BIOETIKA
D
D
Disusun oleh :
Kelompok D
Gabriella Geralda
Santjoko 040001800056
Ghina Salsabila 040001800057
Gillian Grace Ghanda 040001800058
Githa Adela Febriyanti 040001800059
Haifa Nur Afifah Herlan 040001800060
Hanzel Tanujaya 040001800061
Helen Pricilla Margono 040001800062
Hendlouis 040001800063
Hiroko Gabriela Amanda 040001800064
Indhira Valerie Mustamu 040001800065
Irda Islamiyanti Tarabubun 040001800066
Ivah Jessica Pardenas 040001800067
Ivana Agustin Gozali 040001800068
Ivana Gisella Handjaja 040001800069
Jane Analdi 040001800070
Jason Kamadi 040001800071
Jeff Tjokro 040001800072
Jennifer Ferdiana 040001800073
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Isi
2
SKENARIO..............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN....................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.....................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah................................................................................3
1.3 Tujuan...................................................................................................4
1.4 Manfaat ................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Praktik Dokter Gigi yang Tidak Melanggar Hukum............................2
2.2 Indikasi Medis......................................................................................1
2.3 Standart Medis......................................................................................1
2.4 Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medis...........................1
2.5 Guna Indormed Consent bagi Pasien dan Dokter Gigi........................1
BAB III ....................................................................................................................1
PENUTUP................................................................................................................1
3.1 Kesimpulan..........................................................................................1
3.2. Saran.....................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................2
Skenario 1 Sesi 1
3
Pak Joko membawa putrinya Indah yang berusia 9 tahun ke Puskesmas karena adanya
pembengkakkan disebelah kiri wajahnya. Oleh perawat diberi obat untuk menghilangkan
pembengkakkan. Tetapi sudah satu bulan masih tetap bengkak dan tidak kunjung membaik.
Kemudian Pak Joko membawa Indah ke RS Swasta di Jakarta untuk memeriksa Indah ke
dokter spesialis anak. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan gigi 64 (gerahan susu kiri)
goyang dan di rujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut.
Beberapa hari kemudian, Pak Joko membawa Indah ke dokter gigi bedah mutul untuk
memeriksa gigi 64 Indah yang sangat goyang. Kemudian dokter gigi tersebut memberitahu
Pak Joko bahwa akan dilakukan tindakan pencabutan gigi Indah yang disetujui oleh Pak Joko
secara lisan.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Bioetika merupakan istilah yang relatif baru dan terbentuk dari dua kata Yunani (bios
= hidup dan “ethos” = adat istiadat atau moral), yang secara harfiah berarti etika hidup.
Bioetika dapat dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan
terpusat pada penggunaan ilmu-ilmu biologis untuk memperbaiki mutu hidup. Dalam arti
yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis, obat,
pemeliharaan kesehatan dan bidang-bidang terkait.
Sebagai sebuah etika rasional, bioetika bertitik tolak dari analisis tentang data-data
ilmiah, biologis, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji. Nilai transendental
manusia disoroti dalam kaitan dengan sang pencipta sebagai pemegang nilai mutlak.
Terkadang, istilah bioetika juga digunakan untuk mengganti istilah etika medis, yang
mencakup masalah etis tentang ilmu-ilmu biologis seperti penyelidikan tentang hewan, serta
usaha-usaha manipulasi spesies-spesies bentukan genetik non manusiawi. Acap kali,
penggunaan istilah bioetika dan etika medis saling dipertukarkan.
Penerapan kaidah bioetik merupakan sebuah keharusan bagi seorang dokter yang
berkecimpung didalam dunia medis, karena kaidah bioetik adalah sebuah panduan dasar dan
standar, tentang bagaimana seorang dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu
persoalan atau kasus yang dihadapi oleh pasiennya.Kaidah bioetik harus dipegang tegush
oleh seorang dokter dalam proses pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak
mempunyai ikatan lagi dengan dokter yang bersangkutan.
5
Pada kasus kali ini, kita akan membahas tentang kasus yang dialami indah putrinya
pak joko yang berusia 9 tahun yang berawal adanya pembengkakan disebalah kiri
wajahnya ,diberi obat oleh perawat,karena belum lekas sembuh, di bawa pak joko ke dokter
spesialis anak lalu dirujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut, sampai akhirnya gigi
geraham indah di cabut, setelah itu dia mengalami pendarahan dan akhirnya ia meninggal dan
pak joko menggugat pihak RS dan dokter gigi tersebut.
1.3 Tujuan
Agar memahami cara menjadi seorang dokter yang melakukan tindakan
medis sesuai hukum, etika dan SPM yang tidak lalai dan sesuai kompetensi
medis seperti.
a. Mengetahui syarat-syarat praktik dokter gigi yang tidak melanggar
hukum.
b. Mengetahui pentingnya informed consent.
c. Mengetahui pentingnya suatu indikasi medis dan standar medis.
d. Lebih memahami etika dan hukum dalam sebuah kasus.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah sebagai bahan informasi
bagi penulis dan pembaca mengenai ruang lingkup bioetik.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Praktik Dokter Gigi yang Tidak Melanggar Hukum
2. Adanya Obyek
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang
yang cukup jelas. contohnya inform consent.
Yang di maksud lege artis adalah dokter yang melakukan segala praktik atau
tindakan medisnya sesuai dengan aturan dan tidak menyimpang dari aturan tersebut.
7
c. Sesuai Asas Proposionalitas
Yaitu ada keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan upaya yang
dilakukan. Ada keseimbangan antara diagnosis itu sendiri dengan terapi yang akan
dilakukan.
Unsur-unsur yang terdapat pada Standar Profesi Medis adalah sebagai berikut.
1. Bebas dari kelalaian, jadi tindakan harus dilakukan secara teliti dan hati-hati.
4. Ketelitian itu pun tetap dipertahankan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
di mana tindakan medis itu dilakukan.
Dengan adanya syarat kesepakatan kehendak ini yaitu agar suatu kontrak di anggap
sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang telah
di atur oleh kontrak tersebut. Pada hukum umumnya kesepakatan ini ada jika tidak
terjadinya salah satu unsur-unsur berikut ini.
a. Pemaksaan
b. Penipuan
c. Kesilapan
Sebagaimana pada pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah
apabila diberikan karena kekhilafan atau di peroleh dengan pemaksaan atau penipuan.
8
Yaitu petunjuk berdasarkan pemeriksaan menurut ilmu pengetahuan kedokteran dan
pengalaman dokter bahwa suatu tindakan harus dilakukan.
Standar profesi medis menurut Leenen yang harus dijadikan norma bagi dokter adalah
(Wiradharma & Hartati, 2014):
1. Tindakan yang teliti dan hati- hati
Setiap masyarakat, termasuk dokter harus menaati norma ketelitian, apabila tidak, ia
akan merugikan orang lain sehingga dianggap berbuat kesalahan.
2. Standar medis
9
Standar medis adalah cara bertindak secara medis dalam suatu peristiwa yang nyata,
berdasarkan ilmu kedokteran dan pengalamannya sebagai dokter. Standar bisa
meliputi lebih dari satu metoda diagnosis dan terapi. Hukum tidak akan memberikan
penilaian langsung tentang metoda-metoda kedokteran apabila harus memutuskan
mengenai satu tindakan medis. Dokter mempunyai kebebasan bertindak di dalam
lingkungan standar medis, sebagai suatu tindakan yang bersifat professional. Harus
ada hubungan langsung antara keluhan-keluhan pasien yang berkaitan dengan gejala
penyakitnya, dengan metoda diagnostik yang akan dilakukan. Demikian pula tindakan
terapi harus dilakukan berdasarkan diagnosis yang sudah ditegakkan. Dokter tidak
dibenarkan melakukan tindakan yang bukan merupakan wewenangnya atau di luar
bidang keahliannya. Batas-batas kewenangan dokter sesuai dengan bidang
keahliannya perlu ditetapkan oleh organisasi profesi.
5. Asas proporsionalitas
Harus ada keseimbangan antara upaya yang dilakukan dengan tujuan yang ingin
dicapai. Misalnya, seseorang mengalami infeksi tenggorokan yang umum, cukup
diberikan antibiotik seperti cefadroxil generik, tidak perlu antibiotik yang mahal.
Kemudian daripada itu, dokter juga wajib membuat rekam medis setelah pasien
setelah menerima pelayanan kesehatan. Apabila standar medis/ standard operating procedure
(SOP) tidak dipenuhi, maka akan terjadi malapraktik. Istilah malpraktik dalam hukum
kedokteran mengandung arti praktik dokter yang buruk.
10
Dalam kasus ini, dokter gigi bedah mulut harus memenuhi standar operating
procedure apabila tidak, akan terjadi komplikasi. Indah harus diperiksa terlebih dahulu secara
teliti apa yang mengakibatkan pembengkakan pada wajahnya, mungkin saja disebabkan
karena adanya alergi, tumor atau sakit gigi. Apabila berdasarkan hasil CT scan ataupun MRI
menunjukkan adanya tumor, dokter tidak boleh langsung mencabut gigi Indah dan harus
ditindaklanjuti oleh dokter yang berwenang.
Berdasarkan buku “Merawat Gigi Anak Sejak Dini” oleh drg. Endang Sariningsih
(2014), gigi geraham pertama tetap (permanen) tumbuh pada usia 8- 9 tahun, dokter gigi
perlu mencabut gigi susu yang mengalami persistensi (keadaan gigi susu masih berada di
mulut/ belum lepas, tetapi gigi yang tetap yang akan menggantikannya sudah tumbuh).
Dokter gigi bedah mulut dalam kasus ini mungkin berpikir sedemikian rupa sehingga ia
memutuskan untuk melakukan tindakan pencabutan pada gigi Indah. Dan hal ini kemudian
disetujui oleh Pak Joko secara lisan.
Kolaborasi perawat dengan dokter dalam melakukan tindakan medis diatur dalam
Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) 1239 tahun 2001, pasal 15 ayat 4 yaitu :
pelayanan tindakan medis hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter.
Ini jelas bahwa tindakan medis hanya legal dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Dalam
kasus ini, perawat yang berada di Puskesmas bisa dianggap telah melanggar hukum/ tidak
mengikuti standar medis, keadaan ini terjadi karena jumlah dokter yang terbatas di suatu
daerah. Tetapi bagi perawat yang telah menerima surat pendelegasian wewenang dapat
melakukan tindakan medis, seperti menetapkan diagnosis sakit, membuat resep obat, dan
lain- lain.
11
C. Kemungkinan resiko seperti, rada nyeri atau sakit serta diperlukannya operasi
berkelanjutan
2. Manfaat dari tindakan medis
3. Alternatif pengobatan/tindakan medis
4. Prognosis/ramalan perjalanan penyakit yang akan diderita
5. Kemungkinan risiko yang terjadi
6. Perkiraan jumlah biaya yang diperlukan
Aspek hukum yang mengatur tentang Informed Consent di Indonesia secara yuridis
formal ditandai dengan munculnya pernyataan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK
PB IDI No. 319 / PB / A / 88 tentang Informed Consent. Kemudian pernyataan ini dipertegas
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 585 tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis atau Informed Consent. Peraturan ini kemudian tidak
diberlakukan lagi sejak dikeluarkannya peraturan baru dari Peraturan Menteri Kesehatan No.
290 / Menkes / PER / III/ 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Selain ketigas
12
aspek hukum tersebut terdapat Undang-Undang yang juga mengatur pula tentang Informed
Consent yaitu Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Berdasarkan buku yang kami baca dengan judul “Tindakan Medis Aspek Etis dan
Yuridis” karangan Dr. Danny Wiradharma dapat disimpulkan bahwa Informed Consent
dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kepentingan pasiennya yaitu procedural medis dan
penilitian ilmiah. Dimana procedural medis ini dilakukan untuk melakukan tindakan atau
perawatan medis untuk pasien yang sedang menderita sakit, sedangkan penelitian ilmiah
digunakan untuk melakukan uji klinis terhadap pasien yang sering kali disebut subjek
penilitian.
Bentuk persetujuan yang dapat diberikan pasien kepada dokter agar dapat melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Persetujuan Tertulis
Persetujuan tertulis biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1), yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi mengenai tindakan medis apa yang
akan dilakukan, mengapa tindakan tersebut perlu dilakukan dan juga resiko yang
terkait dengan tindakan tersebut.
2. Persetujuan Lisan
Persetujuan lisan biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang tidak memiliki
resiko besar.
3. Persetujuan Isyarat
Persetujuan isyarat dilakukan melalui isyarat. Misalnya, pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
13
3. Sanksi pidana yang dikaitkan dengan KUHP pasal 351 mengenai penganiayaan,
misalnya dokter mengoperasi tanpa izin pasien.
Dokter tidak bisa bertindak jika tanpa IC,jika dokter bertindak dan bila terjadi sesuatu
pada pasien maka dokter akan bertanggung jawab penuh sesuai aturan dan hukum. Hal ini
yang di sebut sebagai mala praktek. Bila seorang dokter melakukan tindakan terhadap pasien
maka harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga pasien maka yang berhak memberikan
persetujuan adalah pasien yang dalam keadaan sadar dan sehat mental atau sudah beumur 21
thn atau sudah melangsungkan perkawinan.dan bagi mereka yang di bawa umur persetujuan
di berikan oleh orang tua/wali atau juga keluarga terdekat.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari kasus ini adalah dalam setiap kondisi pasien dan kondisi situasi
sebagai dokter yang telah bersumpah melakukan pekerjaan mulia dan sesuai lege artis harus
melakukan segala sesuatunya dengan usaha maksimal / inverning verbingtennis yang sesuai
dengan hukum dan aturan yang telah dipelajarinya selama proses didunia pendidikan.
Sebagai seorang dokter sudah sepantasnya menginformasikan secara detail kemungkinan
efek dan akibat dari tindakannya selaku dokter kepada wali Indah, yakni Pak Joko. Pada
kasus ini terjadi kelalaian medis yaitu tindakan yang tidak sesuai prosedur. Maka dari itu
sebelum dilakukannya tindakan medis diperlukan banyak pertimbangan dan pengamatan
yang teliti dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan memberikan pengerjaan yang
sesuai kompetensi juga berarti seorang dokter telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Kompetensi adalah usaha yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya.
Seorang dokter harus membuat perjanjian secara tertulis bukan hanya secara lisan karena
dikancah hukum untuk melindungi hak otonomi dokter dan pasien dibutuhkan bukti material
yang jelas datanya. Pada kasus ini, pencabutan gigi Indah yang kemungkinan dapat
menyebabkan pendarahan seharusnya tidak hanya membutuhkan persetujuan lisan namun
juga tertulis dengan tanda tangan wali sebagai persetujuan atas apa yang dibacanya.
3.2.1 Saran
15
Untuk mengindari sengketa medik sebaiknya dokter memberikan informed consent
secara detail, dan untuk mendasari segala tindakan medik yang dilakukan lebih baik
informed consent diberikan secara tertulis.
Sebelum menyetujui suatu tindakan medis sebaiknya pasien meminta second opinion
ke dokter lain.
DAFTAR PUSTAKA
16