Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

““

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

PENGELOLAAN KELAS

Dosen pengampu :

Disusun oleh :

Kelompok 7

Muhamad Ilham 1710125310115

Julaiha Adha Dianti 1710125320088

Mardiatu Rahayu 1710125320103

Miftahul Janah 1710125220043

Leta Rahmita 1710125320093

Elham Maulana 1710125310079

Mahfika Nur Safitri 1710125320101

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Prinsip-prinsip
Pengelolaan Kelas” dengan baik walaupun masih banyak kekurangan didalamnya. Serta kami
juga berterima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Aslamiah, M. Pd, Ph.D dan Rizky Amelia, M. Pd
Selaku Dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Kelas yang sudah memberikan
kepercayaan menyelasaikan tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini akan bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan kita mengenai Pengelolaan Kelas. Kami pun menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang sudah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa dipahami bagi siapapun yang


membacanya.Sekiranya makalah yang sudah disusun ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri
ataupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf jika terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Anda demi perbaikan makalah ini di saat yang akan datang.

Banjarmasin, Februari 2020

Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................................4
D. Manfaat Penulisan.....................................................................................................................4
BAB II..............................................................................................................................................6
A. Teori Pembelajaran Piaget.........................................................................................................6
B. Teori Pembelajaran Bruner........................................................................................................8
C. Teori Pembelajaran Dienes........................................................................................................9
D. Teori Pembelajaran skemp.......................................................................................................10
E. Teori Belajar William Brownel Matematika............................................................................10
F. Teori Belajar William Brownel................................................................................................10
G. Teori Belajar Menurut Skinner................................................................................................10
H. Teori Pembelajaran Thorndike.................................................................................................11
I. Teori Pembelajaran Van Hiele.................................................................................................15
J. Problematika Pembelajaran Matematika Di SD Berdasarkan Tujuan Pembelajaran
Matematika......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
AAAAAA

B. Rumusan Masalah
1.
C. Tujuan Penulisan
1.
D. Manfaat Penulisan
1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Pembelajaran Piaget
Teori Piaget menekankan pada proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap
perkembangan kognitif dari anak tersebut (disesuaikan dengan umur anak). Proses
belajar menurut Piaget ini terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi, dan
equilibrasi.
Dikatakan proses asimilasi jika ada pengintegrasian informasi baru ke struktur
kognitif yang sudah ada di dalam benak siswa. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur
kognitif ke dalam situasi baru, sedangkan equilibrasi yaitu penyesuaian secara
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang siswa yang sudah memahami perkalian, jika gurunya
memperkenalkan tentang pembagian maka proses pengintegrasian antara perkalian yang
sudah didapat dengan pembagian sebagai informasi baru, inilah yang dinamakan
asimilasi. Jikasiswa diberikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan pembagian
maka situasi ini dikatakan proses akomodasi. Agar siswa dapat terus berkembang dan
menambah ilmunya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam diri siswa tersebut
diperlukan suatu proses penyeimbang (equilibrasi). Proses penyeimbang antara dunia
luar dan dunia dalam, tanpa proses ini perkembangan kognitif siswa akan tersendat-
sendat [ CITATION Roh20 \l 1057 ].
Proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir
intelektual konkrit ke abstrak menurut Piaget melalui empat periode berikut:
1. Periode sensorikmotor (0–2 tahun), karakterisktik periode ini merupakan gerakan-
gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul
karena anak melihat dan meraba objek-objek.
2. Periode pra-operasional (2–7 tahun). Pada periode ini berpikir anak secara kualitatif
lebih maju jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Perbedaan yang jelas
dengan periode sebelumnya adalah kemampuannya menggunakan simbol. Walaupun
demikian, anak-anak pada periode ini belum bisa memusatkan perhatian pada dua
dimensiyang berbeda secara nyata, tetapi proses berpikirnya didasarkan atas
keputusan yang dapatdilihat seketika.
3. Periode operasi konkret (7–11/12tahun). Periode ini ditandai dengan permulaan
berpikir matematika logis. Berpikir logis didasarkan atas manipulasi fisik terhadap
objek-objek. Dengan kata lain, periode operasi konkret adalah suatu transisi antara
periode pra-operasional dengan periodeoperasi formal. Anak-anak pada periode
operasi konkrit mulai dapat menerima pandangan orang lain, bahasa yang digunakan
sudah komunikatif, sanggup melakukan transformasi. Anak pada masa ini telah
mengembangkan tiga macam proses yang disebut operasi-operasi,yaitu:
(a) Reversibilitas merupakan kriteria utama untuk berpikir operasional,
(b) Asosiativitasyaitu kombinasi antara dua unsur atau lebih dapat dipertukarkan
urutan pengerjaannya,
(c) Identitas, adalah suatu operasi dimana diantara unsur-unsur suatu kelompok
terdapat suatuunsur nol.
Dengan menggunakan operasi-operasi tersebut, anak pada operasi konkret dapat
mengembangkan prinsip-prinsip konservasi yang berkenaan dengan kesadaran
bahwa kuantitas seperti massa, berat, luas dan volume adalah tetap, tanpa
menghiraukan perubahan.
Dalam segala aspek dari kuantitas itu. Prinsip konservasi bidang telah dimiliki
pada usia 10-11 tahun, sehingga bagaimanapun bentuk dan posisi bangun telah
mempengaruhi konsepsisiswa tentang suatu bangun.
4. Periode operasi formal (11 atau 12 tahun ke atas). Periode ini disebut juga periode
operasi hipotek deduktif yang merupakan tahap tertinggo dalam perkembangan
intelektual (Hudoyo, 1999: 160) dalam [ CITATION Mur16 \l 1057 ].
Tahap-tahap berpikir yang dikemukakan oleh Piaget itu adalah pasti dan spontan.
Namun umur kronologis yang diberikan itu fleksibel, terutama selama masa transisi
dariperiode satu ke periode berikutnya. Dengan kata lain, setiap anak pasti akan melalui
setiap periode walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Misalnya,anak yang
berumur 5 tahun mungkin telah ada pada tahun operasional konkrit, sedangkan
barangkali ada anak yang sudah berumur 7 tahun masih berada pada tahap pra-
operasional. Namun demikian urutan tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui
sama untuk semua anak.Agar seseorang berkembang dari satu periode ke periode
berpikir yang lebih tinggi,Piaget mengemukakan bahwa ada 5 faktor yang
mempengaruhi transisi ini, yaitu:kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logika
matematika, transmisi sosial dan proseskeseimbangan (Dahar, 2011: 157) dalam
[ CITATION Mur16 \l 1057 ].
Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan,
Piaget mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak.
Peningkatanpengetahuan memerlukan tindakan peserta didik dan interaksinya dengan
lingkungan,namun harus melalui konstruksi anak itu sendiri melalui operasi-operasi
(Orthon, 1993: 67) dalam [ CITATION Mur16 \l 1057 ]. Salah satu cara untuk
membangun operasi ialah dengan ekuilibrasi.
Berdasarkan teori Piaget tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengajar
matematika perlu memperhatikan faktor kesiapan siswa. Disisi lain, anak dikatakan
siapapa bila keterampilan berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya telah sesuai dengan
tuntutan materi yang akan dipelajarinya. Dengan demikian,mengajar bukan hanya
sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru dipindahkan pada siswa melainkan sebagai
prosesuntuk mengubah gagasan siswa yang mungkin ”salah” melalui konstruksi anak itu
sendiri. Disamping itu juga dipertimbangkan adanya kesempatan bertukar pikiran dan
bekerja samaantara siswa, sebab siswa tidak akan pernah sampai kepada pembentukan
operasi yang saling bersangkut paut yang menjadi suatu keseluruhan bila mereka tidak
saling bekerja sama (Hudoyo, 1999: 98) dalam [ CITATION Mur16 \l 1057 ].
B. Teori Pembelajaran Bruner
a. Konsep teori belajar menurut Bruner
Teori bruner dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning) sesuai
dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik [ CITATION Sir16 \l 1057 ].
Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada
dirinya (Aisyah, 2007: 1.5) dalam [ CITATION Rah16 \l 1057 ]. Bruner dalam
[ CITATION Rah16 \l 1057 ] berpendapat bahwa setiap individu pada waktu
mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan
cara untuk menyatakan kembali peristiwa atau benda tersebut di dalam pikirannya,
yaitu suatu model mental tentang peristiwa atau benda yang dialaminya atau
dikenalnya. Bruner juga mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya
diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara
khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika.
Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana
keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya
itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah
melekat pada dirinya (Aisyah 2007: 1.6) dalam [ CITATION Rah16 \l 1057 ].
b. Tahapan teori belajar menurut Bruner
Brunner dalam [ CITATION Sul19 \l 1057 ] menyatakan bahwa belajar adalah
upaya memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri, menemukan sesuatu
dengan caranya sendiri (discovery). Brunner dikenal dengan 3 tahap kognitif, yaitu 1)
enaktif (0-3tahun), 2) ikonik (3-8 tahun), 3) simbolik (lebih dari 8 tahun).
1) Tahap enaktif atau tahap kegiatan (Enactive) yaitu tahap belajar yang berhubungan
dengan benda-benda real atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya.
2) Tahap ikonik atau tahap gambar bayangan (Iconic) yaitu tahap belajar ketika anak
telah mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk
bayangan mental. Dengan kata lain, anak dapat membayangkan kembali
ataumemberikangambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang
dialami.
3) Tahap simbolik (Symbolic) yaitu tahap belajar ketika anak dapat mengutarakan
bayangan mental dalam bentuk simbol dan bahasa. Apabila ia bertemu dengan
suatu simbol, maka bayangan mental yang ditandai oleh simbol itu akan dapat
dikenalinya kembali”.
Pembelajaran matematika dengan menerapkan teori belajar Bruner menekankan
pembelajaran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa, yaitu
tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik, sehingga siswa dapat memahami
konsep dengan baik. Teori belajar Bruner dapat membangkitkan motivasi dan
membuat siswa dapat lebih aktif dalam pembelajaran [ CITATION Mar18 \l 1057 ].
C. Teori Pembelajaran Dienes
Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika
yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan
sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pelajaran matematika. Jika
matematika diajarkan dengan teori Dienes (permainan), maka siswa akan lebih tertarik
untuk belajar. Teori Dienes terdapat enam tahap berurutan dalam belajar matematika,
yaitu:(1) Permainan bebas (free play),(2) Permainan yang menggunakan aturan (games),
(3) permainan mencari kesamaaan sifat (searching for comunities),(4) Permainan dengan
representasi (representation),(5) Permainan dengan simbulisasi (symbulizaion),(6)
Formalisasi (formalization).
D. Teori Pembelajaran skemp
Pemahaman matematis merupakan dasar yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketercapaian
kemampuan pemahaman matematis siswa pada materi bangun ruang kelas V. Terdapat
dua faktor penghambat yang menyebabkan rendahnya pemahaman matematis yaitu
faktor internal dan eksternal. Skemp mengkategorikan dua macam pemahaman
berdasarkan tingkat kemampuan siswa, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman
relasional. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui pemahaman matematis siswa
berdasarkan teori pemahaman Skemp dan faktor penghambatnya ditinjau dari
kemampuan siswa. Metode yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Subjek penelitian ini adalah 6 siswa kelas V. Teknik pengumpulan data yang
digunakan berupa tes tertulis kemampuan pemahaman matematis, wawancara dan
dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa 4 dari 6 siswa berada pada
kategori pemahaman instrumental dan 2 siswa berada dalam kategori relasional maupun
instrumental. Siswa sebaiknya lebih sering diberikan soal beragam yang dapat
merangsang ide berpikir relasional agar mampu menyelesaikan masalah dengan
pemahamannya. Sehingga minat, antusiasme siswa pada pelajaran matematika
meningkat dan pengetahuan yang diperoleh menjadi optimal serta membuat
pembelajaran lebih bermakna.

E. Teori Belajar William Brownel Matematika


Ada beberapa teori belajar yang populer dan cocok untuk diterapkan pada
pembelajaran Matematika di Pendidikan Dasar, diantaranya adalah sebagai berikut: (a)
Teori belajar dari William Brownell. Menurut William Brownell, dalam mengerjakan
Matematika di Pendidikan Dasar sebaiknya: 1) Menggunakan alat peraga benda konkret,
2) materi disajikan secara permanen dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama.

F. Teori Belajar William Brownel


Anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika
belajar secara permanen atau terus menerus untuk waktu yang lama.Salah satu cara
bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan
menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika.
G. Teori Belajar Menurut Skinner
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan
pendekatan behaviorisme untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner
menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan
psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi
inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The
Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul
Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di
Amerika. B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan
pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui
proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme
melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam
beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik. Operant
Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang
dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai
dengan keinginan. Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: Dalam laboratorium
Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner
box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi
makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat
dialiri listrik. Karena dorongan lapar tikus berusaha keluar untuk mencari makanan.
Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan
tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai
peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping. Berdasarkan
berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur
terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan
negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan.
Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
H. Teori Pembelajaran Thorndike
Teori belajar yang dikemukakan Thorndike disebut “Connectionism” karena
belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal – hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, persaan atau gerakan ( tindakan ).
Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau tingkah
laku akibat kegitan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu dapat diamati. Teori ini sering
juga disebut “Trial and error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus
tertentu. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang
mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness),
hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
1. Hukum Kesiapan ( law of readiness )
Hukum ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk
bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan
kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan
kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan
bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang
melahirkan ketidakpuasan tersebut.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang siswa akan lebih
berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
2. Hukum Latihan ( law of ecexcise )
Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi akibatnya
hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon
dipergunakan, maka makin lemahlah hubungan yang terjadi.
Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon
memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering
terjadi, dan makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi
akan bersirfat otomatis. Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang
sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan
pengalamannya pada waktu sebelumnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak
positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya
tidak membosankan dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik.
Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada siswa, guru
menguji apakah siswa sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu
guru menanyakan apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk
pemetaan atau tidak. Jika tidak, siswa diminta untuk menjelaskan alasan atau
sebab-sebab kriteria pemetaan tidak dipenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini
dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti bahwa pengulangan
dilakukan dengan bentuk pernyataan dan informasi yang sama, melainkan dalam
bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga siswa tidak merasa bosan.
3. Hukum Akibat ( law of effect )
Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh
bagi tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan
yang dilakukan seorang siswa menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi
dirinya, tindakan tersebut cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap
tindakan yang mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan,
cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya ini hukum akibat lebih
mendekati ganjaran dan hukuman.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari
adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan dari siswa, dan cenderung
untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru
memberi senyuman wajar terhadap jawaban siswa, akan semakin menguatkan
konsep yang tertanam pada diri siswa. Katakan “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat
teliti”, dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi siswa yang kelak akan
meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Stimulus ini termasuk
reinforcement.
Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon siswa yang salah. Jika
kekeliruan siswa dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada
kemungkinan siswa akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Siswa
yang menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak
diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia
berikan adalah benar. Anggapan ini akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah
di saat siswa mengikuti tes.
Demikian pula siswa yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek,
perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat siswa diberi tes
berulang, namun hasilnya tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang
dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan
sangat merugikan siswa. oleh karena itu perlu dihilangkan. Dari hukum akibat ini
dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan
jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan
siswa. selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep
diingat siswa. Makin sering pengulangan dilakukan akan semakin kuat konsep
tertanam dalam ingatan siswa.
Aplikasi Teori Pembelajaran Thorndike pada pemebelajaran Matematika
Berbicara tentang matematika, matematika merupakan ilmu pasti yang tidak
ditalar, sehingga perlu pemahaman yang sangat baik dalam mempelajarinya. Salah satu
teori belajar yang dapat diterapkan adalah teori thorndike. Teori Thorndike dianggap
sesuai dengan konsep pembelajaran matematika sekolah, pemberian belajar ini cocok
karena dapat mengembangkan cara berpikir siswa
Sebelum tahun 50-an, kurikulum matematika sekolah dasar dipengaruhi oleh teori
Thorndike, terutama ditandai dengan pengembangan keterampilan komputasional
bilangan cacah, pecahan, dan desimal. Teori Thorndike disebut teori penyerapan, yaitu
teori yang memandang peserta didik sebagai selembar kertas putih, penerima
pengetahuan yang siap menerima pengetahuan secara pasif.
Menurut Thorndike (1924), dalam jurnal[ CITATION Fir19 \l 1057 ] belajar
dikatakan sebagai berikut: "learning in essentially the formation of connections or bonds
between situations and responses ... and that habit rules in the realm of thought as truly
and as fully in the realm of action". Pandangan belajar seperti ini mempunyai dampak
terhadap pandangan mengajar.
Konsep yang diterapkan dalam teori belajar thorndike yaitu konsep mencoba dan
mengulang, dimana siswa mencoba berlatih soal-soal secara berulang-ulang. Prinsip
dalam teori belajar throndike adalah siswa mampu memecahkan masalah. Sebagian besar
siswa merasa sulit dengan pembelajaran matematika, pemberian latihan yang hanya 1x
tidak akan melatih daya pikir siswa.
Dengan teori belajar thorndike siswa dituntut untuk bisa memahami konsep-
konsep dasar matematika. Pemberian soal latihan yang sulit kemudian dipecah menjadi
sederhana, secara tidak langsung akan menambah pemahaman siswa. Dengan Berulang-
ulang diberikan soal rumit, maka siswa dapat menguasai konsep dan akan merasa mudah
dalam mengerjakan soal tersebut. Semakin banyak siswa berlatih dalam mengerjakan
soal-soal maka siswa akan paham konsep matematika, dan menambah daya pikir siswa.
Aplikasi teori thorndike memiliki konsep yang sesuai terhadap pembelajaran
matematika, yang dapat mempermudah siswa dalam menyelesaikan soal-soal
matematika. Teori thorndike menekankan siswa untuk banyak berlatih dan mencoba atau
dikenal dengan istilah lain “trial and error” , dengan demikian siswa banyak berlatih
soal-soal latihan matematika dan meningkatkan pemahaman matematika siswa.
Implikasi dari teori belajar Thordike berindikasi kepada bagaimana seorang guru
dapat menstimulus siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir mereka untuk
menyelesaikan permasalahan kehidupan. Dengan kata lain, guru membentuk pola pikir
siswa sesuai dengan stimulus yang diberikan. Penerapan teori belajar Thorndike
(Connectionisme) dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
Pertama, sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan
siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut, setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Kedua, pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang
kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa. Dengan
kata lain, materi yang diberikan memiliki hubungan dengan materi sebelumnya.
Ketiga, pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu
siswa mengingat materi terkait lebih lama. Hal ini sesuai dengan Teorema konektivitas
yang menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep lain
yang relevan.
Keempat, siswa yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan
yang belum baik harus segera diperbaiki, dalam belajar. Hal ini senada dengan Wibowo
(2015) dalam jurnal [CITATION Ams18 \p 56 \l 1057 ] bentuk penguatan yang diberikan oleh
guru terhadap tingkah laku positif yang ditunjukkan oleh siswa dapat berupa pemberian
reward dalam bentuk benda (hadiah), verbal (seperti pujian), dan juga dalam bentuk
tingkah laku yang hangat, permisif, dan penuh penerimaan sehingga penguatan positif
tersebut dapat merubah tingkah laku siswa.
I. Teori Pembelajaran Van Hiele
Teori Van Hiele menyatakan ini menekankan kepada seseorang menggunakan
pemikirannya untuk belajar dari pengetahuannya yang didapatkan , sebagai suatu
pengingat dan sebagai proses berfungsinya kognisi dan pikiran seseorang [CITATION
Fir19 \p 828 \l 1057 ].
Pada teori pembelajaran ini, para pelajar dikenalkan dngan pembelajaran yang
dibagi menjadi beberapa tahap, agar proses pembelajaran dapat mudah dipahami. Selain
mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami
geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pengajaran
geometri.
Teori ini mengemukakan bahwa tahap berpikir setiap anak berlainan satu sama
lain kemudian saling bertukar pikiran, maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak akan mungkin dapat
mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak
tersebut. Kalaupun dipaksakan maka anak tidak akan memahaminya tapi nanti bisa
dengan melalui hafalan. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan cara
berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya ke tahap
yang lebih dari tahap sebelumnya.
Menurut Van Hiele dalam buku [ CITATION Ami15 \l 1057 ] ada tiga unsur dalam
pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran, jika
ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak
kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van
Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu; informasi
(information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication),
orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration).
1. Fase 1: Informasi (information)
Pada awal fase ini, guru dan siswa menggunakan tanya jawab dan kegiatan
tentang obyek-obyek yang dipelajari pada tahap berpikir yang bersangkutan. Guru
mengajukan 97 Psikologi Pembelajaran Matematika Menurut Van
Hiele,Frudenthal, dan Confrey pertanyaan kepada siswa sambil melakukan
observasi. Tujuan kegiatan ini adalah:
1) Guru mempelajari pengetahuan awal yang dipunyai siswa mengenai topik
yang di bahas.
2) Guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan
pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
2. Fase 2: Orientasi langsung (directed orientation)
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat
disiapkan guru. Aktifitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa
struktur yang memberi ciri-ciri untuk tahap berpikir ini. Jadi, alat ataupun bahan
dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan repon khusus.
3. Fase 3: Penjelasan (explication)
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang
muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk membantu
siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan
seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap
berpikir ini mulai tampak nyata.
4. Fase 4: Orientasi bebas (free orientation)
Siswa mengahadapi tugas-tugas yang lebih komplek berupa tugas yang
memerlukan banyak langkah, tugastugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan
tugas-tugas open ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara
mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi
diantara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antara obyek-
obyek yang dipelajari menjadi jelas.
5. Fase 5: Integrasi (Integration)
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat
membantu dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global
terhadap apaapa yang telah dipelajari siswa. Hal ini penting tetapi, kesimpulan ini
tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai
tahap berpikir yang baru.Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada
tahap sebelumnya.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit
dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Dienes karena ia hanya
mengkhususkan pada pengajaran geometri saja.
J. Problematika Pembelajaran Matematika Di SD Berdasarkan Tujuan Pembelajaran
Matematika
Menurut hasil pengamatan observasi dan wawancara yang dilakukan dengan
Bapa Muktahar, S.Pd selaku wali kelas V SDN Kuin Cerucuk 1 menyatakan bahwa
siswa belum berfikir secara kritis dan belum memiliki kepercayaan diri dalam kegiatan
menanya serta menggali informasi secara mandiri, pemahaman pembelajaran matematika
pada siswa masih kurang, kebanyakan siswa mengikuti proses pembelajaran secara pasif,
siswa hanya mengikuti informasi yang telah diberikan kepada siswa sehingga siswa tidak
dapat mengembangkan sendiri mengenai informasi yang diberikan oleh guru untuk
menjadi informasi yang baru. Ketergantungan akan bimbingan guru masih sangat
dibutuhkan siswa sehingga siswa pada saat menemukan permasalahan didalam
pembelajaran matematika siswa tidak mampu memecahkannya dan hanya menunggu
intruksi dari guru sehingga membuat siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran.
Dari situasi tersebut implementasi kurikulum 2013 ditingkat sekolah belum dapat
dikategorikan berjalan secara maksimal dan berhasil sepenuhnya.
Berdasarkan observasi nilai hasil observasi menyatakan bahwa siswa kelas V
secara umum masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep materi volume kubus
dan balok. Lebih khususnya masih banyak siswa yang belum mampu menentukan rumus
volume kubus dan balok baik secara langsung maupun dengan gambar kubus dan balok
karena materi ini memerlukan ketelitian dalam membedakan bentuk dan rumusnya.
Terjadinya permasalahan belajar pada materi tersebut terbukti dengan rendahnya hasil
belajar siswa, terlihat pada nilai hasil belajar siswa pada tahun 2019/ 2020 dengan jumlah
siswa sebanyak 23 orang hanya 9 siswa yang tuntas atau secara klasikal sebanyak 39%
yang mencapai ketuntasan, dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata
pelajaran Matematika adalah sebesar ≥65. Hal ini secara keseluruhan belum mencapai
ketuntasan klasikal yang ditentukan yaitu sekurang-kurangnya 80% siswa mampu
mencapai KKM.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa masalah yang
dihadapi guru pada saat pelaksanaan kurikulum 2013 yang berdampak pada
ketidaktuntasan belajar adalah kurangnya aktivitas siswa saat proses pembelajaran,
kurangnya kedisiplinan belajar siswa, tidak adanya interaksi antara siswa di dalam kelas
untuk menambah pengetahuan seperti saling bertukar pikiran atau berdiskusi dan siswa
tidak terbiasa dengan pembelajaran yang menekankan pada sikap serta berpikir ilmiah.
Dari masalah-masalah yang dikemukakan di atas, perlu dicari solusi baru dalam
pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran, yang
mengutamakan penguasaan kompetensi harus berpusat pada siswa, memberikan
pembelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan
nyata dan mengembangkan materi yang kaya dan kuat kepada siswa. Di mana guru pada
pembelajaran kooperatif lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa karena
guru banyak mengajukan kepada siswa dan membantu siswa dalam menyampaikan
pendapatnya. Dengan model ini guru juga dapat melatih siswa agar dapat berpikir secara
logis dan sistematis. Selain itu semua siswa juga mempunyai kesempatan yang sama
untuk mengemukakan pendapatnya, dengan demikian semua siswa merasa mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dalam proses pembelajaran di kelas.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, tindakan yang perlu
dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran yang mampu melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan, dan
mengembangkan aktivitas dan menghasilkan pembelajaran yang bermakna sesuai dengan
materi pelajaran yang sedang dipelajari. Selain itu, siswa dalam kegiatan belajar
mengajar siswa dapat termotivasi, semangat dan perhatian serta antusias dalam
mengikuti pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat mencapai peningkatan hasil
belajar yang optimal.
Problematika Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Salah satu
problematika dalam pembelajaran matematika adalah rendahnya atau kurangnya minat
siswa terhadap pelajaran matematika. Minat belajar matematika dapat diartikan sebagai
keterlibatan diri secara penuh dalam melakukan aktivitas belajar matematika baik di
rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Siswa yang mempunyai minat belajar matematika
berarti mempunyai usaha dan kemauan untuk mempelajari matematika.
Beberapa tips berikut ini dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran
matematika.
a. Sebagai guru berusahalah supaya cara mengajarnya lebih menarik bagi para siswa
sehingga mereka menyukai Anda dan pelajarannya. Cobalah untuk sabar dan
telaten menuntun mereka belajar. Berilah bentuk-bentuk permainan matematika
yang dapat menunjang materi matematika.
b. Jangan memaksa anak menghafal rumus matematika. Ajaklah mereka memahami
teori dan langkah-langkah pengerjaan soal dengan memberi contoh yang dekat
dengan dunia anak-anak. Gunakanlah benda-benda konkrit yang ada disekitar
lingkungan belajar dalam menjelaskan konsep matematika
c. Cobalah membuat sketsa untuk mempermudah siswa memahami soal cerita.
Khusus untuk geometri (pelajaran ruang bangun), ajaklah siswa membuat alat
peraga bersama. Buatlah alat peraga yang dapat menarik perhatian siswa dan
dapat meningkatkan pemahaman materi matematika.
d. Berikanlah soal-soal kepada siswa dari yang mudah sampai yang sulit (bervariasi)
sebagai latihan, Guru dan semua siswa mencoba menyelesaikan semua soal itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Z., & Risnawati. (2015). Psikologi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Amsari, D., & Mujiran. (2018). Implikasi Teori Belajar E.Thorndike ( Behavioristik )dalam
Pembelajaran Matematika. Jurnal Basicedu Volume 2 Nomor 2 , 56.
Firliani, Nur Ibad, Nauval DH, & Nurhikmayati, I. (2019). Teori Thorndike dan Implikasinya
dalam Pembelajaran Matematika. Seminar Nasional Pendidikan, FKIP UNMA 2019
“Literasi Pendidikan Karakter Berwawasan Kearifan Lokal pada Era Revolusi
Industri 4.0”., 828-830.
Nasution, M. (2015). Teori Pembelajaran Matematika Menurut Aliran Psikologi
Behavioristik (Tingkah Laku). Logaritma Vol.III, No. 01, 113-114

Marlina, L., Margiati, K. Y., & Sabri, T. (2018). Pengaruh Penerapan Teori Bruner Terhadap
Hasil Belajar Matematika Kelas III Sekolah Dasar.
Mursalin. (2016). Pembelajaran Geometri Bidang Datar di Sekolah Dasar Berorientasi Teori
Belajar Piaget. Jurnal Dikma Vol. 4 No. 2.
Rahayu, E. (2016). Keefektifan Pendidikan Matematika Realistik Berbasis Teori Belajar
Bruner Terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Materi Bangun Datar Siswa Kelas III
SDN Manyaran 01 Kota Semarang . Semarang: Tidak Diterbitkan.
Rohaendi, S., & Laelasari, N. I. (2020). Penerapan Teori Piaget dan Vygotsky Ruang
Lingkup Bilangan dan Aljabar pada Siswa Mts Plus Karangwangi. Jurnal Prisma Vol.
9 No. 1.
Siregar, S. U. (2016). Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Menurut
Teori Belajar Bruner dan Teori Belajar Vygotsky pada Kompetensi Dasar
Menghitung Luas dan Keliling Bangun Datar Kelas V Semester 2 SDN 114375
Binaraga Rantauprapat. Jurnal Sigma Vol. 2 No. 2, 51-53.
Sulistiawati. (2019). Pembellajaran Matematika Gasing Ditinjau dari Berbagai Perspektif
Teori Belajar. Jurnal Teorema Teori dan Riset Matematika Vol 4 No 1, 41-54.

Yolanda, Murshalina Putri. 2020. Meningkatkan Aktivitas, Disiplin Dan Hasil Belajar
Muatan Matematika Materi Volume Kubus Dan Balok Menggunakan Model Patin
Pada Siswa Kelas V Sdn Kuin Cerucuk 1 Banjarmasin: Fkip Ulm Banjarmasin
Ukhti Raudhatul Jannah Jurnal Kependidikan 8 (2), 2013
Annisa Mustika Universitas Pendidikan Indonesia, 2019
file:///C:/Users/W10N/Downloads/354-Article%20Text-1819-1-10-20190717.pdf
https://www.academia.edu/download/62468175/Teori_Behaviorisme20200324-92458-
wgwfxv.pdf
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JISIP/article/view/1026/980
https://bdksemarang.e-journal.id/Ed/article/view/12/6

Anda mungkin juga menyukai