Anda di halaman 1dari 11

PENJELASAN MATERI PPT

Lebih dari 50 tahun yang lalu Billingham dan Medawar mencetuskan konsep bagaimana
janin di dalam kandungan ibu dapat hidup hingga usia kehamilan cukup bulan tanpa mengalami
reaksi penolakan dari sistem imun maternal. Konsep ini dilahirkan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana janin dapat bertahan hidup di dalam kandungan ibunya tanpa memicu suatu reaksi
penolakan sama sekali dari tubuh ibunya, meskipun janin tersebut memiliki antigen yang berasal dari
ayahnya (antigen paternal) ? konsep bahwa janin memiliki genom yang berasal sebagian dari ayah
dan sebagian dari ibu sehingga janin akan mempresentasikan antigen yang terdapat pada ayah dan
ibu (semi-alogenik) telah diketahui sebelumnya. Ekspresi antigen paternal janin di dalam tubuh ibu
tentu dapat memicu reaksi penolakan sistem imun maternal berdasarkan hukum transplantasi.
Keberhasilan transplantasi transplantasi organ padat akan sangat ditentukan oleh reaksi penolakan
sistem imun resipien terhadap aloantigen yang diekspresikan oleh jaringan donor. Namun, dengan
perkembangan teknologi di dalam bidang kedokteran reaksi penolakan sistem imun resipien
terhadap aloantigen jaringan donor saat ini dapat dicegah dengan pemberian obat-obatan imuno-
supresi.

Janin adalah suatu jaringan yang bersifat alogenik dan berada di dalam tubuh seorang ibu
yang memiliki imunokompeten untuk menimbulkan suatu reaksi penolakan. Namun, umunya reaksi
penolakan tidak akan terjadi. Billingham dan Medawar membuat beberapa hipotesis yang mencoba
untuk menjelaskan mengapa sistem imun maternal tidak bereaksi terhadap janin yang bersifat semi-
alogenik, sebagai berikut. (1). Hipotesis mengenai pemisahan secara anatomis antara maternal dan
janin ; (2). Hipotesis mengenai imunogenisitas dari janin yang rendah karena masih bersifat imatur ;
(3). Hipotesis mengenai kelambanan atau kemalasan sistem imun maternal untuk bereaksi terhadap
antigen-antigen dari janin.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian selanjutnya, ternyata dapat disimpulkan bahwa sistem


imun maternal menunjukkan toleransi tehadap antigen-antigen yang terdapat pada jaringan janin.
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah jaringan janin yang bersifat semialogenik tersebut langsung
mengadakan kontak dengan sistem imun maternal karena pada kenyataannya sirkulasi keduanya
tetap terpisah selama masa kehamilan. Pada kenyataannya pula bahwa hanya jaringan plasenta dan
membran janin sajalah yang langsung mengadakan kontak dengan sirkulasi maternal. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu yang bersifat spesifik dari
jaringan plasenta dan membran janin yang dapat memicu toleransi sistem imun maternal pada
jaringan janin. Selain pada sisi janin, diduga pula bahwa terjadi perubahan pada sistem imun
maternal selama kehamilan sehingga akan memicu reaksi toleransi terhadap jaringan janin.

SISTEM IMUN

Sistem imun adalah suatu organisasi yang terdiri atas sel-sel dan molekul-molekul yang
memiliki peranan khusus dalam menciptakan suatu sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi atau
benda asing. Terdapat dua jenis respons imun yang berbeda secara fundamental, yaitu (1) respons
yang bersifat innate (alami/nonspesifik), yang berarti bahwa respons imun tersebut akan selalu sama
seberapapun seringnya antigen tersebut masuk ke dalam tubuh; dan (2) respons yang bersifat
adaptif (didapat/spesifik), yang berarti bahwa akan terjadi perubahan respons imun menjadi lebih
adekuat seiring dengan semakin seringnya antigen tersebut masuk kedalam tubuh.
Respons imun yang bersifat innate biasanya akan menggunakan (1) sel-sel yang bersifat
fagositik seperti neutrofil, monosit, makrofag ; (2) sel-sel yang akan menghasilkan mediator-
mediator inflamasi seperti basofil, sel mast, dan eosinofil; dan (3) sel Natural Killer (NK). Selain itu,
sistem respons innate juga memiliki molekul-molekul, seperti komplemen, protein fase akut, dan
sitokin. Sementara itu, respons adaptif akan terlihat dengan adanya proliferasi sel-sel limfosit T dan
B. Sel limfosit B akan menghasilkan antobodi, sementara sel limfosit T akan membunuh patogen
intraseluler dengan cara mengaktifkan makrofag atau membunuh secara langsung sel-sel yang
terinfeksi oleh virus.

Sistem imun dalam tubuh manusia akan bereaksi apabila mampu mengenali kuman ataupun
benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun akan mampu mengenali apabila kuman atau
benda asing tersebut dapat menempati (dikenali) reseptor-reseptor yang ada pada sel-sel imun
innate ataupun adaptif. Molekul – molekul yang dapat dikenali oleh reseptor sel-sel imun disebut
sebagai antigen. Antigen tersebut juga sangat bervariasi, mulai dari yang hanya memiliki struktur
kimia yang sederhana hingga yang memiliki struktur kimia yang kompleks. Lokasi tempat berikatan
reseptor dengan molekul-molekul tersebut sangat terbatas. Oleh karena itu, pada molekul-molekul
dengan struktur yang kompleks hanya mengenali sebagian kecil dari bagian struktur yang kompleks
yang disebut sebagai epitop. Artinya, suatu molekul dengan struktur yang kompleks akan memiliki
epitop yang bervariasi (mosaik).

Mikroorganisme yang ditemukan sehari-hari oleh seoranf manusia yang sehat umunya tidak
akan menimbulkan gejala penyakit sama sekali, karena umunya akan berhasil dikenali dan
dihancurkan oleh respons imun innate dalam hitungan menit atau jam. Untuk dapat bekerja dengan
efektif reseptor imun innate harus mampu mendeteksi antigen-antigen yang bersifat asing (non-
self). Namun, berbeda dengan reseptor yang ada pada respons imun adaptif, maka dalam respons
imun innate reseptor-reseptor yang ada relatif lebih terbatas dan konstan dari generasi ke generasi.
Meski demikian sistem imun innate tetap mampu mengenali mikroorganisme walaupun tingkat
mutasi yang terjadi pada mikroorganisme tersebut cukup tinggi kejadiannya. Hal ini disebabkan oleh
(1) reseptor-reseptor tersebut hanya akan mengenali pola-pola molekul tertentu yang dimiliki oleh
sebagian besar mikroorganisme; (2) pola-pola molekul tersebut harus merupakan suatu produk yang
akan mempengaruhi patogenitas serta survival dari mikroorganisme tersebut, sehingga akan selalu
dikonservasi dan jarang mengalami mutasi; (3) struktur-struktur yang akan dikenali tersebut berbeda
dengan self antigen ; (4) molekul-molekul yang dikenali tersebut harus merupakan petanda dari
patogenisitas (Pathogen Associated Moleculer Patterns = PAMPs). Meski demikian, reseptor-
reseptor imun innate akan kesulitan apabila patogen tersebut berkembang biak di dalam sel
sehingga komponen-komponennya akan dibentuk di dalam sel, contohnya virus. Namun, karena
sistem imun kita bersifat redundancy yang berarti mekanisme yang satu akan selalu dilapis oleh
mekanisme yang lain, maka infeksi virus tersebut tetap dapat dikenali oleh sistem imun innate
dengan cara mengenali perubahan yang terjadi pada membran sel yang terinfeksi atau mendeteksi
terjadinya perubahan pada petanda self antigen, yaitu Human Leukocyte Antigen (HLA).

Apabila mikroorganisme tersebut mampu untuk mengatasi hadangan dari sistem imun
innate maka akan dihadapi oleh sistem imun adaptif. Mikroorganisme beserta produk-produknya
yang berada di ekstraseluler akan dikenali oleh reseptor-reseptor yang ada pada sel limfosit B, dalam
hal ini adalah antibodi. Sementara untuk mikroorganisme yang berada di intaseluler, produk-
produknya akan dikenali oleh reseptor-reseptor dari limfosit T (T cell receptor = TCR). TCR akan
mengenali fragmen-fragmen peptida yang berasal dari mikroorganisme intrasel dan dipresentasikan
oleh HLA pada permukaan sel atau sel-sel khusus yang disebut sebagai Antigen Presenting Cell (APC)
seperti sel dendritik, makrofag, dan limfosit B.

Untuk menjamin agar sistem imun adaptif hanya bereaksi pada mikroorganisme atau benda
asing yang berbahaya saja sistem imun membuat sistem pengendali diantaranya adalah pengawasan
terhadap sel T, yaitu hanya sel T yang tidak bereaksi terhadap self antigen yang dapat masuk ke
dalam sirkulasi perifer melalui mekanisme seleksi sel T di Thymus. Selanjutnya, apabila TCR mampu
mengenali fragmen peptida yang dipresentasikan oleh APC, hanya dengan kehadiran molekul
konstimulator sajalah maka sel T akan bereaksi. Molekul konstimulator tersebut akan terpicu apabila
reseptor pada sistem imun innate reaktivasi.

Gambar 1. Untuk terjadinya aktivasi respons imun adaptif dibutuhkan peptida fragmen dari patogen
yang dipresentasikan oleh HLA Kelas II dari APC dan dikenali oleh TCR limfosit T, dan untuk
memastikan bahwa fragmen peptida tersebut bukan self antigen, maka terdapat sistem pengendali
yang dilakukan oleh molekul konstimulator yang dipicu oleh pengenalan PAMPs oleh reseptor imun
innate pada APC.

Human Leukocyte Antigen (HLA)

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa HLA memegang peranan penting dalam hal
aktivasi respons imun baik yang bersifat innate maupun adaptif. Kalau sistem imun innate cara
mengenali antigennya lebih kepada pengenalan struktur karbohidrat ataupun lipid yang asing, yang
tidak ditemukan di dalam tubuh (non-self), maka respons imun adaptif lebih melakukan pengenalan
kepada struktur peptida yang berasal dari protein asing (non-self). Pengenalan terhadap struktur
peptida ini akan lebih menguntungkan karena diversitas struktur peptida ternyata lebih banyak jika
dibandingkan dengan karbohidrat ataupun lipid. Oleh karena itu, diharapkan sistem imun adaptif
dapat lebih mengenali secara spesifik suatu imunogen sehingga dapat memicu suatu respons imun
yang lebih spesifik.
HLA adalah suatu molekul yang akan mempresentasikan fragmen peptida pada permukaan
sel. Fragmen peptida yang dipresentasikan oleh HLA berasal dari protein eksogen ataupun endogen
yang diproses baik melalui jalur endositik (HLA kelas II) maupun jalur sitositik (HLA kelas I). Fragemen
peptida yang dipresentasikan juga berasal dari protein self dan non self . Oleh karena proses tadi
berjalan secara terus menerus, maka permukaan sel akan dipenuhi oleh HLA-HLA dengan fragmen
dengan fragmen peptidanya masing-masing. Sel-sel yang tidak terinfeksi tentu saja hanya akan
mempresentasikan fragmen-fragmen peptida self. Oleh karena itu, HLA juga bersifat sebagai
petanda imunogenik di mana memiliki fungsi untuk membedakan antara sel-sel yang berasal dari diri
sendiri (self) dengan sel-sel yang berasal dari orang lain (non self) atau disebut sebagai
histokompatibilitas. Oleh karena itu, HLA sering disebut pula Major Histocompatibility Compex
(MHC) yang ada pada manusia. Dasar-dasar pengetahuan mengenai HLA saat ini telah jauh
berkembang seiring dengan semakin majunya ilmu kedoteran transplantasi. Hal ini jugalah yang
mendasari pemikiran-pemikiran mengenai keilmuan imunologi reproduksi.

HLA berdasarkan struktur dan fungsinya terdiri atas 2 kelas, yaitu kelas I dan kelas II. HLA
akan dikoding oleh gen yang terletak pada kromosom no 6 tepatnya pada 6p21.31 (lengan pendek).
Paling tidak telah dikenali 20 gen dari HLA kelas I yang hanya mengoding untuk ranta α saja, di mana
tiga di antaranya termasuk ke dalam HLA klasik/kelas Ia diantaranya adalah HLA-A, HLA-B, dan HLA-
C. HLA kelas I yang klasik memiliki fungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida 9antigen)
kepada sel limfosit T sitotoksik (CD8+) dan biasanya dimiliki oleh seluruh sel somatik meski
ekspresinya akan sangat bervariasi bergantung pada jenis jaringannya. Selain HLA I klasik, juga
terdapat kelompok non klasik / kelas Ib yang terdiri atas HLA-G, HLA-E, dan HLA-F. Nonklasik seperti
HLA-G banyak dibicarakan perannya dalam menentukan keberhasilan kehamilan. Sementara gen
yang akan mengoding HLA kelas II akan mengoding rantai α dan β dan penamaannya akan
menggunakan 3 huruf: (1) D untuk menyatakan kelas II; (2) M, O, P, Q, atau R untuk menunjukkan
famili; dan (3) A dan B untuk menunjukkan rantai α dan β. Yang sering dikenal adalah HLA-DP, HLA-
DQ, daqn HLA-DR. HLA kelas II berfungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida (antigen) kepada
sel limfosit T helper (CD4+) dan biasanya diekspresikan oleh subkelompok dari sel-sel imun seperti
sel dendritik, makrofag, limfosit B, limfosit T yang teraktivasi, dan epiteliel timus.

Tiap HLA memiliki kemampuan untuk mengikat fragmen peptida pada peptide binding site-
nya. Masing-masing HLA memiliki peptide binding site yang bentuknya berbeda, sehingga fragmen
peptida yang akan terikat juga akan berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh protein HLA yang
dikoding oleh kromosom 6. Seorang manusia akan menerima gen yang berasal dari kedua orang
tuanya. 1 gen yang berasal dari ayah dan 1 gen yang berasal dari Ibu. Oleh karena itu, apabila HLA
kelas I terdapat 3 lokus gen dan HLA kelas II memiliki 3 lokus gen, maka setiap individu akan
memiliki 6 jenis HLA kelas I dan 6 jenis HLA kelas II. Saat ini diketahui tiap lokus gen HLA memiliki
beberapa alel. Contohnya HLA-A dapat memiliki 115 alel, sementara HLA-B dapat memiliki 301 alel.
Oleh karena itu, gen HLA dikenal sebagai sistem gen yang bersifat polimorfik. Bagian yang polimorfik
ini justeru umumnya terdapat pada peptide binding site. Oleh karena itu, tiap jenis HLA dari alel yang
berbeda dapat mengikat fragmen peptida yang berbeda pula. Selain bersifat polimorfik HLA akan
diekspresikan secara kodominan, yang berarti apabila seseorang memiliki 6 jenis HLA kelas I, maka
keenam-enamnya akan diekspresikan pada setiap permukaan sel somatik.
SEL-SEL IMUN DI UTERUS

Uterus sebagai organ tempat kehamilan akan berlangsung tentu memiliki peranan penting
dalam proses penerimaan embrio. Lapisan endometrium uterus dapat dianggap sebagai jaringan
limfoid tersier setelah jaringan limfoid primer pada sumsung tulang dan timus dan jaringan limfoid
sekunder pada kelenjar getah bening, limpa, Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT). Hal ini
disebabkan leukosit ditempukan jumlahnya cukup banyak baik pada daerah stroma maupun epitel
dari lapisan endometrium. Sejumlah sel leukosit didapatkan baik secara tersebar maupun
berkelompok bersebelahan dengan kelenjar endometrium pada stratum basalis, dan pola ini tidak
akan berubah sepanjang siklus haid. Namun, jumlah sel-sel leukosit pada stratum fungsional akan
sangat berbeda pada setiap fase dari siklus haid. Yang paling menonjol adalah perubahan pada
jumlah sel NK . Jumlah sel NK akan meningkat secara bermakna pascaovulasi dan jumlahnya akan
tetap banyak pada lapisan desidua saat usia kehamilan dini.

Gambar 2. Jumlah sel leukost pada mukosa uterus sepanjang siklus haid dan pada masa kehamilan
dini tampak sel NK sangat dominan pada fase pascaovulasi hingga masa kehamilan dini.

BEBERAPA HIPOTESIS MENGENAI KEBERHASILAN KEHAMILAN TERKAIT DENGAN RESPONS IMUN.

Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa janin mewarisi setengah genom dari ayahnya,
maka mau tidak mau sel-sel janin akan mengekspresikan HLA dan peptida self yang mirip dengan
ayahnya. Hal ini tentu dapat memicu reaksi penolakan oleh sistem imun maternal, karena HLA dan
peptida self dari ayahnya akan dianggap sebagai antigen non self oleh sistem imun maternal. Untuk
menjelaskan mengenai mekanisme toleransi sistem imun maternal terhadap antigen paternal dari
janin, saat ini berkembang teori mengenai peran plasenta sebagai suatu barier imun bagi antigen
paternal janin sehingga antigen paternal janin tidak dapat dikenali dan kemudian ditolak oleh sistem
imun maternal.

Dalam kehamilan jaringan plasentalah yang akan langsung mengadakan kontak dengan
sistem imun maternal. Hal ini disebabkan oleh karena sel-sel trofoblas akan menginvasi hingga ke
pembuluh darah maternal. Respons imun yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan hukum
transplantasi di mana seharusnya terjadi reaksi penolakan, karena sel-sel trofoblas yang berasal dari
janin seharusnya juga memiliki HLA paternal. Namun, ada hal-hal yang harus dipertimbangkan
bahwa sel-sel trofoblas itu berbeda dengan sel-sel somatik lainnya. Oleh karena itu, respons imun
yang ditimbulkan tentu akan sangat berbeda.

Tampaknya respons imun maternal yang ditimbulkan dalam kehamilan dapat dipicu oleh
karena adanya interaksi antara sel-sel janin pada plasenta dan juga pengaruh faktor sistemik
maternal lainnya hormon. Dibawah ini adalah beberapa hipotesis yang coba dibangun untuk
berupaya menjelaskan respons imun yang bersifat paradoks dalam kehamilan :

HIPOTESIS MENGENAI EKSPRESI HLA-G DI SEL-SEL TROFOBLAS

Sel-sel sinsisiotrofoblas yang merupakan lapisan terluar dari jaringan janin dan akan
berkontak dengan sistem imun maternal ternyata tidak mengekspresikan HLA-A dan HLA-B dan
hanya sedikit mengekspresikan HLA-C. Sebaliknya, sel-sel sinsisiotrofoblas tersebut mengekspresikan
salah satu HLA nonklasik, yaitu HLA-G. Berdasarkan ekspresi HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas
dapat dibagi menjadi 3 populasi, yaitu (a) sel-sel trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel
trofoblas disini akan langsung mengadakan kontak dengan sel-sel imun maternal dari sirkulasi
maternal, maka sel-sel trofoblasnya tidak akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali; (b) sel-sel
trofoblas endovaskular, yaitu sel-sel trofoblas yang menginvasi pembuluh darah arteri spiralis. Sel-
sel trofoblas disini akan berkontak langsung dengan sel-sel imun maternal pada sirkulasi maternal.
Namun, bedanya sel-sel trofoblas tersebut mengekspresikan HLA kelas I, seperti HLA-G, HLA-E, dan
HLA-C; dan (c) sel-sel trofoblas yang akan menginvasi lapisan desidua. Sel-sel ini juga berpotensi
untuk berkontak dengan sel-sel imun maternal yang terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel
trofoblas pada lapisan ini juga hanya akan mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan HLA-C.

Sel NK diketahui sebagai sel yang cukup dominan di lapisan desidua sel NK memiliki peran
dalam membunuh sel-sel tumor terutama yang mengalami mutasi sehingga ekspresi HLA kelas I-nya
menurun. Sebaliknya, resistensi terhadap efek membunuh sel NK ditunjukkan oleh sel-sel yang
memiliki ekpresi HLA kelas I yang tinggi. Kejadian ini disebut sebagai missing self htpotesis.
Gambar 3. Jenis-jenis sel trofoblas terkait dengan lokasinya. Berdasarkan lokasinya, sel-sel trofoblas
dapat memiliki ekspresi HLA kelas I yang berbeda meski umumnya di dominasi oleh ekspresi HLA
kelas I nonklasik.

HLA-G tampaknya berinteraksi dengan KIR seperti layaknya jenis-jenis HLA yang lain dan
akan menekan aktivitas sitotoksik dari sel NK. HLA-G yang bersifat monomorfik tampaknya
menunjukkan bahwa inhibisi terhadap sel NK berlaku secara umum tidak terkait dengan genom
paternalnya. HLA-G dapat ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu yang ada pada permukaan sel dan yang
bersifat solubel (sHLA-G).

Gambar 4. Sel-sel sehat yang memiliki HLA akan terhindar dari aktivitas pembunuhan oleh sel-sel NK,
karena HLA akan mengaktifkan KIR yang akan mencegah aktivitas sel NK. (KAR = Killing Activity
Receptor; KIR = Killing Inhibitory Receptor).

HIPOTESIS MENGENAI LEUKIMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DAN RESEPTORNYA.

Lapisan endometrium uterus tampaknya menghasilkan suatu molekul yang bersifat


hidrosolubel, yang disebut sebagai leukimia inhibitory factor (LIF) selama siklus haid terkait dengan
kadar progesteron. Sementara di sisi lainnya blastokista juga akan menghasilkan LIF-reseptor.
Selama periode implantasi lapisan desidua bersama dengan limfosit-limfosit Th2 akan menghasilkan
LIF, dan sel-sel sinsisiotrofoblas akan menghasilkan reseptor LIF pada desidua dan reseptor LIF pada
blastokista akan memfasilitasi proses implantasi. Selain itu, interaksi antara LIF dan reseptornya juga
terbukti dapat memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas.

HIPOTESIS MENGENAI INDOLEAMINE 2,3-DIOKSIGENASE (IDO)

IDO adalah suatu protein enzimatik yang berfungsi untuk katabolisme triptofon. Enzim
tersebut telah dibuktikan dapat dihasilkan oleh sel-sel sinsisiotrofoblas. Diperkirakan IDO yang
dihasilkan oleh sel-sel sinsisiotrofoblas akan merusak triptofon pada lapisan desidua yang
dibutuhkan untuk proliferasi sel-sel imun di lapisan desidua sehingga dapat memicu toleransi dari
sel-sel imun maternal terhadap embrio.
GAMBAR 5 IDO yang dihasilkan oleh sel-sel sinsisiotrofoblas akan mengatabolisme triptofan yang
dibutuhkan oleh sel-sel imun di lapisan desidua untuk berproliferasi sehingga akan memicu inaktivasi
sel-sel imun tersebut.

HIPOTESIS MENGENAI KESEIMBANGAN Th1-Th2

Sel T helper (CD4+) naive (Th0) saat mengenali antigen yang dipresentasikan oleh APC dapat
berdiferensiasi menjadi Th1 apabila mendapat sinyal berupa IL-12 dari IFN-γ, atau menjadi Th2
apabila mendapat sinyal berupa IL-4. Sel-sel Th 1 akan menghasilkan sitokin-sitokin seperti IL-2 dan
IFN-γ, sementara Th2 akan menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, dan IL-13. Meski demikian Th1
dan Th2 juga sama-sama menghasilkan IL-3, TNF, dan GM-CSF. Pada penelitian-penelitian
sebelumnya dirunjukkan bahwa dominasi sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Th1 akan
berkorelasi dengan peningkatan kejadian keguguran. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai sitokin
yang akan mempertahankan kehamilan adalah sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh Th2. Meski
demikian, ternyata sitokin-sitokin tersebut tidak hanya dihasilkan oleh sel-sel imun saja, tetapi juga
oleh sel-sel trofoblas.

HIPOTESIS MENGENAI MAKROFAG SUPRESOR

Tampaknya ada jenis nakrofag lain selain makrofag yang telah dikenal secara klasik akan
teraktivasi setelah terstimulasi oleh IFN-γ atau lipopolisakarida (LPS), dan kemudian akan
menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi. Makrofag supresor ini diperkirakan akan menjaga rahim
tetap sebagai tempat yang bersifat immuno-privilaged, dengan cara menghasilkan sitokin-sitokin
yang bersifat non-inflamasi seperti IL-1 dan juga menghasilkan turunan oksigen bebas yang minimal
atau tidak sama sekali.

HIPOTESIS MENGENAI HORMON


Beberapa jenis sitokin dan hormon telah terbukti dapat dihasilkan oleh plasenta. Hormon
yang cukup penting yang dihasilkan oleh plasenta adalah progesteron, dimana pada beberapa
penelitian menunjukkan progesteron terbukti akan memicu produksi LIF pada endometrium, dan
juga akan memodulasi sistem imun maternal sehingga keseimbangan Th1 dan Th2 akan bergerak ke
arah dominasi Th2. Selain progesteron tampaknya hormon pertumbuhan juga akan memegang
peranan dalam memodulasi sistem imun, meski saat ini baru terbukti pada spesies Roden. Dalam
masa kehamilan plasenta akan menghasilkan placental Growth Hormone (pGH) yang memiliki
perbedaan 13 asam amino dibandingkan dengan Growth Hormone (GH) yang dihasilkan oleh
hipofisis. pGH akan menggantikan GH dalam sirkulasi maternal pada trimester kedua dan
diperkirakan dapat pula memodulasi sistem imun maternal.

Gambar 6 peran hormon progesteron, placental Groth Hormone, serta sitokin yang diprodukasi oleh
sel-sel trofoblas akan memodulasi respons imun sistem maternal

HIPOTESIS MENGENAI CD95 DAN LIGANNYA

Interaksi antara CD95 dan ligannya, yaitu CD95L, telah lama dikenal dalam bidang imunologi
yang berperan untuk memicu reaksi apoptis. Mekanisme interaksi CD95-CD95L umumnya digunakan
untuk menjelaskan pengaturan pergantian sel (cell turnover), pemusnahan sel-sel tumor, respon
antiviral, dan yang terpenting adalah untuk melindungi organ-organ tertentu dari aktivitas sel-sel
imun, contohnya pada organ yang harus dilindungi seperti mata dan testis (organ-organ yang
bersifat imuno-privilaged). Mekanismenya adalah sel-sel imun memiliki ekspresi CD95L sementara
organ-organ yang perlu dilindungi memiliki ekspresi CD95, sehingga ketika sel imun megadakan
kontak akan terjadi interaksi CD95-CD95L yang akan memicu apoptosis sel-sel imun tersebut
sehingga organ-organ tersebut akan terlindungi.

Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa sel-sel trofoblas mampu
menghasilkan CD95 dan dalam medium kultur mampu memicu apoptosis pada sel-sel limfosit T yang
mengekspresikan CD95L. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa sel-sel trofoblas mampu
memicu apoptosis sel-sel imun maternal apabila sel-sel imun mencoba untuk melakukan kontak
dengan sel-sel trofoblas.

Gambar 7 interaksi antara CD95 baik yang bersifat solubel, maupun yang ada di permukaan sel-sel
sinsisio trofoblas akan memicu apoptosis pada sel-sel imun maternal yang aktif.

HIPOTESIS MENGENAI ANEKSIN II

Aneksin II adalah anggota keluarga dari glikoprotein yang dapat berikatan dengan fosfolipid
bermuatan negatif. Aneksin adalah membrane associated protein yang umumnya dihasilkan baik
oleh sel-sel normal maupun sel-sel tumor. Namun, telah dibuktikan plasenta juga mampu untuk
menhasilkan aneksin. Dalam suatu penelitian telah dibuktikan bahwa aneksi II dapat menghambat
proliferasi sel-sel limfosit dan juga menghambat produksi antibodi IgG ataupun IgM oleh sel-sel imun
maternal.Oleh karena itu, molekul ini ditengarai juga memiliki peran dalam hal memicu toleransi sel
imun maternal kepada embrio

HIPOTESIS MENGENAI RENDAHNYA AKTIVITAS KOMPLEMEN


Dalam sistem imun innate, komplemen memegang peranan yang cukup penting dalam
menghancurkan sel-sel tumor atau asing, dengan cara bekerja sama dengan antibodi. Antibodi akan
mengenali antigen asing pada permukan sel tersebut dan selanjutnya antibodi akan bergabung
dengan komplemen untuk menghasilkan Membrane Attack complex (MAC) yang mampu melubangi
permukaan sel yang memiliki antigen asing tersebut sehingga sel tersebut akan mengalami
kehancuran. Namun, terdapat beberapa faktor yang menghambat mekanisme penghancuran
tersebut, diantaranya adalah Membrane Complement Protein (MCP) yang akan menduduki tempat
berikatannya antibodi dengan komplemen sehingga tidak dapat terjadi interaksi antara antibodi dan
komplemen; atau terdapatnya peningkatan Decay Accelerating Factor (DAF), di mana faktor tersebut
dapat meningkatkan tingkat penghancuran komplemen. Terjadinya hambatan pada kerja
komplemen akan melindungi sel-sel trofoblas yang memiliki antigen paternal untuk dapat
dihancurkan oleh sistem imun maternal.

Gambar 8 interaksi antara komplemen dan antibodi yang mengenali antigen asing dapat memicu
terbentuknya MAC yang mengakibatkan kerusakan pada sel. Namun, hal ini daoat dicegah dengan
meningkatnya MCP yang mencegah ikatan antara komplemen dan antibodi atau meningkatnya DAF
yang akan meningkatkan laju kerusakan komplemen.

HIPOTESIS MENGENAI PENYEMBUNYIAN ANTIGEN TROFOBLAS

Hipotesis ini masih bersifat spekulatif. Diperkirakan antigen-antigen paternal pada


permukaan trofoblas dikamuflase oleh suatu blocking antibody dan materi-materi fibrin atau lapisan
sialomusin. Selain itu, ada pula teori mengenai terbentuknya antiidiotipik antibodi terhadap antibodi
yang mengenali antigen paternal pada sel-sel trofoblas, sehingga antibodi tersebut tidak dapat
mengaktivasi sistem imun lainnya. Hal-hal tersebut diatas akan menyembunyikan ekspresi antigen
paternal pada janin sehingga dapat memicu reaksi toleransi dari sistem imun maternal.

Kesimpulan
Diperkirakan toleransi sistem imun maternal terhadap antigen paternal janin disebabkan oleh kerja
sama berbagai sistem dan mekanisme baik dari sisi janin maupun sisi maternal.

Anda mungkin juga menyukai