan lagi biaya pelepasan braketnya dengan harga tidak murah, berhubung dokter
gigi tersebut menghitung-hitung potensi kehilangan pemasukan dari biaya kontrol kawat
gigi.Sebulan kemudian, pasien tersebut dan orang tuanya mendatangi klinik tersebut
dalam kondisi marah-marah karena dokter gigi tersebut sudah melakukan perawatan pada
gigi pasien “X” tanpa sepengetahuan orang tuanya dan hal ini diketahui dari tagihan kartu
kredit orang tuanya yang membengkak tiba-tiba. Orang tua pasien menuntut untuk
dikembalikan biaya perawatannya, karena setelah diamati gigi pasien, tidak terdapat
kawat gigi yang terpasang di mulutnya. Maka asumsi orang tuanya adalah dokter gigi
tersebut sudah melakukan penipuan karena tidak melakukan tindakan perawatan kawat
gigi namun telah mengenakan biaya perawatan kawat gigi pada anaknya.
E. Rumusan Masalah
1. Jika terjadi sengketa medis, idealnya langkah penyelesaian apa yang kira-kira dapat
ditempuh dalam skenario ini
2. Mungkinkah kejadian yang dilakukan oleh dokter gigi ini dapat diadukan atau dilaporkan
kepada kepolisian sebagai perkara pidana?
3. Kenapa peran Rekam Medis dan Informed Consent sangat penting dalam skenario di
atas. Jelaskan!
4. Siapa sajakah yang berhak memberi sanksi pada pelanggaran kasus di atas? Jelaskan
alurprosedur untuk proses penyelesaian sengketa mediknya!
5. Menurut kalian dari kacamata profesi dokter gigi, penyebab apa sajakah terjadinya
sengketa medik di luar kasus skenario ini (tidak hanya kasus ini saja)?
6. Bagaimanakah cara kalian untuk mencegah terjadinya sengketa medik pada saat kalian
menjalankan profesi kalian sebagai tenaga kesehatan?
F. Tujuan Penelitian
1. Dapat menyebut langkah penyelesaian jika terjadi sengketa medis
2. Mengetahui kejadian yang dapat diadukan ke polisi
3. Mengetahui pentingnya rekam medis dan informed consent
4. Dapat menyebutkan alur serta sanksi pelanggaran pada kasus
5. Dapat mengetahui penyebab dari sengketa medik di luar kasus
6. Mengetahui cara mencegah sengketa medik sebagai dokter gigi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Langkah penyelesaian yang ideal pada skenario
Penyelesaian masalah yang ideal untuk kasus pada skenario dapat diselesaikan
dengan jalur non litigasi yang berarti penyelesaian sengketa yang dilakukan
menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau yang biasa disebut dengan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, jalur non litigasi dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu :
1. Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan oleh para pihak yang terlibat
untuk memperoleh suatu kesepakatan bersama. Negosiasi sebagai pilihan
penyelesaian sengketa medik dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang
sebelumnya didahului dengan komunikasi dua arah untuk mengemukakan pokok
permasalahan dan keinginan. Pada saat negosiasi para pihak secara sukarela
berkehendak untuk menyelesaikan sengketa. Apabila sengketa diselesaikan dengan
cara negosiasi berarti pihak yang terlibat hanya dua pihak saja yaitu, dokter dan
pasien yang sedang bersengketa. Jika negosiasi berhasil dan mendapatkan hasil yang
disetujui oleh kedua pihak maka kasus dapat dianggap selesai.
Negosiasi dapat dilakukan melalui cara mediasi untuk penyelesaian masalah
sengketa medik. Perbedaan antara negosiasi dan mediasi yaitu, negosiasi hanya
melibatkan dua pihak yang terlibat saja sedangkan mediasi melibatkan mediator
(pihak penengah). Alasan mengambil langkah penyelesaian sengketa medik dengan
cara negosiasi ataupun mediasi dikarenakan dapat tercapainya hasil yang disetujui
oleh kedua pihak tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan (win-win solution),
waktu penyelesaian masalah lebih efisien, dan biaya yang dikeluarkan lebih
terjangkau dibanding dengan jalur litigasi.
2. Mediasi
Di dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003
disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator. Mediasi yang dilakukan dengan cara ini dapat disebut juga dengan mediasi
didalam pengadilan, selain itu mediasi dapat dilakukan diluar pengadilan, hasil yang
didapatkan dapat diserahkan ke pengadilan untuk dibuatkan akta secara tertulis.
Mediasi adalah suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak
luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa
tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang membantu
menyelesaikan sengketa tersebut dengan mediator. Pihak mediator tidak mempunyai
kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya
berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang
bersengketa. Pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator diharapkan
dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa.
Dalam skenario tersebut, jalur yang sebaiknya ditempuh adalah jalur non litigasi,
yang dicapai melalui negosiasi terlebih dahulu. Jika negosiasi tidak dapat
menghasilkan kesepakatan, maka dapat ditempuh mediasi dengan mendatangkan
seorang mediator sebagai orang ketiga. Asumsi kesepakatan yang dihasilkan dapat
berupa dokter gigi mengembalikan biaya perawatan yang telah dilakukan kepada
pasien. Pengembalian biaya perawatan dapat berupa sebagian hingga seluruhnya
tergantung hasil kesepakatan tersebut. Jalur litigasi sebaiknya dihindari karena proses
ini cenderung lebih kompleks, membuang tenaga dan waktu dan jika dokter gigi
tersebut dinyatakan bersalah, maka dokter gigi tersebut dapat diberikan sanksi, dari
yang paling ringan hingga paling berat, yaitu pencabutan SIP.
Pada kasus diatas akan lebih cocok apabila perkara tersebut diperkarakan secara
perdata karena tidak ada suatu kerugian berat yang ditimbulkan pada pihak pasien seperti
kematian. Namun pada kasus ini juga tidak menghilangkan kemungkinan dapat
diperkarakan secara pidana. Hal ini dikarenakan bahwa pada kasus tersebut, dokter gigi
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 29 tahun
2004 mengenai Praktik kedokteran khususnya pada pasal 51 butir a dimana dokter gigi
wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien. Pada kasus tersebut, pada pemeriksaan klinis
pada pasien menunjukkan bahwa gigi pasien tidak crowding sehingga tidak ada indikasi
untuk dilakukan perawatan ortodonti namun dokter gigi tersebut tetap melakukan
perawatan tersebut. Oleh karena itu dokter gigi dapat diadukan secara pidana dan dapat
dijatuhkan sanksi pidana berupa kurungan paling lama satu tahun atau denda paling
banyak 50 juta rupiah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 79 pada UU No. 29 tahun
2004.
b. Informed consent
Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi, pasien memiliki hak antara
lain untuk mendapat persetujuan tindakan yang akan dilakukan, hak atas rahasia dokter,
hak atas informasi, dan hak atas second opinion. Informed consent ini penting karena
dibutuhkan sebagai suatu pengaturan hukum yang melindungi pasien dan dokter dari
kesewenangan masing-masing yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-
undangan. Tujuan dari informed consent sendiri adalah :
1. Untuk bukti bahwa telah terjadi hubungan hukum dalam perikatan upaya tindakan
medis.
2. Untuk memberi batasan perlindungan hukum baik kepada pasien dan atau dokter
atas risiko medis yang timbul sesuai standar ilmu pengetahuan kedokteran,
standar profesi, SOP dan kebutuhan medis pasien.
3. Untuk dapat membebaskan tanggung jawab risiko medik atau akses yang tidak
terprediksi atau terprediksi sebelumnya atau tidak bisa terhindarkan berdasarkan
standar profesi, SOP, kebutuhan medis pasien.
Pada kasus diatas dibutuhkan informed consent dalam bentuk tertulis dikarenakan
tindakan yang akan dilakukan bersifat kompleks. Namun, karena pasien masih dibawah
umur yaitu 16 tahun sah atau tidaknya persetujuan masih diragukan, sehingga sebaiknya
informed consent juga disetujui oleh orang tua pasien agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan.
D. Alur prosedur penyelesaian sengketa medik serta yang berhak memberi sanksi
1. Pengaduan
Pengaduan dapat dilaporkan ke MKEKG cabang (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi Indonesia) tempat kejadian tersebut terjadi. Pengaduan dapat
dilakukan secara tertulis dengan berisikan identitas pengadu dan yang diadukan,
tempat serta waktu kejadian, alasan pengaduan dan pernyataan kebenaran.
Pengaduan dapat dilakukan paling lama enam bulan setelah kejadian tersebut
terjadi.
2. Pemeriksaan awal
Pemeriksaan awal dilakukan untuk menentukan pengaduan telah memenuhi syarat dan dapat
dilanjutkan penanganan pengaduan. Pemeriksaan awal dilakukan oleh petinggi MKDKI, dan
yang terlibat dapat memutuskan untuk tidak menerima atau menolak pengaduan. Pengaduan
tidak dapat diterima apabila pengadu tidak memenuhi kriteria pengadu; keterangan atau
informasi dalam pengaduan tidak lengkap atau tidak memenuhi kriteria; dan jika pengadu tidak
dapat ditelusuri keberadaannya setelah diusahakan 3 kali dalam waktu paling lama 3 bulan
semenjak pengaduan diterima. Pengaduan dapat ditolak apabila dokter yang diadu tidak terdaftar
atau teregistrasi di KKI; jika peristiwa yang diadukan tidak terkait dengan praktik kedokteran
atau tidak ada hubungan profesional antara dokter dan pasien; jika peristiwa yang diadukan tidak
termasuk dalam bidang pelanggaran disiplin; dan jika peristiwa yang diadukan sudah pernah
disidangkan dan diputuskan oleh MKDKI yang bersifat final. Jika pengaduan diterima, maka
bisa dilanjutkan proses pengaduan dalam proses pemeriksaan disiplin.
3. Sidang Penelaahan
Dalam sidang ini, penelaahan dilakukan oleh MKEKG cabang. Sidang
penelaahan dapat dilakukan verifikasi keabsahan surat pengaduan dan bila
kejadian yang diadukan merupakan pelanggaran disiplin, dapat dilimpahkan ke
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Kemudian pihak
pengadu, teradu ataupun saksi yang diperlukan dapat diundang dalam sidang ini,
dan pihak teradu dapat didampingi oleh BPPA (Badan Pembelaan dan Pembinaan
Anggota), serta dapat dilakukan kunjungan ke TKP (Tempat Kejadian Perkara).
6. Keputusan
Keputusan yang diambil oleh sidang harus menyatakan teradu bersalah atau
tidak bersalah, diputuskan dengan musyawarah atau suara terbanyak. Untuk yang
bersalah dikenakan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Dan jika
tidak bersalah, teradu harus direhabilitasi.
7. Sanksi
Sanksi berhak diberi oleh MKEKG (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Gigi Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia). Sanksi dapat berupa peringatan lisan paling lama 6 bulan, peringatan
tertulis paling lama 6 bulan, dan pencabutan rekomendasi PDGI untuk SIP paling
lama 12 bulan. Peringatan lisan ini disampaikan langsung kepada teradu pada
sidang MKEKG. Selanjutnya, sanksi peringatan tertulis disampaikan secara
langsung saat sidang MKEKG disusul dengan peringatan tertulisnya. Jika
peringatan lisan tidak dipatuhi selama 6 bulan maka akan diberi peringatan
tertulis. Peringatan tertulis ini dapat diberikan 3 kali.
8. Proses di MKDKI
Setelah pengaduan terdaftar di MKDKI, pihak pengadu dapat memberikan
data pendukung berupa alat bukti yang dimiliki dan pernyataan tentang kebenaran
pengaduan. Dilanjutkan dengan klarifikasi oleh petugas khusus dari MKDKI.
Setelah dilakukan klarifikasi, maka dilanjutkan dengan penanganan kasus berupa
pemeriksaan awal , yaitu dilakukan pemeriksaan apakah pengaduan tersebut
diterima atau ditolak yang dilanjutkan pemeriksaan disiplin, investigasi dan
sidang.
Jika pengaduan diterima makan ketua MKDKI membentuk MPD (Majelis
Pemeriksa Disiplin) untuk memutuskan pengaduan tersebut dapat diterima,
ditolak atau penghentian pemeriksaan. Selanjutnya investigasi oleh MPD untuk
mengumpulkan informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang
diadukan dan setelah dilakukan investigasi baru dilakukan sidang pemeriksaan
disiplin. MPD akan menetapkan keputusan terhadap teradu berupa dinyatakan
tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Sanksi disiplin yang
diberikan berupa peringatan tertulis. Sanksi ini berupa kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan (re edukasi formal dan non formal), rekomendasi
pencabutan STR atau SIP yang bersifat sementara paling lama satu tahun, tetap
atau selamanya, ataupun pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu
area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan
dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap
keputusan MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya.
9. Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta
oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan
dari Pengadilan. Para pihak dapat mengajukan banding bila merasa tidak puas
pengadilan yang lebih tinggi dari dimana putusan tersebut dijatuhkan (kalau
dari MKEKG cabang → MKEKG wilayah atau pusat). Banding ini biasanya
10. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Informed consent diperlukan sebelum dilakukannya suatu perawatan. Informed
consent sendiri merupakan bukti tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebagai
persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan setelah dokter gigi menjelaskan
tindakan apa yang akan dilakukan serta memberikan informasi penting yang perlu
diketahui oleh pasien. Dokter juga perlu mengisi rekam medis yang berisikan
dokumentasi perawatan yang dilakukan oleh pasien sebagai bukti yang dapat melindungi
dokter serta pasien secara hukum ketika terjadi suatu sengketa medik.
Kelalaian dalam bidang medis dapat terjadi dan merupakan suatu hal yang tidak
diinginkan terjadi dan sebisa mungkin untuk dihindari. Dokter atau dokter gigi harus
melakukan tindakan medik mengikuti standar yang telah ditetapkan agar dapat
menghindari kelalaian medik. Dokter atau dokter gigi perlu melakukan anamnesis
terlebih dahulu kepada pasien, serta melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang secara lengkap agar terhindar dari komplikasi yang dapat terjadi disaat
perawatan berjalan, penulisan data medis pasien direkam medis dan pemberian informed
consent.
B. Saran
Demikian materi yang kami sampaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis dan juga para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan karena
keterbatasan pengetahuan dan kurangnya referensi yang telah dilampirkan. Kami
berharap pembaca memberikan saran dan kritikan kepada kami demi sempurnanya
makalah ini dan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
3. Susanti R. Peran dokter sebagai saksi ahli di persidangan. Jurnal Kesehatan Andalas.
2013 May 1;2(2):101-4.