Anda di halaman 1dari 30

PATOFISIOLOGI SISTEM GINJAL, HIPERTENSI

DAN PREEKLAMSIA

Dosen Pengampu : dr. Achmad Bukhoeri., Sp.OG.

Disusun Oleh Kelompok 6 dan 7:


1. Naeli Nida A
2. Ninik Purwaningsih
3. Nunuk Sulistyawati
4. Nur Ardi W
5. Usni Silitonga
6. Nuzuliyani
7. Priyati
8. Puji Astuti
9. Purwanida
10. Viviana Rosita D

PROFESI KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pandangan bahwa perempuan yang menderita penyakit ginjal

sebaiknya menghindari kehamilan, telah ada sejak abad lalu. Luaran bayi

dipercaya akan kurang baik dan pasien yang menderita penyakit ginjal

disarankan melakukan terminasi kehamilan. Selain itu data-data mengenai

perempuan hamil dengan transplatasi ginjal sejak tahun 2000 telah

memberikan hasil yang menggembirakan. Semuanya memberikan pandangan

bahwa sebagian besar perempuan yang mempunyai gangguan fungsi ginjal

minimal dapat hamil dengan kemungkinan kehamilannya berhasil mencapai

90% (Prawirohardjo, 2014; h. 830).

Pada kehamilan normal terdapat perubahan bermakna baik pada

struktur maupun fungsi dari saluran kemih, diantaranya dilatasi saluran kemih

yaitu pada kaliks, pelviks, ginjal dan ureter. Pada fungsi ginjal juga terjadi

peningkatan segera setelah konsepsi. Aliran plasma ginjal dan filtrasi

glomerulus efektif masing-masing meningkat rata-rata 40% dan 65%. Secara

empiris kehamilan dengan kelainan ginjal merupakan kehamilan dengan

resiko yang sangat tinggi. Karena kehamilan sendiri bisa menyebabkan

kelainan-kelainan pada ginjal seperti infeksi saluran kemih, hipertensi dan

lain sebagainya.

Hipertensi dalam kehamilan akan muncul dalam bentuk pre eklamsia

dan eklamsia yang mana keduanya memberikan morbiditas dan mortalitas

9
10

yang tinggi bagi ibu dan bayi. Pada saat angka kematian ibu oleh karena

perdarahan dan infeksi berhasil di turunkan tampaknya kematian oleh karena

preeklamsia dan eklamsia mencuat ke depan (Jurnal faktor resiko terjadinya

hipertensi dalam kehamilan, 2006 Vol 30 No 1).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal

2. Menjelaskan patofisiologi yang berkaitan dengan penyakit ginjal

3. Menjelaskan patofisiologi manajemen hipertensi dalam kehamilan

4. Menjelaskan patofisiologi manajemen preeklamsia dalam kehamilan

C. TUJUAN

1. Mengenal anatomi dan fisiologi ginjal

2. Mengenal dan mengindentifikasi patofisiologi yang berkaitan dengan

penyakit ginjal

3. Mengenal dan mengidentifikasi patofisiologi manajemen hipertensi

dalam kehamilan

4. Mengenal dan mengidentifikasi patofisiologi manajemen preeklamsia

dalam kehamilan
11

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan

homeostasis cairan tubuh secara fisiologi. Berbagai fungsi ginjal untuk

mempertahankan homeostasis dengan mengatur volume cairan,

keseimbangan osmotik, asam basa, ekskresi sisa metabolisme, sistem

pengaturan hormonal dan metabolisme (Wahyuningsih dan Kusmiyati,

2017; h. 141).

Bentuk ginjal menyerupai kacang dengan ukuran panjang sekitar 11

cm dengan lebar 6 cm serta ketebalan 3 cm. Ginjal berada di dekat ruas

ttulang belakang dekat pinggang. Manusia mempunyai sepasang ginjal.

Letak ginjal kiri berada lebih tinggi dari ginjal kanan (Sarwadi dan

Linangkung, 2014; h. 42).


12

Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan

anatomic ginjal dan saluran kemih yang sering menimbulkan gejala-gejala

dan kelainan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium. Ginjal akan

memanjang kurang lebih 1 cm dan kembali normal setelah melahirkan.

Ureter juga mengalami pemanjangan, melekuk dan kadang berpindah letak

ke lateral dan akan kembali normal 8-12 minggu setelah melahirkan

(Prawirohardjo, 2014; h. 830).

2. Fisiologi Ginjal

Ginjal mempunyai beberapa fungsi, antara lain :

1) Mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme yang banyak

mengandung ammonia

2) Mengeluarkan zat berlebih dalam tubuh, sebagai contoh vitamin

yang larut dalam air

3) Mengeluarkan air yang berlebih untuk menjaga kestabilan cairan

ekstraseluler

4) Menjaga keseimbangan kadar pH dalam tubuh

5) Mengendalikan volume darah

6) Memproduksi hormone eritroprotein yang berperan merangsang

peningkatan pembentukan sel darah merah oleh sumsum tulang

(Sarwadi dan Linangkung, 2014; h. 42).

Proses pembentukan urine di dalam ginjal antara lain :

1) Filtrasi merupakan proses penyaringan zat beracun yang

terkandung dalam darah oleh kapsul bowman di badan


13

Malphigi. Hasil dari penyaringan ini adalah urine primer yang

mengandung beberapa zat yang masih dibutuhkan tubuh. Zat-zat

tersebut antara lain glukosa, asam amino dan asam urat.

2) Reabsorbsi merupakan penyerapan kembali zat-zat yang massih

dibutuhkan oleh tubuh yang terkadnung dalam urine primer.

Zat-zat yang diserap kembali antara lain glukosa, asam amino

dan air akan dikembalikan ke dalam darah. Penyerapan juga

terjadi di lengkung henle, yaitu penyerapan natrium. Sedangkan

sisanya menjadi urine sekunder yang mengandung urea

3) Augmentasi merupakan penyerapan air pada urine sekunder

oleh tubulus distal serta penambahan zat-zat lain yang sudah

tidak digunakan lagi. Dari proses ini dihasilkan urine yang

sesungguhnya yang akan ditampung di pembuluh pengumpul

sebelum dibuang lewat saluran ureter (Sarwadi dan Linangkung,

2014; h. 43).

Menurut Sarwadi dan Linangkung (2014; h. 43), urine yang dikeluarkan

mengandung beberapa zat, antara lain :

1) Ureum merupakan hasil akhir dari metabolism protein, yang

asam amoniak nya dipindahkan ke hati

2) Keratin merupakan zat sisa dari otot

3) Asam urat

4) Natrium klorida

5) Air
14

Jumlah urine yang dihasilkan oleh ginjal dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu :

1) Jumlah air yang dikonsumsi dimana jumlah urine yang

dihasilkan ginjal memiliki hubungan yang sebanding dengan

jumlah air yang dikonsumsi. Semakin banyak air yang

dikonsumsi, maka semakin banyak pula urine yang dihasilkan.

Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit air yang dikonsumsi

maka semakin sedikit pula urine yang dihasilkan

2) Jumlah garam yang dikeluarkan oleh darah

3) Jumlah hormone insulin. Jumlah urine seseorang akan naik jika

kadar hormone insulinnya rendah. Begitu sebaliknya, produksi

urine akan berkurang jika kadar hormone insulin tinggi

4) Jumlah hormone antidiuretic (ADH) yang dihassilkan oleh

kelenjar hipofisis. Jika dalam ginjal banyak mengandung

hormone ADH, maka jumlah urine yang dihasilkan sedikit dan

sebaliknya

5) Suhu lingkungan dimana produksi urine akan bertambah ketika

suhu dingin dan berkurang ketika suhu panas

6) Gejolak emosi dan stress, dimana produksi urine akan

meningkat ketika seseorang sedang emosi dan stress. Sebaliknya

produksi urine akan berkurang ketika seseorang sedang santai

7) Minuman alkohol dan kafein. Produksi urine akan meningkat

jika seseorang mengonsumsi alkohol dan kafein, karena kedua


15

minuman ini dapat menghambat produksi ADH dalam tubuh

( Sarwadi dan Linangkung, 2014; h. 44).

Menurut Wahyuningsih dan Kusmiyati (2017; h. 142) ginjal

mendapat darah dari arteri renalis merupakan cabang dari aorta

abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, yang

berpasangan kiri dan kanan dan bercabang menjadi arteria interlobaris

kemudian menjadi arteri akuata, arteria interlobularis yang berada di tepi

ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk gumpalan yang disebut

dengan glomerolus dan dikelilingi oleh alat yang disebut dengan simpai

bowman, di dalamnya terjadi penyadangan pertama dan kapiler darah yang

meninggalkan simpai bowman kemudian menjadi vena renalis masuk ke

vena kava inferior. Dari glomerulus keluar pembuluh darah aferen,

selanjutnya terdapat suatu anyaman yang mengelilingi tubuli kontorti. Di

samping itu ada cabang yang lurus menuju ke pelvis renalis memberikan

darah untuk ansa Henle dan duktus koligen, yang dinamakan arteri rektal

(arteria spuriae). Dari pembuluh arteri ini darah kemudian berkumpul

dalam pembuluh kapiler vena, bentuknya seperti batang vena stellata

berjalan ke vena interlumbalis. Pembuluh limfe mengikuti perjalanan

arteri renalis menuju ke nodi limfatikus aorta lateral yang terdapat di

sekitar pangkal arteri renalis, dibentuk oleh pleksus yang berasal dari

massa ginjal, kapsula fibrosa dan bermuara di nosul lateral aortika.


16

B. PATOFISIOLOGI YANG BERKAITAN DENGAN PENYAKIT

GINJAL

Secara fisiologi, ginjal mengalami perubahan

hemodinamik, tubulus ginjal, dan perubahan endokrin selama

kehamilan.1 Adaptasi ginjal untuk kehamilan diantisipasi sebelum

konsepsi, yaitu menjelang akhir setiap siklus menstruasi, laju

filtrasi glomerulus (GFR) akan meningkat 10-20%. Jika kehamilan

terjadi, GFR terus meningkat, sehingga pada kehamilan 16

minggu, nilai GFR 55% di atas nilai GFR pada seseorang yang

tidak hamil.3 Kenaikan ini dimediasi melalui peningkatan aliran

darah ginjal pada trimester kedua yang mencapai maksimum 70-

80% di atas nilai yang tidak hamil, sebelum turun pada saat aterm

menjadi sekitar 45% di atas nilai yang tidak hamil (Jurnal

Kesehatan Andalas, 2019).

Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal

menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus hingga 50-70%

diatas normal di dua trimester awal dan tetap 40% di atas normal

pada trimester ketiga.4 Peningkatan aliran darah ginjal ini

disebabkan adanya peningkatan curah jantung dan penurunan

resistensi vaskuler ginjal akibat vasodilatasi vaskularisasi ginjal.4

Peningkatan LFG mulai terjadi pada minggu keempat kehamilan

hingga menjadi 50% diatas normal dalam 13 minggu.5 Terjadi

hiperfiltrasi gestasional disertai dengan penurunan relatif dalam


17

konsentrasi serum kreatinin dan urea, sehingga nilai-nilai yang

dianggap normal pada keadaan tidak hamil dapat menjadi

abnormal dalam kehamilan (Jurnal Kesehatan Andalas, 2019).

Penyakit ginjal pada kehamilan merupakan suatu kelainan

medis yang penting yang mengakibatkan semakin menurunnya

fungsi ginjal dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan

janin. Penurunan fungsi ginjal bisa terjadi akibat kehamilan pada

pasien-pasien dengan penyakit ginjal, dipengaruhi oleh derajat

beratnya penyakit ginjal. Kehamilan dihubungkan dengan

penurunan fungsi ginjal permanen antara 0-10% pada perempuan

dengan LFG hanya menurun ringan (kreatinin serum < 1,5 mg/dl)

(Jurnal Kesehatan Andalas, 2019).

Banyak wanita dengan penyakit ginjal kronis yang

mengalami kehamilan mempunyai disfungsi ginjal ringan dan

kehamilan biasanya tidak mempengaruhi prognosis pada penyakit

ginjal tersebut. Begitupun halnya dengan wanita yang sudah

memiliki gangguan ginjal berat (serum kreatinin > 177mmol/l)

akan mengalami perburukan pada kehamilan trimester ketiga, dan

sebagian besar akan menetap dan memburuk hingga akhirnya akan

menjadi penyakit ginjal tahap akhir.23 Perburukan fungsi ginjal

selama kehamilan pun dialami pada wanita yang sebelum hamil

mempunyai GFR 1g/24 jam (Jurnal Kesehatan Andalas, 2019).


18

Patofisiologi eksaserbasi penyakit ginjal akibat kehamilan

masih belum diketahui. Suatu hipotesis menyatakan bahwa

menurunnya fungsi ginjal berkaitan dengan peningkatan perfusi

glomerulus, namun fakta menunjukkan bahwa kebanyakan

perempuan dengan penurunan fungsi ginjal selama kehamilan tidak

terbukti mengalami hiperperfusi dini, seperti penurunan awal

konsentrasi kreatinin serum.1 Hipotesis lain menyatakan bahwa

penyakit ginjal yang ada, membentuk kaskade agregasi platelet

thrombi fibrin, koagulasi mikrovaskular dan disfungsi endotelial di

ginjal.

Wanita dengan PGK harus memahami dampak jangka

panjang yang ditimbulkan terhadap fungsi ginjal bila terjadi

kehamilan, namun apabila seseorang merencanakan kehamilan,

yang harus diperhatikan adalah untuk menghindari obat-obatan

yang bersifat fetotoksik, seperti ACE (angiotensin converting

enzyme) inhibitor dan ARB (angiotensin II receptor blocker).1

Asam folat 400 µg/hari juga sebaiknya diberikan dari sebelum

kehamilan hingga kehamilan 12 minggu. Aspirin dosis rendah (50-

150 mg/hari) dianjurkan untuk diberikan dari awal kehamilan

untuk mengurangi risiko preeklampsia dan memperbaiki kondisi

perinatal.

Penyakit ginjal kronis mempunyai cakupan yang luas dari

berbagai bidang yaitu penanganan multidisiplin dari bidang


19

obstetrik, nefrologi, pediatrik. Monitor yang ketat sangat

diperlukan tergantung dari tingkat keparahan dan komplikasinya.

Pemantauan gejala klinis, laboratorium, maupun pemeriksaan USG

harus ditingkatkan seiring besarnya usia kehamilan.

C. PATOFISIOLOGI MANAJEMEN HIPERTENSI DALAM

KEHAMILAN

Penyakit hipertensi pada dasarnya adalah penyakit yang

dapat merusak pembuluh darah, jika pembuluh darahnya ada pada

ginjal, maka tentu saja ginjalnya mengalami kerusakan, Seseorang

yang tidak mempunyai gangguan ginjal, tetapi memiliki penyakit

hipertensi dan tidak diobati akan menyebabkan komplikasi pada

kerusakan ginjal dan kerusakan ginjal yang terjadi akan

memperparah hipertensi tersebut (Jurnal Ilmiah Kedokteran, 2016;

h. 15-16).

Hipertensi pada kehamilan sering terjadi dan merupakan

penyebab utama kematian ibu melahirkan, serta memiliki efek

serius lainnya saat melahirkan. Hipertensi pada kehamilan terjadi

pada 5% dari semua kehamilan. Kondisi ini memerlukan strategi

manajemen khusus agar hasilnya bagus. Hipertensi pada kehamilan

mempengaruhi ibu dan janin yang dapat menyebabkan morbiditas

dan mortalitas ibu dan janin jika tidak dikelola dengan baik.

Hipertensi yang diinduksi kehamilan dianggap sebagai

komplikasi obstetric yang memiliki resiko lebih besar mengalami


20

persalinan premature, IUGR, kesakitan dan kematian, gagal ginjal

akut, gagal hati akut, pendarahan saat dan setelah persalinan,

perdarahan otak dan kejang. Hipertensi pada kehamilan dapat

digolongkan menjadi preeklamsia, eklamsia, hipertensi kronis pada

kehamilan, hipertensi kronis disertai preeklamsia dan hipertensi

gestational.

Konsekuensi hipertensi pada kehamilan dalam jangka

pendek yaitu pada ibu akan terjadi eklamsia, hemoragik, iskemik,

stroke, kerusakan hati (HELL sindrom, gagal hati, persalinan cesar,

persalinan dini, abruption plasenta), pada janin akan terjadi

kelahiran preterm, gangguan pertumbuhan janin, sindrom

pernafasan dan kematian janin. Untuk jangka panjang, wanita yang

mengalami hipertensi saat hamil memiliki resiko kembali

mengalami hipertensi pada kehamilan berikutnya dan dapat

menimbulkan komplikasi kardiovaskuler penyakit ginjal dan

timbulnya kanker.

Hipertensi kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90

mmHg dibagi menjadi ringan-sedang (140-159/ 90-109 mmHg)

dan berat (≥ 160/110 mmHg). Hipertensi kronis pada kehamilan

apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg, terjadi sebelum

kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan.

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi kronis terjadi sebelum


21

minggu ke 20 dan dapat bertahan lama sampai lebih dari 12

minggu pasca persalinan.

Hipertensi gestational adalah hipertensi yang terjadi setelah

20 minggu kehamilan tanpa protein urine. Hipertensi gestational

berat adalah kondisi peningkatan tekanan darah > 160/110 mmHg.

Pada kehamilan normal arteri spinal uteri invasive ke dalam

trofoblas menyebabkan peningkatan aliran darah dengan lancar

untuk kebutuhan oksigen dan nutrisi janin.

Kejadian hipertensi dalam kehamilan dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu :

a) Primigravida (seorang wanita hamil yang untuk

pertama kali), primipaternitas (kehamilan anak

pertama dengan suami kedua)

b) Hiperplasentosis misalnya mola hidatidosa,

kehamilan multiple, DM, hidropsfetalis, bayi besar)

c) Umur yang ekstrim (>35 tahun)

d) Riwayat keluarga yang pernah preeklamsia/

eklamsia

e) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada

sebelum hamil

f) Obesitas (BMI>35)

Penyebab hipertensi belum diketahui hingga kini belum

diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang


22

terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada teori

satupun yang dianggap mutlak benar. Pada hipertensi kehamilan

tidak terjadi invasi sel-sel trophoblast pada lapisan otot arteri

spiralis dan jaringan sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi

tetap kaku dank eras, sehingga lumen arteri spirales tidak

memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya

arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi dan terjadi

kegagalan “remodeling arteri spiralis” sehingga aliran darah

uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia

plasenta.

Hipertensi kehamilan harus dikelola dengan baik agar dapat

menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu atau janin yaitu

dengan menghindarkan ibu dari resiko peningkatan tekanan darah,

mencegah perkembangan penyakit dan mencegah timbulnya

kejang dan pertimbangan terminasi kehamilan jika ibu atau janin

dalam keadaan bahaya. Penderita hipertensi pada kehamilan

disarankan melakukan partus pada minggu ke 37.

Obat yang umum digunakan dalam pengobatan hipertensi

pada kehamilan adalah labetalol, methyldopa, nifedipine,

clonidine, diuretic dan hydralazine. Rekomendasi klinis

manajemen hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut :


23

a) Wanita dengan hipertensi gestational atau preeklamsia ringan

sebaiknya merencanakan persalinan pada minggu ke 37

kehamilan

b) Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam atau

phenytoin dalam mencegah kejang dan menurunkan mortality

ibu hamil

c) Intravenous labetalol atau hydralzine atau oral nifedipine boleh

digunakan untuk mengobati hipertensi parah selama kehamilan

d) Wanita preeklamsia berat pada minggu 24-34 kehamilan

dirawat dan dipantau ketat untuk mengurangi komplikasi

neonatal dan tinggal di ICU

e) Aspirin dosis rendah dapat berdampak kecil sampai menengah

dalam mencegah preeklamsia

f) Suplemen kalsium dapat mengurangi insiden hipertensi,

preeklamsia dan mortality wanita dengan intake rendah

kalsium.

D. PATOFISIOLOGI MANAJEMEN PREEKLAMSIA DALAM

KEHAMILAN

Preeklamsia masih menjadi salah satu penyebab utama

kematian ibu dan perinatal. Preeklamsia ditandai dengan adanya

hipertensi, proteinuria dan edema. Preeklamsia pada ibu hamil

menimbulkan dampak yang bervariasi. Mulai dari yang ringan

hingga berat, misalnya mengganggu organ ginjal ibu hamil,


24

menyebabkan hipoksia janin intrauteri, rendahnya berat badan bayi

ketika lahir, dan melahirkan sebelum waktunya ( Jurnal Majority,

2016).

Preeklamsia merupakan sindrom multisistemik,

penyebabnya meliputi faktor genetic dan lingkungan.

Penatalaksanaan terbaik dari PE adalalah dengan segera

melahirkan bayi dan plasenta dari rahim ibu/ terminasi kehamilan.

Preeklamsia terjadi akibat kegagalan pada proses remodeling arteri

spiralis di plasenta. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan pada

faktor anti-angiogenik dan pro-angiogenik. Ketidakseimbangan ini

menyebabkan terjadinya disfungsi endotel yang akan mengganggu

proses aliran darah dari uterus ke plasenta dan berpotensi

membahayakan proses perkembangan janin akibat gangguan

pembuluh darah arteri plasenta yang menyebabkan bayi akan

mengalami kekurangan suplai darah dan oksigen dari ibunya

(Jurnal Kesehatan Reproduksi, 2020).

Preeklamsia di tandai dengan hipertensi (tekanan darah

sistolik ≥140 dan tekanan darah diastolic ≥90) serta terjadi

proteinurin (≥300 mg/24 jam atau persisten +1 dengan dipstick)

yang dapat muncul sejak awal kehamilan namun umumnya lebih

sering terjadi setelah kehamilan minggu ke 20 (Jurnal Kesehatan

Reproduksi, 2020).

Faktor predisposisi terjadinya preeklamsia adalah :


25

a) Usia >40 tahun

b) Primigravida (wanita hamil pertama kalinya),

multigravida (wanita hamil yang kedua atau lebih)

c) Multipara dengan riwayat preeklamsia sebelumnya

d) Multipara dengam kehamilan oleh passangan baru

e) Multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10

tahun atau lebih

f) Kehamilan multiple/ kehamilan ganda

g) IDDM (Insulin Dependent Diabteus Mellitus)

h) Hipertensi kronik (hipertensi kronik bisa

berkembang menjadi preeklampsia. Yaitu pada ibu

dengan riwayat hipertensi kronik lebih dari 4 tahun).

i) Penyakit ginjal

j) Kehamilan dnegam inseminasi donor sperma, oosit

atau embrio

k) Obesitass sebelum hamil (IMT>30 kg/m2)

Patofisiologi preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah

disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsy ginjal

ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa

kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat

dilalui oleh salah satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola

dalam tubuh mengalami spassme, maka tekanan darah akan naik,

sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar


26

oksigenassi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat

badan dan edema disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan

dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin

karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh

spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus

(Jurnal Majority, 2016).

Tanda dan gejala preeklamsia dibedakan menjadi 2 macam

yaitu berdasarkan gambaran klinik ditandai dengan pertambahan

berat badan yang berlebihan, edema, hipertensi, proteinuria dan

berdasarkan gejala subyektif yang ditandai sakit kepala di daerah

frontal, nyeri epigastrium, gangguan visus : penglihatan kabur,

skotoma, diplopia, mual, muntah dan gangguan serebral lainnya

reflek meningkat dan tidak tenang (Jurnal Majority, 2016).

Klasifkasi preeklamsia dibagi menjadi 2 golongan yaitu

preeklamsia ringan dan berat. Preeklamsia ringan ditandai dengan

pertambahan berat badan, edema umum di kaki dan muka,

hipertensi dengan tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90

mmHg setelah gestasi 20 minggu, proteinuria lebih atau sama

dengan 300 mg per liter dan 1+ atau 2+ pada dipstick dan belum

ditemukan gejala-gejal subyektif. Sedangkan preeklamsia berat

ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan

darah diastolic ≥110 mmHg, proteinuria 2 gram per liter atau ≥ 2+

pada dipstick, oliguria < 400 ml/24 jam, kreatinin serum >1,2
27

mg/dl, nyeri epigastrium, edema pulmonum, sakit kepada daerah

frontal, diplopia dan padangan kabur, serta perdarahan retina

(Jurnal Majority, 2016).

Berbagai strategi yang digunakan untuk mencegah atau

memodifikasi keparahan preeklamsia antara lain :

a) Antenatal care (ANC)

Hal ini diupayakan dengan mengidentifikasi

kehamilan resiko tinggi dan mencegah pengobatan

dalam rangka menurunkan komplikasi penyakit dan

kematian melalui modifikasi ANC

b) Manipulasi diet

Suplemantasi kalsium (dianjurkan untuk ibu hamil

terutama dengan resiko tinggi untuk terjadinya

hipertensi pada kehamilan dan daerah dengan

asupan kalsium yang rendah), suplemantasi vitamin

D ( guna untuk mendukung metabolism tulang ibu

dan janin), antioksidan, aspirin dosis rendah

Penatalaksanaan preeklamsia antara lain :

a) Monitor tekanan darahn2x sehari dan cek protein

urine rutin

b) Pemeriksaan laboraatorium darah (Hb, Hct, AT,

ureum, kreatinin, SGOT, SGPT) dan urin rutin

c) Monitor kondisi janin


28

d) Rencana terminasi kehamilan pada usia 37 minggu

atau usia <37 minggu bila kondisi janin memburuk

atau sudah massuk dalam persalinan/ KPD

Penatalaksanaan preeklamsia berat antara lain :

a) Stabilisasi pasien dan rujuk ke pusat pelayanan lebih

tinggi

b) Prinsip manajemen preeklampsia berat :

1) Monitor tekanan darah, albumin urin, kondisi

janin, dan pemeriksaan laboratorium

2) Mulai pemberian antihipertensi

3) Pemberian antihipertensi pilihan pertama

adalah nifedipin (oral short acting),

hidralazine dan labetalol parenteral.

Alternatif pemberian antihipertensi yang lain

adalah nitogliserin, metildopa, labetalol

4) Mulai pemberian MgSO4 (jika gejala seperti

nyeri kepala, nyeri uluhati, pandangan

kabur). Loading dose beri 4 gram MgSO4

melalui vena dalam 15-20 menit. Dosis

rumatan beri MgSO4 1 gram/jam melalui

vena dengan infus berlanjut

5) Rencana terminasi pada usia kehamilan 34-

37 minggu. Atau usia kehamilan <34 minggu


29

bila terjadi kejang, kondisi bayi memburuk,

edema paru, gagal ginjal akut

BAB III

TINJAUAN KASUS

Pasien Ny. A usia 23 tahun Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas

Gianyar I dengan diagnosis G1P0A0 UK 33 minggu 4 hari dengan HDK dan

proteinuria +3. Pasien diketahui memiliki tekanan darah tinggi saat memeriksakan

diri ke puskesmas pada tanggal 6 Juni 2016 pukul 11.00 WITA. Sebelumnya,

pasien mengeluh kedua kaki bengkak yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu.

Selain keluhan bengkak, pasien juga merasakan kesemutan sejak usia kehamilan

28 minggu. Keluhan dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas.

Keluhan lain seperti sakit kepala, pandangan kabur, dan nyeri ulu hati disangkal

oleh pasien. Pasien juga menyatakan tidak ada keluhan nyeri perut hilang timbul

serta keluar air, lendir, dan darah per vaginam. Gerak anak dirasakan baik dan

aktif oleh pasien. HPHT : 15 Oktober 2015 HPL : 21 Juli 2016.

Riwayat penyakit terdahulu seperti riwayat asma, DM, hipertensi, dan

penyakit jantung disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga tidak terdapat

riwayat penyakit pada keluarga. Keadaan umum baik, tekanan darah : 160/110

mmHg, kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis) Nadi : 82 kali/menit, respirasi : 18

kali/menit, suhu aksila : 36C, BB : 120 kg, TB : 170 cm, IMT : 42,85 kg/m 2.

Pada pemeriksaan mata : tidak anemia, tidak icterus, reflex pupil +/+, leher : tidak
30

ada pembesaran KGB, THT : kesan normal, thoraks : mammae : hiperpigmentasi

areola mammae 16, Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur tidak ada, pulmo :

vesikuler +/+, rhonki tidak ada, tidak ada wheezing -/-, Abdomen : tidak ada luka

bekas operasi, ekstremitas akral hangat , edema +/+ pada kaki.

Pada pemeriksaan abdomen : TFU pertengahan procesus xyphoideus dan

pusat, terdapat linea nigra, terdapat striae livide, tidak ada striae albicans, tidak

ada nyeri ulu hati, tidak nyeri simfisis, tidak nyeri tekan dan tidak ada tanda cairan

bebas. Pada pemeriksaan DJJ 137 kali/menit. Pemeriksaan penunjang darah

lengkap (06/06/2016) : WBC : 9,6 . 103 /μL (N), RBC : 3,81 . 106 /μL (N), HGB :

11,0 g/dL (N), HCT : 32,9 % (N), PLT : 226 . 103 /μL (N), Urinalisis

(06/06/2016) : Warna : kuning keruh, glukosa : negative, bau : khas, bilirubin :

negative, leukosit : negative, Urobilin : normal, pH : 5,0, keton : negative,

protein : +3, nitrit : positif berat Jenis : 1,015, eritrosit : negatif.

Diagnosis kebidanan G1P0AO UK 33 minggu 4 hari dengan Preeklampsia

Berat. Dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain pemeriksaan

NST, kimia lengkap, LDH. Mendapatkan terapi :

a) IVFD Ringer Laktat 500 + MgSO4 40% 6 gr ~ 28 tpm

b) Nifedipin 3x10 mg IO bila MAP > 125 mmHg

c) Dexametason 1x12,5 mg IM @24 jam selama 2 hari

d) Pasang DC
31

Dilakukan monitoring keluhan, tanda vital, denyut jantung janin, tanda

impending eclampsia, tanda intoksikasi MgSO4. Diberikan KIE berupa diagnosis,

rencana tindakan dan risiko tindakan pada pasien dan keluarga.

BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis pada pasien ini dilakukan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien mengeluh

tekanan darah tinggi disertai bengkak pada tangan dan kaki. Pada kasus ini umur

kehamilan pasien adalah 33-34 minggu berdasarkan perhitungan HPHT. Tekanan

darah pasien diketahui tinggi saat kehamilan yang sekarang. Pada saat pasien

datang ke VK, didapatkan tekanan darah pasien 160/110 mmHg. Pada hasil

anamnesis juga diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat hipertensi sebelum

kehamilannya yang sekarang. Dengan demikian diagnosis hipertensi kronik dan

superimposed preeklampsia dapat disingkirkan karena hipertensi timbul setelah

umur kehamilan 20 minggu. Pasien juga mengaku tidak memiliki riwayat

penyakit ginjal dan penyakit jantung, sehingga diagnosis kehamilan dengan

penyakit jantung dan sindroma nefrotik dapat disingkirkan.

Untuk membedakan apakah hipertensi pada pasien ini adalah hipertensi

gestasional atau preeklampsia/eklampsia, dilakukan pemeriksaan urine midstream

untuk mengetahui apakah terdapat proteinuria atau tidak. Setelah pemeriksaan

urine acak dilakukan, diketahui terdapat proteinuria (+3), sehingga kemungkinan


32

hipertensi gestasional dapat disingkirkan. Dengan demikian diagnosis hipertensi

dalam kehamilan pada pasien ini dapat dikategorikan ke dalam preeklampsia berat

karena umur kehamilan > 20 minggu, dengan peningkatan tekanan darah disertai

proteinuria +3. Pada pasien ini tidak terdapat riwayat kejang yang menyertai

peningkatan tekanan darah (menyingkirkan kemungkinan diagnosis eklampsia).

Tidak ditemukan tanda-tanda subyektif seperti gangguan penglihatan, nyeri

epigastrium, sakit kepala, mual sehingga pada pasien ini tidak ditemukan tanda

impending eklampsia. Jadi pasien ini didiagnosis dengan G1P0A0 hamil 33

minggu 4 hari dengan Preeklampsia Berat.

Faktor risiko terjadinya preeklampsia berat pada pasien ini adalah dilihat

dari faktor primigravida. Sebagaimana yang disebutkan, wanita muda dengan

riwayat kehamilan nuliparitas memiliki risiko untuk mengalami preeklamsia yang

lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang berusia lebih tua. Hubungan yang

terjadi antara preeklampsia dan berat badan ibu bersifat progresif. Wanita dengan

BMI < 20 kg/m2 dinyatakan memiliki risiko untuk menderita preeklampsia

sebesar 4,3%. Sedangkan pada wanita dengan BMI > 35 kg/m2 dinyatakan

memiliki risiko sebesar 13,3%.

Adanya proteinuria dan hipertensi selama kehamilan secara nyata

meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal. Tujuan dasar

penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah

mencegah kejang, mencegah gangguan fungsi organ vital, terminasi kehamilan

dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya, lahirnya bayi sehat yang

kemudian dapat berkembang, serta pemulihan sempurna kesehatan ibu. Pada


33

pasien ini segera dilakukan rawat inap. Hospitalisasi sedini mungkin sangat

diperlukan agar observasi dapat dilakukan secara cermat dan terus-menerus,

sehingga evaluasi lebih mudah oleh karena perjalanan penyakit sukar diramalkan.

Pemeriksaan yang teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-

tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan

peningkatan berat badan yang cepat. Pemberian terapi yang diberikan pada pasien

ini adalah MgSO4 sesuai protap. MgSO4 bekerja dengan menghambat atau

menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan saraf-saraf yaitu menghambat

transmisi neuromuskular, sehingga mencegah terjadinya kejang pada pasien ini.

Selain itu, MgSO4 juga merupakan vasodilator serebral. Pemberian MgSO4 harus

memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: harus terdapat refleks patella kuat,

antidotum berupa kalsium glukonas 10%, dan frekuensi pernapasan >16 kali per

menit dan tidak ada tanda-tanda distress pernapasan.. Sebelum diberikan MgSO4

pasien terlebih dahulu dipasang kateter untuk memantau produksi urin 1 x 24 jam

guna mengamati adanya gejala intoksikasi MgSO4. Pasien juga diberikan obat

nifedipine sebanyak 3x10 mg untuk menurunkan tekanan darahnya sampai MAP

< 125 mmHg. Nifedipine bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium ke

dalam sel otot polos endotel, sehingga kontraktilitas menurun dan menyebabkan

vasodilatasi.

Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian respiratory distress

syndrome (RDS), kematian neonatal, dan perdarahan intraventrikuler.

Pemberiannya dianjurkan pada kehamilan 24-34 minggu. Pada kasus ini umur

kehamilan pasien adalah 33-34 minggu, sehingga memenuhi indikasi pemberian


34

kortikosteroid. Kortikosteroid yang diberikan pada pasien ini adalah

deksametason 1x12 mg IM (2 hari). Pada follow up tanggal 07 Juni 2016, tidak

ditemukan tanda-tanda impending eklampsia. Dari anamnesis terhadap keluhan

pasien, tidak ditemukan tanda-tanda intoksikasi MgSO4. Pemeriksaan tekanan

darah menemukan tekanan darah saat itu 130/80 mmHg. Pasien dapat

dipulangkan bila sudah mencapai perbaikan dengan tanda-tanda preeklampsia

ringan selama tiga hari. Bila keadaan penderita menetap atau memburuk, maka

dilakukan terminasi kehamilan.


35

BAB V

SIMPULAN

Pada kasus ini preeklampsia berat terjadi pada wanita 23 tahun pada

kehamilan pertama dengan umur kehamilan preterm (33-34 minggu). Diagnosis

dapat ditegakkan dengan jelas berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini, terjadinya preeklampsia dapat

dipengaruhi oleh karena faktor kehamilan primigravida dan kondisi obesitas pada

ibu. Pada pasien ini segera dilakukan rawat inap. Hospitalisasi sedini mungkin

sangat diperlukan agar observasi dapat dilakukan secara cermat dan terus-

menerus, sehingga evaluasi lebih mudah oleh karena perjalanan penyakit sukar

diramalkan.

Pemeriksaan yang teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-

tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan

peningkatan berat badan yang cepat. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah

MgSO4 sesuai protap untuk mencegah terjadinya kejang. Nifedipine 3x10mg PO

jika MAP ≥125 mmHg diberikan untuk mengontrol tekanan darah. Deksametason

1x12 mg IM (2 hari) diberikan untuk pematangan paru-paru janin. Pemasangan

DC 1x 24 jam untuk mengamati adanya gejala intoksikasi MgSO4.

Pasien dapat dipulangkan bila sudah mencapai perbaikan dengan tanda-

tanda pre eklampsia ringan selama tiga hari. Bila keadaan penderita menetap atau
36

memburuk, maka dilakukan terminasi kehamilan. Dengan penanganan yang baik,

prognosis kondisi preeklampsia berat akan menjadi baik. Namun demikian apabila

tidak dilakukan penanganan dan pengamatan yang baik pada pasien, penyakit ini

dapat membahayakan jiwa ibu dan janin.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Alatas. 2019. Seminar Nasional Penyakit Tidak Menular Penyebab Kematian


Maternal. Purwokerto.

Amalia, dkk. Jurnal Kesehatan Reproduksi tentang Gangguan Fungsi Ginjal Pada
Ibu Hamil PEB dengan Dislipidemia di RSUD Kelas B Serang II (1)
Tahun 2020. [Diakses tanggal 25 Desember 2021]. Didapat dari :
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id

Anggraeni, dkk. 2018. Hipertensi Dalam Kehamilan. Mojokerto: Stikes Majapahit

Aprilia. Jurnal Kesehatan Andalas tentang Penyakit Ginjal Kronis Pada


Kehamilan Vol 8 No 3 Tahun 2019. [Diakses tanggal 25 Desember
2021]. Didapat dari : ejournal.poltekkes-smg.ac.id

Apriliana; Indah. Jurnal Kedokteran Unila tentang Hubungan Antara PE dalam


Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Volume 5
Nomer 5. [Diakses tanggal 25 Desember 2021]. Didapat dari :
http://juke.kedokteran.unila.ac.id

Kadir. Jurnal Ilmiah Kedokteran tentang Hubungan Patofisiologi Hipertensi dan


Hipertensi Renal Voulume 5 Nomer 1 Edisi Maret 2016 hal 15-25.
[Diakses tanggal 25 Desember 2021]. Didapat dari :
https://journal.uwks.ac.id.

Karkata. Indonesian Journal Of Obstetris and Gynecology tentang Faktor Resiko


Terjadinya Hipertensi Dalam Kehamilan Vol 30 No 1 Januari 2006.
[Diakses tanggal 25 Desember 2021]. Didapat dari : http://inajog.com

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka.


37

Sarwadi; Linangkung. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Dunia
Cerdas.

Wahyuningsih; Kusmiyati. 2017. Anatomi Fisiologi. Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai