Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

GSM6329 Sengketa Medik dan Pelanggaran Disiplin Kedokteran Gigi

Disusun Oleh:
Kelompok E
Jeremy Hans Budiyanto 040001800074
Jessica Budiono 040001800075
Joey Danwiek 040001800076
Jonathan Steven 040001800077
Juan Justin John 040001800078
Kevin Anthony Christiawan 040001800079
Khalda Fathiah Tuffahati 040001800081
Kharissa Kemala Vychaktami 040001800082
Kheizka Khairana Zahira Putri 040001800083
Kiara Farvianata Alimah R 040001800084
Krysta Yosvara 040001800085
Leny Fitria Ariesta 040001800086
Lidia Santoso 040001800087
Lisa Yulising 040001800088
Litayana Ria Anggriani Sitorus 040001800089
Liusa Harry Dinata 040001800090

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS TRISAKTI
2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya. Kami berterima kasih kepada para dosen yang membimbing kami pada
modul GSM 6329 FKG Universitas Trisakti.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan laporan yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik serta saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta, 30 November 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
A. Kesalahan yang dilakukan dokter gigi 6
B. Langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan 6
C. Yang dilakukan dokter gigi dalam situasi dilema 6
Berdasarkan 6
D. Pelanggaran peraturan dan prinsip etik yang dilakukan pada skenario 6
E. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan promosi 7
PENUTUP 7
A. Simpulan 7
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skenario Diskusi 1.1 :
Seorang pasien perempuan bernama “X” berusia 16 tahun datang sendiri ke klinik gigi,
lalu menemui dokter gigi GP, ingin dipasang kawat gigi karena ingin ikut-ikutan
temannya yang memakai kawat gigi. Pasien tersebut juga sering melihat di iklan spanduk
klinik tersebut yang mempromosikan pemasangan kawat gigi dengan harga yang sangat
miring terpasang di pinggir jalan. Pasien langsung dipersilakan duduk di dental unit untuk
diperiksa. Setelah diperiksa, gigi pasien dalam keadaan rapi dan tidak crowding, namun
oral hygiene yang buruk dan ditemukan banyak stain rokok. Dokter gigi tersebut
langsung mengerjakan perawatan tersebut sesuai dengan keinginan pasien. Setelah selesai
perawatan, pasien membayar biaya perawatan dengan menggunakan kartu kredit orang
tuanya. Kemudian setelah pasien pulang, dokter gigi langsung mengupload foto pasien
yang sudah memakai behel di media sosial pribadinya untuk “mempromosikan” hasil
kerjanya.

B. Rumusan Masalah
1. Berdasarkan skenario diatas, sebutkan kesalahan apa saja yang telah dilakukan
oleh dokter gigi tersebut ?
2. Sebutkan langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan pada
skenario tersebut.
3. Diluar kasus diatas, apabila anda sebagai dokter gigi, setelah memeriksa keadaan
gigi dan mulut tetapi tidak ditemukannya adanya indikasi medis dan anda sudah
memberikan penjelasan bahwa perawatan tersebut tidak sesuai dengan
indikasinya, namun pasien tersebut bersikeras untuk tetap dilakukan perawatan
tersebut. Kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh dokter gigi tersebut
disituasi dilema ini ? Jelaskan argumen anda !
4. Melanggar peraturan dan prinsip etik apa sajakah yang berkaitan dengan kasus
pelanggaran skenario diatas ? Sebutkan !
5. Sebutkan apa saja yang harus kita perhatikan dalam menggunakan media sosial
dan promosi ?

C. Tujuan Penelitian
1. Dapat menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan oleh dokter gigi pada
skenario
2. Dapat menyebutkan langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan
3. Dapat mencari jalan dalam situasi dilema
4. Dapat menyebutkan pelanggaran peraturan dan prinsip etik
5. Mengetahui hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan
promosi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesalahan yang dilakukan dokter gigi


Pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukan oleh dokter gigi berdasarkan
skenario yaitu membuat iklan spanduk klinik dan mempromosikan pemasangan kawat
gigi dengan harga yang sangat miring di pinggir jalan serta mempromosikan hasil
kerjanya di media sosial pribadinya karena dapat dikatakan telah melanggar norma etika
kedokteran.
Berdasarkan kode etik kedokteran gigi pasal 3 yang berbunyi “Dokter Gigi di
Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti memuji diri,
dilarang mengiklankan alat dan bahan apapun, dilarang memberi janji baik langsung
maupun tidak langsung dan lain-lain, dengan tujuan agar pasien datang berobat
kepadanya.
Berdasarkan skenario kasus, dokter gigi tidak melakukan penegakan anamnesis
kepada pasien serta tidak melakukan pemeriksaan intraoral secara lengkap. Dokter gigi
mendapatkan gigi pasien yang rapi dan tidak crowding, namun ditemukan OH yang
buruk dan terdapat stain rokok pada gigi pasien. Dokter gigi juga tidak melakukan
pemeriksaan penunjang seperti radiografi yang dapat digunakan untuk membantu
penyusunan rencana perawatan bracket.
Pada kasus ini, dokter gigi juga tidak merujuk pasien kepada dokter gigi Sp.
Ortodonti untuk rencana perawatan dan pemasangan bracket pada pasien dan langsung
memasangkan bracket sendiri walaupun pemasangan bracket tersebut bukan merupakan
kompetensi dokter gigi umum/ GP. Dokter gigi telah melanggar peraturan KKI no.4
tahun 2011 pasal 3(2) huruf b yang berbunyi,” tidak merujuk pasien kepada Dokter atau
Dokter Gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai”.
Dalam melakukan fotografi dengan pasien, hal yang harus diperhatikan adalah
meminta persetujuan kepada pasien dan menjaga kerahasiaan data pasien. Persetujuan
yang dimaksud adalah persetujuan tindakan fotografi pada pasien, yang dapat disebut
juga sebagai informed consent, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pada saat
meminta persetujuan tindakan fotografi kepada pasien, dokter gigi perlu menjelaskan
dengan bahasa yang mudah dipahami mengenai tujuan dilakukannya fotografi, siapa saja
pihak yang berpotensi berpotensi untuk melihat foto tersebut dan cara penyimpanan hasil
foto tersebut. Setelah dijelaskan secara terperinci, pasien memiliki kebebasan untuk
memilih atau tidak memilih untuk dilakukan fotografi dental. Pasien tidak boleh dipaksa
oleh dokter gigi karena pada hakikatnya, pasien memiliki hak otonomi. Hak otonomi
merupakan kebebasan setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terhadap
kesehatan dan masa depannya. Pada skenario tidak dijelaskan mengenai persetujuan
tindakan fotografi sehingga hal ini tidak mutlak menjadi kesalahan pasien.
Jika dokter gigi ingin menggunakan hasil foto selain untuk kepentingan rekam
medis, semua foto tidak boleh memuat identitas pribadi pasien dan dokter gigi sebisa
mungkin mengurangi potensi agar foto tersebut dapat diidentifikasi. Untuk itu, de-
identifikasi perlu dilakukan pada hasil foto. De-identifikasi merupakan proses untuk
menyembunyikan identitas subjek agar tidak bisa dilacak oleh orang lain. Dalam skenario
tersebut, tidak dijelaskan bagaimana mekanisme de-identifikasi yang dilakukan oleh
dokter gigi sebelum melakukan upload foto pasien dalam media sosial.
Hal yang perlu diperhatikan dalam skenario tersebut adalah usia pasien yang tidak
memenuhi syarat cakap hukum, yaitu berusia 16 tahun. Syarat seseorang dikatakan
sebagai cakap hukum adalah berusia minimal 21 tahun, sudah (pernah) menikah, dan
sehat secara fisik dan mental. Hal ini menunjukkan bahwa pasien belum dapat
bertanggung jawab secara hukum atas dirinya sendiri, sehingga pasien sebaiknya datang
dengan didampingi oleh orang tuanya sebagai wali yang memberikan keputusan/
persetujuan.

B. Langkah protokol yang benar dalam menjalankan perawatan


1. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam
menegakkan diagnosis pada pasien. Anamnesis dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi mengenai pasien beserta keluhannya. Pertanyaan yang
ditanyakan kepada pasien adalah pertanyaan mengenai identitas pasien. Informasi ini
dapat digunakan untuk membedakan pasien yang satu dengan yang lainnya serta
dapat digunakan untuk keperluan rekam medik.
Keluhan utama merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui karena
keluhan utama merupakan penyebab utama pasien berobat ke dokter gigi. Pada kasus
diatas, pasien tidak ada keluhan, melainkan pasien datang ke dokter gigi ingin
dipasang kawat gigi karena ingin ikut-ikutan temannya yang memakai kawat gigi.
Informasi yang diperoleh mengenai keluhan utama dapat digunakan sebagai acuan
bagi dokter gigi dalam menegakkan diagnosis.
Informasi lain yang perlu diperoleh dalam anamnesis adalah riwayat kesehatan
umum pasien. Riwayat kesehatan umum pasien dapat memberikan informasi
mengenai penyakit sistemik yang mungkin diderita pasien, riwayat rawat inap serta
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini. Hal ini akan membantu dokter gigi
dalam menegakkan diagnosis serta membantu dalam perencanaan perawatan pada
pasien.
Riwayat kesehatan gigi dan mulut juga harus diperoleh dari pasien. Riwayat
kesehatan gigi dan mulut dapat meliputi kebersihan gigi dan mulut, penyakit dalam
mulut yang pernah dialami serta motivasi pasien dalam menjaga kesehatan gigi dan
mulut.
Riwayat keluarga dan riwayat sosial juga penting untuk diperoleh. Riwayat
keluarga yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai penyakit herediter
yang mungkin diderita oleh pasien. Informasi mengenai riwayat sosial dapat
membantu dokter gigi dalam menentukan faktor resiko yang dapat menimbulkan
munculnya keluhan pada pasien diatas seperti kebiasaan makan, perilaku kesehatan
gigi dan mulut, kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol dan lain sebagainya.
2. Pengambilan foto intraoral
Dokumentasi fotografi digital dapat berguna untuk pencatatan di rekam medis,
edukasi baik bagi klinisi maupun pasien, komunikasi dengan dokter gigi lain, serta
perencanaan dan perawatan kasus dengan tuntutan estetika yang tinggi. Foto intraoral
juga memungkinkan dokter untuk mengevaluasi mulut pasien setelah pasien pergi
dan memantau perubahan jaringan mulut pasien dari waktu ke waktu. Dalam
skenario ini, foto intraoral dapat membantu dokter gigi dalam mengedukasi dan
membantu pasien untuk memahami kondisi mulutnya, apakah diperlukan perawatan
ortodontik atau tidak, serta bagaimana kebersihan mulut pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital yang terdiri dari tekanan
darah, suhu tubuh, denyut nadi, dan frekuensi nafas. Pemeriksaan tanda vital ini
wajib dilakukan sebelum melakukan tindakan apapun untuk mendeteksi atau
memantau masalah medis lain yang mungkin dimiliki oleh pasien.
4. Pemeriksaan Klinis Ekstraoral
Pemeriksaan ekstra oral dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya kelainan
diluar rongga mulut. Pada pemeriksaan ekstra oral, yang perlu diperhatikan adalah
bentuk wajah, bibir, temporomandibular joint, postur tubuh, mata, ekspresi, dan
kelenjar limfe. Kemudian yang perlu diamati yaitu melihat apakah ada perubahan
warna, tekstur, pembengkakan, kelainan/lesi dan rasa sakit pada tempat-tempat
tersebut.
Pemeriksaan bentuk wajah terdiri atas 3 pemeriksaan, yaitu tipe wajah,
kesimetrisan wajah, dan profil wajah. Pemeriksaan bibir bertujuan untuk melihat
tonus bibir dan katup bibir. Tonus bibir atau kekuatan otot bibir terbagi atas 3, yaitu
normal, hipotonus, dan hipertonus. Katup bibir untuk melihat apakah bibir dapat
terkatup (competent/positive) atau tidak dapat terkatup (incompetent/negative).
Pemeriksaan TMJ dilakukan untuk melihat apakah pasien memiliki masalah pada
sendi rahang. Saat pasien datang berobat, kita sebagai dokter gigi harus dapat melihat
ekspresi pasien apakah pasien tersebut tenang, tampak sakit sedang, atau tampak
sakit berat. Ekspresi pasien dapat membantu kita menilai kondisi psikologis pasien
dan dapat membantu kita berkomunikasi efektif dengan pasien serta memilih
perawatan yang sesuai sehingga dapat meringankan keluhan pasien.
5. Pemeriksaan Klinis Intraoral
Pemeriksaan intraoral meliputi pemeriksaan jaringan lunak dan jaringan keras
(gigi). Inspeksi dan palpasi dilakukan pada jaringan lunak, seperti mukosa labial,
mukosa bukal, gingiva, dasar mulut, palatum keras dan lunak. Semua jaringan lunak
harus diperiksa apakah terdapat kelainan warna atau tekstur. Lesi atau ulserasi yang
timbul juga harus didokumentasikan. Kemudian, gigi geligi juga diinspeksi, dilihat
apakah terdapat kelainan warna, bentuk dan lain-lain. Selain itu, palpasi juga
dilakukan untuk mengetahui apakah adanya pembengkakan, serta perkusi untuk
mengetahui apakah adanya inflamasi pada jaringan periodontal ditandai dengan
adanya rasa sakit/nyeri terhadap perkusi. Susunan gigi geligi serta oral hygiene pasien
juga diperhatikan.
Pada skenario, dari pemeriksaan intraoral didapatkan bahwa gigi pasien dalam
keadaan rapi dan tidak crowding, namun oral hygiene buruk dan ditemukan banyak
stain rokok.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk membantu dalam menegakkan suatu
diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang seringkali digunakan pada kedokteran gigi
adalah radiografi. Radiografi dapat membantu dokter dalam mendeteksi kondisi atau
penyakit yang tidak memiliki tanda atau gejala klinis, seperti melihat kelainan pada
periapikal, bentuk akar gigi, keparahan karies gigi, kondisi tulang alveolar, fraktur
serta kecurigaan adanya benda asing. Radiografi yang umumnya digunakan adalah
periapikal dan panoramik. Pemeriksaan penunjang lain yang digunakan adalah
pemeriksaan laboratorium, dimana pada pemeriksaan ini umumnya dilakukan
pemeriksaan darah, jamur, bakteri, virus, serta biopsi. Pada skenario, secara klinis
pasien tidak memiliki crowding dan giginya dalam keadaan rapi, namun pasien
memiliki OH yang buruk, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
panoramik untuk memastikan kondisi gigi secara keseluruhan dan jaringan
periodontal pasien.
7. Diagnosis
Diagnosis merupakan suatu penentuan jenis penyakit yang diderita pasien. Hal
tersebut dapat ditentukan dengan cara melakukan pemeriksaan untuk
mengidentifikasi kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gigi dan jaringan
sekitarnya. Cara lain yang dapat membantu menentukan hal tersebut adalah
menanyakan, memeriksa, dan menyatukan gambaran yang terlihat pada penyakit
pasien dan dilibatkan dengan faktor-faktor yang diperoleh dari wawancara tersebut
dan juga membedakan hal tersebut dengan penyakit lain. Berdasarkan skenario,
pasien memiliki stain pada gigi akibat merokok dan juga oral hygiene yang buruk,
sehingga kemungkinan pasien juga terdapat banyak kalkulus dan karies.
8. Rencana Perawatan
Rencana perawatan adalah tindakan yang dirancang untuk membantu pasien
dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat yang diinginkan dalam hasil
yang diharapkan. Perencanaan perawatan untuk pemulihan gigi pasien harus
dilakukan bersamaan dengan diagnosis masalah dan rencana pengobatan. Pada
skenario, dikatakan bahwa pasien mempunyai oral hygiene yang buruk dan
ditemukan banyak stain rokok, maka mk. Rencana perawatan lain yang dapat
dilakukan adalah merujuk pasien kepada dokter gigi spesialis ortho. Hal ini dilakukan
juga harus dengan consent pasien.

C. Yang dilakukan dokter gigi dalam situasi dilema


Pada proses pengambilan keputusan dalam situasi dilema, dibutuhkan
pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap prinsip moral dalam menyelesaikan
situasi tersebut. Beberapa dari prinsip moral tersebut adalah :
1. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Salah satu contoh yang tidak memperhatikan
otonomi adalah seperti pada kasus, jika dokter gigi tidak memberitahu pasien bahwa
keinginannya bukan merupakan suatu indikasi medis dilakukannya perawatan tersebut.
2. Non-maleficence (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik dan psikologis
pada pasien. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan
“saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan
dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau
mencelakakan mereka”. Contoh ketika pasien meminta untuk dipasangkan implan gigi
padahal kondisi rahang pasien tidak terlalu bagus karena pernah mengalami kanker
rahang, secara teori kedokteran gigi kurang tepat jika ingin dilakukan pemasangan implan
gigi, namun pasien bersikeras sehingga hal ini menjadi sebuah tantangan untuk dokter
gigi agar dapat menjelaskan sebaik mungkin dan memberikan alternatif perawatan
misalnya dengan gigi tiruan lepasan.
Pada situasi dilema, tenaga medis harus mampu mengambil keputusan yang tepat.
Pada kasus ini dapat dilakukan penolakan terhadap keinginan pasien dengan memberikan
penjelasan secara baik kepada pasien, karena dokter gigi memiliki hak dalam
memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional,
serta dokter gigi dapat menolak melakukan perawatan atau pengobatan atau tindakan
medis tertentu apabila ia tidak dapat mempertanggung jawabkannya secara profesional,
dan berdasarkan PERMENKES No.9 Tahun 2014 Pasal 35 huruf G tentang klinik dan
PERMENKES No.4 Tahun 2018 Pasal 2 Huruf K tentang kewajiban rumah sakit dan
kewajiban pasien dinyatakan bahwa dokter gigi wajib menolak keinginan pasien yang
bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.
Kemudian, tindakan perawatan apapun perlu diberitahukan kepada pasien
mengenai indikasi, penjelasan mendetail mengenai perawatan, serta meminta informed
consent atau persetujuan dari pasien. Informed consent ini berguna sebagai payung
hukum untuk dokter dalam melakukan tindakannya. Apabila pasien memaksakan ingin
dilakukan perawatan yang bukan merupakan indikasi, pasien dapat diinformasikan
mengapa perawatan tersebut tidak dilakukan kepada pasien, dan disebutkan juga risiko
jika tetap ingin melakukan perawatan tersebut.

D. Pelanggaran peraturan dan prinsip etik yang dilakukan pada skenario


Pada skenario diatas ada beberapa peraturan disiplin dan juga ada pelanggaran
terhadap prinsip etika medik yang dilakukan oleh dokter gigi diatas. Pelanggaran
terhadap disiplin kedokteran yang dilakukan dokter gigi berkenaan dengan :
1. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain sesuai dengan kemampuan
Dokter gigi pada skenario merupakan dokter gigi GP yang seharusnya merujuk
pasien yang akan dilakukan tindakan orthodonti ke dokter spesialis.
2. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenaran yang sah, sehingga dapat membahayakan
pasien
Dokter gigi pada skenario tetap melakukan tindakan orthodonti kepada pasien
walau gigi pasien telah rapih yang dimana seharusnya hal ini tidak dilakukan dan
tidak sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya.
3. Melakukan pemeriksaan/ pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien
Perawatan rehabilitatif yang dilakukan dokter GP pada pasien tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien.
4. Mengiklankan kemampuan atau pelayanan atau kelebihan kemampuan atau
pelayanan yang dimiliki baik lisan maupun tulisan yang tidak benar ataupun
menyesatkan
Klinik dokter gigi tersebut mempromosikan harga perawatan orthodonti yang
diluar harga normal dimana hal ini dilarang untuk dilakukan
Sedangkan pelanggaran terhadap prinsip etik yang dilakukan dokter gigi adalah
pelanggaran terhadap prinsip :
1. Nonmaleficence / tidak merugikan
Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang kepada pasien, walinya
dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau menolak suatu tindakan atau terapi
setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu.
Pada skenario pasien memiliki gigi yang sudah rapih atau tanpa adanya crowding,
namun dokter gigi GP tersebut tetap melakukan tindakan orthodonti terhadap pasien,
yang dimana merugikan untuk pasien dikemudian hari.
2. Autonomy / menghormati otonomi
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan
”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Makna utama
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas,
baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat
menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup.
Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang
lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.
Pada skenario, pasien datang dikarenakan pengaruh dari teman temannya, selain
itu pengetahuan yang kurang akan tindakan orthodonti merupakan hambatan bagi
otonomi pasien. Namun pada kasus dalam skenario, dokter gigi tidak berusaha untuk
memberikan arahan yang benar kepada pasien. Disinilah letak pelanggaran dari
prinsip otonomi . Selain itu dokter gigi yang mengunggah foto pasien ke dalam social
media tanpa persetujuan pasien juga merupakan pelanggaran dari prinsip otonomi.
Selain pelanggaran disiplin dan prinsip etika, dokter gigi pada skenario diatas juga
melanggar kode etik kedokteran gigi pasal 3 mengenai kemandirian profesi yang
mengatakan bahwa “Dokter Gigi dilarang mengiklankan diri, sejawat, almamater,
fasilitas pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum/ disiplin
yang berlaku, seperti pamer yang merendahkan martabat profesi, yaitu salah satunya
dengan membagi-bagikan/membuat selebaran atau spanduk potongan harga, kartu-
nama dan identitas lain yang bertujuan komersial.” namun pada kasus ini dokter
mempromosikan jasanya dengan iklan spanduk kliniknya yaitu pemasangan kawat
gigi dengan harga yang sangat miring terpasang di pinggir jalan.
Pada skenario dokter juga dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap UU
no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Pasal yang dilanggar oleh dokter gigi
antara lain :
1. Pasal 45 tentang persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
Dimana pasien masih dianggap belum cakap hukum dikarenakan umurnya yang
masih 16 tahun, sehingga seharusnya dokter gigi meminta persetujuan kepada
orangtua/wali pasien terlebih dahulu. Selain itu dalam ayat 2 dikatakan bahwa “
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap. “ namun pada skenario, pasien tidak
diberikan penjelasan dan langsung dilakukan tindakan.
2. Pasal 46 tentang Rekam Medis
Dalam skenario pasien langsung dilakukan tindakan orthodonti sesuai dengan
keinginan pasien, namun sebenarnya umur pasien masih 16 tahun dan belum
cakap hukum, hal ini diasumsikan sebagai dokter gigi mungkin tidak bertanya dan
tidak membuat rekam medis pasien saat melakukan tindakan medis terhadap
pasien .
3. Pasal 51 tentang Kewajiban dokter/ dokter gigi
Pada pasal 51 poin a dikatakan bahwa “ memberikan pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien “ sedangkan dalam kasus dokter gigi tetap melakukan tindakan orthodonti
terhadap pasien walau tindakan tersebut tidak diperlukan.

E. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sosial media dan promosi
Seorang dokter gigi diharapkan dapat menggunakan media sosial dengan
mempertimbangkan aspek kode etik yang termuat pada Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia terutama profesionalisme, nilai integritas, kejujuran, kesejawatan, serta etika
profesi. Di beberapa negara di Eropa, penggunaan media sosial oleh dokter diatur oleh
General medical council (GMC) dalam sebuah publikasi yang berjudul “Doctor’s use of
social media” pada tahun 2013. Publikasi tersebut menegaskan bahwa dokter harus
menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medik dan informasi pribadi
pasien, menghindari pencemaran nama baik, serta menjaga rasa hormat terhadap sejawat.
Etika penggunaan media sosial di Indonesia diatur oleh fatwa yang diterbitkan oleh
MKEK mengenai etik dokter dalam aktivitas media sosial dalam SK MKEK No.
029/PB/K.MKEK/04/2021

Di Indonesia, fasilitas pelayanan kesehatan dapat menyelenggarakan iklan


dan/atau publikasi pelayanan kesehatan melalui berbagai media. Hal ini diatur oleh
PERMENKES RI No. 1787 tahun 2010 tentang iklan dan publikasi pelayanan kesehatan.
Dalam pelaksanaannya iklan atau publikasi tersebut harus memenuhi beberapa syarat
yaitu:

● Memuat informasi dengan data dan/atau fakta yang akurat


● Berbasis bukti
● Informatif edukatif
● Bertanggung jawab.

Untuk menghindari masalah etik yang timbul dari penggunaan media sosial oleh
dokter, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, memperketat pengaturan
privasi pegawai dan pasien di layanan kesehatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengetahui siapa saja yang mengakses konten yang dibuat atau disimpan oleh dokter.
Meskipun terdapat pengaturan privasi, dokter dianjurkan untuk tetap waspada dengan
ketidaksempurnaan sistem privasi di media sosial.
Selain itu, batasan antara dokter dengan pasien juga perlu diperjelas. Penetapan
batasan tersebut dapat dilakukan dengan menghindari hubungan non profesional secara
online dengan pasien, misalnya dengan membatasi pertemanan dengan pasien di situs
profesi dan menolak pertemanan dengan pasien di situs pribadi. Ketika berbagi kasus
secara online, dokter hendaknya menjaga kerahasiaan pasien dengan menghilangkan
identitas pasien dan tetap meminta persetujuan pasien yang bersangkutan.
Pencemaran nama baik merupakan hal yang harus dihindari oleh dokter. Oleh
karena itu, dokter perlu berhati-hati dalam memberikan opini mengenai sejawat, pegawai,
fasilitas pelayanan kesehatan, atau birokrasi kesehatan seperti dinas kesehatan,
departemen kesehatan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dokter gigi dalam melakukan praktik kedokteran harus memperhatikan norma
moral/etika, norma disiplin, dan norma hukum. Seorang dokter gigi harus memegang
teguh etika kedokteran gigi sebagaimana yang telah diatur dalam kode etik kedokteran
gigi (KODEKGI), dimana salah satu pasalnya membahas mengenai promosi kesehatan
yang tidak boleh dilakukan oleh dokter gigi. Dalam melakukan tindakan medis, dokter
gigi harus memenuhi syarat legal yang terdiri dari adanya izin pasien (IC), indikasi
medis, dan standar medis, serta harus sesuai dengan standar profesi medis termasuk
unsur-unsurnya juga. Apabila dokter gigi dalam melakukan tindakan medis menyimpang
atau melanggar disiplin ilmunya, maka dokter tersebut terbukti bersalah melanggar norma
disiplin profesinya. Hal ini sering disebut melakukan kelalaian medis (malapraktik
medis).

B. Saran
Demikian materi yang kami sampaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis dan juga para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan karena
keterbatasan pengetahuan dan kurangnya referensi yang telah dilampirkan. Kami
berharap pembaca memberikan saran dan kritikan kepada kami demi sempurnanya
makalah ini dan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Okes

2. Stefanac S, Nesbit S. Diagnosis and treatment planning in dentistry. St Louis, Missouri:


Elsevier; 2017.

3. Ahmad I. Essentials of Dental Photohraphy. 1st ed. Hoboken: John Wiley & Sons; 2020.
349 p.

4. Sheridan P. Clinical photography in dentistry: a new perspective [Internet]. Sydney:


Quintessence Publishing; 2017. 232 p. Available from:
http://www.quintpub.com/display_detail.php3?psku=B7222#.XlSTlZNKh0s

5. Liu F, Design S. Dental Digital Photography. 3rd ed. Liu F, editor. Singapore: Springer
Nature Singapore Pte Ltd and People’s Medical Publishing House Co. Ltd; 2019. 350 p.

6. Stieber JC, Nelson T, Huebner CE. Considerations for Use of Dental Photography and
Electronic Media in Dental Education and Clinical Practice. J Dent Educ.
2015;79(4):432–8.

7. Kunde L, McMeniman E, Parker M. Clinical photography in dermatology: Ethical and


medico-legal considerations in the age of digital and smartphone technology. Australas J
Dermatol. 2013;54(3):192–7.
BAB I
PENDAHULUAN

D. Latar Belakang
Skenario Diskusi 2.1 :
Seorang pasien perempuan bernama “X” berusia 16 tahun datang sendiri ke klinik
gigi, lalu menemui dokter gigi GP, ingin dipasang kawat gigi karena ingin ikut-ikutan
temannya yang memakai kawat gigi. Pasien tersebut juga sering melihat di iklan spanduk
klinik tersebut yang mempromosikan pemasangan kawat gigi dengan harga yang sangat
miring terpasang di pinggir jalan. Pasien langsung dipersilakan duduk di dental unit
untuk diperiksa. Setelah diperiksa, gigi pasien dalam keadaan rapi dan tidak crowding,
namun oral hygiene yang buruk dan ditemukan banyak stain rokok. Dokter gigi tersebut
langsung mengerjakan perawatan tersebut sesuai dengan keinginan pasien. Setelah selesai
perawatan, pasien membayar biaya perawatan dengan menggunakan kartu kredit orang
tuanya. Kemudian setelah pasien pulang, dokter gigi langsung mengupload foto pasien
yang sudah memakai behel di media sosial pribadinya untuk “mempromosikan” hasil
kerjanya.Beberapa hari kemudian, pasien tersebut menelepon klinik dan mengeluhkan
gigi-giginya yang telah dikawat gigi mengalami ngilu terus menerus dan ingin segera
dilepas kawat gigi tersebut karena sudah tidak tahan lagi menahan sakit ngilu. Dan dokter
gigi tersebut mengikuti permintaan pasien untuk dilepas kawat giginya, kemudian
dikenakan lagi biaya pelepasan braketnya dengan harga tidak murah, berhubung dokter
gigi tersebut menghitung-hitung potensi kehilangan pemasukan dari biaya kontrol kawat
gigi.Sebulan kemudian, pasien tersebut dan orang tuanya mendatangi klinik tersebut
dalam kondisi marah-marah karena dokter gigi tersebut sudah melakukan perawatan pada
gigi pasien “X” tanpa sepengetahuan orang tuanya dan hal ini diketahui dari tagihan kartu
kredit orang tuanya yang membengkak tiba-tiba. Orang tua pasien menuntut untuk
dikembalikan biaya perawatannya, karena setelah diamati gigi pasien, tidak terdapat
kawat gigi yang terpasang di mulutnya. Maka asumsi orang tuanya adalah dokter gigi
tersebut sudah melakukan penipuan karena tidak melakukan tindakan perawatan kawat
gigi namun telah mengenakan biaya perawatan kawat gigi pada anaknya.
E. Rumusan Masalah
1. Jika terjadi sengketa medis, idealnya langkah penyelesaian apa yang kira-kira dapat
ditempuh dalam skenario ini
2. Mungkinkah kejadian yang dilakukan oleh dokter gigi ini dapat diadukan atau dilaporkan
kepada kepolisian sebagai perkara pidana?
3. Kenapa peran Rekam Medis dan Informed Consent sangat penting dalam skenario di
atas. Jelaskan!
4. Siapa sajakah yang berhak memberi sanksi pada pelanggaran kasus di atas? Jelaskan
alurprosedur untuk proses penyelesaian sengketa mediknya!
5. Menurut kalian dari kacamata profesi dokter gigi, penyebab apa sajakah terjadinya
sengketa medik di luar kasus skenario ini (tidak hanya kasus ini saja)?
6. Bagaimanakah cara kalian untuk mencegah terjadinya sengketa medik pada saat kalian
menjalankan profesi kalian sebagai tenaga kesehatan?
F. Tujuan Penelitian
1. Dapat menyebut langkah penyelesaian jika terjadi sengketa medis
2. Mengetahui kejadian yang dapat diadukan ke polisi
3. Mengetahui pentingnya rekam medis dan informed consent
4. Dapat menyebutkan alur serta sanksi pelanggaran pada kasus
5. Dapat mengetahui penyebab dari sengketa medik di luar kasus
6. Mengetahui cara mencegah sengketa medik sebagai dokter gigi

BAB II
PEMBAHASAN
A. Langkah penyelesaian yang ideal pada skenario
Penyelesaian masalah yang ideal untuk kasus pada skenario dapat diselesaikan
dengan jalur non litigasi yang berarti penyelesaian sengketa yang dilakukan
menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau yang biasa disebut dengan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, jalur non litigasi dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu :
1. Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan oleh para pihak yang terlibat
untuk memperoleh suatu kesepakatan bersama. Negosiasi sebagai pilihan
penyelesaian sengketa medik dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang
sebelumnya didahului dengan komunikasi dua arah untuk mengemukakan pokok
permasalahan dan keinginan. Pada saat negosiasi para pihak secara sukarela
berkehendak untuk menyelesaikan sengketa. Apabila sengketa diselesaikan dengan
cara negosiasi berarti pihak yang terlibat hanya dua pihak saja yaitu, dokter dan
pasien yang sedang bersengketa. Jika negosiasi berhasil dan mendapatkan hasil yang
disetujui oleh kedua pihak maka kasus dapat dianggap selesai.
Negosiasi dapat dilakukan melalui cara mediasi untuk penyelesaian masalah
sengketa medik. Perbedaan antara negosiasi dan mediasi yaitu, negosiasi hanya
melibatkan dua pihak yang terlibat saja sedangkan mediasi melibatkan mediator
(pihak penengah). Alasan mengambil langkah penyelesaian sengketa medik dengan
cara negosiasi ataupun mediasi dikarenakan dapat tercapainya hasil yang disetujui
oleh kedua pihak tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan (win-win solution),
waktu penyelesaian masalah lebih efisien, dan biaya yang dikeluarkan lebih
terjangkau dibanding dengan jalur litigasi.

2. Mediasi
Di dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003
disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator. Mediasi yang dilakukan dengan cara ini dapat disebut juga dengan mediasi
didalam pengadilan, selain itu mediasi dapat dilakukan diluar pengadilan, hasil yang
didapatkan dapat diserahkan ke pengadilan untuk dibuatkan akta secara tertulis.
Mediasi adalah suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak
luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa
tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang membantu
menyelesaikan sengketa tersebut dengan mediator. Pihak mediator tidak mempunyai
kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya
berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang
bersengketa. Pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator diharapkan
dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa.

Dalam skenario tersebut, jalur yang sebaiknya ditempuh adalah jalur non litigasi,
yang dicapai melalui negosiasi terlebih dahulu. Jika negosiasi tidak dapat
menghasilkan kesepakatan, maka dapat ditempuh mediasi dengan mendatangkan
seorang mediator sebagai orang ketiga. Asumsi kesepakatan yang dihasilkan dapat
berupa dokter gigi mengembalikan biaya perawatan yang telah dilakukan kepada
pasien. Pengembalian biaya perawatan dapat berupa sebagian hingga seluruhnya
tergantung hasil kesepakatan tersebut. Jalur litigasi sebaiknya dihindari karena proses
ini cenderung lebih kompleks, membuang tenaga dan waktu dan jika dokter gigi
tersebut dinyatakan bersalah, maka dokter gigi tersebut dapat diberikan sanksi, dari
yang paling ringan hingga paling berat, yaitu pencabutan SIP.

B. Kemungkinan kejadian dilaporkan kepada kepolisian sebagai perkara pidana

Pada kasus diatas akan lebih cocok apabila perkara tersebut diperkarakan secara
perdata karena tidak ada suatu kerugian berat yang ditimbulkan pada pihak pasien seperti
kematian. Namun pada kasus ini juga tidak menghilangkan kemungkinan dapat
diperkarakan secara pidana. Hal ini dikarenakan bahwa pada kasus tersebut, dokter gigi
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 29 tahun
2004 mengenai Praktik kedokteran khususnya pada pasal 51 butir a dimana dokter gigi
wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien. Pada kasus tersebut, pada pemeriksaan klinis
pada pasien menunjukkan bahwa gigi pasien tidak crowding sehingga tidak ada indikasi
untuk dilakukan perawatan ortodonti namun dokter gigi tersebut tetap melakukan
perawatan tersebut. Oleh karena itu dokter gigi dapat diadukan secara pidana dan dapat
dijatuhkan sanksi pidana berupa kurungan paling lama satu tahun atau denda paling
banyak 50 juta rupiah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 79 pada UU No. 29 tahun
2004.

C. Peranan rekam medis dan informed consent


a. Rekam medis
Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumentasi tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada
pasien. Rekam medis ini sangat penting karena dapat digunakan sebagai pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan pasien, alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin
kedokteran, penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi bagi profesi kedokteran,
keperluan pendidikan dan penelitian, dasar pembiayaan biaya pelayanan kesehatan serta
data statistik kesehatan.
Berdasarkan skenario orang tua pasien menuntut untuk uangnya dikembalikan karena
setelah diamati gigi anaknya tidak ada terpasang kawat gigi. Maka orang tua pasien
berasumsi dokter gigi melakukan penipuan. Jadi rekam medis dalam kasus ini sangat
berguna supaya dapat membuktikan kepada orang tua pasien bahwa dokter sudah
melakukan perawatan.
Namun, apabila dokter tidak menulis rekam medis, dokter melanggar SOP dan juga
tidak dapat membuktikan kepada orang tua pasien. Serta dokter dapat dijerat pidana
kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah menurut
UU No. 29 tahun 2004 pasal 79b.

b. Informed consent
Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi, pasien memiliki hak antara
lain untuk mendapat persetujuan tindakan yang akan dilakukan, hak atas rahasia dokter,
hak atas informasi, dan hak atas second opinion. Informed consent ini penting karena
dibutuhkan sebagai suatu pengaturan hukum yang melindungi pasien dan dokter dari
kesewenangan masing-masing yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-
undangan. Tujuan dari informed consent sendiri adalah :
1. Untuk bukti bahwa telah terjadi hubungan hukum dalam perikatan upaya tindakan
medis.
2. Untuk memberi batasan perlindungan hukum baik kepada pasien dan atau dokter
atas risiko medis yang timbul sesuai standar ilmu pengetahuan kedokteran,
standar profesi, SOP dan kebutuhan medis pasien.
3. Untuk dapat membebaskan tanggung jawab risiko medik atau akses yang tidak
terprediksi atau terprediksi sebelumnya atau tidak bisa terhindarkan berdasarkan
standar profesi, SOP, kebutuhan medis pasien.
Pada kasus diatas dibutuhkan informed consent dalam bentuk tertulis dikarenakan
tindakan yang akan dilakukan bersifat kompleks. Namun, karena pasien masih dibawah
umur yaitu 16 tahun sah atau tidaknya persetujuan masih diragukan, sehingga sebaiknya
informed consent juga disetujui oleh orang tua pasien agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan.

D. Alur prosedur penyelesaian sengketa medik serta yang berhak memberi sanksi
1. Pengaduan
Pengaduan dapat dilaporkan ke MKEKG cabang (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi Indonesia) tempat kejadian tersebut terjadi. Pengaduan dapat
dilakukan secara tertulis dengan berisikan identitas pengadu dan yang diadukan,
tempat serta waktu kejadian, alasan pengaduan dan pernyataan kebenaran.
Pengaduan dapat dilakukan paling lama enam bulan setelah kejadian tersebut
terjadi.
2. Pemeriksaan awal
Pemeriksaan awal dilakukan untuk menentukan pengaduan telah memenuhi syarat dan dapat
dilanjutkan penanganan pengaduan. Pemeriksaan awal dilakukan oleh petinggi MKDKI, dan
yang terlibat dapat memutuskan untuk tidak menerima atau menolak pengaduan. Pengaduan
tidak dapat diterima apabila pengadu tidak memenuhi kriteria pengadu; keterangan atau
informasi dalam pengaduan tidak lengkap atau tidak memenuhi kriteria; dan jika pengadu tidak
dapat ditelusuri keberadaannya setelah diusahakan 3 kali dalam waktu paling lama 3 bulan
semenjak pengaduan diterima. Pengaduan dapat ditolak apabila dokter yang diadu tidak terdaftar
atau teregistrasi di KKI; jika peristiwa yang diadukan tidak terkait dengan praktik kedokteran
atau tidak ada hubungan profesional antara dokter dan pasien; jika peristiwa yang diadukan tidak
termasuk dalam bidang pelanggaran disiplin; dan jika peristiwa yang diadukan sudah pernah
disidangkan dan diputuskan oleh MKDKI yang bersifat final. Jika pengaduan diterima, maka
bisa dilanjutkan proses pengaduan dalam proses pemeriksaan disiplin.

3. Sidang Penelaahan
Dalam sidang ini, penelaahan dilakukan oleh MKEKG cabang. Sidang
penelaahan dapat dilakukan verifikasi keabsahan surat pengaduan dan bila
kejadian yang diadukan merupakan pelanggaran disiplin, dapat dilimpahkan ke
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Kemudian pihak
pengadu, teradu ataupun saksi yang diperlukan dapat diundang dalam sidang ini,
dan pihak teradu dapat didampingi oleh BPPA (Badan Pembelaan dan Pembinaan
Anggota), serta dapat dilakukan kunjungan ke TKP (Tempat Kejadian Perkara).

4. Saksi Ahli Pembelaan


Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan
pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatu kejadian, baik yang
ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan
pendapatnya tersebut. Seorang saksi ahli harus memenuhi syarat dalam hal
pengetahuan dan pengalamannya untuk memberikan pendapat tentang isu tertentu
ke pengadilan, tingkat pengetahuan dan pengalaman dari saksi ahli harus
sebanding dengan pihak teradu. Dalam hal ini, saksi ahli dapat diminta hadir bila
diperlukan dan wewenang penunjukan saksi ahli berada di tangan MKEKG.
Berdasarkan skenario, pihak teradu merupakan seorang GP (General
Practitioner) sehingga saksi ahlinya pun merupakan seorang GP.
5. Sidang pelanggaran
Di dalam sidang pelanggaran akan memeriksa pelanggaran kode etik,
kemudian sidang MKEKG (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi Indonesia)
dilakukan secara tertutup, hanya untuk yang diundang. Saksi ahli dapat diundang
baik secara terpisah maupun bersama dengan pengadu atau teradu. BPPA wajib
mengirim anggota, kecuali jika tidak disetujui oleh teradu.

6. Keputusan
Keputusan yang diambil oleh sidang harus menyatakan teradu bersalah atau
tidak bersalah, diputuskan dengan musyawarah atau suara terbanyak. Untuk yang
bersalah dikenakan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Dan jika
tidak bersalah, teradu harus direhabilitasi.

7. Sanksi
Sanksi berhak diberi oleh MKEKG (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Gigi Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia). Sanksi dapat berupa peringatan lisan paling lama 6 bulan, peringatan
tertulis paling lama 6 bulan, dan pencabutan rekomendasi PDGI untuk SIP paling
lama 12 bulan. Peringatan lisan ini disampaikan langsung kepada teradu pada
sidang MKEKG. Selanjutnya, sanksi peringatan tertulis disampaikan secara
langsung saat sidang MKEKG disusul dengan peringatan tertulisnya. Jika
peringatan lisan tidak dipatuhi selama 6 bulan maka akan diberi peringatan
tertulis. Peringatan tertulis ini dapat diberikan 3 kali.

8. Proses di MKDKI
Setelah pengaduan terdaftar di MKDKI, pihak pengadu dapat memberikan
data pendukung berupa alat bukti yang dimiliki dan pernyataan tentang kebenaran
pengaduan. Dilanjutkan dengan klarifikasi oleh petugas khusus dari MKDKI.
Setelah dilakukan klarifikasi, maka dilanjutkan dengan penanganan kasus berupa
pemeriksaan awal , yaitu dilakukan pemeriksaan apakah pengaduan tersebut
diterima atau ditolak yang dilanjutkan pemeriksaan disiplin, investigasi dan
sidang.
Jika pengaduan diterima makan ketua MKDKI membentuk MPD (Majelis
Pemeriksa Disiplin) untuk memutuskan pengaduan tersebut dapat diterima,
ditolak atau penghentian pemeriksaan. Selanjutnya investigasi oleh MPD untuk
mengumpulkan informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang
diadukan dan setelah dilakukan investigasi baru dilakukan sidang pemeriksaan
disiplin. MPD akan menetapkan keputusan terhadap teradu berupa dinyatakan
tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Sanksi disiplin yang
diberikan berupa peringatan tertulis. Sanksi ini berupa kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan (re edukasi formal dan non formal), rekomendasi
pencabutan STR atau SIP yang bersifat sementara paling lama satu tahun, tetap
atau selamanya, ataupun pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu
area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan
dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap
keputusan MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya.

9. Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta

oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan

dari Pengadilan. Para pihak dapat mengajukan banding bila merasa tidak puas

dengan isi putusan pengadilan, banding ini diajukan kepada jenjang

pengadilan yang lebih tinggi dari dimana putusan tersebut dijatuhkan (kalau

dari MKEKG cabang → MKEKG wilayah atau pusat). Banding ini biasanya

dilakukan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan ulang atas putusan dari


pengadilan karena dianggap putusan tersebut jauh dari/tidak sesuai dengan
keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan
keputusan. Dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan
pengadilan belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.

10. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

E. Penyebab terjadinya sengketa medik di luar kasus


Hubungan dokter-pasien dalam arti yang sesungguhnya adalah hubungan yang
dilandasi kepercayaan. Pasien sebaiknya mempercayai bahwa dokter dapat
menyembuhkan penyakitnya atau membantu meringankan masalah yang dihadapinya. Di
lain pihak, dokter juga berempati kepada pasien, yaitu dapat memahami pikiran,
perasaan, dan perilaku pasien. Dalam bersikap empati ini pun dokter sadar bahwa pasien
memiliki potensi untuk menyelesaikan sendiri masalah yang mendasari penyakitnya.
Hubungan yang berlandaskan saling percaya pasti akan menghasilkan kesembuhan
sebagai tujuan bersama. Namun, apabila kedua belah pihak tidak mempercayai satu sama
lain dan komunikasi yang terjalin di antara keduanya tidak berjalan dengan efektif
(misalnya dokter kurang berempati dengan pasien), maka akan muncul suatu
ketidakpuasan yang umumnya berasal dari pihak pasien dan berujung pada terjadinya
sengketa medik. Ketidakpuasan tersebut terjadi bila ada dugaan praktisi medis melakukan
kesalahan baik secara tidak sengaja (kelalaian) maupun sengaja.
Kelalaian medis dapat terjadi karena praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan
standar profesi medis (SPM) dan standar operasional prosedur (SOP). Seorang dokter gigi
dalam melakukan tindakan medis/praktik kedokteran harus sesuai dengan SPM, yaitu ada
indikasi dan standar medis. Unsur dari SPM yang harus diperhatikan yaitu
1) Teliti dan hati-hati
2) Standar medis
3) Bidang keahlian sama dan kemampuan rata-rata
4) Situasi dan kondisi yang sama
5) Azas proporsionalitas (dalam memberikan terapi, kelompok medis harus
menganut asas keseimbangan antara diagnosis dan terapi yg diberikan)
Misalnya, sebagai contoh di luar kasus skenario ini, terdapat pasien yang
memeriksakan giginya kepada dokter gigi karena merasa ngilu pada gigi depannya.
Kemudian dokter mendiagnosa bahwa itu merupakan karies dentin. Akan tetapi untuk
terapinya, dokter melakukan perawatan saluran akar yang sebenarnya tidak dibutuhkan
pada kasus ini. Dokter tidak melakukan praktik kedokteran sesuai dengan indikasi medis
dan tidak memperhatikan asas proporsionalitas.
Kemudian, contoh lain misalnya dokter gigi melanggar SOP dimana sebelum
tindakan pembedahan, dokter gigi tidak melakukan pengukuran tekanan darah terlebih
dahulu yang sebenarnya harus dilakukan sebelum pembedahan untuk memastikan bahwa
pasien aman. Apabila pasien ternyata memiliki darah tinggi, dapat timbul masalah ketika
pembedahan. Hal-hal seperti ini dapat menimbulkan terjadinya sengketa medik apabila
pasien mengetahui dokter telah melakukan pelanggaran.
Masalah dalam hubungan dokter-pasien diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama
adalah human error atau kekeliruan manusiawi yang terbagi lagi menjadi slip dan lapse
serta mistake. Slip dan lapse merupakan kesalahan yang terjadi apabila rencana yang
dibuat sudah benar, namun gagal dalam pelaksanaannya. Kegagalan ini dapat
berhubungan dengan perhatian atau adanya gangguan daya ingat seseorang. Mistake
merupakan suatu kesalahan dalam proses perencanaan, sehingga hasil yang dituju juga
tidak tercapai. Dalam hal ini kegagalan dapat disebabkan seseorang tidak mendapat
informasi yang jelas atau salah, dan kurang pengetahuan. Jenis yang kedua adalah
pelanggaran yang dilakukan oknum institusi kesehatan yang terbagi menjadi pelanggaran
rutin dan perkecualian. Pelanggaran rutin dapat terjadi karena aturan yang ada tidak
diberlakukan secara ketat atau tidak dibuat aturan, sedangkan pelanggaran perkecualian
terjadi apabila seseorang dengan sadar melanggar aturan atau kebiasaan yang berlaku.
Human error merupakan suatu hal yang masih dapat dimengerti, sedangkan pelanggaran
merupakan suatu hal yang harus dikenakan sanksi tegas, hal inilah yang membedakan
human error dan pelanggaran.

F. Pencegahan terjadinya sengketa medik


1. Kerja Sesuai Langkah - Langkah
Agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya seorang dokter gigi
harus bertindak sesuai indikasi medis, melakukan pekerjaan dengan lege artis. Lege
artis yaitu berasal dari bahasa latin yang artinya menurut aturan. Jadi maksud atau
pengertian dari dokter lege artis itu adalah melakukan segala praktik atau tindakan
medisnya sesuai dengan aturan dan tidak menyimpang dari aturan tersebut.
2. Kerja Sesuai Kompetensi
Seorang dokter gigi dalam melakukan tindakan perawatan kepada pasien harus
berperdoman pada standar kompetensi yang dimiliki oleh dokter gigi umum. Dalam
melakukan perawatan ortodontik, kompetensi bagi dokter gigi umum meliputi kasus
maloklusi pada periode gigi sulung, campur, dan gigi permanen dengan perawatan
preventif, interseptif, dan kuratif (terbatas). Rencana perawatan yang dapat
dikerjakan secara spesifik meliputi piranti lepasan. Standar ini telah diatur oleh
kolegium dokter gigi, KKI, dan PDGI. Kemudian, jika dokter telah mendapatkan
pendidikan spesialis ortodontik, maka semua kompetensi ortodonti dokter gigi umum
akan menjadi kompetensi dokter gigi spesialis ortodonti juga. Selain itu, kompetensi
tambahan dapat meliputi perawatan kuratif yang lebih komprehensif, dengan piranti
cekat full braces. Standar kewenangan ini diatur oleh Kolegium Ortodonti Indonesia
3. Komunikasi dan Edukasi kepada Pasien
Hubungan dokter dan pasien yang baik berkaitan erat dengan komunikasi yang
baik. Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak
lain. Apabila komunikasi antara dokter dengan pasien ini baik maka output atau
pemahaman yang diterima oleh pasien pun akan baik. Komunikasi antara dokter
dengan pasien juga sangat berkaitan erat dengan edukasi, karena hal yang
disampaikan oleh seorang dokter biasanya berisi mengenai informasi yang berkaitan
dengan kondisi kesehatan pasien. Contohnya, apabila pasien meminta untuk
dipasangkan alat ortodonti padahal keadaan di dalam rongga mulutnya tidak
ditemukan indikasi medis seperti crowding. Sehingga, pada keadaan seperti ini,
untuk mencegah terjadinya sengketa medik maka dokter gigi dapat
mengkomunikasikan keadaan yang sesungguhnya bahwa keadaan dalam rongga
mulutnya baik - baik saja dan tidak dibutuhkan perawatan ortodonti dan apabila tetap
dilakukan perawatan tersebut bisa muncul resiko yang dapat terjadi.
4. Melengkapi Administrasi, Informed Consent, dan Rekam Medis
Bukti administrasi setelah melakukan perawatan dokter gigi bisa digunakan
sebagai bukti untuk pembelaan terjadinya sengketa medik. Maka bukti dari transaksi
setiap perawatan sebaiknya disimpan. Setiap tindakan medik harus ada informed
consent, tidak ada satupun tindakan medik yang dilakukan oleh dokter tanpa
didahului oleh informed consent, kecuali tindakan kegawatdaruratan diperbolehkan
mengabaikan prinsip informed consent dengan catatan sesegera mungkin
menjelaskan ke pasien atau keluarga pasien setelah kegawatdaruratan teratasi.
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien yang kompeten
atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent ini hak
pasien dan kewajiban dokter adalah menjelaskan segala sesuatu tentang penyakit
pasien untuk memperoleh persetujuan dilakukan tindakan medik. Hal ini makin
mempertegas, bahwa persetujuan diberikan setelah mendapatkan penjelasan dan
sebaiknya informed consent dilakukan secara tertulis.
Rekam medis pasien merupakan keterangan baik yang tertulis maupun terekam
tentang identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, riwayat
penyakit, diagnosis, segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada
pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang
mendapatkan pelayanan gawat darurat. Rekam medis ini berfungsi sebagai dasar
pemeliharaan dan pengobatan pasien, bahan pembuktian dalam perkara hukum,
bahan untuk penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
dan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Informed consent diperlukan sebelum dilakukannya suatu perawatan. Informed
consent sendiri merupakan bukti tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebagai
persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan setelah dokter gigi menjelaskan
tindakan apa yang akan dilakukan serta memberikan informasi penting yang perlu
diketahui oleh pasien. Dokter juga perlu mengisi rekam medis yang berisikan
dokumentasi perawatan yang dilakukan oleh pasien sebagai bukti yang dapat melindungi
dokter serta pasien secara hukum ketika terjadi suatu sengketa medik.
Kelalaian dalam bidang medis dapat terjadi dan merupakan suatu hal yang tidak
diinginkan terjadi dan sebisa mungkin untuk dihindari. Dokter atau dokter gigi harus
melakukan tindakan medik mengikuti standar yang telah ditetapkan agar dapat
menghindari kelalaian medik. Dokter atau dokter gigi perlu melakukan anamnesis
terlebih dahulu kepada pasien, serta melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang secara lengkap agar terhindar dari komplikasi yang dapat terjadi disaat
perawatan berjalan, penulisan data medis pasien direkam medis dan pemberian informed
consent.
B. Saran
Demikian materi yang kami sampaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis dan juga para pembaca. Mohon maaf jika ada kesalahan karena
keterbatasan pengetahuan dan kurangnya referensi yang telah dilampirkan. Kami
berharap pembaca memberikan saran dan kritikan kepada kami demi sempurnanya
makalah ini dan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudiarto. Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Penyelesaian Sengketa Alternatif di


Indonesia. Edisi 1. Bandung: Pustaka Reka Cipta. 2013. Hlm 43.

2. Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung


Citra Aditya Bakti, 2000), hal 47

3. Susanti R. Peran dokter sebagai saksi ahli di persidangan. Jurnal Kesehatan Andalas.
2013 May 1;2(2):101-4.

4. Wiradharma D, Rusli I, Hartati DS. Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik. Sagung


Seto: Jakarta; 2011

Anda mungkin juga menyukai