Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Kajian Distribusi Tegangan terhadap Stabilitas Penggalian Double Tunnel


pada Terowongan Cisumdawu, Sumedang, Jawa Barat
Singgih Saptono, Dwi Prio Utomo, M. Rahman Yulianto, Bagus Wiyono, Vega Vergiagara
Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Email: mhrahmanc@gmail.com

Abstrak
Terowongan Cisumdawu dibangun pada tanah lunak menggunakan metode New Austrian Tunneling Method.
Pada pembangunan terowongan Cisumdawu ada dua terowongan yang dibangun paralel secara horizontal dengan
jarak terowongan 16.843 m, panjang terowongan 472 m, dan diameter 14,413 m. Urutan penggalian terowongan
dan ketebalan tanah di atas terowongan akan mempengaruhi kondisi tegangan yang terjadi di sekitar terowongan,
oleh karena itu diperlukan analisis pada keadaan tersebut karena beberapa kasus keruntuhan terjadi karena
distribusi tegangan. Penggalian terowongan kiri akan dilakukan setelah terowongan kanan melakukan penggalian
sejauh 50 m. Jadi perlu untuk dilakukan analisis distribusi tegangan yang mempengaruhi stabilitas terowongan
karena tahapan penggalian terowongan kanan mempengaruhi distribusi tegangan pada penggalian terowongan
kiri. Analisis dilakukan pada setiap tahap penggalian dengan kondisi terowongan sebelum pemasangan sistem
pendukung sementara dan setelah pemasangan sistem pendukung sementara. Tulisan ini memberikan hubungan
antara tinggi overburden dengan distribusi tegangan. Berdasarkan hasil yang didapat, dapat diamati bahwa
semakin besar kedalaman overburden maka nilai tegangan mayor (sigma 1), tegangan minor (sigma 3), dan
displacement pada atap, dinding samping, invert akan lebih besar. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan
nilai strength factor dan displacement. Setelah dipasang sistem penyangga sementara, nilai tegangan mayor dan
besarnya perpinndahan akan lebih kecil tetapi nilai tegangan minor dan strength factor akan lebih besar. Analisis
dilakukan menggunakan pendekatan regangan 2-Dimensi metode elemen hingga. Penelitian ini dapat membantu
memperkirakan tingkat stabilitas terowongan sehingga kontraktor terowongan dapat merencanakan penggunaan
sistem pendukung yang tepat dan akurat.
Kata kunci: Metode elemen hingga, Stabilitas, Terowongan ganda

Abstract
The Cisumdawu tunnel was built on soft soil using the New Austrian Tunneling Method. In the construction of
the Cisumdawu tunnel, there are two parallel tunnels built horizontally with a tunnel distance of 16,843 m, a tunnel
length of 472 m, and a diameter of 14,413 m. The sequence of tunnel excavation and the thickness of the soil
above the tunnel will affect the stress conditions that occur around the tunnel; therefore, an analysis is needed in
this situation because several cases of failure occur due to stress distribution. The excavation of the left tunnel
will be carried out after the right tunnel has excavated 50 m. So, it is necessary to analyze the stress distribution
that affects tunnel stability because the right tunnel excavation stage affects the stress distribution in the left tunnel
excavation. Analysis was carried out at each stage of excavation with tunnel conditions before the installation of
the temporary support system and after the installation of the temporary support system. This paper provides a
relationship between overburden height and stress distribution. Based on the results obtained, it can be observed
that the greater the depth of the overburden, the greater the value of the major stress (sigma 1), minor stress (sigma
3), and displacement on the roof, sidewall, invert. This situation is inversely proportional to the strength factor
and displacement values. After the temporary support system is installed, the value of the major stress and the
magnitude of the displacement will be smaller, but the value of the minor stress and strength factor will be greater.
The analysis was carried out using a 2-Dimensional strain approach with the finite element method. This research
can help estimate the level of tunnel stability so that tunnel contractors can plan the use of appropriate and accurate
support systems
Keywords: Double Tunnel, Finite Element Method, Stability
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

1. Latar Belakang
Terowongan Cisumdawu terdiri dari dua terowongan sejajar horizontal dengan masing-masing diameter
terowongan yaitu 14,413 m yang terpisah sejauh 1 diameter , mempunyai panjang 472 m dan dibangun pada
kondisi massa batuan sangat lemah. Lokasi pembangunan terowongannya berada di Seksi II Rancakalong-
Sumedang, Fase 1 dan 2 pada Sta. 12+628 – 13+100, tepatnya di daerah Cigendel, Kecamatan Pamulihan. Metode
penggalian terowongan yang dipilih pada konstruksi terowongan Cisumdawu ini adalah metode NATM (New
Austrian Tunneling Method). Metode ini dinilai cocok untuk penggalian pada kondisi massa tanah seperti pada
terowongan Cisumdawu. Konstruksi terowongan pada massa tanah menjadi permasalahan yang cukup serius pada
pembangunan terowongan ini, sehingga diperlukan penanganan khusus seperti penentuan desain penyangga yang
sesuai dan pemantauan dinding terowongan agar tidak terjadi keruntuhan pada permukaan penggalian. Melalui
penyelidikan lapangan dapat diperoleh informasi mengenai kondisi geologi dan hidrogeologi pada lokasi
konstruksi terowongan. Sehingga data-data tersebut dapat digunakan sebagai imput parameter untuk analisis
numerik. Stabilitas terowongan menjadi perhatian utama dalam kosntruksi terowongan Cisumdawu, dimana
stabilitas tersebut dipantau dari nilai deformasinya secara berkala. Batas deformasi yang diijinkan pada konstruksi
ini adalah 15 cm, sehingga apabila terdapat kasus yang melebihi nilai tersebut akan dilakukan evaluasi terhadap
desain yang diterapkan. Pada penelitian ini analisis stabilitas terowongan dan deformasi terowongan akan dihitung
dengan menggunakan metode numerik (FEM) dengan bantuan perangkat lunak Phase2 v.9.0 (Licensed Number :
12268-001 an. Saptono UPNVY).
2. Dasar Teori
Tegangan yang bekerja disekitar terowongan merupakan akumulasi dari tegangan-tegangan sebelum dan sesudah
dilakukan penggalian terowongan. Berikut merupakan tegangan-tegangan yang bekerja disekitar terowongan.
Pada massa batuan terdapat kondisi tegangan awal yang harus dimengerti, baik secara langsung maupun sebagai
kondisi tegangan yang diterapkan pada analisis dan desain. Selama dilakukan penggalian pada massa batuan
kondisi tegangan akan berubah secara drastis karena batuan yang tadinya mengalami tegangan awal dan setelah
digali tegangan disekitarnya akan diredistribusikan.
Pemahaman mengenai besar dan arah tegangan in situ dan tegangan terinduksi merupakan bagian penting dalam
perancangan lubang bukaan bawah tanah. Dalam banyak kasus, tegangan terinduksi akan melampaui kekuatan
massa batuan dan menyebabkan ketidakmantapan lubang bukaan bawah tanah.
Penggalian terowongan pada massa tanah/batuan membawa perubahan kondisi tegangan di area sekitarnya dan
ruang akibat penggalian menyebabkan terjadinya displacement. Akibat lain adalah terjadinya degradasi tegangan
tanah/batuan di area penggalian yang bersifat merugikan bagi stabilitas.
2.1 Tegangan In-situ
Tegangan in situ vertikal pada penampang tanah/batuan merupakan fungsi kedalaman. Dengan mengetahui
tegangan in situ vertikal pada suatu titik, dapat dihitung tegangan horizontal titik tersebut melalui hubungan rasio
Poisson:
𝜎𝑣 = 𝛾ℎ
Keterangan:
𝜎𝑣 = tegangan in situ vertikal (KN/m2)
𝛾 = massa jenis tanah/batuan (KN/m3)
ℎ = kedalaman (m).
Tegangan horizontal yang bekerja pada elemen batuan pada kedalaman z di bawah permukaan jauh lebih sulit
diperkirakan daripada tegangan vertikal. Biasanya, rasio tekanan horisontal rata-rata terhadap tegangan vertikal
dilambangkan dengan huruf k sedemikian rupa sehingga diperoleh persamaan:
𝜎ℎ = 𝑘𝜎𝑣 = 𝑘𝛾𝑧
Keterangan:
𝜎ℎ = Tegangan in situ horizontal (KN/m2)
𝑣
𝑘 = Nilai independent dari kedalaman (𝑘 = )
1−𝑣
v = Poisson ratio
Pengukuran tegangan horisontal di lingkungan sipil dan pertambangan di seluruh dunia menunjukkan bahwa rasio
k cenderung tinggi pada kedalaman dangkal dan menurun pada kedalaman (Brown dan Hoek, 1978, Herget, 1988).
Untuk memahami alasan variasi tekanan horizontal ini, penting untuk mempertimbangkan masalah pada skala
yang jauh lebih besar daripada pada satu lokasi.
2.2 Tegangan Induksi
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Ketika pembukaan bawah tanah digali menjadi massa batuan stres, tegangan di sekitar pembukaan baru
didistribusikan kembali. Perhatikan contoh tegangan yang disebabkan oleh batuan di sekitar terowongan
melingkar horizontal seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1, menunjukkan sayatan vertikal normal terhadap
sumbu terowongan.
Sebelum terowongan digali, tegangan in situ 𝜎𝑣 , 𝜎ℎ 1 , dan 𝜎ℎ 2 akan terdistribusi merata dalam sayatan batu yang
sedang dipertimbangkan. Setelah hilangnya massa batuan akibat penggalian dalam terowongan, tegangan di
sekitar terowongan berubah dan tekanan baru diinduksi. Tiga tegangan utama 𝜎1 , 𝜎2 dan 𝜎3 yang bekerja pada
element batuan ditunjukkan pada Gambar 1.
Ketentuan yang digunakan dalam rekayasa batuan adalah bahwa tegangan tekan selalu positif dan tiga tegangan
utama diberi nomor sedemikian rupa sehingga 𝜎1 merupakan tegangan tekan terbesar dan 𝜎3 merupakan tegangan
tekan terkecil atau merupakan tegangan tarik yang terbesar dari ketiganya.

Gambar 1. Ilustrasi tegangan utama yang terinduksi pada elemen batuan (Hoek, 1993)
Pada Gambar 2 (a) tampak kondisi awal tegangan vertikal bernilai seragam di tiap titik dengan kedalaman yang
sama. Menurut Mindlin (1939), jika pada lokasi tersebut dilakukan penggalian terowongan seperti pada Gambar
2 (b), tegangan dari massa yang digali akan dialihkan/ditransfer ke sisi terowongan. Akibat transfer tegangan ini,
terjadi akumulasi tegangan di permukaan galian terowongan.

Gambar 2 (a)Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat transfer tegangan (Szechy, 1973)
Akumulasi tegangan ini bernilai maksimum di sisi galian (spring line), dengan nilai dua kali tegangan awal. Pada
Gambar 3, r adalah jarak titik tinjau dari pusat galian dan a adalah jari-jari terowongan. Tegangan maksimum
berada pada lokasi r/a = 1. Tegangan tersebut berkurang secara proporsional terhadap pertambahan jarak,
kemudian menjadi konstan sebesar nilai awal pada lokasi kurang lebih r/a = 4 dari pusat galian terowongan.
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Gambar 3. Akumulasi tegangan pada permukaan terowongan (Szechy, 1973)

Tegangan-tegangan pada permukaan galian dapat diuraikan sebagai berikut:


- Tegangan radial (σr) yang searah radius
- Tegangan tangensial (σt) yang tegak lurus terhadap radial
- Tegangan geser (τrt), hasil interaksi dari σr dan σt
Kirsch menurunkan rumus untuk masing-masing tegangan di atas sebagai berikut:
σᵥ a2 3a⁴ 4a⁴
σᵣ = [(1 + λ) [1 − 2 ] + (1 − λ) [1 + + ] cos 2ϕ]
2 r r⁴ r²
σᵥ a² 3a⁴
σt = [(1 + λ) [1 − ] − (1 − λ) [1 + ] cos 2ϕ]
2 r² r⁴
P 3a4 2a2
τrt = − [(1 − λ) [1 − 4 + 2 ] sin 2ϕ]
2 r r
2.3 Analisis Deformasi Terowongan
Menurut Bray (1967), penggalian yang menghasilkan tegangan besar (tegangan tangensial lebih besar dari
setengah unconfined compressive strength), akan menyebabkan perlemahan hingga lokasi tertentu. Perlemahan
tersebut merupakan area plastis (plastic zone). Pada Gambar 4, area plastis yang terbentuk mempunyai jari-jari
R dari pusat penggalian. Area plastis ini merupakan sebuah slab beam yang melingkar dan paralel dengan
permukaan penggalian (ring crack).

Gambar 4. Area plastis dan elastic menurut Bray (Goodman, 1989)


Diasumsikan bahwa terowongan melingkar radius ro dikenai tegangan hidrostatik dan tegangan pi penyangga
internal yang seragam seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Keruntuhan massa batuan di sekitar
terowongan akan terjadi apabila tegangan internal pi kurang dari tegangan penyangga kritis 𝑝𝑐𝑟 , dapat ditentukan
dengan persamaan:
2𝑝𝑜 − 𝜎𝑐𝑚
𝑝𝑐𝑟 =
1+𝑘
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Jika tekanan internal pi lebih besar daripada tekanan penopang tekanan kritis maka tidak akan terjadi keruntuhan,
perilaku massa batuan yang mengelilingi terowongan bersifat elastis dan perpindahan elastis 𝑢𝑖𝑒 radial ke dalam
dinding terowongan dirumuskan oleh persamaan:
𝑟𝑜 (1 + 𝑣)
𝑢𝑖𝑒 = (𝑃𝑜 − 𝑃𝑖 )
𝐸𝑚
Em adalah modulus elastisitas atau modulus deformasi
Bila tekanan penekan tekanan internal kurang dari tekanan penyangga kritis, kegagalan terjadi dan jari-jari rp
zona plastik di sekitar terowongan diberikan oleh:
1
2(𝑝𝑜 (𝑘 − 1) + 𝜎𝑐𝑚 (𝑘−1)
𝑟𝑝 = 𝑟𝑜 [ ]
(1 + 𝑘)(𝑘 − 1)𝑝𝑖 + 𝜎𝑐𝑚
Untuk keruntuhan plastik, perpindahan radial ke dalam dari dinding terowongan adalah:
𝑟𝑜 (1 + 𝑣) 𝑟𝑝 2
𝑢𝑖𝑝 = [2(1 − 𝑣)(𝑝𝑜 − 𝑝𝑐𝑟 ) ( ) − (1 − 2𝑣)(𝑝𝑜 − 𝑝𝑖 )]
𝐸 𝑟𝑜
Kurva yang digambarkan pada Gambar 6 dan
Gambar 7 didefinisikan pada persamaan sebagai
berikut:
𝑝𝑖
𝑑𝑝 𝑝𝑖 𝜎𝑐𝑚 (𝑝0 −0,57)
= (1,25 − 0,625 )
𝑑0 𝑝0 𝑝0
𝑝𝑖
𝛿𝑖 𝑝𝑖 𝜎𝑐𝑚 (2,4𝑝0−2)
= (0,002 − 0,0025 )
𝑑0 𝑝0 𝑝0
Keterangan:
𝑑𝑝 = jari-jari zona plastik
𝛿𝑖 = deformasi dinding terowongan
𝑑0 = jari-jari terowongan (m)
𝑝𝑖 = tekanan penyangga internal
𝑝0 = tekanan in situ
𝜎𝑐𝑚 = kekuatan massa batuan =
Gambar 5. Representasi grafis hubungan antara 2𝑐 cos ∅⁄(1 − sin ∅)
tekanan penyangga dan perpindahan radial
dinding terowongan (E. Hoek, dkk., 1993)

Gambar 6. Ukuran zona plastis dibandingkan Gambar 7. Deformasi terowongan dibandingkan


dengan tekanan penyangga (E. Hoek, dkk., 1993) dengan tekanan penyangga (E. Hoek, dkk., 1993)
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

3. Investigasi Lapangan
Lapisan tanah pada penggalian terowongan Cisumdawu sangat bervariasi berdasarkan ukuran partikel tanahnya,
sehingga dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (slit), atau lempung (clay), tergantung pada
ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut. Berikut adalah klasifikasi tanah pada area penggalian
terowongan Cisumdawu berdasarkan analisis ukuran butirnya.
Tabel 1. Data Klasifikasi Tanah Hasil Pemboran

Analisis Ukuran Butir Batas-batas Atterberg


No. Kedalaman
Jenis Tanah Pasir Lanau Lempung
Contoh (m) Klasifikasi
% % % (%) (%) (%)
UDS 1 5.00-5.50 Sandy Clayey SILT 4.04 67.96 28.00 109.89 51.23 58.66 MH&OH
UDS 2 9.50-10.00 Sandy Clayey SILT 3.72 63.28 33.00 71.61 44.31 27.31 MH&OH
UDS 3 15.00-15.50 Sandy Clayey SILT 9.00 58.00 33.00 83.54 42.53 41.02 MH&OH
UDS 4 19.55-20.00 Sandy Clayey SILT 17.06 51.21 31.73 60.09 48.17 11.95 MH&OH
UDS 5 25.00-25.50 Sandy Clayey SILT 29.72 37.30 32.98 59.31 46.81 12.50 MH&OH
DS 1 29.50-30.00 Clayey Sandy SILT 38.14 39.36 22.50 52.01 36.02 15.99 MH&OH
DS 2 35.00-35.50 Clayey Sandy SILT 34.48 42.52 23.00 55.05 37.70 17.36 MH&OH
DS 3 39.50-40.00 Sandy Clayey SILT 20.02 49.98 30.00 54.46 37.01 17.45 MH&OH
DS 4 45.00-45.50 Sandy Silty CLAY 7.82 40.18 52.00 69.77 37.23 32.54 ML&OL
DS 5 49.50-50.00 Sandy Clayey SILT 20.94 51.06 28.00 52.51 38.60 13.91 MH&OH
DS 6 55.00-55.50 Sandy Silty CLAY 5.08 43.92 51.00 84.09 53.89 30.21 MH&OH
DS 7 59.50-60.00 Clayey Sandy SILT 35.54 42.96 21.50 55.37 31.32 24.04 MH&OH

Tabel 2. Data Sifat Fisik Tanah

Tabel 3. Data Pengujian Sifat Mekanik Tanah


Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu yang pelu diketahui dalam mekanika batuan dan dapat dikelompokkan
mejadi dua bagian besar, yaitu sifat fisik dan sifat mekanik. Tabel 2 dam Tabel 3 berikut adalah informasi
mengenai sifat fisik dan mekanik tanah pada lokasi penelitian.
4. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa nilai sigma 1 pada atap terowongan pada tahap penggalian ke-2 setelah dipasang
penyangga dengan kedalaman overburden 19 m, 29,19 m, dan 42,69 m didapatkan nilai sigma 1 berturut-turut
sebesar 0,32 MPa, 0,54 MPa, dan 0,60 MPa. Sedangkan pada tahap penggalian ke-8 didapatkan nilai sigma 1
berturut-turut sebesar 0,34 MPa, 0,54 MPa, dan 0,59 MPa. Kemudian berdasarkan nilai sigma 1 yang didapatkan
tersebut dilakukan plotting nilai sigma 1 terhadap kedalam overburden sehingga didapatkan fungsi tehadap
kedalaman untuk menentukan nilai sigma 1. Pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-2 didapatkan fungsi
σ1 = 0,028 H0,827 dan pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-8 didapatkan fungsi σ1 = 0,022 H0,902.
Berdasarkan dari fungsi kedalaman tersebut didapatkan perbedaan nilai sigma 1 pada atap terowongan saat
tahapan penggalian ke-2 dan tahapan penggalian ke-8 dengan kedalaman overburden 19 m sebesar 0,0033 MPa.
Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.

0,7
σ1 = 0,028 H0,827
0,6 R² = 0,814

0,5
Sigma 1 [MPa]

σ1 = 0,022 H0,902
0,4
R² = 0,821

0,3

0,2

0,1

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Kedalaman (m)

Atap Penggalian Tahap 2 Atap penggalian Tahap 8

Gambar 8. Grafik Fungsi Kedalaman Terhadap Nilai Sigma 1

Berdasarkan hasil analisa nilai sigma 3 pada atap terowongan pada tahap penggalian ke-2 setelah dipasang
penyangga dengan kedalaman overburden 19 m, 29,19 m, dan 42,69 m didapatkan nilai sigma 3 berturut-turut
sebesar 0,27 MPa, 0,40 MPa, dan 0,47 MPa. Sedangkan pada tahap penggalian ke-8 didapatkan nilai sigma 3
berturut-turut sebesar 0,28 MPa, 0,40 MPa, dan 0,45 MPa. Kemudian berdasarkan nilai sigma 3 yang didapatkan
tersebut dilakukan plotting nilai sigma 3 terhadap kedalam overburden sehingga didapatkan fungsi tehadap
kedalaman menggunakan trendline power untuk menentukan nilai sigma 3. Pada atap terowongan saat tahapan
penggalian ke-2 didapatkan fungsi σ3 = 0,024 H0,804dan pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-8
didapatkan fungsi σ3 = 0,039 H0,658. Berdasarkan dari fungsi kedalaman tersebut didapatkan perbedaan nilai sigma
3 pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-2 dan tahapan penggalian ke-8 dengan kedalaman overburden
19 m sebesar 0,010 MPa. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan hasil analisa nilai SF pada atap terowongan pada tahap penggalian ke-2 setelah dipasang penyangga
dengan kedalaman overburden 19 m , 29,19 m, dan 42,69 m didapatkan nilai SF berturut-turut sebesar 9,58, 5,48,
dan 3,34. Sedangkan pada tahap penggalian ke-8 didapatkan nilai SF berturut-turut sebesar 4,60 , 3,89, dan 3,35.
Kemudian berdasarkan nilai SF yang didapatkan tersebut dilakukan plotting nilai SF terhadap kedalam
overburden sehingga didapatkan fungsi tehadap kedalaman menggunakan trendline power untuk menentukan
nilai SF. Pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-2 didapatkan fungsi SF = 440,4H-1,30 dan pada atap
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

terowongan saat tahapan penggalian ke-8 didapatkan fungsi SF = 14,51H-0,39. Berdasarkan dari fungsi kedalaman
tersebut didapatkan perbedaan nilai SF pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-2 dan tahapan
penggalian ke-8 dengan kedalaman overburden 19 m 4,98. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 10.

0,70

0,60
σ3 = 0,024 H0,804
0,50 R² = 0,880
Sigma 3 [MPa]

0,40

0,30 σ3 = 0,039 H0,658


R² = 0,870
0,20

0,10

0,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Kedalaman (m)

Atap Penggalian Tahap 2 Atap Penggalian Tahap 8

Gambar 9. Grafik Fungsi Kedalaman Terhadap Nilai Sigma 3

12

10
SF= 440,4H-1,30
8
R² = 0,981
Strength Factor

4
SF = 14,51H-0,39
R² = 0,901
2

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Kedalaman (m)

Atap Penggalian Tahap 2 Atap Penggalian Tahap 8

Gambar 10. Grafik Fungsi Kedalaman Terhadap Nilai Strength Factor

Berdasarkan hasil analisa nilai total displacement pada atap terowongan pada tahap penggalian ke-2 setelah
dipasang penyangga dengan kedalaman overburden 19 m , 29,19 m, dan 42,69 m didapatkan nilai total
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

displacement berturut-turut sebesar 0,015 m, 0,043 m, dan 0,059 m. Sedangkan pada tahap penggalian ke-8
didapatkan nilai total displacement berturut-turut sebesar 0,075 m, 0,037 m, dan 0,019 m. Kemudian berdasarkan
nilai total displacement yang didapatkan tersebut dilakukan plotting nilai total displacement terhadap kedalam
Overburden sehingga didapatkan fungsi tehadap kedalaman menggunakn trendline power untuk menentukan nilai
total displacement. Pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-2 didapatkan fungsi Ui = 6,222 H-1,55dan
pada atap terowongan saat tahapan penggalian ke-8 didapatkan fungsi Ui = 9,785 H-1,65. Berdasarkan dari fungsi
kedalaman tersebut didapatkan perbedaan nilai total displacement pada atap terowongan saat tahapan penggalian
ke-2 dan tahapan penggalian ke-8 dengan kedalaman overburden 19 m sebesar 0,06 m. Selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 11.

0,08

0,07

0,06
Total DIsplacement [m]

0,05
Ui = 9,785 H-1,65
0,04 R² = 0,859

0,03
Ui = 6,222 H-1,55
0,02 R² = 0,874

0,01

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Kedalaman (m)

Atap Penggalian Tahap 2 Atap Penggalian Tahap 8

Gambar 11. Grafik Fungsi Kedalaman Terhadap Nilai Total Displacement

Pemantauan
Berdasarkan hasil pemantauan selama 42 hari pada STA 13 +025 didapatkan total displacement pada atap
terowongan sebesar 0,051 m, pada dinding kiri sebesar 0,040 m, dan pada dinding kanan sebesar 0,003 m.
Sedangkan total displacement berdasarkan hasil perhitungan analitik dan FEM pada STA 13 +025 didapatkan
nilai total sebesar 0,0081 m pada atap terowongan dengan Pi max (100%) dan sebesar 0,049 m pada atap
terowongan pada tahapan penggalian dan pemasangan penyanggga terakhir. Adanya perbedaan nilai pada ketiga
perhitungan disebabkan karena pada perhitungan FEM dan Analitik digunakan asumsi karakterisitik massa batuan
yang homogen, isotrop, dan kontinu, sedangkan pada hasil pemantauan karakteristik massa batuan melihat pada
keadaan sebenarnya yaitu, heterogen, anisotrop, dan diskontinu. Pada perhitungan FEM kondisi tegangan in situ
dhitung berdasarkan elemen-elemen yang terbentuk pada mesh sehingga tegangan yang diberikan pada
terowongan akan berbeda pada setiap titiknya , sedangkan jika pada perhitungan analitik kondisi tegangan in situ
dihitung berdasarkan kedalaman/kedalaman satu titik tertentu saja pada terowongan dan dianggap sama. Dari
semua hasil perhitungan displacement hasil pemantauan yang dgunakan sebagai rujukan atau acuan dalam proses
konstruksi terowongan. Hasil nilai total displacement dai ketiga perhitungan dapat dilihat pada Gambar 12.
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Tunnel Deformation and Roof Settlement Measure


Point Location : Outlet Right Upper Section Exc. Date : 2017.11.16 Rock Classification :PD-1 Deformation Range :15 cm

Point No : A, B, C Step Excavation Date : Support Pattern : PD-1 Warning Value : 9 cm

Point STA : 13 +020 Invert Excavation Date : Support Spacing : 60 cm Action Value : 12 cm

6
Hasil Pemantauan Total
5 Displacement Atap : 0,051 m
4
3 Hasil Perhitungan Analitik Total
Displacement Atap : 0,0081 m
Displacement (mm)

2
1 Hasil Perhitungan FEM Total
Displacement Atap : 0,052 m
0
-1
-2
-3
-4
-5
-6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 24 26 31 33 35 42

ΔH1 ΔD1 ΔD2 ΔS

Gambar 12. Hasil Pemantauan Displacement Pada Sta 13 +025


Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

5. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian mengenai pengaruh penggalian terhadap distribusi tegangan dari
penggalian terowongan untuk jalur bebas hambatan adalah sebagai berikut:
a. Hasil analisis perpindahan menunjukkan bahwa besarnya perpindahan akan meningkat berdasarkan
kedalaman ketebalan tanah diatas terowongan. Perpindahan yang terjadi pada kedalaman ketebalan tanah 19
m, 29, 19 m, dan 42,69 m pada atap terowongan secara berturut–turut adalah sebesar 0,017 m, 0,050 m, dan
0,062 m, hal ini berlawanan dengan strength factor menunjukkan bahwa semakin dangkal terowongan maka
akan semakin kecil strength factornya. Nilai strength factor pada kedalaman ketebalan tanah 19 m, 29, 19
m, dan 42,69 m pada atap terowongan secara berturut–turut adalah sebesar 9,1 m, 4,2 m, dan 3,1 m
b. Hasil perhitungan perpindahan dengan metode elemen hingga (FEM) menunjukkan hasil yang tidak jauh
dengan hasil pemantauan, yaitu perhitungan perpindahan dengan FEM sebesar 0,051 m sedang hasil
pemantauan sebesar 0,052 m sehingga sistem penyangga yang digunakan telah memenuhi standard
perpindahan yang disyaratkan yaitu kurang dari 0,10 m, sementara hasil perhitungan analitik mendapatkan
hasil lebih kecil lagi yaitu sebesar 0,0081 m.

Daftar Pustaka
Abramson, L.W., Lee, T.S., Sharma, S., and Boyce, G.M., 2002. Slope Stability and Stabilization Methods. John
Wiley & Sons Inc. pp.712.
Arif, Irwandy, 2016, Geoteknik Tambang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hal 67-92, 118-120, 154-156, 267-
298.
Bieniawski Z. T., 1989, Engineering Rock Mass Clasifications, Jhon Whiley & Sons, Inc., Canada. pp. 3, 9, 52-
55
Bowles, J. E, 2000, Sifat-Sifat Fisik dan Geoteknis Tanah Longsor, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta.
Budhu, M., Soil Mechanics and Foundations, 2nd Edition. John Wiley & Sons., 2007.
Das, Braja M., dkk., 1995., Mekanika Tanah Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Das, Braja M., dkk., 1995., Mekanika Tanah Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hoek, E., dkk.,1998, Support of Underground Excavation in Hard Rock, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam.
Hoek, E., Practical Rock Engineering, Electronic Book, Capilano Crescent, Canada, 2000, 341 pp.
Hoek, E., Carter, T.G., Diederichs, M.S., Quantification of the Geological Strength Index Chart, 47th US Rock
Mechanics/ Geomechanics Symposium – San Francisco, USA. pp. 1-2
Kolymbas, Dimitrios., 2008, Tunnelling and Tunnel Mechanics, Springer, Berlin.
Rai, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., 2013, Mekanika Batuan.
Penerbit ITB, Bandung. hal 6-8, 14-16, 68-148, 298-301, 441-442.
Saptono, S., 2012, Pengembangan Metode Analisis Stabilitas Lereng Berdasarkan Karakterisasi Batuan di
Tambang Terbuka Batubara, Disertasi, Program Studi Rekayasa Pertambangan, Institut Teknologi
Bandung, Bandung. hal 19-24, 57-59.
Saptono, S., dkk., 2009, Pengaruh Ukuran Contoh Terhadap Kekuatan Batuan, Jurnal Teknologi Mineral Vol.
XVI No. 1/2009, ITB. hal 1.
Singh, B., and Goel, R.K., 1999, Rock Mass Classification, Elsevier Science Ltd, Oxford, UK.
Singh, B., and Goel, R.K., 2006, Tunnelling in Weak Rock, Elsevier Science Ltd, Oxford, UK.
Smith, M.J., 1984, Mekanika Tanah, Edisi Keempat, Diterjemahkan oleh : Elly Madyayanti, Erlangga, Jakarta.
hal 1, 89-92.
Soedarmo, G.D., dan Purnomo, S.J.E, 1993, Mekanika Tanah 1, Penerbit Kanisius, Malang. hal 15-19.
Taki, O and Yang, D.S., Excavation Support and Groundwater Control Using Soil-Cement Mixing Wall for
Subway Projects, Proceedings, Rapid Excavation and Tunneling Conference, Los Angeles, 1989, pp. 156
– 175.
Terzaghi, K., dan Peck, R.B., 1987, Mekanika Tanah dalam Praktek Rekayasa, Edisi Kedua, Diterjemahkan oleh:
Bagus Witjaksono dan Benny Krisna R., Erlangga, Jakarta. hal 4.
Terzaghi, K. and Peck, R. B. 1967. Soil Mechanics in Engineering Practice, 3rd edition, Wiley, New York, NY,
USA.
Jurnal Teknik Sipil – Institut Teknologi Bandung

Turner, A.K, and Schuster, R.L., Landslides Investigation and mitigation: National Research Council,
Transportation Research Board Special Report 247, National Academy Press, Washington, D.C., 1996,
673 p.
Verrujit, A., Soil Mechanics, Electronic Book, http://geo.citg.tudelf.nl/ 336.
Wyllie, D. C. and Mah, C.W., 2004, Rock Slope Engineering Civil and Mining 4th Edition, Spon Press, 270
Madison Avenue, New York, USA. pp. 94-95, 98, 100, 130-131, 155-156, 178, 205-206.

Anda mungkin juga menyukai